Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

download Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

of 85

description

bhkjn

Transcript of Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

  • 1

    PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM

    2007

    HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

  • 2

    PANEL AHLI

    Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

    TIM TEKNIS

    Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua

    dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota

    dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota

    dr. N. Soebijanto, SpPD Anggota

    dr. Suginarti, M.Kes Anggota

    dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota

    dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota

    dr. Melani Marissa Anggota

    dr. Titiek Resmisari Anggota

    dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota

  • 3

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di

    bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health

    Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka

    mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per

    1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1

    Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000

    kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother

    2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus

    disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan

    diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh

    kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan

    lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah

    satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama

    yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality

    rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi

    karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah

    dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat

    mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5

    Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-

    18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di

    negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup

    dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data

    yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-

    September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka

    kematian sebesar 14,18%.8

    Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya

    yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada

    bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong

    terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah

    pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.

    berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan

    terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan

  • 4

    kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan

    juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru,

    hati, dan lain-lain.9

    Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran

    hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk

    melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar

    rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara

    umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10

    1.2. Permasalahan

    Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.

    Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

    Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka

    kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik

    spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam

    tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan

    penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis

    neonatorum.

    Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis

    yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran

    penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu,

    pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur

    merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan

    tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil

    yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik

    antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara.

    Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan

    sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran

    klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi

    penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola

    resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit

    menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi

    nosokomial.8,11

    Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah

    menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti

    pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain

    sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa

  • 5

    kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan

    dan kerugiannya.

    Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu

    diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum

    sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di

    Indonesia.

    Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan

    yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat

    informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah

    memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar

    dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan

    akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang

    lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini

    membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin

    belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan

    dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14

    1.3. Tujuan

    1.3.1. Tujuan Umum

    Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis

    neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan

    yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi

    Indonesia.

    1.3.2. Tujuan Khusus

    1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-

    based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan

    sepsis neonatorum.

    2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan

    proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang

    diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.

  • 6

    BAB II

    METODOLOGI PENILAIAN

    2.1. Strategi penelusuran kepustakaan

    Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan

    elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New

    England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease

    Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal

    of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-2006)

    serta World Health Organization tentang Neonatal Problems tahun 2003. Kata

    kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in

    newborn, SGB (Group B Streptococcus).

    2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi

    Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)

    berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian

    ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat

    rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan

    berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan

    kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.

    Tingkat pembuktian (Level of evidence)

    Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.

    Ib. Minimal satu randomized controlled trials.

    IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.

    IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.

    IIIa. Studi cross-sectional.

    IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.

    IV. Konsensus dan pendapat ahli.

    Tingkat rekomendasi

    A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.

    B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.

    C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.

  • 7

    BAB III

    SEPSIS NEONATORUM

    3.1. Definisi

    Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi

    sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam

    sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi

    sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences

    (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory

    Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses

    berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,

    disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16

    3.2. Klasifikasi

    Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan

    menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal

    sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5

    Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera

    dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat

    proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan

    pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia

    coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara

    berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang

    Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per

    1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19

    Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)

    yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21

    Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.

    Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara

    maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan

    penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh

    mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas

    aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis

    berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

  • 8

    Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi20

    Dini Lambat

    Awitan

    Sumber infeksi

    72 jam

    Lingkungan (nosokomial)

    Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.

    Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian

    besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak

    dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan

    sekitar (SAL).9

    3.3. Etiologi

    Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

    menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,

    kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.

    Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu

    berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan

    perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab

    utama dari sepsis neonatorum.23

    Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah

    diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999

    di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan

    Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering

    ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus

    pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada

    meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama

    Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif

    juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada

    neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di

    daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang

    dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering

    ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24

    Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat

    pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun

    terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada

    tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter

    sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

  • 9

    menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter

    sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26

    Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu26

    1975-1980 1985-1990 1995-2003

    RSCM/FKUI

    (Monintja, 1981;

    Amir Aminullah

    1993, I 2003)

    Amerika Serikat

    (Texas Univ.; CDC

    Atlanta)

    (Shattuck 1992;

    Schuchat 1997)

    Inggris

    (Health PT 2003)

    Salmonella sp

    Klebsiella sp

    Group B Strep.

    E. coli

    Listeria sp

    Pseudomonas sp

    Klebsiella sp

    E. coli

    Group B Strep.

    Listeria sp

    Enterovirus

    Group B Strep.

