Sepsis Neonatorum New

58
Case Sepsis neonatorum Oleh: Hilderia T 93-119 Pembimbing : Dr.Jhony Silitonga, Sp.A KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 13 FEBRUARI – 22 APRIL 2006 FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of Sepsis Neonatorum New

TATA LAKSANA SEPSIS NEONATUS

Case Sepsis neonatorum

Oleh:

Hilderia T93-119Pembimbing :

Dr.Jhony Silitonga, Sp.A

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 13 FEBRUARI 22 APRIL 2006

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTASEPSIS NEONATORUMPENDAHULUAN

Kematian Neonatus sampai saat ini masih merupakan mortalitas yang tertinggi sepanjang kehidupan manusia dan berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Dalam angka kematian bayi (infant mortality rate) dikenal dengan istilah the two third rule atau aturan 2/3, yaitu aturan yang memperlihatkan bahwa 2/3 dari seluruh kematian bayi berusia dibawah 1 tahun merupakan kematian bayi usia kurang dari 1 bulan; dari kematian bayi usia < 1 bulan tersebut 2/3 merupakan kematian bayi berusia < 1 minggu dan 2/3 dari jumlah tersebut meninggal dalam 24 jam pertama. Aturan memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama kematian bayi (infant mortality rate) yaitu angka yang dipakai sebagai indikator kemajuan kesehatan di suatu negara.

Penyebab kematian neonatus pada negara berkembang berturut-turut ialah penyakit infeksi (42 %), asfiksia dan trauma lahir (29 %), bayi kurang bulan dan berat lahir rendah (10 %), kelainan bawaan (14 %) dan sebab lain (4 %). Penyakit infeksi dan Sepsis Neonatorum masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate yang tinggi pada penderita tetanus neonatorum dan sepsis neonatus.

Dengan pesatnya kemajuan teknologi kedokteran dan penemuan bermacam antibiotik baru memperlihatkan penurunan angka kematian sepsis neonatorum. Walaupun demikian, hal ini ternyata tidak memperbaiki angka kejadian sepsis neonatorum. Angka kejadian sepsis yang masih tetap tinggi baik dinegara maju maupun negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor perinatal yang masih belum dapat ditanggulangi dengan optimal, antara lain :

1. Diagnosis sepsis neonatorum seringkali sulit karena jarang ditemukan tanda sepsis klasik. Biakan darah yang merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis baru memberikan hasil setelah 3-5 hari pengambilan bahan biakan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antara waktu, ataupun antar negara. Demikian pula berbagai pemeriksaan penunjang lain seperti C reaktif protein atau rasio I/T tidak spesifik sehingga sulit dipakai sebagai pegangan dalam diagnosis pasti sepsis.

2. Sering terjadi dilema dalam tata laksana sepsis. Keterlambatan pengobatan akan meningkatkan angka mortalitas, sedangkan over diagnosis akibat gambaran klinis yang tidak spesifik akan menyebabkan over treatment yang tentunya akan merugikan pasien.

3. Adanya informasi baru dalam patogenesis dan perjalanan penyakit sepsis dalam dekade terakhir memberikan alternatif baru dalam mengatasi masalah sepsis, baik pencegahan maupun tatalaksana sepsis secara umum beberapa penulisan terakhir memperlihatkan tata laksana sepsis yang lebih efisien dan efektif.(1)Segala bentuk infeksi yang terjadi pada bayi merupakan hal yang lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi yang terjadi pada anak atau dewasa. Sistem imun pada bayi muda belum cukup berkembang untuk melawan infeksi yang terlalu berat. Ini merupakan alasan mengapa bayi harus dirawat dengan ketat bila dicurigai mengalami infeksi.(2)DEFINISI

Konsensus definisi sepsis masih diperdebatkan. Sesuai dengan kesepakatan yang ada, akhir-akhir ini dikemukakan bahwa sepsis bukan merupakan kondisi Homogen dengan ditemukannya kuman penyebab, tetapi merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian. Pada neonatus umumnya ditemukan berbagai tingkat defisiensi sistem pertahanan tubuh, sehingga respon sistematik pada janin dan neonatus akan berlainan dengan orang dewasa. Infeksi neonatus awitan dini respons sistematik pada bayi mungkin terjadi saat bayi masih didalam kandungan yang dikenal dengan istilah fetal inflamatory responce syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau neonatus terjadi karena penyebaran infeksi dari kuman vagina (ascendng infection) atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang mengalami infeksi. Dengan demikian konsep infeksi pada neonatus, khusus pada infeksi awitan dini, perjalanan penyakit bermula dengan FIRS, kemudian sepsis, sepsis berat, syok septik/renjatan septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian. ( lihat gambar 1)

Pada tahun 1991 konsensus The American College of The Physicions and the society of critical care medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systematic inflammatory respons syndrome (SIRS) sebagai respon inflamasi sistemik terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak (trauma, luka bakar, pankreatitis dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasi sistemik terhadap infeksi. Pendapat lain menyebutkan sepsis neonatorum sebagai syndrom klinik penyakit sistematik yang disertai bakteremia dan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ tunggal dan hipotensi. Syok septik ditandai dengan sepsis berat yang membutuhkan resusitasi cairan dan dukungan inotropik. Syndrom disfungsi multi organ yaitu kegagalan multiorgan walaupun dukungan terapi telah diberikan separuhnya

Gambar 1 (1)

Manifestasi fetal inflamatory responce syndrome (FIRS)

Takipnue (frekuensi napas > 60 x/mnt) ditambah merintih

Retraksi atau desaturasi

Instabilitas suhu (< 360C tau > 37,90 C)

Waktu pengisian kembali kapiler > 3 detik

Hitung leukosit < 4000/ml atau < 34.000/ml

FIRS

CRP > 10 mg/dl

IL -6atau IL -8 > 70 pg/mL

16s RNA gene PCR positif.

adanya satu/ lebih kriteria FIRS bersama dengan gejala dan tanda infeksi (lihat tabel 1) sepsis

sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal sepsis berat

sepsis berat dengan hipotensi membutuhkan resusitasi cairan dan obat-obatan inotropik

syok septik

adanya disfungsi multiorgan pada pasien yang mendapatkan pengobatan optimalsindrom disfungsi multi organ

Kematian

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus

Variabel Klinis

Suhu tubuh yang tidak stabil

Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt

Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L)

Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi

Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)

Variabel perfusi jaringan

Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel inflamasi

Leukositosis (> 34.000 /ml)

Leukopenia (< 5000/ml)

Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2

Trombositopenia < 100.000/ml

CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal

IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml

16 sPCR positif

Sumber : Haque/KN Definitions of Blood Stream Infection in The Newbom. Pediat Crit Care Med 2005 6 (3) : 545 549.

