Jurnal Gimul Translate
-
Upload
prananingrum-dwi-oktarina -
Category
Documents
-
view
234 -
download
7
description
Transcript of Jurnal Gimul Translate
EFEK SAMPING OBAT PADA REGIO OROFASIAL
Oleh : C. Scully dan J.V. Bagan
Abstrak: Berbagai obat kadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping pada
orofasial, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa oral, dan/atau
pembengkakan gingiva. Ada sedikit relevansi studi randomisasi double-blind terkontrol pada
kasus ini, oleh karena itu paper ini mereview data dari laporan kasus, small series, dan
laporan non-peer-reviewed dari efek samping obat pada regio orofasial (available di
MEDLINE pada April, 2003). Efek samping orofasial dari terapi obat yang lebih umum dan
signifikan didiskusikan.
Kata kunci: oral, obat, efek samping, saliva, mukosa, ulkus, pengecapan
Pendahuluan
Berbagai obat terkadang dapat menimbulkan banyak kejadian efek samping yang
bermanifestasi pada oral, khususnya mulut kering, gangguan pengecapan, ulserasi mukosa
oral, dan/atau pembengkakan. Hasil review dari 200 obat yang paling sering diresepkan (di
USA tahun 1992) menunjukkan bahwa reaksi efek samping obat (ESO) di regio oral yang
paling sering adalah mulut kering (80,5%), disgeusia (47,5%), dan stomatitis (33,9%) (Smith
dan Burtner, 1994). Bagaimanapun, beberapa studi randomisasi double-blind terkontrol telah
dilakukan, dan oleh karena itu kejadian yang paling sering pada saat ini adakah pada tingkat
yang rendah, didasarkan hanya pada laporan kasus, small series, atau laporan non-peer-
reviewed dari efek samping obat.
Paper ini mereview literatur yang berdasar pada MEDLINE bulan April, 2003, serta
menyoroti efek samping terbanyak dan bermakna dari pemakaian obat pada regio oral.
Apabila relevan, review ini menyediakan sumber-sumber dari laporan lain yang sesuai. Hal
tersebut tidak termasuk detail pada efek samping dari peralatan makan, tembakau, alkohol,
atau obat rekreasi, atau efek samping dari obat pada gigi.
Obat yang Berkaitan dengan Kelainan dari Kelenjar Ludah
(1) OBAT YANG BERKAITAN DENGAN XEROSTOMIA
Mulut kering memiliki beberapa variasi kemungkinan penyebab (Scully, 2003) (Tabel 1).
Kebiasaan yang umum seperti merokok tembakau, penggunaan alkohol (termasuk dalam
pencuci mulut), dan konsumsi minuman yang mengandung kafein (kopi, beberapa minuman
ringan) dapat menyebabkan mulut kering. Obat adalah penyebab paling umum dari
penurunan saliva (Tabel 1, gambar1) (Scully, 2003). Obat yang paling sering dikaitkan di
antaranya: antagonis alfa reseptor untuk pengobatan retensi urin; amfetamin; antikolinergik;
antidepresan (agonis serotonin, atau noradrenalin, dan/atau serotonin re-uptake bockers);
antihistamin; agen antihipertensi; agen antimigrain; antipsikotik seperti fenotiazin; penekan
nafsu makan; atropin; benzodiazepin; hipnosis; opioid; dan penyalahgunaan obat;
bronkodilator; sitokin; dekongestan dan ‘obat demam’; diuretik; histamin H2 antagonis; dan
inhibitor pompa proto; antagonis reseptor muskarinik untuk pengobatan overactive bladder;
opiates; inhibitor protease; radioiodine; retinoid; dan relaksan otot skelet (Scully, 2003)
Ada mekanisme multipel dari obat sehingga dapat menyebabkan xerostomia (Madinier
et al., 1997). Walaupun banyak obat dapat menyebabkan kejadian kekeringan mulut (Di
Giovanni,1990; Sreebny and Schwartz, 1997; Wynn and Meiller, 2001;Scully, 2003), efek
yang paling besar disebabkan oleh radio-iodine (Mandel and Mandel, 2003).
Mulut kering merupakan kejadian yang paling banyak dikeluhkan pasien yang
mendapatkan terapi hipertensi, psikiatri, atau problem urin (Streckfus,1995) dan pada orang
tua (Vissink et al., 1992; Loesche et al., 1995), terutama sebagai akibat dari pemakaian obat
dalam jumlah yang banyak (Fox, 1998; Närhi et al., 1999) dan polifarmasi (Loesche et
al.,1995; Nederfors, 1996; Fox, 1998). Sebagai contoh, 63% dari pasien rawat inap dan 57%
dari pasien yang keluar mengeluhkan mulut kering, dan dari seluruh pasien, penggunaan obat
psikiatri merupakan penyebab utama (Pajukoski et al., 2001).
Usia dan pengobatan memperlihatkan peran yang penting terhadap seseorang dengan
kejadian hiposalivasi, sedangkan jenis kelamin wanita dan faktor psikologis merupakan
faktor yang penting pada individu dengan kejadian mulut kering (Bergdahl and Bergdahl,
2000).
Obat hipnotik juga banyak digunakan orang tua, dan sebagian besar pengguna
mengalami ESO, terutama mulut kering (30%) (Wishart et.al., 1981; Busto et al., 2001). Pada
orang tua yang menggunakan obat tanpa resep- yang paling sering, , dimenhydrinate (21%),
acetaminophen(paracetamol) (19%), diphenhydramine (15%), alcohol(13%), and herbal
products (11%)—ESO ringan yang dilaporkan sebanyak 75%, keluhan yang paling banyak
adalah mulut kering (Sproule et al., 1999).
Pada survei skala besar dari 3311 kuesioner yang terevaluasi, 21,3% pria dan 27,3%
wanita dilaporkan mengalami mulut kering, secara statistik wanita memiliki prevalensi mulut
kering lebih besar daripada pria (Nederfors, 1996). Mulut kering secara signifikan berkaitan
dengan usia, dan menimbulkan komorbiditas yang kuat antara prevalensi mulut kering dan
terapi yang sedang berkembang yang dilaporkan. Kecepatan aliran air liur yang tidak
distimulasi lebih rendah pada wanita atau yang menggunakan antidepresan, dan lebih tinggi
pada perokok atau orang yang menggunakan obat hipolipidemik (Thomson et al.,2000). Hal
tersebut jelas bahwa pengobatan adalah prediktor yang lebih baik dari risiko mulut kering
daripada usia atau jenis kelamin (Field et al., 2001).
TABEL 1
Obat yang berkaitan dengan Xerostomia
Meskipun pada pasien usia tua dengan kanker stadium lanjut, mulut kering adalah
gejala keempat paling sering (78% dari pasien), tetapi penyebab paling sering dari mulut
kering adalah akibat pengobatan, dan beberapa berhubungan dengan jumlah obat yang
diresepkan (Davies et al., 2001). Tapi tidak bisa dibilang bahwa suatu penyakit dapat selalu
dieksklusikan sebagai penyebab terjadinya mulut kering, contohnya sekresi saliva lebih
dipengaruhi oleh obat xerogenik dan disfungsi saraf otonom pada pasien NIDDM daripada
pasien dengan diabetes tak terkontrol (Meurman et al., 1998).
Gambar 1. Obat yang berkaitan dengan xerostomia
Selebihnya, penyebab dari mengapa obat diminum juga penting. Contohnya, pasien
dengan kecemasan dan depresi dapat mengeluh mulut kering bahkan tanpa terapi obat atau
pengurangan aliran saliva. Hal itu penting untuk diketahui bahwa pasien yang mengeluh
mulut kering yang dikarenakan obat tidak memiliki bukti mengenai pengurangan aliran saliva
atau kelainan dari saliva dan mungkin ada penyebab psikogenik yang mendasari keluhan
tersebut.
Ada beberapa jumlah mekanisme yang berbeda dari obat yang berkaitan dengan
mulut kering, tetapi yang banyak mendasari adalah antikolinergik : M3 reseptor muskarinik
(M3R) menghubungkan neurotransmitter parasimpatik kolinergik ke glandula salivarius (dan
lakrimalis), tetapi reseptor-reseptor lain juga turut berkaitan (Kawaguchi and Yamagishi,
1995).
(a) Antidepresan
Pengobatan Antidepresan terdahulu seperti antidepressant tricyclic (TCAs)
sayangnya juga menghambat histamin, kolinergik, dan reseptor alfa-
adrenergik, sehingga menyebabkan efek samping seperti mulut kering.
Pria dan wanita mungkin memiliki perbedaan respon farmakokinetik
terhadap pengobatan antidepresan tricyclic, pada beberapa indikasi
otonom, dan pada beberapa respon adrenergic receptor-mediated.
Kejadian yang muncul juga merujuk pada wanita, relatif pada pria,
memiliki kecepatan sintesis serotonin otak yang lebih lambat dan
sensitifitas yang lebih besar terhadap efek depresan berupa deplesi
triptifan. (Pomara et al., 2001). Dengan demikian, ultrarapid metabolizer
phenotype dari cytochrome P4502D6 (Laine et al., 2001) mungkin menjadi
penyebab dari tidak adanya respon dari pengobatan antidepresan, dan
peresepan berkelanjutan dari antidepresan dosis tinggi pada beberapa
pasien menyebabkan peningkatan terjadinya kejadian efek samping obat;
walaupun begitu normalisasi status metabolik dari ultrarapid metabolizers
dengan penghambatan aktivitas sitokrom, seperti paroxetine, dapat
memberikan solusi. (Laine et al., 2001).