    E. coli

    Listeria sp

    Enterovirus

    Acinetobacter sp

    Enterobacter sp

    Pseudomonas sp

    Serratia sp

    E. coli

    Group B Strep

    Listeria sp

    Strep. Pneumoniae

    Group B Strep

    Listeria sp

    E. coli

    Enterovirus

    Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004

    Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering

    adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria

    monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan

    berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-

    negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,

    Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Koloni-

    koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva,

    dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang

    invasif.4

    Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar

    waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari

    survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000

    terhadap 5447 pasien BBLR (BL

  • 10

    Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada

    BBLR ( < 1500 Gram)28

    Organisme

    SAD

    SAL

    Jumlah infeksi

    (% of total)

    Mortalitas

    (%)b

    Jumlah infeksi

    (% of total)

    Mortalitas

    (%)b

    Gram-positive bacteria

    (total)

    31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2

    SGB 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9

    Viridans streptococcus 3 (3.6)

    Other streptococci 4 (4.8)

    Listeria monocytogenes 2 (2.4)

    Coagulase-negative

    Staphylococcus

    9 (10.7) 629 (47.9) 9.1

    Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2

    Enterococcus species 43 (3.3)

    Other 3 (3.6) 117 (8.9)

    Gram-negative bacteria

    (total)

    51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2

    Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0

    Haemophilus influenzae 7 (8.3)

    Citrobacter 2 (2.4)

    Bacteroides 2 (2.4)

    Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6

    Pseudomonas 35 (2.7) 74.4

    Enterobacter 33 (2.5) 26.8

    Serratia 29 (2.2) 35.9

    Other 2 (2.4) 18 (1.4)

  • 11

    Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8

    Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9

    Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9

    Other 30 (2.3)

    a NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447

    orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL .

    b Semua penyebab kematian .

    Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641

    Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis

    neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman

    penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola

    kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang

    peranan yang sangat penting.

    3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis

    Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam

    darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari

    infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory

    Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ,

    dan akhirnya kematian (tabel 4).16

    Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus16

    Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:

    Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi

    dan desaturasi O2

    Suhu tubuh tidak stabil (37.5C)

    Waktu pengisian kapiler > 3 detik

    Hitung leukosit 34000x109/L

    CRP >10mg/dl

    IL-6 atau IL-8 >70pg/ml

    16 S rRNA gene PCR : Positif

    FIRS/

    SIRS

    Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai

    dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat

    dalam Tabel 5.

    SEPSIS

    Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ

    tunggal

    SEPSIS BERAT

    Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan

    resusitasi cairan dan obat-obat inotropik

    SYOK

    SEPTIK

  • 12

    Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah

    mendapatkan pengobatan optimal

    SINDROM DISFUNGSI

    MULTIORGAN

    KEMATIAN

    Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9

    Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan

    laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada

    International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai

    kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5

    dan 6).29

    Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan

    bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)

    maupun terbukti infeksi (proven).30

    Tabel 5. Kriteria SIRS 29

    Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per

    menit

    Laju napas

    per menit

    Jumlah leukosit X

    103/mm

    3

    Usia 0-7 hari >38,5C atau 180 atau 50 >34

    Usia 7-30 hari >38,5C atau 180 atau 40 >19,5 atau

  • 13

    khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian

    kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu: 5,31

    1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui

    aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini

    ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.

    2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat

    pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.

    Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan

    amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.

    3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih

    berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam

    rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan

    ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir

    akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

    Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan

    Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723

    Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena

    infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat

    prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang

    memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian

    terlalu padat, dll.31

    Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran

    darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari

    tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam

    gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran

    INFEKSI

    INTRANATAL

    INFEKSI

    PRANATAL

  • 14

    klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain

    pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul

    akibat beratnya penyakit.32

    3.5.1 Respons inflamasi

    Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.

    Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang

    memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,

    sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33

    Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan

    lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida

    merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki

    peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein

    spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks

    LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14

    akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk

    transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32

    Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,

    yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan

    (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.

    Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin

    proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak

    mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun

    non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34

    Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai

    dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer

    dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan

    mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35

  • 15

    Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis33

    Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73

    Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang

    meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral

    dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah

    dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di

    membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan

    sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi

    menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin

    proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1-

    (IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin

    antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti

    inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi

    terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.

    Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat

    membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta

    kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses

    inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ

    vital dapat berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi

    fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder

    (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),

    dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

  • 16

    selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi

    sehingga menyebabkan kerusakan organ.33

    Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada

    permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.

    Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini

    disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan

    ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan

    menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.33

    3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi

    Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator

    inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung

    akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik

    secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur

    ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi

    kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin

    dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga

    mengaktivasi jalur intrinsik.33

    Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan

    membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.

    Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk

    menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu,

    trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi

    kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk

    meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33

    Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang

    terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.

    Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui

    lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan

    hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.

  • 17

    Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company33

    Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

    3.5.3. Gangguan fibrinolisis

    Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem

    koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh

    darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33

    Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-

    type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah

    plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis

    fibrin.33,37,38

    Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator

    inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan

    inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33

    Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh

    tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis

    akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.33,35,39,40 Hasil

    pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup

    D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-

    dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan

    trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan

  • 18

    disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai

    gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat

    menyebabkan kematian.33

    Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan

    tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen

    khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,

    aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan

    fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam

    mikrovaskular.

    Gambar 4. Supresi Fibrinolisis

    Sumber:......................................

    Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular

    menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor

    pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM

    secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.

    Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis

    buruk.33,Error! Bookmark not defined.

    Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme

    inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan

    koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya

    trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,

    syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan

    kematian.41 Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan

    gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme

  • 19

    prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang

    memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33

    Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi33

    Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

    3.6 DIAGNOSIS

    Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk

    menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk

    adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan

    pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat

    lainnya.8

    3.6.1. Faktor Risiko

    Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi

    dan lain-lain.

    Faktor risiko ibu:

    1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah

    lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila

    disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43

    2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi

    saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi

    perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45

    3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42

    4. Kehamilan multipel.42,44,46

    5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47

  • 20

    6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47

    Faktor risiko pada bayi:

    1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48

    2. Dirawat di Rumah Sakit.49

    3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal

    distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48

    4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,

    pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48

    5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,

    atau asplenia.42,46

    6. Asfiksia neonatorum.27,43,48

    7. Cacat bawaan.27,43,48

    8. Tanpa rawat gabung.43

    9. Tidak diberi ASI.49

    10. Pemberian nutrisi parenteral.50,51

    11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.50

    12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.49

    13. Buruknya kebersihan di NICU.49

    Faktor risiko lain:

    Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering

    terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit

    putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur

    cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga

    pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.27,42,46,48

    Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih

    menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak

    adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.

    Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap

    mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

    3.6.2. Gambaran Klinis

    Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik

    yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan

    dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis

    yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon

  • 21

    tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat

    dilihat dalam tabel 7.6,52

    Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia

    dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak

    lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan

    kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan

    gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat

    (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch

    cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular

    (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan

    kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,

    ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan

    lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54

    Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus 25

    Gejala klinis

    Frekuensi

    Aminullah ,

    1993

    Shattuck,

    1992

    Pong A,

    2003

    Gangguan minum 100% 35% 48%

    Letargi/tampak sakit berat 100%

    Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%

    Ikterus/hiperbilirubinemia 55%

    Jittery/Iritabel 16% 62% 60%

    Kejang 48% 19% 42%

    Gangguan serebral (spastis, paresis) 23%

    Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%

    Serangan apnea 20% 15% 31%

    Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%

    Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31

    Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood

    Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat

    bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55

    Laju napas > 60 kali per menit

    Retraksi dada yang dalam

    Cuping hidung kembang kempis

    Merintih

    Ubun ubun besar membonjol

    Kejang

    Keluar pus dari telinga

  • 22

    Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

    Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba

    dingin)

    Letargi atau tidak sadar

    Penurunan aktivitas /gerakan

    Tidak dapat minum

    Tidak dapat melekat pada payudara ibu

    Tidak mau menetek.

    Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan

    Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah

    Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini

    gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan

    diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan

    kategori tersebut.56

    Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis 8

    Kategori A Kategori B

    Gangguan napas (misalnya: apnea,

    frekuensi napas > 60 atau

  • 23

    Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

    Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;

    Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja

    timbulnya;

    Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi

    tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.

    Bayi berumur lebih dari tiga hari

    Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda

    atau lebih pada Kategori B;

    Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

    Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

    Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak

    menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis

    neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.57

    Clinical signs and symptoms

    Not able to feed

    Not attaching to the breast

    No suckling at all

    Temperature >37.7C or 60 breaths/min.

    Severe chest indrawing

    Nasal flaring

    Grunting

    Reduced movements

    Crepitations

    Lethargic or unconscious Convulsions

    Bulging fontanelle

    Cyanosis

    Reduced digital capillary refill time

    Pus draining from the ear

    Redness around umbilicus extending to the skin

    Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective

    NON SPECIFIC

    Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti

    pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

    laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.

