Jurnal Gimul Translate

52
EFEK SAMPING OBAT PADA REGIO OROFASIAL Oleh : C. Scully dan J.V. Bagan Abstrak: Berbagai obat kadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping pada orofasial, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa oral, dan/atau pembengkakan gingiva. Ada sedikit relevansi studi randomisasi double-blind terkontrol pada kasus ini, oleh karena itu paper ini mereview data dari laporan kasus, small series, dan laporan non-peer-reviewed dari efek samping obat pada regio orofasial (available di MEDLINE pada April, 2003). Efek samping orofasial dari terapi obat yang lebih umum dan signifikan didiskusikan. Kata kunci: oral, obat, efek samping, saliva, mukosa, ulkus, pengecapan Pendahuluan Berbagai obat terkadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping yang bermanifestasi pada oral, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa oral, dan/atau pembengkakan. Hasil review dari 200 obat yang paling sering diresepkan (di USA tahun 1992) menunjukkan bahwa reaksi efek samping obat (ESO) di regio oral yang paling sering adalah mulut kering (80,5%), disgeusia (47,5%), dan stomatitis (33,9%) (Smith dan Burtner, 1994). Bagaimanapun, beberapa studi randomisasi double-blind terkontrol telah dilakukan, dan oleh karena itu kejadian yang paling sering pada saat ini adakah pada tingkat yang rendah, didasarkan hanya pada laporan

description

gimul

Transcript of Jurnal Gimul Translate

Page 1: Jurnal Gimul Translate

EFEK SAMPING OBAT PADA REGIO OROFASIAL

Oleh : C. Scully dan J.V. Bagan

Abstrak: Berbagai obat kadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping pada

orofasial, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa oral, dan/atau

pembengkakan gingiva. Ada sedikit relevansi studi randomisasi double-blind terkontrol pada

kasus ini, oleh karena itu paper ini mereview data dari laporan kasus, small series, dan

laporan non-peer-reviewed dari efek samping obat pada regio orofasial (available di

MEDLINE pada April, 2003). Efek samping orofasial dari terapi obat yang lebih umum dan

signifikan didiskusikan.

Kata kunci: oral, obat, efek samping, saliva, mukosa, ulkus, pengecapan

Pendahuluan

Berbagai obat terkadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping yang

bermanifestasi pada oral, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa

oral, dan/atau pembengkakan. Hasil review dari 200 obat yang paling sering diresepkan (di

USA tahun 1992) menunjukkan bahwa reaksi efek samping obat (ESO) di regio oral yang

paling sering adalah mulut kering (80,5%), disgeusia (47,5%), dan stomatitis (33,9%) (Smith

dan Burtner, 1994). Bagaimanapun, beberapa studi randomisasi double-blind terkontrol telah

dilakukan, dan oleh karena itu kejadian yang paling sering pada saat ini adakah pada tingkat

yang rendah, didasarkan hanya pada laporan kasus, small series, atau laporan non-peer-

reviewed dari efek samping obat.

Paper ini mereview literatur yang berdasar pada MEDLINE bulan April, 2003, serta

menyoroti efek samping terbanyak dan bermakna dari pemakaian obat pada regio oral.

Apabila relevan, review ini menyediakan sumber-sumber dari laporan lain yang sesuai. Hal

tersebut tidak termasuk detail pada efek samping dari peralatan makan, tembakau, alkohol,

atau obat rekreasi, atau efek samping dari obat pada gigi.

Obat yang Berkaitan dengan Kelainan dari Kelenjar Ludah

(1) OBAT YANG BERKAITAN DENGAN XEROSTOMIA

Mulut kering memiliki beberapa variasi kemungkinan penyebab (Scully, 2003) (Tabel 1).

Kebiasaan yang umum seperti merokok tembakau, penggunaan alkohol (termasuk dalam

pencuci mulut), dan konsumsi minuman yang mengandung kafein (kopi, beberapa minuman

ringan) dapat menyebabkan mulut kering. Obat adalah penyebab paling umum dari

Page 2: Jurnal Gimul Translate

penurunan saliva (Tabel 1, gambar1) (Scully, 2003). Obat yang paling sering dikaitkan di

antaranya: antagonis alfa reseptor untuk pengobatan retensi urin; amfetamin; antikolinergik;

antidepresan (agonis serotonin, atau noradrenalin, dan/atau serotonin re-uptake bockers);

antihistamin; agen antihipertensi; agen antimigrain; antipsikotik seperti fenotiazin; penekan

nafsu makan; atropin; benzodiazepin; hipnosis; opioid; dan penyalahgunaan obat;

bronkodilator; sitokin; dekongestan dan ‘obat demam’; diuretik; histamin H2 antagonis; dan

inhibitor pompa proto; antagonis reseptor muskarinik untuk pengobatan overactive bladder;

opiates; inhibitor protease; radioiodine; retinoid; dan relaksan otot skelet (Scully, 2003)

Ada mekanisme multipel dari obat sehingga dapat menyebabkan xerostomia (Madinier

et al., 1997). Walaupun banyak obat dapat menyebabkan kejadian kekeringan mulut (Di

Giovanni,1990; Sreebny and Schwartz, 1997; Wynn and Meiller, 2001;Scully, 2003), efek

yang paling besar disebabkan oleh radio-iodine (Mandel and Mandel, 2003).

Mulut kering merupakan kejadian yang paling banyak dikeluhkan pasien yang

mendapatkan terapi hipertensi, psikiatri, atau problem urin (Streckfus,1995) dan pada orang

tua (Vissink et al., 1992; Loesche et al., 1995), terutama sebagai akibat dari pemakaian obat

dalam jumlah yang banyak (Fox, 1998; Närhi et al., 1999) dan polifarmasi (Loesche et

al.,1995; Nederfors, 1996; Fox, 1998). Sebagai contoh, 63% dari pasien rawat inap dan 57%

dari pasien yang keluar mengeluhkan mulut kering, dan dari seluruh pasien, penggunaan obat

psikiatri merupakan penyebab utama (Pajukoski et al., 2001).

Usia dan pengobatan memperlihatkan peran yang penting terhadap seseorang dengan

kejadian hiposalivasi, sedangkan jenis kelamin wanita dan faktor psikologis merupakan

faktor yang penting pada individu dengan kejadian mulut kering (Bergdahl and Bergdahl,

2000).

Obat hipnotik juga banyak digunakan orang tua, dan sebagian besar pengguna

mengalami ESO, terutama mulut kering (30%) (Wishart et.al., 1981; Busto et al., 2001). Pada

orang tua yang menggunakan obat tanpa resep- yang paling sering, , dimenhydrinate (21%),

acetaminophen(paracetamol) (19%), diphenhydramine (15%), alcohol(13%), and herbal

products (11%)—ESO ringan yang dilaporkan sebanyak 75%, keluhan yang paling banyak

adalah mulut kering (Sproule et al., 1999).

Pada survei skala besar dari 3311 kuesioner yang terevaluasi, 21,3% pria dan 27,3%

wanita dilaporkan mengalami mulut kering, secara statistik wanita memiliki prevalensi mulut

kering lebih besar daripada pria (Nederfors, 1996). Mulut kering secara signifikan berkaitan

dengan usia, dan menimbulkan komorbiditas yang kuat antara prevalensi mulut kering dan

terapi yang sedang berkembang yang dilaporkan. Kecepatan aliran air liur yang tidak

Page 3: Jurnal Gimul Translate

distimulasi lebih rendah pada wanita atau yang menggunakan antidepresan, dan lebih tinggi

pada perokok atau orang yang menggunakan obat hipolipidemik (Thomson et al.,2000). Hal

tersebut jelas bahwa pengobatan adalah prediktor yang lebih baik dari risiko mulut kering

daripada usia atau jenis kelamin (Field et al., 2001).

TABEL 1

Obat yang berkaitan dengan Xerostomia

Page 4: Jurnal Gimul Translate

Meskipun pada pasien usia tua dengan kanker stadium lanjut, mulut kering adalah

gejala keempat paling sering (78% dari pasien), tetapi penyebab paling sering dari mulut

kering adalah akibat pengobatan, dan beberapa berhubungan dengan jumlah obat yang

diresepkan (Davies et al., 2001). Tapi tidak bisa dibilang bahwa suatu penyakit dapat selalu

dieksklusikan sebagai penyebab terjadinya mulut kering, contohnya sekresi saliva lebih

dipengaruhi oleh obat xerogenik dan disfungsi saraf otonom pada pasien NIDDM daripada

pasien dengan diabetes tak terkontrol (Meurman et al., 1998).

Gambar 1. Obat yang berkaitan dengan xerostomia

Selebihnya, penyebab dari mengapa obat diminum juga penting. Contohnya, pasien

dengan kecemasan dan depresi dapat mengeluh mulut kering bahkan tanpa terapi obat atau

pengurangan aliran saliva. Hal itu penting untuk diketahui bahwa pasien yang mengeluh

mulut kering yang dikarenakan obat tidak memiliki bukti mengenai pengurangan aliran saliva

atau kelainan dari saliva dan mungkin ada penyebab psikogenik yang mendasari keluhan

tersebut.

Ada beberapa jumlah mekanisme yang berbeda dari obat yang berkaitan dengan

mulut kering, tetapi yang banyak mendasari adalah antikolinergik : M3 reseptor muskarinik

(M3R) menghubungkan neurotransmitter parasimpatik kolinergik ke glandula salivarius (dan

lakrimalis), tetapi reseptor-reseptor lain juga turut berkaitan (Kawaguchi and Yamagishi,

1995).

Page 5: Jurnal Gimul Translate

(a) Antidepresan

Pengobatan Antidepresan terdahulu seperti antidepressant tricyclic (TCAs)

sayangnya juga menghambat histamin, kolinergik, dan reseptor alfa-

adrenergik, sehingga menyebabkan efek samping seperti mulut kering.

