Pemicu 3

21
1) Patogenesis Urtikaria Urtikaria dan angioedema ialah suatu reaksi pada kulit yang mudah dilihat dan biasanya terlokalisasi, baik pada kulit (urtikaria), maupun di bawah kulit (angioedema) yang disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada urtikaria peningkatan permeabilitas kapiler ini merupakan faktor yang penting. Keadaan ini dimungkinkan karena pelepasan histamin dari sel mast. Terjadi edema subkutan, umumnya pada jaringan yang longgar dan berisi sedikit ujung saraf, sehingga keluhan gatal pada angioedema lebih jarang ditemukan dibanding pada urtikaria. Kenaikan kadar histamin dalam darah vena akan lebih merangsang munculnya urtikaria. Di samping itu, beberapa mediator (seperti leukotrien) yang dihasilkan sel mast ikut berperan dalam terjadinya urtikaria. Imunologi Urtikaria Umumnya kasus urtikaria dan angioedema disebabkan oleh reaksi alergi. Keadaan ini disebabkan terfiksasinya Ig E pada sel mast, lalu akhirnya sel mast sendiri akan pecah karena rangsangan antigen dan menghasilkan beberapa mediator. Sedangkan pada urtikaria idiopatik dan urtikaria karena tekanan, peranan reaksi antigen-antibodi tersebut sedikit. Terstimulasinya sel mast untuk mengeluarkan mediator masih belum diketahui. Gambaran imunologi urtikaria secara umum adalah: 1. Urtikaria akut/angioedema adalah suatu bentuk kelainan di kulit karena reaksi anafilaksis. 2. Penyebab urtikaria karena alergi makanan dan obat umumnya melalui Ig E. 3. Urtikaria kronik adalah suatu keadaan non-imunologi yang penyebabnya tidak diketahui. PATOGENESIS Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan mediator- mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang juga mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules

description

a

Transcript of Pemicu 3

Page 1: Pemicu 3

1) Patogenesis Urtikaria

Urtikaria dan angioedema ialah suatu reaksi pada kulit yang mudah dilihat dan biasanya terlokalisasi, baik pada kulit (urtikaria), maupun di bawah kulit (angioedema) yang disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada urtikaria peningkatan permeabilitas kapiler ini merupakan faktor yang penting. Keadaan ini dimungkinkan karena pelepasan histamin dari sel mast. Terjadi edema subkutan, umumnya pada jaringan yang longgar dan berisi sedikit ujung saraf, sehingga keluhan gatal pada angioedema lebih jarang ditemukan dibanding pada urtikaria. Kenaikan kadar histamin dalam darah vena akan lebih merangsang munculnya urtikaria. Di samping itu, beberapa mediator (seperti leukotrien) yang dihasilkan sel mast ikut berperan dalam terjadinya urtikaria.Imunologi Urtikaria

Umumnya kasus urtikaria dan angioedema disebabkan oleh reaksi alergi. Keadaan ini disebabkan terfiksasinya Ig E pada sel mast, lalu akhirnya sel mast sendiri akan pecah karena rangsangan antigen dan menghasilkan beberapa mediator. Sedangkan pada urtikaria idiopatik dan urtikaria karena tekanan, peranan reaksi antigen-antibodi tersebut sedikit. Terstimulasinya sel mast untuk mengeluarkan mediator masih belum diketahui.Gambaran imunologi urtikaria secara umum adalah:

1. Urtikaria akut/angioedema adalah suatu bentuk kelainan di kulit karena reaksi anafilaksis.2. Penyebab urtikaria karena alergi makanan dan obat umumnya melalui Ig E.3. Urtikaria kronik adalah suatu keadaan non-imunologi yang penyebabnya tidak diketahui.PATOGENESIS

Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang juga mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs) dan vascular adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan kemotaksis. Pelepasan mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast akibat rangsangan atau paparan dari alergen. Ada beberapa agen yang dapat mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamin antara lain substansi P, Vasoactive intestinal polypeptide (VIP), latex, surfaktan, dextran, morfin dan codein.Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi C1 esterase inhibitor (C1INH) yang berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen yang menghasilkan vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperan dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat idiopatik, namun bisa juga disebabkan oleh induksi obat-obatan seperti penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE), aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid (AINS).