EPIODEMIOLOGI

Berdasarkan perkiraan WHO terdapat sekitar 5 juta kematian neonatus per tahun. Di negara berkembang angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis meliputi 11 30 % dari seluruh kematian neonatus. Angka kejadian sepsis dinegara berkembang masih cukup tinggi (1,8 18/1000 kelahiran) di banding dengan negara maju (1-5 pasien/ 1000 kelahiran). Di RSCM periode Januari September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68 % dan seluruh kelahiran hidup dengan tingkat kematian sebesar 14,18 %, tingginya angka kejadian sepsis neonatorum d RSCM karena merupakan RS. Rujukan. (1)

KLASIFIKASI

Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SWAL). Keduanya berbeda dengan patogenesis, mikroorganisme penyebab, tata laksana dan prognosis. SNAD terjadi pada usia < 72 jam, biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari ibu, baik dalam masa kehamilan maupun selama proses persalinan. SNAL terjadi pada usia > 72 jam, dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh selama proses pasalinan tetapi manifestasinya lambat (setelah 3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit (Infeksi nasokomial). Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian. Sepsis lambat mudah menjadi berat, dan sering menjadi meningitis. (3,4)

ETIOLOGI

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri. (2)

Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dalam identifikasi kuman ialah adanya perbedaan antara kuman penyebab dari satu tempat ke tempat yang lain, dari waktu ke waktu, serta perbedaan bentuk infeksi. Pada negara maju kuman yang tersering ditemukan pada infeksi awitan dini adalah kelompok kuman B Streptokokus (GBS), E-coli, Hacmophilus Influenzae dan Lysteria monosytogenis, sedangkan di FKUI RSCM selama tahun 2002 ditemukan berturut-turut kuman Enterobacter Sp, Acinetobader Sp dan Coli Sp. Berlainan dengan kelompok awitan dini, pada awitan lambat pola kuman yang ditemukan.biasanya terdiri dari kuman nosokomial, antara lain Staphilococus aureus, E-coli, Klebsilla, Pseudamonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia, Acinetobacter, kuman anaerob dan virus herpes samplex (HSV). Penelitian yang dilakukan di FKUI RSCM memperlihatkan jenis kuman yang tidak banyak berbeda pada awitan dini dan awitan lambat, yaitu Enterabacter sp, Klebsiella sp dan Acinotobacter Sp.

Hampir sebagian besar kuman penyebab dinegara berkembang adalah kuman gram negatif berupa kuman enterik, antara lain Entrobacter sp, Klebsiella sp, dan Coli sp. Di Amerika Utara dan Eropa Barat 40 % disebabkan oleh Streptococus group B (SGB), sedangkan Coli sp, Literia sp, dan Enterouius di temukan dalam jumlah yang lebih sedikit.pada bayi dengan berat badan lahir rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase negatif (CONS) merupakan patogen yang paling umum pada sepsis awitan lambat.(1)

Streptokokus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakterial pada vagina / rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas.

Bayi berusia 3 bulan 3 tahun beresiko mengalami bakteremia tersamar, yang bila tidak segera di rawat, kadang-kadang dapat mengarah ke sepsis. Bakteremia tersamar artinya bahwa bakteri telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteremia tersamar adalah demam. Hampir 1/3 dari semua bayi rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial dalam darah. S treptokokus pneumoniae (pneumokokus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteremia tersamar pada bayi berusia 3 bulan 3 tahun. (2)

PATOFISIOLOGI

Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorganisme patogen dan pejamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi yang kompleks dalam terjadinya hipotensi dan obstruksi aliran darah karena pembentukkan mikro trombus pada sistem kapilar. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.

Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekuler dan seluler untuk menimbulkan respon sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab, sedangakan tahapan-tahapan pada respon sepsis adalah sama dan tidak tergantung faktor penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepas pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi dengan melepaskan eksotoksin, super antigen dan komponen antigen sel.

Cascade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut di atas, yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi primer.(Gambar 2) Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel sebagai hasil dari aktifasi makrofag. Pelepasan mediator ini menyebabkan aktifasi sistem koagulasi dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktifasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi lekosit dan pembentukkan mikrotrombin. Aktifasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul anti trombotik.

Manifestasi klinis cascade sepsis ini adalah kebocoran kapiler dan vasodilatasi pembuluh darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ dan syok. Bila syok, kebocoran kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, maka akan terjadi disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.

Sebelumnya sepsis dianggap sebagai kelainan inflamasi saja. Penelitian terkini menunjukkan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinologis sehingga tercipta suatu keadaan protrombotik. Hasil akhir Hari dari keadaan ini adalah gangguan fungsi multi organ. Gambar 3 memperlihatkan hilangnya homeostasis pada sepsis sebagai akibat mekanisme tersebut di atas.

Sebagai respons terhadap LPS terjadi aktivasi sel imun non-spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. Pada sirkulasi, LPS terikat pada protein, pengikat lipopolisakarida. Kompleks ini dapat mengikat reseptor CD14 makrofag dan monosit yang bersirkulasi. Eksotoksin dari bakteri gram positif maupun produk aktivasi sistem komplemen seperti C5 juga dapat merangsang proses yang sama seperti di atas Molekul CD14 harus berikatan lagi dengan kelompok molekul yang disebut Toll like receptors (TLR kini telah diketahui bahwa molekul TLR2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri Gram positif dan TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri Gram negatif. Kemudian reseptor TLR menerjemahkan sinyal dalam sel dan terjadi aktivasi regulasi protein (Nuclear Factor Kappa B/NFkB) mengontrol ekspresi sitokin inflamasi dari masing-masing gen. Kadar NFkB yang tinggi pada pasien sepsis dikaitkan dengan keluaran yang bisa. Setelah pengenalan ikatan tersebut akan terjadi aktivasi produksi sitokin. (lihat Gambar 4)

Sitokin proinflamasi Primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) , di ikuti oleh (IL) I, 8, 12, dan interferon (IFN) . Urutan klasifikasi munculnya sitokin adalah TNF diikuti oleh 1L -l, IL-6 dan IL-8. Sitokin- sitokin ini disebut proinflamasi atau sitokin alarm karena muncul pertama kali. TNF dan IL-l banyak diproduksi oleh sel mononuklear, muncul di sirkulasi dalam 1 jam, dan dianggap sebagai mediator sentral pada sepsis. TNF dan IL-l menyebabkan peningkatan sintesis satu sama lain dan merangsang produksi IL-6 dan IL-8. Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 1 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ sccara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating faktor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktivasi berbagai tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel.

