Tetanus kasus

36
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Tetanus 2.1.1 Definisi Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat (Gilroy, et al., 1982) Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani (Harrison, 1994). Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus ( Adams, et al., 1997 ). Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ) ( Adams, et al., 1997 ). 2.1.2 Etiologi

description

definisigejala klinis

Transcript of Tetanus kasus

Page 1: Tetanus kasus

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tetanus

2.1.1 Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat (Gilroy, et al., 1982)

Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang

disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi

oleh Clostridium tetani (Harrison, 1994).

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,

diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,

yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan

mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus ( Adams, et

al., 1997 ).

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit

oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat

(Tetanus Neonatorum ) ( Adams, et al., 1997 ).

2.1.2 Etiologi

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani. Berbentuk batang

yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 µm dan lebar 0,3–0,5 µm, termasuk

gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe

lain berdasarkan flagella antigen (Ritarwan, 2004).

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan

ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan

dalam air mendidih selama 4 jam dan obat antiseptik tetapi mati dalam autoclave

bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya,

maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga

dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing,

Page 2: Tetanus kasus

tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam

anaerob dan kemudian berkembang biak (Ritarwan, 2004).

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam

eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein

dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan

cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan

kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui

beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala

berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin

menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah (Ritarwan, 2004).

2.1.3 Klasifikasi dan Gejala Klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa juga lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3

atau beberapa minggu) (Krugman, 1992).

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis:

1. Localited tetanus (Tetanus lokal)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada

daerah tempat di mana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah

merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bias

bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara

bertahap.

Lokal tetanus ini bias berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini

dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal

ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2. Cephalic tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di

India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam

rongga hidung.

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Page 3: Tetanus kasus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi

yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-

diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang

disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot

leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala

lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opisto

tonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan

otot-otot pernafasan bias menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianoseasfiksia.

Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompresi fraktur dan pendarahan di dalam

otot. Kenaikan temperature biasanya hanya sedikit, tetapi begitu pun bias

mencapai 40° C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak

stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan

hanya berdasarkan gejala klinis.

4. Neonatal tetanus

Biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk melalui tali

pusar sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh

proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang

telah terkontaminasi spora Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan

untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional

yang tidak steril, merupakan factor utama dalam terjadinya neonatal tetanus

(Adams, 1997).

2.1.4 Keparahan

Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus (Kliegman et

al., 2011):

1) Grade I (ringan)

Trismus ringan, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak ada

spasme dan disfagia.

2) Grade II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan

Page 4: Tetanus kasus

durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.

3) Grade III A (berat)

Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang,

distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,apneic spell, disfagia berat,

takikardia ≥ 120 kali/menit.

4) Grade III B (sangat berat)

Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang

melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi bergantian

dengan hipotensi relatif dan bradikardi, salah satunya dapat menjadi persisten.

2.1.5 Diagnosa Banding

1) Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan

cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan

glukosa menurun.

2) Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi

dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3) Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat klonik.

4) Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5) Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat

dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme

dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.

6) Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

Page 5: Tetanus kasus

7) Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

8) Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.

Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,

9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher.

2.1.6 Patofisiologi

Seperti pada semua infeksi luka yang disebabkan oleh Clostrodium,

kejadian awal pada tetanus adalah kejadian trauma pada host yang diikuti

kontaminasi luka oleh Clostrodium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan

penurunan potensial oksidasi-reduksi sehingga menyediakan lingkungan yang

cocok untuk pertumbuhan Clostrodium tetani. Setelah pertumbuhan awal, bakteri

ini tidak invasif dan tetap terbatas pada jaringan nekrotik, yaitu tempat

Clostrodium tetani menghasilkan toksik yang mematikan. Dan pertumbuhan

tetanus biasanya oleh masuknya sprora bersama benda asing dan atau bakteri lain

ke dalam jaringan yang rusak atau mati sehingga terjadi keadaanan aerob yang

menguntungkan bagi pertumbuhannya. Kadang-kadang spora bakteri yang masuk

pada cedera terdahulu dapat bertahan dalam jaringan selama berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun. Dan dapat diaktifkan untuk menjalani pertumbuhan

vegetatif ketika terjadi trauma kecil yang mengubah keadaan setempat (Muliawan,

2007).