Pria dan wanita mungkin memiliki perbedaan respon farmakokinetik

terhadap pengobatan antidepresan tricyclic, pada beberapa indikasi

otonom, dan pada beberapa respon adrenergic receptor-mediated.

Kejadian yang muncul juga merujuk pada wanita, relatif pada pria,

memiliki kecepatan sintesis serotonin otak yang lebih lambat dan

sensitifitas yang lebih besar terhadap efek depresan berupa deplesi

triptifan. (Pomara et al., 2001). Dengan demikian, ultrarapid metabolizer

phenotype dari cytochrome P4502D6 (Laine et al., 2001) mungkin menjadi

penyebab dari tidak adanya respon dari pengobatan antidepresan, dan

peresepan berkelanjutan dari antidepresan dosis tinggi pada beberapa

pasien menyebabkan peningkatan terjadinya kejadian efek samping obat;

walaupun begitu normalisasi status metabolik dari ultrarapid metabolizers

dengan penghambatan aktivitas sitokrom, seperti paroxetine, dapat

memberikan solusi. (Laine et al., 2001).

Antidepresan dengan generasi yang lebih baru mengutamakan

sertotonin (5- hydroxytryptamine: 5HT) agonis, atau penghambatan re-

uptake dari noradrenalin (norepinephrine) dan/atau serotonin. Beberapa

produk dari generasi antidepresan yang lebih baru – termasuk selective

serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) dan multiple-receptor

antidepressants (seperti venlafaxine, mirtazapine, bupropion, trazodone,

and nefazodone)- menarget satu atau lebih dari reseptor spesifik di otak,

pada banyak kasus mengaktivasi reseptor-reseptor yang tidak diinginkan

seperti histamin dan asetilkolin (Feighner, 1999; Feighner and Overo,

1999). SSRI menghasilkan perubahan yang tidak signifikan dalam salivasi

(Hunter and Wilson, 1995), tetapi mulut kering tetap mungkin terlihat

(contohnya fluoxetine) (Ellingrod and Perry, 1994; Shrivastava et al.,

1994; Hunter and Wilson, 1995; Davis and Faulds, 1996; Boyd et al., 1997;

Ravindran et al., 1997; Trindade et al., 1998). Walaupun begitu, beberapa

SSRI, seperti paroxetine, memperlihatkan hasil dengan mulut kering yang

Page 6: Jurnal Gimul Translate

lebih rendah daripada yang terlihat pada TCA (Ravindran et al., 1997).

Citalopram, SSRI yang paling selektif, ditoleransi dengan baik (Feighner

dan Overo,1999) Venlafaxine, penghambat re-uptake campuran, mungkin

menyebabkan mulut kering (Gelenberg et al., 2000). Insiden dari ESO

pada pemakai venlaxine XR sama dengan pasien yang melakukan

pengobatan dengan SSRI yang telah dikembangkan dengan baik

(Wellington and Perry, 2001). Duloxetine hidroklorida, penghambat re-

uptake rangkap serotonin dan norepinefrin, juga dapat menyebabkan

mulut kering (Detke et al., 2002), seperti contohnya mianserin, sebuah 2A

agonis post-synaptic serotonin utama (Dolberg et al., 2002). Nefazodone,

yang memiliki efek penghambat selektif re-uptake serotonin sedang dan

antagosis 5-HT2 langsung, dapat menyebabkan mulut kering pada 19%

lawan 13% pada placebo (Lader,1996). Reboxetine, penghambat selektif

re-uptake norepinefrin (selektif NRI), dalam menyebabkan mulut kering

lebih rendah daripada TCA, meskipun obat tersebut lebih sering

menyebabkan mulut kering daripada placebo (36% lawan 16%)

(Schatzberg, 2000; Versiani et.al., 2002). Mirtazapine, sebuah

noradrenergik dan specific serotonergik antidepresan (NaSSA), dapat

menyebabkan mulut kering (Anttila dan Leinonen, 2001).

Bupropion hidroklorida, yang murni dikembangkan sebagai sebuah

antidepresan, adalah selective re-uptake inhibitor dari dopamine dan

norepinefrin yang diketemukan dapat menurunkan gejala putus obat

nikotin dan keinginan untuk merokok, tetapi umumnya menyebabkan

mulut kering (Zwar dan Richmond, 2002). Mulut kering secara positif

berkaitan dengan konsentrasi rata-rata bupoprion metabolit, dan

hubungan yang berkebalikan dengan berat badan pasien (Johnston et.al.,

2001).

(b) Antipsikotik

Pengobatan jangka panjang dari skizofrenia dengan antipsikotik

konvensional fenotiazin seperti fluphenazine yang paling sering

berhubungan dengan mulut kering (Adams dan Eisenbruch, 2000).

Page 7: Jurnal Gimul Translate

Bagaimanapun, obat antipsikotik yang baru dikembangkan dengan

aktivitas antagonistic selektif pada reseptor dopamin (D2) dan lebih poten

mungkin tidak dapat dihubungkan dengan lebih rendahnya angka

kejadian mulut kering. Olanzepine adalah sebuah obat antipsikotik atipikal

yang menyebabkan mulut kering (Duggan et.al., 2000). Korelasi yang

signifikan telah diketemukan pada affinitas in vitro dari antipsikotik

terhadap dopamin atau sistem reseptor neuronal lainnya dan ESO:

sebagai contoh, antara nilai K(i) untuk reseptor Dopamin D(1), alfa (1)-

adenoreseptor dan histamin H(1) reseptor, dan kejadian mulut kering

(Sekine et.al., 1999). Antipsikotik atipikal lainnya- termasuk tiapride

(Roger et.al., 1998), litium (Christtodoulou et.al., 1977; Chacko et.al.,

1987; Friedlander dan Birch, 1990; Tohen et.al., 2002) pipamperon

dihidroklorida (Potgieter et.al., 2002), quetiapine dan risperidon

(Srisurapanont et.al., 2000; Mullen et.al., 2001)- dapat menyebabkan

mulut kering.

(c) Antihistamin

Efek terapetik dari sebagian besar antihistamin generasi lama

dihubungkan dengan efek sedasi pada sistem saraf pusat (SSP) dan efek

antimuskarinik termasuk xerostomia (Gwaltney et al., 1996). Antihistamin

non-sedasi, sebagian besar merupakan antagonis histamin reseptor H1

seperti acrivastine, astemizole, cetirizine, ebastine, fexofenadine,

loratadine, mizolastine, dan terfenadine, bagaimanapun - tidak seluruhnya

bebas dari efek samping obat, namun angka kejadian xerostomia lebih

rendah (Mattila dan Paakkari, 1999).

(d) Antagonis reseptor muskarinik yang digunakan untuk terapi

overactive bladder

Overactive bladder (OAB)— kondisi kronik yang menyusahkan ditandai

dengan gejala urgensi (tidak bisa menahan dorongan buang air kecil) dan

frekuensi (urinasi lebih dari 8 kali sehari), dengan atau tanpa

inkontinensia urin urgensi (urin tiba tiba keluar dengan tidak disengaja) —

diterapi dengan antagonis reseptor muskarinik, yang dapat memicu

Page 8: Jurnal Gimul Translate

masalah xerostomia. Xerostomia adalah efek samping yang paling umum

terlihat pada penggunaan oxybutynin immediate-release (Hay-Smith et

al., 2002), tetapi proporsi pasien yang mempunyai xerostomia berat atau

sedang atau xerostomia lainnya secara signifikan lebih rendah pada

pasien yang mengkonsumsi controlled-release oxybutynin dibandingkan

dengan pasien yang mengkonsumsi immediate-release oxybutynin (Versi

et al., 2000). Tolterodine, kompetitif antagonis reseptor muskarinik

mengakibatkan xerostomia. (Jacquetin dan Wyndaele, 2001; Layton et al.,

2001), meskipun sedikit pasien (<2%) mengalami xerostomia berat

(Zinner et al., 2002), pada 23% kasus, insidensi xerostomia lebih rendah

pada pasien yang mengkonsumsi kapsul tolterodine extended release 1

kali sehari dibandingkan pasien yang mengkonsumsi tablet immediate-

release 2 kali sehari (Clemett dan Jarvis, 2001). Hydrochloride propiverine,

obat antimuskarinik yang efektif dan aman yang sama efektifnya dengan

oxybutynin, mempunyai insidensi dan derajat xerostomia yang lebih

rendah. (Noguchi et al., 1998; Madersbacher et al., 1999).

(e) Antagonis reseptor alfa yang digunakan untuk terapi

overactive bladder

Tamsulosin, antagonis adrenoreseptor selektif alfa A1 secara signifikan

menghasilkan insidensi xerostomia yang lebih rendah dibandingkan

terazosin, antagonis alfa yang kurang selektif (Lee dan Lee, 1997).

(f) Diuretik

Dalam sebuah penelitian pada pasien usia lanjut, agen diuretik dan

psikotropika adalah pengobatan yang paling umum dan paling sering

menyebabkan xerostomia, dan berpotensi mengurangi rata-rata laju

aliran saliva (Persson et al., 1991). Thiazides dapat menyebabkan

xerostomia (McCarron, 1984), tetapi tampak sedikit penelitian yang

menunjukkan hubungan antara penggunaan diuretik dan xerostomia.

Secara subjektif, xerostomia 10 kali lebih sering dialami setelah

mengkonsumsi furosemide dibandingkan plasebo. (Atkinson et al., 1989).

Page 9: Jurnal Gimul Translate

(g) Antihipertensi

Ganglion blockers dan beta-blockers tertentu (antagonis

betaadrenoceptor) yang menyebabkan xerostomia (Nederfors, 1996)

dipikirkan berhubungan dengan aktivasi SSP dan reseptor adrenergik

alfa2 kelenjar saliva. Banyak obat-obatan antihipertensi atau simpatolitik

(reserpine, methyldopa, dan clonidine) yang sekarang jarang digunakan

karena banyak menyebabakan efek samping obat yaitu xerostomia.