TNF dan IL-1 dapat merangsang ekspresi molekul adhesi, dan menyebabkan pelepasan faktor jaringan sehingga tcrjadi aktivasi sistem koagulasi, deposisi fibrin dan disseminated intravascular coagulation (DIC). IL-6 merangsang produksi protein fase akut dari hati (termasuk C-reactive protein fibrinogen, dan antiprocease mayor) dan berperan menghambat produksi TNF dan IL-l. IL-6 yang beredar dalam konsentrasi tinggi dihubungkan dengan keluaran sepsis yang buruk. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru melalui aktivasi neutrofil yang bergerak menuju jaringan paru. Kerusakan kapiler alveolar menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah paru dan menimbulkan edema paru.

Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat pada sel endotel, aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktivasi sel T untuk memproduksi IFN-, IL-2, IL-4 dan granulocyte macrophage coloni stimulating factor (GMCSF). Agen lain sebagai bagian kaskade sepsis adalah molekul adhesi, kinin, trombin, myocardial depressant substance, beta endorphin, and heat shock protein. Molekul adhesi dan trombin dapat membantu kerusakan endotel, sedangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi terhadap kerusakan.

Sel endotel yang cedera dapat menyebabkan granulosit dan konstituen plasma memasuki jaringan inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide pada otot polos pembuluh darah. Hipotensi berat terjadi akibat produksi nitric oxide yang berlebihan, pelepasan peptida vasoaktif seperti bradikinin, serotonin, dan ekstravasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan sel endotel.

Respons inflamasi sebetulnya bertujuan meningkatkan respons imun untuk mengeliminasi mikro-orgamsme atau produk mikro-organisme tersebut. Bila eliminasi tersebut tidak berhasil, maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan, gangguan mekanisme koagulasi, renjatan, dan lain-lain. Sebagai respons terhadap mediator proinflamasi, terjadi produksi sitokin anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10 dan IL-13 menghambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat menghentikan produksi monosit/makrofag yaitu TNF-a, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1 receptor antagonist (IL-lra) merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat aktivitas IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1. Reseptor TNF terlarut (sTNFr) merupakan reseptor yang terdapat di sirkulasi, terikat erat pada sel pejamu, berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi TNFa dan menurunkan kematian, sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan mortalitas yang meningkat pada hewan yang terkena sepsis.

Sitokin proinflamasi mengaktivasi jalur klasik dan alternatif sistem komplemen. Sistem komplemen merupakan komponen utama innate immunity. Meskipun demikian bila terjadi overaktivasi akan menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk komplemen lain akan menimbulkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, peningkatan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi dan produksi oksigen radikal toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari sel mast dan peningkatan permeabilitas kapiler, menyebabkan perembesan cairan ke ruang interstisial. Pada model binatang, C5a menyebabkan hipotensi, vasokonstriksi pembuluh darah paru, neutropenia dan kebocoran vaskular disebabkan oleh kerusakan endotel.

Trombosit juga terlibat dalam kaskade sepsis, walaupun buktinya belum jelas. Trombosit dapat menyebabkan kerusakan endotel melalui 2 cara, yaitu: menginduksi vasokonstriksi dan stimulasi neutrofil. Turunan trombosit, transforming growth factor bl juga terlibat.

Hubungan inflamasi dan koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan dan memulai koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sedangkan pembentukan trombin dari aktivasi koagulasi menstimulasi aktivasi mediator proinflamasi.

Pelepasan TNF, IL-1, dan IL-6 menyebabkan aktivasi monosit untuk mengekspresikan faktor jaringan, yang selanjutnya menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan memproduksi fibrin. Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi dimulai dari jalur ekstrinsik, yaitu akibat paparan faktor jaringan pada dinding pembuluh darah yang cedera. Faktor jaringan adalah reseptor dengan afinitas kuat dan kofaktor dari faktor VIIa. Faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa menyebabkan perubahan faktor IX dan X menjadi aktif. Faktor Xa mengaktifkan faktor IIa (trombin) dari faktor II (protrombin). Masing-masing reaksi bertempat di permukaan sel teraktivasi. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik dan faktor IX pada jalur intrinsik. Ekspresi faktor jaringan secara langsung mengaktivasi jalur koagalasi ekstrinsik dan secara tidak langsung mengaktivasi jalur intrinsik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik melalui faktor VII dan faktor IX teraktifasi. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut berkaitan dan sama; protrombin memproduksi trombin dan fibrinogen dikonversi menjadi fibrin . Bila proses ini tidak dikendalikan dengan antikoagulan alami, trombin akan menyebabkan koagulasi tidak terkontrol dan menyebabkan disfungsi organ. Jalur intrinsik tidak terlalu penting dalam aktivasi koagulasi, tetapi terlibat dalam induksi hipotensi dan berperan dalam aktivasi fibrinolisis. Kolagen dan kalikfein mengaktivasi jalur koagulasi intrinsik dan protrombin dikonversi menjadi trombin.

Trombin mempunyai efek multipel terhadap inflamasi dan juga membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi terhadap sel endotel, makrofag dan monosit, menghasilkan pelepasan faktor jaringan, PAF dan TNFa. Respons sitokin ini berperan pada aktivasi dan agregasi trombosit. Trombin menstimulasi chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan menstimulasi inflamasi melalui peningkatan produksi E-Selectin dan P-selectin sel endotel, yang selanjutnya terjadi penempelan neutrofil ke endotel. Proses ini berperan pada pembentukan mikrotrombi. Trombin juga menstimulasi degranulasi sel mast, menyebabkan pelepasan bioamin yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran plasma.

Pada keadaan normal, tubuh mempunyai mekanisme inhibitor yang bersifat alami dan antikoagulan endogen untuk mempertahankan homeostasis. Aktivasi koagulasi terjadi 4-5 jam setelah pemberian endotoksin. Bila mekanisme koagulasi ini tidak dikendalikan oleh antikoagulan, maka trombin akan menyebabkan koagulasi tidak terkontrol sehingga terjadi disfungsi organ. Inhibitor tissue factor pathway (TFPI) diproduksi oleh sel endotel dan menginaktifkan faktor jaringan, faktor VIIa dan faktor Xa. Aktivasi protein C menghambat factor Va dan VIIa dan secara tidak langsung menghambat pembentukan trombin, dan juga menurunkan inflamasi serta mengembalikan aktivitas fibrinolitik. Protein C teraktivasi juga melakukan down-regulation ekspresi faktorr jaringan. Protein C merupakan suatu glikoprotein yang berasal dari plasma dan tergantung vitamin K. Bila teraktivasi protein C membutuhkan protein S sebagai kofaktor. Aktivasi protein C juga membutuhkan ikatan proteirulengan reseptor pada endotel (thrombomodulin) sel endotel.

