Post on 26-Dec-2015
description
[Type text]
BAB I
PENDAHULUAN
Psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari manusia seutuhnya baik
fisik maupun mental emosionalnya. Kata psikiatri berasal dari psyche, sebuah kata Yunani
yang berarti jiwa (soul) atau pikiran (mind), dan iatros, kata Yunani yang berarti penyembuh.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai gangguan-gangguan jiwa dalam psikiatri yang
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari serta penanganan dalam konteks penanganan lini
pertama maupun penanganan berkelanjutan seperti psikoterapi. Target (pencapaian)
pembelajaran dalam referat ini adalah pemahaman tentang prinsip-prinsip umum dan
informasi spesifik tentang gangguan jiwa yang sering ditemui.
Seiring dengan kemajuan kedokteran psikiatri, jumlah penderita gangguan jiwa juga
bertambah. Menurut data Canadian Academy of Psychiatric Epidemiology tahun 2014,
diperkirakan bahwa pada keadaan tertentu, satu dari lima orang bisa menderita satu gejala
psikologis yang tidak diinginkan seperti ansietas, murung, mudah marah, dan insomnia. Satu
dari lima penduduk Inggris mendapatkan pengobatan dari dokter umumnya terutama untuk
gangguan psikiatri. Dalam setiap periode, satu dari dua puluh orang menderita depresi. Satu
dari dua puluh lima perempuan dan satu dari lima puluh laki-laki dirawat di rumah sakit
karena depresi pada berbagai usia. Angka penderita yang tidak sedikit ini membutuhkan
tenaga kesehatan termasuk dokter yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan dan terapi
yang adekuat serta lege artis. Pemeriksaan dan terapi yang yang baik tentu didasarkan atas
pemahaman mengenai teori prinsip gangguan jiwa yang akan dibahas dalam referat ini.
Dalam konteks sejarah, telah diketahui bahwa selama zaman Renaissance, sedikit
sekali perhatian bagi orang gangguan jiwa. Hal itu terkait dengan stigma masyarakat pada
zaman itu bahwa orang dengan gangguan jiwa dianggap menakutkan dan tidak memiliki
fungsi dalam kehidupan sosial. Salah satu tujuan pembuatan referat ini adalah juga untuk
menghilangkan stigma tersebut dengan pembahasan mengenai penanganan gangguan jiwa
yang sudah bergeser ke penanganan berbasis komunitas (terapi psikososial).
1
[Type text]
BAB II
GANGGUAN DEPRESI MAYOR DAN GANGGUAN BIPOLAR
I
A. DEFINISI
Bipolar merupakan gangguan mood yang bersifat episodik yang ditandai oleh gejala-
gejala manik, hipomanik, depresi atau campuran, biasanya rekuren serta dapat berlangsung
seumur hidup..1Depresi merupakan keadaan mood yang menurun ditandai dengan kesedihan,
perasaan putus asa, dan tidak bersemangat. Depresi ini termasuk perasaan murung sampai
gangguan distimik menjadi gangguan depresi mayor. Depresi psikotik merupakan gangguan
depresi mayor dengan gambaran psikotik seperti halusinasi, delusi, mutisme, atau stupor.
B. EPIDEMIOLOGI
Gangguan bipolar I mempunyai prevalensi yang sama bagi laki-laki dan wanita. Pada
pengamatan universal, prevalensi gangguan depresif berat pada wanita dua kali lebih besar
dari pada laki-laki.1
Berbagai penelitian mengungkapkan golongan usia muda yaitu remaja dan dewasa
awal lebih mudah terkena depresi. Survei telah melaporkan prevalensi yang tinggi dari
depresi terjadi pada usia 20-50 tahun. Onset gangguan bipolar I lebih awal dari daripada
onset gangguan depresi. Onset gangguan bipolar I dari usia 5 tahun sampai usia 50 tahun.
Laporan kasus gangguan bipolar I diatas usia 50 tahun sangat jarang.1
Pada umumnya gangguan depresif berat paling sering terjadi pada seseorang yang
tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, telah bercerai atau berpisah dengan
pasangan hidup. Gangguan bipolar I lebih sering terjadi pada orang yang bercerai dan hidup
sendiri daripada orang yang menikah.
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Faktor Biologis
Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan dopamin
dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi
2
[Type text]
penyebab gangguan manik. Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam
menyebabkan depresi. Data menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan
meningkat pada mania. Gangguan tidur adalah gejala yang sering ditemukan pada pasien
depresi. Pada depresi terjadi regulasi abnormal dari irama sirkadian. Beberapa penelitian pada
binatang menyatakan bahwa terapi antidepresan efektif untuk mengubah jam biologis.1
Penelitian melaporkan adanya kelainan imunologis pada pasien depresi dan pada
orang yang berdukacita karena kehilangan sanak saudara, pasangan atau teman dekat. Pada
pencitraan otak pasien dengan gangguan mood terdapat sekumpulan pasien dengan gangguan
bipolar I terutama pasien laki-laki memiliki ventrikel serebral yang membesar.
Hipotesis menyatakan gangguan mood melibatkan patologis pada sistem limbik,
ganglia basalis dan hipotalamus.
Faktor Genetik
Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood memiliki resiko lebih
besar menderita gangguan mood daripada masyarakat pada umumnya. Keluarga derajat
pertama pasien dengan gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar
untuk menderita gangguan bipolar I dan II sampai 3 kali lebih besar untuk menderita
gangguan depresif berat dibanding kelompok kontrol.
Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I memiliki orang tua dengan gangguan
mood terutama depresi. Pada penelitian adopsi, anak biologis dari orang tua dengan gangguan
mood tetap beresiko terkena gangguan mood walaupun mereka telah dibesarkan oleh
keluarga angkat yang tidak menderita gangguan mood. Pada penelitian saudara kembar,
angka kejadian gangguan bipolar I pada kedua saudara kembar monozigot adalah 33-90%
dan untuk gangguan depresif berat, angka kejadian pada kedua saudara kembar monozigot
adalah 50%. Pada kembar dizigot angkanya berkisar 5-25% untuk menderita gangguan
bipolar I dan 10-25% untuk menderita gangguan depresif berat.
Hubungan antara gangguan mood khususnya gangguan bipolar I dengan petanda
genetik telah dilaporkan pada kromosom 5, 11 dan X.
Faktor Psikososial
Telah lama diamati bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress sering
mendahului episode pertama pada gangguan mood. Beberapa klinisi mempercayai bahwa
peristiwa kehidupan memainkan peranan penting dalam depresi. Beberapa artikel
menjelaskan hubungan antara fungsi keluarga dengan onset serta perjalanan gangguan mood
khususnya gangguan depresif berat. Anak yang menderita penyiksaan fisik atau seksual
membuat seseorang mudah terkena depresi sewaktu dewasa.1
3
[Type text]
Aspek-aspek kepribadian juga mempengaruhi kerentanan terhadap depresi dan tinggi
rendahnya depresi yang dialami seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti dependen,
obsesif kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid beresiko mengalami depresi.1
D. TANDA & GEJALA
Gangguan Bipolar bersifat episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang
menunjukkan suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya terganggu, dan
gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood) serta
peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania) dan pada waktu lain berupa
penurunan suasana perasaan (mood) serta pengurangan enersi dan aktivitas (depresi). Yang
khas ialah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode dan insidensi pada
kedua jenis kelamin kurang lebih sama dibanding dengan gangguan suasana perasaan (mood)
lainnya.1,2
Episode manik biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu
sampai 4-5 bulan (rata-rata sekitar 4 bulan). Dimana pasien akan menunjukkan sikap meluap-
luap, gagasan yang meloncat-loncat (flight of ideas), penurunan kebutuhan tidur, peninggian
harga diri, dan gagasan kebesaran. Depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata
sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi setahun kecuali pada orang lanjut usia, dimana
pasien merasakan hilangnya energi-energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan
berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Kedua
macam episode itu sering kali menyusul peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental
lain, akan tetapi adanya stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis. Episode pertama bisa
timbul pada setiap usia dari masa kanak sampai tua. Frekuensi episode dan pola remisi serta
kekambuhan masing-masing amat bervariasi, meskipun remisi cenderung untuk menjadi
makin lama makin pendek sedangkan depresinya menjadi lebih sering dan lebih lama
berlangsungnya setelah usia pertengahan.1
E. DIAGNOSIS
Kriteria Diagnostik berdasarkan DSM-IV
DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV) telah membuat
definisi kriteria gangguan bipolar I, yaitu gejala klinis yang ditandai dengan satu atau lebih
episode manik atau episode campuran. Sering individu juga telah ada riwayat satu atau lebih
episode depresi mayor. DSM IV telah membuat klasifikasi dan kriteria diagnosis untuk
masing-masing klasifikasi:
4
[Type text]
Episode Depresif
Disamping kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat dan gangguan Bipolar I,
DSM IV memasukkan kriteria diagnostik spesifik untuk ciri gejala “cross-sectional”, penentu
perjalanan penyakit (course specifier), dan penentu perjalanan longitudinal. Masing-masing
kumpulan kriteria diagnostik tersebut dapat digunakan untuk menentukan diagnosis
gangguan depresif berat atau gangguan bipolar I. Dalam DSM-IV TR kriteria depresi mayor
dipisahkan dari kriteria diagnosis gangguan terkait depresi dan juga menuliskan deskriptor
keparahan untuk depresif berat.1
Kriteria Diagnosis Episode Depresif Berat menurut DSM-IV TR
A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah ada selama duaminggu dan menggambarkan
perubahan dari fungsi dari yang sebelumnya, setidaknya salah satu gejala dari (1)
depresi suasana hati atau (2) kehilangan minat atau kesenangan.
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, seperti ditunjukkan
pada laporan subjektif (misalnya,merasa sedih atau kosong) atau observasi yang
dibuat oleh orang lain (misalnya, tampak sedih). Catatan : pada anak-anak dan
remaja, dapat berupa mood yang mudah tersinggung.
2. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, atau hampir semua,
aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh
keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau peningkatan
berat badan (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan),
atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada
anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai pertambhana berat badan
yang diharapkan.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (diamati oleh orang lain, bukan
hanya perasaan subjektif kegelisahan atau menjadi melambat).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak tepat
(mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri sendiri
atau merasa bersalah sehingga menjadi sakit)
8. Kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi menurun, atau ragu-ragu, hampir
5
[Type text]
setiap hari (dari subjektif atau dari yang diamati oleh oranglain)
9. Memikirkan tentang kematian secara berulang-ulang (tidak hanya takut mati), ide
bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana
spesifik untuk melakukan bunuh diri
B. Gejala-gejala yang tidak memenuhi kriteria untuk Episode Campuran.
C. Gejala-gejala klinis yang bermakna menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, penyalah
gunaan obat, suatu medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya,hipotiroidisme).
E. Gejala lain yang terdapat pada rasa kehilangan, yaitu, setelah kehilangan orang yang
dicintai, yang gejalanya menetap selama lebih dari dua bulan atau ditandai oleh
gangguan fungsional, perasaan tidak berharga, ide untuk bunuh diri, gejala psikotik,
atau keterbelakangan psikomotorik.
Kriteria untuk penentu Keparahan/ Psikotik/ Remisi untuk Episode Depresif Berat
Sekarang (atau Paling Akhir) DSM-IV TR
Catatan: Tuliskan dalam digit kelima pengkodean. Derajat ringan, sedang, berat tanpa gejala
psikotik atau berat dengan gejala psikotik hanya bisa digunakan apabila kriteria episode
de[resif berat terpenuhi. Dalam remisi parsial atau dalam remisi penuh bisa digunakan untuk
episode depresif berat atau episode depresif berat dalam bipolar I atau II hanya pada episode
yang paling akhir.1
Ringan : Beberapa, jika ada, gejala yang melebihi dari yang diperlukan untuk membuat
diagnosis dan gejala hanya menyebabkan gangguan ringan dalam fungsi pekerjaan atau
dalam aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan dengan orang lain.
Sedang : Gejala atau gangguan fungsional berasda diantara ringan dan berat
Berat tanpa ciri psikotik : Beberapa gejala melebihi dari yang diperlukan untuk membuat
diagnosis, dan gejala dengan jelas mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial
yang biasanya atau hubungan dengan orang lain.
Berat dengan ciri psikotik : Waham atau halusinasi. Jika ciri psikotik sejalan atau tidak
sejalan dengan mood.
o Ciri psikotik sejalan dengan mood: Waham atau halusinasi yang isi
keseluruhannya adalah konsisten dengan tema depresif tipikal tentang
ketidakberdayaan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme, atau
6
[Type text]
hukuman yang layak diterima
o Ciri psikotik yang tidak sejalan dengan mood: Waham atau halusinasi yang
isinya tidak memiliki tema depresif tipikal/ tentang ketidakberdayaan pribadi,
rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme, atau hukuan yang layak diterima.
Termasuk disini adalah gejala tertentu seperti waham kejar (tidak secara langsung
berhubungan dengan tema depresif), sisip pikiran, siar pikir, dan waham
dikendalikan.
Dalam remisi parsial: Gejala-gejala episode depresif berat ada namun tidak semua
kriteria terpenuh, atau terdapat periode tanpa adanya gejala bermakna dari episeode
depresif berat yang berlangsung kurang dari dua bulan setelah episode depresif berat.
Dalam remisi penuh: Selama 2 bukan terakhir, tidak ada tanda atau gejala gangguan
yang bermakna.
Tidak ditentukan.
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Depresif Berat Episode Tunggal DSM IV-TR
A. Adanya episode depresif berat tunggal
B. Episode depresif berat tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif, dan
tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan
delusional, atau gangguan psikotik.
C. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik.
Sebutkan (untuk episode sekarang atau paking akhir):
Penentu keparahan/ psikotik/ remisi
Kronik
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset paskapersalinan
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Depresif Berat, Rekuren DSM IV-TR
A. Adanya dua atau lebih episode depresit berat.
Catatan: untuk dianggap episode yang terpisah, harusterdapat interval sekurangnya 2
bulan berturut-turut dimana kriteria untuk episode depresif berat tidak terpenuhi.
B. Episode depresif berat tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif, dan
7
[Type text]
tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan
delusional, atau gangguan psikotik.
C. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik.
Sebutkan (untuk episode sekarang atau paking akhir):
Penentu keparahan/ psikotik/ remisi
Kronik
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset paskapersalinan
Episode Manik
Kriteria Diagnosis Episode Manik DSM-IV
A. Periode tersendiri kelainan dan mood yang meninggi, ekspansif, atau mudah tersinggung
(irritable) secara persisten, berlangsung sekurangnya 1 minggu (atau durasi kapan saja
jika diperlukan perawatan.1
B. Selama periode gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut ini adalah menetap
(empat jika mood hanya mudah tersinggung) dan telah ditemukan pada derajat yang
bermakna
1. Harga diri melambung atau kebesaran
2. Penurunan kebutuhan untuk tidur (misalnya, merasa telah beristirahat setelah tidur
hanya tiga jam)
3. Lebih banyak bicara dibandingkan biasanya atau tekanan untuk terus berbicara
4. Gagasan yang melompat-lompat (flight of ideas) atau pengalaman subyektif bahwa
pikirannya berpacu
5. Mudah dialihkan perhatian (yaitu, atensi terlalu mudah dialihkan oleh stimuli
eksternal yang tidak penting atau tidak relevan)
6. Peningkatan aktivitas yang diarahkan oleh tujuan (baik secara sosial, dalam pekerjaan
atau sekolah, atau secara seksual) atau agitasi psikomotor
7. Keterlibatan yang berlebihan dalam aktivitas yang menyenangkan yang memiliki
kemungkinan tinggi adanya akibat yang menyakitkan (misalnya, melakukan belanja
yang tidak dibatasi, tidak pilih-pilih dalam hubungan seksual, atau investasi bisnis
yang bodoh)
8
[Type text]
C. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran
D. Gangguan mood adalah cukup arah untuk menyebabkan gangguan dalam fungsi
pekerjaan atau dalam aktivitas sosial lazimnya atau hubungan dengan orang lain, atau
untuk membutuhkan perawatan untuk mencegah bahaya bagi diri sendiri atau orang lain,
atau terdapat ciri psikotik
E. Gejala bukan karena afek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, suatu medikasi, atau terapi lain) atau suatu kondisi medis umum
(misalnya, hipertiroidisme)
Catatan : episode mirip manik yang jelas disebabkan oleh terapi antidepresan somatik
(misalnya, medikasi, terapi elektrokonvulsif, terapi cahaya) tidak boleh diperhitungkan ke
arah diagnosis gangguan bipolar I.
Gangguan Bipolar I
A. Gangguan Bipolar I, Episode Manik Tunggal
Kriteria diagnosis :
A. Terdapat hanya satu episode manik dan tidak ada episode depresi mayor sebelumnya.
Catatan : rekurensi didefinisikan sebagai suatu perubahan polaritas dari depresi atau
suatu interval paling kurang 2 bulan tanpa gejala manik.
B. Episode manik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofrenifrom, gangguan waham,
atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan.
B. Gangguan Bipolar I, Episode Paling Akhir Manik
Kriteria diagnosis :
A. Saat ini (atau paling akhir) dalam episode manik
B. Terdapat paling kurang satu episode depresi mayor, episode manik, atau episode
campuran sebelumnya.
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan.
C. Gangguan Bipolar I, Episode Paling Akhir Campuran
Kriteria diagnosis :
A. Saat ini (atau paling akhir) dalam episode campuran.
9
[Type text]
B. Terdapat paling kurang satu episode depresi mayor, episode manik, atau episode
campuran sebelumnya.
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan.
D. Gangguan Bipolar I , Episode Paling Akhir Hipomanik
Kriteria diagnosis :
A. Saat ini (atau paling akhir) dalam episode hipomanik
B. Terdapat paling kurang satu episode manic atau campuran sebelumnya
C. Gejala mood menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan
pada fungsi sosial , pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya
D. Episode mood pada kriteria A dan B tidal lebih baik dijelaskan oleh gangguan
Skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan .
E. Gangguan Bipolar I, Episode Paling Akhir Depresi
Kriteria diagnostic :
A. Saat ini ( atau paling akhir) dalam episode depresi mayor
B. Terda[pat paling kurang 1 episode manic atau episode campuran sebelumnya
C. Episode mood pada criteria A dan B tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan
Skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan .
F. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Episode Depresif
Deskripsi umum: Retardasi psikomotor menyeluruh merupakan gejala yang paling
umum, walaupun agitasi psikomotor juga sering ditemukan khususnya pada pasien lansia.
Secara klasik, seorang pasien depresi memiliki postur yang membungkuk, tidak terdapat
pergerakan spontan, pandangan mata yang putus asa dan tidak terdapat kontak mata. Pada
pemeriksaan klinis, pasien depresi yang menunjukkan retardasi psikomotor mungkin tampak
mirip dengan pasien skizofrenia tipe katatonik.1
10
[Type text]
Mood, afek dan perasaan: Pasien tersebut sering kali dibawa oleh anggota
keluarganya atau teman kerjanya karena menarik diri secara sosial dan penurunan aktifitas
secara menyeluruh.1
Bicara: Banyak pasien terdepresi menunjukkan kecepatan dan volume bicara yang
menurun, berespon terhadap pertanyaan denga nkata-kata tunggal dan menunjukkan respon
yang lambat terhadap suatu pertanyaan. 1
Gangguan persepsi: Pasien terdepresi dengan waham atau halusinasi dikatakan
menderita episode depresi berat dengan ciri psikotik. Waham sesuai mood pada pasien
terdepresi adalah perasaan bersalah bersalah, rasa berdosa, tidak berharga, kemiskinan,
kegagalan, kejar dan penyakit somatik. 1
Pikiran: Pasien terdepresi biasanya memiliki pandangan negatif tentang dunia dan
dirinya sendiri. Isi pikiran mereka seringkali melibatkan perenungan tentang kehilangan,
bersalah, bunuh diri, dan kematian. Kira-kira 10% memiliki gejala jelas gangguan berpikir,
biasanya penghambatan arus pikiran dan kemiskinan isi pikiran.
Sensorium dan kognisi: Kira-kira 50-70% dari semua pasien depresi memiliki suatu
gangguan kognitif yang sering kali dinamakan pseudodemensia depresif, dengan keluhan
gangguan konsentrasi dan mudah lupa.
Pengendalian impuls: Kira-kira 10-15% pasien terdepresi melakukan bunuh diri dan
kira-kira dua pertiga memiliki gagasan bunuh diri. Resiko untuk melakukan bunuh diri
meningkat saat mereka mulai membaik dan mendapatkan kembali energi yang diperlukan
untuk merencanakan dan melakukan suatu bunuh diri (bunuh diri paradoksikal / paradoxical
suicide).
