MAKALAH MTHT POLIP
-
Upload
nataria-e-tahx -
Category
Documents
-
view
87 -
download
2
Transcript of MAKALAH MTHT POLIP
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang berfungsi menghirup
udara pernafasan, menyaring udara, menghangatkan udara pernafasan, juga berperan dalam
resonansi suara.
Hidung merupakan alat indera manusia yang menanggapi rangsang berupa bau atau
zat kimia yang berupa gas. Di dalam rongga hidung terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi dengan sel-sel pembau. Setiap sel pembau mempunyai rambut-rambut halus (silia
olfaktori) di ujungnya dan diliputi oleh selaput lendir yang berfungsi sebagai pelembab
rongga hidung.
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat
timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut.
Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin
banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.
Secara makroskopik, polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat
tunggal atau multipel, dan tidak sensitif (bila ditekan/ ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip
yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus
medius dan sinus etmoid. Karena bentuknya bertangkai dan memanjang, maka menyebabkan
penderita polip hidung merasa terganggu akibat tonjolan di dalam hidungnya sehingga tidak
leluasa bernafas (tersumbat) dan pilek berkepanjangan.
1
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung
akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di
kompleks ostiomeatal. Sehingga terjadi prolaps submukosa yang diikuti reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Selain itu, juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh
permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya
sitokin-sitokin dari sel mast, yang menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1a
Seorang laki-laki dewasa dengan keluhan hidung tersumbat.
Sesi 1b
Bapak Toto, usia 45 tahun, pekerjaan guru SMA, datang dengan keluhan kedua lubang
hidung terasa tersumbat. Sumbatan ini terasa menetap dan makin lama makin berat sehingga
mengganggu kenyamanan hidupnya sehari-hari. Karena bernafas dengan hidung sulit, pasien
lalu bernafas lewat mulut, kemudian memutuskan datang ke RS tempat anda jaga.
Sebagai dokter yang menerima pasien tersebut, anda mulai memikirkan beberapa hipotesis
tentang sumbatan hidung.
Sesi 1c
Dari anamnesis yang anda kembangkan selanjutnya diketahui bahwa keluhan dirasakan sejak
± 6 bulan yang lalu, mula-mula ringan menetap sepanjang hari dan makin lama makin
bertambah berat. Tiga tahun yang lalu, pasien pernah sakit serupa dan sudah dioperasi. Pada
waktu muda pasien pernah makan udang, kemudian badannya terasa gatal, timbul bercak-
bercak merah dan bentol pada kulit. Sejak itu setiap kali makan udang selalu gatal sehingga
pasien tidak makan udang lagi.
Sebulan terakhir ini, pasien merasa badannya agak demam kemudian sering pusing kepala.
Sejak dua minggu yang lalu ada massa mengganjal di tenggorok yang sangat mengganggu
pada waktu makan. Benjolan terasa bisa bergerak, tidak pernah berdarah dan tidak ada rasa
nyeri kalau digerakkan.
3
BAB III
PEMBAHASAN
Identitas Pasien
Nama : Bapak Toto
Usia : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Guru SMA
Alamat : -
Agama : -
Status pernikahan : -
Keluhan Utama
Keluhan utama yang membuat pasien datang ke dokter ialah hidung tersumbat.
Hipotesis
Berdasarkan keluhan utama pasien yaitu hidung tersumbat, kami menyusun hipotesis
penyakit pasien sebagai berikut.
1. Polip Hidung
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Keluhan utama penderita
polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang
4
jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeeri
pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal.
2. Deviasi Septum
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada
waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterin. Keluhan yang paling sering adalah
sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral. Keluhan lainnya adalah rasa
nyeri di kepala dan di sekitar mata. Hipotesis ini disingkirkan karena tidak ada riwayat
trauma pada pasien ini.
3. Abses Septum
Penyebab abses septum tersering adalah trauma yang kadang-kadang tidak disadari
oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman
dan menjadi abses. Gejala abses septum ialah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa
nyeri berat, terutama terasa di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala.
Hipotesis ini dapat disingkirkan dengan tidak ada riwayat trauma dan hematom.
4. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia yang terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala
yang lain adalah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan adanya lakrimasi. Hipotesis ini dapat
5
disingkirkan karena tidak ada serangan bersin yang berulang dan keluarnya ingus yang encer
dan banyak.
5. Sinusitis
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh
rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah salesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Gejala utma rinosinusitis adalah hidung tersumbat disertai rasa nyeri atau rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lesu.
6. Tumor Hidung
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Gejala nasal
biasanya berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah
atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga sering
terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik. Hipotesis ini dapat disingkirkan dengan tidak adanya epitaksis.
Masalah
Keluhan utama yang membuat pasien ini berobat ke RS adalah kedua lubang
hidungnya terasa tersumbat. Sumbatan ini terasa menetap dan makin lama makin berat
sehingga telah mengganggu kenyamanan hidupnya sehari-hari. Lalu, akibat dari
tersumbatnya hidung ini, pasien lalu bernafas melalui mulut.
Selain itu, ada keluhan tambahan yaitu pasien merasa badannya agak demam dan
sering pusing kepala sejak sebulan terakhir. Lalu, pasien juga merasa ada massa mengganjal
6
di tenggorokannya yang sangat mengganggu saat makan sejak dua minggu terakhir.
Diketahui pula dari kasus bahwa pasien memiliki riwayat operasi pada hidung dengan
keluhan yang sama serta adanya riwayat alergi terhadap udang.
Anamnesis
Untuk membantu menegakkan diagnosis yang tepat, maka perlu dilakukan anamnesis
pada pasien ini, yaitu:
Riwayat penyakit sekarang
- Sejak kapan merasa hidungnya tersumbat?
- Bagaimana perkembangannya? Apakah menetap dan makin memberat?
- Apakah sumbatan terasa pada kedua lubang hidung?
- Apakah merasa sangat sulit bernafas?
- Apakah ada gangguan membaui?
- Apakah ada rinore/ sekret dari hidung? Jika ada, bagaimana warnanya,
konsistensinya, jumlahnya, dan baunya?
- Apakah ada bersin-bersin?
- Apakah ada demam dan malaise?
- Apakah ada sakit kepala atau pusing?
- Apakah ada rasa nyeri di sekitar hidung?
- Apakah ada rasa nyeri di sekitar wajah?
- Apakah ada gangguan tidur atau gangguan aktivitas?
Hasilnya:
7
- Pasien merasa kedua lubang hidungnya tersumbat yang terasa menetap dan makin
lama makin memberat sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya.
- Pasien juga merasa sulit bernafas sehingga ia bernafas melalui mulut.
- Keluhan ini dirasakan sejak ± 6 bulan lalu, mula-mula ringan menetap sepanjang hari
dan makin lama makin memberat.
- Sebulan terakhir pasien merasa agak demam dan sering pusing kepala.
- Sejak dua minggu lalu, terasa ada massa yang mengganjal di tenggorok yang sangat
mengganggu pada saat makan. Benjolan terasa bisa bergerak, tidak pernah berdarah
dan tidak ada rasa nyeri kalau digerakkan.
Riwayat penyakit dahulu
- Apakah sebelumnya pernah mengalami hal yang sama?
- Apakah pernah ada riwayat operasi pada hidung?
- Apakah ada riwayat trauma?
- Apakah ada riwayat alergi?
Hasilnya:
- Tiga tahun lalu pasien pernah sakit serupa dan sudah dioperasi.
- Pada waktu muda, pasien pernah makan udang, kemudian badannya terasa gatal,
timbul bercak-bercak merah dan bentol pada kulit. Sejak itu setiap kali makan udang
selalu gatal sehingga pasien tidak makan udang lagi ada riwayat alergi makanan.
Riwayat keluarga
- Apakah ada riwayat atopi atau alergi pada keluarga?
8
Riwayat pengobatan
- Apakah sudah berobat sebelumnya? Jika iya, obat apakah yang digunakan?
Riwayat kebiasaan
- Bagaimana keadaan lingkungan/ higiene sekitarnya?