Page 2: Pemicu 3

2) Beberapa penyebab umum sesak napas karena: (1)penyakit paru, menyebabkan gangguan ventilasi dan/atau perfusi paru; (2)penyakit dinding dada atau neurologis, menyebabkan berkurangnya kemampuan paru untuk melakukan ventilasi adekuat; (3)penyakit jantung, kegagalan cardiac output untuk mempertahankan perfusi otot saat beraktivitas yang menyebabkan pernapasan anaerob saat kerja ringan sehingga terjadi asidosis metabolic dan sesak napas; (4)penyakit darah, anemia mengurangi kapasitas darah untuk mengangkut oksigen; (5)kelainan metabolic, hipertiroidisme atau keracunan salisilat dapat menyebabkan pemakaian O₂ dalam jaringan yang tidak sesuai dengan peningkatan kebutuhan, O₂ asidosis pada gagal ginjal mungkin akan meningkatkan usaha bernapas tanpa terjadi perubahan pertukaran udara, vebtilasi menjadi berlebihan untuk mencukupi kebutuhan O₂; (6)faktor emosional, perasaan tidak nyaman, misal pada pasien penyakit paru kronis yang mengalami depresi akan mengalami sesak napas akibat ambang sesak napasnya yang rendah. (Stark, 1990: 3)

3) PATOFISIOLOGI ALERGIProses ini dimulai oleh suatu alergen melalui kontak dengan mukosa yang kemudian diikuti oleh renteten peristiwa kompleks yang menghasilkan IgE. Respons IgE merupakan suatu respons lokal yang terjadi pada tempat masuknya alergen ke dalam tubuh pada permukaan mukosa dan pada limfonodi. Produksi IgE oleh sel B tergantung pada penyajian antigen oleh sel penyaji antigen (APC) dan kerja sama antara sel B dan sel TH2. IgE yang dihasilkan mula – mula akan mensensitisasi sel mast di jaringan sekitarnya, sisanya akan masuk sirkulasi ataupun sel mast di jaringan lain di seluruh tubuh. IgE mampu melekat pada sel mast dan basofil dengan afinitas tinggi melalui fragmen Fc-nya. Dengan demikian, walaupun waktu paruh IgE bebas dalam serum hanya beberapa hari, sel mast dapat tetap tersensitisasi oleh IgE untuk beberapa bulan karena tingginya afinitas pengikatan IgE pada reseptornya, terlindungi dari penghancuran oleh protease serum. Reaksi hipersensitifitas tipe I terjadi bila sel mast yang telah tersensitisasi dengan IgE bertemu dengan antigen/alergen spesifik. Kemudian sel mast akan melepaskan mediator farmakologis seperti histamin, ECF-A (Eosinophil-Chemotactic Factor of Anaphylactic), PAF (Platelet Aggregating Factor) dan NCF-A (Netophil-Chemotactic Factor Anaphylactic). (Wahab. 2002: 70).Mediator ini kemudian menimbulkan respons radang yang khas ditandai dengan erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan tebal, berwarna merah memutih bila ditekan dan disertai rasa gatal. (Matondang. 1996: 154). Oleh karena adanya ECF-A hasil dari degranulasi sel mast, sel eosinofil akan bergerak ke daerah sasaran dan akan melepaskan mediator berupa antihistamin yang akan mengontrol reaksi alergi. (Baratawidjaja. 1996: 44).

Pada awalnya alergen yang menempel pada kulit merangsang sel mast untuk membentuk antibodi IgE, setelah terbentuk, maka IgE berikatan dengan sel mast. Setelah itu, pada saat terpajan untuk yang kedua kalinya, maka alergen akan berikatan dengan igE yang sudah berikatan dengan sel mast sebelumnya. Akibat dari ikatan tersebut, maka akan mengubah kestabilan dari isi sel mast yang mengakibatkan sel mast akan mengalami degranulasi dan pada akhirnya sel mast akan mengekuarkan histamin yang ada di dalamnya. Perlu diketahui bahwa sanya sel mast adalah mediator kimia yang dapat menyebabkan gejala yang terjadi pada seseorang yang mengalami urtikaria.