Reliabilitas: Semua informasi dari pasien seringkali membesar-besarkan hal-hal yang
buruk dan menekan hal-hal yang baik
Episode Manik
Deskripsi umum: Pasien manik sangat penggembira, senang berbicara, kadang-
kadang lucu dan cenderung hiperaktif. Suatu waktu, mereka dapat menjadi psikotik, sulit
diatur dan memerlukan tahanan fisik dan injeksi intramuscular obat sedative.
Mood, afek dan perasaan: Pasien manik biasanya euforik dan lekas marah. Mereka
memiliki toleransi yang rendah dan mudah frustasi yang dapat menyebabkan perasaan marah
dan permusuhan. Secara emosional mereka sangat labil, mereka dapat beralih dari tertawa
menjadi marah kemudian menjadi depresi dalam hitungan menit atau jam. 1
11
[Type text]
Bicara: Pasien manik tidak dapat disela saat mereka bicara, sering kali rewel dan
menjadi pengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Pembicaraan mereka penuh dengan
gurauan, sajak, permainan kata-kata dan hal-hal yang tidak relevan. Pada tingkat yang lebih
tinggi, asosiasi menjadi longgar, kemampuan konsentrasi menghilang menyebabkan gagasan
yang meloncat-loncat (flight of idea), clanging dan neologisme. Pada keadaan yang akut,
pembicaraan dapat menjadi inkoheren sama sekali dan sulit dibedakan dari pembicaraan
mereka yang skizofrenia.
Gangguan persepsi: Waham ditemukan pada 75% pasien manik. Waham sesuai
mood seringkali melibatkan kekayaan, kemampuan atau kekuasaan yang luar biasa. Dapat
juga ditemukan waham dan halusinasi aneh yang tidak sesuai mood.
Pikiran: Isi pikirannya termasuk tema kepercayaan dan kebesaran diri, sering kali
perhatiannya mudah dialihkan. Fungsi kognitif ditandai oleh aliran gagasan yang tidak
terkendali. 1
Sensorium dan kognisi: Secara umum, orientasi dan daya ingat masih intak
walaupun beberapa pasien manik mungkin sangat euforik sehingga mereka menjawab secara
tidak tepat. Gejala tersebut disebut“mania delirium” (delirious mania) oleh Emil Kraepelin.
Pengendalian impuls: Kira-kira 75% pasien manik senang menyerang atau
mengancam.
Penilaian dan tilikan: Gangguan penilaian merupakan tanda dari pasien manik.
Mereka sering melanggar aturan mengenai pemakaian kartu kredit, aktivitas seksual, finansial
dan terkadang melibatkan keluarga mereka dalam kebangkrutan. Tilikan pasien mania
terhadap kondisi penyakit mereka juga cukup rendah.
Reliabilitas: Pasien manik sulit untuk dipercaya karena kebohongan dan
penyangkalan merupakan hal yang umum ditemukan pada pasien mania
G. PENATALAKSANAAN
Bipolar merupakan suatu gangguan mood yang kronik progresif, maka dari itu
diperlukan rencana tatalaksana jangka panjang yang melibatkan multisistem antara lain
psikoterapi dan psikofarmaka.1
PSIKOTERAPI
Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan
mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptive. Terapi ini
12
[Type text]
dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan yang professional antara terapis dengan
pasien. Terdapat beberapa jenis psikoterapi, yaitu: Terapi Kognitif, Terapi Perilaku,
Psikoterapi Suportif, Psikoterapi Dinamik, Psikoterapi Dinamik Singkat, Terapi
Kelompok, Terapi Perkawinan dan Psikoterapi Berorientasi Tilikan
PSIKOFARMAKA
Terapi Depresi
Obat - Obatan Anti Depresan
Trisiklik (TCAs) Selektive Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
· Amitriptilin 75-150 mg / hari
· Imipramin 75-150 mg / hari
· Clomipramin 75-150 mg / hari
· Amineptin 100- 200 mg / hari
· Opipramol 50-150 mg / hari
· Elvatelin 20-40 mg / hari
· Protetin 20-40 mg / hari
· Setralin 50-100 mg / hari
· Fluvotamin 50-100 mg / hari
· Fluoxetin 10-20 mg/hari
Tetrasiklik Penghambat Mono Amine Okside (MAOIs)
· Maprotilin 75-150 mg / hari
· Amoxopin 200-300 mg / hari
· Mianserin 30-60 mg / hari
· Maclobemid 200-600 mg / hari
Farmakoterapi yang digunakan untuk mengobati depresi dengan psikotik adalah
antidepresi dan antipsikotik. Antidepresi sendiri memiliki 5 golongan yaitu trisiklik/ TCA
(amiltriptilin, imipramine, clomipramine, dan tianeptine), golongan tetrasiklik (mparotiline,
amoxapine, mianserin), golongan MAOI-reversible (moclobemide), selective serotonin
reuptake inhibitor/ SSRI (setraline, paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine, citalopram), dan
golongan atipikal (trazodone, mirtazapine, venafaxine). Mekanisme kerja obat antidepresi
adalah dengan cara menghambat re-uptake aminergic neurotransmitter dan menghambat
penghancuran oleh enzim monoamine oxidase sehingga menyebabkan peningkatan jumlah
aminergic neurotransmitter pada celah sinaps neuron tersebut yang dapat meningkatkan
aktivitas reseptor serotonin. Efek samping dari antidepresi antara lain berupa sedasi, efek
antikolinergik (berupa mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, dll), efek antiadrenergik
alfa (berupa perubahan EKG, hipotensi), dan efek neurotoksis (tremor halus, gelisah dan
agitasi). Efek sampng ini akan berkurang setelah 2-3minggu pemberian obat dengan dosis
yang sama. Gejala intoksikasi dari trisiklik dapat menimbulkan atropine toxic syndrome
dimana terjadi eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi dan toxic confusional state.
13
[Type text]
Efek onset primer obat antidepresi sekitar 2-4 minggu sedangkan onset efek sekunder sekitar
12-24 jam dengan waktu paruh 12-48 jam. Pemberian obat antidepresi bisa dilakukan dalam
jangka waktu yang lama karena potensi untuk menjadi ketergantungan sangat minimal.3
Terapi Mania
Pada terapi mania, digunakana Stabilisator Mood yang dapat berupa:
Litium. Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan dengan menitrasi
dosis hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar antara 1,0-1,4 mEq/L.
Perbaikan terjadi dalam 7-14 hari. Dosis awal yaitu 20 mg/kg/hari. Dosis untuk
mengatasi keadaan akut lebih tinggi bila dibandingkan dengan untuk terapi rumatan.
Untuk terapi rumatan, dosis berkisar antara 0,4-0,8 mEql/L. Dosis kecil dari 0,4
mEq/L, tidak efektif sebagai terapi rumatan. Sebaliknya, gejala toksisitas litium
dapat terjadi bila dosis 1,5 mEq/L. Efek samping yang dilaporkan adalah mual,
muntah, tremor, somnolen, penambahan berat badan, dan penumpulan kognitif.
Neurotoksisitas, delirium, dan ensefalopati dapat pula terjadi akibat penggunaan
litium. Untuk mengatasi intoksikasi litium, hemodialisis harus segera dilakukan.4
Valproat. Valproat merupakan obat antiepilepsi yang disetujui oleh FDA sebagai
antimania. Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat dalam
serum berkisar antara 45 -125 mg/mL. Dosis awal untuk mania dimulai dengan 15-20
mg/kg/hari atau 250 – 500 mg/hari dan dinaikkan setiap 3 hari hingga mencapai
konsentrasi serum 45- 125 mg/mL. Efek samping, misalnya sedasi, peningkatan
nafsu makan, dan penurunan leukosit serta trombosit dapat terjadi bila konsentrasi
serum > 100 mg/mL. Untuk terapi rumatan, konsentrasi valproat dalam plasma yang
dianjurkan adalah antara 75-100 mg/mL. Efek samping yang dapat terjadi, misalnya
anoreksia, mual, muntah, diare, dispepsia, peningkatan (derajat ringan) enzim
transaminase, sedasi, dan tremor. Efek samping ini sering terjadi pada awal
pengobatan dan bekurang dengan penurunan dosis atau dengan berjalannya waktu.
Efek samping gastrointestinal lebih sering terjadi pada penggunaan asam valproat dan
valproat sodium bila dibandingkan dengan tablet salut sodium divalproat.4
Lamotrigin Lamotrigin efektif untuk mengatasi episode bipolar depresi. Ia
menghambat kanal Na+. Selain itu, ia juga menghambat pelepasan glutamat.
Lamotrigin oral diabsorbsi dengan cepat. Ia dengan cepat melewati sawar otak dan
mencapai konsentrasi puncak dalam 2-3 jam. Sebanyak 10% lamotrigin dieksresikan
dalam bentuk utuh. Dosis berkisar antara 50-200 mg/hari. Efek samping yang dapat
14
[Type text]
terjadi adalah sakit kepala, mual, muntah, pusing, mengantuk, tremor, dan berbagai
bentuk kemerahan di kulit.4
Antipsikosis
Sedangkan untuk obat antipsikotik sendiri memiliki 2 golongan yaitu antipsikotik
tipikal dan antipsikosis atipikal. Antipsikosis tipikal ini terdiri dari phenothiazine
(cholrpromazine, perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine, dan thioridazine),
butyriphenone (haoperidol), diphenyl-butil-piperidine (pimozide). Antipsikosis atipikal terdiri
dari benzamide (supiride), dibenzodiazepine (clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine),
dan benzisoxasole (resperidone, aripriprazole). Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal
adalah dengan cara memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak
sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat antipsikosis atipikal bekerja pada
reseptor dopamine juga reseptor serotonin sehingga efektif juga untuk gejala negatif. Efek
samping dari antipsikosis antara lain berupa sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan
otonomik (hipotensi,efek antikolinergik), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akhatisia,
sindrom parkinson), gangguan endokrin (amenore, ginekomastia), gangguan metabolik
(jaundice), hematologik (agranulositosis). Onset efek primer sekitar 2-4 minggu, onset efek
sekunder sekitar 2-6 jam dengan waktu paruh sekitar 12-14 jam. Pada umumnya pemberian
obat antipsikosis dipertahankan 3bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda
sama sekali.4
15
[Type text]
TERAPI LAIN
ECT: Electro Convulsive Therapy (Terapi Kejang Listrik)
ECT umumnya lebih cepat efeknya jika dibandingkan farmakoterapi sehingga
biasanya ECT digunakan pada pasien dengan psikosis yang parah yang menyebabkan pasien
berisiko besar untuk menyakiti (misalnya, pasien terganggu oleh halusinasi sehingga tanpa
sadar berjalan ke jalan raya yang ramai kendaraan), keinginan bunuh diri aktif dengan
rencana, atau malnutrisi sekunder dengan menolak makanan. Selain itu, ECT juga dapat
digunakan untuk mengobati gejala katatonik. Efek samping termasuk masalah
kardiopulmonar, aspirasi pneumonia, patah tulang, luka gigi dan lidah, sakit kepala, mual,
dan gangguan kognitif. ECT biasanya diberikan tiga kali perminggu pada hari bergantian.
Kebanyakan pasien melakukan ECT antara 6 sampai 12 perawatan, tetapi beberapa pasien
mungkin memerlukan 20 atau lebih.1
H. PROGNOSIS
Pasien dengan bipolar I mempunyai prognosis yang lebih jelek daripada pasien
dengan depresi mayor. Sekitar 40-50% pasien dengan bipolar I mempunyai episode manik
kedua setelah serangan pertama. Walaupun profilaksis dengan litium meningkatkan
prognosis, kemungkinan hanya 50-60% yang mencapai control yang signifikan degan litium.
16
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ. Sadock VA. Mood Disorder. In: Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 1259-1266.
2. Maslim R. Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2003. p. 58-69.
3. Maslim R. Pedoman Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2007. p. 14-35.
4. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
17
[Type text]
DISTIMIA DAN SIKLOTIMIA
GANGGUAN DISTIMIK
Menurut DSM-IV-TR, ciri gangguan distimik yang paling khas adalah perasaan tidak
adekuat, bersalah, iritabilitas, serta kemarahan; penarikan diri dari masyarakat; hilang minat;
serta inaktivitas dan tidak produktif. Istilah distimia, yang berarti “tidak menyenangkan (ill-
humored)” diperkenalkan pada tahun 1980. Sebelumnya, sebagian besar pasien yang saat ini
digolongkan memiliki gangguan distimik, digolongkan memiliki neurosis depresif (juga
disebut depresi neurotik).
Gangguan distimik dibedakan dengan gangguan depresif berat berdasarkan fakta
bahwa pasien mengeluh selalu merasa depresi. Dengan demikian sebagian besar kasus adalah
awitan dini, dimulai saat masa kanak atau remaja dan saat pasien mencapai usia 20-an.
Subtipe awitan lambat, sering ditemukan, dan tidak dapat ditandai secara klinis dengan baik,
diidentifikasi di antara populasi geriatrik dan usia pertengahan, sebagian besar melalui studi
epidemiologis di dalam komunitas. Riwayat keluarga pasien dengan distimia secara khas
dipenuhi gangguan depresif serta bipolar, yang merupakan salah satu temuan lebih kuat yang
menyokong kaitannya dengan gangguan mood primer.
Epidemiologi
Gangguan distimik lazim ditemukan pada populasi umum dan mempengaruhi 5
sampai 6 persen orang. Gangguan ini ditemukan pada pasien klinik psikiatri umum dan
mengenai antara setengah dan sepertiga pasien klinik. Prevalensi gangguan distimik yang
dilaporkan di antara remaja muda sekitar 8 persen pada anak laki-laki dan 5 persen anak
perempuan; meskipun demikian, tidak ada perbedaan gender untuk angka insiden. Gangguan
ini lebih lazim ditemukan pada perempuan di bawah usia 64 tahun dan pada laki-laki usia
berapapun dan lebih lazim pada orang yang tidak menikah serta muda dan pada orang dengan
penghasilan rendah. Gangguan distimik sering terdapat bersamaan dengan gangguan jiwa
lain, terutama gangguan depresi berat, dan pada orang dengan gangguan depresif berat
terdapat kecenderungan menurun akan adanya remisi penuh di antara episode. Pasien juga
dapat memiliki gangguan ansietas yang terdapat bersamaan (terutama dengan gangguan
panik), penyalahgunaan zat, dan gangguan kepribadian ambang. Gangguan distimik lebih
lazim ditemukan pada orang yang memiliki kerabat derajat pertama dengan gangguan
18
[Type text]
depresif berat. Pasien dengan gangguan distimik cenderung mendapatkan berbagai obat
psikiatri, termasuk antidepresan, gen antimanik seperti litium (Eskalith) dan karbamazepin
(Tegretol) dan hipnotik sedatif.
Etiologi
Faktor Biologis. Sejumlah studi mengenai komponen biologis pada gangguan distimik
menyokong penggolongannya dengan gangguan mood; studi lain mempertanyakan hubungan
ini. Satu hipotesis yang ditarik dari data adalah bahwa dasar biologis gejala distimik
menyerupai gangguan depresif berat tetapi dasar biologis patofisiologi yang mendasari kedua
gangguan ini berbeda.
Studi Mengenai Tidur. Latensi REM yang meningkat adalah dua penanda keadaan depresi
pada gangguan depresif berat yang juga ada pada pasien gangguan distimik dengan proporsi
yang signifikan. Sejumlah peneliti, yang melaporkan data awal yang menunjukkan adanya
abnormalitas tidur pada pasien dengan gangguan distimik, memprediksikan respons terhadap
obat antidepresan.
Studi Neuroendokrin. Dua aksis neuroendokrin yang paling sering dipelajari pada gangguan
depresif berat dan gangguan distimik adalah aksis adrenal dan aksis tiroid , yang telah diuji
dengan menggunakan uji supresi deksametason (DST) dan uji stimulasi hormon pelepas
tirotropin (TRH) secara berurutan. Walaupun hasil studi ini tidak benar-benar konsisten,
sebagian besar studi menunjukkan bahwa pasien gangguan distimik lebih jarang memiliki
hasil abnormal DST daripada pasien gangguan depresif berat. Studi uji stimulasi-TRH yang
lebih sedikit telah dilakukan, tetapi studi ini menghasilkan data awal yang menunjukkan
bahwa abnormalitas aksis tiroid dapat merupakan variasi ciri bawaan akibat penyakit kronis.
Presentase yang lebih tinggi pasien gangguan distimik memiliki abnormalitas aksis tiroid
daripada subjek kontrol normal.
Faktor Psikososial. Teori psikodinamik mengenai timbulnya gangguan distimik menyatakan
bahwa gangguan ini berasal dari perkembangan ego dan kepribadian dan berpuncak pada
kesulitan dalam beradaptasi pada masa remaja dan dewasa. Karl Abraham, contohnya,
menduga bahwa konflik depresi berpusat pada ciri bawaan sadistik oral dan anal. Ciri bawaan
anal mencakup keteraturan yang berlebihan, rasa bersalah, serta kepedulian terhadap orang
lain; hal ini dihipotesiskan sebagai perlawanan terhadap preokupasi akan hal-hal anal dan
19
[Type text]
disorganisasi, hostilitas, serta preokupasi diri. Mekanisme defensi utama yang digunakan
adalah reaction formation. Harga diri rendah, anhedonia, serta introversi sering dikaitkan
dengan ciri depresif.
Freud. Di dalam “Morning and Melancholia” Sigmund Freud menyatakan bahwa
kekecewaan interpersonal di awal kehidupan dapat menyebabkan kerentanan terhadap
depresi, menyebabkan ambivalensi hubungan cinta sebagai orang dewasa; kehilangan atau
ancaman akan kehilangan pada kehidupan dewasa kemudian mencetuskan depresi. Orang
yang rentan depresi secara oral bergantung dan membutuhkan kepuasan narsistik yang
konstan. Ketika kekurangan cinta, kasih sayang, dan perhatian, mereka menjadi depresi
secara klinis; ketika mereka mengalami kehilangan yang sesungguhnya, mereka
menginternalisasikan dan mengitroyeksi objek yang hilang serta mengubah kemarahannya
terhadap hal itu dan dengan demikian terhadap diri sendiri.
Teori Kognitif. Teori kognitif depresi juga berlaku untuk gangguan distimik. Teori ini
berpegang pada perbedaan antara kenyataan dan situasi khayalan mengakibatkan
berkurangnya harga diri dan rasa tidak berdaya. Keberhasilan terapi kognitif di dalam terapi
sejumlah pasien gangguan distimik dapat memberikan dukungan untuk modal teoretis.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Kriteria diagnosis DSM—IV-TR gangguan distimik (Tabel 1) menetapkan adanya
mood depresi selama sebagian besar waktu untuk setidaknya 2 tahun (atau satu tahun untuk
anak-anak dan remaja). Untuk memenuhi kriteria diagnostik, seorang pasien tidak boleh
memiliki gejala yang sebaiknya dianggap sebagai gangguan depresif berat dan tidak pernah
boleh memiliki episode gangguan manik atau hipomanik. DSM-IV-TR memungkinkan klinisi
menentukan apakah awitannya dini (sebelum usia 21 tahun) atau lambat (usia 21 tahun atau
lebih). DSM-IV-TR juga memungkinkan spesifikasi ciri atipikal dengan gangguan distimik
(Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan Distimik
A. Mood depresi hampir sepanjang hari selama behari-hari, lebih banyak depresi
daripada tidak, sebagaimana ditunjukkan secara subjektif atau melalui pengamatan
orang lain, untuk setidaknya 2 tahun. Catatan: pada anak dan remaja, mood dapat
20
[Type text]
iritabel dan durasinya harus sedikitnya 1 tahun.
B. Saat depresi terdapat dua (atau lebih) hal berikut:
1) Nafsu makan buruk atau makan berlebihan
2) Insomnia atau hipersomnia
3) Kurang tenaga atau lelah
4) Harga diri rendah
5) Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan
6) Rasa putus asa
C. Selama periode 2 tahun gangguan (1 tahun untuk anak-anak atau remaja), orang
tersebut tidak pernah bebas gejala dalam kriteria A dan B lebih dari 2 bulan.
D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama gangguan (1 tahun
untuk anak-anak dan remaja); yaitu gangguan tidak lebih baik dimasukkan ke dalam
gangguan depresif berat kronis, atau gangguan depresif berat, dalam remisi parsial.
Catatan: mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya mengingat terdapat
remisi penuh (tanpa tanda atau gejala signifikan selama 2 bulan) sebelum timbulnya
gangguan distimik. Di samping itu, setelah 2 tahun pertama (1 tahun pada anak-anak
dan remaja) gangguan distimik, bisa terdapat episode gangguan depresif berat yang
bertumpang tindih, pada kasus tersebut kedua diagnosis dapat diberikan ketika kriteria
episode depresif berat terpenuhi.