- Apakah mengajar dengan menggunakan kapur atau tidak? Jika iya, partikel debunya
bisa menyebabkan alergi.
Hipotesis Berdasarkan Anamnesis
Berdasarkan keluhan utama pasien yaitu adanya rasa tersumbat pada kedua lubang
hidung yang makin lama makin memberat, maka hipotesis kelompok kami :
1. Polip nasi
Merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga
predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi.
Keluhan utama pasien polip nasi adalah hidung terasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah
frontal. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup.
2. Abses septum
Kebanyakan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari
oleh pasien. Gejalanya ialah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri
berat, terutama terasa di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit
kepala.
9
3. Sinusitis
Merupakan inflamasi mukosa sinus paranasalis. Keluhan utama yaitu hidung
tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan pada daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia,
dan halitosis. Salah satu faktor etiologi dan predisposisi sinusitis adalah adanya polip
hidung.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien yang
mencakup kesan keadaan sakit, termasuk mimik wajah dan posisi pasien, kesadaran, dan
kesan status gizi. Hal pertama yang harus diniali adalah kesan keadaan sakit, apakah pasien
tidak tampak sakit, sakit ringan, sakit sedang, ataukah sakit berat. Kesan keadaan sakit ini
sedikit banyak bersifat subyektif yaitu dengan penilaian penampakan pasien secara
keseluruhan. Mimik wajah pasien yang kadang-kadang dapat memberikan informasi tentang
keadaan klinisnya. Posisi pasien serta aktivitasnya juga perlu dinilai dengan baik; apakah
pasien datang berjalan, duduk, tiduran aktif, tiduran pasif, ataukah ia mengambil posisi yang
abnormal tertentu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan
STATUS GENERALIS
A. Tanda Vital
1. Suhu : 380C
2. Denyut Nadi : 75 x/menit
10
3. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
4. Pernafasan : 18 x/menit
Interpretasi : terjadi peningkatan suhu tubuh pasien sebesar 380C (subfebris) yang
nilai normalnya ialah 36,50-37,20C, yang merupakan petanda adanya infeksi yang
terjadi bisa akibat virus ataupun bakteri. Denyut nadi pasien masih dalam batas
normal yaitu 60-100 x/menit. Tekanan darah pasien 120/80 mmHg tergolong
normal. Frekuensi napas normal pada pria sekitar 14-18 x/menit sehingga pasien
digolongkan dalam batas normal.
B. Keadaan Umum
Kesan Sakit : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Interpretasi : kesadaran baik. Pasien sadar sepenuhnya hingga orientasi dirinya
terhadap waktu, ruang/tempat, orang lain, situasi, dst selama yang dikehendakinya.
C. Mata : pupil bulat, isocore
Interpretasi : pupil mata normal bentuknya bulat, reguler ( tepi rata) dan
isokor( diameter pipil kiri dan kanan sama)
D. Leher : JVP = 5 cm
Interpretasi : Jugular Venous Preasure (JVP) normal 6-7 cm H2O
E. Thorax :C/P dbn
Interpretasi : Cardio/Pulmo dalam batas normal
F. Abdomen :soepel, H/L tak teraba
Interpretasi : dinding perut yang normal teraba soepel, hepar/ lien tak teraba yang
menandakan tidak terdapat kelainan
G. Extemitas : hangat
11
STATUS LOKALIS
Telinga : ADS; LT lapang tenang, MT intak tenang
Interpretasi : normal
Hidung : hidung luar tenang, simetris
rongga hidung kanan-kiri terlihat massa bening berwarna sedikit abu-
abu kemerahan berbentuk bulat licin, bisa digerakkan, tidak ada rasa
nyeri. Septum dan konka belum bisa dinilai karena tertutup massa.