Antidepresan dengan generasi yang lebih baru mengutamakan
sertotonin (5- hydroxytryptamine: 5HT) agonis, atau penghambatan re-
uptake dari noradrenalin (norepinephrine) dan/atau serotonin. Beberapa
produk dari generasi antidepresan yang lebih baru – termasuk selective
serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) dan multiple-receptor
antidepressants (seperti venlafaxine, mirtazapine, bupropion, trazodone,
and nefazodone)- menarget satu atau lebih dari reseptor spesifik di otak,
pada banyak kasus mengaktivasi reseptor-reseptor yang tidak diinginkan
seperti histamin dan asetilkolin (Feighner, 1999; Feighner and Overo,
1999). SSRI menghasilkan perubahan yang tidak signifikan dalam salivasi
(Hunter and Wilson, 1995), tetapi mulut kering tetap mungkin terlihat
(contohnya fluoxetine) (Ellingrod and Perry, 1994; Shrivastava et al.,
1994; Hunter and Wilson, 1995; Davis and Faulds, 1996; Boyd et al., 1997;
Ravindran et al., 1997; Trindade et al., 1998). Walaupun begitu, beberapa
SSRI, seperti paroxetine, memperlihatkan hasil dengan mulut kering yang
lebih rendah daripada yang terlihat pada TCA (Ravindran et al., 1997).
Citalopram, SSRI yang paling selektif, ditoleransi dengan baik (Feighner
dan Overo,1999) Venlafaxine, penghambat re-uptake campuran, mungkin
menyebabkan mulut kering (Gelenberg et al., 2000). Insiden dari ESO
pada pemakai venlaxine XR sama dengan pasien yang melakukan
pengobatan dengan SSRI yang telah dikembangkan dengan baik
(Wellington and Perry, 2001). Duloxetine hidroklorida, penghambat re-
uptake rangkap serotonin dan norepinefrin, juga dapat menyebabkan
mulut kering (Detke et al., 2002), seperti contohnya mianserin, sebuah 2A
agonis post-synaptic serotonin utama (Dolberg et al., 2002). Nefazodone,
yang memiliki efek penghambat selektif re-uptake serotonin sedang dan
antagosis 5-HT2 langsung, dapat menyebabkan mulut kering pada 19%
lawan 13% pada placebo (Lader,1996). Reboxetine, penghambat selektif
re-uptake norepinefrin (selektif NRI), dalam menyebabkan mulut kering
lebih rendah daripada TCA, meskipun obat tersebut lebih sering
menyebabkan mulut kering daripada placebo (36% lawan 16%)
(Schatzberg, 2000; Versiani et.al., 2002). Mirtazapine, sebuah
noradrenergik dan specific serotonergik antidepresan (NaSSA), dapat
menyebabkan mulut kering (Anttila dan Leinonen, 2001).
Bupropion hidroklorida, yang murni dikembangkan sebagai sebuah
antidepresan, adalah selective re-uptake inhibitor dari dopamine dan
norepinefrin yang diketemukan dapat menurunkan gejala putus obat
nikotin dan keinginan untuk merokok, tetapi umumnya menyebabkan
mulut kering (Zwar dan Richmond, 2002). Mulut kering secara positif
berkaitan dengan konsentrasi rata-rata bupoprion metabolit, dan
hubungan yang berkebalikan dengan berat badan pasien (Johnston et.al.,
2001).
(b) Antipsikotik
Pengobatan jangka panjang dari skizofrenia dengan antipsikotik
konvensional fenotiazin seperti fluphenazine yang paling sering
berhubungan dengan mulut kering (Adams dan Eisenbruch, 2000).
Bagaimanapun, obat antipsikotik yang baru dikembangkan dengan
aktivitas antagonistic selektif pada reseptor dopamin (D2) dan lebih poten
mungkin tidak dapat dihubungkan dengan lebih rendahnya angka
kejadian mulut kering. Olanzepine adalah sebuah obat antipsikotik atipikal
yang menyebabkan mulut kering (Duggan et.al., 2000). Korelasi yang
signifikan telah diketemukan pada affinitas in vitro dari antipsikotik
terhadap dopamin atau sistem reseptor neuronal lainnya dan ESO:
sebagai contoh, antara nilai K(i) untuk reseptor Dopamin D(1), alfa (1)-
adenoreseptor dan histamin H(1) reseptor, dan kejadian mulut kering
(Sekine et.al., 1999). Antipsikotik atipikal lainnya- termasuk tiapride
(Roger et.al., 1998), litium (Christtodoulou et.al., 1977; Chacko et.al.,
1987; Friedlander dan Birch, 1990; Tohen et.al., 2002) pipamperon
dihidroklorida (Potgieter et.al., 2002), quetiapine dan risperidon
(Srisurapanont et.al., 2000; Mullen et.al., 2001)- dapat menyebabkan
mulut kering.
(c) Antihistamin
Efek terapetik dari sebagian besar antihistamin generasi lama
dihubungkan dengan efek sedasi pada sistem saraf pusat (SSP) dan efek
antimuskarinik termasuk xerostomia (Gwaltney et al., 1996). Antihistamin
non-sedasi, sebagian besar merupakan antagonis histamin reseptor H1
seperti acrivastine, astemizole, cetirizine, ebastine, fexofenadine,
loratadine, mizolastine, dan terfenadine, bagaimanapun - tidak seluruhnya
bebas dari efek samping obat, namun angka kejadian xerostomia lebih
rendah (Mattila dan Paakkari, 1999).
(d) Antagonis reseptor muskarinik yang digunakan untuk terapi
overactive bladder
Overactive bladder (OAB)— kondisi kronik yang menyusahkan ditandai
dengan gejala urgensi (tidak bisa menahan dorongan buang air kecil) dan
frekuensi (urinasi lebih dari 8 kali sehari), dengan atau tanpa
inkontinensia urin urgensi (urin tiba tiba keluar dengan tidak disengaja) —
diterapi dengan antagonis reseptor muskarinik, yang dapat memicu
masalah xerostomia. Xerostomia adalah efek samping yang paling umum
terlihat pada penggunaan oxybutynin immediate-release (Hay-Smith et
al., 2002), tetapi proporsi pasien yang mempunyai xerostomia berat atau
sedang atau xerostomia lainnya secara signifikan lebih rendah pada
pasien yang mengkonsumsi controlled-release oxybutynin dibandingkan
dengan pasien yang mengkonsumsi immediate-release oxybutynin (Versi
et al., 2000). Tolterodine, kompetitif antagonis reseptor muskarinik
mengakibatkan xerostomia. (Jacquetin dan Wyndaele, 2001; Layton et al.,
2001), meskipun sedikit pasien (<2%) mengalami xerostomia berat
(Zinner et al., 2002), pada 23% kasus, insidensi xerostomia lebih rendah
pada pasien yang mengkonsumsi kapsul tolterodine extended release 1
kali sehari dibandingkan pasien yang mengkonsumsi tablet immediate-
release 2 kali sehari (Clemett dan Jarvis, 2001). Hydrochloride propiverine,
obat antimuskarinik yang efektif dan aman yang sama efektifnya dengan
oxybutynin, mempunyai insidensi dan derajat xerostomia yang lebih
rendah. (Noguchi et al., 1998; Madersbacher et al., 1999).
(e) Antagonis reseptor alfa yang digunakan untuk terapi
overactive bladder
Tamsulosin, antagonis adrenoreseptor selektif alfa A1 secara signifikan
menghasilkan insidensi xerostomia yang lebih rendah dibandingkan
terazosin, antagonis alfa yang kurang selektif (Lee dan Lee, 1997).
(f) Diuretik
Dalam sebuah penelitian pada pasien usia lanjut, agen diuretik dan
psikotropika adalah pengobatan yang paling umum dan paling sering
menyebabkan xerostomia, dan berpotensi mengurangi rata-rata laju
aliran saliva (Persson et al., 1991). Thiazides dapat menyebabkan
xerostomia (McCarron, 1984), tetapi tampak sedikit penelitian yang
menunjukkan hubungan antara penggunaan diuretik dan xerostomia.
Secara subjektif, xerostomia 10 kali lebih sering dialami setelah
mengkonsumsi furosemide dibandingkan plasebo. (Atkinson et al., 1989).
(g) Antihipertensi
Ganglion blockers dan beta-blockers tertentu (antagonis
betaadrenoceptor) yang menyebabkan xerostomia (Nederfors, 1996)
dipikirkan berhubungan dengan aktivasi SSP dan reseptor adrenergik
alfa2 kelenjar saliva. Banyak obat-obatan antihipertensi atau simpatolitik
(reserpine, methyldopa, dan clonidine) yang sekarang jarang digunakan
karena banyak menyebabakan efek samping obat yaitu xerostomia.
Antihipertensi generasi baru yang mempunyai target aksi di central,
dengan efek agonis selektif pada reseptor-brainstem imidazoline I1 di
ventromedulla rostral (RVLM), tampak memodulasi aktivitas simpatik dan
tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran saliva:
Moxonidine dan rilmenidine adalah contoh dari antihipertensi
generasi baru tersebut. Moxonidine lebih sering dapat menyebabkan
xerostomia dibandingkan plasebo (Dickstein et al., 2000) tetapi hanya
pada minoritas (< 10%), dan insidensinya secara signifikan lebih rendah
dibandingkan antihipertensi generasi lama (Schachter, 1999). Rilmenidine
jarang menyebabkan xerostomia (Reid, 2001). ACE inhibitors, yang
mengeblok enzim ACE dalam sistem reninangiotensin- aldosterone,
menyebabkan xerostomia pada sekitar 13% pasien (Mangrella et al.,
1998).
