Makalah MTHT Kasus 4

18
LAPORAN KASUS MODUL MTHT DISKUSI KASUS 4 Kok saya sering bersin-bersin dan keluar ingus encer? Savina Umar Bakadam (03012249)

description

Makalah Kasus 4 Modul Organ MTHT atau PP Universitas Trisakti

Transcript of Makalah MTHT Kasus 4

LAPORAN KASUS MODUL MTHTDISKUSI KASUS 4Kok saya sering bersin-bersin dan keluar ingus encer?

Savina Umar Bakadam(03012249)

Fakultas Kedokteran Universitas TrisaktiJakarta2014BAB IPENDAHULUAN

Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang 10 % dari populasi umum. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh manifestasi alergi primer, rhinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis relative ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut karena gangguan alergenik kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung ataupun tidak langsung.Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia muda. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.

BAB IILAPORAN KASUS

Kok saya sering bersin-bersin dan keluar ingus encer?Boy, seorang mahasiswa baru merasakan bahwa akhir-akhir ini setiap bangun tidur pagi sering bersin-bersin dengan mengeluarkan ingus yang encer seperti air. Bersin-bersin bisa lebih dari 10 kali disertai dengan rasa gatal di hidung dan matanya. Hidungnya menjadi tersumbat yang sangat menurunkan kwalitas hidupnya.Keluhan bersin timbul semenjak ia kos bersama temennya di belakang kampus, sekamar berdua dengan kamar yang cukup banyak perabotannya.Dari riwayat keluarga diketahui ibunya mengidap asma yang sering kambuh.

BAB IIIANALISIS KASUS

3.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Pada permukaan inferior nasus terdapat dua lubang , yaitu nares anteriores yang dipisahkan satu sama lain oleh septum nasi.Septum nasi terdiri dari:- Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis- Os vomer- Cartilago septi nasi

Cavum NasiCavum nasi dapat berhubungan dengan nasofaring melalui choanae. Bagian 2/3 inferior membran mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria, sedangkan bagian 1/3 superior merupakan area olfaktoria. Cavum nasi ini dilapisi oleh membran mukosa, kecuali bagian vestiblum nasi yang dilapisi oleh kulit.Dinding lateral cavum nasi dibagi menjadi:- Di bagian anterior terdapat vestibulum nasi dimana akan dijumpai vibrisae, di bagian atas dan dorsal dibatasi oleh limen nasi.- Di bagian tengah terdapat atrium dan meatus nasi- Di bagian posterior terdapat concha dan meatus nasi ChoncaMerupakan penonjolan tulang yang memperluas cavum nasi. Terdiri dari concha nasalis superior dan media, yang merupakan penonjolan dari fascies medialis labyrinthus ethmoidalis, serta concha nasalis inferior, yang merupakan penonjolan tulang independen. Tiap choncha tersebut akan melindungi meatus nasi dibawahnya. Meatus Nasia. Meatus Nasi Superior Terletak diantara concha nasalis superior dan concha nasalis media. Dimuarai oleh cellulae ethmoidalis posteriores dan sinus sphenoidalis. Terdapat recessus sphenoethmoidalis diatas concha nasalis superior yang merupakan lubang keluar dari sinus sphenoidalis.b. Meatus Nasi Media Terletak diantara concha nasalis media dan concha nasalis inferior dan merupakan muara dari sinus maxillaris. Pada sisi lateralnya, terdapat celah yaitu hiatus semilunaris dimana di dekatnya terdapat lubang sinus ethmoidalis anterior. Pada sisi atasnya terdapat peninggian, yaitu bulla ethmoidalis yang di dalamnya terdapat cullale ethmoidalis. Pada bagian anterosuperior akan berhubungan dengan infundibulum, yang merupakan jalan menuju sinus frontalis.c. Meatus Nasi InferiorTerletak di bawah concha nasalis inferior dan merupakan muara dari ductus nasolacrimalis. Vascularisasi Bagian bawah divascularisasi oleh a. palatina major dan a. sphenopalatina, yang merupakan cabang-cabang dari a. maxillaris interna. Bagian depan oleh cabang-cabang a. fascialis. Pada bagian depan septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach, yang merupakan anastomosis antara r. septalis dari r. labialis superior a. fascialis dengan a. sphenopalatina. Innervasi Bagian 2/3 inferior membran mukosa dipersarafi oleh nervus nasopalatinus cabang nervus maxillaris. Bagian anterior oleh nervus ethmoidalis anterior cabang nervus nasociliaris cabang nervus ophtalmicus. Bagian lateral oleh rami nasales nervus maxillaris, nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis anterior.Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( airconditioning ), penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara ,refleks nasal dan turut membantu proses bicara.

3.2 Histologi HidungHidung terdiri atas kerangka tulang dan tulang rawan yang dibungkus jaringan ikat dan kulit. Ia dibagi dalam rongga hidung (cavum nasale) kiri dan kanan oleh septum hidung (septum nasale). Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.3.3 Rinitis Alergi3.1 DefinisiRinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.3.2 EtiologiGejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:1. AlergenAlergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.2. PolutanFakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.3. AspirinAspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu.3.3 PatofisiologiRinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:1. Respon primerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.2. Respon sekunderReaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.3. Respon tersierReaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.3.4 Gejala KlinisBersin patologis yaitu bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila kontak dengan sejumalh besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses menbersihkan sendiri (self cleaning process). Namun jika serangannya berulang dan lebih dari lima kali adalah bersin patologis yang merupakan gejala khas rhinitis alergi.Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak (rinore), Gangguan hidung seperti hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak. Terdapat juga gangguan mata yaitu mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).Pada rhinitis alergi terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung (Allergic shiner). Selain itu terdapat Allergic salute yaitu perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal dan Allergic crease yaitu tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat kebiasaan menggosok hidung.

3.5 Pemeriksaan fisik Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. 3.6 Pemeriksaan Penunjanga. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 3.7 Diagnosa Banding- Rinitis Vasomotorik

3.8 Penatalaksanaan1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Simptomatis a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. - Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. -Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). -Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.b. Operatif : Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.c. Imunoterapi : Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.3.9 KomplikasiKomplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah : Polip hidung.Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusitis paranasal.Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.3.10 PrognosisBanyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

BAB IVKESIMPULAN

1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan3. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan.5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik

BAB VDAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Adams G., Boies L., Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.3. Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 4. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. 2001. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta.6. Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.