Penyakit tetanus disebabkan neurotoksik yang kuat, yaitu: tetanospasmin,

yang dihasilkan sebagai protein-protein protoplasmic oleh bentuk vegetatif

Clostrodium tetani pada tempat infeksi yang terlokalisasi dan dilepaskan terutama

ketika terjadi lisis bakteri tersebut oleh plasmid. Tetanospasmin dapat terikat

secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuknya yang terpenting ke

dalam susunan saraf adalah myoneural junction pada neuron motoric alfa. Setelah

toksin menjalar ke dalam neuron, toksin tersebut tidak lagi dapat dinetralkan.

Tetanospasmin di bawa melalui transport aksonal retrograde keneuroaksis, dan di

Page 6: Tetanus kasus

situ toksin tersebut bermigrasi secara transinaptik ke neuron lainnya. Hal yang

terpenting di antara neuron ini adalah sel penghambat presinaptik. Toksik akan

terikat pada sinaps penghambat presinaptik pada neuroaksis dan mencegah

pelepasan transmitter. Karena tidak ada hambatan tersebut neuron motorik yang

lebih bawah akan meningkatkan tonus otot sehingga timbul kekakuan otot. Hal ini

memungkinkan timbul spasme otot agonis ataupun otot antagonis secara stimulan,

yang merupakan cirri khas tetanus. Tetanospasmin dapat pula memudahkan

kontraksi otot spontan pada tetanus yang berat tanpa potensial aksi pada saraf

eferen (Muliawan, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan Klinis dan Penunjang

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan kekakuan otot setempat, trismus,

sampai kejang yang hebat.

a. Padatrismus lokal ditemukan kekauan dan spasme yang menetap.

b. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhesus sardonikus dan disfungsi

nervus kranial.

c. Pada tetanus umum atau genetalisata adanya: trismus, kekakuan leher,

kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta

ekstensi tungkai. Kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan

ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d. Pada tetanus neonates ditemukan kekakuan, spasme dan posisi tubuh

klasik trismus kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus

yang berat dengan lordosis lumbal.

(Kasra, 2012)

Pemeriksaan penunjang meliputi :

a. Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan darah, meliputi: glukosa darah (hipoglikemia merupakan

presdiposisi kejang), BUN (peningkatan BUN mempunyai potensi kejang

dan merupakan indikasi neprotoksik akibat dari pemberian obat), elektrolit

Page 7: Tetanus kasus

K, Na (ketidakseimbangan elektrolit merupakan presdiposisi kejang

kalium, normal 3,80-500 meq/dl)

b. Pemeriksaan mikrobiologi.

Bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotik, tetapi hanya

30% dari keseluruhan kasus tetanus yang dalam pemeriksaan mikrobiologi

terdapat Clostridium tetani.

c. Pemerikasaan cairan cerebrospinalis.

Cairan cerebro spinalis dalam batas normal walaupun kadang-kadang

meningkat akibat kontraksi otot.

d. Pemeriksaan EEG (Electro Encephalo Graphy).

Teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh

untuk mengetahui fokus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.

(Haq, 2011)

2.1.8 Penatalaksanaan

1) Medikasi

Penatalaksanaan tetanus pada dasarnya mengenai 3 sasaran, yaitu:

(1) Membuang sumber tetanospasmin

Organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk

mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.

(2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat

Toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya

dinetralisasi.

(3) Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan

dengan jaringan telah habis dimetabolisme. Selain itu, perlu

penatalaksanaan agar efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf

pusat diminimalisir.

(Edlich, et al.,2003).