(h) Penekan Nafsu Makan
Beberapa penekan nafsu makan dapat menyebabkan xerostomia,
termasuk sibutramine (Richter, 1999; Bray, 2001), fenfluramine dengan
phentermine (Weintraub et al., 1992), Ma Huang herbal dan suplemen
kacang Kola (mengandung alkaloid efedrin/kafein) juga menyebabkan
xerostomia (Boozer et al., 2002).
(i) Dekongestan dan "cold cures"
Dekongestan seperti pseudoefedrin (Wellington dan Jarvis, 2001) dan
loratadine dengan pseudoefedrin sulfat dapat menyebabkan xerostomia
(Kaiser et al., 1998).
(j) Bronchodilators
Obat-obatan anti asma dapat dihubungkan dengan xerostomia (Thomson
et al., 2002). Efek samping yang paling sering dilaporkan setelah
penggunaan bronkhodilator tiotropium adalah xerostomia (Casaburi et al.,
2000).
(k) Relaksan otot skelet
Tizanidine, agonis adrenoseptor yang digunakan untuk meringankan
spastisitas, dapat dihubungkan dengan xerostomia (Taricco et al., 2000).
(l) Obat-obatan antimigrain
Rizatriptan, agonis serotonin yang digunakan untuk terapi migrain dapat
menginduksi xerostomia (Winner et al., 2002).
(m) Opioid, benzodiazepine, hypnotics, dan drugs of abuse
Opioid diketahui sebagai penyebab xerostomia (Bruera et al., 1999),
atropine, hyoscine, dan atropinik telah lama digunakan untuk untuk
mengurangi sekresi pre-operatif. Xerostomia adalah satu-satunya efek
samping yang signifikan dari scopolamine transdermal (hyoscine) (Gordon
et al., 2001). Morfin (Bruera et al., 1999; Zacny, 2001), dihidrokodeine
(Freye et al., 2001), dan Tramadol (Scott dan Perry, 2000) dapat
menyebabkan xerostomia. Benzodiazepin (seperti diazepam) (Conti dan
Pinder, 1979; Elie dan Lamontagne, 1984) dan zopiclone, sebuah
cyclopyrrolone yang secara kimia tidak berhubungan dengan
benzodiazepine (Wadworth dan McTavish, 1993), dapat menyebabkan
xerostomia. Ganja (Consroe et al., 1986; Grotenhermen, 1999) dan ekstasi
('XTC' or 'E': 3,4 methylenedioxy-methamphetamine; MDMA) (Peroutka et
al., 1988; Milosevic et al., 1999) juga dapat menyebabkan xerostomia.
(n) Antagonis reseptor H2 dan Inhibitor pompa proton
Antagonis reseptor H2 menyebabkan xerostomia pada 41% pengguna
obat tesebut (Teare et al., 1995; Kaviani et al., 2001).
(o) Obat-obatan sitotoksik
Xerostomia dapat menjadi konsekuensi dari paparan agen yang
digunakan untuk kemoterapi neoplasma maligna, seperti retionol
(Goodman et al., 1983), atau 5-fluorouracil (McCarthy et al., 1998), tetapi
hal tersebut tidak tetap (Laine et al., 1992), dan tidak terdapat cukup data
dalam area tersebut.
(p) Retinoid
Retionoid sistemik seperti etretinate (Wishart et al., 1981), asam retinoid-
cis 13 (Hennes et al., 1984), dan isotretinoin (Oikarinen et al., 1995) dapat
menyebabkan xerostomia.
(q) Obat-obatan Anti-HIV
Didanosine (Dodd et al., 1992; Valentine et al., 1992) dan inhibitor
protease HIV (Greenwood et al., 1998) dapat menyebabkan xerostomia.
(r) Cytokines
Terapi alfa interferon untuk terapi infeksi hepatitis kronik C (Cotler et al.,
2000) dapat menyebabkan xerostomia yang signifikan. Penggunaan
Interleukin-2 (rIL-2), sebagai contoh, untuk mengontrol karsinoma
nasofaring, juga dapat mengganggu salivasi. (Chi et al., 2001), selain itu
disfungsi kelenjar saliva mayor telah dijelaskan pada pasien dengan
keganasan hematologi yang diberi imunoterapi interleukin-2 setelah
transplantasi stem sel autolog (Nagler, 1998).
(2) Obat terkait pembesaran kelenjar saliva
Beberapa obat telah dikaitkan dengan pembesaran kelenjar saliva (Tabel
2). Painless, biasanya bilateral, pembesaran kelenjar saliva (menyerupai
sialosis) dapat menjadi efek samping yang kadang-kadang muncul dari
phenylbutazone (Cohen dan Banks, 1966; Murray-Bruce, 1966; Chimenes,
1971; Herman et al., 1974; Kaufman et al., 1977), oxyphenbutazone
(Bosch et al., 1985), atau chlorhexidine (Rushton, 1977). Sialadenitis
bilateral diamati pada satu pasien dewasa yang mengikuti terapi
naproxen (Knulst et al., 1995) dipikirkan sebagai alergi, sejak pasien
tersebut juga menderita cutaneous rash. Mekanisme yang sama telah
diusulkan untuk mendasari pembesaran kelenjar saliva yang disebabkan
oleh media kontras radiologi intravena (Gattoni et al., 1991; Ilia et al.,
1991). Clozapine, agen anti psikotik baru, dapat menyebabkan
pembengkakan kelenjar saliva sementara (Vasile dan Steingard, 1995)
serta sialorrhea (lihat bawah).
TABEL 2
Obat terkait Nyeri atau Pembesaran Kelenjar Saliva
Betanidine
Bretylium
Cimetidine
Clonidine
Clozapine
Deoksisiklin
Famotidine
Guanetidin
e
Insulin
Interferon
Isoprenalin
Metildopa
Naproxen
Nicardipine
Nifedipine
Nitrofurantin
Oksifenobutazon
Fenilbutazon
Fenitoin
Ranitidine
Ritodrine
Trimepramine
(3) Obat terkait nyeri kelenjar saliva
Antihipertensi, agen anti-tiroid, chlorhexidine, sitotoksik, agen blocking
ganglion, iodida, fenotiazine dan sulfonamide dapat menyebabkan nyeri
kelenjar saliva, serta merupakan obat yang menyebabkan xerostomia
(Glass, 1989). Nyeri kelenjar saliva jarang dikaitkan dengan terapi
guanetidine atau guanacline (Parker, 1975) dan dapat menjadi efek
samping dari beberapa obat lainnya (Tabel 2).
(4) Obat terkait Hipersalivasi
Antikolinesterase adalah penyebab utama hipersalivasi (Tabel 3).
Clozapine, obat antipsikotik atipikal diklaim mempunyai effikasi superior
dan menyebabkan lebih sedikit efek samping motorik dibandingkan
antipsikotik tipikal untuk orang-orang dengan pengobatan skizofrenia
resisten, dan dapat menyebabkan hipersalivasi (Wahlbeck et al., 2000).
Ini dapat diperbaiki dengan pemberian eye-drop atropin (Comley et al.,
2000).
TABEL 3
Obat terkait Hipersalivasi
Alprazolam
Amiodaron
e
Buprenorfin
Busipirone
Clonazepa
m
Diazoxide
Etionamid
Gentamisin
Guanetidin
Haloperidol
Imipenem/cilastatin
Iodida
Kanamisin
Ketamin
Lamotrigine
L-dopa
Asam
mefenamat
Merkuri
Nicardipine
Niridazole
Pentoxifylline
Remoxipride
Risperidone
Rivastigmine
Tacrine
Tobramisin
Triptorelin
Venlafaxine
Zaleplon
(5) Diskolorisasi Saliva
Diskolorisasi saliva (saliva merah atau oranye) maupun cairan tubuh
lainnya dapat dilihat pada pasien dengan terapi clofazimin, levodopa,
rifampisin, dan rifabutin (British National Formulary, 2002) (Tabel 4).
Obat terkait Kelainan Pengecapan
Obat yang menginduksi kelainan pengecapan ditelaah secara rinci di
tempat lain (Griffin, 1992; Henkin, 1994), tetapi ditinjau dan diperbaharui
kembali di sini (Tabel 5). Obat-obatan secara umum mengganggu
pengecapan. Obat-obatan dapat menyebabkan hilangnya ketajaman
pengecapan (hipogeusi), distortion pengecapan (disgeusi), atau hilangnya
indra pengecapan (ageusi), meskipun jarang (Ackerman dan Kasbekar,
1997). Obat-obatan bertindak baik dengan interferensi dengan komposisi
kimia atau laju saliva, atau dengan mempengaruhi fungsi reseptor
pengecapan atau transduksi sinyal (Femiano et al., 2003). ACE inhibitor,
anti-tiroid, antibiotik beta-lactam, biguanide, chlorhexidine, opium, dan
protease inhibitor adalah obatan-obatan yang terlibat. Hingga 4% pasien
yang diterapi dengan ACE inhibitor mengalami disgeusi, meskipun efek
samping tersebut self-limited dan reversible dalam beberapa bulan,
bahkan jika terapi dilanjutkan (Henkin, 1994). Terapi terbaru – seperti
anti-HIV protease inhibitor (Scully dan Diz, 2001), terapi dengan
tripotassium dicitrato bismuthate chelate, clarithromycin, dan terapi
lansoprazole untuk infeksi H. Pylori (Scott, 1998), terbinafine (Stricker et
al., 1996), pentamidin intravena (Glover et al., 1995), dan isotretinoin
(Halpern et al., 1996) – dapat menyebabkan hilangnya pengecapan
ataupun perubahan rasa. Terdapat bukti terdahulu bahwa asam lipoat alfa
dapat meningkatkan disgeusi, setidaknya dalam kasus idiopatik (Femiano
et al., 2002), tetapi kondisi paling baik ditingkatkan dengan mengurangi
penggunaan obat yang terkait.