E. Tidak pernah ada episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik, dan
kriteria tidak pernah terpenuhi untuk gangguan siklotimik.
F. Gangguan tidak hanya timbul selama perjalanan gangguan psikotis kronis, seperti
skizofrenia atau gangguan waham.
G. Gejala bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh penyalahgunaan
zat, obat) atau keadaan medis umum (contoh hipotiroid).
H. Gejala secara klinis menyebabkan penderitaan atau hendaya bermakna fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi lain.
Tentukan apakah:
Awitan dini: jika awitan sebelum usia 21 tahun
Awitan lambat: jika awitan usia 21 tahun atau lebih
Tentukan (untuk gangguan distimik 2 tahun terkini):
Dengan cara atipikal
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright
21
[Type text]
2000, dengan izin.
Gambaran gangguan distimik tumpang tindih dengan gambaran gangguan depresif
berat tetapi berbeda yaitu gejalanya cenderung melebihi tandanya (lebih merupakan deprsi
subjektif daripada objektif). Hal ini berarti gangguan nafsu makan dan libido tidak khas, dan
agitasi atau retardasi psikomotor tidak terlihat. Semua ini diartika depresi dengan
simtomatologi yang dilemahkan. Meskipun demikian, ciri endogen yang samar dapat diamati;
inersia, letargi, anhedonia secara khas memburuk di pagi hari. Karena pasien secara klinis
sering menunjukkan fluktuasi saat dan di luar depresi berat, ini kriteria DSM-IV-TR
gangguan distimik cenderung menekankan pada disfungsi vegetatif, sedangkan kriteria B
alternatif gangguan distimik (Tabel 2) pada lampiran DSM-IV-TR memasukkan gejala
kognitif.
Tabel 2
Riset Alternatif Kriteria B DSM-IV-TR untuk Gangguan Distimik
B. ketika depresi, terdapat tiga (atau lebih) hal berikut ini:
1) Harga diri atau percaya diri yang rendah, atau rasa tidak adekuat
2) Rasa pesimis, hilang harapan, atau putus asa
3) Hilang minat atau kesenangan menyeluruh
4) Penarikan diri dari sosial
5) Letih atau lelah kronis
6) Rasa bersalah, terus-menerus memikirkan masa lalu
7) Rasa iritabilitas atau marah berlebihan yang subjektif
8) Aktivitas, efektivitas, atau produktivitas berkurang
9) Sulit berpikir, dicerminkan dengan konsentrasi buruk, memori buruk atau keragu-
raguan
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright
2000, dengan izin.
Varian Distimik. Distimia lazim ditemukan pada pasien dengan gangguan fisik yang
menyebabkan ketidakmampuan kronis, terutama orangtua. Depresi yang mirip dengan
distimia yang bertahan selama 6 bulan atau lebih juga ditemukan pada kondisi neurologis
22
[Type text]
seperti stroke. Menurut konferensi WHO terkini, keadaan ini memperburuk prognosis
penyakit neurologis yang mendasari, sehingga perlu farmakoterapi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan distimik sangat identik dengan gangguan depresi berat.
Banyak substansi dan penyakit medis dapat menyebabkan gejala depresi kronis. Dua
gangguan yang terutama penting untuk dipertimbangkan di dalam diagnosis banding
gangguan distimik adalah-gangguan depresif ringan dan gangguan deprsif singkat berulang
Gangguan Depresi Ringan. Gangguan depresi ringan ditandai dengan episode gejala depresi
yang lebih ringan daripada gejala yang ditemukan pada gangguan depresi berat. Perbedaan
antara gangguan distimik dengan gangguan depresif ringan terutama adalah sifat episodik
gejala gangguan depresif ringan. Antara episode, pasien gangguan depresif ringan memiliki
mood eutimik, sedangkan pasien distimik tidak memiliki periode eutimik.
Gangguan Depresi Singkat Berulang. Gangguan depresi singkat berulang ditandai dengan
periode singkat (kurang dari 2 minggu) timbulnya episode depresif. Pasien dengan gangguan
ini akan memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresif berat jika episodenya bertahan lebih
lama. Pasien gangguan depresi singkat berulang berbeda dengan pasien distimik dalam dua
hal: pasien gangguan depresi singkat berulang memiliki gangguan episodik dan keparahan
gejalanya lebih berat.
Depresi Ganda. Sekitar 40 persen pasien dengan gangguan depresi berat juga memenuhi
kriteria gangguan distimik, suatu kombinasi yang sering disebut depresi ganda. Data yang
tersedia menyokong kesimpulan bahwa pasien depresi ganda memiliki prognosis lebh buruk
daripada pasien dengan hanya gangguan depresi berat. Terapi pasien depresi ganda harus
diarahkan pada kedua gangguan karena perbaikan gejala gangguan depresif berat tetap
meninggalkan pasien dengan hendaya psikiatri yang bermakna.
Penyalahgunaan Alkohol dan Zat. Pasien dengan gangguan distimik umumnya memenuhi
kriteria diagnostik gangguan terkait zat. Komorbiditas ini dapat menjadi logis: pasien dengan
gangguan distimik cenderung membentuk metode koping untuk keadaan depresi kronisnya.
Sehingga, mereka cenderung menggunakan alkohol atau stimulant seperti kokain atau
marijuana, pilihannya mungkin terutama bergantung pada konteks sosial pasien. Adanya
23
[Type text]
diagnosis komorbid penyalahgunaan zat membuat dilema diagnostik untuk klinisi;
penggunaan banyak zat jangka panjang dapat menimbulkan gambaran gejala yang tidak dapat
dibedakan dengan gangguan distimik.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Sekitar 50 persen pasien dengan gangguan distimik mengalami awitan gejala yang
tidak disadari sebelum usia 25 tahun. Walaupun awitannya dini, pasien sering mengalami
gejala selama satu dekade sebelum meminta bantuan psikiatri dan dapat menganggap
gangguan distimik awitan dini sebagai bagian dari kehidupan. Pasien dengan awitan dini
memiliki resiko mengalami gangguan depresif berat maupun gangguan bipolar I dalam
perjalanan gangguannya. Studi pada pasien dengan diagnosis gangguan distimik
menunjukkan bahwa sekitar 20 persen berkembang menjadi gangguan depresif berat, 15
persen menjadi gangguan bipolar II, dan kurang dari 5 persen menjadi gangguan bipolar I.
Prognosis pasien dengan gangguan distimik bervariasi. Agen antidepresif (contohnya,
fluoxetin [prozac], dan bupropion [Wellbutrin]) dan jenis psikoterapi khusus (contohnya,
terapi perilaku dan kognitif) memiliki pengaruh positif pada perjalanan dan prognosis
gangguan distimik. Data yang tersedia mengenai terapi yang sebelumnya tersedia
menunjukkan bahwa hanya 10 sampai 15 persen pasien mengalami remisi 1 tahun setelah
diagnosis awal. Sekitar 25 persen pasien dengan gangguan distimik tidak pernah mencapai
pemulihan sempurna. Meskipun demikian, secara keseluruhan prognosisnya baik dengan
terapi.
Terapi
Dulu, pasien dengan gangguan distimik tidak memperoleh terapi atau dilihat sebagai
kandidat untuk psikoterapi berorientasi tilikan untuk jangka waktu lama. Data saat ini
memberikan dukungan objektif untuk terapi kognitif, terapi perilaku, dan farmakoterapi.
Kombinasi farmakoterapi dan terapi kognitif atau perilaku mungkin merupakan terapi yang
paling efektif untuk gangguan tersebut.
Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah suatu teknik mengajarkan pasien cara berpikir dan
bersikap untuk menggantikan sikap negatif yang salah mengenai diri mereka sendiri, dunia,
dan masa depan. Terapi ini merupakan program terapi janga pendek yang ditujukan pada
masalah saat ini dan penyelesaiannya.
24
[Type text]
Terapi Perilaku. Terapi perilaku gangguan depresif berdasarkan teori bahwa depresi
disebabkan oleh kehilangan dorongan positif akibat perpisahan, kematian, atau perubahan
lingkungan mendadak. Berbagai metode terapi berfokus pada tujuan tertentu untuk
meningkatkan aktivitas, memberikan pengalaman yang menyenangkan, dan untuk
mengajarkan pasien bersantai. Mengubah perilaku pribadi pasien depresi diyakini sebagai
cara paling efektif untuk mengubah pikiran dan perasan depresi yang terkait. Terapi perilaku
sering digunakan untuk menerapi ketidakberdayaan yang dipelajari pada sejumlah pasien
yang yang tampaknya menghadapi setiap tantangan kehidupan dengan rasa ketidakmampuan.
Psikoterapi Psikoanalitik Berorientasi Tilikan. Psikoterapi berorientasi tilikan individu
adalah metode terapi yang paling lazim untuk gangguan distimikn, dan banyak klinisi
meyakini bahwa terapi ini merupakan terapi pilhan. Pendekatan psikoterapi berupaya
menghubungkan perkembangan dan mempertahankan gejala depresif serta ciri kepribadian
maladptif dengan konflik yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak awal. Tilikan pada
ekuivalen depresif (misalnya penyalahgunaan zat) atau pada kekecewaan pada masa kanak-
kanak sebagai pendahulu dari depresi masa dewasa dapat diperoleh melalui terapi. Hubungan
ambivalen dengan orangtua, teman, dan orang lain di dalam kehidupan pasien saat ini
diperiksa. Pengertian pasien mengenai cara mereka mencoba memuaskan kebutuhan akan
persetujuan dari luar yang berlebihan untuk melawn harga diri yang rendah dan superego
yang kasar adalah tujuan penting di dalam terapi.
Gangguan distimik meliputi suatu eadaan depresi kronis yang bagi orang-orang
tertentu menjadi jalan hidup mereka. Orang-orang ini secara sadar mengalami diri mereka se
sendiri berada pada rasa kasihan dar objek internal penyiksa yang tidak berhenti menyiksa.
Agensi internal, yang biasanya dikonseptualisasi sebagai superego yang kasar,
mengkritisinya, menghukumnya karena tidak memenuhi harapan dan umumnya turut
menyebabkan rasa menderita dan tidak bahagia. Pola ini dapat dikaitkan dengan
kecenderungan merusak diri karena pasien tidak merasa bahwa mereka pantas berhasil.
Mereka juga memiliki rasa putus harapan yang bertahan lama mengenai pernah memperoleh
kebutuhan emosional dari orang penting di dalam hidupnya. Pandangan suram pasien akan
kehidupan dan rasa pesimismenya di dalam hubungan menghasilkan ramalan dari diri
sendiri-banyak orang menghindari mereka karena mereka tidak menyenangkan sebagai
teman.
25
[Type text]
Terapi Interpersonal. Di dalam terapi interpersonal gangguan depresif, pengalaman
interpersonal pasien saat ini dan cara menghadapi stres diperiksa untuk mengurangi gejala
depresif dan meningkatkan harga diri. Terapi interpersonal berlangsung sekitar 12-16 minggu
sesi dan dapat dikombinasikan dengan obat antidepresant.
Terapi Keluarga dan Kelompok. Terapi keluarga dapat membantu pasien dan juga keluarga
pasien untuk menghadapi gejala gangguan, terutama ketika tampaknya ada sindrom
subafektif yang didasarkan secara biologis. Terapi kelompok dapat membantu pasien yang
menarik diri mempelajari cara baru mengahadapi masalah interppersonalnya dalam situasi
sosial.
Farmakoterapi. Karena keyakinan teoritis yang bertahan lama dan lazim bahwa gangguan
distimik adalah gangguan yang terutama ditentukan secara psikologis, banyak klinisi yang
menghindari peresepan antidepresan untuk pasien, tetapi banyak studi menunjukkan
keberhasilan terapi dengan antidepresan. Data umumnya menunjukkan bahwa SSRI berguna
bagi pasien dengan gangguan distimik. Laporan menunjukkan bahwa SSRI dapat menjadi
obat pilihan. Demikian juga bupropion dapat menjadi terapi efektif bagi pasien dengan
gangguan distimik, suatu kelompok yang juga mungkin berespons terhadap penggunaan
amfetamin yang bijaksana.
Kegagalan Uji Terapeutik. Suatu uji terapeutik antidepresan dalam terapi gangguan
distimik harus mencakup dosis maksimal yang dapat ditoleransi; untuk periode waktu
minimum 8 minggu sebelum klinisi menyimpulkan bahwa percobaan tidak efektif. Ketika
percobaan obat tidak berhasil, klinisi harus mempertimbangkan kembali diagnosis, terutama
kemungkinan gangguan medis yang mendasari (terutama gangguan tiroid) atau gangguan
defisit perhatian pada orang dewasa. Ketika pertimbangan kembali diagnosis banding masih
mengesankan bahwa gangguan distimik adalah diagnosis yang paling mungkin, klinisi dapat
mengikuti strategi terapeutik gangguan depresif berat dan dapat mencoba memperkuat
antidepresan dengan menambahkan litium atau iotironin (Cytomel), walaupun strategi
gangguan distimik lebih lanjut belum dipelajari. Sebagai alternatif, klinisi dapat memutuskan
penggantian antidepresant dari golongan kelompok antidepresan yang benar-benar berbeda.
Contohnya, jika suatu uji dengan SSRI tidak berhasil, klinisi dapat mengganti dengan
bupropion, MAOI, atau trisiklik. Terdapat sejumlah laporan penguatan dengan testosteron
pada laki-laki yang resisten terhadap pengobatan.
26
[Type text]
Rawat Inap. Rawat inap biasanya tidak diindikasikan untuk pasien dengan gangguan
distimik, tetapi terutama gejala yang berat, ketidakmampuan profesional atau sosial yang
nyata, kebutuhan prosedur diagnostik yang ekstensif, dan gagasan bunuh diri adalah semua
indikasi rawat inap.
27
[Type text]
GANGGUAN SIKLOTIMIK
Gangguan siklotimik adalah bentuk gejala ringan gangguan bipolar II, ditandai
dengan episode hipomania dan depresi ringan. Di dalam DSM-IV-TR, gangguan distimik
didefinisikan “gangguan yang kronis dan berfluktuasi” dengan banyak periode hipomania dan
depresi. Gangguan ini dibedakan dengan gangguan bipolar II, yang ditandai dengan adanya
episode depresif berat, bukan ringan, serta hipomanik. Seperti gangguan distimik,
dimasukkannya gangguan siklotimik dalam gangguan mood menunjukkan suatu hubungan,
mungkin biologis, terhadap gangguan bipolar I. Meskipun demikian, sejumlah psikiater
mempertimbangkan gangguan siklotimik tidak memiliki komponen biologis, berbeda dengan
gangguan bipolar I, dan merupakan akibat kekacauan hubungan objek di awal masa
kehidupan.
Pemahaman saat ini mengenai gangguan siklotimik didasarkan pada pengamatan Emil
Krapelin dan Kurt Schneider bahwa sepertiga sampai dua pertiga pasien dengan gangguan
mood menunjukkan gangguan kepribadian: depresif (muram), manik (ceria dan tidak
terinhibisi), iritabel (labil dan eksplosif), serta siklotimik. Ia menjelaskan kepribadian iritabel
sebagai depresif dan manik serta kepribadian siklotimik sebagai pergantian kepribadian
depresif dan manik.
Epidemiologi
Pasien dengan gangguan siklotimik dapat mencapai 3 sampai 5 persen pasien psikiatri rawat
jalan, terutama mungkin mereka yang memiliki keluhan bermakna mengenai kesulitan
perkawinan dan interpersonal. Di dalam populasi umum, prevalensi seumur hidup gangguan
distimik diperkirakan 1 persen. Gambaran ini mungkin lebih rendah daripada prevalensi
sebenarnya karena seperti pada pasien gangguan bipolar I, pasien ini mungkin tidak
menyadari bahwa mereka memiliki masalah psikiatri. Gangguan siklotimik, seperti juga
gangguan distimik, sering timbul bersamaan dengan gangguan kepribadian ambang. Sekitar
10 persen pasien rawat jalan dan 20 persen dari pasien rawat inap dengan gangguan
kepribadian ambang juga memiliki diagnosis gangguan siklotimik. Rasio perempuan-laki-laki
pada gangguan distimik sekitar 3:2, dan 50 sampai 75 persen pasien meiliki awitan antara
usia 15 dan 25 tahun. Keluarga orang-orang dengan gangguan siklotimik sering memiliki
anggota keluarga dengan gangguan terkait zat.
28
[Type text]
Etiologi
Seperti gangguan distimik, terdapat kontroversi apakah gangguan siklotimik terkait
dengan gangguan mood, baik secara biologis atau psikologis. Sejumlah peneliti telah
menghipotesiskan bahwa gangguan siklotimik memiliki hubungan yang lebih dekat dengan
gangguan kepribadian ambang daripada gangguan mood. Walaupun terdapat kontroversi ini,
data biologis dan generik menyokong gagasan gangguan siklotimik sebagai benar-benar
gangguan mood.
Faktor Biologis. Bukti terkuat untuk hipotesis bahwa gangguan siklotimik merupakan
gangguan mood adalah data genetik. Sekitar 30 persen pasien dengan gangguan siklotimik
memiliki riwayat keluarga positif untuk gangguan bipolar I; angka ini serupa dengan angka
pasien dengan gangguan bipolar I. Lebih jauh lagi, silsilah keluarga dengan gangguan bipolar
I sering berisi generasi yang memiliki gangguan siklotimik. Sebaliknya, prevalensi gangguan
siklotimik pada kerabat pasien dengan ganggguan bipolar I jauh lebih besar daripada
prevalensi gangguan siklotimik, baik pada kerabat pasien dengan gangguan jiwa lain atau
pada orang yang jiwanya sehat. Pengamatan bahwa sekitar sepertiga pasien dengan gangguan
siklotimik kemudian memiliki gangguan mood berat, bahwa mereka terutama sensitif
terhadap hipomania yang diinduksi antidepresan, dan bahwa sekitar 60 persen berespons
terhadap lithium, menambahkan dukungan lebih lanjut terhadap gagasan bahwa gangguan
siklotimik sama ringan atau meerupakan bentuk gangguan bipolar II yang lebih ringan.
Faktor Psikososial. Sebagian besar teori psikodinamik menghipotesiskan bahwa timbulnya
gangguan siklotimik terletak pada trauma dan fiksasi selama fase oral perkembangan bayi.
Freud menghipotesiskan bahwa keadaan siklotimik adalah upaya ego menghadapi superego
yang kasar dan bersifat menghukum. Hipomania dijelaskan secara psikodinamik sebagai
kurangnya kritisisme diri dan tidak adanya inhibisi yang terjadi ketika seseorang dengan
depresi membuang beban dari superego yang terlalu kasar. Mekanisme defense utama pada
hipomania adalah penyangkalan (denial), di sini pasien menghindari masalah eksternal dan
perasaan depresi internal.
Pasien dengan gangguan siklotimik ditandai dengan periode depresi yang bergantian
dengan periode hipomania. Eksplorasi psikoanalitik mengungkap bahwa pasien tersebut
mempertahankan diri mereka melawan tema depresif yang mendasari dengan periode euforik
atau hipomanik. Hipomania sering dicetuskan oleh kehilangan interpersonal yang mendalam.
Euforia palsu yang ditimbulkan dalam keadaan tersebut adalah cara pasien untuk menyangkal
29
[Type text]
ketergantungan pada objek cinta dan secara bersamaan memungkiri setiap agresi atau
kerusakan yang mungkin menyebabkan hilangnya orang yang dicintai. Hipomania juga dapat
disertai dengan khayalan di alam bawah sadar bahwa objek yang hilang telah dikembalikan.
Penyangkalan ini umumnya hanya bertahan sebentar dan pasien segera melanjutkan
preokupasi dengan ciri penderitaan dan kesengsaraan gangguan distimik.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Walaupun banyak pasien mencari pertolongan psikiatri untuk depresi, masalah
mereka sering berkaitan dengan kekacauan yang ditimbulkan oleh episode maniknya. Klinisi
harus mempertimbangkan diagnosis gangguan siklotimik ketika pasien datang dengan
masalah perilaku yang tampaknya sosiopatik. Kesulitan perkawinan dan ketidakstabilan
dalam hubungan adalah keluhan yang lazim timbul karena pasien dengan gangguan
siklotimik sering berganti pasangan dan iritabel saat berada dalam keadaan manik dan
campuran. Walaupun terdapat laporan yang kurang dapat diyakini akan adanya peningkatan
produktivitas dan kreativitas ketika pasien d=sedang dalam keadaan hipomanik, sebagian
besar klinisi melaporkan bahwa pasien mereka menjadi kacau dan tidak efektif di dalam
pekerjaan dan sekolah selama periode ini.