Antihipertensi generasi baru yang mempunyai target aksi di central,

dengan efek agonis selektif pada reseptor-brainstem imidazoline I1 di

ventromedulla rostral (RVLM), tampak memodulasi aktivitas simpatik dan

tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran saliva:

Moxonidine dan rilmenidine adalah contoh dari antihipertensi

generasi baru tersebut. Moxonidine lebih sering dapat menyebabkan

xerostomia dibandingkan plasebo (Dickstein et al., 2000) tetapi hanya

pada minoritas (< 10%), dan insidensinya secara signifikan lebih rendah

dibandingkan antihipertensi generasi lama (Schachter, 1999). Rilmenidine

jarang menyebabkan xerostomia (Reid, 2001). ACE inhibitors, yang

mengeblok enzim ACE dalam sistem reninangiotensin- aldosterone,

menyebabkan xerostomia pada sekitar 13% pasien (Mangrella et al.,

1998).

(h) Penekan Nafsu Makan

Beberapa penekan nafsu makan dapat menyebabkan xerostomia,

termasuk sibutramine (Richter, 1999; Bray, 2001), fenfluramine dengan

phentermine (Weintraub et al., 1992), Ma Huang herbal dan suplemen

kacang Kola (mengandung alkaloid efedrin/kafein) juga menyebabkan

xerostomia (Boozer et al., 2002).

(i) Dekongestan dan "cold cures"

Dekongestan seperti pseudoefedrin (Wellington dan Jarvis, 2001) dan

loratadine dengan pseudoefedrin sulfat dapat menyebabkan xerostomia

(Kaiser et al., 1998).

Page 10: Jurnal Gimul Translate

(j) Bronchodilators

Obat-obatan anti asma dapat dihubungkan dengan xerostomia (Thomson

et al., 2002). Efek samping yang paling sering dilaporkan setelah

penggunaan bronkhodilator tiotropium adalah xerostomia (Casaburi et al.,

2000).

(k) Relaksan otot skelet

Tizanidine, agonis adrenoseptor yang digunakan untuk meringankan

spastisitas, dapat dihubungkan dengan xerostomia (Taricco et al., 2000).

(l) Obat-obatan antimigrain

Rizatriptan, agonis serotonin yang digunakan untuk terapi migrain dapat

menginduksi xerostomia (Winner et al., 2002).

(m) Opioid, benzodiazepine, hypnotics, dan drugs of abuse

Opioid diketahui sebagai penyebab xerostomia (Bruera et al., 1999),

atropine, hyoscine, dan atropinik telah lama digunakan untuk untuk

mengurangi sekresi pre-operatif. Xerostomia adalah satu-satunya efek

samping yang signifikan dari scopolamine transdermal (hyoscine) (Gordon

et al., 2001). Morfin (Bruera et al., 1999; Zacny, 2001), dihidrokodeine

(Freye et al., 2001), dan Tramadol (Scott dan Perry, 2000) dapat

menyebabkan xerostomia. Benzodiazepin (seperti diazepam) (Conti dan

Pinder, 1979; Elie dan Lamontagne, 1984) dan zopiclone, sebuah

cyclopyrrolone yang secara kimia tidak berhubungan dengan

benzodiazepine (Wadworth dan McTavish, 1993), dapat menyebabkan

xerostomia. Ganja (Consroe et al., 1986; Grotenhermen, 1999) dan ekstasi

('XTC' or 'E': 3,4 methylenedioxy-methamphetamine; MDMA) (Peroutka et

al., 1988; Milosevic et al., 1999) juga dapat menyebabkan xerostomia.

(n) Antagonis reseptor H2 dan Inhibitor pompa proton

Antagonis reseptor H2 menyebabkan xerostomia pada 41% pengguna

obat tesebut (Teare et al., 1995; Kaviani et al., 2001).

Page 11: Jurnal Gimul Translate

(o) Obat-obatan sitotoksik

Xerostomia dapat menjadi konsekuensi dari paparan agen yang

digunakan untuk kemoterapi neoplasma maligna, seperti retionol

(Goodman et al., 1983), atau 5-fluorouracil (McCarthy et al., 1998), tetapi

hal tersebut tidak tetap (Laine et al., 1992), dan tidak terdapat cukup data

dalam area tersebut.

(p) Retinoid

Retionoid sistemik seperti etretinate (Wishart et al., 1981), asam retinoid-

cis 13 (Hennes et al., 1984), dan isotretinoin (Oikarinen et al., 1995) dapat

menyebabkan xerostomia.

(q) Obat-obatan Anti-HIV

Didanosine (Dodd et al., 1992; Valentine et al., 1992) dan inhibitor

protease HIV (Greenwood et al., 1998) dapat menyebabkan xerostomia.

(r) Cytokines

Terapi alfa interferon untuk terapi infeksi hepatitis kronik C (Cotler et al.,

2000) dapat menyebabkan xerostomia yang signifikan. Penggunaan

Interleukin-2 (rIL-2), sebagai contoh, untuk mengontrol karsinoma

nasofaring, juga dapat mengganggu salivasi. (Chi et al., 2001), selain itu

disfungsi kelenjar saliva mayor telah dijelaskan pada pasien dengan

keganasan hematologi yang diberi imunoterapi interleukin-2 setelah

transplantasi stem sel autolog (Nagler, 1998).

(2) Obat terkait pembesaran kelenjar saliva

Beberapa obat telah dikaitkan dengan pembesaran kelenjar saliva (Tabel

2). Painless, biasanya bilateral, pembesaran kelenjar saliva (menyerupai

sialosis) dapat menjadi efek samping yang kadang-kadang muncul dari

phenylbutazone (Cohen dan Banks, 1966; Murray-Bruce, 1966; Chimenes,

1971; Herman et al., 1974; Kaufman et al., 1977), oxyphenbutazone

Page 12: Jurnal Gimul Translate

(Bosch et al., 1985), atau chlorhexidine (Rushton, 1977). Sialadenitis

bilateral diamati pada satu pasien dewasa yang mengikuti terapi

naproxen (Knulst et al., 1995) dipikirkan sebagai alergi, sejak pasien

tersebut juga menderita cutaneous rash. Mekanisme yang sama telah

diusulkan untuk mendasari pembesaran kelenjar saliva yang disebabkan

oleh media kontras radiologi intravena (Gattoni et al., 1991; Ilia et al.,

1991). Clozapine, agen anti psikotik baru, dapat menyebabkan

pembengkakan kelenjar saliva sementara (Vasile dan Steingard, 1995)

serta sialorrhea (lihat bawah).

TABEL 2

Obat terkait Nyeri atau Pembesaran Kelenjar Saliva

Betanidine

Bretylium

Cimetidine

Clonidine

Clozapine

Deoksisiklin

Famotidine

Guanetidin

e

Insulin

Interferon

Isoprenalin

Metildopa

Naproxen

Nicardipine

Nifedipine

Nitrofurantin

Oksifenobutazon

Fenilbutazon

Fenitoin

Ranitidine

Ritodrine

Trimepramine

(3) Obat terkait nyeri kelenjar saliva

Antihipertensi, agen anti-tiroid, chlorhexidine, sitotoksik, agen blocking

ganglion, iodida, fenotiazine dan sulfonamide dapat menyebabkan nyeri

kelenjar saliva, serta merupakan obat yang menyebabkan xerostomia

(Glass, 1989). Nyeri kelenjar saliva jarang dikaitkan dengan terapi

guanetidine atau guanacline (Parker, 1975) dan dapat menjadi efek

samping dari beberapa obat lainnya (Tabel 2).

(4) Obat terkait Hipersalivasi

Antikolinesterase adalah penyebab utama hipersalivasi (Tabel 3).

Clozapine, obat antipsikotik atipikal diklaim mempunyai effikasi superior

dan menyebabkan lebih sedikit efek samping motorik dibandingkan

antipsikotik tipikal untuk orang-orang dengan pengobatan skizofrenia

resisten, dan dapat menyebabkan hipersalivasi (Wahlbeck et al., 2000).

Page 13: Jurnal Gimul Translate

Ini dapat diperbaiki dengan pemberian eye-drop atropin (Comley et al.,

2000).

TABEL 3

Obat terkait Hipersalivasi

Alprazolam

Amiodaron

e

Buprenorfin

Busipirone

Clonazepa

m

Diazoxide

Etionamid

Gentamisin

Guanetidin

Haloperidol

Imipenem/cilastatin

Iodida

Kanamisin

Ketamin

Lamotrigine

L-dopa

Asam

mefenamat

Merkuri

Nicardipine

Niridazole

Pentoxifylline

Remoxipride

Risperidone

Rivastigmine

Tacrine

Tobramisin

Triptorelin

Venlafaxine

Zaleplon

(5) Diskolorisasi Saliva

Diskolorisasi saliva (saliva merah atau oranye) maupun cairan tubuh

lainnya dapat dilihat pada pasien dengan terapi clofazimin, levodopa,

rifampisin, dan rifabutin (British National Formulary, 2002) (Tabel 4).

Obat terkait Kelainan Pengecapan

Obat yang menginduksi kelainan pengecapan ditelaah secara rinci di

tempat lain (Griffin, 1992; Henkin, 1994), tetapi ditinjau dan diperbaharui

kembali di sini (Tabel 5). Obat-obatan secara umum mengganggu

pengecapan. Obat-obatan dapat menyebabkan hilangnya ketajaman

pengecapan (hipogeusi), distortion pengecapan (disgeusi), atau hilangnya

indra pengecapan (ageusi), meskipun jarang (Ackerman dan Kasbekar,

1997). Obat-obatan bertindak baik dengan interferensi dengan komposisi

kimia atau laju saliva, atau dengan mempengaruhi fungsi reseptor

pengecapan atau transduksi sinyal (Femiano et al., 2003). ACE inhibitor,

Page 14: Jurnal Gimul Translate

anti-tiroid, antibiotik beta-lactam, biguanide, chlorhexidine, opium, dan

protease inhibitor adalah obatan-obatan yang terlibat. Hingga 4% pasien

yang diterapi dengan ACE inhibitor mengalami disgeusi, meskipun efek

samping tersebut self-limited dan reversible dalam beberapa bulan,

bahkan jika terapi dilanjutkan (Henkin, 1994). Terapi terbaru – seperti

anti-HIV protease inhibitor (Scully dan Diz, 2001), terapi dengan

tripotassium dicitrato bismuthate chelate, clarithromycin, dan terapi

lansoprazole untuk infeksi H. Pylori (Scott, 1998), terbinafine (Stricker et

al., 1996), pentamidin intravena (Glover et al., 1995), dan isotretinoin

(Halpern et al., 1996) – dapat menyebabkan hilangnya pengecapan

ataupun perubahan rasa. Terdapat bukti terdahulu bahwa asam lipoat alfa

dapat meningkatkan disgeusi, setidaknya dalam kasus idiopatik (Femiano

et al., 2002), tetapi kondisi paling baik ditingkatkan dengan mengurangi

penggunaan obat yang terkait.