  • 24

    3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

    3.6.3.1 Laboratorium

    3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman

    A. Kultur Darah

    Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

    menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan

    karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58

    Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan

    kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-

    masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis

    neonatorum awitan dini maupun lanjut.

    Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa

    infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis

    sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada

    pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur

    negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas.

    Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah

    persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri

    pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh

    kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat

    menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat

    disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu

    penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan

    hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml

    dengan hitung koloni

  • 25

    menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.

    Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini

    maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan

    serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 24-

    36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan

    cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan

    kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.5 Dari

    penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur

    darah negatif.9

    Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk

    mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih

    baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.5,22

    Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik

    kandung kemih.60

    Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan

    lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.28

    B. Pewarnaan Gram

    Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua

    dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam

    melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini

    dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk

    golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.5 Walaupun dilaporkan

    terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk

    identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan

    fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan

    penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil

    pemeriksaan kultur bakteri.61

    Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,

    seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena

    merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.

    Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair

    dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec dan BacT

    Alert dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.

    Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan

    kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

  • 26

    berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda

    sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis

    banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas

    yang berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai

    petanda sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi

    yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus

    dan bayi prematur (tabel 9).62

    Tabel 9. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur62

    Haematological tests

    Total white blood cell count

    Total neutrophil count

    Immature neutrophil count

    Immature/total neutrophil ratio

    Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle

    bodies, intracellular bacteria

    Platelet count

    Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)

    D-dimer

    Fibrinogen

    Thrombin-antithrombin III complex (TAT)

    Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)

    Plasminogen tissue activator (tPA)

    Acute phase proteins and other proteins

    a1 Antitrypsin

    C Reactive protein (CRP)

    Fibronectin

    Haptoglobin

    Lactoferrin

    Neopterin

    Orosomucoid

    Procalcitonin (PCT)

    Components of the complement system

    C3a-desArg

    C3bBbP

    sC5b-9

    Chemokines, cytokines and adhesion molecules

    Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10

    Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75

    Interferon c (IFNc)

    E-selectin

    L-selectin

    Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)

  • 27

    Vascular cell

    adhesion molecule-1 (VCAM-1)

    Cell surface markers

    Neutrophil Lymphocyte Monocyte

    CD11b CD3 HLA-DR

    CD11c CD19

    CD13 CD25

    CD15 CD26

    CD33 CD45RO

    CD64 CD69

    CD66b CD71

    Others

    Lactate

    Micro-erythrocyte sedimentation

    Superoxide anion (respiratory burst)

    Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235

    3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi

    Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang

    diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:

    Hitung trombosit.

    Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang

    ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis

    neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari

    100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width)

    meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5

    Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.

    Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,

    walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus

    sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang

    tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan

    dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan

    bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,

    eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang

    terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,

    jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis

    sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita

    hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta

    intraventrikular.5

  • 28

    Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).

    Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.

    Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima

    untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah

    0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama

    kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan

    kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio

    I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis

    neonatorum dapat ditegakkan.5

    Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan

    yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau

    peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui

    sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat

    proses persalinan.

    Pemeriksaan kadar D-dimer.

    D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh

    karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem

    fibrinolisis.63 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak

    spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh

    penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik.64, 65,66, 67

    Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara

    lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole

    blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan

    antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks.

    Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal,

    namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara

    ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan

    kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif

    lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA

    antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan

    cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati

    cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda

    bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

    spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada

    satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal.

  • 29

    3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

    C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan

    muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-

    6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di

    neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi

    yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah

    stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai

    proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L.

    Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada

    diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic

    work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk

    mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor

    yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan,

    jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan

    infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).5,68,69

    Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai

    sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi

    positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis

    awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.71

    Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan

    dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.

    Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72

    Sumber: http://neoreviews.aappublications.org

  • 30

    Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72

    Sumber: Kruger M, et al. Biol Neonate 2001; 80: 118-123

    3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)

    PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat

    13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel

    parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam

    darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama

    bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya

    menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni

  • 31

    beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik

    dapat dihentikan.5

    IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem

    imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan

    fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis

    protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis

    neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum

    peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak

    terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta

    memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari

    penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan

    dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan

    kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya

    dan risiko pemberian antibiotik.73,74 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh

    terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9.

    Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi

    terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma

    terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun.

    Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar

    9.

    Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP

  • 32

    3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

    Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

    Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini

    pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan

    mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar

    Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna

    mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain

    bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan

    prognosis pasien sepsis neonatorum.

    Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan

    spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan

    oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang

    menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor

    risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.75

    PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien

    sepsis neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada

    kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi

    dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau,

    diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan

    memperbaiki prognosis pasien.23

    Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga

    bermanfaat untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik

    molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah

    terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif

    88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan

    lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive

    test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala

    sepsis.

    Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk

    mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.

    Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas

    98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat

    terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah

    Sakit Rujukan Propinsi.

  • 33

    3.6.3.2 Pencitraan

    Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,

    misalnya:

    - Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

    retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS

    (Respiratory Distress Syndrome).

    - Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.5

    - Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

    ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan

    dini yang telah terbukti dengan kultur.22

    Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks

    untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark

    ataupun abses.5

    USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan

    ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan

    perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan

    progresivitas komplikasi.5

    3.6.4. Pendekatan Diagnosis

    Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan

    diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.

    Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar.

    Oleh karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan

    berbagai cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang

    mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

    ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan

    diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan

    diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko

    tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).76

    Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko 77

    Risiko mayor

    1. Ketuban pecah > 24 jam

    2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C

    3. Korioamnionitis

    4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit

    5. Ketuban berbau

  • 34

    Risiko minor

    1. Ketuban pecah > 12 jam

    2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C

    3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )

    4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.

    5. Usia gestasi < 37 minggu.

    6. Kehamilan ganda.

    7. Keputihan pada ibu.

    8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.

    Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

    Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka

    pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan

    penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan

    dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih

    efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76

    Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan

    memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan

    diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya

    dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau

    sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem

    skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan

    diagnosis sepsis awitan lambat.77

    Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal77

    Penemuan Skor

    Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan,

    gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).

    Jumlah leukosit total

  • 35

    3. Laju endap darah 15 mm/jam

    4. Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)

    5. Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)

    Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini

    mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga

    dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan

    spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78

    Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga

    dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil

    pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring

    system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79

    Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini

    dan lambat80

    Penemuan Skor

    Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.

    Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.

    Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) 0,3

    Jumlah imatur PMN meningkat.

    Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (5000/mm3 atau 25.000, 30.000, dan

    21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).

    Terdapat perubahan degeneratif pada PMN 3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan

    badan Dohle.

    Jumlah trombosit 150.000 / mm3.

    1

    1

    1

    1

    1

    1

    1

    Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7

    Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum

    awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar

    jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka

    sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79

    Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana

    karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan

    darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah

    mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang

    menunjang sistem skoring tersebut.79

    Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa

    perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan

    usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai

    dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

  • 36

    menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi

    jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16

    Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16

    Variabel Klinik

    Suhu tubuh tidak stabil

    Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit

    Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

    Letargi

    Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )

    Intoleransi minum

    Variabel Hemodinamik

    TD < 2 SD menurut usia bayi

    TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )

    TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

    Variabel Perfusi Jaringan

    Pengisian kembali kapiler > 3 detik

    Asam laktat plasma > 3 mmol/L

    Variabel Inflamasi

    Leukositosis ( > 34000x109/L )

    Leukopenia ( < 5000 x 109/L )

    Neutrofil muda > 10%

    Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2

    Trombositopenia 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

    Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

    IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

    16 S rRNA gene PCR : positif

    Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9

    3.7. Penatalaksanaan

    Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana

    sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu

    dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan

    pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan

    komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan

    antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman

    penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera

    diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif

    (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum

    terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous

  • 37

    immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan

    penggunaan sitokin rekombinan.5

    3.7.1 Pemberian antibiotik

    Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan

    pengobatan dapat menyebabkan kematian.17,80 Pada kasus tersangka sepsis, terapi

    antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah

    diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan

    dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan

    pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik

    harus dihentikan.187

    Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat

    universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah

    resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan

    resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dalam

    pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans

    bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal

    untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52

    Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu,

    mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik

    secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19,82

    Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan

    menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti

    Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta

    lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan

    bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap

    vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang

    mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus

    aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53,83

    Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram

    negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira

    50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap

    sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-

    tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul

    (kira-kira 20%).53

    Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada

    bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan

  • 38

    Enterobacter sp.84 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk

    terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai

    angka prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp.

    menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan

    gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan

    seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data

    terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-

    RSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat

    tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua

    (sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga

    (imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter

    sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus

    sp. masih sensitif terhadap amikasin.82

    Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens

    sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan

    insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten

    terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,

    seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif

    memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena

    itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan

    untuk mencegah resistensi tersebut. 86

    Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme

    pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan

    memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara

    berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53

    Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan

    intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus

    berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87

    Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan

    intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif

    untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti

    telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi

    (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi

    justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87

  • 39

    3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

    Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan

    Listeria monocytogenes.18 Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah

    aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif

    terhadap semua organisme penyebab SAD.18,22 Kombinasi ini sangat dianjurkan

    karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.18

    3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat

    Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga

    digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab

    infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena

    telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.

    Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau

    amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh

    sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat

    menginaktifkan aminoglikosida lain.18

    Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular),

    obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan

    sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus

    dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan

    piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan

    seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif

    terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.18

    Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin

    atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan

    utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat

    baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten

    terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat

    menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian,

    sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis

    karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara

    berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten

    dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.

    Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin

    (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi

    ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas

    dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

  • 40

    Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik

    lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati

    dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan

    aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten

    penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18

    Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak

    bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya

    disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan

    neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan

    secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik.

    3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)

    Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ

    atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi,

    gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik

    seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada

    keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian

    inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam

    kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di

    kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian

    transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor

    (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.

    3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)

    Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti

    merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini

    dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada

    proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi

    komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian

    IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat

    kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi

    prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak

    memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk.

    melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi

    kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92

    Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah

    dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT)

    didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga

  • 41

    terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis,

    angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada

    belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus

    Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan

    angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah

    pemberian IVIG poliklonal.94

    Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan

    kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang

    dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti

    aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96

    3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-

    CSF)

    Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan

    masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien

    sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-

    CSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka

    mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF

    merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya

    adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas

    kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan

    fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis

    neonatorum.99 Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di

    dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang

    meningkat.100 Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun

    dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum

    tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun

    tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.100,101 Oleh karena

    itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klinik

    menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang

    tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90 Dari Cochrane review

    disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan

    angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam

    mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian

    IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95

    Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi

    jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.

  • 42

    Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat

    meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi

    nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan

    membutuhkan biaya yang mahal.89

    3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)

    Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,

    sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai

    pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama

    antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.

    Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan

    plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.102,103,104,105 Tujuan TT

    pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan

    memperbaiki keadaan umum pasien.88,102,104 Dikatakan demikian karena berdasarkan

    penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT

    dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan

    fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta

    jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan

    oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan

    konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres

    pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah

    yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan

    atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming

    the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric

    exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersama-

    sama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien)

    dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra

    indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan

    tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding

    diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah

    kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.106

    TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal

    ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan

    TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup

    menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia,

    sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival dari

    beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan

  • 43

    juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat

    menyebabkan kematian.107

    Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT108

    Peneliti Survival (n) (%)

    Dilakukan TT Tidak dilakukan TT

    Prodhom et al, 1974 7/8 (88) 0/8(0)

    Tollner et al, 1977 10/10 (100) 5/10(50)

    Pearse et al, 1978 13/19(68) 7/17(41)

    Belohradsky et al, 1978 37/74 (50) 60/132 (45)

    Countney et al, 1979 23/34 (68) 4/14 (29)

    Lemos, 1981 8/8 (100) 0/14 (0)

    Bassi et al, 1981 12/22 (55) 7/13 (54)

    Narayanan et al, 1984 8/20 (40) 2/20 (10)

    Xanthou et al, 1985 25/44 (57) 18/62

    Gross et al, 1987 7/11 (64) 8/11 (73)

    Total 150/250 (60) 111/311 (35.69)

    Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002

    3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)

    Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila

    ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien

    adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular

    Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi,

    komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun

    FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah

    antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada

    pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru

    dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada

    kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar

    IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena

    (Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam

    menghindarkan efek samping pemberian FFP.97

    3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin

    Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor

    fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane

  • 44

    review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum

    terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.108

    3.7.2.6 Pemberian Melatonin

    Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal

    bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang

    dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi sepsis

    neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.

    Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini

    merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

    perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontrol.

    Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sampel

    yang lebih besar.109

    3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik

    Seperti telah dikemukakan terdahulu bah