Obat Yang berhubungan dengan Gangguan Mucosa
(1) Ulkus Oral
Memiliki banyak etiologi, dari luka lepuh sampai berbagai jenis gangguan vesikobulosa,
dapat berakibat pada ulkus oral. Banyak laporan ulkus pada mulut akibat obat dilaporkan oleh
non-spesialis, dan karena itu deskripsi mereka untuk lesi aphtous-like atau hal yang
mendekati spesifik sering dipertanyakan, berakibat pada kesukaran dalam menentukan
penyebab dan efek secara akurat.
(a)Obat yang berhubungan dengan lepuh oral
Deskuamasi oral atau ulkus dapat mengikuti lesi lepuh karena pengunyahan yang tak
disengaja dari agen penyebab seperti misalnya lime (Schier et al., 2002), dari aplikasi lokal
aspirin atau terapi sakit gigi, tablet potasium, suplemen pankreas, serta agen lain seperti asam
trichloracetic atau hidrogen peroxida atau dari berbagai penggunaan produk kesehatan oral
(Kuttan et al., 2001). Sodium lauryl sulfat, yang ada pada beberapa produk kesehatan oral,
khususnya pasta gigi, dapat berakibat pada iritasi oral atau ulserasi (Herlofson dan Barkvoll,
1994; Scully et al., 1999; Kuttan et al., 2001). Aplikasi kokain dapat berakibat pada lesi
similar (Parry et al., 1996).
(b) Obat yang berhubungan dengan ulkus seperti aphtous
Sodium lauryl sulfat dapat menjadi faktor predisposisi untuk ulkus yang mirip dengan ulkus
aftosa (Herlofson dan Barkvoll, 1994). Ada juga laporan ulkus mirip aftosa yang muncul
karena penggunaan beta blocker seperti labetalol (Pradalier et al., 1982), alendronate
(Gonzallez-Moles dan Badgan-Sebastian, 2000), captopril (Seedat, 1979; Nicholls et al.,
1981; Corone et al., 1987; Montoner et al., 1990), nicorandil (Boulinguez et al., 1997;
Reichart, 1997; Agbo-Godeau et al., 1998; Cribier et al., 1998; Desruelles et al., 1998;
Roussel et al., 1998; Marquart-Elbaz et al., 1999; Shotts et al., 1999), beberapa obat anti
inflamasi non steroid (NSAID) (Siegel dan Balciunas, 1991; Healy dan Thornhill, 1995),
mycophenolate atau sirolimus (van Gelder et al., 2003), protease inhibitors (Scully dan Diz,
2001), tacrolimus (Hernandez et al., 2001), dan sulfonamide, walaupun mekanisme patologis
yang pasti pada obat-obat ini masih belum jelas.
Sebuah penelitian case-control telah mengkonfirmasi tentang hubungan ulkus oral
dengan NSAID dan beta blocker (Boulinguez et al., 2000) (Gambar 2)
TABEL 4
Obat yang berhubungan dengan diskolorasi saliva
Clofazimine L-dopa Rifabutin Rifampin
(c) Fixed drug eruptions
Fixed drug eruptions (stomatitis kontak atau stomatitis venenata) terdiri dari ulkus yang
berulang pada satu tempat yang sama karena respon obat tertentu dan dapat diakibatkan
karena obat anestesi, antibiotik, antiseptik, barbiturat, chewing gum, kosmetik, material
dental, pasta gigi, mouthwash, phenatecin, sulphonamide, atau tetrasiklin. Lesi mungkin
terlokalisasi di mulut atau dapat dihubungkan dengan lesi pada lokasi mukokutan yang lain
dan bermanifestasi sebagai ulkus, bulla, patch eritematosus, atau erosi superfisial. Awalnya,
lesinya soliter, tapi dengan ekposur obat yang berulang, lesinya dapat menjadi multipel.
Berbagai obat dapat menyebabkan fixed drug eruption, khususnya parasetamol, barbiturat,
phenacetin, derivat pyrazolone, sulphonamide, dan tetrasiklin (Abdollahi dan Radfar, 2003),
seperti juga agen lain seperti cinnamon (Miller et al.,1992).
TABEL 5
Obat yang berhubungan dengan Gangguan Pengecapan
Acarbose Cholestyramine Hyoscyamine Perindopril
Acetazolamide Choline magnesium
trisalicylate
Imipenem Phenformin
Alcohol Cilazapril Indometacin Phenindione
Allopurinol Cisplatin Interferon gamma Phenylbutazone
Amiloride Clarithromycin Iodine Phenytoin
Amitryptiline Clidinium Isotretinoin Procaine penicillin
Amphetamines Clofibrate L-dopa Propafenone
Amphotericin Clomipramine Levamisole Propantheline
Amrinone Cocaine Levodopa Propranolol
Aspirin Diazoxide Lincomycin Propylthiouracil
Atorvastatin Dicyclomine Lisinopril Quinapril
Auranofin Diltiazem Lithium Ramipril
Aurothiomalate Dipyridamole Lomefloxacin Rifabutin
Azathioprine EDTA Losartan Rivastigmine
Azelastine Enalapril Lovastatin Selegiline
Aztreonam Ethambutol Methimazole Sodium lauryl
sulphate
Baclofen Ethionamide Methotrexate Spironolactone
Biguanides Etidronate Methyl methacrylate Sulfasalazine
Bleomycin Flunisolide Methylthiouracil Terbinafine
Bretylium Fluoxetine Metronidazole Tetracycline
Calcitonin Flurazepam Nifedipine Thiamazole
Captopril 5-fluorouracil Niridazole Tocainide
Carbamazepine Fluvoxamine Nitroglycerin Topiramate
Carbimazole Glycopyrrolate Ofloxacin Trandolapril
Carboplatin Griseofulvin Omeprazole Triazolam
Ceftirizine Hexetidine Penicillamine Venlafaxine
Cephamandole Hydrochlorothiazide Pentamidine Zopiclone
Chlormezanone Hydrocortisone Pergolide
Gambar 2. Ulkus terinduksi NSAID
(d) Obat yang berhubungan dengan mucositis
Obat sitotoksik sering dihubungkan dengan mucositis dan ulserasi, yang meningkat secara
konsisten dengan banyak regimen kemoterapi (tabel 6), khususnya yang menggunakan
methotrexate, 5-fluorouracil, doxorubicine, melphelan, mercaptopurine, atau bleomisin
(Femiano et al., 2003). Pada beberapa keadaan, reaksi tersebut dapat menjadi semakin berat
bila obat dihentikan (Bell et al., 2001). Ulserasi yang luas meningkat dimulai dari permulaan
terapi, rasa sakit yang berhubungan kadang membutuhkan terapi opioid dan/atau penggantian
atau penghentian dari kemoterapi. Ulserasi dapat menjadi pintu masuk dari infeksi dan karena
itu potensial menjadi septikemia. Obat-obatan seperti phenylbutazone dapat menjadi
penyebab agranulositosis yang juga memicu ulkus oral (Gambar 3).
Agen imunosupresive juga dapat menyebabkan ulserasi. Ulkus pada individu
imunocompromise iatrogenik mungkin etiologi penyebabnya karena herpesvirus, atau
kadang-kadang agen infektif lainnya (Greenberg et al., 1987; Schubert et al., 1993). Infeksi
oportunistik sekunder karena kemoterapi sitotoksik dapat menyebabkan ulserasi oral.
Biasanya, herpes simpleks virus 1, varicella zoster, dan cytomegalovirus meningkatkan
ulserasi oral, dan lebih jarang ulserasi terjadi karena infeksi bakteri gram negatif
(pseudomonas, klebsiella, Escherichia coli, enterobacter, atau proteus) atau bakteri eksogen
seperti tuberculosis (Toren et al., 1996), atau karena jamur seperti mucormycosis (Femiano et
al., 2003) atau kadang candidiasis (lihat bawah)
TABEL 6
Obat yang berhubungan dengan Ulkus Oral
Alendronate Emepromiu
m
Molgramostim Phenytoin
Allopurinol Flunisolide Naproxen Potassium chloride
Aurothiomalate Gold Nicorandil Proguanil
Aztreonam Indometacin NSAIDs Sertraline
Captopril Interferons Olanzapine Sulindac
Carbamazepine Interleukin-2 Pancreatin Vancomycin
Clarithromycin Isoprenaline Penicillamine
Diclofenac Ketorolac Phenindione
Dideoxycytidine Losartan Phenylbutazone
Gambar 3. Ulkus terinduksi Phenylbutazone
(e) Obat yang berhubungan dengan neoplasma dan lesi potensial maligna
Ada peningkatan prevalensi displasia dan lesi bibir maligna pada resipien transplantasi renal
yang terimunosupresi (King et al., 1995) dan resipien transplant hati (Haagsma et al., 2001).
Leukoplakia oral berkembang dengan cepat menjadi squamous cell carcinoma telah
dilaporkan pada pasien imunosupresan tanpa adanya lesi prekursor yang tercatat (Varga dan
Tyldesley, 1991).