Obat Yang berhubungan dengan Gangguan Mucosa

(1) Ulkus Oral

Memiliki banyak etiologi, dari luka lepuh sampai berbagai jenis gangguan vesikobulosa,

dapat berakibat pada ulkus oral. Banyak laporan ulkus pada mulut akibat obat dilaporkan oleh

non-spesialis, dan karena itu deskripsi mereka untuk lesi aphtous-like atau hal yang

mendekati spesifik sering dipertanyakan, berakibat pada kesukaran dalam menentukan

penyebab dan efek secara akurat.

(a)Obat yang berhubungan dengan lepuh oral

Deskuamasi oral atau ulkus dapat mengikuti lesi lepuh karena pengunyahan yang tak

disengaja dari agen penyebab seperti misalnya lime (Schier et al., 2002), dari aplikasi lokal

aspirin atau terapi sakit gigi, tablet potasium, suplemen pankreas, serta agen lain seperti asam

trichloracetic atau hidrogen peroxida atau dari berbagai penggunaan produk kesehatan oral

(Kuttan et al., 2001). Sodium lauryl sulfat, yang ada pada beberapa produk kesehatan oral,

khususnya pasta gigi, dapat berakibat pada iritasi oral atau ulserasi (Herlofson dan Barkvoll,

1994; Scully et al., 1999; Kuttan et al., 2001). Aplikasi kokain dapat berakibat pada lesi

similar (Parry et al., 1996).

Page 15: Jurnal Gimul Translate

(b) Obat yang berhubungan dengan ulkus seperti aphtous

Sodium lauryl sulfat dapat menjadi faktor predisposisi untuk ulkus yang mirip dengan ulkus

aftosa (Herlofson dan Barkvoll, 1994). Ada juga laporan ulkus mirip aftosa yang muncul

karena penggunaan beta blocker seperti labetalol (Pradalier et al., 1982), alendronate

(Gonzallez-Moles dan Badgan-Sebastian, 2000), captopril (Seedat, 1979; Nicholls et al.,

1981; Corone et al., 1987; Montoner et al., 1990), nicorandil (Boulinguez et al., 1997;

Reichart, 1997; Agbo-Godeau et al., 1998; Cribier et al., 1998; Desruelles et al., 1998;

Roussel et al., 1998; Marquart-Elbaz et al., 1999; Shotts et al., 1999), beberapa obat anti

inflamasi non steroid (NSAID) (Siegel dan Balciunas, 1991; Healy dan Thornhill, 1995),

mycophenolate atau sirolimus (van Gelder et al., 2003), protease inhibitors (Scully dan Diz,

2001), tacrolimus (Hernandez et al., 2001), dan sulfonamide, walaupun mekanisme patologis

yang pasti pada obat-obat ini masih belum jelas.

Sebuah penelitian case-control telah mengkonfirmasi tentang hubungan ulkus oral

dengan NSAID dan beta blocker (Boulinguez et al., 2000) (Gambar 2)

TABEL 4

Obat yang berhubungan dengan diskolorasi saliva

Clofazimine L-dopa Rifabutin Rifampin

(c) Fixed drug eruptions

Fixed drug eruptions (stomatitis kontak atau stomatitis venenata) terdiri dari ulkus yang

berulang pada satu tempat yang sama karena respon obat tertentu dan dapat diakibatkan

karena obat anestesi, antibiotik, antiseptik, barbiturat, chewing gum, kosmetik, material

dental, pasta gigi, mouthwash, phenatecin, sulphonamide, atau tetrasiklin. Lesi mungkin

terlokalisasi di mulut atau dapat dihubungkan dengan lesi pada lokasi mukokutan yang lain

dan bermanifestasi sebagai ulkus, bulla, patch eritematosus, atau erosi superfisial. Awalnya,

lesinya soliter, tapi dengan ekposur obat yang berulang, lesinya dapat menjadi multipel.

Berbagai obat dapat menyebabkan fixed drug eruption, khususnya parasetamol, barbiturat,

phenacetin, derivat pyrazolone, sulphonamide, dan tetrasiklin (Abdollahi dan Radfar, 2003),

seperti juga agen lain seperti cinnamon (Miller et al.,1992).

TABEL 5

Obat yang berhubungan dengan Gangguan Pengecapan

Page 16: Jurnal Gimul Translate

Acarbose Cholestyramine Hyoscyamine Perindopril

Acetazolamide Choline magnesium

trisalicylate

Imipenem Phenformin

Alcohol Cilazapril Indometacin Phenindione

Allopurinol Cisplatin Interferon gamma Phenylbutazone

Amiloride Clarithromycin Iodine Phenytoin

Amitryptiline Clidinium Isotretinoin Procaine penicillin

Amphetamines Clofibrate L-dopa Propafenone

Amphotericin Clomipramine Levamisole Propantheline

Amrinone Cocaine Levodopa Propranolol

Aspirin Diazoxide Lincomycin Propylthiouracil

Atorvastatin Dicyclomine Lisinopril Quinapril

Auranofin Diltiazem Lithium Ramipril

Aurothiomalate Dipyridamole Lomefloxacin Rifabutin

Azathioprine EDTA Losartan Rivastigmine

Azelastine Enalapril Lovastatin Selegiline

Aztreonam Ethambutol Methimazole Sodium lauryl

sulphate

Baclofen Ethionamide Methotrexate Spironolactone

Biguanides Etidronate Methyl methacrylate Sulfasalazine

Bleomycin Flunisolide Methylthiouracil Terbinafine

Bretylium Fluoxetine Metronidazole Tetracycline

Calcitonin Flurazepam Nifedipine Thiamazole

Captopril 5-fluorouracil Niridazole Tocainide

Carbamazepine Fluvoxamine Nitroglycerin Topiramate

Carbimazole Glycopyrrolate Ofloxacin Trandolapril

Carboplatin Griseofulvin Omeprazole Triazolam

Ceftirizine Hexetidine Penicillamine Venlafaxine

Cephamandole Hydrochlorothiazide Pentamidine Zopiclone

Chlormezanone Hydrocortisone Pergolide

Page 17: Jurnal Gimul Translate

Gambar 2. Ulkus terinduksi NSAID

(d) Obat yang berhubungan dengan mucositis

Obat sitotoksik sering dihubungkan dengan mucositis dan ulserasi, yang meningkat secara

konsisten dengan banyak regimen kemoterapi (tabel 6), khususnya yang menggunakan

methotrexate, 5-fluorouracil, doxorubicine, melphelan, mercaptopurine, atau bleomisin

(Femiano et al., 2003). Pada beberapa keadaan, reaksi tersebut dapat menjadi semakin berat

bila obat dihentikan (Bell et al., 2001). Ulserasi yang luas meningkat dimulai dari permulaan

terapi, rasa sakit yang berhubungan kadang membutuhkan terapi opioid dan/atau penggantian

atau penghentian dari kemoterapi. Ulserasi dapat menjadi pintu masuk dari infeksi dan karena

itu potensial menjadi septikemia. Obat-obatan seperti phenylbutazone dapat menjadi

penyebab agranulositosis yang juga memicu ulkus oral (Gambar 3).

Agen imunosupresive juga dapat menyebabkan ulserasi. Ulkus pada individu

imunocompromise iatrogenik mungkin etiologi penyebabnya karena herpesvirus, atau

kadang-kadang agen infektif lainnya (Greenberg et al., 1987; Schubert et al., 1993). Infeksi

oportunistik sekunder karena kemoterapi sitotoksik dapat menyebabkan ulserasi oral.

Biasanya, herpes simpleks virus 1, varicella zoster, dan cytomegalovirus meningkatkan

ulserasi oral, dan lebih jarang ulserasi terjadi karena infeksi bakteri gram negatif

(pseudomonas, klebsiella, Escherichia coli, enterobacter, atau proteus) atau bakteri eksogen

Page 18: Jurnal Gimul Translate

seperti tuberculosis (Toren et al., 1996), atau karena jamur seperti mucormycosis (Femiano et

al., 2003) atau kadang candidiasis (lihat bawah)

TABEL 6

Obat yang berhubungan dengan Ulkus Oral

Alendronate Emepromiu

m

Molgramostim Phenytoin

Allopurinol Flunisolide Naproxen Potassium chloride

Aurothiomalate Gold Nicorandil Proguanil

Aztreonam Indometacin NSAIDs Sertraline

Captopril Interferons Olanzapine Sulindac

Carbamazepine Interleukin-2 Pancreatin Vancomycin

Clarithromycin Isoprenaline Penicillamine

Diclofenac Ketorolac Phenindione

Dideoxycytidine Losartan Phenylbutazone

Gambar 3. Ulkus terinduksi Phenylbutazone

Page 19: Jurnal Gimul Translate

(e) Obat yang berhubungan dengan neoplasma dan lesi potensial maligna

Ada peningkatan prevalensi displasia dan lesi bibir maligna pada resipien transplantasi renal

yang terimunosupresi (King et al., 1995) dan resipien transplant hati (Haagsma et al., 2001).