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR gangguan siklotimik (Tabel 3) mnsyaratkan bahwa
seorang pasien tidak pernah memenuhi kriteria episode depresif berat dan tidak memenuhi
kriteria episode manik selama 2 tahun pertama gangguan. Kriteria ini juga mengharuskan
adanya gejala yang kurang lebih konstan selama 2 tahun (atau 1 tahun untuk anak dan
remaja).
Tabel 3. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Siklotimik
A. Adanya sejumlah periode dengan gejala hipomanik dan sejumlah periode gejala
depresif sedikitnya 2 tahun yang tidak memenuhi gejala episode depresif berat.
Catatan: pada anak dan remaja, lamanya harus paling sedikit 1 tahun.
B. Selama periode 2 tahun tersebut (1 tahun pada anak dan dewasa), pasien tidak pernah
tanpa gejala di dalam kriteria A, selama 2 bulan.
C. Tidak ada episode depresif, episode manik, atau episode campuran selama 2 tahun
gangguan.
Catatan: setelah 2 tahun pertama (1 tahun pada anak dan remaja) gangguan siklotimik,
mungkin terdapat episode manik atau campuran yang juga tumpang tindih (pada
30
[Type text]
kasus tersebut, gangguan bipolar I dan gangguan siklotimik dapat didiagnosis) atau
episode depresif berat (pada kasus tersebut, gangguan bipolar II dan gangguan
siklotimik dapat didiagnosis).
D. Gejala kriteria A sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam gangguan skizoefektif dan
tidak tumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofeniform, gangguan waham,
atau gangguan psikotik yang tidak tidak tergolongkan.
E. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung, zat (contoh penyalahgunaan
obat, pengobatan), atau keadaan medis umum (contoh hipertiroidisme).
F. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi
sosial, pekerjaan, atau area fungsi lain.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder.
4th ed. Text rev. Washington, DC. American Psychiatric Association; copyright 2000,
dengan izin.
Tanda dan Gejala. Gejala gangguan siklotimik identik dengan gejala gangguan bipolar II,
kecuali bahwa gejala gangguan siklotimik umumnya lebih ringan. Meskipun demikian,
kadang-kadang keparahan gejala dapat setara tetapi dengan durasi yang lebih singkat
daripada yang ditemukan pada gangguan bipolar II. Sekitar setengah dari semua pasien
dengan gangguan siklotimik memiliki gejala depresi sebagai gejala utama, dan pasien seperti
ini paling cenderung mencari bantuan psikiatri ketika sedang depresi. Beberapa pasien
dengan gangguan siklotimik terutama memiliki gejala hipomanik dan cenderung lebih jarang
berkonsultasi dengan psikiater daripada pasien depresi. Hampir semua pasien dengan
gangguan siklotimik memiliki periode gejala campuran dengan iritabilitas yang nyata.
Sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik yang ditemui oleh psikiater tidak
berhasil di dalam kehidupan profesional maupun sosial karena gangguan mereka tetapi
sejumlah kecil pasien berhasil, terutama untuk mereka yang bekerja untuk waktu yang lama
dan tidur hanya sedikit. Kemampuan sejumlah orang mengendalikan gejala gangguan
bergantung pada berbagai atribut individual, sosial, dan budaya.
Kehidupan sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik sulit. Siklus gangguan
cenderung lebih singkat daripada siklus di dalam gangguan bipolar I. Di dalam gangguan
siklotimik, perubahan mood terjadi tidak tentu dan mendadak serta kadang-kadang terjadi
dalam beberapa jam. Periode mood normal dan sifat perubahan mood yang tidak dapat
diduga menimbulkan stres yang hebat. Pasien sering merasa mood mereka tidak dapat
31
[Type text]
dikendalikan. Pada periode iritabel dan campuran, mereka dapat terlibat di dalam perseteruan
tanpa pencetus dengan teman, keluarga, atau pekerja.
Penyalahgunaan Zat. Penyalahgunaan alkohol dan zat lain lazim ditemukan pada
pasien gangguan siklotimik, yang menggunakan zat baik untuk mengobti diri sendiri (dengan
alkohol, benzodiazepin, dan marijuana) atau bahkan untuk memperoleh rangsangan lebih
lanjut (dengan kokain, amfetamin, dan halusinogen) ketika mereka dalam keadaan manik.
Sekitar 5 sampai 10 persen pasien dengan gangguan siklotimik mengalami ketergantungan
zat. Orang-orang dengan gangguan ini sering memiliki riwayat perpindahan geografis,
keterlibatan dalam pemujaan religius, dan pecinta seni.
Diagnosis Banding
Ketika diagnosis gangguan siklotimik sedang dipikirkan, semua penyebab medis dan
penyebab terkait zat yang memungkinkan pada depresi dan mania seperti kejang dan zat
tertentu (kokain, amfetamin, dan steroid) harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian
ambang, antisosial, histrionik, dan narsistik juga harus dipertimbangkan di dalam diagnosis
banding. Gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD) dapat sulit dibedakan dengan
gangguan siklotimik pada anak dan remaja. Percobaan dengan stimulan membantu sebagian
besar pasien dengan gangguan defisit perhatian/ gangguan hiperaktivitas dan memperburuk
gejala pada sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik. Kategori diagnostik gangguan
bipolar II ditandai dengan kombinasi episode depresi berat dan episode hipomanik.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Beberapa pasien dengan gangguan siklotimik ditandai sebagai orang yang sensitif,
hiperaktif, atau tergantung mood seperti anak-anak. Awitan gejala nyata gangguan siklotimik
muncul pertama pada usia belasan atau 20 awal. Munculnya gejala saat itu menghambat
kinerja seseorag di sekolah serta kemampuan menjalin pertemanan dengan kawan sebaya.
Reaksi pasien terhadap gangguan tersebut bervariasi; pasien dengan pertahanan ego atau
strategi koping yang adaptif memiliki hasil yang lebih baik daripada pasien dengan strategi
kopinh yang buruk. Sekitar sepertiga dari semua pasien dengan gangguan siklotimik
mengalami gangguan mood berat, paling sering gangguan bipolar II.
Terapi
Terapi Biologis. Obat penstabil mood dan antimanik adalah terapi lini pertama bagi pasien
dengan gangguan siklotimik. Walaupun data percobaan terbatas pada stdi dengan litium, agen
32
[Type text]
antimanik lain—contohnya, karbamazepin dan valproat (Depakene)—dilaporkan efektif.
Dosis dan konsentrasi plasma agen ini harus sama dengan dosis dan konsentrasi plasma pada
gangguan bipolar I. Terapi antidepresan pada pasien antidepresi dengan gangguan siklotimik
harus diberikan secara hati-hati karena pasien ini memiliki peningkatan kerentanan terhadap
episode manik atau hipomanik yang diinduksi antidepresan. Sekitar 40 sampai 50 persen
pasien dengan gangguan siklotimik yang diterapi dengan antidepresan mengalami episode
tersebut. Antikonvulsan seperti gabapentin berguna bagi beberapa pasien. Klomazepam
berguna untuk mengendalikan pasien siklotimik yang mengalami agitasi secara periodik.
Terapi psikososial. Psikoterapi untuk pasien dengan gangguan siklotimik paling baik
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran pasien akan kondisi mereka dan membantunya
membentuk mekanisme koping untuk mood swing mereka. Terapis biasanya perlu membantu
pasien memperbaiki kerusakan, baik yang terkait dengan pekerjaan maupun keluarga, yang
dilakukan selama episode hipomania. Karena sifat jamngka panjang gangguan siklotimik,
pasien sering membutuhkan terapi seumur hidup. Terapi keluarga dan kelompok dapat
bersifat mendukung, mendidik, dan terapeutik bagi paisen dan mereka terlibat di dalam
kehidupan pasien. Psikiater yang melakukan psikoterapi mampu mengevaluasi derajat
siklotimia dan juga menyediakan sistem peringatan dini untuk mencegah serangan manik
full-blown.
33
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
Sadock B. J, Virginia A. Sadock. Kaplan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Dalam
Gangguan Mood/ Suasana Perasaan. Distimia dan Siklotimia. Edisi 2. EGC. Jakarta: 2010. P.
218-23
34
[Type text]
GANGGUAN PANIK
Definisi
Menurut DSM-IV, gangguan panik adalah gangguan yang sekurang-kurangnya
terdapat 3 serangan panik dalam waktu 3 minggu dan tidak dalam kondisi stres berat
atau dalam situasi yang mengancam kehidupan. Gangguan panik bersifat rekuren
(kambuh) dan akan mengakibatkan terjadinya serangan panik yang tidak diduga-duga
dan mencapai puncaknya kurang dari 10 menit. 2
Terdapat 3 model fenomenologi gangguan panik yaitu :
a. Serangan panik akut
Ditandai oleh timbulnya peningkatan aktifitas sistem saraf otonom secara
mendadak dan spontan disertai perasaan ketakutan. Serangan ini berakhir 10-30 menit
dan dapat kembali normal.1,2
b. Antisipasi kecemasan
Ditandai dengan perasaan takut bahwa serangan akan timbul kembali.
Keadaan ini jarang kembali normal karena sesudah serangan biasanya penderita sudah
dalam kondisi kronis dan selalu mengantisipasi terhadap onset serangan.1,2
c.Menghindari fobia
Adalah kondisi panik yang berkembang menjadi perilaku menghindar atau
fobia. Penderita menjadi ketakutan akan timbulnya serangan panik sehingga penderita
menghindari situasi tersebut. 2
Epidemiologi
Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk
gangguan panik adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik adalah 3 – 5.6 %. Sebagai
contohnya, satu penelitian terakhir pada lebih dari 1.600 orang dewasa yang dipilih
secara acak di Texas menemukan bahwa angka prevalensi seumur hidup adalah 3,8 %
untuk gangguan panik, 5,6 % untuk serangan panik, dan 2,2 % untuk serangan panik
dengan gejala yang terbatas yang tidak memenuhi kriteria diagnostik lengkap.1,2
Jenis Kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki, walaupun
kurangnya diagnosis gangguan panik pada laki-laki mungkin berperan dalam distribusi
yang tidak sama tersebut. Perbedaan antara kelompok Hispanik, kulit putih non-
35
[Type text]
Hispanik, dan kulit hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-satunya yang dikenali
berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau
perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda -
usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun, tetapi baik gangguan panik maupun
agorafobia dapat berkembang pada setiap usia. Sebagai contohnya. gangguan panik telah
dilaporkan terjadi pada anak-anak dan remaja. dan kemungkinan kurang diagnosis pada
mereka.1,2
Etiologi dan patogenesis
Faktor Biologis
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan
berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala gangguan panik dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak.
penelitian tersebut dan penelitian lainnya telah menghasilkan hipotesis yang
melibatkan disregulasi sistem saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan
panik. Sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan
menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli
yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang. Sistem
neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-
aminobutyric acid (GABA).1,2,4
Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas. Angka
prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik.
Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik
sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan
panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan
gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar monozigot.1,2,4
Faktor Psikososial
Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk
menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku
menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari perilaku
modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik.1,2,4
36
[Type text]
Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan
yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang
sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan
ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.1,2,4
Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panik kemungkinan
melibatkan alam bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa patogenesis
serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor neurofisiologis yang dipicu oleh
reaksi psikologis.1,2,4
2.4 Gambaran Klinis
Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda akan terjadi serangan
panik, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan,
kelelahan fisik, aktivitas seksual atau trauma emosional. Serangan sering dimulai dengan
periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit.Gejala mental utama
adalah ketakutan yang kuat, suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat.Pasien
biasanya tidak mampu menyebutkan sumber ketakutannya.Pasien mungkin merasa
kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian.Tanda fisik adalah
takikardia, palpitasi, sesak nafas dan berkeringat.Pasien seringkali mencoba untuk
mencari bantuan.Serangan biasanya berlangsung 20 sampai 30 menit dan jarang lebih
lama dari 1 jam.1,2
Gejala penyerta
Gejala depresi seringkali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, pada
beberapa pasien suatu gangguan depresi ditemukan bersama-sama dengan gangguan
panik. Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang
dengan gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan
mental.2
Disamping agorapobia, fobia lain dan gangguan obsesi kompulsif dapat terjadi
bersama dengan gangguan panik. Akibat psikologis dari gangguan panik dan agorafobia
selain pertengkaran perkawinan, dapat berupa waktu terbuang ditempat kerja, kesulitan
finansial yang berhubungan dengan hilangnya pekerjaan dan penyalahgunaan alkohol
dan zat lain.2
37
[Type text]
2.5 Diagnosis
Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus dibuktikan dengan
adanya serangan panik yang berkaitan dengan kecemasan persisten berdurasi lebih dari 1
bulan terhadap: (1)serangan panik baru (2) konsekuensi serangan, atau (3) terjadi
perubahan perilaku yang signifikan berhubungan dengan serangan. Selain itu untuk
mendiagnosis serangan panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala
berikut ini:
Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
Takut mati
Leher serasa dicekik
Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
Merasa sesak, bernapas pendek
Mual atau distress abdominal
Gemetaran
Berkeringat
Rasa panas dikulit, menggigil
Mati rasa, kesemutan
Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri) 2
Selama serangan panik pasien senantiasa berkeinginan untuk kabur dan merasa
ajalnya hampir menjelang akibat perasaan terkecekik dan berdebar-debar. Gejala lain
yang dapat timbul pada serangan panik adalah sakit kepala, tangan terasa dingin,
timbulnya pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan merenung.2
Menurut PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama
bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik.3
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas
berat dalam masa kira-kira satu bulan :
1. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situation)
3. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode diantara
serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga
38
[Type text]
“anxietas antipsikotik” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi. 3
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah sejumlah
gangguan medis dan juga gangguan mental.1,2,3
Diagnosis banding organik untuk gangguan panik dapat dilihat pada tabel dibawah:
Etiologi Contoh
Penyakit kardiovaskuler Anemia, angina, gagal jantung kongesif,
keadaan adrenergik beta hiperaktif, hiertensi,
prolapsus katup mitral, infark miokardium,
takikardi atrium paradoksal.
Penyakit pulmonal Asma, hiperventilasi, embolus paru-paru
Penakit neuroloigs Penyakit serebrovaskuler, epilepsy, penyakit
Huntington, infeksi, penyakit meniere, sklerosis
multiple, serangan iskemik transien, tumor,
penyakit Wilson.
Penyakit endokrin Penyakit Addison, sindrom karsinoid, sindrom
chusing, diabetes, hipertiroidisme,
hipoglikemia, hipopaatiroidismer, ganguan
menopause, feokromasitoma, sindrom
prementruasi
Intoksikasi obat Amfetamin, amyl ntrite, antikolinergik, kokain
Halusinogen Marijuana, nikotin, theophyline.
Putus obat Alcohol, antihipertensi, opiate dan opioid,
sedative-ipnotik,
Kondisi lain Anafilaksis, defisiensi B12, gangguan elektrolit,
keracunan logam berat, infeksi sistemik, Lupus,
eritemtous sistemik, arteritis temporalis,
uremia.
Tabel 1 : diagnosis banding organik untuk gangguan panik1
39
[Type text]
Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan
buatan, hiponkondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia social dan spesifik, gangguan
stress pascatraumatik, gangguan depresif, dan skizofrenia.
Terapi
Psikoterapi
Cognitive-behavioral therapy (CBT)
CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk
gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien.CBT memiliki
efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih murah.
Selain itu tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan
terapi farmakologi. Meskipun begitu, hasil yang lebih superior dapat dihasilkan dari
kombinasi CBT dan famakoterapi.4,5,6
Beberapa Metode CBT
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode
restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative.Inti dari
terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis
dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan,
seperti pada gangguan panik.4,5,6
Terapi restrukturisasi,melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi
pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat
mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik
dengan pemikiran-pemikiran positif.4
Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien
mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi.
Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan
dokter.4
Namun salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy,dalam terapi ini
setiap pasien mengalami serangan, serangan tersebut diinduksi dalam lingkungan
yang terkontrol untuk memungkinkan pasien untuk menghadapi rasa takutnya dan
belajar menguasainya. Latihan seperti ini berlangsung selama satu menit.Interoceptive
theraphyterbukti berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di
suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan
paparan yang dapat menstimulus serangan panik pasien dengan cara
40
[Type text]
meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap
stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk
mendesensitasi gangguan panik antara lain:
Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi,
dan pandangan menjadi kabur
Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat mengakibatkan rasa
pusing dan disorientasi
Bernapas melalui pipet – ini dapat mengakibatkan sesak napas dan konstriksi
saluran napas
Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman
menjelang ajal
Menegangkan badan – untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada
Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit.Kuncinya
dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai serangan
panik.Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien tidak lagi
merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh waktu hingga
beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu.1,2
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar
melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak
napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika
pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus dan
amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang
tidak perlu ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.1,2
Farmakoterapi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan
panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor).
Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontroversial
dalam terapi gangguan panik.4,5,6
What are the first-line treatments? SSRIs and the SNRI venlafaxine
Cognitive-behavorial therapy
When should treatment be stopped because
the lack of efficacy?
After 4-6 weeks
41
[Type text]
What if partial response occurs after 4-6
weeks?
Treat another 4-6 weeks with increased dose
before changing the treatment strategy
What are the treatment options for treatment-
resistant cases?
- Switching from one SSRI to another
- Switching from venlafixine to an
SSRI or vice verca
- Switching to tricyclic antidepressants
- Switching to benzodiazepines,
reboxetine, phenelzine, or
moclobeminde.
- Switching to drugs that have been
effective in preliminary open studies
or case reports: mirtazapine,
valproate, inositol, ondansetron,
gabapentin, tiagabine, vigabatrin
- Switching to drugs that were effective
in other anxiety disorders in double-
blind, placebo-controlled studies:
duloxetine, quetiapine, buspirone.
Can antipanic drugs be combined? Usually, monotherapy is the better option.
Combinations of drug may be used in
treatment-resistant cases. These combination
are supported by studies:
- Benzodiazepines may be used in
combination in the first weeks, before
onset of efficacy of the
antidepressants.
- Augmentation of fluoxetine with
pindodol
- Augmentation of clomipramine with
lithium
- Augmentation with olanzapine
Tabel 2. algoritme Penatalaksanaan Gangguan Panik (Stein, DJ et al. Textbook of Anxiety
Disorders, 2009)
1. Golongan SSRI (Serotonin-selective reuptake inhibitors)
42
[Type text]
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam
rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan
panik pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu
ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.
Mekanisme Kerja SSRI
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan
cara menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik sehingga
ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel
post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter
monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI
memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek
sampingnya lebih sedikit. 5,6
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain
obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi
tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI
digunakan secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan
antipanik.5,6
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan
secara bertahap tergantung pada kebutuhan.Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini
memiliki efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik.Salah satunya,
Fluoxetine dalam tablet salut memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga
cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh
yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi ketika pasien
lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.2,4
Contoh Obat Golongan SSRI 1,2
Fluoxetine
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan
efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine atau
dopamine.
43
[Type text]
Paroxetine
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya
merupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan
memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
Sertraline
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada
reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoxamine
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake serotonin
neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik, histamine
atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obat-
obatan jeis trisiklik.
Citalopram
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake
serotonin pada membran neuronal.Efek samping antikolinergik obat ini lebih
sedikit.
Escitalopram
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip
dengan citalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika
tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang
timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8
minggu ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun
beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus,
apati, retensi urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual,
muntah dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan
meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.5,6
2. Golongan Tricyclic/Trisiklik
Golongan trisiklikzat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk
mengatasi depersi.Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan pertama
untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun
44
[Type text]
saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang
terbaru.5,6
Beberapa golongan trisiklik memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya cukup
1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan.TCA
memiliki keunggulan dosis sekali sehari, berisiko rendah untuk terjadi
ketergantungan.Namun 35% penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena
efek samping yang tidak menyenangkan.Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis
kecil untuk menghindari amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan
menggunakan trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon
terapi.2
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik
yang resisten terhadap obat antipanik terbaru.Selain itu golongan trisiklik tidak
menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek
terapi sehingga banyak pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun
efek terapinya belum tercapai.1,2
Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan
norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang dapat
bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap
transporter dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti
halusinasi dapat berkurang.5,6
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga
bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-HT6, 5-
HT7, α1-adrenergic, and NMDAreceptors, dan sebagai agonists pada sigma receptors (σ1
and σ2), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik
juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan
reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.6
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehingga
dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan calcium channel blocker.
Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.5,6
Contoh Obat Trisiklik1,2
45
[Type text]
Imipramine
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan srotonin pada neuron
presinaptikin.
