Precil Tetanus

27
PRESENTASI KASUS TETANUS Diajukan kepada Yth: dr. Heppy Octaiant!" Sp. PD Di#u#un !$eh : De#tiatpin S!%yanin&ru' ()A*+)*+, Yanuary Tej! -unt!$! ()A*+)*+ Anna Ru'ai#yah A/idin ()A*+)*+0 S12 I31U PENYAKIT DA3A1 RSUD PRO2. DR. 1AR(ONO SOEKAR4O 2AKU3TAS KEDOKTERAN UNI5ERSITAS 4ENDERA3 SOEDIR1AN PUR6OKERTO ,*+0

description

kjb kj ok

Transcript of Precil Tetanus

PRESENTASI KASUS

TETANUS

Diajukan kepada Yth:

dr. Heppy Octavianto, Sp. PDDisusun oleh :

Destiatpin Sofyaningrum

G4A014012Yanuary Tejo Buntolo

G4A014013Anna Rumaisyah Abidin

G4A014015SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2015LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TETANUSDisusun oleh :Destiatpin Sofyaningrum

G4A014012

Yanuary Tejo Buntolo

G4A014013

Anna Rumaisyah Abidin

G4A014015

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : Januari 2015Dokter Pembimbing : dr. Heppy Octavianto, Sp. PDBAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh kuman Clostridium tetani yang dimanifestasikan berupa kejang otot proksimal, diikuti oleh kekuatan otot seluruh tubuh. Kekuatan tonus otot ini selalu tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Mansjoer, 2008).Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama yang beriklim tropis dan Negara-negara yang sedang berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain di benua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program imuniasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.

Meskipun WHO menetapkan target mengeradikasikan tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap bersifat endemic pada Negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorium, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika. Di Afrika selatan kira-kira terdapat 300 kasus per tahun, dan kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.

Kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang memiliki kondisi kesehatan rendah. Data WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju (Mansjoer, 2008).

BAB IISTATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN

Nama:Ny. N

Umur:57 tahun

Jenis kelamin:Perempuan

Alamat:Ajibarang Wetan Rt 2/3, Ajibarang

Agama:Islam

Status:Menikah

Pekerjaan:Ibu rumah tangga

Tanggal masuk:16 Desember 2014

Tanggal pemeriksaan:23 Desember 2014

No CM:00919547

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sulit untuk membuka mulutKeluhan TambahanLeher terasa kaku, perut kaku, sesak nafas, lemasRiwayat Penyakit SekarangPasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo pada tanggal 16 Desember 2014 dengan keluhan sulit untuk membuka mulut. Keluhan tersebut sudah dirasakan kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit Margono Soekarjo, dan dirasakan semakin memberat. Selain sulit untuk membuka mulut, pasien juga mengeluhkan leher yang terasa kaku, perut terasa kaku, sesak nafas, dan badan terasa lemas. Leher dan perut terasa kaku sejak 2 hari yang lalu diikuti dengan sesak nafas. Pasien juga mengeluhan sulit untuk makan sehingga badan terasa lemas.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal2. Riwayat hipertensi

: disangkal3. Riwayat DM

: disangkal4. Riwayat penyakit jantung

: disangkal5. Riwayat alergi

: disangkal 6. Riwayat mondok

: disangkalRiwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal2. Riwayat sakit kuning

: disangkal3. Riwayat hipertensi

: disangkal4. Riwayat DM

: disangkal5. Riwayat penyakit jantung

: disangkal 6. Riwayat penyakit ginjal

: disangkalC. PEMERIKSAAN FISIKDilakukan di bangsal Mawar RSMS, 23 Desember 2014.1. Keadaan umum : tampak sesak2. Kesadaran

: Compos Mentis

3. Vital sign

Tekanan Darah: 130/80 mmHg

Nadi

: 72 x/menit

Respiration Rate: 21 x/menit

Suhu

: 36,2 0C

4. Status generalis

a. Pemeriksaan kepala

1) Bentuk kepala

Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-/-)

2) Rambut

Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata3) Mata

Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)4) Telinga

Discharge (-), deformitas (-)

5) Hidung

Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

6) Mulut

Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)b. Pemeriksaan leher

Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)Palpasi : JVP 5+2 cmc. Pemeriksaan thoraks