Leukoplakia oral berkembang dengan cepat menjadi squamous cell carcinoma telah

dilaporkan pada pasien imunosupresan tanpa adanya lesi prekursor yang tercatat (Varga dan

Tyldesley, 1991).

Penyakit post transplant limfoproliferatif (Raut et al., 2000), non-Hodkin atau MALT

lymphoma (Hsi et al., 2000), biasanya bermanifestasi pada ulserasi gingiva, fauces atau

palatum (Bilinska-Pietraszek et al., 2001; Mandel et al., 2001), atau lebih jarang, Sarkoma

kaposi (Meyers et al., 1976; Qunibi et al., 1988) dapat menjadi komplikasi dari terapi

imunosupresif jangka panjang, dan bahkan sudah ada laporan resolusi dari keganasan saat

imunosupresan telah dikurangi (Keogh et al., 2002)

(f) Obat yang berhubungan dengan reaksi seperti pemfigoid dan gangguan bullosa yang

lain

Sedikitnya ada 30 obat yang dapat meningkatkan kondisi yang menyerupai bulla atau

pemfigoid membran mukosa (Vassileva, 1998) (Tabel 7). Obat-obat ini merupakan bagian

dari berbagai variasi farmakologikal (thiol dan non-thiol) dan grup target terapi, termasuk

ACE-inhibitors, furosemide, NSAIDs, penicillamine, psoralens, sulphonamida, agen

kardioaktif, antibiotik yang mengandung penisilin. Mukosa oral sering terpengaruh oleh obat

yang menginduksi pemfigus, khususnya penyakit akibat penicillamine, dan dapat hanya

mempengaruhi permukaan mukosa, walaupun pasien juga sering mempunyai lesi kutan.

(Troy et al., 1981; Shuttleworth et al., 1985; Velthuis et al., 1985; Gall et al., 1986;

Rasmussen et al., 1989). Selain lesi mukosa oral yang frekuensinya tinggi, gambaran

pembeda secara klinis lainnya dari obat yang berhubungan dengan pemfigoid hanya umur

pasien yang lebih muda dibandingkan dengan pemfigus idiopatik (autoimun), dan resolusi

dari penyakit karena penghentian dari agen penyebab.

Obat pencetus pemfigoid kemungkinan dikarenakan thiol yang menginduksi

kerusakan epitel lokal, obat berperan sebagai hapten atau pencetus disgungsi imunologis.

Pasien yang dipengaruhi dapat mempunyai antibodi yang beredar terhadap antigen yang sama

dengan pemfigus idiopatik, oleh karena itu pembuatan diagnosis penyakit akibat obat sangat

bergantung pada riwayat penggunaan obat yang pernah tercatat.

Penyakit linear IgA (LAD) bisa jadi akibat obat, dan pasien yang terkena mempunyai

antibodi IgA pada bullous-pemphigoid-associater antigen 1 (BPAG atau BP1) atau pada

Page 20: Jurnal Gimul Translate

antigen lain (Palmer et al., 2001). LAD biasanya diinduksi oleh vancomisin (Kuechle et al.,

1994), tapi obat-obatan lain seperti angiotensin converting enzyme inhibitor juga mungkin

berpengaruh (Femiano et al., 2003).

TABEL 7

Obat yang berhubungan dengan Reaksi Mirip Pemfigoid

Amoxicillin Ibuprofen Penicillin v Salicylic acid

Azapropazone Isoniazid Penicillamine Sulphasalazine

Clonidine Mefenamic acid Phenacetin Sulphonamides

Furosemide Nadolol Practolol

(g) Obat yang berhubungan dengan pemfigus

Obat yang berhubungan dengan pemfigus biasanya jarang (Brenner et al., 1997). Dahulu,

obat yang mempunyai kemampuan menginduksi pemfigus dibagi menjadi dua golongan

berdasarkan struktur kimianya -- obat yang mengandung sulfhydryl radical (thiol atau SH)

dan non-thiol atau obat lainnya yang sering mempunyai grup amida aktif di molekulnya

(Wolf dan Brenner, 1994).

Pemfigus vulgaris kadang dapat dihubungkan dengan obat yang mempunyai grup

thiol aktif di molekulnya (Scully dan Challacombe, 2002). Obat-obatan yang terlibat

termasuk peniccilamine (Wolf et al., 1991; Laskaris dan Satriano, 1993; Shapiro et al., 2000),

phenol drugs (Goldberg et al., 1999), rifampicin (Gange et al., 1976), diclofenac (Matz et al.,

1997), dan lebih jarang captopril (Korman et al., 1991), ACE inhibitor yang lain (Kaplan et

al., 1992; Ong et al., 2000) dan obat lainnya (tabel 8).

Ciri klinis pemfigus karena obat meniru pemfigus vulgaris atau foliaceus, dan

individu yang terkena dapat mempunyai variasi tingkatan dari antibodi terhadap komponen

epitel dan antigen yang dicurigai (seperti desmoglein 1 dan 3) (Kuechle et al., 1994). Selain

kerusakan epitelial yang disebabkan oleh antibodi ini, beberapa obat yang terlibat adalah thiol

(Wolf dan Ruocco, 1997) yang mungkin menginduksi penurunan kadar lokal plasminogen

activator inhibitor, yang mengakibatkan peningkatan aktivasi plasminogen dan kerusakan

epithelial (Lombardi et al., 1993). Thiols seperti penicillamine juga dapat ikut campur dalam

rantai cysteine membran sel, yang potensial berakibat pada pembentukan antibodi dan

kerusakan epitel (Wolf et al., 1991).

Page 21: Jurnal Gimul Translate

Peran diet dalam etiologi penyebab pemfigus direview di banyak tempat (Brenner et

al., 1998; Tur dan Brenner, 1998), tetapi bawang putih secara khusus dapat menyebabkan

kasus pemfigus yang jarang (Laskaris dan Nicolis, 1980; Korman et al., 1991; Ruocco et al.,

1996).

(h) Obat yang berhubungan dengan eritema multiforme

Banyak obat -terutama barbiturat, cephalosporin, NSAID, estrogen, phenotiazine,

progesteron, protease inhibitor, sulfonamide, derivat sulphonylurea, dan tetrasiklin- dapat

memberi reaksi terjadinya eritema multiforme (Tabel 9), dan secara klinis tidak mungkin

untuk membedakan eritema multiforme akibat obat dengan penyakit akibat sebab lain

(Roujeau, 1997; Ayangco dan Rogers, 2003). Perbedaan eritema multiforme berat dengan

toxic epidermal nekrolisis sangat tidak jelas.

Lesi eritema multiforme khas mempengaruhi mukosa oral, bibir, dan konjungtiva

bulbi. Ruptur bulla awal mengakibatkan pseudomembran hemoragik pada bibir dan ulkus

oral superfisial yang luas. Permukaan mukokutan yang lain yang jarang terpengaruh yaitu

mukosa nasofaring, respirasi dan genital.

(i) Obat yang berhubungan dengan toxic epidermal necrolisis

Toxic epidermal necrolisis (TEN; Lyell syndrome) secara klinis dikarakterisasikan sebagai

epidermolisis mukokutan ekstensif yang didahului oleh eksantem dan enantem makula atau

makulopapular (Lyell, 1979; Rasmussen et al., 1989). Pada intra oral, ada rasa panas yang

luas dan ulserasi pada seluruh permukaan mukosa. Toxic epidermolisis mungkin

dihubungkan dengan penggunaan antimikroba (sulfonamide, thiacetazone), analgesik

(phenazone), anti epilepsi, alopurinol, chlormezanone, rifampisin, fluconazole, dan

vancomisin (Ayangco dan Rogers, 2003).

Tabel 8

Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Mirip Pemfigus

Ampicillin Cephalexin Oxyphenbutazone Probenecid

Arsenic Diclofenac Penicillamine Procaine penicillin

Benzylpenicillin Emas Phenobarbital Rifampicin

Captopril Interferon-beta Phenylbutazone

Page 22: Jurnal Gimul Translate

Cephadroxil Interleukin-2 Piroxicam

Tabel 9

Obat yang Berhubungan dengan Eritema Multiforme (dan Sindrom Steven-Johnson

dan Nekrolisis Epidermal Toksik)

Acetylsalicylic acid Digitalis Mesterolone Streptomycin

Allopurinol Diltiazem Minoxidil Sulindac

Amlodipine Ethambutol Nifedipine Sulphasalazine

Arsenic Ethyl alcohol Omeprazole Tenoxicam

Atropine Fluconazole Oxyphenbutazone Tetracyclines

Busulphan Fluorouracil derivat penicillin Theophylline

Carbamazepine Furosemide Phenolphthalein Tocainide

Chloral hydrate Emas Phenylbutazone Tolbutamide

Chloramphenicol Griseofulvin Phenytoin Trimethadione

Chlorpropamide Hydantoin Piroxicam Vancomycin

Clindamycin Hydrochlorothiazide Progesterone Verapamil

Codeine Indapamide Pyrazolone derivatives Zidovudine

Co-trimoxazole Quinine Rifampicin

Diclofenac Meclofenamic acid Retinol

Diflunisal Mercury Vaksin MMR

(j) Obat yang Berhubungan dengan Kelainan Mirip Lupus

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat dipicu oleh berbagai kelompok obat yang

berbeda. Bahkan, lebih dari 70 agen telah terlibat sebagai penyebab lupus yang dipicu oleh

obat (Rich, 1996) (tabel 10). Agen yang paling sering terlibat dalam SLE yang dipicu oleh

obat adalah procainamide dan hydralazine, sedangkan obat-obatan yang biasanya kurang

umum berhubungan dengan penyakit ini antara lain chlorpromazine, isoniazid, methyldopa,

penicillamine, dan quinine, serta seluruh grup obat antikonvulsan, beta-blockers ,

sulphonamides, dan lain-lain (Price dan Venables, 1995).

