makalah pbl 16
-
Upload
greentree-mas -
Category
Documents
-
view
36 -
download
5
Transcript of makalah pbl 16
PENDAHULUAN
Seorang ibu berusia 46 tahun datang berobat ke puskesmas dengan keluhan nyeri pada
perut bagian kanan bawahnya. Os juga mengeluh mual dan muntah muntah 2x/hari. Pemeriksaan
fisik: suhu: 38°C, nadi: 92x/menit, respiratory rate: 24x/menit, tekanan darah: 105/65 mmHg.
Pemeriksaan laboratorium : leukosit: 15500/ul.
WD (working diagnosis) pada kasus Ibu ini adalah appendicitis. Apendisitis adalah
peradangan pada apendiks. Apendiks disebut juga umbai cacing. Kita sering salah kaprah dengan
mengartikan apendisitis dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ
apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini
diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam
sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Organ ini cukup sering menimbulkan masalah
kesehatan dan peradangan akut apendiks yang memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumya berbahaya. Appendicitis pula boleh dibagikan kepada dua yaitu
apendisitis akut dan kronik:
Akut: Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-muntah,
nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak
semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau
mual-muntah saja.
Kronik: Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana
terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang
timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu
akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis
akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (istilah kesehatannya).
Namun, terdapat enam DD (differential diagnosis) yang memiliki gejala mirip yaitu penyakit
Crohn, salphigitis, kista ovarium, kehamilan ektopik terganggu, kolik ureter dan perintonitis. DD
dibedakan dengan lebih lanjut berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan.
ISI
PEMERIKSAAN
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Pada appendicitis akut, dengan pengamatan akan tampak adanya pembengkakan
(swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
Palpasi : Palpasi dilakukan dengan dimulai pada kuadran kiri bawah dilanjutkan ke kuadran
kiri atas, kuadran kanan atas dan diakhiri di kuadran kanan bawah. Kadang-kadang pada
appendicitis lanjut, teraba suatu massa. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dengan spasme otot
merupakan indikasi untuk melakukan operasi kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa
appedisitis bukan WD. Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa
nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas
lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. Suhu dubur (rectal)
yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel
darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3 (normal adalah
5.00-10.000/mm3). Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan
apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (timbunan tinja
yang keras). Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis
apendisitis (71-97 %), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan
yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93-98 %). Dengan CT scan
dapat terlihat jelas gambaran apendiks. Sinar X bermanfaat dalam memeriksa
kemungkinan ulkus perforasi, obstruksi usus atau nefrolitiasis. Pielogram intravena bisa
menunjukkan kelainan traktus urinarius seperti kolik ginjal.
WD
WD untuk kasus ini adalah apendisitis.
DD
Penyakit Crohn
Kelahiran etopik terganggu
Salphingitis
Kista ovarium
Kolic ureter
Peritonitis
ETIOLOGI
Penyebab apendisitis belum sepenuhnya dimengerti tapi pada kebanyakan kasus,
peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus
buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pecah. Apendisitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya
adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur,
benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.
Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia
jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang
diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan :
- masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal
- terbentuknya abses
- pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada
saluran yang bisa menyebabkan kemandulan
- masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
EPIDEMIOLOGI
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang
ditemukan pada usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan bentuk anatomis apendiks yang
berbeda pada usia tersebut. Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi
akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis.2
MANIFESTASI KLINIK
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari mual, muntah dan
nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut
sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual
hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini,
penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah
tajam. Demam bisa dialami oleh pasien dan boleh mencapai 37,8-38,8 Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut.
Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya
tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Kadang kala
bisa menyebabkan syok.
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik
Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 Celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut
gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan
seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru
diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas
dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul,
atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala
apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa
timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan.
PATOFISIOLOGI
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh
lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap
harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum
menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah
bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks,
sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding
apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat,
sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark
dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu
berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan
ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun,
jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi
tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan
dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan
pembuluh darah. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan
bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi.
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus
buntu (appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa
kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat
kekambuhannya mencapai 35%.
Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah
dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 -10 hari. Selanjutnya adalah
perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder dari alat yang
terkontaminasi dan lain-lain.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Basic pathology. Robbins. 628-629.
2. Radang usus buntu(apendisitis). Diunduh dari http://www.tanyadokter.com/disease.asp?
id=1001133 27 Mei 2010.
3. Apendisitis. Diunduh dari
http://medicastore.com/penyakit/496/Apendisitis_radang_usus_buntu.html 27 Mei 2010
4. Appendicitis. Diunduh dari http://theeqush.wordpress.com/2008/03/10/apendisitis/ 28
Mei 2010.
5. Apendisitis. Diunduh dari http://www.klikdokter.com/illness/detail/9 28 Mei 2010.
6.