ParuInspeksi: Dinding dada tampak simetris, tidak tampakKetinggalan gerak (-)Palpasi: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri

Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi: Seluruh lapang paru terdengar sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi: Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus -/-

Ronki basah kasar -/-

Wheezing -/-Jantung

Inspeksi: Ictus Cordis tampak di SIC V LMCS

Pul epigastrium (-), pul parasternal (-).Palpasi: Ictus Cordis teraba pada SIC V LMCS dan kuat angkat (-)

Perkusi: Batas atas kanan: SIC II LPSD

Batas atas kiri

: SIC II LPSS

Batas bawah kanan: SIC IV LPSD

Batas bawah kiri: SIC V LMCS

Auskultasi: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)d. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi: datar, supelAuskultasi: Bising usus (+) normalPerkusi: Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)Palpasi: Teraba keras (Perut papan), Nyeri tekan (-)Hepar

: Tidak terabaLien: Tidak terabae. Pemeriksaan ekstremitas

PemeriksaanEkstremitas superiorEkstremitas inferior

DextraSinistraDextraSinistra

Edema----

Sianosis----

Akral dingin----

Reflek fisiologis++++

Reflek patologis----

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium darah tanggal 16 Desember 2014Darah lengkap :

Hemoglobin

: 12.2 g/dl

Leukosit

: 9050 /Ul

Hematokrit

: 36% (Low)Eritrosit

: 4.6 10e6/uL

Trombosit

: 417.000 /Ul

Ureum

: 77.6 mg/dl (High)Kreatinin

: 1.05 mg/dl (High)GDS

: 85 mg/dl

Natrium

: 142 mmol/L

Kalium

: 4,0 mmol/L

Klorida

: 104 mmol/L

b. EKG tanggal 17 Desember 2014

Kesan Normal Sinus RhytmE. DIAGNOSIS KERJATetanusF. TERAPIa. Farmakologis: O2 3 lpm (NK) IVFD RL 20 tpm Inj. Teragam 12 amp im (boka-boki) Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv Inj. Ranitidin 50 mg 2x1 amp iv Inj. Diazepam 2 Fl/ 8 jam dripb. Non farmakologis: Tirah baring

Makan-makanan yang lunak dan tinggi preotein FisioterapiG. PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonamAd sanationam: dubia ad bonam Ad functionam: dubia ad bonamBAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. PengertianTetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat (American Public Health Association, 2008). Tetanus terdapat dalam beberapa bentuk klinis, termasuk penyakit yang generalisata, neonatal, dan terlokalisasi (Abrutyn, 1994).

II. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora.

Gambar 1. Pewarnaan Gram C. Tetani (Todar, 2007)Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit.

Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensistif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin, dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.

Dengan autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heteroditer yang terdiri dari rantai berat yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmitter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulium dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organism belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid (Ismanoe, 2010)III. Manifestasi KlinisMasa inkubasi tetanus umunya antara 3-21 hari, namun dapat singkat sekitar 1-2 hari dan ada yang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosa. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, diminta makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang (Asa et al., 2006) :Secara klinis tetanus ada 3 macam (Adams et al., 2011):1. Tetanus umum

Tetanus ini merupakan tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, ulkus dekubitus, dan ekstraksi gigi.

Biasanya timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kaku kuduk). 50% penderita tetanus umum akan menunjukkan trismus.Kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas dalam 24-48 jam. Kekakuan otot rahang terutama massete menyebabkan mulut sulit dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut Lock Jaw. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut Rhisus Sardonicus ( alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kaku kuduk sampai opisthotonus.

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.

Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot-otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia, dan sianosis. Retensi urin sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas :

a. Tetanus ringan : trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.

Grade 1 : Ringan

1) Masa inkubasi lebih dari 14 hari2) Onset periode >6 hari3) Trismus positif tetapi tidak berat

4) Sulit makan dan minum tetapi disfagia tidak ada

Lokasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari

b. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.

Grade II : sedang

1) Masa inkubasi 10-14 hari

2) Onset periode 3 hari atau kurang

3) Trismus dan disfagia ada

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispneu dan sianosis tidak ada

c. Tetanus berat : trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.