Patogenesis yang mungkin dari SLE yang berhubungan dengan obat akan dikaji

secara terperinci di tempat lain, tetapi patogenesis tersebut harus memiliki dasar

imunogenetik, dan pasien yang terkena memiliki beberapa tampilan imunologikal dari SLE

klasik (Burlingame dan Rubin , 1996).

Page 23: Jurnal Gimul Translate

Tabel 10

Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Lupoid

Ethosuximide Isoniazid Phenytoin Sulphonamides

Emas Methyldopa Phenothiazines Tetracyclines

Griseofulvin Para-aminosalicylate Procainamide

Hydralazine Penicillin Streptomycin

(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN LESI PUTIH

(a) Luka Lepuh

(Lihat di atas)

(b) Erupsi Likenoid

Sejak munculnya terapi anti malaria, telah terjadi suatu daftar yang semakin meningkat dari

spektrum obat yang dapat meningkatkan kejadian munculnya erupsi mirip lichen planus

mukokutan (reaksi lichenoid) (McCartan dan McCreary, 1997 ; Scully et al ,1998). Akan

tetapi, banyak laporan kasus tunggal dari berbagai asosiasi, dan banyak obat yang terlibat

dalam reaksi likenoid kutan belum terbukti berhubungan dengan lesi oral.

Kemungkinan hubungan obat dengan reaksi lichenoid tercatat ketika quinacrine dan

mepacrine digunakan sebagai anti malaria selama Perang dunia II, ternyata menyebabkan lesi

lichenoid. Selain obat-obatan, emas mungkin diakui sebagai agen paling umum dalam

memulai reaksi lichenoid. (Penneys et al, 1974.). Garam emas dapat menyebabkan berbagai

lesi mukokutan (Hakala et al., 1986) dimana lesi lichenoid oral dapat menjadi yang pertama

kali muncul (Brown et al, 1993;. Laeijendecker dan van Joost,1994).

Obat-obatan saat ini paling sering terlibat dalam reaksi lichenoid adalah obat anti

inflamasi non steroid dan inhibitor angiotensin-converting enzyme (Potts et al, 1987.; Firth

dan Reade, 1989, Robertson dan Wray, 1992; Van Dis dan Taman, 1995). Reaksi lichenoid

juga dapat muncul akibat penggunaan inhibitor HIV protease(Scully dan Diz, 2001), agen

anti hipertensi, anti malaria, fenotiazin, sulfonamid, tetrasiklin, diuretik thiazide, dan banyak

lainnya (Tabel 11) (Dinsdale dan Walker, 1966; Roberts dan Marks, 1981; Chau et al, 1984;.

Hogan et al, 1985; Colvard et al, 1986; Markitziu et al,. 1986;. Torrelo et al, 1990), tetapi

daftar obat yang terlibat memanjang tiap minggunya , dan menariknya, termasuk beberapa

agen yang juga telah digunakan dalam terapi lichen planus, terutama dapson (Downham,

1978), levamisol (Kirby et al., 1980), tetrasiklin (Mahboob dan Haroon, 1998), dan interferon

Page 24: Jurnal Gimul Translate

(lihat di bawah). Kadang-kadang, ada reaksi lichenoid pada pemakaian obat ganda/multipel.

(Wiesenfeld et al., 1982).

Tabel 11

Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Lichenoid

ACE inhibitors Dapsone Mepacrine Piroxicam

Allopurinol Dipyridamole Merkuri (amalgam) Practolol

Amiphenazole Ethionamide Metformin Prazosin

Antimalarials Flunarizine Methyldopa Procainamide

Barbiturates Gaunoclor Metronidazole Propranolol

Vaksin BCG Emas Niridazole Propylthiouracil

Captopril Griseofulvin NSAIDs Protease inhibitors

Carbamazepine Vaksin Hepatitis B Kontrasepsi oral Prothionamide

Carbimazole Hydroxychloroquine Oxprenolol Quinidine

Chloral hydrate Interferon-alpha Para-aminosalicylate Quinine

Chloroquine Ketoconazole Penicillamine Rifampicin

Chlorpropamide Labetalol Penicillins Streptomycin

Cholera vaccine Levamisole Phenindione Sulphonamides

Cinnarizine Lincomycin Phenothiazines Tetracycline

Clofibrate Lithium Phenylbutazone Tocainide

Colchicine Lorazepam Phenytoin Tolbutamide

Triprolidine

Beberapa pertanyaan masih muncul berkaitan dengan obat-obat yang menjadi agen

penyebab reaksi ini. Contohnya, Mengapa bisa obat yang sama menimbulkan manifestasi

klinik yang berbeda? Bagaimana bisa struktur kimia yang cukup berbeda bisa menimbulkan

efek samping berupa manifestasi klinik yang serupa? dan Bagaimana beberapa obat dengan

famili yang sama (seperti anti malaria) , dapat menimbulkan reaksi lichenoid dan pada waktu

yang sama dapat digunakan pula dalam pengobatan lichen planus oral? (Eisen,1993).

Mekanisme patogenesis oleh obat-obat yang mungkin menyebabkan penyakit mirip

LP tidak diketahui. Beberapa agen yang terlibat (contohnya penicillamine,captopril,dan

garam emas thionalate) adalah thiol-like dan oleh sebab itu, juga terlibat dalam penyakit

mirip pemphigus (lihat bawah). Akan tetapi, pada LP, dapat melibatkan mekanisme

Page 25: Jurnal Gimul Translate

imunologik yang cukup berbeda. Ini seperti sindrom Grinspan yang muncul akibat kelainan

yang ditimbulkan oleh obat (Lamey et al , 1990), dan terapi obat mungkin kadang-kadang

tercatat dalam pengulangan kejadian LP dengan lupus eritematosus atau penyakit bullous-like

(Flageul et al., 1986). Identifikasi klinik dari reaksi lichenoid akibat obat secara garis besar

didasarkan pada kriteria subyektif : kadang ada beberapa tendensi unilateral (Lamey et al.,

1995a) dan erosif pada lesi oral (Potts et al., 1987), tetapi gambaran ini tidak bermakna.

Histologi mungkin membantu; lesi lichenoid barangkali memiliki infiltrat limfositik yang

lebih difus dan mengandung eosinofil serta sel plasma , dan mungkin ada colloid bodies yang

lebih banyak dibandingkan LP klasik, namun tidak ada gambaran spesifik (Van der Haute et

al., 1989), dan imunostaining biasanya tidak berkontribusi, meski antibodi sitoplasma sel

basal mungkin dapat ditemukan (Lamey et al., 1995b), tetapi hal ini belum dikonfirmasi

(Ingafou et al.,1997) dan tentu munculnya antibodi tersebut kurang handal dibandingkan

reaksi obat pada kutan (van Joost, 1974; McQueen dan Behan, 1982; Gibson et al., 1986).

Cara yang paling terpercaya untuk mendiagnosis reaksi lichenoid adalah jika reaksi

tersebut hilang dengan drug withdrawal dan kembali ketika meminum obat tersebut, tetapi

seringkali cara ini tidak dapat dilakukan oleh karena adanya kebutuhan akan jaminan

keselamatan pasien (patient safety).

Material pada restorasi gigi mungkin dapat berhubungan dengan lesi lichenoid.

Kebanyakan pasien dengan OLP tidak memiliki hubungan yang nyata dengan material pada

restorasi gigi (Hietanen et al., 1987). Bagaimanapun, kontak dengan atau kedekatan dengan

restorasi yang menyangkut amalgam atau bahan lainnya menyebabkan beberapa reaksi

lichenoid yaitu lesi itulah yang secara klinikal dan histologikal mirip dengan LP, tetapi

memiliki etiologi yang dapat teridentifikasi (Lind et al., 1986; Bolewska et al., 1990). Reaksi

ini agaknya dikarenakan reaksi alergi atau toksik kepada senyawa yang dilepaskan atau

dihasilkan, fenomena Koebner, atau bisa saja karena akumulasi plak pada permukaan

restorasi (Holmstrup, 1991).

Beberapa lesi oral ini mungkin meningkat setelah penggantian amalgam oleh bahan

lain (Finne et al., 1982; Jolly et al., 1986; Lind et al., 1986; Bolewska et al., 1990; Jameson et

al., 1990; Skoglund dan Egelrud, 1991; Laine et al., 1992; Bircher et al., 1993; Ostman et al.,

1994; Henriksson et al., 1995; Smart et al., 1995; Bratel et al., 1996; Ibbotson et al., 1996),

meski hal ini sering bukan dalam kasus lesi gingival (Henriksson et al., 1995).

Reaksi signifikan garam merkuri pada tes kulit mungkin dapat terlihat pada beberapa

pasien dengan OLP (Finne et al., 1982 ; Eversole dan Ringer, 1984; James et al., 1987;

Ostman et al., 1994), meski ada pula yang tidak menemukannya (Hietanen et al., 1984).

Page 26: Jurnal Gimul Translate

Finne et al.(1982) mendemonstrasikan sensitivitas merkuri dengan tes patch pada 62% dari

29 pasien dengan OLP dan hanya 3,2% pada grup kontrol, dan pada beberapa pasien mereka

lesi oralnya menghilang dengan pelepasan amalgam (Finne et al., 1982). Reaksi dari merkuri

klorida telah dilaporkan (Skoglund dan Egelrud,1991; Smart et al., 1995). Penemuan ini telah

didukung, dan pada studi terkini dari Skoglund dan pekerjanya (Ostman et al., 1994), tes

patch positif melawan merkuri ditemukan pada 39,6% dari 48 pasien. Dari yang memiliki tes

patch positif untuk merkuri, 94,7% memperlihatkan penurunan lesi setelah pelepasan

amalgam , sedangkan 82,6% yang tidak memiliki reaksi terhadap merkuri pada tes patch juga

memperlihatkan penurunan lesi setelah pelepasan amalgam. Tes patch epikutan bernilai

prognostik rendah (Ostman et al., 1994; Ibbotson et al., 1996). Lesi mukosa oral dari karakter

lichenoid mungkin tidak berhubungan dengan alergi merkuri, tetapi berhubungan dengan

pengaruh mekanik atau galvanis; suatu panggilan interpretasi untuk tes patch intra oral (Axéll

et al., 1986).