Page 8: Tetanus kasus

Netralisasi dari toksin yang bebas

Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di

sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah

melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia

(TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis

terbagi karena volumenya besar. Setelah evaluasi awal, human tetanus

immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total

3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat

berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National

Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500

IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di

tempat sekitar luka, hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya

25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. (Edlich, et al.,2003)

Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap

imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya,

trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan

kontraindikasi pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS

(Anti Tetanus Serum) dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit

intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit

dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.

(Edlich, et al., 2003).

Ada ahli yang menggunakan ATS dan ada yang tidak menggunakannya. 

Bila digunakan, keberatannya adalah mengenai harga, tetapi bila digunakan pun

tidak berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif.  Kemampuan

perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja. Sebelum

digunakan, ATS harus diuji sensitifitas dahulu kepada penderita untuk mengetahui

apakah seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau tidak.  Untuk

melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test) dan tes mata (eye

test).

Tes kulit.  Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).  Caranya yaitu 0,1

cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi   1 cc. 

Page 9: Tetanus kasus

Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi pada lengan bawah

sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15 menit.  Reaksi positif

(penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan

diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.

Tes mata.  Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata,

tunggulah 15 menit.  Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.

(Utama, 2011).

Pada penderita yang mengalami sensitivitas terhadap ATS, terdapat 3

alternatif, yaitu: (1) pemberian hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara

desensitisasi (cara Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.

Desensitisasi cara Bedreskad

Cara ini adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap

penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal.  Dalam hal

ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus

pada luka besar.  Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap.  Bila

timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.

Cara pemberiannya sebagai berikut :

1.   0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutan,

tunggulah selama 30 menit.

2.   Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau

NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit.  Perhatikan reaksi.  Bila

tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik),

hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid.  Rawat

penderita sesuai keadaannya.

3.   Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan

secara intramuskuler.

Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau

hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan

suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara Besredka,

sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yang diperlukan untuk menanggulangi

syok anafilaktik tetap tersedia (Utama, 2011).

Page 10: Tetanus kasus

Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi

immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari

tetanus tidak memiliki kekebalan. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,

dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda

dan dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian

TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini

tabel yang memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus

pada keadaan luka.

(Ritarwan, 2004).

Menyingkirkan sumber infeksi

Jika ada luka yang nampak jelas hendaknya dilakukan debridemen secara

bedah. Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam

setelah terapi pemberian antitoksin tetanus.  Jika memungkinkan dicuci dengan

perhydrol.  Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.  Bila perlu

di sekitar luka dapat disuntikan ATS (Utama, 2011).

Terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel

vegetatif, sebagai sumber toksin. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole

telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole

diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30

Page 11: Tetanus kasus

mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi

jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif (Edlich, et al., 2003).

Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000

U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi

tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin

membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G

100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada

semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin

berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan

asam aminobutirat gama (GABA) (Edlich, et al., 2003).

Pengendalian rigiditas dan spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat

mengancam respirasi karena menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus

menerus otot-otot pernafasan. Pengendalian ini bertujuan pula untuk menghindari

komplikasi berupa fraktur Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang

di ICU, di mana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan

secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Regimen yang ideal

adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan

sedasi berlebihan dan hipoventilasi (Sudoyo, 2006).

Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah

sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat

agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen pada reseptor GABAA.

Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan

secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam)

dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan

dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh

memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin.

Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua (Sudoyo, 2006).

Page 12: Tetanus kasus

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle

relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator).  Cara ini hanya dilakukan

di ruang perawatan khusus/ICU dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi

(Sudoyo, 2006).

(Ritarwan, 2004).

Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti

konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam. Obat ini

diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian

berikutnya tergantung pada hasil evaluasi setelah pemberian anti kejang. Bila

dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian

diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun (Ritarwan, 2004).

Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol)

adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan

tiap 3 jam). Kemudian, dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih

terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang

dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance)

(Ritarwan, 2004).

Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat,

dan ini dipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak

dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap,

yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak

Page 13: Tetanus kasus

boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan

penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol

kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus

segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang

dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap. Hal ini

dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih

terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti

kejang lainnya harus dilakukan (Ritarwan, 2004).

(Ritarwan, 2004).

Pengendalian disfungsi otonomi

Page 14: Tetanus kasus

Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan

pada pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan

terapi pertama. Benzodiazepin, antikonvulsan dan terutama morfin sering

dipergunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat

terjadi karena gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg

per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid

endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan pelepasan histamin.

Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif yang berguna,

antikolinergik dan antagonis-a-adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas

kardiovaskular (Sudoyo, 2006).

Penatalaksanaan respirasi

Penatalaksanaan respirasi dengan jalan membersihkan jalan nafas secara

teratur, memberikan cairan infus dan oksigen, mengawasi dengan seksama tanda-

tanda vital. Posisi penderita diatur dengan posisi berbaring (Sudoyo, 2006).

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin

dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau

laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,

gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus

di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini (Sudoyo, 2006).

Penatalaksanaan intensif suportif

Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut

menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya

laju metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang

berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin.

Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka

mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau

parenteral. Diet per sonde dapat diberikan dengan asupan sebesar 2000 kalori/hari

untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak (Sudoyo,

2006).

Page 15: Tetanus kasus

Penatalaksanaan tetanus secara ringkas dapat disajikan sebagai berikut:

Pengobatan menurut Adam .R.D. (1997):

- Pada saat onset, 3000 - 6000 unit tetanus immune globulin satu kali saja.

- Sebanyak 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, intramuscular.

Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari.

- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)

- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi. Ini harus

dilakukan untuk mencegah cyanosis dan aphnea.

- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.

- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg

setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan

respirator.

Pengobatan menurut Gilroy (1982):

- Kasus ringan :

Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat

secukupnyanya untuk mengurangi spasme.

- Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )

2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus

dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti

dengan yang baru.

3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.

Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang

berpengalaman

4. Penderita rubah posisi/miringkan setiap 2 jam. Mata

dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjuntivitis.

5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi.

6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.

7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA

8. Rontgen foto thorax

Page 16: Tetanus kasus

9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat

dihentikan pemakaiannya. Jika Keadaan umum membaik, NGT

dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari,

kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

Berikut ini merupakan penjelasan farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai

pada tetanus:

Diazepam.

Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.

Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan

retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter

inhibitori utama (Sudoyo, 2006).

Dosis dewasa

Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu.

Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu.

Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml, diinfuskan 40 mg per jam.

Dosis pediatrik

Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat

kali sehari

Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai

8 jam.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.

Interaksi

Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan

bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI; cisapride dapat

meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.

Kehamilan : kriteria D tidak aman pada kehamilan

Perhatian

Page 17: Tetanus kasus

Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang

lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas

diazepam dapat meningkat.

Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi

pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi

diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. (Sudoyo, 2006)

Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari

Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat,

dan nefritis.

Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,

karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.

Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.

Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem

hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek

samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.

Baklofen.

Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara

eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan

infus diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi.

Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali

terjadi. (Sudoyo, 2006)

Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT

Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa

Kontraindikasi: hipersensitifitas

Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.

Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.

Page 18: Tetanus kasus

Penisilin G

Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama

multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme

yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat

menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas. (Sudoyo, 2006)

Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis

Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari

Kontraindikasi: hipersensitivitas.

Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya

melebihi resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol.

Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke

dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA

dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel.

Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan

metronidazol sebagai antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga

merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. (Sudoyo, 2006)

Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari

4 gr/hari.

Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2

gr/hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.

Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya

melebihi resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan

neuropati perifer.

Vekuronium.

Page 19: Tetanus kasus

Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan

terjadinya paralisis muskuler (Sudoyo, 2006).

Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila

pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis:

0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.

Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun:

mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih

sering, > 10 tahun: seperti dosis biasa.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.

Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi,

blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan

steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade berkpenjangan walaupun

obat telah distop.

Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil vekuronium

akan memberikan efek yang kuat.

2) Terapi Suportif

Pasien perlu dirawat inap agar dapat diobservasi secara terus-menerus.

Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis

berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat

diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,

gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya

tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis (Taylor, 2006). Cairan intravena

diberikan untuk mendukung kecukupan cairan tubuh. Pada hari pertama perlu

pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila

sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian

nutrisi secara parenteral.. Nutrisi tambahan yang diberikan secara parenteral total

mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk

mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein sehingga.

Page 20: Tetanus kasus

Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein (Adlich,

2003).

Untuk menghindari dan meminimalkan resiko kambuhnya kejang

singkat dan sering, pasien sebaiknya ditempatkan pada ruangan yang gelap dan

tenang (Taylor, 2006). Penanganan jalan napas sangat diutamakan. Spasme laring,

spasme otot, atau sedatif dalam dosis yang besar semua dapat mengganggu

jalannya respirasi. Pasien perlu diposisikan untuk mencegah terhambatnya jalan

napas ketika mendadak spasme paroksimal (Thwaites dan Yen, 2005).

Penanganan jalan napas merupakan prioritas utama. Pada pasien yang

mengalami sekresi bronkus berlebihan, perlu dilakukan tindakan suctioning

sesering mungkin (Thwaites dan Yen, 2005). Apabila ada keterlibatan otot-otot

dada, punggung, atau distress pernapasan, perlu dilakukan trakeostomi (Towey,

2005). Sering terjadi kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis

diafragma, dan kontraksi otot respirasi yang tidak adekuat sehingga tidak

tersedianya akses jalan napas yang lancar. Pencegahan komplikasi respirasi

meliputi perawatan mulut intesif, fisioterapi dada, dan suction trakea (Taylor,

2006).

Spasme otot yang timbul dapat ditangani dengan obat sedatif.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat

kortikal. Dosis diazepam yang dianjurkan adalah 0,1 – 0,3 mg/kgBB tiap

pemberian dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis. Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis perawatan sesuai keadaan klinis.

Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10mg/hari. Dosis

maksimal pemberian adalah 40mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik apabila pada

pasien tidak ada spasme spontan, kesadaran membaik (tidak koma), tidak ada

gangguan pernapasan, badan masih kaku (Thwaites dan Yen, 2005).

Tambahan terapi sedasi dapat didapatkan dari golongan barbiturate, khususnya

phenobarbital dan golongan phenotiazine seperti chlorpromazine. Penggunaan

obat tersebut dianjurkan untuk pasien dengan gangguan otonom (Thwaites dan

Yen, 2005). Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg secara intravena,

sedangkan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120

Page 21: Tetanus kasus

mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis 50-150 mg

(Adlich, 2003). Apabila spasme otot tidak bisa diatasi dengan obat-obatan sedatif,

dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure

ventilation (IIPV). Pasien dengan tetanus berat seringkali membutuhkan IIPV

selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda (Thwaites dan Yen, 2005).

2.1.9 Prognosis

Prognosis tetanus menurut Adams, et al (1997) diklasifikasikan dari

tingkat keganasannya, yaitu :

1. Ringan, bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )

2. Sedang, bila sekali muncul kejang umum

3. Berat, bila kejang umum yang berat sering terjadi

Menurut Cole-Spooner, masa inkubasi dan periode onset dapat

menentukan prognosis pasien tetanus.

Kelompok

prognostik

Periode awal Masa inkubasi

I

II

III

< 36 jam

>36 jam

Tidak diketahui

±6 hari

>6 hari

Tidak diketahui

(Jong, 2005)

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka

kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif

menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang.

Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka

kematian (Jong, 2005).

2.2 Peran Bakteri Rongga Mulut pada Infeksi Sistemik

Rongga mulut manusia pada saat masih di uterus sebenarnya steril.

