Jurnal Translate Fix

12
Akurasi diagnostik Radiografi Thorax untuk : Diagnosis Tuberkulosis (TB) dan Perannya dalam Deteksi Infeksi TB laten: Ulasan sistematis Abstrak Pada tinjauan sistematis ini peneliti mengevaluasi radiologi dada (CXR) dalam alur pemetaan diagnosis infeksi tuberkulosis, dengan berfokus pada infeksi laten pasien TB yang mengikuti pengobatan medis menggunakan obat-obatan biologis. Pada penemuan terakhir, pasien yang dijadwalkan terapi imunomodulator dengan obat biologis adalah kelompok berisiko reaktivasi TB dan pada pasien tersebut dekteksi LTBI menjadi semakin penting. CXR untuk diagnosis TB paru memiliki sensitivitas yang baik, tetapi spesifisitas yang rendah. Diagnosis radiografi penyakit aktif hanya dapat diandalkan pada basis evolusi lesi paru temporal. Tes kulit tuberkulin vivo dan ex vivo tes interferon-g release dirancang untuk mengidentifikasi perkembangan respon imun adaptif, tetapi belum tentu adanya LTBI. Computed tomography (CT) mampu membedakan antara penyakit aktif dari penyakit inaktif. CT dianggap sebagai pencitraan modalitas melengkapi CXR dalam prosedur skrining mendeteksi LTBI di masa lalu dan infeksi LTBI dalam subkelompok spesifik pada pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami reaktivasi TB, temasuk yang dijadwalkan untuk perawatan medis dengan obat biologis. Kata kunci: radiografi dada, infeksi tuberkulosis laten Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi tersering di dunia yang menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas tinggi terutama di negara berkembang. Infeksi laten tb (LTBI) didefinisikan sebagai tahap infeksi menetap tanpa tanda dan gejala penyakit aktif. Ketika manifestasi klinis muncul, syarat tuberkulosis tanda kualifikasi lain, digunakan untuk menandakan penyakit tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, baik LTBI dan TB dapat dibedakan dari proses kejadian patologis dan kedua kondisi tersebut biasanya dibedakan ada (TB) atau tidaknya (LTBI) gejala klinis, uji labolatorium dan temuan radiografi dada (CXR).

description

jurnal

Transcript of Jurnal Translate Fix

Page 1: Jurnal Translate Fix

Akurasi diagnostik Radiografi Thorax untuk : Diagnosis Tuberkulosis (TB) dan Perannya dalam Deteksi Infeksi TB laten: Ulasan sistematis

Abstrak

Pada tinjauan sistematis ini peneliti mengevaluasi radiologi dada (CXR) dalam alur pemetaan diagnosis infeksi tuberkulosis, dengan berfokus pada infeksi laten pasien TB yang mengikuti pengobatan medis menggunakan obat-obatan biologis. Pada penemuan terakhir, pasien yang dijadwalkan terapi imunomodulator dengan obat biologis adalah kelompok berisiko reaktivasi TB dan pada pasien tersebut dekteksi LTBI menjadi semakin penting. CXR untuk diagnosis TB paru memiliki sensitivitas yang baik, tetapi spesifisitas yang rendah. Diagnosis radiografi penyakit aktif hanya dapat diandalkan pada basis evolusi lesi paru temporal. Tes kulit tuberkulin vivo dan ex vivo tes interferon-g release dirancang untuk mengidentifikasi perkembangan respon imun adaptif, tetapi belum tentu adanya LTBI. Computed tomography (CT) mampu membedakan antara penyakit aktif dari penyakit inaktif. CT dianggap sebagai pencitraan modalitas melengkapi CXR dalam prosedur skrining mendeteksi LTBI di masa lalu dan infeksi LTBI dalam subkelompok spesifik pada pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami reaktivasi TB, temasuk yang dijadwalkan untuk perawatan medis dengan obat biologis.

Kata kunci: radiografi dada, infeksi tuberkulosis laten

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi tersering di dunia yang menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas tinggi terutama di negara berkembang. Infeksi laten tb (LTBI) didefinisikan sebagai tahap infeksi menetap tanpa tanda dan gejala penyakit aktif. Ketika manifestasi klinis muncul, syarat tuberkulosis tanda kualifikasi lain, digunakan untuk menandakan penyakit tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut, baik LTBI dan TB dapat dibedakan dari proses kejadian patologis dan kedua kondisi tersebut biasanya dibedakan ada (TB) atau tidaknya (LTBI) gejala klinis, uji labolatorium dan temuan radiografi dada (CXR).