Interpretasi : ditemukannya polip nasi yang telah memasuki stadium 3. Massa
berwarna abu-abu kemerahan dan tidak ada nyeri akibat pembuluh darah sangat sedikit dan
tidak mempunyai serabut saraf
Tenggorok : tonsil besar T1/T1, tenang, dinding faring granuler, PND +, terlihat
massa sebesar kacang mede, menggantung di belakang arkus faring
kiri, berwarna putih abu-abu sedikit kemerahan, bisa digerakkan dan
tidak nyeri
Interpretasi : ukuran tonsil dalam batas normal, ditemukannya dinding faring
bergranuler yang merupakan gejala faringitis, PND + mungkin akibat sinusitis yang terdapat
pada pasien , ditemukan massa di tenggorok yang merupakan polip bertangkai yang masuk ke
koana lalu membesar di nasofaring disebut polip koana.
Pemeriksaan Laboratorium
- Hb : 15 %
- Leukosit :11.000/ml
12
- GDS : 130 mg%
- Ureum : 25 mg%
- Creatinin : 1,1 mg%
- Hitung Jenis : 0/5/5/60/24/6
Interpretasi : hemoglobin pasien normal (14-18 %), terjadi peningkatan leukosit yang
normalnya 5000-10000/ml, GDS dalam batas normal ( < 200mg%), ureum
normal(20-40 mg%), creatinin normal( 0,7-1,5 mg%), hitung jenis ditemukan
peningkatan pada eosinofil yang terjadi akibat reaksi alergi pada pasien.
Pemeriksaan Foto Sinus Paranasal
Pada pemeriksaan foto sinus paranasal tampak perselubungan pada kedua sinus
maksila, sinus-sinus yang lain cerah, septum lurus di tengah, konka membesar/ rongga
hidung sempit.
Kesan : sinusitis maksilaris bilateral
suspek polip nasi
interpretasi : pada foto sinus paranasal tampak perselubungan menandakan adanya edema
mukosa sinus maksila, tidak terdapat deviasi septum karena pada foto septu lurus di tengah,
konka membesar akibat adanya massa yaitu polip sehingga rongga hidung menyempit
Pemeriksaan CT-Scan
Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal kesimpulannya adalah :
- Sinusitis maksila bilateral
- Osteomeatal kompleks ka/ki terbuka
- Massa di hidung dan tenggorok suspek polip nasi
13
Pemeriksaan Prick Test
Pada tes kulit cukit (“prick test”) yang dilakukan pada lengan penderita terdapat hasil
positif satu untuk tungau debu rumah dan positif dua untuk udang dan ikan laut. (kontrol
positif satu).
Interpretasi: hasil prick test positif menandakan pasien positif alergi yaitu dengan udang, ikan
laut dan tungau debu rumah, namun tungau debu rumah kontrol positif satu yang artinya saat
ini sedang tidak eksaserbasi
Diagnosis
Diagnosis bagi Bapak Toto dengan keluhan utama hidung tersumbat adalah Polip
Nasi disertai Sinusitis Maksilaris Bilateral et causa Alergi, dengan dasar diagnosis antara
lain:
1. Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan:
a. Kedua hidung tersumbat, menetap dan progresif sehingga mengganggu
kenyamanan, sehingga pasien bernapas lewat mulut.
b. Keluhan dirasakan sejak 6 bulan yang lalu.
c. Pernah mengalami sakit serupa 3 tahun lalu dan sudah dioperasi.
d. Pasien memiliki riwayat alergi makanan.
e. Sebulan terakhir mengalami demam dan pusing.
f. Sejak dua minggu lalu ada massa mengganjal di tenggorok.
g. Benjolan bisa bergerak, tidak berdarah, dan tidak nyeri.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan:
a. Keadaan umum sakit sedang, suhu subfebris.
14
b. Di rongga hidung kiri dan kanan terlihat massa bening berwarna sedikit abu-
abu kemerahan berbentuk bulat licin, bisa digerakkan, tidak nyeri. Septum dan
konka tertutup massa.
c. Di tenggorok, terdapat dinding faring granuler dan PND +, terlihat massa
sebesar kacang mede, menggantung di belakang arkus faring kiri, berwarna
putih abu-abu sedikit kemerahan, bisa digerakkan dan tidak nyeri.
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan:
a. Adanya leukositosis.
b. Adanya peningkatan eosinofil.
4. Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan:
a. Pada hasil pemeriksaan foto sinus paranasal didapatkan kesan sinusitis
maksilaris bilateral dan suspek polip nasi.
b. Pada hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan sinusitis maksilaris bilateral,
kompleks osteomeatal kanan dan kiri terbuka, adanya massa di hidung dan
tenggorok suspek polip nasi.
c. Pada prick test, terdapat hasil positif satu untuk tungau debu rumah dan
positif dua untuk udang dan ikan laut.
15
Patofisiologi
Patofisiologi pada pasien ini menurut kelompok kami ialah berawal dari adanya suatu
reaksi alergi yang telah mencapai tahap provokasi/reaksi alergi (berulang). Hal ini
menyebabkan keluarnya berbagai mediator inflamasi. Histamin merupakan mediator terbesar
yang konsentrasinya di dalam stroma polip. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis
dari nasal polip adalah interferon gamma (IFN-γ) dan tumor Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ
menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya
bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang
umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam
menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada
akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada
polip nasi.
Akibat terjadi hal diatas rongga hidung menjadi menyempit sehingga apabila kita
mengingat teori dari Bernaulli yang mengatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah
yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan
yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini
dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks
osteomatal.
Setelah itu, terjadi prolaps submukosa yang diikuti denga reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan netrium oleh permukaan sel
epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Bila proses tersebut berlanjut,
mukosa yang edema makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga
hidung dengan membentuk tangkai. Kemudian polip menutup saluran untuk sinus yang pada
16
kasus ini dimungkinkan sinus maksilaris superior yang tertutup. Akibat tertutupnya jalur
keluar secret dari sinus ini, maka terjadi penumpukan secret pada sinus tersebut yang dapat
berakibat terjadinya suatu infeksi. Terjadinya infeksi oleh mikroorganisme yang biasa disebut
pirogen endogen yang menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara kimiawi
lokal dalam hipotalamus yang menaikkan termostat hipotalamus yang mengatur suhu tubuh.
Polip ini kemudian tumbuh kearah belakang dan membesar sehingga pada anamnensis pasien
merasakan ada massa mengganjal di tenggorok yang sangat mengganggu pada waktu makan.
Karena sedikit vaskularisasi dan ujung saraf yang menempel, serta proses peradangan maka
polip ini tidak nyeri serta hanbya terlihat sedikit kemerahan. Sedangkan warna keabu-abuan
yang tampak pada pemeriksaan fisik terjadi akibat kandungan polip ini yang banyak
mengandung cairan.(1)
Penatalaksanaan
Pengobatan berupa terapi non-medikamentosa, medikamentosa, dan operasi. Untuk
non-medika mentosa, pasien ini diberikan edukasi yaitu kurangi faktor-faktor penyebab alergi
serta jangan melakukan aktifitas yang berlebihan. Terapi medikamentosa pada pasien juga di
harapkan mampu menekan proses reaksi alergi. Kortikosteroid yang diberikan berupa
prednison 30-60 mg/hari serta di lakukan tappering off selama 1-3 minggu. Antibiotika dapat
diberikan karena ada tanda infeksi ( sinusitis) dan sebagai proliferasi pasca operasi. Pilihan
antibiotika yang digunakan bisa amoksisilin selama 10-14 hari.
Untuk tindakan operatif, kelompok kami mengambil keputusan bahwa pasien ini
dirujuk karena tindakan operatif tersebut tidak termasuk dalam kompetensi dokter umum.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan menggunakan senar polip
dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung. Operasi
pengangkatan polip dan operasi sinus pada polip hidung biasanya diindiksaikan pada polip
17
berulang atau bila jelas ada kelainan di KOM. Jenis operasinya ialah etmoidektomi atau
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF).
Komplikasi
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis
dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea
yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
18
- Oftalmoplegia.
