Tetanus Kanyo

30
BAB I PENDAHULUAN Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang.Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom. 1,2 Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. 1,3 Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus ), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora Clostridium 0

Transcript of Tetanus Kanyo

BAB I

PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti

menegang.Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai

gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai

dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion

sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.1,2

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah

mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga

yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan

lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu

Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia,

tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk

sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan

toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan

tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,3

Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia

menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung

(opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani

biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk

ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).2,4,5

Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan

antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier

mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri

lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh

Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk

pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan

menyuntik saraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang

fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetaniterisolasi dari suatu

korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa

organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan

bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun

1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan

0

kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari

penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada

tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-

luka pertempuran selama Perang Dunia II.5

1

BAB II

TETANUS

II.1 Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot

dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan

menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.1

II.2 Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk

batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki sifat:1,2,3

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk

gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat

bergerak dengan menggunakan flagella.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi

(dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan dan desinfektans

(fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara

fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan

selama bertahun-tahun.

Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah

pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran

pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Fungsi

dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari

sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, merupakan

toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.

Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,

labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan

minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70

kilogram (154lb) manusia.

2

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein

dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S.

Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

II.3 Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah

populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat

pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau

mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi

dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi,

akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1

Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus

masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang,

mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran

masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu

tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering

oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program

imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan

sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman

Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya

dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), ataupun pada alat suntik dan

operasi.1

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh

bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah

3

lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun

diduga melalui:1,2

1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah tulang

komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas

2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan

baik (goresan-goresan upacara, sirkumsisi wanita).

3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran

binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama

masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus

neonatorum.

II.4 Patogenesis

Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang

disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut

menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar

dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan

C. tetani ini. Walaupun demikian luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga,

atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan port d’entré

(tempat masuk) dari C. tetani.

Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik, berubah

menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang

anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan

oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu, pecahan kaca dan sebagainya.1,2

Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1,2,4

1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu

anterior susunan saraf pusat.

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian

masuk ke dalam susunan saraf pusat.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor

endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan

menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe

dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor

4

khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian

melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional

dan menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan

kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang

terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus

otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin

meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang besar.

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu

dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino

Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin.GABA adalah neuroinhibitor yang paling

utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang

eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,

namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah

sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang

terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.Keadaan

ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi

kekakuan otot dan kejang.Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang

yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang

karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti

retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena

tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.4

Dampak Toksin

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi

impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral

gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus

3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan

gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block

atau takikardia.

5

II.5 Manifestasi Klinis

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.Makin lama

masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan.Derajat berat penyakit selain berdasarkan

gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of

onset.Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh

tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua

lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai

busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering

merupakan gejala dini.1,2,4-7

Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin

bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata

dengan:1

Trismus

Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates

kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak

dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan

mulut diukur setiap hari.

Risus sardonikus

Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke atas, mata

agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.

Opistotonus

Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher (kaku

kuduk), otot badan, dan trunk muscles.Kekakuan yang sangat berat dapat

menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi.Kemudian tidak jelas lagi

dan serangan tersebut disertai rasa nyeri.Kadang-kadang terjadi perdarahan

intramusculus karena kontraksi yang kuat.

Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.

Kejang umum

Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi

setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior), misalnya dicubit,

digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun “masa istirahat”

kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

6

Asfiksia dan sianosis

Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan dan

laring (spasme laring).Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot sfingter

uretra.Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena

kontraksi otot yang sangat kuat.

Gangguan saraf autonom

Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama jantung atau

kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau keringat banyak.

Gambar 2. Opistotonus

Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:

1. Localized tetanus

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah

tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).Hal ini merupakan tanda

dari tetanus lokal.Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam

beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara bertahap.

Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini

dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah.Hal ini

terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2. Chepalic Tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.Masa inkubasi

berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),

luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga

hidung.Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering

terlibat.Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus

7

luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya

ptosis.Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri

maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.

Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum.Pada umumnya

prognosisnya buruk.

3. Generalized tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal.Sering menyebabkan komplikasi yang

tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.

Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan

kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.

Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding

perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan

saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40o C. Bila

dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai

takikardia, penderita biasanya meninggal.Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan

gejala klinis.

Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi

dari klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi 4 diantaranya, yaitu(8):

Derajat I (tetanus ringan)

- Trismus ringan sampai sedang (3cm)

- Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan

- Tidak dijumpai disfagia atau ringan

- Tidak dijumpai kejang

- Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)

- Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)

- Kekakuan jelas

- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

- Takipneu

- Disfagia ringan

8

Derajat III (tetanus berat)

- Trismus berat (1cm)

- Otot spastis, kejang spontan

- Takipne, takikardia

- Serangan apne (apneic spell)

- Disfagia berat

- Aktivitas sistem autonom meningkat

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :

- Gangguan autonom berat

- Hipertensi berat dan takikardi, atau

- Hipotensi dan bradikardi

- Hipertensi berat atau hipotensi berat

4. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,

umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak

mendapat imunisasi yang adekuat.Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan

untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh

klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan

ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan

fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada

pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.Kematian biasanya disebabkan henti nafas,

hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru.