Pengontrolan infeksi TB mengandalkan identifikasi dan pegobatan pencegahan pada individu yang terinfeksi secara laten olehMycobacterium tuberculosis. Uji diagnosis yang digunakan untuk mengidentifikasi individu dengan LTBI adalah uji tuberkulin dan ax vivo interferon γ release assay; keduanya didesain untuk mengidentifikasi respon perlawanan imunitas adaptif (tetapi tidak seharusnya dengan infeksi laten) Mtb. Permasalahan skrining LTBI menjadi semakin relevan beberapa tahun terakhir karena pengenalan obat biologis immunomudulator dalam prektik klinis. Terutama pada lapang penyakit reumatik. Faktanya TNFα antagonist dapat menyebabkan infeksi TB denovo lain atau reaktivasi LTBI. Oleh karena itu , lembaga pengawasan yang berbeda untuk pengendalian penyakit dan preventif telah mengeluarkan rekomendasi untuk memastikan deteksi dan pengobatan LTBI sebelum inisiasi antagonis TNFα.

Page 2: Jurnal Translate Fix

Tinjauan sistematis ini berfokus pada peran dan nilai CXR di diagnosis TB dan skrining untuk deteksi LTBI di pasien yang menjalani perawatan medis dengan obat biologi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban berbasis bukti untuk masalah klinis yang relevan mengenainilai pencitraan diagnostik dalam screening untuk LTBI.

Metode

Dilihat secara sistematik dari literature kesehatan yang didapat dari PubMed pada Januari 2013, tampa waktu yang dibatasi menggunakan McSH sebagai kata kunci dengan variable yang berhubungan dengan “Dada” atau “thoracic” ditambah “Radiografi” atau “Radiograph” atau “X-Ray” ditambah “ Post primary tuberculosis” atau “ Reaktivasi tuberculosis”. “Dada” atau “thoracic” ditambah “radiografi” atau “X-ray” ditambah “Tumor nekrosis faktor Alfa” atau “ tumor nekrosis faktor alfa antagonis” atau “biologi” ditambahkan sebagai kata kunci.Pencarian referensi dilakukan manual untuk mendapatkan artikel yang ada. Artikel yang berbahasa selain bahasa inggris dan itali tidak dimasukan. Kita hanya memasukan artikel-artikel yang original dengan gambaran dan diagnosis latent dan post primary TB, disertai adanya pasien yang mengalami reaktivasi TB yang sedang mendapatkan pengobatan dan biologis.

Hasil

Sebanyak 1.111 artikel yang diambil (Gambar 1). Sekitar 936 artikel dikeluarkan atas dasar judul atau abstrak, yaitu, dianggap tidak relevan. Sisanya dianalisis menurut relevansi dari judul atau abstrak mereka. Metode ini mengharuskan kami untuk membaca 157 artikel,dan sampai pada proses pemeriksaan, 67 makalah yang yang dipilih. Semua makalah termasuk dalam bahasa Inggris. Dan sisa 90 artikel dikeluarkan atau ekslusi karena mereka tidak relevan atau tidak terfokus pada topik kita.

Page 3: Jurnal Translate Fix

Bagaimana Peran CXR dalam Skrining LTBI?

Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mtb, dengan 8,7 juta kasus baru infeksi pada 2011. Evaluasi diagnostik yang lengkap untuk infeksi TB meliputi riwayat medis, pemeriksaan fisik, CXR, TST, uji serologi (IGRA), apusan mikrobiologis, dan kultur. Standar emas untuk diagnosis TB dengan menggunakan kultur Mtb menggunakan spesimen yang diambil dari pasien, tetapi karena bakteri aerobik ini pertumbuhannya lambat, tidak motil, tidak membentuk spora, dan batang, diagnosis biasanya membutuhkan waktu yang lama. Uji klinis di seluruh dunia dan data surveilans yang telah dipublikasikan menunjukkan peningkatan kejadian infeksi TB yang berkaitan dengan anti-TNF-a agents. Mayoritas kasus ini diduga hasil dari reaktivasi LTBI, sedangkan tingkat infeksi baru tidak diketahui. Jadi, beberapa penelitian menyarankan untuk skrining pasien LTBI sebelum terapi anti-TNF-a, tetapi saat ini tidak mungkin untuk mengidentifikasi kehadiran basil hidup pada pasien yang memiliki LTBI. Program skrining yang berbeda untuk deteksi LTBI pada pasien dijadwalkan untuk melakukan perawatan medis dengan biologis yang merupakan langkah pertama untuk menemukan riwayat penyakit, faktor risiko TB, dan pemeriksaan fisik. CXR digunakan dalam hubungannya dengan TST atau IGRA, namun posisinya dalam prosedur skrining dapat bervariasi antara pedoman yang berbeda dan rekomendasi yang berbeda. The American College of Rheumatology Panel and The National Psoriasis Foundation merekomendasikan skrining untuk mengidentifikasi LTBI pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) dan penyakit psoriasis yang telah dijadwalkan untuk terapi dengan agen biologis, menunjukkan TST dan IGRA pada tes skrining pertama kasus positif TST / IGRA. Penelitian lain menunjukkan bahwa CXR harus dilakukan sebagai langkah awal dalam proses skrining. CXR berguna saat hasil TST tidak dapat diandalkan, pembacaan tes kulit tidak praktis, atau risiko penularan dari

Page 4: Jurnal Translate Fix

kasus yang tidak terdiagnosis tinggi, seperti yang terjadi pada kelembagaan pengaturan (penjara, rumah sakit, fasilitas perawatan jangka panjang). Harus diingat bahwa pasien dengan RA bisa memiliki respon yang rendah terhadap TST. Selain itu, diagnosis TB dapat sulit dipahami, dan gejala, kultur-positif dengan normal CXR tidak jarang ditemukan.

Apa Kinerja Diagnostik dari CXR dalam Deteksi Infeksi TB?

CXR skrining untuk TB / LTBI pada populasi berisiko tinggi dapa. Terlepas dari jaringan parut fibrosa pada parenkim paru, ada pola CXR spesifik yang mengindikasi infeksi TB sebelumnya dan /atau infeksi TB primer. Lesi Ghon adalah kalsifikasi granuloma kaseosa TB yang menandakan adanya sequelae infeksi TB primer. Ranke kompleks ialah kombinasi fokus Ghon dengan pembesaran atau kalsifikasi hilus / kelenjar getah bening mediastinum; Simon fokus yang apikal nodul, sering disertai dengan kalsifikasi, yang merupakan hasil dari penyebaran hematogen pada saat awal infeksi. Ketika memeriksa CXR, penting untuk mengidentifikasi temuan sugestif infeksi TB aktif, dengan mengingat diagnosis banding dan kemungkinan kondisi lain: area konsolidasi parenkim harus dibedakan dengan tumor dan infeksi lain (misalnya, mycetomas); pembesaran kelenjar getah bening mediastinum berhubungan dengan perubahan parenkim atau penyakit sistemik seperti infeksi, gangguan hematopoietik, limfoma, sarkoidosis; kavitasi harus dibedakan dari tumor, abses, dan infeksi parasit (Tabel 1). TB kadang-kadang dapat disertai dengan konsolidasi di lapang paru bagian bawah dan jika dibandingkan dengan kasus yang melibatkan lobus atas paru, memperlihatkan hasil kavitasi yang kurang dan perubahan residual fibrosis, namun parenkim lebih atelektasis.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society dan Centers for Disease Control and prevention, subjek yang terinfeksi oleh Mtb, yang dibuktikan dengan

Page 5: Jurnal Translate Fix

TST yang positif, harus diklasifikasikan mulai dari temuan klinis, radiografi, dan bakteriologis dalam salah satu kategori berikut: (a) infeksi TB, tidak ada penyakit; (b) infeksi TB, secara klinis aktif; (c) Infeksi TB, secara klinis tidak aktif. CXR memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi untuk TB aktif. Pada populasi dewasa yang imunokompeten, frekuensi pemeriksaan negatif palsu adalah sekitar 1%, peningkatan terjadi 7% -15% pada individu yang seropositif terhadap virus human immunodeficiency (HIV). Terdeteksinya setiap kelainan (parenkim, nodal getah bening, atau pleura), dengan atau tanpa kalsifikasi terkait, tidak dapat memberikan informasi yang tepat tentang aktivitas penyakit pada screening CXR tunggal. Evolusi Temporal merupakan satu-satunya variabel yang memberikan diferensiasi radiografi antara penyakit aktif dan tidak aktif. Kurangnya perubahan radiografi selama interval waktu 4 sampai 6 bulan umumnya mengindikasikan penyakit yang tidak aktif. Namun, mengingat bahwa stabilitas jangka panjang dari temuan radiografi mungkin terkadang dikaitkan dengan penyakit kultur-positif, Miller dan MacGregor menggarisbawahi bahwa temuan tersebut harus digambarkan sebagai "radiografi stabil" daripada "tidak aktif".