Page 3: Pemicu 3

Pada urtikaria, maka gejala yang akan terjadi dapat meliputi merah, gatal dan sedikit ada benjolan pada permukaan kulit. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi ??? , Begini jawabannya,pada dasarnya sel mast ini sendiri terletak didekat saraf perifer, dan pembuluh darah.Kemerahan dan bengkak yang terjadi karena histamin yang dikeluarkan sel mast itu menyerang pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Gatal yang terjadi juga diakibatkan karena histamin menyentuh saraf perifer.Urtikaria terjadi akibat vasodilatasi dan peningkatan permiabilitas dari kapiler atau pembuluh darah kecil sehingga terjadi transudasi cairan dari pembuluh darah di kulit. Hal in karena adanya pelepasan mediator kimia dari sel mast atau basofil terutama histamin.Pelepasan mediator ini dapat terjadi melalui mekanisme : - Imunologi (terutama reaksi hipersensitivitas tipe I kadang kadang tipe II) - Non imunologi (“chemical histamine liberator”, agen fisik, efek kolinergik). Baik faktor imunologi maupun nonimunologi mampu merangsang sel mas atau basofil untuk melepaskan mediator.

Alergi atau hipersensitivitas tipe I (1 dari 4) adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.Allergen-allergen mungkin dapat terhirup, tercerna (termakan atau tertelan), dipakai pada kulit, atau disuntik kedalam tubuh baik sebagai obat atau dengan tidak hati-hati oleh sengatan serangga.

Didalam Udara Yang Kita Napas Bernapas dapat penuh risiko jika anda alergi. Disamping oksigen, udara mengandung variasi yang lebar dari partikel-partikel; beberapa beracun, beberapa berinfeksi, dan beberapa tidak berbahaya termasuk allergen-allergen. Penyakit-penyakit yang umum yang berasal dari allergen-allergen udara adalah hay fever, asma, dan conjunctivitis. Allergen-allergen berikut umumnya tidak berbahaya, namun dapat memicu reaksi-reaksi alergi ketika dihirup oleh individu-individu yang sensitif. • Serbuk sari: pohon-pohon, rumput-rumput, dan/atau rumput-rumput liar • Tungau • Protein-protein binatang: dander, kulit, dan/atau urin • Spora-spora jamur • Bagian-bagian serangga: kacoa-kacoa

Didalam Apa Yang Kita Makan

Page 4: Pemicu 3

Ketika makanan-makanan dan obat-obatan dicerna, allergen-allegen mungkin dapat mengakses kedalam aliran darah dan menjadi terpasang pada IgE tertentu didalam sel-sel pada tempat-tempat yang jauh seperti kulit atau selaput-selaput hidung. Kemampuan dari allergen-allergen untuk berpergian menerangkan bagaimana gejala-gejala dapat terjadi pada area-area yang berlainan dari saluran pencernaan. Reaksi-reaksi alergi makanan dapat mulai dengan pembengkakan lidah atau tenggorokan dan mungkin diikuti oleh kesemutan (tingling), mual, diare, atau kram perut. Kesulitan bernapas dengan hidung atau reaksi-reaksi kulit mungkin juga dapat terjadi. Dua grup utama allergen-allergen yang dicerna adalah: • Makanan: Makanan yang paling umum yang menyebabkan reaksi-reaksi alergi adalah susu sapi, ikan, kerang-kerangan, telur-telur, kacang-kacangan, kacang-kacang tumbuhan, kedele, dan gandum. • Obat-obatan (ketika diminum): contohnya, antibiotik-antibiotik dan aspirin

Menyentuh kulit Kita Allergic contact dermatitis adalah peradangan kulit yang disebabkan oleh reaksi alergi lokal. Mayoritas dari reaksi-reaksi kulit lokal ini tidak melibatkan IgE, namun disebabkan oleh sel-sel peradangan. Rash yang ditimbulkan adalah serupa dengan yang dari ivy rash yang beracun. Harus dicatat bahwa ketika beberapa allergen-allergen (contohnya, latex) bersentuhan dengan kulit, mereka diserap oleh kulit dan dapat juga berpotensi menyebabkan reaksi-reaksi keseluruh tubuh, tidak hanya pada kulit saja. Untuk kebanyakan orang, bagaimanapun, kulit adalah penghalang yang hebat yang hanya dapat dipengaruhi secara lokal. Contoh-contoh dari allergic contact dermatitis termasuk: • Latex (menyebabkan reaksi-reaksi IgE dan non-IgE) • Tumbuh-tumbuhan (poison ivy and oak) • Zat pewarna (Dyes) • Bahan-bahan kimia • Logam-logam (nickel) • Kosmetik-Kosmetik

Allergic contact dermatitis tidak melibatkan antibodi IgE, namun melibatkan sel-sel dari sistim imun yang diprogram untuk bereaksi ketika dipicu oleh allergen yang mensensitifkan. Menyentuh atau menggosok unsur/bahan yang pernah membuat anda sensitif sebelumnya dapat memicu rash kulit (skin rash).