Penyakit post transplant limfoproliferatif (Raut et al., 2000), non-Hodkin atau MALT
lymphoma (Hsi et al., 2000), biasanya bermanifestasi pada ulserasi gingiva, fauces atau
palatum (Bilinska-Pietraszek et al., 2001; Mandel et al., 2001), atau lebih jarang, Sarkoma
kaposi (Meyers et al., 1976; Qunibi et al., 1988) dapat menjadi komplikasi dari terapi
imunosupresif jangka panjang, dan bahkan sudah ada laporan resolusi dari keganasan saat
imunosupresan telah dikurangi (Keogh et al., 2002)
(f) Obat yang berhubungan dengan reaksi seperti pemfigoid dan gangguan bullosa yang
lain
Sedikitnya ada 30 obat yang dapat meningkatkan kondisi yang menyerupai bulla atau
pemfigoid membran mukosa (Vassileva, 1998) (Tabel 7). Obat-obat ini merupakan bagian
dari berbagai variasi farmakologikal (thiol dan non-thiol) dan grup target terapi, termasuk
ACE-inhibitors, furosemide, NSAIDs, penicillamine, psoralens, sulphonamida, agen
kardioaktif, antibiotik yang mengandung penisilin. Mukosa oral sering terpengaruh oleh obat
yang menginduksi pemfigus, khususnya penyakit akibat penicillamine, dan dapat hanya
mempengaruhi permukaan mukosa, walaupun pasien juga sering mempunyai lesi kutan.
(Troy et al., 1981; Shuttleworth et al., 1985; Velthuis et al., 1985; Gall et al., 1986;
Rasmussen et al., 1989). Selain lesi mukosa oral yang frekuensinya tinggi, gambaran
pembeda secara klinis lainnya dari obat yang berhubungan dengan pemfigoid hanya umur
pasien yang lebih muda dibandingkan dengan pemfigus idiopatik (autoimun), dan resolusi
dari penyakit karena penghentian dari agen penyebab.
Obat pencetus pemfigoid kemungkinan dikarenakan thiol yang menginduksi
kerusakan epitel lokal, obat berperan sebagai hapten atau pencetus disgungsi imunologis.
Pasien yang dipengaruhi dapat mempunyai antibodi yang beredar terhadap antigen yang sama
dengan pemfigus idiopatik, oleh karena itu pembuatan diagnosis penyakit akibat obat sangat
bergantung pada riwayat penggunaan obat yang pernah tercatat.
Penyakit linear IgA (LAD) bisa jadi akibat obat, dan pasien yang terkena mempunyai
antibodi IgA pada bullous-pemphigoid-associater antigen 1 (BPAG atau BP1) atau pada
antigen lain (Palmer et al., 2001). LAD biasanya diinduksi oleh vancomisin (Kuechle et al.,
1994), tapi obat-obatan lain seperti angiotensin converting enzyme inhibitor juga mungkin
berpengaruh (Femiano et al., 2003).
TABEL 7
Obat yang berhubungan dengan Reaksi Mirip Pemfigoid
Amoxicillin Ibuprofen Penicillin v Salicylic acid
Azapropazone Isoniazid Penicillamine Sulphasalazine
Clonidine Mefenamic acid Phenacetin Sulphonamides
Furosemide Nadolol Practolol
(g) Obat yang berhubungan dengan pemfigus
Obat yang berhubungan dengan pemfigus biasanya jarang (Brenner et al., 1997). Dahulu,
obat yang mempunyai kemampuan menginduksi pemfigus dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan struktur kimianya -- obat yang mengandung sulfhydryl radical (thiol atau SH)
dan non-thiol atau obat lainnya yang sering mempunyai grup amida aktif di molekulnya
(Wolf dan Brenner, 1994).
Pemfigus vulgaris kadang dapat dihubungkan dengan obat yang mempunyai grup
thiol aktif di molekulnya (Scully dan Challacombe, 2002). Obat-obatan yang terlibat
termasuk peniccilamine (Wolf et al., 1991; Laskaris dan Satriano, 1993; Shapiro et al., 2000),
phenol drugs (Goldberg et al., 1999), rifampicin (Gange et al., 1976), diclofenac (Matz et al.,
1997), dan lebih jarang captopril (Korman et al., 1991), ACE inhibitor yang lain (Kaplan et
al., 1992; Ong et al., 2000) dan obat lainnya (tabel 8).
Ciri klinis pemfigus karena obat meniru pemfigus vulgaris atau foliaceus, dan
individu yang terkena dapat mempunyai variasi tingkatan dari antibodi terhadap komponen
epitel dan antigen yang dicurigai (seperti desmoglein 1 dan 3) (Kuechle et al., 1994). Selain
kerusakan epitelial yang disebabkan oleh antibodi ini, beberapa obat yang terlibat adalah thiol
(Wolf dan Ruocco, 1997) yang mungkin menginduksi penurunan kadar lokal plasminogen
activator inhibitor, yang mengakibatkan peningkatan aktivasi plasminogen dan kerusakan
epithelial (Lombardi et al., 1993). Thiols seperti penicillamine juga dapat ikut campur dalam
rantai cysteine membran sel, yang potensial berakibat pada pembentukan antibodi dan
kerusakan epitel (Wolf et al., 1991).
Peran diet dalam etiologi penyebab pemfigus direview di banyak tempat (Brenner et
al., 1998; Tur dan Brenner, 1998), tetapi bawang putih secara khusus dapat menyebabkan
kasus pemfigus yang jarang (Laskaris dan Nicolis, 1980; Korman et al., 1991; Ruocco et al.,
1996).
(h) Obat yang berhubungan dengan eritema multiforme
Banyak obat -terutama barbiturat, cephalosporin, NSAID, estrogen, phenotiazine,
progesteron, protease inhibitor, sulfonamide, derivat sulphonylurea, dan tetrasiklin- dapat
memberi reaksi terjadinya eritema multiforme (Tabel 9), dan secara klinis tidak mungkin
untuk membedakan eritema multiforme akibat obat dengan penyakit akibat sebab lain
(Roujeau, 1997; Ayangco dan Rogers, 2003). Perbedaan eritema multiforme berat dengan
toxic epidermal nekrolisis sangat tidak jelas.
Lesi eritema multiforme khas mempengaruhi mukosa oral, bibir, dan konjungtiva
bulbi. Ruptur bulla awal mengakibatkan pseudomembran hemoragik pada bibir dan ulkus
oral superfisial yang luas. Permukaan mukokutan yang lain yang jarang terpengaruh yaitu
mukosa nasofaring, respirasi dan genital.
(i) Obat yang berhubungan dengan toxic epidermal necrolisis
Toxic epidermal necrolisis (TEN; Lyell syndrome) secara klinis dikarakterisasikan sebagai
epidermolisis mukokutan ekstensif yang didahului oleh eksantem dan enantem makula atau
makulopapular (Lyell, 1979; Rasmussen et al., 1989). Pada intra oral, ada rasa panas yang
luas dan ulserasi pada seluruh permukaan mukosa. Toxic epidermolisis mungkin
dihubungkan dengan penggunaan antimikroba (sulfonamide, thiacetazone), analgesik
(phenazone), anti epilepsi, alopurinol, chlormezanone, rifampisin, fluconazole, dan
vancomisin (Ayangco dan Rogers, 2003).
Tabel 8
Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Mirip Pemfigus
Ampicillin Cephalexin Oxyphenbutazone Probenecid
Arsenic Diclofenac Penicillamine Procaine penicillin
Benzylpenicillin Emas Phenobarbital Rifampicin
Captopril Interferon-beta Phenylbutazone
Cephadroxil Interleukin-2 Piroxicam
Tabel 9
Obat yang Berhubungan dengan Eritema Multiforme (dan Sindrom Steven-Johnson
dan Nekrolisis Epidermal Toksik)
Acetylsalicylic acid Digitalis Mesterolone Streptomycin
Allopurinol Diltiazem Minoxidil Sulindac
Amlodipine Ethambutol Nifedipine Sulphasalazine
Arsenic Ethyl alcohol Omeprazole Tenoxicam
Atropine Fluconazole Oxyphenbutazone Tetracyclines
Busulphan Fluorouracil derivat penicillin Theophylline
Carbamazepine Furosemide Phenolphthalein Tocainide
Chloral hydrate Emas Phenylbutazone Tolbutamide
Chloramphenicol Griseofulvin Phenytoin Trimethadione
Chlorpropamide Hydantoin Piroxicam Vancomycin
Clindamycin Hydrochlorothiazide Progesterone Verapamil
Codeine Indapamide Pyrazolone derivatives Zidovudine
Co-trimoxazole Quinine Rifampicin
Diclofenac Meclofenamic acid Retinol
Diflunisal Mercury Vaksin MMR
(j) Obat yang Berhubungan dengan Kelainan Mirip Lupus
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat dipicu oleh berbagai kelompok obat yang
berbeda. Bahkan, lebih dari 70 agen telah terlibat sebagai penyebab lupus yang dipicu oleh
obat (Rich, 1996) (tabel 10). Agen yang paling sering terlibat dalam SLE yang dipicu oleh
obat adalah procainamide dan hydralazine, sedangkan obat-obatan yang biasanya kurang
umum berhubungan dengan penyakit ini antara lain chlorpromazine, isoniazid, methyldopa,
penicillamine, dan quinine, serta seluruh grup obat antikonvulsan, beta-blockers ,
sulphonamides, dan lain-lain (Price dan Venables, 1995).
Patogenesis yang mungkin dari SLE yang berhubungan dengan obat akan dikaji
secara terperinci di tempat lain, tetapi patogenesis tersebut harus memiliki dasar
imunogenetik, dan pasien yang terkena memiliki beberapa tampilan imunologikal dari SLE
klasik (Burlingame dan Rubin , 1996).