CXR telah digunakan selama lebih dari satu abad untuk mendiagnosis TB paru; Namun, hal itu dibatasi oleh spesifisitas sederhana dengan variabilitas interobserver yang tinggi dalam laporan radiologi. Studi yang berbeda bertujuan untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas temuan CXR untuk mendiagnosis TB (Gambar 2). Cohen, et al menemukan sensitivitas 73-79% dan spesifisitas 60-63% pada populasi berisiko tinggi. Hasil yang sama ditemukan oleh den Boon, et al, yang membandingkan penilaian diagnostik gejala khas TB (batuk, produksi sputum, demam, penurunan berat badan, keringat malam, hemoptisis, anoreksia, dan dyspnea) dengan radiografi dada dalam survei prevalensi TB. Kehadiran setiap abnormalitas pada CXR memiliki sensitivitas tertinggi untuk mendeteksi subyek dengan TB bakteriologis positif 0,97, (95% CI 0,90-1,00), sedangkan spesifisitas untuk setiap keabnormalitasan yang terdeteksi adalah 0,67 (95% CI 0,64-0,70) . Untuk temuan yang ganjil, seperti TB milier, adalah mungkin untuk mencapai nilai-nilai sensivitas dimulai dari 59-69%, dan spesifisitas 97-100%. Deteksi pembesaran kelenjar getah bening pada anak-anak memiliki sensitivitas 67% dan spesifisitas 59%. Melakukan penambahan tampakan lateral pada dada, sensitivitas meningkat 1,8%, dan spesifisitas sebesar 2,5%. Diagnosis yang benar dari TB paru pada CXR tergantung pada keahlian pembaca, karena teknik interpretasi CXR saat ini tidak terstandarisasi dengan baik. Dalam hal ini, beberapa penulis telah berusaha untuk memperkenalkan sistem penilaian standar yang akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas CXR. Hasil dari metaanalisis terbaru mengindikasikan bahwa tidak adanya sistem penilaian yang diusulkan dari tahun 1899 hingga 2012 berdasarkan pada penggunaan temuan imaging yang ekslusif. Sebenarnya, hanya intergrasi multimodal temuan klinis, laboratorium, dan data imaging yang yang meningkatkan performa diagnostik CXR, pencapaian seluruh sensivitas dan spesifikasi masing-masing mencapai 96% dan 45%. Sistem skoring yang lebih sederhana telah diusulkan, termasuk 4 karakteristik yang mudah untuk dikenali pada CXR: opaksitas lobus atas, kavitas, efusi pleura unilateral, dan mediastinal/ limfadenopati hilar. Penulis mendapatkan nilai prediktif negatif yang tinggi (91,5%, 95% CI 87,1-94,7), namun nilai prediktif positifnya yang rendah (49.4%, 95% CI 42,9-55,9). Eisenberg dan Pollock menilai keabnormalitasan frekuensi dan spectrum pada skrining rutin CXR dalam mengevaluasi preemployment para pekerja kesehatan dengan TST yang positif, temuan yang

Page 6: Jurnal Translate Fix

didapatkan CXR berupa hasil yang rendah pada deteksi TB aktif atau peningkatan reaktivasi risiko LTBI , dan tidak menyediakan bantuan dalam penentuan setiap individu untuk memprioritaskan pengobatan LTBI.