Antitrombin III (AT III) menginaktifkan faktor XI a, IXa, Xa dan IIa, dan reaksi ini dipercepat oleh heparan sulfat. Antitrombin III dapat membatasi agregasi trombosit dan juga melemahkan produksi sitokin proinflamasi oleh sel endotel.

Pada sepsis mekanisme di atas tidak terjadi. TNFa menyebabkan gangguan terhadap inhibitor pembentukan trombin yaitu AT III, protein C, protein S dan TFPI proses ini akan menyebabkan pembentukan trombin yang tidak terkendali. Kadar AT III plasma menurun secara bermakna pada pasien sepsis berat dan syok septik. Rendahnya kadar AT III pada DIC dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi.

Penurunan protein C juga terjadi pada pasien sepsis berat. Hal ini disebabkaan downregulation ekspresi trombomodulin pada sel endotel oleh sitokin proinflamasi seperti TNFa dan IL-Ib, Pemberian protein C teraktivasi menyebabkan kenurunan kadar IL-6 serum, juga penurunan produksi TNF-a oleh monosit dengan cara menghambat coupling antara endotoksin dan CD. Protein C teraktivasi juga menurunkan interaksi antara neurofil dan sel endotel, sehingga menurunkan kerusakan jaringan.

Bayi premature mempunyai predosposisi hiperkoagulasi, meskipun tidak ada sepsis. Hal ini dihubungkan dengan rendah kadar protein C dan protein S. Sebaliknya konsentrasi thrombomodulin meningkat pada masa neonator. Pada sepsis keadaan hiperkoagulasi diperburuk oleh kekurangnya inhibitor faktor koagulasi (AT III, protein C, protein S, dan thrombomodulin) disertai inhibisis fibrinolisis oileh plasminogen activor inhitor 1 (PAI-1). Manifestasi klinis sama dengan dewasa yaitu hiperkoagulasi yang selanjutnya mengakibatkan disfungsi organ.

Gangguan fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi penyembuhan luka, angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis yaitu tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan uroki-nase type plasininogen activator (u-PA) merubah plasminogen menjadi plasmin. Sekali terbentuk plasmin, akan terjadi protcolisis fibrin. Tubuh mempunyai inhibitor fibrinolisis natural yaitu PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor ini dibutuhkan untuk mempertahankan homeostasis. Aktivitas fibrinolitik secara lengkap dihambat 3-4 jam setelah awitan endotoksemia

Pada pasien sepsis terjadi gangguan koagulasi dan fibrinolisis. Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Aktivasi koagulasi dan konsumsi trombosit menyebabkan deposisi fibrin pada pembuluh darah kecil-sedang. Bekuan darah ini menyumbat aliran darah sehingga perfusi ke organ menurun dan akan menyebabkan disfungsi multi organ. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. DIC secara bersamaan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghilangkan mikrotrombin TNF-a menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-a dan IL-6) bekerja sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosit pada pembuluh darah kecil dari sedang, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi organ. Secara klinis disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal, dan kematian pada kasus yang berat.

Aktivasi koagulasi menghasilkan trombin secara berlebihan, yang selanjutnya akan mengaktivasi TAFI. Meningkatnya kadar TAFI merupakan mekanisme penting bagi inhibisi sistem fibrinolitik selama sepsis. Aktivasi protein C endogin mempunyai efek profibrinolisis karena mampu menghambat PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI. Pada sepsis kerusakan endatel menurunkan kemampuan tubuh merubah protein C menjadi protein C teraktivasi sehingga kemampuan mempertahankan homeostasis akan terganggu.

Efek kumulatif kaskade sepsis adalah keadaan tanpa keseimbangan. Inflamasi dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi dominan terhadap fibrinolisis, sehingga terjadi trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia, dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ dapat terjadi, dan akhirnya kematian.

Kerusakan jaringan

Patogenesis kerusakan jaringan sangat kompleks. Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan merupakan suatu proses yang progresif yang akhirnya menimbulkan gangguan fungsi organ. Neutrofil dalam sirkulasi berinteraksi dengan sel endotel pembuluh darah melalui 3 tahap yaitu menggulung, adhesi dan migrasi. Proses menggulungnya leukosit diperantarai sitokin proinflamasi yang menginduksi ekspresi selektin pada leukosit dan endotel. Adhesi terjadi melalui ikatan leukosit b2 integrins pada endothel:al intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Ekspresi molekul adhesi meningkat pada hampir semua pasien dengan sepsis berat dan paling tinggi pada pasien dengan disfungsi organ multipel. Selanjutnya leukosit akan bermigrasi ke jaringan.

Leukosit polimorfonuklear (PMN) adalah salah satu mediator selular utama pada kerusakan jaringan. Leukosit PMN tersebut menumpuk di jaringan sebagai respons terhadap endotoksin dan IL-8, yaitu chemoattractan kuat dan aktivator leukosit PMN. Kerusakan jaringan terjadi akibat degranulasi leukosit yang menghasilkan protease (termasuk elastase dan matriks metaloprotein yang dapat memecah struktur protein) dan reactive oxygen species (ROS). Neutrofil yang teraktivasi memproduksi sejumlah besar ROS yang berasal dari NADPH oxidase membran sel yang selanjutnya memproduksi oxygen free radical dan hydroxyl radical. Radikal bebas ini dihubungkan dengan kerusakan jaringan, namun juga merupakan bagian dari efek sitotoksik mikroba oleh neutrofil.

Disfungsi multi organ

Gangguan fungsi paru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS, dan bermanifestasi sebagai takipneu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Pada keadaan berat akan terjadi acute lung injury dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi ARDS terjadi pada lebih dari 60 % kasus syok septik. Proses patologik utama adalah disfungsi endotel kapiler paru yang mengakibatkan edema alveolar dan interstisial yang berisi cairan eksudat dengan kadar protein yang tinggi dan sel fagosit. Permeabilitas endotel meningkat sebagai respons terhadap sitokin proinflamasi yang selanjutnya akan terjadi kerusakan alveolus dan destruksi membran basalis. Neutrofil bersekuestrasi dalam paru sebagai respons terhadap IL-8. Konsentrasi IL-8 dalam cairan bronkoalveolar pasien ARDS berhubungan dengan mortalitas.