Yang Disuntikkan Kedalam Tubuh Reaksi-reaksi yang paling berat dapat terjadi ketika allergen-allergen disuntikan kedalam tubuh dan mendapat akses langsung kedalam aliran darah. Akses ini membawa risiko dari reaksi umum, seperti anaphylaxis, yang dapat membahayakan nyawa. Berikut adalah allergen-allergen yang paling umum disuntikan yang dapat menyebabkan rekasi-rekasi alergi yang berat: • Racun serangga • Obat-obatan • Vaksin-vaksin (termasuk suntikan alergi)

Page 5: Pemicu 3

• Hormon-hormon (contohnya, insulin)

4) Efek-efek Yang Tidak Diinginkan Dalam Penggunaan ObatPenggunaan atau perpanjangan penggunaan obatdapat menghasilkan efek-efek yang kurang disukai atau tidak diinginkan, seperti:1. Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, responsabnormal terhadap obat.2. Kumulasi, terkumpulnya obat dalam tubuh sebagai hasil pengulangan penggunaan obat yang diabsorpsi lebih cepat, daripada ekskresinya dan dapat menimbulkan efek toksik.3. Toleransi, berkurangnya respons terhadap obat dengan dosis yang sama sehingga dosis obat tersebut harus diperbesar untuk mendapatkan efek terapi yang sama.Ada tiga macam toleransi, yaitu:(a) Toleransi bawaan (primer).(b) Toleransi dapatan (sekunder). Habituasi atau kebiasaan adalah suatu gejala ketergantungan psikologis terhadap suatu obat dengan ciri-ciri, di antaranya ingin selalu menggunakan obat, cenderung menaikkan dosis (kecil), timbul ketergantungan psikis, dan muncul efek yang merugikan individu. Habituasi dapat terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat, terbentuknya reseptor-reseptor sekunder, dan terjadinya penghambatan resorpsi.(c) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struk¬tur kimia yang serupa atau merupakan derivatnya.Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.4. Takifilaksis, berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada pengulangan pemberian dalam dosis yang sama.5. Adiksi, ketergantungan rohaniah dan jasmaniah terhadap obat-obat dengan karakteristik sebagai berikut.(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.(b) Kecenderungan menaikkan dosis (besar).(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.(d) Merugikan masyarakat maupun individu.(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.Narkotik dapat menimbulkan adiksi/ketagihan yang lebih berat atau lebih besar daripada efek euforia (rasa nyaman yang kuat, kecemasan hilang), sedangkan amfetamin menimbulkan toleransi dan adiksi yang lebih ringan daripada narkotik.Penggunaan obat campuran atau beberapa obat secara bersamaan dapat menimbulkan hal-hal berikut.1. Efek adisi, efek penjumlahan dari efek masing-masing obat.2. Efek sinergis, efek kombinasi yang sama dengan jumlah dari kegiatan kedua zat (adisi) atau melebihi jumlah tersebut (potensiasi).3. Efek potensiasi, timbulnya efek yang lebih besar daripada jumlah efek kedua obat.4. Efek antagonis, yaitu efek yang berlawanan, misalnya striknin dan barbital.5. Interaksi obat, yang akan menyebabkan modifikasi efek obat-obat tersebut. Misalnya, ion Al, Fe, Mg, dan Ca menghambat absorpsi tetrasiklin; alkohol akan memperkuat efek obat lain; serta furosemid akan menaikkan efek digitalis.

Page 6: Pemicu 3

Efek yang tidak diinginkan, • Efek samping : adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, rasa kantuk pada penggunaan CTM. • Idiosinkrasi : peristiwa dimana suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif berlainan dari efek normalnya. Umumnya hal ini disebabkan oleh kelainan genetis pada pasien bersangkutan. • Alergi : reaksi antara obat dengan tubuh yang membentuk antibodi sehingga seseorang menjadi hipersensitifitas terhadap obat tersebut. • Fotosensitasi : adalah kepekaan berlebihan terhadap cahaya akibat penggunaan obat, terutama secara lokal.

Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediatorRangsangan sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator.

PATOFISIOLOGI

Page 7: Pemicu 3

Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.

Mediator anafilaksis Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis

Histamin Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsang yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama l0 menit dan inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat. Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkioli dan vaskular, sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil. Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi sel sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.

SRS-ABerbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh histamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh SRS-A.

ECF-A ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi SRS-A dan histamin.

PAF PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradikinin.

BradikininBradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat, lama dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga

Page 8: Pemicu 3

merangsang peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A

SerotoninSerotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak begitu penting pada anafilaksis.

Prostaglandin Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.

Kalikrein Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.

Secara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dibagi menjadi 1) reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG, reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti reaksi terhadap globulin γ, IgG antiIgA, reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit atau leukosit, dan reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain.Tabel 3: Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid (Diadaptasi dari: Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Anafilaksis Anafilaktoid

Perlu sensitisasi Tidak Perlu Sensitisasi

Jarang (<5%) Sering (>5%)

Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi setelah pajanan pertama

Gejala Klinis khas Gejala klinis tidak khas

Dosis pemicu kecil Tergantung dosis dan/atau kecepatan pemberian pada infuse

Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kecuali defek enzim)

Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiolofis kuat

Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.

Page 9: Pemicu 3

Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita

A. Sistem pernafasan

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.

B. Sistem sirkulasi

Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.

C. Gangguan kulit.

Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.

D. Gangguan gastrointestinal

Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.

Page 10: Pemicu 3

5) Faktor-faktor risiko alergi dibagi dalam dua kategori umum, yaitu faktor host (tuan rumah) dan lingkungan. Faktor host (tuan rumah) diantaranya berupa faktor keturunan, jenis kelamin, ras, dan usia. Faktor keturunan sejauh ini dianggap yang paling signifikan menghasilkan individu yang alergi. Namun, baru-baru ini telah terjadi peningkatan insiden gangguan alergi yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor genetik saja.Faktor-faktor lingkungan yang utama berupa perubahan dalam eksposur terhadap penyakit menular pada anak usia dini, polusi lingkungan, tingkat alergi, dan perubahan pola makan.Genetikapenyakit alergi sangat terhubungan dengan ikatan kekeluargaan: kembar identik cenderung memiliki penyakit alergi yang sama (sekitar 70%) dan pada kembar non-identik (sekitar 40%). Alergi pada orang tua lebih cenderung dimiliki juga oleh anak-anaknya, dan alergi mereka mungkin lebih keras daripada yang dimiliki orang tuanya (non-alergi). Beberapa alergi, bagaimanapun, adalah tidak konsisten di sepanjang silsilah; orang tua yang alergi terhadap kacang tanah mungkin memiliki anak-anak yang alergi terhadap kacang lainnya. Tampaknya kemungkinan mengembangkan alergi warisan (turunan) berhubungan dengan suatu ketidakberesan dalam sistem kekebalan.Risiko sensitisasi alergi dan pengembangan alergi bervariasi berdasarkan usia, dalam hal ini anak-anak muda memiliki resiko yang lebih besar. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat IgE yang tertinggi adalah di masa kanak-kanak dan menurun dengan cepat antara usia 10 dan 30 tahun. Secara keseluruhan, anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan anak perempuan untuk mengembangkan alergi di dalam tubuhnya, meskipun untuk beberapa penyakit, yaitu asma pada orang dewasa muda, perempuan lebih cenderung akan terpengaruh. Perbedaan karena faktor kelamin cenderung menurun di usia dewasa.Etnisitas (suku/ras) mungkin memainkan peran dalam beberapa alergi, namun faktor rasial sulit untuk dipisahkan dari pengaruh lingkungan dan perubahan-perubahan karena migrasi.Hipotesis Kebersihan (higine)Menurut hipotesis kebersihan, diusulkan oleh David P. Strachan, penyakit alergi yang disebabkan oleh respon imunologi yang tidak tepat untuk antigen tidak berbahaya didorong oleh respon imun Th2-mediated. Banyak bakteri dan virus yang menimbulkan respon imun Th1-mediated turut pula menimbulkan respon Th2. Dengan kata lain, orang yang tinggal di sebuah lingkungan yang terlalu steril tidak memiliki patogen yang cukup untuk ‘dipelajari’ oleh sistem kekebalan tubuh manusia. Karena tubuh kita berevolusi untuk menangani dengan tingkat tertentu patogen tersebut, sehingga jika tidak terkena tingkat ini maka sistem kekebalan akan menyerang antigen yang tidak berbahaya, dan dengan demikian biasanya objek seperti mikroba jinak (tidak berbahaya) dan serbuk sari, akan memicu respon kekebalan tubuh.Faktor lingkungan lainnyaPenyakit alergi lebih sering terjadi di negara-negara industri ketimbang di negara-negara yang lebih tradisional atau pertanian, dan penyakit ini cenderung memiliki tingkat lebih tinggi pada populasi perkotaan versus penduduk pedesaan.Paparan terhadap alergen, terutama di awal kehidupan, merupakan faktor risiko yang penting untuk alergi. Jaman sekarang, perubahan pada pemaparan terhadap mikroorganisme adalah penjelasan lain yang masuk akal, untuk peningkatan alergi atopik. Endotoksin mengurangi