Tabel 10
Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Lupoid
Ethosuximide Isoniazid Phenytoin Sulphonamides
Emas Methyldopa Phenothiazines Tetracyclines
Griseofulvin Para-aminosalicylate Procainamide
Hydralazine Penicillin Streptomycin
(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN LESI PUTIH
(a) Luka Lepuh
(Lihat di atas)
(b) Erupsi Likenoid
Sejak munculnya terapi anti malaria, telah terjadi suatu daftar yang semakin meningkat dari
spektrum obat yang dapat meningkatkan kejadian munculnya erupsi mirip lichen planus
mukokutan (reaksi lichenoid) (McCartan dan McCreary, 1997 ; Scully et al ,1998). Akan
tetapi, banyak laporan kasus tunggal dari berbagai asosiasi, dan banyak obat yang terlibat
dalam reaksi likenoid kutan belum terbukti berhubungan dengan lesi oral.
Kemungkinan hubungan obat dengan reaksi lichenoid tercatat ketika quinacrine dan
mepacrine digunakan sebagai anti malaria selama Perang dunia II, ternyata menyebabkan lesi
lichenoid. Selain obat-obatan, emas mungkin diakui sebagai agen paling umum dalam
memulai reaksi lichenoid. (Penneys et al, 1974.). Garam emas dapat menyebabkan berbagai
lesi mukokutan (Hakala et al., 1986) dimana lesi lichenoid oral dapat menjadi yang pertama
kali muncul (Brown et al, 1993;. Laeijendecker dan van Joost,1994).
Obat-obatan saat ini paling sering terlibat dalam reaksi lichenoid adalah obat anti
inflamasi non steroid dan inhibitor angiotensin-converting enzyme (Potts et al, 1987.; Firth
dan Reade, 1989, Robertson dan Wray, 1992; Van Dis dan Taman, 1995). Reaksi lichenoid
juga dapat muncul akibat penggunaan inhibitor HIV protease(Scully dan Diz, 2001), agen
anti hipertensi, anti malaria, fenotiazin, sulfonamid, tetrasiklin, diuretik thiazide, dan banyak
lainnya (Tabel 11) (Dinsdale dan Walker, 1966; Roberts dan Marks, 1981; Chau et al, 1984;.
Hogan et al, 1985; Colvard et al, 1986; Markitziu et al,. 1986;. Torrelo et al, 1990), tetapi
daftar obat yang terlibat memanjang tiap minggunya , dan menariknya, termasuk beberapa
agen yang juga telah digunakan dalam terapi lichen planus, terutama dapson (Downham,
1978), levamisol (Kirby et al., 1980), tetrasiklin (Mahboob dan Haroon, 1998), dan interferon
(lihat di bawah). Kadang-kadang, ada reaksi lichenoid pada pemakaian obat ganda/multipel.
(Wiesenfeld et al., 1982).
Tabel 11
Obat yang Berhubungan dengan Reaksi Lichenoid
ACE inhibitors Dapsone Mepacrine Piroxicam
Allopurinol Dipyridamole Merkuri (amalgam) Practolol
Amiphenazole Ethionamide Metformin Prazosin
Antimalarials Flunarizine Methyldopa Procainamide
Barbiturates Gaunoclor Metronidazole Propranolol
Vaksin BCG Emas Niridazole Propylthiouracil
Captopril Griseofulvin NSAIDs Protease inhibitors
Carbamazepine Vaksin Hepatitis B Kontrasepsi oral Prothionamide
Carbimazole Hydroxychloroquine Oxprenolol Quinidine
Chloral hydrate Interferon-alpha Para-aminosalicylate Quinine
Chloroquine Ketoconazole Penicillamine Rifampicin
Chlorpropamide Labetalol Penicillins Streptomycin
Cholera vaccine Levamisole Phenindione Sulphonamides
Cinnarizine Lincomycin Phenothiazines Tetracycline
Clofibrate Lithium Phenylbutazone Tocainide
Colchicine Lorazepam Phenytoin Tolbutamide
Triprolidine
Beberapa pertanyaan masih muncul berkaitan dengan obat-obat yang menjadi agen
penyebab reaksi ini. Contohnya, Mengapa bisa obat yang sama menimbulkan manifestasi
klinik yang berbeda? Bagaimana bisa struktur kimia yang cukup berbeda bisa menimbulkan
efek samping berupa manifestasi klinik yang serupa? dan Bagaimana beberapa obat dengan
famili yang sama (seperti anti malaria) , dapat menimbulkan reaksi lichenoid dan pada waktu
yang sama dapat digunakan pula dalam pengobatan lichen planus oral? (Eisen,1993).
Mekanisme patogenesis oleh obat-obat yang mungkin menyebabkan penyakit mirip
LP tidak diketahui. Beberapa agen yang terlibat (contohnya penicillamine,captopril,dan
garam emas thionalate) adalah thiol-like dan oleh sebab itu, juga terlibat dalam penyakit
mirip pemphigus (lihat bawah). Akan tetapi, pada LP, dapat melibatkan mekanisme
imunologik yang cukup berbeda. Ini seperti sindrom Grinspan yang muncul akibat kelainan
yang ditimbulkan oleh obat (Lamey et al , 1990), dan terapi obat mungkin kadang-kadang
tercatat dalam pengulangan kejadian LP dengan lupus eritematosus atau penyakit bullous-like
(Flageul et al., 1986). Identifikasi klinik dari reaksi lichenoid akibat obat secara garis besar
didasarkan pada kriteria subyektif : kadang ada beberapa tendensi unilateral (Lamey et al.,
1995a) dan erosif pada lesi oral (Potts et al., 1987), tetapi gambaran ini tidak bermakna.
Histologi mungkin membantu; lesi lichenoid barangkali memiliki infiltrat limfositik yang
lebih difus dan mengandung eosinofil serta sel plasma , dan mungkin ada colloid bodies yang
lebih banyak dibandingkan LP klasik, namun tidak ada gambaran spesifik (Van der Haute et
al., 1989), dan imunostaining biasanya tidak berkontribusi, meski antibodi sitoplasma sel
basal mungkin dapat ditemukan (Lamey et al., 1995b), tetapi hal ini belum dikonfirmasi
(Ingafou et al.,1997) dan tentu munculnya antibodi tersebut kurang handal dibandingkan
reaksi obat pada kutan (van Joost, 1974; McQueen dan Behan, 1982; Gibson et al., 1986).
Cara yang paling terpercaya untuk mendiagnosis reaksi lichenoid adalah jika reaksi
tersebut hilang dengan drug withdrawal dan kembali ketika meminum obat tersebut, tetapi
seringkali cara ini tidak dapat dilakukan oleh karena adanya kebutuhan akan jaminan
keselamatan pasien (patient safety).
Material pada restorasi gigi mungkin dapat berhubungan dengan lesi lichenoid.
Kebanyakan pasien dengan OLP tidak memiliki hubungan yang nyata dengan material pada
restorasi gigi (Hietanen et al., 1987). Bagaimanapun, kontak dengan atau kedekatan dengan
restorasi yang menyangkut amalgam atau bahan lainnya menyebabkan beberapa reaksi
lichenoid yaitu lesi itulah yang secara klinikal dan histologikal mirip dengan LP, tetapi
memiliki etiologi yang dapat teridentifikasi (Lind et al., 1986; Bolewska et al., 1990). Reaksi
ini agaknya dikarenakan reaksi alergi atau toksik kepada senyawa yang dilepaskan atau
dihasilkan, fenomena Koebner, atau bisa saja karena akumulasi plak pada permukaan
restorasi (Holmstrup, 1991).
Beberapa lesi oral ini mungkin meningkat setelah penggantian amalgam oleh bahan
lain (Finne et al., 1982; Jolly et al., 1986; Lind et al., 1986; Bolewska et al., 1990; Jameson et
al., 1990; Skoglund dan Egelrud, 1991; Laine et al., 1992; Bircher et al., 1993; Ostman et al.,
1994; Henriksson et al., 1995; Smart et al., 1995; Bratel et al., 1996; Ibbotson et al., 1996),
meski hal ini sering bukan dalam kasus lesi gingival (Henriksson et al., 1995).
Reaksi signifikan garam merkuri pada tes kulit mungkin dapat terlihat pada beberapa
pasien dengan OLP (Finne et al., 1982 ; Eversole dan Ringer, 1984; James et al., 1987;
Ostman et al., 1994), meski ada pula yang tidak menemukannya (Hietanen et al., 1984).
Finne et al.(1982) mendemonstrasikan sensitivitas merkuri dengan tes patch pada 62% dari
29 pasien dengan OLP dan hanya 3,2% pada grup kontrol, dan pada beberapa pasien mereka
lesi oralnya menghilang dengan pelepasan amalgam (Finne et al., 1982). Reaksi dari merkuri
klorida telah dilaporkan (Skoglund dan Egelrud,1991; Smart et al., 1995). Penemuan ini telah
didukung, dan pada studi terkini dari Skoglund dan pekerjanya (Ostman et al., 1994), tes
patch positif melawan merkuri ditemukan pada 39,6% dari 48 pasien. Dari yang memiliki tes
patch positif untuk merkuri, 94,7% memperlihatkan penurunan lesi setelah pelepasan
amalgam , sedangkan 82,6% yang tidak memiliki reaksi terhadap merkuri pada tes patch juga
memperlihatkan penurunan lesi setelah pelepasan amalgam. Tes patch epikutan bernilai
prognostik rendah (Ostman et al., 1994; Ibbotson et al., 1996). Lesi mukosa oral dari karakter
lichenoid mungkin tidak berhubungan dengan alergi merkuri, tetapi berhubungan dengan
pengaruh mekanik atau galvanis; suatu panggilan interpretasi untuk tes patch intra oral (Axéll
et al., 1986).
Mungkin kadang-kadang juga ada reaksi terhadap restorasi emas (Conklin dan
Blasberg, 1987), meski ini belum substansial. Ada juga sebuah laporan dari OLP yang
diakibatkan oleh restorasi kobalt (Torresani et al., 1994).