Mungkin kadang-kadang juga ada reaksi terhadap restorasi emas (Conklin dan

Blasberg, 1987), meski ini belum substansial. Ada juga sebuah laporan dari OLP yang

diakibatkan oleh restorasi kobalt (Torresani et al., 1994).

Restorasi komposit juga telah terlibat pada reaksi lichenoid oral (Lind dan Hurlen,

1988), dan penggantian seluruh amalgam sebagai terapi mungkin tidak selalu diperlukan.

(c) Reaksi lupoid

(lihat atas)

(d) Candidosis

Candidosis pseudomembran muncul pada terapi kali kedua dengan antibiotik spektrum luas

(Scully et al., 1994), kortikosteroid (sediaan sistemik maupun inhalan),dan resimen

imunosupresif lain (contohnya cyclosporin) dan terapi sitotoksik (tabel 12). Lebih jarang

terjadi, mucormycosis dan aspergillosus dapat menyebabkan area mirip thrush atau lesi

lainnya pada pasien dengan terapi imunosupresif jangka panjang (Dreizen et al., 1992;

Scully, 1992; Seymour et al., 1997).

Tabel 12

Obat yang berhubungan dengan kandidosis oral

Antimikroba spektrum luas Kortikosteroid

Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia Immunosupresan

Page 27: Jurnal Gimul Translate

(e) Papillomas

Infeksi human papilomavirus bermanifestasi mirip dengan pertumbuhan kutil yang dapat

muncul pada pasien dengan terapi imunosupresif jangka panjang (Schubert, 1991).

(f) Hairy Leukoplakia

Hairy leukoplakia oral, biasanya merusak perbatasan dorsal dan lateral dari lidah dan dasar

mulut, dapat menjadi akibat dari infeksi virus epstein-barr, berhubungan dengan terapi

kortikosteroid (topikal dan sistemik), cyclosporin,atau regimen imunosupresif jangka panjang

yang lain (Triantos et al., 1997)

(g) Leukoplakia

Pemakaian tembakau dan alkohol adalah faktor resiko penting untuk leukoplakia (Pindborg et

al., 1980; Sciubba, 1995) dan displasia epitelial oral (Jaber et al., 1998). Peningkatan

frekuensi lesi dengan displasia epitel di bibir (bukan mukosa oral) sudah terlihat di beberapa

pasien meski tidak di semua pasien imunosupresi iatrogenik (King et al., 1995;Seymour et

al., 1997).

Sanguinarine, alkaloid penting pada tumbuhan bloodroot (Sanguinaria canadensis),

yang digunakan pada beberapa obat kumur dan pasta gigi untuk aktivitas anti plak , dapat

berhubungan dengan perkembangan leukoplakia oral (Damm et al., 1999; Allen et al., 2001;

Mascarenhas et al., 2001,2002).

Obat yang berhubungan dengan Pigmentasi Mukosa

(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN DISKOLORISASI SUPERFICIAL

SEMENTARA

Diskolorisasi superfisial sementara pada lidah bagian dorsal dan jaringan lunak lain

serta gigi dapat muncul dalam berbagai warna, biasanya kuning atau coklat, dan dapat

dikarenakan beberapa makanan dan minuman (seperti kopi dan teh), beberapa kebiasaan

(seperti merokok,pemakaian kokain, sirih) (Mirbod dan Ahing, 2000), dan beberapa obat

(seperti garam besi, bismut, chlorhexidine, atau antibiotik), terutama jika obat tersebut juga

menimbulkan xerostomia (seperti agen psikotropika) ( Ramadan, 1969; Suzuki et al., 1983;

Oguwande, 1989; Heymann, 2000) (Tabel 13). Ketika diskolorisasi terlihat nyata pada lidah

bagian posterior dorsal, dan papila filiformis memanjang berlebihan dan terdapat noda coklat

gelap atau hitam, istilah 'black hairy tongue' dipakai, tetapi istilah ini kurang umum

dibanding diskolorisasi superficial lainnya.

Page 28: Jurnal Gimul Translate

Pernah dilaporkan stomatitis yang muncul setelah penggunaan proton pump inhibitor

(PPIs) seperti lansoprazole dengan amoxicillin (Hatlebakk et al., 1995), dan diskolorisasi

lidah atau glossitis sudah pernah tercatat setelah penggunaan lansoprazole dengan antibiotik

seperti clarithromycin dengan atau tanpa amoxicillin (Greco et al., 1997) atau hanya dengan

penggunaan lansoprazole sendiri (Scully dan Diz, 2001).

(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PIGMENTASI INTRINSIK

Area lokal pada pigmentasi mukosa dapat disebabkan oleh amalgam, sementara pigmentasi

gingiva dapat muncul secara sekunder karena mahkota yang mengandung paduan logam atau

emas (Kedici et al, 1995). Sebelumnya, garam logam berat dilaporkan menyebabkan

pigmentasi, khususnya tepi gingiva. (Tabel 13, 14)

Pigmentasi mukosa yang berwarna biru, biru keabuan, atau kecoklatan dapat

disebabkan oleh efek samping antimalaria, phenotiazine, dan phenytoin (Giansanti et al,

1971; Watson dan MacDonald, 1974; Manor et al, 1981; McAllan dan Adkins, 1986).

Amiodarone dapat menyebabkan pigmentasi keabuan pada orofasial dan mukosa oral

(Bucknall et al, 1986).

Minocycline telah dilaporkan dapat menyebabkan penyebaran luas pigmentasi biru,

biru keabuan, atau kecoklatan pada gingiva dan mukosa secara bertahap. Sementara sebagian

besar pigmentasi dapat menghasilkan perubahan warna terutama pada tulang dan akar gigi,

ada pula pigmentasi yang juga terjadi pada mukosa oral, termasuk lidah (Meyerson et al,

1995; Westbury dan Najera, 1997).

Kontrasepsi oral dapat, walaupun jarang, menyebabkan pigmentasi melanotik (Hertz

et al, 1980), demikian juga cyclophosphamide, busulphan, dan ACTH (Scully dan Porter,

1997). Pada penyakit HIV, obat yang memicu pigmentasi melanotik dapat meningkat seiring

terapi dengan clofazimine zidovudine dan/atau ketoconazole, dengan variasi pigmentasi

berbentuk sebaran atau seperti makular (Ficarra skk, 1990; Porter et al, 1990).

Tabel 13

Obat yang berhubungan dengan pigmentasi mukosa mulut

ACTH Chlorhexidine Besi Phenothiazines

Amodiaquine Chloroquine Lead Quinacrine

Antikonvulsan Clofazimine Manganese Quinidine

Arsenik Tembaga Mepacrine Perak

Betel Cyclophosphamide Methyldopa Thallium

Page 29: Jurnal Gimul Translate

Bismuth Doxorubicin Minocycline Timah

Bromine Emas Kontrasepsi oral Vanadium

Busulphan Heroin Phenolphtalein Zidovudine

Tabel 14

Obat yang berhubungan dengan pigmentasi mukosa mulut; pada warna yang berbeda

Biru Coklat

(hipermelanosis)

Hitam Abu-abu Hijau

Amiodarone Aminophenazone Amiodiaquine Amiodiaquine Tembaga

Antimalaria Betel nut Betel nut Chloroquine

Bismuth Bismuth Bismuth Fluoxetine

Mepacrine Busulphan Methyldopa Hydroxychloroquinine

Minocycline Clofazimine Minocycline Lead

Phenazopyridine Kontrasepsi Perak

Quinidine Cyclophosphamide Timah/Zinc

Perak Diethylstilbestrol

Sulphasalazine Doxorubicin

Fluorouracil

Heroin

Terapi pengganti

hormon

Ketoconazole

Menthol

Methaqualone

Minocycline

Phenolphtalein

Propranolol

Merokok

Zidovudine

Sarkoma Kaposi pada mulut merupakan komplikasi immunosupressan yang jarang

terjadi, bermanifestasi sebagai makula, papul, nodul, atau daerah ulkus yang berwarna biru,

Page 30: Jurnal Gimul Translate

merah atau ungu, khas pada palatum atau gingiva, tetapi dapat mempengaruhi daerah mukosa

oral lain (lihat atas).

Obat yang berhubungan dengan pembengkakan

(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBESARAN GINGIVA

Pembesaran gingiva dapat dideskripsikan sebagai efek samping terapi obat pada oral

(Marshall dan Bartold, 1998) (Tabel 15). Obat yang sering menyebabkan pembesaran gingiva

adalah phenytoin (Seymour dan Jacobs, 1992), ciclosporin (Seymour dan Jacobs, 1992a), dan

calcium-channel-blocker nifedipine (Fattore et al, 1991), diltiazem ( Bowman skk, 1988),

verapamil ( Pernu skk, 1989), dan amlodipine (Ellis et al, 1993). Pasien yang menerima terapi

dengan ciclosporin dan calsium channel blocker (post kardiak atau alograf ginjal resipien)

mungkin beberapa kali, tetapi tidak selalu, cenderung memiliki kemungkinan besar terkena

pembesaran gingiva karena pengaruh obat.

Secara umum, pembesaran gingiva timbul dalam hitungan bulan sejak permulaan

terapi obat, namun hanya sebagian yang berhubungan dengan higienitas oral yang buruk dan

akumulasi plak, serta respon tergantung pada pengendalian plak dan/atau penghentian dan

pengurangan terapi obat (Cebeci et al, 1996; Thomason et al, 1996; Jackson dan Babich,

1997).

Jarang sekali sarkoma Karposi (Qunibi et al, 1988) atau karsinoma sel skuamosa

(Varga dan Tyldesley, 1991) muncul pada daerah pembesaran gingiva karena ciclosporin.