II.6 Diagnosis

Biasanya tidak sukar.Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas

terutama pada rahang sangat membantu.Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu

menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1

• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan

nanah atau gigitan binatang

• Apakah pernah keluar nanah dari telinga

• Apakah menderita gigi berlobang

9

• Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir

• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)

dengan kejang yang pertama (period of onset)

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:1

- Leukosit normal atau leukositosis ringan

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat

membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk

tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

II.7 Diagnosis Banding4

PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL

INFEKSI

Meningoencephalitis

Polio

Rabies

Lesi oropharyngeal

Peritonitis

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm

Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK

Tetani

Keracunan strihnin

Relaksasi phenothiazine

Hanyacarpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia

Relaksasi komplit diantara spasme

Distonia, respons dengan diphenhydramine

PENYAKIT CNS

Stastus epilepticus

Hemorrhage atau tumor

Sensorium depressi

Trismus tidak ada, sensorium depressi

10

KELAINAN PSIKIATRIK

Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN

MUSKULOSKLETAL

Trauma Hanya local

II.8 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada:4,5

- Sistem saluran pernafasan

Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya

kejang menyebabkan terjadinya asfiksia.Karena akumulasi sekresi saliva serta

sukar menelan air liur, makanan, dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia

aspirasi dan atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.Pneumotoraks dan emfisema

mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

- Sistem kardiovaskular

Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,

hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan miokardium.

- Sistem muskuloskeletal

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam

otot.Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus

menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan

dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

- Komplikasi yang lain :

Laserasi lidah akibat kejang

Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan

mengganggu pusat pengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia,

cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

II.9 Penatalaksanaan 2,10

11

Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari

kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang,

perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari

pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1

Penatalaksanaan umum

- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit

perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.

- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan

obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang

sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada

kemungkinan terjadinya aspirasi.

- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi

- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup

- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.Obat ini

mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat tanpa

menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3

mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang

direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam

dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5

mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam

intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam

dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk

bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut,

diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam

diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT.Tanda klinis

membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik,

tidak dijumpai gangguan nafas.Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun

anak masih kejang atau mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk

dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat

bantuan pernafasan mekanik.Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis

rumatan telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5

12

hari. Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2

hari)

Penatalaksanaan khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000

IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak,

pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang

dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara

intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis

tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka.

HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung

saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan

dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat

hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat

merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.2 Pada keadaan tetanus berat

memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan

tambahan penatalaksanaan berikut :

HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).

Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.

Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang

berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,

magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat

diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin

diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta

menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu

spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang

sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik. harus dikoordinasi

dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga

minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi

13

dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak

menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera

dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi

yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada

tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang

berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus. 5

Tabel. Perbandingan ATS dan HTIG

2. Antibiotika

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi

terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol

diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30

mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif

untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat

diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika

terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari

(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif

C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis

100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada

semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin

berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam

aminobutirat gama (GABA).2,5

14

Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang

sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat

luka yang dapat memproduksi toksin.5

II.10 Pencegahan

Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu

dilakukan:1,2,4

Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka

yang diduga tercemar dengan spora tetanus.Luka dibersihkan atau dilakukan

debridement.Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.

Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)

dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Imunisasi aktif

Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus.Jenis imunisasi

tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan

sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada

usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus diberikan pada

wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah

pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena

tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)10

Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur

kurang dari 7 tahun.Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan

pada otot lengan atau paha.Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak

berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang

dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia

prasekolah (5-6 tahun).

DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo.Terdapat 2 jenis vaksin DPT, yaitu

DTwP dan DTaP.DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel kuman pertusis,

sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari kuman pertusis.Keuntungan

15

DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP

lebih mahal.

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri

di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi

karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT

menyebabkan komplikasi berikut:

Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) pada 2,2 % kasus

Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak yang

sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam

keluarganya.

Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

II.10 Prognosis1,2

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka

mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern.

Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa

inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa

inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin

buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam

menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan

tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.

Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini

meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.

16

Tabel. Sistem Skoring Bleck

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot

dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang

terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis maka

dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan tetanus sefalik.

17

Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang

terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut,

toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi dan efek

dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat dieliminasi.

Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of onset,

pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar Infeksi &

Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.322-9.

2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of Pediatrics.

17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.

3. Todar K.Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited 2013

February 23]. Available from: http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.

18

4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.

5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:

http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.

6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.

7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus. CJEM

2010;12(1):69-72.

8. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors.British Homoeopathic

Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.

9. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM. Tetanus.

WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.

10. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI. 2010; hal. 87-9.

19