Desipramine
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah sinaptik SSP
dengan ara menghambat reuptakenya di membran presinaptik. Hal ini dapat
menyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor
beta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
Clomipramine
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangakan pada efeknya uptake
norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi metabolitnya,
desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik5,6
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang
berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering,
hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan
peningkatan temperatur tubuh.
Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur,
akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.
3. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis
antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik.Pada masa lalu
golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah
resisten terhadap golongan trisiklik.5
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai
agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan
penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam
timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.5,6
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan
efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.
46
[Type text]
MAOI lebih efektif dibandingkan obat trisiklik, dan laporan anekdotal
menyatakan bahwa pasien yang tidak berespon terhadap trisiklik kemungkinan
berespon terhadap MAOI.5
Cara Kerja MAOI
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,
sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters dan
meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan
MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and
norepinephrine.Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and trace
amines.Dopamine dideaminasi oleh keduanya.5
Contoh Obat MAOI 1,2
Phenelzine
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam
mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan merlalui superioritas yang jelas
terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatas gangguan panik.
Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan
trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
Tranylcypromine
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara ireversibel
pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan meningkatkan
avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI 5,6
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.
Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat
menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga,
maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan
hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis
hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin
menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini
norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran
47
[Type text]
norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan
bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang
difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan.
Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.
4. Golongan Benzodiazepin
Pemakaian benzodizepin untuk gangguan panik adalah terbatas karena
permasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif dan penyalahgunaan. Tetapi
benzodizepin efektif dalam gangguan panik dan mungkin memiliki onset yang lebih
cepat (onset mencapai satu sampai dua minggu, mencapai puncak setelah empat sampai
delapan minggu) dibandingkan farmakoterapi lainnya. 5
Cara Kerja Benzodiazepin5,6
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA
(gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat
menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan dapat
mengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan long
acting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi
insomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan
panik.
Contoh Obat Benzodiazepin1,2
Lorazepam
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset singkat dan
paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA, yang
merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP,
termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.
Clonazepam
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya. Selain
itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.
48
[Type text]
Alprazolam
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik.Obat ini dapat
terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian otak, termauk sistem limbik dan
RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam
dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.
Diazepam
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah.Namun
dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya
berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya.Beberapa di antaranya adalah
mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan.Kurangnya
koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat
lain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat
berakibat pada tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan
terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat timbul
pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera makan,
pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus
juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.10,12
5. Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist
Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun diketahui obat ini
dapat mengatasi gangguan panik dengan cara kerja yang berbeda dari MAOI, serta
tidak seperti obat jenis amphetamine, obat ini tidak menstimulasi CNS.5
Contoh Obat1,2
Trazodone
Trazodone sangat berguna dalam terapi gangguan panik yang disertai agorafobia.
Pada hewan, obat ini secara selektif mampu menghambat uptake serotonin melalui
sinaptosom otak dan mepotensiasi perubahan perilaku melalui induksi prekursor
serotonin, 5-hidroksitriptofan.
6. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
49
[Type text]
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah
mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi
kepanikan.5
Contoh Obat
Venlafaxine
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor reuptake
serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan regulasi
reseptor beta.
Sediaan obat anti-panik dan dosis anjuran
No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis Anjuran
1. Imipramine Trisiklik Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
2. Clomipramine Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
3. Alprazolam
Benzodiazepin
Tab. 0,25-0,5-1
mg
3x 0,25-0,5 mg/hari
4. Diazepam Tab. 25 mg Peroral 10-30
mg/hari, 2-3x/hari,
Parental IV/IM 2-
10 mg/kali, setiap
3-4 jam
5. Klordiazepoksoid Tab. 5 mg
Caps. 5 mg
15-30 mg/hari
2-3 x/hari
6. Lorazepam Tab. 0,5-2 mg 2-3x 1 mg/hari
7. Clobazam Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
8. Brumazepin Tab. 1,5-3-6 mg 3x 1,5 mg/hari
9. Oksazolom Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
10. Klorazepat Caps. 5-10 mg 2-3x 5 mg/hari
11. Prazepam Tab. 5 mg 2-3x 5 mg/hari
12. Moclobemide RIMA (Reversible Inhibitor
of Monoamine Oxydase-A)
Tab. 150 mg 300-600 mg/hari
13. Sertraline
SSRI (Selective Serotonine
Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
14. Fluoxetine Caps. 10-20 mg 20-40 mg/hari
15. Parocetine Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
50
[Type text]
Reuptake Inhibitor)
16. Fluvoxamine Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
17. Citalopram Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
18. Buspiron Obat lain Tab. 10 mg 15-30 mg/hari
Tabel 3. Nama generik, golongan, sediaan, dan dosis anjuran anti panik1
2.8 Prognosis
Gangguan panik biasanya memiliki onsetnya selama masa remaja akhir atau
masa dewasa awal, walaupun onset selama masa anak-anak, remaja awal, dan usia
pertengahan dapat terjadi. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu.Frekuensi dan
keparahan serangan panik mungkin berfluktuasi.Serangan panik dapat terjadi
beberapa kali dalam sehari atau tidak terjadi sama sekali dalam satu bulan. Namun
demikian kira-kira 30-40% pasien tampaknya bebas dari gejala jangka panjang, kira-
kira 50% memiliki gejala yang cukup ringan yang tidak mempengaruhi kehidupannya
secara bermakna dan kira-kira 10-21 % terus memiliki gejala yang bermakna. 1,2
Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada kira-kira 40-80 % dari
semua pasien. Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan lama gejala singkat
cenderung memiliki prognosis yang baik.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FKUI. Jakarta: 2013.
P.258-63.
2. Sadock J Bejamin, Sadock A Virginia. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi kedua.ECG
Jakarta:2010. P.230 -33.
51
[Type text]
3. Departeman Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama. P.177-9.
4. Stein DJ, Hollander E et al. Textbook of Anxiety Disorders. American Psychiatric
Publishing. 2009. P.399-435.
5. Lydiard RB, Johnson RH. Assessment and Management of Treatment-Resistance in
Panic Disorder. Focus psychiatry guideline. June 1, 2011. Vol IX ; No. 3. Diunduh
tanggal 1 Desember 2014.
6. Stein MB et al. Practice Guideline For The Treatment of Patients With Panic
Disorder. Second Edition. American Psychiatric Association guideline. 2009.
Diunduh tanggal 1 Desember 2014.
52
[Type text]
AGORAPHOBIA
1 Definisi
Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di tempat-tempat publik
(sebagai contoh, supermarket), khususnya tempat dari mana pintu keluar yang cepat akan
sulit jika orang mengalami serangan panik. 3
2 Epidemiologi
Agorafobia maupun gangguan panik dapat berkembang pada setiap usia dengan usia
rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun. Prevalensi seumur hidup agorafobia dilaporkan
terentang antara 0,6 persen sampai setinggi 6 persen. Dan pada penelitian yang dilakukan di
lingkungan psikiatrik dilaporkan sebanyak tiga perempat pasien yang terkena agorafobia
juga menderita gangguan panik. Hasil yang berbeda ditemukan pada lingkungan masyarakat
di mana separuh dari pasien yang menderita agorafobia tidak menderita gangguan panik.
Perbedaan hasil penelitian dan rentang prevalensi yang lebar diperkirakan karena kriteria
diagnostik yang bervariasi dan metoda penilaian yang berbeda. 3,4
3 Etiologi
Etiologi untuk agorafobia belum diketahui secara pasti, tapi patogenesis fobia
berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan psikososial. 1,3,4
Keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati fobia sosial dan penelitian lain yang
menunjukkan adanya disfungsi dopaminergik pada fobia sosial mendukung adanya faktor
biologis. Agorafobia diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian
menyimpulkan bahwa gangguan panik memiliki komponen genetik yang jelas, juga
menyatakan bahwa gangguan panik dengan agorafobia adalah bentuk parah dari gangguan
panik, dan lebih mungkin diturunkan. 1,3,4,5
Dari faktor psikososial, penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada
predisposisi konstitusional terhadap fobia, memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap
yang tidak dikenal dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia.
Misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengaktifkan
diatesis laten pada anak-anak yang kemudian akan menjadi gejala yang nyata. Menurut
Freud, fobia yang disebut sebagai histeria cemas disebabkan tidak terselesaikannya konflik
53
[Type text]
oedipal masa anak-anak. Objek fobik merupakan simbolisasi dari sesuatu yang berhubungan
dengan konflik. 1,3,4,5
4 Diagnosis
Diagnosis agorafobia berdasarkan gejala ansietas dan fobia yang tampak jelas.
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke III(PPDGJ-III),
diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan adanya gejala ansietas
yang terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh penderita.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Untuk Agorafobia6
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
(a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer
dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
(b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan)
setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, dan bepergian sendiri; dan
(c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita
menjadi “house-bound”).
Sedangkan menurut DSM-IV, agorafobia dapat digolongkan atas gangguan panik
dengan agorafobia dan agorafobia tanpa gangguan panik. Dengan kriteria diagnosis sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik3,4
A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip panik (misalnya,
pusing atau diare).
B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panik.
C. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
D. Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut yang dijelaskan
dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang biasanya berhubungan dengan kondisi.
Selain itu, DSM-IV juga menetapkan kriteria diagnostik untuk agorafobia
54
[Type text]
Tabel 2.3 Kriteria untuk Agorafobia2,3,4
Catatan: Agorafobia bukan merupakan gangguan yang dapat dituliskan. Tuliskan diagnosis
spesifik di mana agorafobia panik terjadi (misalnya, gangguan panik dengan agorafobia atau
agorafobia tanpa riwayat gangguan panik).
A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dari mana kemungkinan sulit
meloloskan diri (atau merasa malu) atau di mana mungkin tidak terdapat pertolongan jika
mendapatkan serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau disebabkan
oleh situasi. Rasa takut agorafobik biasanya mengenai kumpulan situasi karakteristik seperti
di luar rumah sendirian; berada di tempat ramai atau berdiri di sebuah barisan; berada di atas
jembatan; atau bepergian dengan bis, kereta, atau mobil.
Catatan: Pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran adalah terbatas pada satu
atau hanya beberapa situasi spesifik, atau fobia sosial jika penghindaran terbatas pada situasi
sosial.
B. Situasi dihindari (misalnya, jarang bepergian) atau jika dilakukan adalah dilakukan dengan
penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan akan mendapatkan serangan panik atau gejala
mirip panik, atau perlu didampingi teman.
C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain,
seperti fobia sosial (misalnya, penghindaran terbatas pada situasi sosial karena rasa takut
terhadap situasi tertentu seperti di elevator), gangguan obsesif-kompulsif (misalnya,
menghindari kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi), gangguan stres
pascatraumatik (misalnya, menghindari stimuli yang berhubungan dengan stressor yang
berat), atau gangguan cemas perpisahan (misalnya, menghindari meninggalkan rumah atau
sanak saudara).
5 Gambaran Klinis
Pasien dengan agorafobia menghindari situasi di saat sulit mendapat bantuan. Lebih
suka ditemani kawan atau anggota keluarga di tempat tertentu, seperti jalan yang ramai, toko
yang padat, ruang tertutup (seperti terowongan, jembatan, lift), kendaraan tertutup (seperti
kereta bawah tanah, bus, dan pesawat terbang). Mereka menghendaki ditemani setiap kali
harus keluar rumah. Perilaku tersebut sering menyebabkan konflik perkawinan dan keliru
didiagnosis sebagai masalah primer. Pada keadaan parah mereka menolak keluar rumah dan
mungkin ketakutan akan menjadi gila. 1,3,4
55
[Type text]
Gejala depresif sering kali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, dan pada
beberapa pasien suatu gangguan depresif ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik.
Penelitian telah menemukan bahwa risiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental. Klinisi
harus menyadari risiko bunuh diri ini. 1,3,4
6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Sebagian besar kasus agorafobia diperkirakan disebabkan oleh gangguan panik. Jika
gangguan panik diobati, agorafobia sering kali membaik dengan berjalannya waktu. Untuk
mendapatkan reduksi agorafobia yang cepat dan lengkap, terapi perilaku kadang-kadang
diperlukan. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering kali menyebabkan
ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol sering kali
mengkomplikasi perjalanan agorafobia. 3,4
7 Diagnosa Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik adalah
semua gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding
psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid,
gangguan kepribadian menghindar, di mana pasien tidak ingin keluar rumah dan gangguan
kepribadian dependan karena pasien harus selalu ditemani setiap keluar rumah. 3,4
8 Pengobatan
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada gejala
gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang paling efektif adalah farmakoterapi dan
terapi kognitif –perilaku. Terapi keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang
menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien menderita
gangguan dan dengan kesulitan psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan. 3,4
Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan panik karena agorafobia
pada umumnya disebabkan oleh gangguan panik. Diharapkan dengan perbaikan gangguan
panik maka agorafobia juga akan semakin membaik. Semua obat golongan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gangguan panik. Paroksetin memiliki
efek sedatif dan cenderung membuat pasien tenang sehingga menimbulkan kepatuhan yang
lebih besar serta putus minum obat yang lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin tidak dapat
56
[Type text]
ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin. Obat lain yang biasa digunakan adalah dari
golongan Benzodiazepin karena memiliki awitan kerja untuk panik yang paling cepat, sering
dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode waktu yang lama tanpa timbul
toleransi terhadap antipanik. 3,4
Terapi Perilaku dan Kognitif
Terapi lain yang dilakukan selain farmakoterapi adalah terapi perilaku dan kognitif.
Fokus dari terapi kognitif adalah instruksi mengenai keyakinan salah pasien dan informasi
mengenai serangan panik. 3,4
Aplikasi Relaksasi. Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi Herbert
Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. 3,4,5
Terapi Keluarga. Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga
mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan
pada edukasi dan dukungan sering bermanfaat. 3,4,5
Psikoterapi Berorientasi Tilikan. Psikoterapi berorientasi tilikan dapat memberi
keuntungan di dalam terapi gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus membantu
pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang telah dihipotesiskan, simbolisme situasi
yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut.
Suatu resolusi konflik pada masa bayi dini dan oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan
resolusi stres saat ini. 3,4,5
Psikoterapi Kombinasi dan Farmakoterapi. Bahkan ketika farmakoterapi efektif
menghilangkan gejala primer gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat dibutuhkan
untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi psikoterapeutik membantu pasien menghadapi
rasa takut keluar rumah. Di samping itu, beberapa pasien akan menolak obat karena mereka
yakin bahwa obat akan menstigmatisasi mereka sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi
terapeutik dibutuhkan untuk membantu mereka mengerti dan menghilangkan resistensi
mereka terhadap farmakoterapi. 3,4,5
57
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, SD.; Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta:2010. 242-249
2. Nolen-Hoeksema, Susan. Abnormal Psychology,4th ed. McGraw-Hill, New York: 2007.
232-233
3. Sadock BJ; Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed.EGC, Jakarta:2004. 237-241
4. Kaplan HI,Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II. Binarupa Aksara.
Tangerang: 2010. 33-46
5. Halgin RP, Whitbourne SK. Abnormal Psychology Clinical Perspectives on Psychological
Disorders. McGraw-Hill, New York:2009. 144-148
6. Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III. FK Unika
Atmajaya. Jakarta:2001. 72
58
[Type text]
2.1 Definisi
Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah adanya rasa takut yang kuat dan menetap akan suatu objek atau situasi.³
Penyakit Ketakutan (Fobia) adalah kecemasan yang luar biasa, terus menerus dan tidak
realistis, sebagai respon terhadap keadaan eksternal tertentu. 4
Beberapa subtipe fobia spesifik:5
a. Animal Type. Subtipe ini ditandai dengan adanya ketakutan terhadap binatang atau
serangga. Subtipe ini umumnya mempunyai onset masa kecil.
b. Natural Environment Type. Subtipe ini ditandai dengan adanya ketakutan terhadap
objek – objek dalam lingkungan alami, seperti : badai, ketinggian, atau air. Subtipe ini
mempunyai onset masa kecil.
c. Blood-Injection-Injury Type. Subtipe ini ditandai dengan adanya ketakutan melihat
darah, cedera, menerima injeksi ataupun segala prosedur medis. Subtipe ini sering
dijumpai dan karakteristiknya adalah adanya respon vasovagal.
d. Situational Type. subtype ini ditandai dengan adanya ketakutan terhadap situasi
tertentu seperti: transportasi umum, lorong, jembatan, elevator, pesawat terbang,
berkendara, atau tempat tertutup. Subtipe ini mempunyai dua onset, onset pertama
pada waktu kecil dan yang kedua pada pertengahan umur 20-an.
e. Other Type. Subtipe ini ditandai dengan ketakutan terhadap stimulasi yang lain.
Stimulus dapat berupa ketakutan ketika tersedak, muntah, menderita penyakit,
“space” fobia ( seseorang yang takut jatuh ketika berada jauh dari dinding atau
sesuatu yang mempertahankan dirinya), anak – anak takut terhadap suara yang keras
atau karakter berkostum.
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa fobia adalah salah satu gangguan jiwa yang paling
lazim di Amerika Serikat. Sekitar 5 hingga 10 persen populasi diperkirakan terkena gangguan
yang menyulitkan dan kadang - kadang membuat ketidakmampuan ini. Perkiraan yang lebih
modern memperkirakan kisaran tinggi 25 persen pada populasi. Prevalensi seumur hidup
fobia spesifik dilaporkan sekitar 3 hingga 13 persen.³
Fobia spesifik lebih lazim ditemukan daripada fobia sosial. Fobia spesifik adalah gangguan
jiwa yang lazim pada perempuan dan paling lazim kedua pada laki - laki. Usia puncak
awitan untuk jenis lingkungan alami dan jenis cedera-darah-suntikan adalah kisaran 5 sampai
59
[Type text]
9 tahun, walaupun awitan juga terjadi pada usia yang lebih tua. Objek dan situasi yang
ditakuti pada fobia spesifik adalah hewan, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.³
2.3 Etiologi
Fobia Spesifik dapat timbul akibat pemasangan objek atau situasi spesifik dengan rasa takut
dan panik. Umumnya, kecenderungan nonspesifik untuk mengalami rasa takut atau ansietas
membentuk latar belakang; ketika suatu peristiwa khusus ( contohnya menyetir) digabungkan
dengan pengalaman emosional (contohnya kecelakaan), orang tersebut rentan
mengasosiasikan secara emosional permanen antara mengendarai mobil dan rasa takut atau
ansietas.³
Pengalaman emosional itu sendiri dapat bersifat responsive terhadap kejadian eksternal,
seperti kecelakaan lalu lintas atau kejadian internal, yang paling lazim adalah serangan
panic.³
Mekanisme hubungan lain antara objek fobik dan emosi fobik adalah meniru model, di sini
seseorang mengamati reaksi pada orang lain (contohnya orang tua) dan transfer informasi, di
sini seseorang diajari atau diperingatkan akan bahaya objek spesifik ( contohnya ular
berbisa).³
Factor Genetik.
Fobia spesifik cenderung diturunkan di dalam keluarga. Jenis cedera-darah-suntikan terutama
memiliki kecenderungan familial yang tinggi. Studi melaporkan bahwa dua pertiga sampai
tiga perempat proband yang terkena sedikitnya memiliki kerabat derajat pertama yang
memiliki fobia spesifik dengan tipe sama, tetapi studi kembar dan adopsi yang penting belum
dilakukan untuk menyingkirkan peranan transmisi nongenetik yang bermakna pada fobia
spesifik.³
2.4 Gambaran Klinis
Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya rasa takut yang tidak rasional
dan ego-distonik akan suatu situasi, aktivitas, atau objek spesifik; pasien mampu
menggambarkan cara mereka menghindari kontak dengan fobia. Depresi lazim ditemukan
pada pemeriksaan status mental dan dapat ditemukan pada hingga sepertiga pasien fobik.³
2.5 Kriteria diagnosis Gangguan Waham menurut DSM-IV-TR:5
60
[Type text]
A. Rasa takut berlebihan yang nyata, menetap dan tidak beralasan, dicetuskan oleh
adanya atau antisipasi terhadap suatu objek atau situasi spesifik ( cth : terbang,
ketinggian, hewan , disuntik, melihat darah).
B. Pajanan terhadap stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respons ansietas segera,
dapat berupa serangan panic terikat secara situasional atau serangan panic dengan
predisposisi situasional.
C. Orang tersebut menyadari bahwa rasa takutnya berlebihan atau tidak beralasan
D. Situasi fobik dihindari atau dihadapi dengan ansietas maupun penderitaan yang intens
E. Penghindaran, antisipasi ansietas atau distress pada situasi yang ditakuti mengganggu
fungsi rutin normal, pekerjaan (atau akademik) atau aktivitas maupun hubungan
social secara bermakna, atau terdapat distress yang nyata karena memiliki fobia ini.