Restorasi komposit juga telah terlibat pada reaksi lichenoid oral (Lind dan Hurlen,
1988), dan penggantian seluruh amalgam sebagai terapi mungkin tidak selalu diperlukan.
(c) Reaksi lupoid
(lihat atas)
(d) Candidosis
Candidosis pseudomembran muncul pada terapi kali kedua dengan antibiotik spektrum luas
(Scully et al., 1994), kortikosteroid (sediaan sistemik maupun inhalan),dan resimen
imunosupresif lain (contohnya cyclosporin) dan terapi sitotoksik (tabel 12). Lebih jarang
terjadi, mucormycosis dan aspergillosus dapat menyebabkan area mirip thrush atau lesi
lainnya pada pasien dengan terapi imunosupresif jangka panjang (Dreizen et al., 1992;
Scully, 1992; Seymour et al., 1997).
Tabel 12
Obat yang berhubungan dengan kandidosis oral
Antimikroba spektrum luas Kortikosteroid
Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia Immunosupresan
(e) Papillomas
Infeksi human papilomavirus bermanifestasi mirip dengan pertumbuhan kutil yang dapat
muncul pada pasien dengan terapi imunosupresif jangka panjang (Schubert, 1991).
(f) Hairy Leukoplakia
Hairy leukoplakia oral, biasanya merusak perbatasan dorsal dan lateral dari lidah dan dasar
mulut, dapat menjadi akibat dari infeksi virus epstein-barr, berhubungan dengan terapi
kortikosteroid (topikal dan sistemik), cyclosporin,atau regimen imunosupresif jangka panjang
yang lain (Triantos et al., 1997)
(g) Leukoplakia
Pemakaian tembakau dan alkohol adalah faktor resiko penting untuk leukoplakia (Pindborg et
al., 1980; Sciubba, 1995) dan displasia epitelial oral (Jaber et al., 1998). Peningkatan
frekuensi lesi dengan displasia epitel di bibir (bukan mukosa oral) sudah terlihat di beberapa
pasien meski tidak di semua pasien imunosupresi iatrogenik (King et al., 1995;Seymour et
al., 1997).
Sanguinarine, alkaloid penting pada tumbuhan bloodroot (Sanguinaria canadensis),
yang digunakan pada beberapa obat kumur dan pasta gigi untuk aktivitas anti plak , dapat
berhubungan dengan perkembangan leukoplakia oral (Damm et al., 1999; Allen et al., 2001;
Mascarenhas et al., 2001,2002).
Obat yang berhubungan dengan Pigmentasi Mukosa
(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN DISKOLORISASI SUPERFICIAL
SEMENTARA
Diskolorisasi superfisial sementara pada lidah bagian dorsal dan jaringan lunak lain
serta gigi dapat muncul dalam berbagai warna, biasanya kuning atau coklat, dan dapat
dikarenakan beberapa makanan dan minuman (seperti kopi dan teh), beberapa kebiasaan
(seperti merokok,pemakaian kokain, sirih) (Mirbod dan Ahing, 2000), dan beberapa obat
(seperti garam besi, bismut, chlorhexidine, atau antibiotik), terutama jika obat tersebut juga
menimbulkan xerostomia (seperti agen psikotropika) ( Ramadan, 1969; Suzuki et al., 1983;
Oguwande, 1989; Heymann, 2000) (Tabel 13). Ketika diskolorisasi terlihat nyata pada lidah
bagian posterior dorsal, dan papila filiformis memanjang berlebihan dan terdapat noda coklat
gelap atau hitam, istilah 'black hairy tongue' dipakai, tetapi istilah ini kurang umum
dibanding diskolorisasi superficial lainnya.
Pernah dilaporkan stomatitis yang muncul setelah penggunaan proton pump inhibitor
(PPIs) seperti lansoprazole dengan amoxicillin (Hatlebakk et al., 1995), dan diskolorisasi
lidah atau glossitis sudah pernah tercatat setelah penggunaan lansoprazole dengan antibiotik
seperti clarithromycin dengan atau tanpa amoxicillin (Greco et al., 1997) atau hanya dengan
penggunaan lansoprazole sendiri (Scully dan Diz, 2001).
(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PIGMENTASI INTRINSIK
Area lokal pada pigmentasi mukosa dapat disebabkan oleh amalgam, sementara pigmentasi
gingiva dapat muncul secara sekunder karena mahkota yang mengandung paduan logam atau
emas (Kedici et al, 1995). Sebelumnya, garam logam berat dilaporkan menyebabkan
pigmentasi, khususnya tepi gingiva. (Tabel 13, 14)
Pigmentasi mukosa yang berwarna biru, biru keabuan, atau kecoklatan dapat
disebabkan oleh efek samping antimalaria, phenotiazine, dan phenytoin (Giansanti et al,
1971; Watson dan MacDonald, 1974; Manor et al, 1981; McAllan dan Adkins, 1986).
Amiodarone dapat menyebabkan pigmentasi keabuan pada orofasial dan mukosa oral
(Bucknall et al, 1986).
Minocycline telah dilaporkan dapat menyebabkan penyebaran luas pigmentasi biru,
biru keabuan, atau kecoklatan pada gingiva dan mukosa secara bertahap. Sementara sebagian
besar pigmentasi dapat menghasilkan perubahan warna terutama pada tulang dan akar gigi,
ada pula pigmentasi yang juga terjadi pada mukosa oral, termasuk lidah (Meyerson et al,
1995; Westbury dan Najera, 1997).
Kontrasepsi oral dapat, walaupun jarang, menyebabkan pigmentasi melanotik (Hertz
et al, 1980), demikian juga cyclophosphamide, busulphan, dan ACTH (Scully dan Porter,
1997). Pada penyakit HIV, obat yang memicu pigmentasi melanotik dapat meningkat seiring
terapi dengan clofazimine zidovudine dan/atau ketoconazole, dengan variasi pigmentasi
berbentuk sebaran atau seperti makular (Ficarra skk, 1990; Porter et al, 1990).
Tabel 13
Obat yang berhubungan dengan pigmentasi mukosa mulut
ACTH Chlorhexidine Besi Phenothiazines
Amodiaquine Chloroquine Lead Quinacrine
Antikonvulsan Clofazimine Manganese Quinidine
Arsenik Tembaga Mepacrine Perak
Betel Cyclophosphamide Methyldopa Thallium
Bismuth Doxorubicin Minocycline Timah
Bromine Emas Kontrasepsi oral Vanadium
Busulphan Heroin Phenolphtalein Zidovudine
Tabel 14
Obat yang berhubungan dengan pigmentasi mukosa mulut; pada warna yang berbeda
Biru Coklat
(hipermelanosis)
Hitam Abu-abu Hijau
Amiodarone Aminophenazone Amiodiaquine Amiodiaquine Tembaga
Antimalaria Betel nut Betel nut Chloroquine
Bismuth Bismuth Bismuth Fluoxetine
Mepacrine Busulphan Methyldopa Hydroxychloroquinine
Minocycline Clofazimine Minocycline Lead
Phenazopyridine Kontrasepsi Perak
Quinidine Cyclophosphamide Timah/Zinc
Perak Diethylstilbestrol
Sulphasalazine Doxorubicin
Fluorouracil
Heroin
Terapi pengganti
hormon
Ketoconazole
Menthol
Methaqualone
Minocycline
Phenolphtalein
Propranolol
Merokok
Zidovudine
Sarkoma Kaposi pada mulut merupakan komplikasi immunosupressan yang jarang
terjadi, bermanifestasi sebagai makula, papul, nodul, atau daerah ulkus yang berwarna biru,
merah atau ungu, khas pada palatum atau gingiva, tetapi dapat mempengaruhi daerah mukosa
oral lain (lihat atas).
Obat yang berhubungan dengan pembengkakan
(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBESARAN GINGIVA
Pembesaran gingiva dapat dideskripsikan sebagai efek samping terapi obat pada oral
(Marshall dan Bartold, 1998) (Tabel 15). Obat yang sering menyebabkan pembesaran gingiva
adalah phenytoin (Seymour dan Jacobs, 1992), ciclosporin (Seymour dan Jacobs, 1992a), dan
calcium-channel-blocker nifedipine (Fattore et al, 1991), diltiazem ( Bowman skk, 1988),
verapamil ( Pernu skk, 1989), dan amlodipine (Ellis et al, 1993). Pasien yang menerima terapi
dengan ciclosporin dan calsium channel blocker (post kardiak atau alograf ginjal resipien)
mungkin beberapa kali, tetapi tidak selalu, cenderung memiliki kemungkinan besar terkena
pembesaran gingiva karena pengaruh obat.
Secara umum, pembesaran gingiva timbul dalam hitungan bulan sejak permulaan
terapi obat, namun hanya sebagian yang berhubungan dengan higienitas oral yang buruk dan
akumulasi plak, serta respon tergantung pada pengendalian plak dan/atau penghentian dan
pengurangan terapi obat (Cebeci et al, 1996; Thomason et al, 1996; Jackson dan Babich,
1997).
Jarang sekali sarkoma Karposi (Qunibi et al, 1988) atau karsinoma sel skuamosa
(Varga dan Tyldesley, 1991) muncul pada daerah pembesaran gingiva karena ciclosporin.
Obat lain yang kadang dilaporkan dapat menyebabkan pembesaran gingiva meliputi
eritromisin (Valsecchi dan Cainelli, 1992), sodium valproate (Syrjanen dan Syrjanen, 1979),
phenobarbitone (Gregoriou et al, 1996) dan vigabatrin (Katz et al, 1997), tetapi semua ini
telah dilaporkan secara terpisah.