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Kelemahan pasien.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf
kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui
atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam
sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih
akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang
terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
19
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus
yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri
kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi
perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada
ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi
sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise,
demam dan menggigil(1,2)
Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam
20
Penyakit ini tingkat rekurensinya tinggi meskipun telah dilakukan polipektomi.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung
(bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosessus
frontalis os maksila dan prosessus nasalis os frontal. Sedangkan kerangkla tulang rawam
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bawah hidung, yaitu sepasang
kartilago os nasalis lateralis superior, sepsang kartilago nasalis leteralis inferioryang disebut
juga sebagai kartilago alar mayor, dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di
bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau ubang masuk kavum nasi
lubang depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
21
Tiap kavum nasi mempunyai empat dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis, os
maksila, dan Krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan pada luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknbya paling bawah
adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, kemudian lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil adalah konka suprema. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedanngkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari sinus etmoid
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut dengan
meatus. Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka superior dan
media dan merupakan tempat bermuaranya sinus etmoid superior melalui satu atau dua
lubang.
Meatus nasalis media berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada yang atas. Bagian
superior meatus ini berhubungan dengan sebuah lubang yang berbentuk corong, yaitu
infundibulum yang merupakan jalan pengantar ke dalam sinus frontalis. Hubungan masing-
masing sinus frontali ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus maksilaris
juga bermuara ke meatus ini.
Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletas inferolateral terhadap
konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara di anterior meatus ini.
22
Di dalam hidung terdapat suatu kompleks yang disebut dengan kompleks osteomeatal.
Kompleks ini merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media
dan lamina papirasea. Komplek ini disusun oleh prosesus unsiatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. Komplek ini berfungsi
sebagai tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid, dan frontal. Apabila terjadi suatu obstruksi pada kompleks ini, maka akan
terjadi perubahan patologis yang siginifikan pada sinus-sinus yang terkait(1,3).
23
HISTOLOGI
Rongga Hidung
Rongga hidung terdiri atas 2 struktur, yaitu vestibulum di luar dan fossa nasalis di
dalam.
Vestibulum merupakan bagian paling anterior dan paling lebar dari rongga hidung.
Kulit luar hidung memasuki nares (cuping hidung) dan berlanjut ke dalam vestibulum. Di
sekitar permukaan dalam nares, terdapat banyak kelenjar sebasea dan kelenjar keringat, selain
rambut pendek tebal atau vibrissae, yang menahan dan menyaring partikel-partikel besar dari
udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi
epitel respirasi sebelum memasuki fossa nasalis.
Berikut ini adalah gambaran epitel respiratorius yang bersilia dan bersel goblet.
24
Fossa nasalis (kavum nasi) terdiri atas dua bilik karvernosa yang dipisahkan oleh
septum nasi oseosa. Dari masing-masing dinding lateral, keluar tiga tonjolan bertulang mirip
rak yang disebut konka. Hanya konka media dan inferior yang ditutupi oleh epitel respirasi,
sementara konka superior ditutupi epitel olfaktorius khusus. Celah-celah sempit yang
terbentuk akibat adanya konka memudahkan pengkondisian udara inspirasi dengan
menambah luas permukaan epitel respirasi dan dengan menimbulkan turbulensi aliran udara.
Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan mukosanya. Di dalam
lamina propria konka terdapat pleksus vena besar yang dikenal sebagai badan pengembang
(swell bodies). Setiap 20-30 menit, badan pengembang pada satu sisi fossa nasalis akan
penuh terisi darah sehingga mukosa konka membangkak dan mengurangi aliran udara.
Sementara itu, sebagian besar udara diarahkan lewat fossa nasalis lain. Interval penutupan
periodik ini mengurangi aliran udara sehingga epitel respirasi dapat pulih dari kekeringan.
Selain itu, rongga hidung memiliki sistem vaskular yang rumit dan luas. Pembuluh-
pembuluh besar membentuk jalinan-jalinan rapat dekat periosteum, dan dari tempat ini,
cabang-cabang pembuluh meluas ke permukaan. Darah dari belakang mengalir ke depan
25
dalam arah yang berlawanan dengan aliran udara inspirasi. Akibatnya, udara yang masuk
dihangatkan secara efisien oleh sistem arus balik.
Area Penghidu
Kemoreseptor olfaktorius terletak pada epitel olfaktorius, yaitu daerah khusus
membran mukosa konka superior yang terletak di atap rongga hidung. Pada manusia, luasnya
sekitar 10 cm2 dengan tebal sampai 100 μm. Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris
yang terdiri atas 3 jenis sel, yaitu sel penyokong, sel basal, dan sel olfaktorius.