Kontaminasi pertama rongga mulut dengan bakteri, protozoa, virus, dan jamur

adalah saat lahir. Segera setelah kelahiran kondisi rongga mulut mulai dapat

mendukung kehidupan sekelompok bakteri atau mikroorganisme alam 4-12 jam

Page 22: Tetanus kasus

setelah lahir, Streptococcus viridians menetap sebagai anggota flora yang paling

utama dan tetap seperti ini selama hidup. Pada awal kehidupan, jenis flora

bertambah dengan Staphylococcus aerob dan anaerob, diplococcus Gram-negatif

(Neiserria, Branhamella), difteroid, dan kadang-kadang laktobasil. Pada akhir

tahun pertama hidup, sedikitnya Streptococcus, Staphylococcus, dan Veillonellae

adalah bakteri permanen, bersama-sama dengan bakteri jenis lain yang pola

penyebarannya tidak mengikuti bakteri sebelumnya. Bila gigi geligi mulai keluar,

Spirochaeta anaerob, Bacteroides (khususnya B. melaninogenicus), spesies

Fusobacterium, spesies Rothia dan Capnocytophaga, beberapa vibrio anaerob

serta laktobasil akan menetap.

Bakteri-bakteri dalam rongga mulut akan selalu meningkat seiring

meningkatnya usia seseorang. Pada saat seseorang dewasa, bakteri yang terdapat

di saliva meningkat mendekati rata-rata 6 milyar mikroorganisme/ml, yang dapat

ditempati kurang lebih 30 jenis mikroorganisme. Tempat-tempat utama yang

sering dijadikan tumbuh kembang bakteri rongga mulut adalah bagian dorsum

lidah, sulkus gingiva, dan plakgigi. Khusus untuk spesies Actinomyces dalam

keadaan normal terdapat dalam jaringan tonsil dan gingiva orang dewasa;

berbagai protozoa mungkin jugaterdapat di daerah tersebut.

Infeksi pada mulut dan saluran pernapasan seringkali melibatkan bakteri

anaerob. Infeksi periodontal, abses perioral, sinusitis, dan mastoiditis terutama

disebabkan oleh Prevotella melaninogenica, Fusobacterium dan

peptostreptococcus. Aspirasi air liur (berisi 102 organisme ini dan bentuk

anaerob) dapat menimbulkan pneumonia nekrosis, abses paru, dan empiema.

Sekali masuk ke dalam tubuh, bakteri harus menempel pada sel inang,

biasanya sel epitel. Setelah bakteri menetap pada tempat infeksi pertama, bakteri

berkembangbiak dan menyebar langsung melalui jaringan atau lewat system getah

bening menuju aliran darah. Infeksi ini (bakteremia) dapat bersifat sementara atau

menetap. Bakteremia memungkinkan bakteri untuk menyebarluas dalam tubuh

dan mencapai jaringan yang cocok bagi perkembangbiakannya.

Berbagai macam penyakit infeksi, dapat disebabkan oleh invasi bakteri

rongga mulut ke sel atau jaringan organ lain. Penyakit yang dapat disebabkan oleh

Page 23: Tetanus kasus

bakteri rongga mulut melalui jalur bakteremia dapat berupa penyakit local

maupun sistemik, antara lain Gonorrea, pneumonia, endokarditis, pertusis,

maupun infeksi saluran pernafasan atas. Penjalaran bakteri melalui mekanisme

bakteremia adalah melalui aliran darah ataupun getah bening.

Infeksi yang disebabkan bakteri rongga mulut pada organ lain dari tubuh

dapat dijelaskan melalui teori fokal infeksi yang menyebutkan infeksi yang terjadi

pada organ lain di tubuh dapat disebabkan oleh inisiasi dan progresi bakteri di

ronggamulut. Faktor virulensi bakteri juga merupakan faktor yang memainkan

peranan penting untuk terjadinya suatu infeksi. Faktor virulensi ini berupa factor

perlekatan bakteri dan invasi bakteri ke sel inang dan jaringan (Soeherwin dan

Ariadna, 2009).