Jantung dan pemhuluh darah sensitif terhadap sitokin proinflamasi. Sebagai respons terhadap sitokin proinflamasi, nitric oxide disintesis dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada endotel vaskular dan otot polos. Nitric oxide menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik yang merupakan penyebab terjadinya hipotensi pada syok septik. Hipotensi ini dapat bersifat refrakter terhadap pemberian cairan, inotropik dan vasokonstriktor konvensional. Nitric oxide disintesis dari L-arginin. Pemberian L-N monometil arginin (analog L-arginin) akan memblok produksi nitric oxide dan dapat mengembalikan tonus pembuluh darah pada syok septik. Endotoksin dan sitokin proinflamasi menginduksi depresi miokard. Efek ini diduga juga dipengaruhi oleh nitric oxide dan terjadi dalam 24 jam setelah awitan sepsis.

Gangguan hemodinamik menyebabkan gangguan perfusi dan arterivenous shunting sehingga menghasilkan hipoksia jaringan dan asidosis laktat. Bukti menunjukkan bahwa nitric oxide berperan dalam terjadinya hipoksia jaringan dan peningkatan konsentrasi ROS yang berasal dari mitokondria.

Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 50 % kasus syok septik dan secara bermakna mcningkatkan mortalitas. Sitokin menginduksi vasodilatasi sistemik dan hipovolemia relatif serta menyebabkan hipoperfusi ginjal. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap sitokin. Metabolit asam arakidonat: (tromboksan dan leukotrien) menurunkan aliran darah ke ginjal, dan antagonis tromboksan dan leukotren terbukti mempunyai efek proteksi. Seperti jaringan lain, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan akibat aktivasi leukosit, produksi protease, dan ROS. (1)

DIAGNOSIS

Sepsis dikemukakan sebelumnya, dalam konsep baru Cascade infeksi, diagnosis sepsis neonatus ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertai deteksi baik tersangka infeksi ataupun terbukti infeksi. Tersangka infeksi bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain). Sedang terbukti (suspected infection) infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab.

Selain masalah identifikasi kuman/diagnosis klinis sepsis neotarum mempunyai masalah tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis ( termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis ) ,Gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu dengan tempat yang lain.

Faktor resiko

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, bayi dan lain-lain. Faktor resiko ibu :

Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah > 24 jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali.

Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus group B (GBS), kolonisasi perineal oleh E.coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.

Cairan ketuban hijau keruh dan berbau

Kehamilan multipel

Keputihan yang tidak diobati

Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati

Leukositosis ibu > 18.000/ml

Faktor resiko pada bayi

Prematuritas dan berat lahr rendah

Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal distres dan trauma pada proses persalinan.

Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan

Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau asplenia

Asfiksia neonatorum

Cacat bawaan

Tanpa rawat gabung

Pemberian nutrisi parenteral

Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama

Faktror resiko lain

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Lebih sering pada bayi kulit hitam dari pada kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.(1)

Gambaran Klinis

Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak spesifik dengan diagnosis banding yang luas termasuk gangguan nafas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit sistem saraf pusat, penyakit jantung dan proses penyakit infeksi lainnya. (4) .

Pelepasan dini mediator inflamasi menyebabkan demam, takikardi, takipnu dan vasodilatasi (menimbulkan kulit yang hangat). Jika repon tersebut tidak dikontrol dengan baik, akan menyebabkan hipoperfusi,somnolen dan penurunan jumlah urin. Tanda awal mungkin terbatas pada hanya satu sistem seperti apnea, takipnea dengan retraksi, atau tatikardia, namun pemeriksaan laboratorium dan klinis secara menyeluruh biasanya akan mengungkapkan kelainan lainnya. Sepsis dapat ditandai oleh tanda-tanda yang terdapat dalam tabel 2.

Tabel 2 Manifestasi klinis sepsis neonatorum

SSP Letargi, refleks hisap buruk, limp,

tidak dapat dibangunkan, poor or high pitch cry,

iritable, kejang

Cardovaskular Pucat, sianosis, clummy skin

Respiratorik Takipnea, Apnea, merintih, retraksi

Saluran Pencernaan Muntah, Diare, Distensi abdomen

Hematologik Perdarahan, jaundice

Kulit Ruam, purpura, pustula

Manifestasi akhir spesis meliputi tanda-tanda edema serebral dan atau trombosis, gagal nafas, sebagai akibat sindrom distres respirasi didapat (ARDS) hipertensi pulmonal, gagal jantung, gagal ginjal. Penyakit-penyakit hepotoseluler dengan hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim waktu protombin (protombin time) dan waktu trombaplostin parsial ( partial tombroplostin time (PTT) ) yang menunjang syok septik pendarahan adrenal disertai infusiensi adrenal, kegagalan sumsum tulang, (trombositopenia/neutropenia, anemia ) dan koagulasi intravaskuler diseminata (diseminated introvascular coagulation- DIC ). (5)

Pemeriksaaan penunjang

Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis. Kultur darah yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis. Namun kadangkala hasil kultur pada neonatus pada resiko tinggi dapat dipengaruhi oleh paparan antibiotik sebelumnya. Kultur urin dilakukan jika terdapat kekurangan sepsis awitan lambat.

Untuk menentukan sepsis harus dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti yang di tunjukan tabel 3

Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium

Bukti adanya infeksi

Biakan dari tempat yang secara normal steril ( darah, CSS dll)

Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan

Deteksi antigen ( urin, CSS)

Serologi ibu / neonatus ( sifilis, toksoplasmosis)

Autopsi

Bukti adanya radang

Leukositosis, rasio neutrofil imatur/ total meningkat

Reaktan fase akut : PRC, LED

Sitokin = IL-6

Pleositosis dalam CSS, sinovia, cairan pleura

Koagulasi intravaskular tersebar, produk pecahan fibrin

Bukti adanya penyakit sistem multiorgan

Asidosis metabolik : PH , PCO2

Fungsi paru : PO2, PCO2

Fungsi ginjal : BUN , kreatinin

Fungsi hati : bilirubin, SGOT, SGPT, amonia, PT,PTT

Fungsi sumsum tulang ; neutropenia, anemia, trombositopenia

Petanda diagnosis yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang optimal, nilai diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifitas >85%, positive probable value(PPV) >85%, negative probable value (NPV) mendekati 100% dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal.

Petanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung neutropil, neutropil imatur, rasio neutropil imatur dengan neutropil total (IT), micro erytrocyte sedimentation rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP, prokalsitonin, sitokin IL6, GCSF, tes cepat (rapid test), untuk deteksi antigen dan panel skrining sepsis. (5)

Tabel 4. komponen untuk skrining sepsis yang dihubungkan dengan sensitivitas dan spasifitas

Ujinilai abnormalsensitivitasspesifitas

CRP

hitung leukosit total

hitung neutropil absolut

rasio neutropil imatur:total

GCSF> 10mg/L

15000

20%

>200Pq/ml47-100%

17-89%

38-96%

90-100%

95%83-94%

81-98%

61-92%

50-78%

73%

Saat ini kombinasi yang petanda terbaik untuk mendiagnosa sepsis adalah sebagai berikut : IL6 dan IL1ra untuk 1-2 hari setelah muncul gejala ; IL6 (atau IL1ra, IL8, GCSF, TNF, CRP, dan hematological indecis pada hari ke 0 ); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada hari ke1) ; dan CRP pada hari berikutnya untuk memonitor respon terhadap terapi. Penggunaan CRP dan IL6 secara simultan memiliki sensitivitasb 100% karena peningkatan CRP plasma terjadi pada 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL6 telah menurun. (1)

Pendekatan diagnosis

Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik sebagai indikator sepsis, sehingga hasil laboratorium harus digunakan bersama dengan faktor resiko dan gejala klinis.

Philip dan havitt pada tahun 1980 mengemukakan cara penapisan sepsis neonatorum awitan dini, berdasarkan kombinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu :

Jumlah leukosit < 5000/mm3

Rasio neutropil imatur : total neutropil = 0,2

Laju endap darah = 15 mm/jam

Latex CRP positif (>0,8 mg/100ml)

Latex haptoglobin ( > 25 mg/100ml)

Kriteria sepsis terpenuhi bila terdapat 2 atau lebih hasil tersebut dengan sensitifitas 93%, spesifitas 88%, dan PPV 99%. Bila kurang dari 2 macam pemeriksaan yang memberikan hasil positif maka kemungkinan bukan sepsis mencapai 99%. Mereka juga mengemukakan kombinasi leukopenia dan peningkatan rasio neutropil imatur : total merupakan petanda prediksi sepsis awitan dini yang baik. penapisan sepsis ini sederhana, mudah dilakukan, praktis.

Pada tahun 1982, Wiswell menerapkan kriteria yang sama untuk mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat. Mereka juga berpendapat bahwa rasio neutropil imatur: total kurang sensitif sebagai petanda sepsis awitan lambat dibandingkan petanda sepsis awitan dini (58% berbanding 90%). Sebaliknya latex CRP menunjukan sensitifitas yang lebih tinggi sebagai petanda sepsis awitan lambat dibandingkan sebagai petanda sepsis awitan dini (75% berbanding 47%).

Spektur dkk pada tahun 1980 mengemukakan sistem skoring 5 poin untuk memprediksi kultur bakteri positif pada bayi yang dievaluasi untuk infeksi bakteri berdasarkan anamnesis, klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Bayi yang memiliki skor > 3 mempinyai resiko tinggi untuk terinfeksi dan harus diterapi dengan antibiotic

Tabel 5. sistem skoring untuk prediksi kultur bakteri positif

Penemuan

skor

>2 sistem organ terlibat

1

Jumlah leukosit total < 10000 atau =20000/mm3

1

Jumlah neutropil absolut < 1000 /mm3

1

rasio neutropil batang : neutropil matur

1

usia >1 minggu

1

Rodwell dkk pada tahun 1987 mengumumkan sistem skoring heatologis untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum dini dan lambat. Semakin besar skor semakin besar kemungkinan sepsis. Dengan skor = 3 sensitivitas mencapai 96 % , spesifisitas 78%. PPV 31%, NPV 99%.

Tabel 6. Sistem skoring hematologis untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini dan lambat

skor

---------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Rasio imatur : total neutrofil meningkat

1

2. Jumlah total PMN meningkat atau menurun

1

3. Rasio imatur : matur neutrofil = 0,3

1

4. Jumlah imatur PMN meningkat

1

5. Jumlah total leukosit menurun / meningkat (=5000/mm3 atau =23000,

30000,21000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam dan usia 2 hari)1

6. Terdapat perubahan degeneratif pada PMN = 3+| untuk vakualisasi,

granulasitoksik, badan dohle

1

7. Jumlah trombosit= 150000/mm3

1

Mahieu dkk pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk memprediksi sepsis nosokomial pada neonatus yang dirawat di ruang perawatan intensif bayi baru lahir. Berdasarkan pengolahan data tersebut disusun kriteria untuk memprediksi nasokomial pada neonatus yang disebut skor NOSEP 1. Total skor maksimum 24. Skor = 8 memiliki sensitivitas 95 %, spesivitas 43%, PPV 54%, NPV 93%. Skor = 14 memiliki sensitivitas 96%, spesifitas 100%, PPV 100%, dan NPV 60%.

Kreiteria di atas oleh fidia segar disebut a rule of 14, yaitu nutrisi parenteral 14 hari, CRP 14 mg/ml. Trombosit 140x 10 9/l,dan skor NOSEP 14. (1)

Tabel 7. SKOR NOSEP 1 untuk memprediksi sepsis nasokomial pada neonatus.

Skor

Nutrisi parenteral = 14 hari

6

CRP = 14mg/ml

5

Trombositopenia (38,2 C atau 100,8 F)

5

Neutrofil >50%

3

TATALAKSANA

1. Pengendalian infeksi

Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menuggu hasil kultur darah. Penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab tersering ditemukan di klinik tersebut. Selain itu, hendaknya diperhatikan pola resistensi kuman masing-masing klinik. Segerea setelah didapatkan hasil kultur darah, maka jenis antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secra klinis baik, maka antibiotik harus dihentikan. Tapi bila bayi tersebut menderita pneumonia atau terdapat gejala klinis sepsis, antibiotik sebaiknya tidak dihentikan walaupun hasil kultur steril. Lama pemberian terapi antibiotik selama 10-14 hari, sedangkan penderita yang disebabkan oleh kuman Gram negatif pengobatan kadang-kadang diteruskan sampai 2-3 minggu. Pada meningitis antibiotik diberikan 2-3 minggu.