Computed tomography (CT) merupakan suatu modalitas gambaran nyata yang digunakan untuk mempelajari TB. CT membantu untuk membedakan antara penyakit yang aktif dan inaktif, dan lebih sensitif dibandingkan CXR untuk mendeteksi penyakit lokal dan penyakit yang menyebar luas dan mediastinal lymphadenopathy. Woodring, dkk menyatakan bahwa diagnosis pertama CXR untuk mendeteksi TB hanya sekitar 49% kebenarannya pada kasus ( contoh., TB primer 34% dan TB reaktivasi 59%). Penggunaan chest TB efektif mendeteksi 80% pasien dengan TB aktif dan 89% pasien dengan TB inaktif. CT sangat berguna ketika terjadi pertentangan antara penemuan klinis dengan penemuan radiologi dan/atau ketika temuan gambaran samar-samar maupun yang meyakinkan. Subyek dengan CXR normal atau samar-samar mungkin akan ditemukan penemuan indikatif TB aktif pada chest CT. Lew, dkk membuktikan bahwa tidak ada tes diagnostic yang memiliki tingkat sensitivitas 100% untuk diagnosis TB, menyarankan penggunaan diagnostic kombinasi termasuk TST, CXR, IGRA, dan CT.

Temuan yang diduga merupakan TB aktif dapat dideteksi dengan CT pada 17 (32,7%) dari 52 subyek dengan tingkat probabilitas tinggi pada infeksi (30 subyek dengan IGRA positif dan 22 subyek dengan ukuran indurasi ≥20mm). Secara kolektif, sekitar 21 (1,1%) pasien dengan TB, seluruhnya positif TST. 12 (57,1%) positif IGRA, dan terdiagnosa TB dengan CT, tapi tidak dengan CXR pada 11 subyek.

Ketika dibandingkan dengan pendekatan konvensional dengan TST dan CXR, kombinasi penggunaan IGRA dan chest CT pada subyek dengan TST positif mungkin akan

Page 7: Jurnal Translate Fix

lebih efektif untuk membedakan antara TB aktif, LTBI dan subyek non-infektif dalam investigasi kontak. Di lain pihak, sebagaimana yang dikatakan oleh Marais, dkk, penggunaan chest CT untuk screening kontak tanpa gejala tidak aman karena diikuti dengan diagnosis berlebih kearah “”TB aktif”, akan memberikan pasien dosis tinggi radiasi dan merusak kepercayaan pada peralatan skrining. Penggunaan CT disarankan hanya untuk individu pada kelompok tertentu yang berisiko tinggi mengalami TB reaktif seperti pasien immunocompromised. Deteksi TB aktif yang lebih efektif mungkin akan mencegah pemberian resep yang tidak sesuai pengobatan LTBI dan berikutnya pembentukan resistansi obat. Lee, dkk mengevaluasi manfaat chest CT dalam investigasi wabah TB pada tentara Korea Selatan. Lesi yang mengindikasikan TB aktif ditemukan pada 18 partisipan (21%), termasuk 9 tanpa ditemukan lesi pada CXR dan hasil positif baik itu TST atau IGRA. Penulis menyimpulkan bahwa CT lenih membantu untuk membedakan TB aktif dengan LTBI. Sebaliknya peralatan diagnostik ini harus digunakan secara hati-hati, mempertimbangkan risiko dan biaya. Penulis lain berkomentar dalam artikel yang ditulis Lee, dkk, menyarankan bahwa penggunaan chest CT akan memberikan dosis tinggi radiasi yang signifikan dibandingkan dengan CXR dan juga biaya yang lebih tinggi. Mereka menegaskan jika penggunaan CT sebagai tes skrining selama investigasi wabah TB tidak dibenarkan, tetapi hanya digunakan bagi pasien yang bergejala dan dibenarkan bagi kelompok yang berisiko tinggi. Pentingnya identifikasi LTBI telah menjadi lebih baik sejak TNF-α antagonis diperkenalkan dalam praktek klinis rutin untuk pengobatan RA dan gangguan inflamasi rheumatologi lain. Tannus Silva, dkk mengevaluasi manfaat CT sebagai alat skrining untuk deteksi LTBI bagi pasien dengan RA. CT memperlihatkan perubahan kompatibel dengan LTBI pada 52,9% pasien, termasuk 8 dari 11 pasien dengan hasil TST dan IGRA negatif. Hasil ini menegaskan pentingnya kombinasi penggunaan modalitas diagnostik yang berbeda untuk deteksi LTBI yang efektif.