Grade III : berat

1) Masa inkubasi < 10 hari

2) Onset periode 3 hari atau kurang

3) Trismus berat

4) Disfagia berat

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.2. Tetanus lokalTetanus tipe ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas.Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot-otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal ini adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1% kadang- kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.

3. Tetanus Cephalic

Tetanus ini merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telingan, otitis media kronis. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain : N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.4. Tetanus neonatalTetanus neonatal ini merupakan bentuk umum tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir yang kurang mendapat proteksi imunitas dikarenakan sang ibu imunitas menurun. Tetanus neonatal umum terjadi di banyak negara berkembang dimana wanita tidak diimunisasi tetanus dan perawatan steril tali pusat juga mempengaruhi.IV. Patofisiologi Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospamin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani mula-mula masuk ke dalam tubuh sekitar 1 sampai 2 minggu setelah inokulasi dalam bentuk spora dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit yang penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan ekstotoksin (tetanus, difteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal. Tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari.Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak ekstotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor end plate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intra axonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP.

Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol / eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama sangat sensitif terhadap tetanospamin, menyebabkan kegagalan pengahmbatan reflek respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada ekstremitas otot-otot bergaris pada dada, perut, dan mulai timbul kejang (Cook, 2001).

Tetanospamin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh terhadap pernapasan sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom (Cook, 2001).

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara (Lubis, 2003):1. Toksin mengahalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambar pelepasan asetilkolin dari terminal nerve di otot

2. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi reflek sinaptik di spinal cord

3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan toksin oleh cerebral ganglioside.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang nirmal yang menyebabkan meningktanya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masseter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masseter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas (Lubis, 2003).

Gambar 1. Patofisiologi TetanusV. Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik (Band et al., 2007 ; Dolin, 2008)1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain (Sumarmo, 2008): a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/ patah tulang terbuka, luka dengan nanah?

b. Apakah pernah menderita gigi berlubang?

c. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi terakhir ?

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (Hotez et al., 2004 ; Sumarmo et al., 2008) :a. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut.

b. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah

c. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher, otot badan, trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan

e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi dirangsang dengan dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang. 3. Pemeriksaan penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus (Sumarmo, 2008) :a. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus. b. Nilai hitung leukosit dapat tinggi. c. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal. d. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus. e. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (Sjamsuhidajat, 2005).Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.Tabel 2.1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus (Farrar et al, 2000)ParameterNilai

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Status imunisasi

Faktor pemberat< 48 jam

2-5 hari

6-10 hari

11-14 hari

> 14 hari

Internal dan umbilikal

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

Tidak diketahui

Tidak ada

Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus)

> 10 tahun yang lalu

< 10 tahun yang lalu

Imunisasi lengkap

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa

Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa

Keadaan yang tidak mengancam nyawa

Trauma atau penyakit ringan

ASA derajat I5

4

3

2

1

5

4

3

2

1

10

8

4

2

0

10

8

4

2

1

Tabel 2.2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett (Cottle, 2011)Grade I (ringan)Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang)Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III A (berat)Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.

Grade III B (sangat berat)Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan ADDIN EN.CITE

(9,13,16). Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia (Udwadia, 1992).

Tabel 2.3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia (Udwadia, 1992)Grade I (ringan)Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang)Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III (berat)Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV (sangat berat)Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama (Ogunrin, 2009).

Tabel 2.4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus (Ogunrin, 2009)Faktor prognostikSkor 1Skor 0

Masa inkubasi< 7 hari 7 hari atau tidak diketahui

Periode onset< 2 hari 2 hari

Tempat masukUmbilikus, luka bakar, uterus, fraktur terbuka, luka operasi, injeksi intramuskularPenyebab lain dan penyebab yang tidak diketahui

SpasmeAdaTidak ada

Demam> 38.4oC

TakikardiaDewasa > 120 kali/menit

Neonatus > 150 kali/menitDewasa < 120 kali/menit

Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

a. Skor 0-1: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%

b. Skor 2-3: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%

c. Skor 4: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%

d. Skor 5-6: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

VI. Penatalaksanaan A. Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb (Behrman, 2006): 1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. 2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral. 3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita 4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu. Penatalaksanaan tetanusTerdiri atas(Sudoyo, 2009) :1. Pemberian antitoksin tetanusPemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000 20.000 IU IM dan untuk anak anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU 6000 IU IM dan bagi anak anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 5 hari berturut turut.2. Penatalaksanaan lukaEksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.3. Pemberian antibiotikaObat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis. Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetatifclostridium tetani,jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kumanclostridiumtetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik4. Penanggulangan kejangDahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.Jenis ObatDosis Anak anakDosis Orang Dewasa