Page 11: Pemicu 3

eksposur pelepasan sitokin peradangan seperti TNF-α, IFNγ, interleukin-10, dan interleukin-12 dari sel darah putih (leukosit) yang beredar di dalam darah.Gutworms dan parasit yang serupa yang hadir dalam air minum yang tidak diobati di negara-negara berkembang dan hadir dalam air di negara-negara maju (yang telah melakukan klorinasi rutin dan pemurnian pasokan air minum). Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa beberapa parasit umum, seperti cacingan (misalnya cacing tambang), mengeluarkan bahan kimia tertentu ke dalam dinding usus (juga pada aliran darah) yang menekan sistem kekebalan tubuh dan mencegah tubuh dari serangan parasit lainnya. Hal ini menimbulkan suatu pandangan baru tentang teori hipotesis higiene – itu. Ko-evolusi manusia dan parasit telah menyebabkan sistem kekebalan tubuh yang hanya berfungsi dengan benar di hadapan parasit. Tanpa mereka, sistem kekebalan tubuh menjadi tidak seimbang dan peka. Secara khusus, penelitian menunjukkan bahwa alergi mungkin bersamaan dengan pembentukan flora usus pada bayi. Namun, penelitian untuk mendukung teori ini bertentangan dengan beberapa studi yang dilakukan di Cina dan Ethiopia yang menunjukkan peningkatan alergi pada pasien terinfeksi cacing usus. Percobaan klinis telah dimulai untuk menguji efektivitas cacing tertentu dalam memperlakukan beberapa alergi.

Faktor risikoSeseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.[5][10] Suatu studi pada anak dengan anafilaksis menemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.[10] Orang dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.[5][10] Semakin lama waktu sejak terakhir kali terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi reaksi yang baru.[4]

6) Pasien yang pernah mengalami rekasi anafilaksis mempunyai resiko untuk memperoleh

reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali,

diberikan peringatan dan bila perlu diberikan penanda pada ikat pinggang atau

dompetnya. Kadang-kadang pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa

kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga

seperti pada sengatan lebah atau anafilaksis idiopatik. Pasien asma dan penyakit jantung

bila mendapat serangan anaflaksis bisa jauh lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma

atau jantung harus memperoleh pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko

anafilaksis dianjurkan untuk tidak memperoleh obat-obatan yang berfungsi menyekat

beta, karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya akan lebih sulit. Sebaiknya obat-

obatan substitusi pengganti obat penyekat beta tersebut.

Page 12: Pemicu 3

7) Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan untuk menghindari reaksi

anafilaksis. Greenberger dkk (1984) memberikan prednisone dan antihistamin sebelum

memberikan media kontras pemeriksaan radiologic kepada pasien yang mempunyai

resiko. Tindakan desensitasi jangka pendek dengan penisilin. Desensitasi jangka panjang

diberikan kepada pasien yang alergi terhadap sengatan lebah. Oleh karena reaksi

anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan barangkali petunjuk di bawah ini

mungkin dapat mencegah terjadinya anafilaksis baik di tempat praktek atau dimana saja.