Terapi antibiotik pada bayi prematur dan berat lahir kecil dengan tersangka sepsis umumnya dimulai pada saat lahir dan dilanjutkan sampai 5 hari atau lebih walaupun kultur darah steril. Bayi dan ibu yang memperoleh antibiotik intrapartum akan mempersulit dokter, karena pertumbuhan kultur dapat dihambat. Bila ibu diberi antibiotik intrapartum, maka bayi tetap diobservasi maksimum 48 jam setelah lahir dan bila terdapat gejala klinis sepsis, harus dilakukan evaluasi diagnosis dan terapi empirik. Pada kasus simtomatik sebaiknya diterapi 10 hari walau kultur darah steril. Untuk asimtomatik, keputusan dibuat sesuai dengan data kultur dan laboratorium (hitung lekosit < 5000/mm3 atau > 30000/mm3, ratio imatur/ total netrofil >0,2, CRP > 0,8 mg/dl, micro eritrosit sedimentation rate > 15mm/jam). Bila uji tapis sepsis pada bayi yang asimtomatik menunjukkan hasil negatif, kemungkinan infeksi sangat rendah. Pada umumnya terapi antibiotik diberikan pada bayi prematur asimtomatik dengan hasil uji tapis positif.

Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi dibandingkan spektrum sempit. Sampai saat ini masih ada pemikiran yang keliru bahwa antibiotik spektrum luas lebih baik karena dapat lebih banyak mencakup banyak organisme. Surveilens bakteri dan pola resistensi harus secara rutin dilakukan di setiap unit neonatal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit. Pemakaian antibiotik berlebihan juga dapat menyebabkan sepsis jamur pada neonatus.

Data terakhir Juli 2004 Mei 2005 di divisi neonatologi departemen IKA FK UI RSCM menunjukkan mikroorganisme Gram negatif dan positif resisten derajat tinggi terhadap antibiotik lini I (ampisilin, gentamisin), lini II ( sefotaxim, seftriaxone), serta derajat rendah- sedang terhadap antibiotik lini III (imipenem, meropenem).

Untuk menurunkan resistensi mikroorganisme diperlukan 2 strategi umum : yaitu kontrol infeksi dan kontrol antibiotik. Rotasi antibiotik dilaporkan efektif menurunkan resistensi dibeberapa tempat. Anjuran periode rotasi antibiotik adalah : 2 bulan. Sebagai contoh rotasi antiibiotik yang mengandung beta laktam : agen beta laktam ditambah beta laktamase inhibitor (misal ampisilin sulbaktam, amoksilin klavulanat) selam 2 bulan- karbapenem selama 2 bulan- sefalosporin generasi ke 3 atau ke 4 selama 2 bulan dan seterusnya. Pada kasus yang berat sebaiknya dikombinasikan dengan aminoglikosida untuk mencegah munculnya mutan resisten.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan SAD terapi empirik harus meliputi SGB, E, coli, listeria monocytogenes, kombinasi penisilin / ampisilin dengan aminoglikosida umunya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD. Infeksi listeria dapat diobati dengan ampisislin saja, untuk infeksi SGB dan sebagian besar kuman anaerob dengan penisilin. Meskipun demikian terapi kombinasi penisilin/ampisilin dan aminoglikosida sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri

Pemilihan antibiotik sepsis awitan lambat

kombinasi penisilin / ampisislin dan aminoglikosida dapat juaga digunakan untuk terapi awal SAL. Infeksi nosokomial lebih disukai netilmisin/amikasin. Pada kasus dengan resiko pseudomonas (terdapat lesi kulit topikal) dapat diberikan piperasilin dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Infeksi bakteri negatif gram dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin, atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida., sefalosporin generasi ke 3 dikombinasi dengan aminoglikosida. Antibiotik baru untuk kuman gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain, adalah imipenem/meropenem, karbapenem, aztreonam dan isepremisin.(1)

Staphylococci sensitive terhadap antibiotic golongan penisilin resisten penisilinase (misal : oksasiklin, nafsilin, dan metilsilin ). Strain resisten yaitu CONS ( Staphylococcus koagulase negatif ) sensitive terhadap vankomisin, kombinasi vankomisin dan aminoglikosida menghasilkan efek bakterisidal yang lebih baik untuk infeksi jamur dapat dipakai = amfoterisin B ( liposomal ), pilihan lain yaitu fluconazole. Bila sudah terjadi komplikasi meningitis enteric gram negatif, obat yang saat ini paling baik adalah cefotaxime, oleh karena bakteridalnya tinggi dan toksisitasnya rendah.(3)

Divisi paranatologi RSCM, dengan mempertimbangkan pola kuman yang tersering ditemukan, memberikan antibiotik spectrum luas sambil menunggu biakan darah / uji resistensi. Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah sefalosporin ( sefotaksim ) dikombinasi dengan amikasin. Pilihan kedua ampisilin dikombinasikan dengan kloramfenikol. Pilihan selanjutnya kotrimoksazol. Pada pemberian antibiotik ini yang perlu mendapat perhatian adalah pemberian kloramfenikol pada neonatus tidak melebihi 50 mg / kg bb / hari untuk mencegah terjadinya sindrom grey baby dan pemberian sefalosporin serta kotrimoksazol tidak dilakukan pada bayi < 1 minggu.(7)

Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan sepsis neonatorum berbagai upaya pengobatan tambahan banyak dilakukan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan / terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan tubuh neonatus. Juga dalam mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatorum. (1)2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan(6)3. Pengobatan komplikasi

Pernafasan: kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pemberian oksigen, atau kemudian dengan ventilator.

Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok dengan pemberian volume expander 10-20 ml/kgBB ( NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catatan pemasukan cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamine atau dobutamin.

Hematologi: untuk DIC ( trombositopeni, protrombin time mamanjang, tromboplastin meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/KgBB, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan transfuse tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan trasfusi neutrofil

Susunan syaraf pusat : bila kejang beri fenobarbital ( 20 mg/KgBB loading dose) dan monitor timbulnya syndrome inapropiate hiponatremia hormone (SIADH), ditandai dengan ekskresi air turun, hiponatremia, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.

Metabolic: monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolic dengan bikarbonat dan cairan.(4)

Tranfusi tukar

Tindakan ini bertujuan untuk :

Mengeluaarkan /mengurangi toksin /produk bakteri dan mediator penyebab sepsi

Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah

Memperbaiki sistem imun dengan adnya tambahan neutropil dan berbagai antibody yang mungkin terkandung dalam darah donor

Kendala yang sering terjadi adalah pelaksanaan yang suklit dan mempunyai potensi menimbulkan reaksi tranfusi (1)

4. KortikosteroidPada awalnya pasien sepsis diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi untuk mengatasi reaksi inflamasi akibat infeksi, akan tetapi hal ini tidak di anjurkan lagi karena terbukti tidak membawa perbaikan. Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi adrenal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok septic karena terbukti memperbaiki respons terhadap katekolamin dan meningkatkan survival.(1)Tabel 7. efek anti inflamasi glikokortikoidAnti inflamasimekanisme