Obat lain yang kadang dilaporkan dapat menyebabkan pembesaran gingiva meliputi

eritromisin (Valsecchi dan Cainelli, 1992), sodium valproate (Syrjanen dan Syrjanen, 1979),

phenobarbitone (Gregoriou et al, 1996) dan vigabatrin (Katz et al, 1997), tetapi semua ini

telah dilaporkan secara terpisah.

Tabel 15

Obat yang berhubungan dengan pembengkakan gusi

Obat yang paling sering

terlibat

Obat yang kadang-kadang terlibat

Amlodipine Co-trimoxazole Nitrendipine

Ciclosporin Erythromycin Norethisterone

Diltiazem Diphenaxylate + mestranol

Felodipine Ethosuximide Phenpbarbitone

Page 31: Jurnal Gimul Translate

Lacidipine Interferon-alpha Primidone

Nifedipine Ketoconazole Sertraline

Kontrasepsi oral Lamotrigine Topiramate

Phenytoin Lithium Valproate

Verapamil Mephenytoin Vigabatrin

(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBENGKAKAN MUKOSA DAN

BIBIR

Obat yang memicu pembengkakan mukosa terutama mempengaruhi bibir dan lidah

(walaupun jarang terjadi pembengkakan uvula yang terpisah [Quinke's disease] dapat terjadi

[Mattingly et al, 1993]), khas disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Aspek

hipersensitivitas dental dan oral telah ditinjau pada bagian lain (Rees dan Gibson, 1997),

tetapi beberapa obat-khususnya penicillin, agen anestesi lokal, turunan cephalosporin,

angiotensin-converting enzyme inhibitors, aspirin, dan barbiturates-dapat meningkatkan

angio-edema (Tabel 16). Hipersensitivitas terhadap latex merupakan masalah yang terus

meningkat pada pemeliharaan kesehatan oral dan dapat menyebabkan angio-edema dengan

onset cepat pada pasien yang rentan.

Tabel 16

Obat yang berhubungan dengan angio-edema

ACE inhibitor Clonidine Indometacin Turunan penicillin

Asparaginase Co-trimoxazole Ketoconazole Turunan pyrazolone

Aspirin Disulphite sodium Mianserin Quinine

Captopril Droperidol Miconazole Streptomycin

Carbamazepine Enalapril Naproxen Sulphonamides

Cephalosporins Epoetin alpha Nitrofurantoin Thiouracil

Clindamycin Ibuprofen Penicillamine

Pembengkakan non-alergik pada oral juga dapat muncul sebagai respon terhadap

terapi ACE inhibitor. Efek samping ini terjadi pada 0,1-0,7 % khas muncul pada minggu

awal terapi, walaupun dapat terjadi dalam beberapa jam sejak permulaan terapi, atau setelah

terapi jangka panjang. Pembengkakan biasanya mengenai bibir, walaupun dapat terlokalisir

pada lidah, dan terkadang fatal. African-Americans memiliki resiko tertentu (Ulmer dan

Page 32: Jurnal Gimul Translate

Garvey, 1992; Gabb et al, 1996; Sabroe dan Black, 1997; Lapostolle et al, 1998; Vleeming et

al, 1998). Pembengkakan jaringan yang berkaitan dengan terapi ACE inhibitor dapat

disebabkan oleh peningkatan level bradikinin dan/atau level atau fungsi dari C1 esterase

inhibitor yang berubah (Ebo dan Stevens, 1997; Seymour et al, 1997).

Plasmasitosis akibat pasta gigi pengendali tartar dapat menimbulkan pembesaran

lokal pada gingiva, lidah, dan mukosa oral lain. Secara histopatologis, gangguan ini

digambarkan dengan infiltrat plasmasitik poliklonal pada lamina propria atas dan jarang

mempengaruhi permukaan mukosa lain, seperti laring dan permukaan anogenital (White et al,

1986; Timms et al, 1988).

Obat yang berhubungan dengan Cheilitis

Pada umumnya cheilitis disebabkan oleh reaksi kontak terhadap kosmetik atau makanan,

tetapi obat juga dapat terlibat, khususnya agen sitotoksik, phenothiazine, protease inhibitor,

psoralens, dan retinoid (Scully et al, 2000) (Tabel 17).

Tabel 17

Obat yang berhubungan dengan cheilitis

Aktinomisin Cyancobalamin Isotretinoin Streptomisin

Atorvastatin Ethyl alcohol Lithium Sulphasalazine

Busulphan Etretinate Menthol Tetracycline

Busulphan Emas Methyldopa Vitamin A

Clofazimine Indinavir Penicillamine

Clomipramine Isoniazid Selegiline

Obat yang berhubungan dengan neuropati

(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NEUROPATI TRIGEMINAL

Parestesi, hipestesi, atau anestesi trigeminal dapat muncul akibat penggunaan interferon alfa

(Read et al, 1995), acetazolamide, labetalol, sulthiame, vincristine (McCarthy dan Skillings,

1992), mefloquine (Watt-Smith et al, 2001), dan terkadang, dengan agen lain-paling sering

saat ini vaksinasi hepatitis B (Maillefert et al, 1997) dan beberapa protease inhibitor (Scully

Page 33: Jurnal Gimul Translate

dan Diz, 2001) (Tabel 18). Anestesi lokal seperti articaine dan procaine dapat menunjukkan

derajat kecil neurotoksiksitas (Haas dan Lennon, 1995).

Tabel 18

Obat yang berhubungan dengan parestesia atau hipestesia trigeminal

Acetazolamide Interferon alpha Nitrofurantoin Streptomisin

Amitryptiline Isoniazid Pentamidine Sulphonylureas

Articaine Labelatol Phenytoin Sulthiame

Chlorpropamide Mefloquine Prilocaine Tolbutamide

Colistin Methysergide Propofol Tricyclics

Ergotamine Monoamine oxidase

inhibitors

Propanolol Trilostane

Analog

Gonadotropin-

releasing hormone

Asam nalidixic Prothionamide Vincristine

Hydralazine Asam nikotonik Stilbamidine Streptomisin

(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN GERAKAN MUKA YANG TIDAK

DISADARI

Butyrophenone, phenothiazine, tricyclic antidepressant, dan obat lain terkadang dapat

menghasilkan beberapa gerakan berbeda pada mulut dan wajah yang dipicu oleh obat tersebut

(Jimenez-jimenez et al, 1997), khususnya tardive dyskinesia sekunder karena antipsikotik

(Hansen et al, 1997; Driederich dan Goetz, 1998) dan distonia karena metoclopramide (Tabel

19). Walaupun kelainan ini pada intinya mempengaruhi wajah, ada pula gerakan abnormal

yang terbatas pada lidah-contohnya, distonia sekunder karena terapi carbamazepine.

Tabel 19

Obat yang berhubungan dengan gerakan muka yang tidak disadari

Carbamazepine Methyldopa Phenytoin

L-dopa Metoclopramide Tetrabenazine

Lithium Metirosine Trifluoroperazine

(3) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NYERI OROFASIAL DAN

DISESTESIA ORAL

Page 34: Jurnal Gimul Translate

Beberapa obat, terutama vinca alkaloid seperti vincristine, dapat menyebabkan nyeri

orofasial (Tabel 20) (McCarthy dan Skillings, 1991, 1992). Enalapril (Guasti et al, 1998) dan

terkadang ACE inhibitor lain, seperti captopril dan lisinopril, dapat menyebabkan, walaupun

jarang, sensasi pada mulut seperti tersiram air panas (Vlasses et al, 1982; Savino dan

Haushalter, 1992). Nyeri orofasial juga dapat menjadi akibat obat pemicu tardive diskinesia

namun jarang terjadi.

Tabel 20

Obat yang berhubungan dengan nyeri orofasial

Benztropine Lithium Stilbamidine

Biperidine Penicillins Ticarcilin

Griseofulvin Phenothiazines Vitamin A

Obat yang berhubungan dengan halitosis

Bau mulut dapat dikaitkan dengan obat yang menyebabkan xerostomia, yang secara

tidak langsung dapat menyebabkan atau memperparah masalah ini, tetapi obat lain seperti

isosorbide dinitrate, dimethyl sulphoxide, atau disulfiram, juga dapat bertanggungjawab

langsung atas terjadinya bau mulut (Tabel 21)

Tabel 21

Obat yang berhubungan dengan halitosis

Dimethyl sulphoxide

(DMSO)

Disulfiram Isorbide dinitrate

Obat yang berhubungan dengan perubahan warna gigi

Chlorhexidine, fluoride, iron, dan kebiasaan seperti merokok dan pengunaan betel

telah tercatat dengan jelas sebagai penyebab perubahan warna pada gigi superfisial, tetapi

beberapa obat lain seperti antibiotik dan minyak tertentu juga dapat menjadi penyebab.

Perubahan warna intrinsik tampak menonjol saat tetrasiklin diberikan pada anak di bawah 12

tahun, tetapi obat lain, terutama ACE inhibitor, juga dapat menghasilkan perubahan pada

warna gigi (tabel 22).

Tabel 22

Page 35: Jurnal Gimul Translate

Obat yang berhubungan dengan perubahan warna gigi

Enalapril Pentamidine Ramipril

Etidronate Perindopril Terbinafine

Fosinopril Propafenone Trandolopril

Lisinopril Quinapril Zopiclone

Kesimpulan

Obat dalam spektrum yang luas dapat meningkatkan sejumlah manifestasi merugikan

pada orofasial. Reaksi yang paing sering terjadi adalah mulut kering, gangguan pengecapan,

dan pembengkakan gingiva. Obat yang memicu ulserasi mukosa oral juga sering terjadi,

terutama pada kemoterapi kanker. Selain itu, ada banyak reaksi lain yang terkadang terjadi.

Ada beberapa penelitian randomisasi double-blind terkontrol yang relevan dalam

bagian ini, dan data yang tersedia hanya berasal dari laporan kasus, small series, dan laporan

non-peer-reviewed dari reaksi obat yang merugikan.

Klinisi harus berhati-hati dalam menanyakan riwayat obat dan selalu mengeksklusi

obat yang menyebabkan tanda dan gejala pada oral dan peri-oral.