Sel penyokong memiliki apeks silindris yang lebar dan basis yang lebih sempit. Pada
permukaan bebasnya terdapat mikrovili, yang terendam dalam selapis cairan. Kompleks
tautan yang berkembang baik mengikat sel-sel penyokong pada sel-sel olfaktori di
sebelahnya. Sel-sel ini mengandung pigmen kuning muda yang menimbulkan warna mukosa
olfaktorius ini.
26
Sel-sel basal berukuran kecil; bentuknya bulat atau kerucut dan membentuk suatu
lapisan pada basis epitel.
Di antara sel-sel basal dan sel penyokong terdapat sel-sel olfaktorius, berupa neuron
bipolar yang dapat dibedakan dari sel-sel penyokong oleh letak intinya, yang terletak di
bawah inti sel penyokong. Apeksnya (dendrit) memiliki daerah yang meninggi dan melebar,
tempat 6-8 silia berasal. Silia ini sangat panjang dan nonmotil, dan berespons terhadap zat
pembau dengan membangkitkan suatu potensial reseptor. Akson aferen dari neuron bipolar
ini bergabung dalam berkas kecil yang mengarah ke SSP, tempat akson tersebut bersinaps
dengan neuron dari lobus olfaktorius di otak. Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki
kelenjar Bowman. Sekretnya menghasilkan suatu medium cair di sekitar sel-sel olfaktorius
yang mampu membersihkan silia, yang memudahkan akses zat pembau yang baru(4).
Sumber: Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC;
2007.
FISIOLOGI
Hidung
Salah satu fungsi hidung yang penting ialah fungsi olfaktori, yang dijalankan oleh
mukosa olfaktorius di langit-langit rongga hidung. Mukosa ini mengandung tiga jenis sel,
yaitu reseptor olfaktorius, sel penunjang, dan sel basal. Akson-akson sel reseptor secara
kolektif membentuk saraf olfaktorius.
Bagian reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang
menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke permukan mukosa. Silia ini
mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya berbagai molekul-molekul odoriferosa
27
(pembentuk bau). Selama kita bernapas biasa, odoran biasanya mencapai reseptor-reseptor
peka hanya dengan berdifusi karena mukosa olfaktorius terletak di atas jalur aliran udara
normal. Tindakan mengendus meningkatkan proses ini dengan menarik arus udara ke atas di
dalam rongga hidung, sehingga semakin banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak
dengan mukosa olfaktorius.
Agar dapat dibaui, suatu bahan harus mudah menguap, sehingga sebagian molekulnya
dapat masuk ke hidung dalam udara yang dihirup. Selain itu, bahan tersebut harus cukup
mudah untuk larut air, sehingga dapat larut ke dalam lapisan mukus yang melapisi mukosa
olfaktorius. Seperti reseptor pengecapan, molekul-molekul harus dilarutkan agar dapat
dideteksi oleh reseptor penghidu. Pengikatan suatu molekul odoriferosa ke tempat perlekatan
khusus di silia menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan
ion-ion yang menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya
potensial aksi di serat aferen.
Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang
memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-serat tersebut segera
bersinaps di bulbus olfaktorius. Serat-serat yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan
melalui dua rute, antara lain:
28
1. Rute subkortikal, yang terutama berjalan menuju ke daerah-daerah di sistem limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai korteks
olfaktorius primer). Rute ini mencakup keterlibatan hipotalamus, sehingga
memungkinkan koordinasi erat antara reaksi penghidu dan perilaku yang berkaitan
dengan makan, kawin, dan penentuan arah.