F. Pada seseorang berusia dibawah 18 tahun, durasinya sedikitnya 6 bulan.
G. Ansietas, serangan panic, atau penghindaran fobik yang berkaitan dengan objek atau
situasi spesifik tidak disebabkan gangguan jiwa lain, seperti gangguan obsesif
kompulsif, gangguan stress pascatrauma, atau gangguan ansietas perpisahan, fobia
social, gangguan panic dengan agoraphobia, atau agoraphobia tanpa riwayat
gangguan panic.
2.6 Diagnosis Banding³
Hipokondriasis
Gangguan obsesif kompulsif
Gangguan kepribadian paranoid
2.7 Tatalaksana.
Secara umum terapi fobia meliputi:¹
Terapi Psikologik:
a. Terapi perilaku merupakan terapi yang paling efektif dan sering diteliti. Seperti
desensitisasi sistematik yang sering dilakukan; terapi pemaparan (exposure), imaginal
exposure, participant modeling, guided mastery, imaginal flooding.
b. Psikoterapi berorientasi tilikan
c. Terapi lain : hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi keluarga bila diperlukan.
Di antara psikoterapi , terapi yang sering digunakan untuk fobia spesifik adalah terapi
pajanan. Metode , terapis mendesensitisasi pasien dengan menggunakan serangkaian pajanan
bertingkat yang ditingkatkan sendiri oleh pasien terhadap stimulus fobik, dan terapis
61
[Type text]
mengajarkan pasien teknik mengatasi ansietas termasuk relaksasi, kendali pernafasan, dan
pendekatan kognitif.³
Pendekatan kognitif mencakup memperkuat penyadaran bahwa situasi fobik, pada
kenyataannya, aman. Kunci keberhasilan terapi perilaku adalah komitmen pasien terhadap
terapi, masalah dan tujuan yang terindentifikasi dengan jelas, strategi alternative yang
tersedia untuk menghadapi perasaan pasien.³
Terapi Farmakologis
Obat – obat yang efektif adalah SSRI (serotonin selective re-uptake inhibitor), khususnya
untuk fobia social umum merupakan pilihan pertama.¹
Benzodiazepine, venlafaxine, buspirone, MAOI, antagonis β-adrenergik dapat juga
digunakan dalam terapi fobia spesifik, terutama fobia disertai serangan panik.³
Terapi terhadap fobia spesifik yang terutama adalah terapi perilaku yaitu terapi pemaparan
(exposure therapy). Penggunaan anti ansietas yaitu untuk terapi jangka pendek.¹
SOCIAL ANXIETY DISORDER
62
[Type text]
II.1 Definisi
Fobia adalah perasaan takut yang irasional yang menyebabkan kesadaran untuk
menghindar dari obyek ketakutan spesifik, aktivitas atau situasi. Fobia sosial, juga disebut
sebagai gangguan cemas sosial, adalah gangguan cemas yang termasuk didalamnya distress
yang hebat terhadap situasi umum. Individu dengan fobia sosial secara khas mengalami
panik selama berhubungan sosial. Situasi ini meliputi berbicara didepan publik,
menggunakan kamar kecil/wc umum, makan dengan orang lain atau kontak sosial secara
umum. Ketakutan pasien adalah merasa dihina atau dipermalukan oleh orang lain atas
kelakuan dirinya dan dapat mengarah menjadi kecemasan yang hebat, dengan peningkatan
detak jantung, diaforesis dan tanda lainnya dari pemunculan otonom. Gejala fisik ini dapat
disebabkan oleh cemas tambahan, yang sering mendorong kearah respon takut yang
menguatkan kecemasan dalam situasi umum. 1,2,3
Fobia sosial merupakan gangguan hiwa yang cukup sering ditemukan. Walaupun
demilkian, perhatian terhadap fobia sosial selama ini sangat kurang sehingga sering dikatakan
sebagai gangguan cemas yang terabaikan. Kurangnya perhatian terhadap fobia sosial ini
disebabkon oleh sedikitnya panderita yang mencari pangobatan untuk fobia sosial yang
dideritanya. Biasanya penderita datang berobat bukan untuk fobia sosialnya tetapi untuk
keluhan lain yang sering menyertai fobia sosial seperti cemas atau depresi.
II.3 Epidemiologi
Fobia sosial terdapat pada 3 sampai 5 persen populasi. Pria dan wanita memiliki
angka kejadian yang seimbang. Onset penyakit biasanya dimulai awal umur belasan tahun,
walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pada tiap tahap kehidupan. Menurut survey
yang dilakukan di Amerika sejak tahun 1994, fobia sosial adalah gangguan jiwa nomer 3
terbesar di Amerika Serikat. Prevalensi fobia sosial terlihat meningkat pada ras kulit putih,
orang yang menikah, dan individu dengan taraf pendidikan yang baik. Fobia sosial
umumnya bermanifestasi pada orang dewasa tapi biasa terdapat pada anak-anak atau
remaja.2,4
63
[Type text]
II.4 Etiologi
Sampai sekarang belum ditemukan penyebab yang pasti. Walaupun demikian,
penelitian mengenai etiologi banyak dilakukan saat ini. Ada beberapa teori yang mencoba
mengungkapkannya, antara lain:
Teori psikoanalisa
Menurut Freud, fobia sosial atau hysteria-ansietes merupakan manifestasi dari
konflik Oedipal yang tidak terselesaikan. Selain adanya dorongan seksual yang kuat untuk
melakukan incest, terdapat pula rasa takut terhadap kastrasi. Hal ini menyebabkan terjadinya
konflik dan ansietas. Akibatnya, ego berusaha menggunakan mekanisme-pertahanan represi
yaitu membuang jauh dari kesadaran. Tatkala represi tidak lagi berhasil, ego berusaha
mencari mekanisme pertahanan tarnbahan. Mekanisme pertahanan tambahan adalah
displacement. Konflik seksual ditransfer dari orang yang mencetuskan konfilk kepada
sesuatu yang sepertinya tidak penting atau objek yang tidak relevan atau situasi yang
sakarang mempunyai kekuatan untuk membangkitkan ansietas. Situasi atau obyek yang
dipilih atau disimbolkan biasanya berhubungan langsung dengan sumber konflik. Dengan
Menghindari objek tersebut pasien dapat lari dari penderitaan ansietas yang serius.2
Teori genetik
Faktor genetik dapat berperanan dalam fobia sosial. Analisa pedigree/silsilah
memperlihatkan silsilah pertama dari proband dengan fobia sosial tiga kali beresiko
mendapat sosial fobia dibanding kontrol. Namun, gen spesifik belum pernah diisolasi.
Perangai anak yang selalu dilarang telah dihubung-hubungkan dengan perkembangan fobia
sosial dimasa dewasa.4
Teori Neurotransmiter
Mekanisme Dopaminergik
64
[Type text]
Dari penelitian didapatkan bahwa fobia sosial berhubungan dengan gangguan pada system
dopaminergik. Kadar homovanilic acid (HVA) pada penderita fobia sosial lebih rendah blia
dibandingkan dangan penderita panik atau kontrol. Adanya perbaikan gejala fobia sosial
dengan pemberian monoamine oxidase inhibitor (MAOI) menunjukkan bahwa kinerja
dopamine terganggu pada fobia sosial.
Mekanisme Serotonergik
Pemberian fenilfluramin pada panderita fobia sosial menyebabkan peningkatan kortisol
sehingga diperkirakan adanya disregulasi serotonin. Walaupun demikian, pada pemberian
methchlorphenylpiperazine (MCPP), suatu serotonin agonis, tidak ditemukan adanya
perbedaan respons prolaktin antara pendarita fobia sosial dengan kontrol normal. Begitu
pula, pengukuran ikatan platelet (3H)-paroxetine, suatu petanda untuk mangetahui aktivitas
serotonin; tidak terlihat adanya perbedaan antara fobia sosial dengan gangguan panik atau
kontrol normal.
Mekanisme Noradrenergik
Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar epinefrin sehingga dengan
cepat terjadi peningkatan denyut jantung, berkeringat dan tremor. Pada orang normal, gejala
fisik yang timbul akibat peningkatan epinefrin mereda atau menghilang dengan cepat.
Sebaliknya pada penderita fobia sosial tidak terdapat penurunan gejala. Bangkitan gejala
fisik yang meningkat semakin mengganggu penampilan di depan umum. Pengalaman ini
juga membangkitkan kecamasan pada penampilan berikutnya sehingga mengakibatkan
orang tidak berani tampil dan menghindari panampilan selanjutnya.2,3
II.5 Gejala Klinis
65
[Type text]
Fobia sosial merupakan kecemasan berlebih yang merupakan respon terhadap
ketakutan akan pendapat orang lain mengenai dirinya. Orang dengan fobia sosial biasanya
takut tindakannya akan membuat malu. Sama seperti fobia spesifik, fobia sosial mengetahui
dirinya mempunyai kecemasan yang berlebih dan biasanya berusaha menghindar dari
keadaan ini. Contoh dari fobia sosial seperti fobia untuk berbicara di depan umum, takut
menggunakan toilet umum, menulis saat diperhatikan orang lain dan tampil di depan umum.
II.6 Pemeriksaan penunjang
Dengan magnetic resonance imaging (MRI) terlihat adanya penurunan volume
ganglia basalis pada penderita fobia sosial. Ukuran putamen berkurang pads fobia sosial
II.7 Diagnosis
Menurut DSM-IV
Kriteria A
Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau tampil didepan
orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau
menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan berperilaku memalukan atau
menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.
Kriteria B
Apabila pasien terpapar dengan situasi sosial, hampir selalu timbul kecemasan atau bahkan
mungkin serangan panik.
Kriteria C
Pasien menyadari bahwa ketakutannya sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Ketakutan
tersebut tidak merupakan waham atau paranoid.
66
[Type text]
Kriteria D
Pasien menghindar dari situasi sosial atau menghindar untuk tampil di depan umum atau
pasien tetap bertahan pada situasi sosial tersebut tetapi dengan perassan sangat cemas atau
sangat menderita.
Kriteria E
Penghindaran dan kecemasan atau penderitaan akibat ketakutan terhadap situasi sosial atau
tampil di depan umum tersebut mempengaruhi kehidupan pasien secara bermakna atau
mempengaruhi fungsi pekerjaan, aktivitas dan hubungan sosial atau secara subjektif pasien
merasa sangat menderita.
Kriteria F
Untuk yang berusia di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
Kriteria G
Ketakutan atau sikap menghindar tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat atau
kondisi medik umum atau gangguan mental lain (gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, gangaguan dismorfik, gangguan perkembangan prevasif, atau dengan
gangguan kepribadian skizoid).
Kriteria H
Bila terdapat kondisi medik umum atau gangguan mental lain, ketakutan pada kriteria A
tidak berhubungan dengannya (gagap, Parkinson, atau gangguan perilaku makan seperti
bulimia atau anoreksia nervosa) Kriteria A merupakan kunci gejala fobia sosial. Hal yang
penting pada kriteria ini yaitu adanya situasi yang dapat membangkitkan fobia yaitu situasi
yang dinilai atau diamati oleh orang lain dan juga ketakutan akan memperlihatkan
kecemasan atau bertingkah dengan cara yang memalukan.2,3,5
67
[Type text]
Sedangkan berdasarkan PPDGJ - III diagnosis fobia sosial ditegakkan bardasarkan yaitu
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a. gejala psikologis, perilaku atau otonomilk yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atau pikiran obsesif;
b. anxietasnya harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the
family circle); dan
c. menghindari situasi fobik harus atau sudah merupaken gejala yang menonjol
Bile terlalu sulit untuk membedakan antara fobia sosial dengan agorafobaa, hendaknya
diutamakan diagnosa agorafobia.
II.7 Diagnosis Banding
Gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia, dibedakan dengan fobia sosial
karena gangguan panik mempunyai karakteristik yang lebih parah dan tidak dapat diprediksi
timbulnya kapan. Gangguan kepribadian menghindar, hampir sama dengan fobia sosial. Pada
fobia sosial, individu masih dapat bertemu orang walaupun tidak berani saat tampil. Namun,
pada gangguan kepribadian menghindar, individu akan menghindar sebelum bertemu dengan
orang lain. Gangguan psikotik mempunyai ketakutan yang abnormal akan sesuatu.
II.8 Penatalaksanaan
Suatu kombinasi pharmacotherapy dan psikoterapi pada umumnya diberikan untuk
para orang dengan fobia sosial.
Farmakoterapi
68
[Type text]
• Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat menjadi first-
line pengobatan yang baku untuk fobia sosial. Paroxetine menerima pengakuan
badan Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA) untuk indikasi ini pada tahun
1999 dan SSRI yang pertama memperolehnya. Penelitian menyatakan bahwa SSRIS
juga mungkin efektif.
• Benzodiazepines: Benzodiazepines mungkin efektif untuk fobi sosial, tetapi memiliki
profil keselamatan lebih sedikit. Alprazolam Dan Clonazepam telah digunakan
dengan sukses.
• Buspirone: Beberapa studi menyarankan kemanjuran pada penderita fobi sosial.
• Propranolol: Beta-Blockers telah digunakan untuk blok autonomic terhadap
tanggapan dengan fobi sosial. Pencegahan gejala seperti gemetaran peningkatan
detak jantung mendorong kearah sukses didalam menghadapi situasi sosial.
• Monoamine oxidase inhibitors( MAOIS): Phenelzine telah dipertunjukkan untuk bisa
efektif didalam studi. Pembatasan yang berkenaan diet makan mengurangi ketenaran
mereka. Moclobemide, suatu MAOI lebih baru, pasti mempunyai kemanjuran
dengan fobi sosial.
Psikoterapi
Tingkah laku
Psikoterapi tingkah laku, seperti desensitisasi berangsur-angsur, mungkin bermanfaat
terhadap fobi sosial. Teknik ini melibatkan secara berangsur-angsur pasien untuk berada
situasi pada situasi yang secara normal menyebabkan kecemasan. Dengan penguasaan
situasi tanpa kecemasan , pasien secepatnya mampu mentolelir situasi yang yang
sebelumnya membuat cemas.
69
[Type text]
Kognitif
Terapi berorientasi pada pengertian yang mendalam sudah membuktikan bermanfaat fobi
sosial. Individu dengan fobi sosial sering mempunyai penyimpangan kognitif penting
berhubungan dengan orang lain.2,3,4
DAFTAR PUSTAKA
70
[Type text]
1. Kaplan I.H., Social Phobia, in sinopsys of psikiatry, fifth ed., Williams and Wilkins,
london , 322-4
2. Social Phobia, available at : http://www.emedicine.com/ped/topic2660.htm
3. Social Phobia, available at : http://www.nmha.org/pbedu/anxiety/social.cfm
4. Causes of Phobias and causes of panic attacks, available at :
http://www.saviodsilva.net/ph/3.htm
5. DSM-IV & DSM-IV-TR, social phobia, available at :
http://www.ship.edu/~cgboeree/freud.html
71
[Type text]
GENERALIZED ANXIETY DISORDER
2.1 DEFINISI
Gangguan anxietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan
kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan
tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-
hari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama 6
bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-
gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga
menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan
pekerjaan.3
GAD ditandai dengan kecemasan yang berlebihan dan khawatir yang berlebihan
tentang peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-harinya tanpa alasan yang jelas untuk khawatir.
Kecemasan ini tidak dapat dikontrol sehingga dapat menyebabkan timbulnya stres dan
mengganggu aktivitas sehari-hari, pekerjaan dan kehidupan sosial.3
Pasien dengan GAD biasanya mempunyai rasa risau dan cemas yang berlanjut dengan
ketegangan motorik, kegiatan autonomik yang berlebihan, dan selalu dalam keadaan siaga.
Beberapa pasien mengalami serangan panik dan depresi.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi untuk gangguan anxietas menyeluruh 3-8%, dengan prevalensi pada
wanita > 40 tahun sekitar 10%. Rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Onset
penyakit biasanya muncul pada usia pertengahan hingga dewasa akhir, dengan insidens yang
cukup tinggi pada usia 35-45 tahun. GAD merupakan gangguan kecemasan yang paling
sering ditemukan pada usia tua. 1,2
2.3 ETIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan faktor yang diduga menyebabkan
terjadinya gangguan anxietas menyeluruh. Teori-teori tersebut antara lain :
Kontribusi Ilmu Psikologi
72
[Type text]
Tiga teori utama psikologis yaitu psikoanalitik, perilaku, dan eksistensial telah
memberikan kontribusi teori tentang penyebab kecemasan. Teori masing-masing memiliki
kegunaan baik konseptual dan praktis dalam mengobati gangguan kecemasan.4
1. Teori psikoanalitik
Meskipun Freud awalnya diyakini bahwa kecemasan berasal dari penumpukan
fisiologis libido, ia akhirnya merumuskan kembali kecemasan sebagai sinyal adanya
bahaya di bawah sadar. Menanggapi sinyal ini, ego digunakan sebagai mekanisme
pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima yang
muncul ke dalam kesadaran. Dari perspektif psikodinamik, tujuan terapi tidak
diperlukan untuk menghilangkan kecemasan, tapi untuk meningkatkan toleransi
kecemasan, yaitu kemampuan untuk mengalami kecemasan dan menggunakannya
sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik yang mendasari yang telah menciptakannya.
Kecemasan muncul sebagai respon terhadap berbagai situasi selama siklus hidup. 4
Sumber lain dari kecemasan melibatkan anak yang takut kehilangan cinta atau
persetujuan orang tua. Seringkali, sebuah wawancara psikodinamik dapat menjelaskan
tingkat kecemasan yang dialami seorang pasien. Beberapa kecemasan jelas berkaitan
dengan konflik pada beberapa tingkat perkembangan yang bervariasi.4
2. Teori Perilaku
Teori-teori perilaku adalah respon terkondisi terhadap rangsangan lingkungan
tertentu. Dalam model pengkondisian klasik, seorang gadis dibesarkan oleh seorang
ayah yang kasar, misalnya, dapat menjadi cemas segera setelah ia melihat ayahnya
yang kasar. Dalam model pembelajaran sosial, seorang anak dapat mengembangkan
respon kecemasan dengan meniru kecemasan di lingkungan, seperti orang tua cemas.4
3. Teori eksistensial
Teori kecemasan eksistensial menyediakan model untuk kecemasan umum, di
mana tidak ada stimulus khusus yang diidentifikasi untuk rasa cemas yang sifatnya
kronis. Kekhawatiran eksistensial tersebut dapat meningkat sejak pengembangan
senjata nuklir dan bioterorisme.4
Teori kognitif-perilaku
73
[Type text]
Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman, disebabkan
oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal yang negative pada lingkungan, adanya distorsi
pada pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negative terhadap kemampuan diri
untuk menghadapi ancaman.2,4
Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien GAD dan
gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama
penderita GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan
kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.2,4
Kontribusi Ilmu Biologi
1. Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu contoh pada
sistem kardiovaskular (misalnya, takikardia), otot (misalnya, sakit kepala),
pencernaan (misalnya, diare), dan pernapasan (misalnya, takipnea).4
2. Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan dengan dasar dari
studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin (NE), serotonin,
dan gama-ainobutyric acid (GABA). Salah satu eksperimen untuk mempelajari
kecemasan adalah tes konflik, di mana hewan secara bersamaan disajikan dengan
rangsangan yang positif (misalnya makanan) dan negatif (misalnya, sengatan listrik).