8) Sebelum memberikan obat harus mempertimbangkan

9) a.       Adakah indikasi memberikan obat

10) b.      Adakah riwayat alergi sebelumnya

11) c.       Apakah pasien memiliki resiko alergi obat

12) d.      Apakah obat tersebut perlu diuji di kulit dulu

13) e.       Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi resiko alergi

14)Sewaktu minum obat harus mempertimbangkan cara di bawah ini

15) a.       Jika mungkin, berikan obat secara oral

16) b.      Hindari pemaikaian intermiten

17) c.       Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu diobservasi

18) d.      Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang akan terjadi

19) e.       Sediakan obat untuk mengatasi keadaan darurat

20) f.       Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitasi

21)Sesudah minum obat harus mempertimbangkan

22) a.       Kenali tanda dini rekasi alergi obat

23) b.      Hentikan obat bila terjadi reaksi

24) c.       Tindakan imunisasi sangat dianjurkan

25) d.      Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian tersebut tidak

terulang kembali.

26)Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan berhati-hati atau pencegahan

daripada menghadapi reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya,

pasien yang meniggal karena anafilaksis sering dilaporkan. Sama akan halnya dengan

obat-obatan sebagai penyebab anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji di kulit. Hanya

penisilin, berbagai macam hormone, serum, dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes

kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan memberikan obat,

kadang-kadang membantu diagnosis. Tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan

reaksi anafilaksis.

Page 13: Pemicu 3

7) Pengobatan Anafilaksis

Mereka yang mengalami asma atau eksim, berada pada risiko lebih besar terkena syok anafilaksis.

Seseorang yang telah mengalami anafilaksis sebelumnya harus mengikuti pedoman untuk pencegahan

anafilaksis.

Menghindari alergen adalah cara terbaik untuk mencegah syok anafilaksis.

Berikut adalah alternatif pengobatan anafilaksis:

1. Manajemen Gangguan Pernapasan

Sistem kardiovaskular yang dipengaruhi oleh reaksi alergi yang parah akan membuat penderitanya

mengalami gangguan pernapasan.

Saat pernapasan pasien berhenti, cardiopulmonary resuscitation (CPR) harus dilakukan. CPR adalah

bagian integral dari manajemen jalan nafas.

Untuk alasan yang sama, suplementasi oksigen merupakan bagian penting dari perawatan anafilaksis di

rumah sakit.

Harus dipastikan pasien tidak menderita komplikasi karena kadar oksigen yang rendah dalam darah.

2. Cairan Intravena

Anafilaksis menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga pasien tidak dapat menelan makanan

atau minuman.

Page 14: Pemicu 3

Dalam keadaan seperti itu, cairan harus diberikan secara intravena.

3. Suntikan Epinefrin

Karena pelepasan histamin menyebabkan cairan bocor (keluar) dari pembuluh darah, epinefrin

diberikan sehingga dapat menyempitkan pembuluh darah.

Epinefrin adalah hormon yang bertindak menginduksi proses ‘melawan atau melarikan diri’ saat

seseorang berada di bawah ancaman.

Pemberian epinefrin menyebabkan jantung memompa darah lebih cepat, dan juga membantu dalam

pelebaran saluran udara ke paru-paru.

Epinefrin membalikkan efek dari zat dilepaskan selama syok anafilaksis dan digunakan sebagai bagian

dari pengobatan darurat.

4. Terapi Obat

Obat diberikan untuk menghentikan pelepasan histamin.

Obat tersebut disebut sebagai antihistamin yang berfungsi membalikkan efek histamin dan karena itu

digunakan untuk mengurangi gejala alergi.

Kortikosteroid atau obat anti-inflamasi mungkin juga diresepkan untuk menurunkan peradangan.

Karena anafilaksis (anaphylaxis) menyebabkan penurunan tekanan darah, obat-obatan untuk

menstabilkan tekanan darah pasien juga bisa diberikan.

Page 15: Pemicu 3

8) Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok

anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh

darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai

penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah

meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta

pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan

memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.

Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut

dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu

pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada

sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin

memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,

absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml

larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat

diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya

pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat

kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar

diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml

dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan

dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1

ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama

beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit.

Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin

setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu

Page 16: Pemicu 3

diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.

(Pamela, adrenalin, draholik)