2. Rute talamus-kortikal, yang berperan penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi
halus penghidu.(5)
Selain fungsi penghidu, hidung juga memiliki beberapa fungsi lain yaitu fungsi
respirasi, fonetik, dan refleks nasal.
a. Fungsi respirasi berperan dalam mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang
29
dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Partikel debu, virus, bakteri
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh vibrissae, silia,
dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
b. Fungsi fonetik berperan untuk resonansi di hidung, yang menentukan kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Hidung juga membantu proses pembentukan kata-
kata, seperti huruf-huruf konsonan nasal (m, n, ng).
c. Refleks nasal terjadi ketika terjadi iritasi pada mukosa hidung, sehingga terjadi refleks
bersin dan napas terhenti. Mukosa nasal merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.2
Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Sistem ini terdiri atas palut lendir, yang berupa cairan serosa (aqueous layer) dan lapisan
mukus di permukaannya, beserta silia-silia. Lapisan palut lendir sendiri dihasilkan oleh sel-
sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.
30
Lapisan mukus, yang lebih elastik, mengandung banyak protein plasma seperti
albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin,
lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik, dengan beberapa fungsinya
adalah sebagai berikut:
a. Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial.
b. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat
antigen tersebut pada lumen saluran napas.
c. IgG bekerja di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan
antigen bakteri.
Pergerakan sistem transpor mukosilier berbeda-beda pada masing-masing sinus. Pada
sinus maksila, sistem ini menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior
dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo yang mengarah ke ostium
31
alamiah. Setinggi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi.
Pada sinus frontal, gerakannya mengikuti gerakan spiral. Sekret berjalan menuju
septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding
anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral ini juga terjadi pada sinus
sfenoid. Pada sinus etmoid, terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus
atau gerakan spiral jika ostium terletak di dindingnya.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier:
1. Rute pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba Eustachius.
Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring,
selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.
2. Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba Eustachius.
Selain itu, sekret-sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior tuba Eustachius.(5)
POLIP HIDUNG
Polip hidung adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat
timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
32
atopi, akan tetapi banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai
saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.
Patogenesis
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung
akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di
kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel
epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepaskannya
sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi
polip.
Bila proses tersebut berlanjut, mukosa yangg sembab makin membesar menjadi polip
dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai
Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan masa bertangkain dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal
atau multipel dan tidak sensitif bila ditekan atau ditusuk tidak sakit. Warna polip yang pucat
tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip.
Bila terjadi iritasi kronis atau peradangan, warna polip bisa berubah menjadi kemerahan dan
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningan karena banyaknya jaringan
ikat
33
Mikroskopis
Secara pemeriksaan mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan selaput
permukaan hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan subselaput permukaan
yang sembab. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, sarf dan kelenjar sangat
sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena
aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinasi.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokan menjadi dua, yaitu polip
tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Diagnosis Polip Nasi
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin
disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila
disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur dan penurunan kualitas hidup.
Gejala pada saluran napas bawah didapati pada kurang lebih sepertiga kasus polip,
dapat berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.
Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan.
Pemeriksaan Fisik
34
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat
sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat dilaporkan
dengan standar yang sama, Mackay dan Lundpada tahun 1997 membuat pembagian stadium
polip sebagai berikut, stadium 0 : tidak ada polip, stadium 1 : polip masih terbatas di meatus
medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi
sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif
palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding
lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal. Pemeriksaan tomografi
komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati
35
dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah terutama bedah endoskopi.Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan
koronal, sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan aksial.
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-
keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi
berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma,
mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosis mengalami polip nasi
disertai sinusitis maksilaris bilateral et causa alergi. Terapi pada pasien ini berupa terapi non-
medikamentosa yaitu dengan edukasi dan medikamentosa yaitu pemberian kortikosteroid,
antibiotik, antihistamin. Pasien ini perlu tindakan operatif. Namun, untuk tindakan operatif
ini tidak masuk dalam kompetensi dokter umum, maka itu kami merujuk pasien ke spesialis
THT. Prognosisnya umumnya baik dengan pengobatan yang adekuat dan apabila sudah
dilakukan pembedahan. Namun, untuk terjadinya kembali penyakit ini pada pasien cukup
besar terutama apabila pasien tidak dapat menjaga atau menhindari faktor-faktor pencetus.
36
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.
2. Peter A. Hilger MD. Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti,
editors. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC ; 1997, 241 – 258.
3. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates; 2002.
4. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC;
2007.
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001
37