Tabel 15
Obat yang berhubungan dengan pembengkakan gusi
Obat yang paling sering
terlibat
Obat yang kadang-kadang terlibat
Amlodipine Co-trimoxazole Nitrendipine
Ciclosporin Erythromycin Norethisterone
Diltiazem Diphenaxylate + mestranol
Felodipine Ethosuximide Phenpbarbitone
Lacidipine Interferon-alpha Primidone
Nifedipine Ketoconazole Sertraline
Kontrasepsi oral Lamotrigine Topiramate
Phenytoin Lithium Valproate
Verapamil Mephenytoin Vigabatrin
(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBENGKAKAN MUKOSA DAN
BIBIR
Obat yang memicu pembengkakan mukosa terutama mempengaruhi bibir dan lidah
(walaupun jarang terjadi pembengkakan uvula yang terpisah [Quinke's disease] dapat terjadi
[Mattingly et al, 1993]), khas disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Aspek
hipersensitivitas dental dan oral telah ditinjau pada bagian lain (Rees dan Gibson, 1997),
tetapi beberapa obat-khususnya penicillin, agen anestesi lokal, turunan cephalosporin,
angiotensin-converting enzyme inhibitors, aspirin, dan barbiturates-dapat meningkatkan
angio-edema (Tabel 16). Hipersensitivitas terhadap latex merupakan masalah yang terus
meningkat pada pemeliharaan kesehatan oral dan dapat menyebabkan angio-edema dengan
onset cepat pada pasien yang rentan.
Tabel 16
Obat yang berhubungan dengan angio-edema
ACE inhibitor Clonidine Indometacin Turunan penicillin
Asparaginase Co-trimoxazole Ketoconazole Turunan pyrazolone
Aspirin Disulphite sodium Mianserin Quinine
Captopril Droperidol Miconazole Streptomycin
Carbamazepine Enalapril Naproxen Sulphonamides
Cephalosporins Epoetin alpha Nitrofurantoin Thiouracil
Clindamycin Ibuprofen Penicillamine
Pembengkakan non-alergik pada oral juga dapat muncul sebagai respon terhadap
terapi ACE inhibitor. Efek samping ini terjadi pada 0,1-0,7 % khas muncul pada minggu
awal terapi, walaupun dapat terjadi dalam beberapa jam sejak permulaan terapi, atau setelah
terapi jangka panjang. Pembengkakan biasanya mengenai bibir, walaupun dapat terlokalisir
pada lidah, dan terkadang fatal. African-Americans memiliki resiko tertentu (Ulmer dan
Garvey, 1992; Gabb et al, 1996; Sabroe dan Black, 1997; Lapostolle et al, 1998; Vleeming et
al, 1998). Pembengkakan jaringan yang berkaitan dengan terapi ACE inhibitor dapat
disebabkan oleh peningkatan level bradikinin dan/atau level atau fungsi dari C1 esterase
inhibitor yang berubah (Ebo dan Stevens, 1997; Seymour et al, 1997).
Plasmasitosis akibat pasta gigi pengendali tartar dapat menimbulkan pembesaran
lokal pada gingiva, lidah, dan mukosa oral lain. Secara histopatologis, gangguan ini
digambarkan dengan infiltrat plasmasitik poliklonal pada lamina propria atas dan jarang
mempengaruhi permukaan mukosa lain, seperti laring dan permukaan anogenital (White et al,
1986; Timms et al, 1988).
Obat yang berhubungan dengan Cheilitis
Pada umumnya cheilitis disebabkan oleh reaksi kontak terhadap kosmetik atau makanan,
tetapi obat juga dapat terlibat, khususnya agen sitotoksik, phenothiazine, protease inhibitor,
psoralens, dan retinoid (Scully et al, 2000) (Tabel 17).
Tabel 17
Obat yang berhubungan dengan cheilitis
Aktinomisin Cyancobalamin Isotretinoin Streptomisin
Atorvastatin Ethyl alcohol Lithium Sulphasalazine
Busulphan Etretinate Menthol Tetracycline
Busulphan Emas Methyldopa Vitamin A
Clofazimine Indinavir Penicillamine
Clomipramine Isoniazid Selegiline
Obat yang berhubungan dengan neuropati
(1) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NEUROPATI TRIGEMINAL
Parestesi, hipestesi, atau anestesi trigeminal dapat muncul akibat penggunaan interferon alfa
(Read et al, 1995), acetazolamide, labetalol, sulthiame, vincristine (McCarthy dan Skillings,
1992), mefloquine (Watt-Smith et al, 2001), dan terkadang, dengan agen lain-paling sering
saat ini vaksinasi hepatitis B (Maillefert et al, 1997) dan beberapa protease inhibitor (Scully
dan Diz, 2001) (Tabel 18). Anestesi lokal seperti articaine dan procaine dapat menunjukkan
derajat kecil neurotoksiksitas (Haas dan Lennon, 1995).
Tabel 18
Obat yang berhubungan dengan parestesia atau hipestesia trigeminal
Acetazolamide Interferon alpha Nitrofurantoin Streptomisin
Amitryptiline Isoniazid Pentamidine Sulphonylureas
Articaine Labelatol Phenytoin Sulthiame
Chlorpropamide Mefloquine Prilocaine Tolbutamide
Colistin Methysergide Propofol Tricyclics
Ergotamine Monoamine oxidase
inhibitors
Propanolol Trilostane
Analog
Gonadotropin-
releasing hormone
Asam nalidixic Prothionamide Vincristine
Hydralazine Asam nikotonik Stilbamidine Streptomisin
(2) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN GERAKAN MUKA YANG TIDAK
DISADARI
Butyrophenone, phenothiazine, tricyclic antidepressant, dan obat lain terkadang dapat
menghasilkan beberapa gerakan berbeda pada mulut dan wajah yang dipicu oleh obat tersebut
(Jimenez-jimenez et al, 1997), khususnya tardive dyskinesia sekunder karena antipsikotik
(Hansen et al, 1997; Driederich dan Goetz, 1998) dan distonia karena metoclopramide (Tabel
19). Walaupun kelainan ini pada intinya mempengaruhi wajah, ada pula gerakan abnormal
yang terbatas pada lidah-contohnya, distonia sekunder karena terapi carbamazepine.
Tabel 19
Obat yang berhubungan dengan gerakan muka yang tidak disadari
Carbamazepine Methyldopa Phenytoin
L-dopa Metoclopramide Tetrabenazine
Lithium Metirosine Trifluoroperazine
(3) OBAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NYERI OROFASIAL DAN
DISESTESIA ORAL
Beberapa obat, terutama vinca alkaloid seperti vincristine, dapat menyebabkan nyeri
orofasial (Tabel 20) (McCarthy dan Skillings, 1991, 1992). Enalapril (Guasti et al, 1998) dan
terkadang ACE inhibitor lain, seperti captopril dan lisinopril, dapat menyebabkan, walaupun
jarang, sensasi pada mulut seperti tersiram air panas (Vlasses et al, 1982; Savino dan
Haushalter, 1992). Nyeri orofasial juga dapat menjadi akibat obat pemicu tardive diskinesia
namun jarang terjadi.
Tabel 20
Obat yang berhubungan dengan nyeri orofasial
Benztropine Lithium Stilbamidine
Biperidine Penicillins Ticarcilin
Griseofulvin Phenothiazines Vitamin A
Obat yang berhubungan dengan halitosis
Bau mulut dapat dikaitkan dengan obat yang menyebabkan xerostomia, yang secara
tidak langsung dapat menyebabkan atau memperparah masalah ini, tetapi obat lain seperti
isosorbide dinitrate, dimethyl sulphoxide, atau disulfiram, juga dapat bertanggungjawab
langsung atas terjadinya bau mulut (Tabel 21)
Tabel 21
Obat yang berhubungan dengan halitosis
Dimethyl sulphoxide
(DMSO)
Disulfiram Isorbide dinitrate
Obat yang berhubungan dengan perubahan warna gigi
Chlorhexidine, fluoride, iron, dan kebiasaan seperti merokok dan pengunaan betel
telah tercatat dengan jelas sebagai penyebab perubahan warna pada gigi superfisial, tetapi
beberapa obat lain seperti antibiotik dan minyak tertentu juga dapat menjadi penyebab.
Perubahan warna intrinsik tampak menonjol saat tetrasiklin diberikan pada anak di bawah 12
tahun, tetapi obat lain, terutama ACE inhibitor, juga dapat menghasilkan perubahan pada
warna gigi (tabel 22).
Tabel 22
Obat yang berhubungan dengan perubahan warna gigi
Enalapril Pentamidine Ramipril
Etidronate Perindopril Terbinafine
Fosinopril Propafenone Trandolopril
Lisinopril Quinapril Zopiclone
Kesimpulan
Obat dalam spektrum yang luas dapat meningkatkan sejumlah manifestasi merugikan
pada orofasial. Reaksi yang paing sering terjadi adalah mulut kering, gangguan pengecapan,
dan pembengkakan gingiva. Obat yang memicu ulserasi mukosa oral juga sering terjadi,
terutama pada kemoterapi kanker. Selain itu, ada banyak reaksi lain yang terkadang terjadi.
Ada beberapa penelitian randomisasi double-blind terkontrol yang relevan dalam
bagian ini, dan data yang tersedia hanya berasal dari laporan kasus, small series, dan laporan
non-peer-reviewed dari reaksi obat yang merugikan.
Klinisi harus berhati-hati dalam menanyakan riwayat obat dan selalu mengeksklusi
obat yang menyebabkan tanda dan gejala pada oral dan peri-oral.