Anxiolytic narkoba (misalnya benzodiazepin) cenderung memfasilitasi adaptasi
hewan untuk situasi ini, sedangkan obat lain (misalnya, amfetamin) lebih lanjut
mengganggu respon perilaku hewan.4
3. Norepinefrin
Gejala kronis yang dialami oleh pasien dengan gangguan kecemasan, seperti
serangan panik, insomnia, terkejut, dan hyperarousal otonom, merupakan karakteristik
fungsi noradrenergik yang meningkat. Itu teori umum tentang peranan norepinefrin
pada gangguan kecemasan dimana pasien yang terkena mungkin memiliki sistem
noradrenergik yang buruk. Badan sel dari sistem noradrenergik terutama terlokalisasi
74
[Type text]
pada lokus seruleus di pons rostral, dan mereka memproyeksikan akson mereka ke
korteks otak, sistem limbik, batang otak, dan sumsum tulang belakang. Percobaan
pada primata telah menunjukkan bahwa stimulasi dari lokus seruleus menghasilkan
respon ketakutan pada hewan dan bahwa ablasi dari daerah yang sama atau sama
sekali menghambat menghambat kemampuan hewan untuk membentuk respon
ketakutan.4
Studi pada manusia telah menemukan bahwa pada pasien dengan gangguan
panik, agonis reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol [Isuprel]) dan adrenergik
antagonis reseptor (misalnya, yohimbine [Yocon]) dapat memicu serangan panik yang
sering dan cukup parah. Sebaliknya, clonidine (Catapres), sebuah beta 2-reseptor
agonis, mengurangi gejala kecemasan dalam beberapa situasi eksperimental dan
terapeutik. Temuan yang kurang konsisten adalah bahwa pasien dengan gangguan
kecemasan, terutama gangguan panik, memiliki cairan serebrospinal tinggi (CSF) atau
tingkat urin metabolit noradrenergik 3-metoksi-4-hydroxyphenylglycol (MHPG).4
4. Serotonin
Identifikasi jenis reseptor serotonin telah mendorong pencarian untuk peran
serotonin dalam patogenesis gangguan kecemasan. Berbagai hasil test pada stres akut
menunjukkan omset 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang meningkat pada korteks
prefrontal, amigdala, dan hipotalamus lateral. Kepentingan dalam hubungan ini pada
awalnya didorong oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek
terapi dalam beberapa gangguan kecemasan misalnya, clomipramine (Anafranil) di
OCD. Efektivitas buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-HT1A agonis reseptor, dalam
pengobatan gangguan kecemasan juga menunjukkan kemungkinan adanya hubungan
antara serotonin dan kecemasan. Badan sel neuron serotonergik kebanyakan terletak
di inti raphe di batang otak dan sel – sel yang menuju ke korteks, sistem limbik
(khususnya amigdala dan hippocampus), dan hipotalamus. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa meta-chlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik, dan
fenfluramine (Pondimin), yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan
kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan, dan banyak laporan
menunjukkan bahwa serotonergik halusinogen dan stimulansia misalnya, asam
diethylamide lysergic (LSD) dan 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA)
75
[Type text]
terkait dengan perkembangan gangguan kecemasan akut dan kronis pada orang yang
menggunakan obat ini.4
5. GABA
Peran GABA pada gangguan kecemasan sebagai contoh penggunaan golongan
benzodiazepin, yang meningkatkan aktivitas GABA pada jenis reseptor GABA A
(GABAA), dalam pengobatan beberapa jenis gangguan kecemasan. Meskipun
potensinya rendah, benzodiazepin adalah obat yang paling efektif untuk mengatasi
gejala dari gangguan kecemasan umum, potensi tinggi obat – obat golongan
benzodiazepin, seperti alprazolam (Xanax), dan clonazepam efektif dalam pengobatan
gangguan panik. Sebuah antagonis benzodiazepin, flumazenil (Romazicon),
menyebabkan serangan panik sering berat pada pasien dengan gangguan panik. Data
ini telah membawa para peneliti berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan
gangguan kecemasan memiliki fungsi abnormal dari reseptor GABAA mereka,
meskipun hubungan ini belum terbukti secara langsung.4
6. Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis
Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa banyak bentuk stres psikologis
meningkatkan sintesis dan pelepasan kortisol. Kortisol berfungsi untuk memobilisasi
dan untuk melengkapi penyimpanan energi dan kontribusi untuk gairah meningkat,
kewaspadaan, perhatian terfokus, dan pembentukan memori; penghambatan
pertumbuhan dan sistem reproduksi, dan penahanan dari respon kekebalan. Sekresi
kortisol yang berlebihan dan berkelanjutan dapat memiliki efek samping yang serius,
termasuk hipertensi, osteoporosis, imunosupresi, resistensi insulin, dislipidemia,
dyscoagulation, dan, akhirnya, aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular.4
7. Corticotropin-releasing hormone (CRH)
Salah satu mediator yang paling penting dari respon stres, CRH
mengkoordinasikan perubahan perilaku dan fisiologis adaptif yang terjadi selama
stres.Tingkat CRH di hipotalamus meningkat pada orang dengan stres,
mengakibatkan aktivasi dari sumbu HPA dan meningkatkan pelepasan kortisol dan
dehydroepiandrosterone (DHEA). CRH juga menghambat berbagai fungsi
neurovegetative, seperti asupan makanan, aktivitas seksual, dan program endokrin
untuk pertumbuhan dan reproduksi.4
76
[Type text]
8. Aplysia
Sebuah model neurotransmitter untuk gangguan kecemasan berdasarkan pada
studi Aplysia di californica, yang dilakukan oleh pemenang Hadiah Nobel Eric
Kandel. Aplysia adalah siput laut yang bereaksi terhadap bahaya dengan menghindar,
menarik diri ke dalam cangkangnya. Perilaku ini dapat dikondisikan secara klasik,
sehingga siput merespon stimulus netral seolah-olah itu stimulus berbahaya. Siput
juga bisa menjadi peka dengan guncangan acak, sehingga menunjukkan respon
walaupun dengan tidak adanya bahaya nyata. Aplysia klasik dikondisikan
menunjukkan perubahan terukur dalam fasilitasi presynaptic, sehingga terjadi
peningkatan pelepasan jumlah neurotransmitter. Meskipun siput laut adalah hewan
sederhana, karya ini menunjukkan pendekatan eksperimental untuk proses neurokimia
kompleks yang berpotensi terlibat dalam gangguan kecemasan pada manusia.4
9. Neuropeptida Y
Neuropeptide Y (NPY) adalah asam amino peptida, yang merupakan salah
satu peptida yang paling berlimpah ditemukan di otak mamalia.Bukti yang
menunjukkan keterlibatan amigdala dalam efek ansiolitik NPY yang kuat, dan
mungkin terjadi melalui reseptor NPY-Y1. NPY memiliki efek regulasi counter pada
sistem CRH dan LC-NE di lokasi otak yang penting dalam ekspresi kecemasan,
ketakutan, dan depresi.4
10. Galanin
Galanin adalah polipeptida yang pada manusia ditemukan mengandung 30
asam amino. Galanin telah terbukti terlibat dalam sejumlah fungsi fisiologis dan
perilaku, termasuk belajar dan memori, mengontrol rasa sakit, asupan makanan,
kontrol neuroendokrin, regulasi kardiovaskular, dan terakhir kecemasan. Sebuah
galanin immunoreactive padat serat sistem yang berasal dari LC innervasi otak depan
dan struktur otak tengah, termasuk hippocampus, hipotalamus, amigdala, dan korteks
prefrontal.4
2.4 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dinilai dari 2 hal, yaitu gejala somatik dan gejala psikologik.
77
[Type text]
1. Gejala somatik3
• Gemetar
• Nyeri punggung dan nyeri kepala
• Ketegangan otot
• Napas pendek, hiperventilasi
• Mudah lelah, sering kaget
• Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia, palpitasi, tangan rasa
dingin, diare, mulut kering, sering kencing)
• Parestesia
• Sulit menelan
2. Gejala psikologik3
• Rasa takut yang berlebihan dan sulit untuk dikontrol
• Sulit konsentrasi
• Insomnia
• Libido menurun
• Rasa mual di perut
• Hipervigilance (siaga berlebih)
Gangguan anxietas menyeluruh juga memiliki pengaruh terhadap tekanan darah. Ada
dua faktor yang paling berpengaruh pada tekanan darah, yaitu curah jantung (cardiac output)
dan tahanan perifer (peripheral resistance). Anxietas akan merangsang respon hormonal dari
hipotalamus yang akan mengsekresi CRF ( Cortisocoprin- Releasing Factor) yang
menyebabkan sekresi hormon-hormon hipofise. Salah satu dari hormon tersebut adalah
ACTH (Adreno- Corticotropin Hormon). Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal
untuk mengsekresi kortisol ke dalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortisol dalam darah
akan mengakibatkan peningkatan renin plasma, angiotensin II dan peningkatan kepekaan
pembuluh darah terhadap katekolamin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan
78
[Type text]
sebagai pusat dari system saraf otonom. Sistem ini terbagi atas sistem simpatis dan sistem
parasimpatis. Pada anxietas terjadi sekresi adrenalin berlebihan yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, sedanngkan pada anxietas yang sangat berat dapat terjadi reaksi
yang dipengaruhi oleh komponen parasimpatis sehingga akan mengakibatkan penurunan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Pada kecemasan yang kronis, kadar adrenalin
terus meninggi, sehingga kepekaan terhadap rangsangan yang lain berkurang dan akan
terlihat tekanan darah meninggi. Pada gangguan anxietas menyeluruh yang terutama
berperan adalah neurotransmiter serotonin. Pada saat ini telah diidentifikasi tiga reseptor
serotonin, yaitu : 5-hidroksitriptamin 1 (5-HT1), 5-HT2 dan 5-HT3. Menurut Kabo reseptor
5-HT1 bersifat sebagai inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan reseptor 5-HT3 bersifat
sebagai eksitator. Menurut Gothert, aktivasi reseptor 5-HT1 akan mengurangi kecemasan
sedangkan aktivasi reseptor 5-HT2 akan meningkatkan tekanan darah.5
2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik gangguan anxietas menyeluruh menurut DSM IV-TR :
a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari,
sepanjanghari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau
kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
c. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini
(dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi
selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya satu nomor yang diperlukan pada anak :
1. Kegelisahan
2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan
tidakmemuaskan)
79
[Type text]
d. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I, misalnya
kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu serangan panik (seperti
pada gangguan panik), merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia sosial),
terkontaminasi (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau
sanak saudara dekat (seperti gangguan anxietas perpisahan), penambahan berat badan
(seperti pada anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda (seperti pada
gangguan somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada hipokondriasis) serta
kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama gangguan stres pasca
trauma.
e. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
f. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya
hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood, gangguan
psikotik, atau gangguan perkembangan pervasif.6
Penegakan diagnosis gangguan anxietas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai berikut:
• Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap
hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”)
• Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
(a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dan sebagainya);
(b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
(c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar,
sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dan sebagainya).
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol.
80
[Type text]
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan anxietas
fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).3
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Gangguan anxietas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi medis
umum maupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan zat.Diperlukan pemeriksaan
medis termasuk tes kimia darah, elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus
menyingkirkan adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat atau
obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif dan anxiolitik.2
Kelainan neurologis, endokrin, metabolik dan efek samping pengobatan pada
gangguan panik harus dapat dibedakan dengan kelainan yang terjadi pada gangguan anxietas
menyeluruh. Selain itu, gangguan anxietas menyeluruh juga dapat didiagnosis banding
dengan fobia, gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan
gangguan stres post-trauma.2
• Fobia
Pada fobia, kecemasan terjadi terhadap objek/hal tertentu yang jelas (dari luar individu
itu sendiri) yang sebenarnya tidak membahayakannya. Sebagai akibat, obyek atau situasi
tersebut akan dihindarinya atau dihadapi dengan rasa terancam.2
• Gangguan obsesif kompulsif
Obsesif adalah gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul di dalam pikiran secara
berulang, sangat mengganggu dan pasien tidak mampu untuk menghentikannya. Pikiran
yang muncul ini biasanya tidak dikehendaki, menimbulkan penderitaan, menakutkan
atau membahayakan. Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan tindakan
berulang-ulang (kompulsi) untuk menghilangkan kecemasannya.2
• Hipokondriasis
Pada hipokondriasis maupun somatisasi, pasien merasa cemas terhadap penyakit serius
ataupun gejala-gejala fisik yang menurut pasien dirasakannya dan berusaha datang ke
81
[Type text]
dokter untuk mengobatinya, sedangkan pada GAD, pasien merasakan gejala-gejala
hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari kecemasan yang dirasakannya.2
• Gangguan stres pasca trauma
Pada gangguan stres pasca trauma, kecemasan berhubungan dengan suatu peristiwa
ataupun trauma yang sebelumnya dialami oleh pasien, sedangkan pada GAD kecemasan
berlebihan berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.2
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine dimulai dengan dosis
terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Pengguanaan sediaan
dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek
yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan
masa tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek
anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 5-10 mg (im/iv),
broadspectrum
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-insomnia.
Lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan
ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-insomnia
berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, psychomotor
performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang
masih ingin tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-insomnia
berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
82
[Type text]
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas tipe
antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-
depresi.
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih efektif dalam
memperbaiki gejala kognitif disbanding gejala somatik. Tidak menyebabkan
withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10 mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya
baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah
menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik dengan
Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara Benzodiazepin dengan
Buspiron kemudian dilakukan tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat
efek terapi Buspiron sudah mencapai maksimal.4,7
2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana proses kognisi
akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir,
merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi
berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan mengubah arus
pikiran dan perasaan, klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif
menjadi positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak pasien
menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang
bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Pendekatan
kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang
digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.8
b. Terapi suportif
83
[Type text]
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan
belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi
sosial dan pekerjaannya.2,4
c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar,
menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan
komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh
mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal
kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.2,4
2.8 PROGNOSIS
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin
berlangsung seumur hidup. Prognosis dipengaruhi oleh usia, onset, durasi gejala dan
perkembangan komorbiditas gangguan cemas dan depresi. Terjadinya beberapa peristiwa
negatif dalam kehidupan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan cemas
menyeluruh. Menurut definisinya, gangguan kecemasan umum adalah suatu keadaan kronis
yang mungkin seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik,
juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.9
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu diingat bahwa
banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini berhubung dengan dinamika terjadinya
gangguan cemas serta terapinya yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan
penderita, dan dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan prognosis
gangguan cemas menyeluruh.1,4,9
Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya telah menunjukkan
kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau dalam interaksi sosialnya, maka
prognosisnya lebih baik daripada penderita yang sebelumnya banyak menemui kesulitan
dalam pergaulan, kurang percaya diri, dan mempunyai sifat tergantung pada orang lain.
Kematangan kepribadian juga dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam menanggapi
kenyataan, pengendalian diri dalam memadukan keinginan-keinginan pribadi dengan tuntutan
masyarakat, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semakin matang kepribadian
premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh semakin baik.
84
[Type text]
Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi pada gangguan
kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih baik. Demikian pula dengan
situasi tempat pengobatan, semakin pasien merasa nyaman dan cocok dengan situasinya,
maka hasilnya akan lebih baik dan akan mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya
dilakukan sebelum gejala-gejala menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan
sampingan misalnya untuk mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan dari
tanggung jawabnya. Jika gejala-gejala sudah merupakan alat untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan tersebut, maka kemauan pasien untuk sembuh berkurang dan prognosis akan
menjadi lebih jelek.
Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh. Jika
stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan cemas menyeluruh relatif ringan, maka
prognosis akan lebih baik karena penderita akan lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat
dari lingkungan hidup penderita, sikap orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh terhadap
prognosis. Sikap yang mengejek akan memperberat penyakitnya, sedangkan sikap yang
membangun akan meringankan penderita. Demikian juga peristiwa atau masalah yang
menimpa penderita misalnya kehilangan orang yang dicintai, rumah tangga yang kacau,
kemunduran finansial yang besar akan memperjelek prognosisnya.4,9
85
[Type text]
Daftar Pustaka
1. Zieve , David. 2012. Generalized Anxiety Disorder. Available at :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001915/. Accessed on: December, 3rd
2014
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binarupa aksara; 2010. p.76-83
3. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI. Pendoman Penggolongan Dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta. Departemen kesehatan;
1993.p.179-180
4. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Generalized Anxiety Disorder in :
Kaplan & Sadock’s of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th
Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007. p. 623-7
5. Generalized Anxiety Disorder. Available at: http://www.patient.co.uk/health/Anxiety-
Generalised-Anxiety-Disorder.htm. Accessed on: December, 3rd 2014
6. American Psychiatric Association. Diagnosis criteria from DSM IV. Washington, DC.
American Psychiatric Association Publisher. 1994.p. 213-214
7. Smith M. Theraphy for anxiety disorder. Available at :
http://www.helpguide.org/mental/anxiety_theraphy.htm. Accessed on: December, 3rd
2014
8. Richard AT. Cognitive behaviourd theraphy for anxiety. Available at :
http://www.anxietynetwork.com. Accessed on: December, 3rd 2014
9. Jack S. prognosis for generalised anxiety disorder. Available at:
http://www.onlymyhealth.com/what-prognosis-generalised-anxiety-disorder-
12977616527. Accessed on: December, 3rd 2014
86
[Type text]
OBSESIF-KOMPULSIF DISORDER
I.PENDAHULUAN
Gangguan obsesif-kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang berulang yang
menghabiskan waktu yang menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna.(1)
Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang berulang.
Sedangkan kompulsi adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan disadari seerti
menghitung, memeriksa, dan menghindar. Tindakan kompulsi merupakan usaha untuk
meredakan kecemasan yang berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil
meredakan ketegangan. Pasien dengan gangguan ini menyadari bahwa pengalaman obsesi
dan kompulsi tidak beralasan sehingga bersifat egodistonik. (1)
II.EPIDEMIOLOGI
Tingkat prevalensi pada umumnya diperkirakan 2 sampai 3% di Amerika Serikat, meskipun
prevalensi bisa sedikit lebih rendah dalam beberapa sub kelompok etnis daratan, termasuk
Amerika dan Afrika. Sejumlah peneliti memperkirakan bahwa gangguan ini ditemukan pada
sebanyak 10% pasien rawat jalan di klinik psikiatri. Gambaran ini membuat OCD menjadi
diagnosis psikiatri keempat terbanyak setelah fobia, gangguan terkait zat, dan gangguan
depresif berat.(2)
Sebagian besar gangguan dialami pada saat remaja atau dewasa muda dengan umur berkisar
18 hingga 24 tahun.(1)
III.ETIOLOGI
a.Faktor biologi Neurotransmitter
a)Sistem serotonergik Banyak uji klinis obat yang telah dilakukan untuk mendukung
hipotesis bahwa disregulasi serotonin terlibat dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi
dalam gangguan ini. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan
obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lainnya, tetapi keterlibatan serotonin
sebagai penyebab OCD belum jelas. Studi klinis telah menganalisis konsentrasi metabolit
87
[Type text]
serotonin (misalnya, 5-hydroxyindoleacetic asam [5-HIAA]) dalam cerebrospinal fluid (CSF)
serta afinitas dan jumlah ikatan trombosit dari imipramine yang telah dititrasi (Tofranil), yang
berikatan dengan reuptake serotonin, dan melaporkan temuan pada pasien dengan OCD.( 1)
b) Sistem noradrenergik
Saat ini, ada sedikit bukti yang ada untuk disfungsi dalam sistem noradrenergik pada OCD.
Laporan yang tidak resmi menunjukkan beberapa perbaikan dalam gejala OCD dengan
penggunaan clonidine oral (Catapres), obat yang mengurangi jumlah norepinefrin dilepaskan
dari ujung saraf presynaptic.(1)
b. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori pembelajaran, obsesi adalah stimulus yang dipelajari. Sebuah stimulus
yang relatif netral dikaitkan dengan rasa takut atau kecemasan melalui proses pembelajaran
responden, yaitu dengan memasangkan stimulus netral dengan peristiwa berbahaya atau
menimbulkan kecemasan. Dengan demikian, objek dan pikiran yang sebelumnya netral
mampu mencetuskan kecemasan atau ketidaknyamanan.
Kompulsi yang dibentuk dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menemukan bahwa
beberapa tindakan dapat mengurangi kecemasan yang melekat pada pikiran obsesif. (1)
IV. GAMBARAN KLINIS
Obsesi dan kompulsi memiliki ciri tertentu yang sama . Suatu gagasan atau impuls masuk ke
dalam kesadaran seseorang secara menetap. Perasaan takut dan cemas menyertai manifestasi
utama dan sering menyebabkan orang mengambil tindakan balasan terhadap gagasan atau
impuls awal. Obsesi atau kompulsi merupakan ego-alien; yaitu dirasakan sebagai sesuatu
yang asing bagi pengalaman diri sebagai makhluk psikologis. Tidak peduli sedemikian kuat
dan memaksanya obsesi atau kompulsi, orang tersebut biasanya mengenalinya sebagai
sesuatu yang aneh dan tidak rasional. Kadang-kadang pasien terlalu menilai lebih obsesi dan
kompulsi. Misalnya, seorang pasien dapat memaksa bahwa kebersihan kompulsif secara
moral adalah benar walaupun ia dapat kehilangan pekerjaan karena waktu dihabiskan untuk
membersihkan.(4)
Dalam sebuah studi oleh Baer pada tahun 1994, gejala OCD dibagi menjadi tiga kelompok:5
a. obsesi simetri dan akurasi sangat berkorelasi dengan perintah dan dorongan dengan sedikit
pengulangan dan akumulasi ritual – namun obsesi penimbunan yang lemah berhubungan
dengan obsesi dengan simetri sangat berhubungan dengan akumulasi dorongan sedikit dan
pemesanan ritual.
b. Obsesi kontaminasi dengan dorongan pembersihan yang berkorelasi, seperti yang
88
[Type text]
diharapkan tapi mengejutkan. Mengingat perbedaan klinis antara pembersih dan wanita,
obsesi ini juga sedikit berkorelasi dengan kinerja ritual;
c. Seksual dan obsesi agama agak berkorelasi, dan dalam kelompok dengan obsesi agresif.