Produksi sitokin proinflamasi

Produksi sitokin anti infalmasi

Migrasi sel inflamasi

Ekspresi medistor inflamasi

Ekspresi marker membran sel

Apoptosisinhibisi sintesis IL2,3,4,5 IFN9, GMCSF limfosit T

InhibisisintesisIL1,TNFa,IL6,8,12,MIFmakrofag/monosit

Inhibisi sintesis IL 8 neutropil

peningkatan sintesis antagonis reseptor IL10,IL1

inhibisi produksi kemokin MCP, IL8

Stimulasi produksi MIF dan lipokortin makrofag

inhibisi sintesis PLA2, soluble, induksi sintesis COX

inhibisi molekul adhesi ICAM1, ECAM2, LFA1

eosinofil dan limfosit T matur

Dikutip dari prigent dkk 2004

5. Pemberian Imunoglobulin secara Intravena ( IVIG)

Pemberian IVIG dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG sebagai tata laksana tambahan masih bersifat kontroversi. Dilaporkan bahwa IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatorum ( khususnya pada baya BBLR ) dibanding bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.(1)6. Tata laksana imunologik sepsis neonatorum

Seperti telah dikemukakan terdahulu dalam konsep baru infeksi neonatus ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular. Salah satu respon yang terjadi pada infeksi sistemik adalah terbentuknya sitokin baik sitokin proinflamasi (IL2,IL6, IFNY, TNF alpha) maupun antiinflamasi (IL4,IL10). Bila terdapat dominan sitokin proinflamasi maka akan terjadi renjatan dan disfungsi organ. Sedangkan sebaliknya bila sitokin anti inflamasi berlebihan akan terjadi supresi terhadap sistem imun. Oleh karena itu hipotesis menyatakan pengurangan sirkulasi TNF alpha dan IL1 (sitokin proinflamasi) dalam sirkulasi akan menghambat perkembangan cascade sepsis. Hipotesis ini dibuktikan dengan menyuntikan reseptor antagonis IL1 (IL1 ra) pada binatang percobaan dapat merintangi aktivitas IL1 sehingga terhindar dari akibat bakterimia dan endotoksemia.

Pelaporan penelitian tersebut mempunyai arti penting dalam tat laksana sepsis neonatorum. Pada bayi denangan resiko dimungkinkan merencanakan tata laksana sepsis secra lebih efisien sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Penelitian klinik terhadap pemberian terapi IL1ra dan anti TNF alpha pada penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila penelitian klinik ini dapat memberikan hasil seperti yang diperoleh pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana sepsis neonatorum akan lebih optimal. (1)PENCEGAHAN

Meningkatkan dan memperbaiki perawatan prenatal, menganjurkan agar ibu hamil dengan resiko tinggi supaya melahirkan di rumah sakit yang ada tempat perawatan khusus untuk bayinya, dan melengkapi adanya alat transportasi modern yang dapat mengurangi resiko ibu dan neonatus terjangkit infeksi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian antibiotic profilaksis pada ketuban pecah dini, infeksi peripartum, sindrom gawat nafas, transfusi tukar, tindakan operasi pada neonatus, dan pemasangan kateter melalui umbilicus tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit ditempat rawat neonatus, perlu dilakukan pembersihan ruangan dan tempat tidur bayi, sterilisasi alat secara teratur, upaya mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah memegang bayi, pengawasan infeksi secara teratur ditempat rawat neonatus, dan pengenalan serta pengelolaan sumber wabah yang biasa terdapat streptococcus grup B dn K1 antigen yang mengandung jenis E.Coli yang diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah infeksi secara pasif pada neonatus

PROGNOSIS

Pada umumnya angka kematian sepsis neonatal berkisar antara 10-40% dan pada meningitis 15-50%. Tinggi rendahnya angka kematian tergantung dari waktu timbulnya penyakit, penyebabnya, besar kecilnya bayi, beratnya penyakit, dan tempat perwatannya. Gejala sisa neurologik yang jelas tampak adalah hidrosefalus , retardasi mental, buta, tuli, dan cara bicara yang tidak normal. kejadian gejala sisa ini adalah sekitar 30-50% pada bayi yang sembuh dari meningitis neonatus.(3)Table 8. dosis antibiotic yang sering digunakan pada neonatus

AntibiotikDosis tunggal/kgbbFrekuensiCara pemberianCacatan

Amikasin10 mgsatu kaliIV

7,5 mgsetiap 12 jamIV

Garamisin5-7 mgSatu kaliIV

Netilmisin2,5-3 mg Setiap 12 jmIV

Gentamisin2,5 mgSetiap 12 jam (umur 7 hari)

Ampisilin25-50 mgSetiap 12 jam (umur 7 hari)IV

I M Oral50 mg/kg/6 jam untuk meningitis

Cefotaxime

25 mg

setiap 1 2 jam

IV IM

150-200 mg/kg/ hari pada infeksi berat

Kloramfenikol

prematur 25 mg matur 50 mg

sekali sehari (bayi berumur < 1 4 hari) setiap 1 2 jam (umur> 14 hariIM oral

- kadar dalam darah harus dimonitor kadar terapeutik 15-25mg/l - kadar toksik 50 mg/l

Metronidazol7,5 mgsetiap 8 jamIV

Oral

Penisilin G (benzilpeni-silin)1 5-30 mgsetiap 1 2 jam (umur < 7 hari) setiap 8 jam (umur > 7 hari)IV IM30 mg/kg/dosis untuk infeksi Streptococcus

Piperasilin50 mgsetiap 1 2 jamIV IV

Vankomisin

15 mg

setiap 1 2 jam

selama 1 jam

IV

monitor kadar dalam darah, batas atas 25-40 jig/ml, batas bawah 5-10}ig/ml

Amfoterisin B

0,1 mg dinaikkan sampai 1 ,0 mg selama 7 harisetiap hari

IV selama 6 jam

Efek samping: fungsi ginjal menurun. Tera- ; pi infeksi jamur sis'emik selama 4-6 minggu

DAFTAR PUSTAKA

1. Hegar, badriul., Tribowo, partini., Irfan, evita bermansah. Update in Neonatal Infections. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM ; Jakarta : 1- 127.2. www.idai.or.id. 3. Markum. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI ; Jakarta : 372 375.

4. Digilib.unicom.ac.id.

5. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson textbook of Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 655.6. S Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic. Buku ajar ilmu kesehtran anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta 2002 : 391-398

7. Hassan, rusepno., Alatas, husein., Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, edisi 4 Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI ; Jakarta,2002 : 1123 1125.

Sumber : HYPERLINK "http://www.idai.or.id" www.idai.or.id.

PAGE 32