Sejak tahun 1950 insidensi infeksi TB di Negara industri mengalami penurunan tajam. Namun, pada beberapa tahun terakhir sudah mulai membalik karena perubahan karakteristik populasi, seperti masuknya imigran dari daerah endemik TB dan penyebaran luas dari HIV. Dibandingkan dengan masa lalu, TB terutama mempengaruhi dewasa muda dengan immunocompromised. Pada pasien ini terdapat gambaran atipikal pada X-Ray thorax (yaitu, efusi pleura soliter, pola milier, lesi pada basis paru-paru, mediastinum soliter atau lymphadenopathies hilus). Pasien TB dengan HIV memiliki gambaran X-Ray thorax yang bergantung pada tingkat immunosuppression.

Hubungan antara X-Ray thorax dan kadar CD4 limfosit T, memiliki prevalensi lebih tinggi secara signifikan dari mediastinum dan atau limphadenopathy hilus dan prevalensi yang lebih rendah dari kavitasi pada pasien dengan jumlah CD4 T limfosit kurang dari 200/mm3. Dengan memburuknya imunosupresi pasien, insidensi yang lebih tinggi pada pola miliari, penyakit ekstrapulmonar, dan tipe atipikal. Pemeriksaan CT pada TB paru pada pasien HIV-seropositif dengan normal X-Ray Thorax biasanya menunjukkan abnormalitas, dan pada beberapa penulis mengidentifikasi beberapa pola CT spesifik seperti multiple nodule parenkim, tuberculoma, dan lymphadenopathi. Lymphadenopati ditemukan pada gambaran CT dengan area central low attenuation dan peripheral enhancement, contohnya

Page 8: Jurnal Translate Fix

pada pasien imunosupresi. Pasien HIV-seroposositif memiliki prevalensi yang lebih rendah terjadinya penyakit lokal parenkim dan prevalensi yang lebih tinggi terjadinya disseminated disease pada CT.

Ketika seorang anak memiliki TST positif, CXR normal, dan tidak ada gejala, anak dianggap memiliki LTBI. Ketika ditemukan TST positif, CXR patologis, dan terdapat gejala, anak dianggap memiliki TB. Pada anak yang memiliki kontak dengan TB sebelumnya, tampak TST positif dan CXR patologis dengan atau tanpa gejala menunjukkan diagnosis TB. Diagnosis TB primer sulit untuk ditegakkan berdasarkan tanda-tanda tidak langsung dari gejala, CXR, dan TST yang kurang spesifik60,91,92. Dalam konteks ini, interpretasi yang benar dari CXR merupakan persyaratan penting, dan CT thorax dianjurkan jika CXR meragukan93. Sebuah CT thorax normal terjadi pada 92,8% anak dengan TST positif dan CXR negatif. Oleh karena itu, Garrido dkk beranggapan bahwa pada anak kurang dari 4 tahun dengan TST positif dan CXR normal, dianjurkan untuk melakukan CT67,94. Sebuah studi baru pada pasien pasca-transplantasi hepar menunjukkan bahwa pre-transplantasi CT Scan thorax lebih berguna untuk menunjukkan LTBI dari CXR di negara endemik TB. Peningkatan risiko untuk TB paru berhubungan dengan temuan seperti "tree-in-bud" appearance (indikasi dari penyebaran endobronchial), konsolidasi lobular, dan nodul besar pada CT scans95,96.

Dalam subkelompok individu dengan probabilitas yang tinggi dari infeksi, penggunaan gabungan TST, IGRA, CXR, dan CT efektif dalam membedakan antara TB aktif, LTBI, dan yang tidak terinfeksi. Kegunaan CT thorax pada pasien immunocompromised harus diperiksa lebih lanjut.3

Statement

CXR harus dilakukan setelah TST/IGRA positif. Karena pasien yang menjalani perawatan medis dengan biologis merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk TB reaktif, CT dapat diindikasikan dengan TST/IGRA positif dan CXR yang meyakinkan.

Peran CXR dalam deteksi LTBI dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Radiografi thorax untuk diagnosis TB Paru memiliki sensitivitas yang baik tetapi spesifisitas buruk.

• Diagnosis radiografi dari penyakit aktif hanya dapat berdasarkan evolusi temporal dari lesi paru.

• Diagnosis radiografi pada TB dapat sulit dipahami dan simptomatik, kultur positif TB paru positif dengan CXR yang normal itu tidak jarang.

• Dalam subkelompok pasien, termasuk pasien anti-TNF-a treatment, pendekatan gabungan berdasarkan tes imunologi, thorax, dan CT bisa sangat berguna untuk deteksi LTBI.

Page 9: Jurnal Translate Fix