Fenobarbital(Luminal)Mula mula 60 100 mg IM, kemudian 6 x 30 mg per oral. Maksimum 200 mg/hari3 x 100 mg IM

Klorpromazin(Largactil)4 6 mg/kg BB/hari, mula mula IM, kemudian per oral3 x 25 mg IM

Diazepam(Valium)Mula mula 0,5 1 mg/kg BB IM, kemudian per oral 1,5 4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis3 x 10 mg IM

Klorhidrat-3 x 500 100 mg per rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU =Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.5. Perawatan penunjangYaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak anak, bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda tanda vital (sepertikesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila perlu.6. Pencegahan komplikasiMencegah anoksia otak dengan (1) pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3) pemberian oksigen.Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadaiB. Obat-obatan 1. Antibiotika Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosisterbagi(4dosis).

BilatersediaPenicilineintravena,dapatdigunakandengandosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetativ dari C.tetani,bukanuntuktoksinyangdihasilkannya.Biladijumpaiadanyakomplikasipemberianantibiotikabroadspektrum dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole Diberikan terutama bila penderita alergi penisilin.

Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis

Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10hari.

Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5mg/KgBB tiap 6 jam

2. Anti tetanus toksinSelama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :

a. Toksin bebas dalam darahb. Toksin bergabung dengan jaringan saraf yang dapat dinetralisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata, dan harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaktik. Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann dan Grossman menganjurkan dosis 50.000 100.000 U yang diberikan setengah lewat i.v dan setengahnya i.m pemberian lewat i.v diberikan selama 1-2 jam. DiFKUI,ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis i.m, sekali pemberian. Antitoksin lainnya Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapatmencetuskan reaksi allergi yang serius.

3. Tetanus ToksoidPemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi padasisi yang berbedadengan alatsuntikyang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadaptetanus selesai.

4. Antikonvulsan

Tabel : JENIS ANTIKONVULSAN

JENIS OBATDOSISEFEK SAMPING

Diazepam0,5-1,0mg/kgBeratbadan4jam(IM)Stupor, koma

Meprobamat300400mg/4jam(IM)Tidak ada

Klorpromasin2575mg/4jam(IM)Hipotensi

Fenobarbital50100mg/4jam(IM)Depresi pernapasan

Obat yang lazim digunakan ialah :a. Diazepam.

Bila penderita datangdalam keadaan kejangmaka diberikan dosis 0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudiandiikutipemberiandiazepamperoral sondelambung)dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.-Dosismaksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi.

Dapatpuladipertimbangkanpenggunaanmagnesiumsulfat,bilaada gangguan saraf otonom.

b. Fenobarbital.

Dosis awal :1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3dosis.

c. Largactil.Dosisyang dianjurkan 4mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.

DAFTAR PUSTAKA

Abrutyn, Elias. 1994. Tetanus dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 edisi 13. Jakarta: EGC

Adams. R.D,et al.2011. Tetanus in :Principles of Neurology,McGraw-HillAsa, K. D, Bertorini, T. E. Pinals, R. S. 2006. Case Report Myositis Ossificans Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences Band, JD, Bennet JV. 2007. Tetanus In:Hoeprich PD, ed. Infectious Disease. Philadelphia : Harper and Row.

Behrman.E.R. 2006. Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders CompanyCook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. Available at: https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection. Diakses tanggal 28 Desember 2014.Dolin,R., 2008. Principles and Practice Of Infectious Disease 4th. New York: Churchill Livingstone

Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;69:292301.Hotez, P., Wilfert C. 2004. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus.edisi 11. USA:Mosby

Ismanoe, Gatot. 2010. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Adalam Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing.Lubis, CP. 2003. Management of Tetanus in Children, Pediatric Indonesiana,vol.33. Medan : Balai Penerbit FK USU.Masnjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. FKUI. Jakarta. 2008.Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.Palmer & Williams. 2007. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.Sumarmo,SPS., Gama H, Hadinegoro SR, Satari. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis edisi 2. Jakarta : IDAI

Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.