V. DIAGNOSIS
Pedoman diagnostik berdasarkan PPGDJ-III :7
• Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-
duanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut.
• Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menganggu aktivitas penderita.
• Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
b) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
c) Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan untuk merupakan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas,
tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas);
d) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak
menyenagkan (unpleasantly repetitive).
• Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. Penderita
gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya
penderita gangguan depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif
selama episode depresifnya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif
umumnya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-
gejala yang timbul lebih dulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakan hanya bila tidak ada gangguan depresi pada
saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai
diagnosis yang pirmer.
Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat
gejala yang lain menghilang.
• Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau
gangguan mental organic, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
89
[Type text]
Adapun kriteria diagnostic OCD yang lain adalah DSM-IV-TR yang memungkinkan klinisi
merinci apakah pasien memiliki OCD tipe tilikan yang buruk jika mereka umumnya tidak
menyadari obsesi dan kompulsinya berlebihan.(3)
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Obsesif Kompulsif :
A. Salah satu obsesi atau kompulsif
Obsesi didefinisikan sebagai berikut :
1. Pikiran, impuls atau bayangan yang pernah dialami yang berulang dan menetap yang
intrusive dan tidak serasi, yang menyebabkan ansietas dan distress, yang selama periode
gangguan.
2. Pikiran, impuls atau bayangan bukan ketakutan terhadap problem kehidupan yang nyata.
3. Indvidu berusaha untuk mengabaikan dan menekan pikiran, impuls atau bayangan atau
menetralisir dengan pikiran lain dan tindakan.
4. Individu menyadari bahwa pikiran, impuls, bayangan yang berulang berasal dari
pikirannya sendiri (tidak disebabkan factor luar atau pikiran yang disisipkan)
Kompulsi didefinisikan oleh (1) dan (2) :
1. Perilaku yang berulang (misalnya: cuci tangan, mengecek) atau aktifitas mental (berdoa,
menghitung, mengulang kata tanpa suara) yang individu merasa terdorong melakukan dalam
respon dari obsesinya, atau sesuai aturan yang dilakukan secara kaku.
2. Prilaku atau aktifitas mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan distress atau
mencegah kejadian atau situasi; walaupun perilaku atau aktifitas mental tidak berhubungan
dengan cara realistic untuk mencegah atau menetralisir.
B. Pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit, individu menyadai bahwa obsesi dan
kompulsi berlebihan dan tidak beralasan. Catatan: keadaan ini tidak berlaku pada anak.
C. Obsesi dan kompulsi menyebakan distress, menghabiskan waktu (membutuhkan waktu
lebih dari satu jam perhari) atau menganggu kebiasaan, fungsi pekerjaan atau akademik atau
aktifitas social.
D. Bila ada gangguan lain pada aksis I, isi dari obsesi dan kompulsi tidak terkait dengan
gangguan tersebut.
E. Gangguan tidak disebabkan efek langsung dari penggunaan zat (misalnya penyalahgunaan
zat,obat) atau kondisi medis umum.
Dengan tilikan buruk: jika untuk sepanjang episode individu tidak menyadari bahwa obsesi
dan kompulsinya berat dan tidak beralasan.
90
[Type text]
VI. DIAGNOSIS BANDING
– Keadaan Medis
Persyaratan diagnostic DSM-IV-TR pada distres pribadi dan gangguan fungsional
membedakan OCD dengan pikiran dan kebiasaan yang sedikit berlebihan atau biasa.
Gangguan neurologis utama dipertimbangkan dan diagnosis banding adalah gangguan
Tourette, gangguan “tic” lainnya, epilepsy lobus termporalis dan kadang-kadang-kadang
trauma serta komplikasi pascaensefalitis. (4,5,7)
– Gangguan Tourette
Gejala khas gangguan Tourette adalah tik motorik dan vocal yang sering terjadi gejala
bahkan setiap hari. Gangguan Tourete dan OCD memiliki awitan dan gejala yang serupa.
Sekitar 90 peresen orang dengan gangguan Tourette memiliki gejala kompulsif dan sebanyak
dua pertiga memenuhi kriteria diagnostik OCD.(4,9)
– Keadaan Psikiatri lain
Keadaan psikiatri lain yang dapat terkait erat dengan OCD adalah hipokondriasi, gangguan
dismorfik tubuh, dan mungkin gangguan pengendalian impuls lain, seperti kleptomania dan
judi patlogis. Pada semua gangguan ini, pasien memiliki berulang (contohnya kepedulian
akan tubuh) atau perilaku berulang (contohnya mencuri). (4)
VII. PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS
Lebih dari separuh pasien dengan OCD memiliki awitan gejala yang mendadak. Awitan
gejala untuk sekitar 50 hingga 70 persen pasien terjadi setelah peristiwa yang penuh tekanan,
seperti kehamilan, masa seksual, atau kematian kerabat. Karena banyak orang tetap
merahasiakan gejalanya, sering terdapat penundaan 5 hingga 10 tahun sebelum pasien datang
untuk mendapatkan perhatian psikiatri, walaupun penundaan mungkin memendek dengan
meningkatnya keaspadaan terhadap gangguan ini. Sekitar 20-30 pasien mengalami perbaikan
gejala yang signifikan dan 40 hingga 50 persen mengalami perbaikan sedang. Sisa 20 sampai
40 persen tetap sakit atau mengalami perburukan gejala.
VIII. TERAPI
1. Psikoterapi
Psikoterapi suportif secara pasti memiliki tempat, terutama pada pasien OCD yang walaupun
gejalanya memiliki keparahan yang beragam, mampu bekerja dan melakukan penyesuaian
sosial. Dengan kontak regular dan terus-menerus dengan orang yang professional, tertarik,
simpatik, dan member semangat, pasien mungkin mampu berfungsi dengan bantuan ini.
91
[Type text]
Kadang-kadang ketika obsesional dan anxietas mencapai intensitas yang tidak dapat
ditoleransi, pasien perlu dirawat inap sampai tempat singgah di institusi dan penjauhan dari
stress lingkungan mengurangi gejala hingga tingkat yang dapat ditoleransi.(4,6)
2. Farmakologi
Efektivitas farmakoterapi terhadap OCD terbukti melalui banyaknya percobaan klinis.
Pendekatan standarnya adalah memulai dengan SSRI atau clomipramine dan kemudian
berpindah strategi farmakologis lain jika obat spesifik serotonin tidak efektif.
– Selective Serotonine Reuptake Inhibitor. SSRI telah disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi OCD. Dosis yang lebih tinggi sering diperlukan untuk
memberikan efek yang lebih menguntungkan, seperti fluoxetin 80 mg perhari. Walaupun
SSRI menyebabkan gangguan tidur, mual dan diare, sakit kepala, anxietas dan kegelisahan.
Efek samping ini sering sementara dan umumnya tidak menyulitkan daripada efek samping
obat trisiklik seperti clomipramine. Hasil klinis terbaik didapatkan ketika SSRI
dikombinasikan dengan terapi perilaku.
– Clomipramine, adalah obat pertama yang disetujui U.S FDA untuk terapi OCD.
Penggunaan dosisnya harus dititrasi meningkat selama 2 hingga 3 minggu untuk menghindari
efek samping gastrointestinal dan hipotensi ortostatik. Obat ini juga menimbulkan sedasi dan
efek kolinergik yang bemakna, termasuk mulut kering dan konstipasi. Seperti SSRI, hasil
terbaik bersal dari kombinasi obat dengan terapi perilaku.
3. Terapi Perilaku
Walaupun sedikit perbandingan satu persatu yang telah dilakukan, terapi perilaku sama
efektifnya dengan farmakoterapi pada OCD, dan sejumlah data menunjukkan bahwa efek
menguntungkan bertahan lama dengan adanya terapi perilaku. Dengan demikian, banyak
klinisi mempertimbangkan terapi perilaku sebagai terapi pilihan OCD. Terapi perilaku dapat
dilakukan di lingkungan rawat jalan dan rawat inap. Pendekatan perilaku yang penting di
dalam OCD adalah pajanan dan pencegahan respons. Desensitasi, penghentian pikiran,
pembanjiran, terapi implosi dan aversive conditioning juga telah digunakan pada pasien
OCD. Di dalam terapi perilaku, pasien harus benar-benar berkomitmen terhadap perbaikan.( 4)
IX. KESIMPULAN
Obsesif kompulsi terbagi atas dua yaitu obsesif dan kompulsi. Sebuah obsesi adalah pikiran
berulang dan mengganggu, perasaan,dan ide Kompulsi adalah perilaku yang berulang,
disengaja atau tindakan mental orang yang merasa dipaksa untuk melakukan, biasanya
dengan sebuah keinginan untuk melawan (misalnya mencuci tangan). Diantara orang dewasa,
92
[Type text]
laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung terkena, tetapi diantara remaja, laki-laki lebih
lazim terkena daripada perempuan. Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki
memiliki usia sedikit lebih awal (laki-laki sekitar 19 tahun) daripada perempuan (sekitar 22
tahun).. Etiologi gangguan obsesif-kompulsif yaitu factor biologi (Neurotransmitter: Sistem
noradrenergik dan Sistem serotonergik) dan faktor perilaku. Obsesi atau kompulsi merupakan
ego-alien; yaitu dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pengalaman diri sebagai makhluk
psikologis. Tidak peduli sedemikian kuat dan memaksanya obsesi atau kompulsi, orang
tersebut biasanya mengenalinya sebagai sesuatu yang aneh dan tidak rasional. Kadang-
kadang pasien terlalu menilai lebih obsesi dan kompulsi. Misalnya, seorang pasien dapat
memaksa bahwa kebersihan kompulsif secara moral adalah benar walaupun ia dapat
kehilangan pekerjaan karena waktu dihabiskan untuk membersihkan. Diagnosis gangguan
obsesif-kompulsif berdasarkan PPGDJ-III. Terapi dapat berupa psikoterapi suportif,
farmakologi, dan terapi perilaku.
93
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, SD. Hadisukanto, G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2010
2. Ebert.M H. Current Diagnosis & Treatments in Psychiatry . McGraw-Hill’s Acces
Medicine: 2005
3. Sadock.BJ, Sadock. VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2007
4. Sadock, Benjamin. Buku Ajar Psikiatri Klinis ed. 2. Jakarta: 2009
5. Anonym. Symptom of OCD- Stanford university. Available from : www.ocd.stanford.edu.
6. McLean, PD. Woody, S.R. Anxiety Disorder in Adults. Oxford University Press: 2001
7. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPGDJ-III.
Jakarta:2003
8. Paige, LZ. Obsessive-Compulsive Disorder. Principal Leadership : September 2007
9. Mckay, Dean. Taylor, Steven. Abramowitz, JS. Obsessive-compulzive Disorder vol 374 :
August 2009
94
[Type text]
GANGGUAN STRES AKUT
2.1 Definisi
Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah kondisi psikologis
yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari sebuah
peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau saksi suatu peristiwa yang
menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut,
stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius, dirasakan
cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau kematian. Gangguan stres akut adalah
variasi dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran dan tubuh terhadap
perasaan (baik yang dirasakan dan nyata) yang intens ketidakberdayaan.1
2.2 Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar 8% sementara 5-
15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma
sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%)
dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda.
2.3 Etiologi
Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau saksi suatu
peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak
terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam,
cedera serius, atau kematian.
Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan
gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual,
faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan
yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan
apakah gangguan akan berkembang, yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
95
[Type text]
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian
perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi
emosional.1
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka menyertakan sebuah
keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa penyempitan bidang kesadaran dan
penyempitan perhatian, ketidakmampuan untuk memahami rangsangan, dan disorientasi.
Keadaan ini dapat diikuti baik oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau dengan
agitasi dan overeaktifitas. Tanda-tanda panik otonom kecemasan (takikardia, berkeringat,
kemerahan) yang umumnya hadir. Gejala biasanya muncul dalam beberapa menit dari
dampak dari stres rangsangan atau aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari
(seringkali dalam beberapa jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada.
Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi,
merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau
mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia
disosiatif). Peristiwa traumatik yang dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya salah
satu dari cara berikut: berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik, atau rasa
menghidupkan kembali pengalaman atau penderitaan pemaparan pada pengingat dari
peristiwa traumatik.1
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut :2
1. Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah
beberapa menit atau segera setelah kejadian.
2. Selain itu ditemukan gejala-gejala :
96
[Type text]
a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah;
selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal
berikut dapat terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa, overaktif,
dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi
gambaran klinisnya untuk waktu yang lama.
b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya, gejala
dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal di
mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-
gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir
menghilang setelah 3 hari.
3. Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik
lainnya.
4. Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan
dalam terjadinya atau beratnya suatu gangguan stres akut.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV adalah sebagai
berikut:3
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
ditemukan:
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri
atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,
individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi.
2. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan
tidak sadar)
3. derealisasi
97
[Type text]
4. depersonalisasi
5. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut:
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat
kejadian traumatik.
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,
pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur,
iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan,
dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi
dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Gangguan tidak disebabkan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi
gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku
menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang
dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publikasi yang luas
dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus
juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
2.6 Diagnosis Banding
1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat
traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan,
bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri
98
[Type text]
dari pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan
(waking through), penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan
(hyperarousal) yang persisten. Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress
akut dengan PTSD adalah lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress
akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari
1 bulan.4
2. Gangguan Panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan
tidak diperkirakan. Gangguan panik ini sering disertai dengan adanya agoraphobia
yaitu ketakutan berada sendirian di tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat
ke rumah sakit dengan keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di
lantai tempat kerjanya sehingga hal ini mendukung adanya suatu serangan panic yang
spontan. Selain itu, pasien juga menghindari tempat-tempat umum atau transportasi
umum.
2.7 Penatalaksanaan
Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin berkembang menjadi
gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil Creamer, O'Donnell dan Pattison's
(2004) penelitian terhadap 363 pasien menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut
hanya memiliki validitas prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa
pengalaman kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor PTSD. Obat dapat
digunakan untuk jangka waktu yang sangat singkat (sampai empat minggu)
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas konseling dan
psikoterapi bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku kognitif yang mencakup eksposur
dan restrukturisasi kognitif ternyata efektif dalam mencegah PTSD pada pasien yang
didiagnosis dengan klinis ASD dengan hasil yang signifikan pada 6 bulan follow-up.
Kombinasi relaksasi, restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih
unggul untuk mendukung konseling.5
99
[Type text]
2.8 Prognosis
Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke gangguan lain (biasanya
PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai dengan spesifikasi yang terjadi pada
gangguan.1
100
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI. Sadock BJ.Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical
Psychiatry.10th ed.New York: Lippincot Williams & Wilkins.2007.pg: 322:28.
2. Maslim. Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III: Reaksi
Akut Stres. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Atmajaya.2001; pg 53.
3. American Psychiatric association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-IV). 4th ed.Washington,DC:American Psychiatric Association; 2000.
4. Ingram IM. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran.1995.
pg: 28:42.
5. Kapita Selekta Kedokteran. 3th ed. Jakarta : Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.pg :189:192.
101
[Type text]
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
A. Definisi
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan pada
seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan
suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau ancaman terhadap integritas dari
tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi. Pengertian
lain dari PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya
terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara
fisik dan jiwa orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:1,2
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir,
topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian
anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal attack seperti:
korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan
fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan
perisiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang
mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang
diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang),
sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker,
rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan
penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.
B. Faktor Resiko PTSD 5 ,6, 7, 8, 9
1. Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-laki meskipun
laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik.
102
[Type text]
2. Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting major
depression) beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengalami
gangguan jiwa.
3. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaan
maupun keluarganya.
4. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
5. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
6. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
menyesuaikan diri.
7. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik
tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau
peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
C. Epidemiologi
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan prevalensi
seumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa. Menurut National
Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %. Kejadian PTSD muncul paling
tinggi terutama pada orang yang mengalami trauma (muncul pada 1/3 hingga ¾ dari mereka
yang mengalami pemerkosaan, perang, penculikan, pengasingan dengan alasan politik, dan
genosida. 6
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah orang yang
secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal. Untuk menegaskan
pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi. Sebagai contohnya,studi dari the
National Vietnam Veterans Readjustment menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9%
hingga 15,2 % pada pria dan 26,9% hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban
perkosaan, illpatrick dan colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan
prevalensi 39,4%. Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan
tingkat prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS dan 70,2%
pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and colleagues
mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal sembuh setelah beberapa
tahun. 6
Epidemiologi dari PTSD berdasarkan studi Community-based epidemiological
menunjukkan 70% dari individu yang mengalami trauma, yang dipengaruhi oleh kejadian
103
[Type text]
traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan peritraumatik dalam memahami etiologi
dari PTSD, terutama pada gangguan interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari PTSD
berhubungan dengan kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki
keterkaitan erat dengan stress yang dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini
terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma. 6
Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukkan PTSD yang
dikembangkan. Kejadian traumatik didefinisikan dengan kejadian yang melibatkan
pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa, cedera berat, atau
mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan ketakutan yang mendalam,
ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan. 6
1. Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap
integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat
dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego
menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah
terhadap kejadian traumatik tersebut. dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku
impulsif tidak terkendali.1,2
2. Biologis
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik
dan juga psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivitasi dari
beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang.
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut
sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami,
serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan
bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdqala akan mengaktivasi beberapaq
neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi
peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi
peristiwa tersebut. Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut,
amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada: 2,5
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
104
[Type text]
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa
traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini
disebut’flight or fight reaction’. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah
glukosa pada otot-otot skletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan
dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman
yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini
bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf
simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu
orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-
Releasing Factor (CFR) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar
hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH)
yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.2,5
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan
pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada
derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi
yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut.
Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa
sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang
dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses
terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan
menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.2, 5
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk
mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu
menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu
tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan
proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan
terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’ dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami.2,5
Dari hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi
katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan
hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat
belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif
serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak
membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan
dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.2
105
[Type text]
Faktor Biologi
Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di sirkulasi dan
peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini dihipotesiskan sesuai
gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD. Studi neuroanatomi mengaitkan
perubahan pada amygdala dan hippocampus pada pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan
positron-emmision tomography yang menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan
anterior paralimbic region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai
respon yang beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior
cingulate dan orbitofontal areas. Perubahan biologis ini menunjukkan gejala
neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk karakteristik dari PTSD (intrusive
recollections dan gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak diketahui perubahan
sebelumnya sebagai hasil terpaparnya trauma atau karena menderita PTSD. 6, 7, 8, 9
Sympathetic Nervous System Alterations.
Terdapat assosiasi positif antar diagnosis PTSD dan akitivitas cardiovascular,
terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang tinggi pada saat istirahat
yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang
tidak terpapar trauma, hal ini menunjukkan studi dengan sampel PSTD kronis terdapat
peningkatan urin cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan aktivitas simpatis.
Terdapat demonstrasi berulang terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien dengan
PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma. 6, 7, 8, 9
Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan keterkaitan trauma dengan respon
fisiologis yang meningkat pada pasien dengan PTSD, namun tidak menjelaskan individu
yang mengalami seseorang individu dapat mengalami perkembangan PTSD, sementara
individu yang lain tidak. Dapat dihipotesiskan terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk
membentuk PTSD pada masing-masing variasi individu dibandingkan dengan individu lain,
maka individu yang mengalami kejadian traumatik lebih sering mengalami PTSD. 6, 7, 8, 9
Terdapat disfungsi otak pada individu dengan PTSD, dimana terdapat pembangkitan
potensial yang abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien dengan PTSD mengalami
penghambatan kortikal pada stimulus dengan intensitas tinggi, gangguan pada memori dan
konsentrasi, defisit auditorik dan peningkatan perhatian pada stimulus yang berkaitan dengan
trauma. Bagaimanapun perlu dilakukan studi lanjutan pada PSTD. 6, 7, 8, 9
Respon psychophsiological pada pemaparan trauma yang akut dapat memprediksi
perkembangan PTSD, individu yang selamat setelah kejadian traumatik mengalami
peningkatan nadi selama 1 minggu. 6, 7, 8, 9
106
[Type text]
Faktor Neuroendokrin
Pada individu yang mengalami PTSD terjadi upaya untuk mempertahankan
homeostasis, terjadi perubahan endogen, stress-responsive neurohormon, seperti cortisol,
epinephrine, norepinephrine, vasopressin, oxytocin, pada stress awal terjadi perubahan The
hypothalamic-pituitary-adrenal yaitu hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropin-
releasing hormon, monoaminergic, dan gamma-amniobutyric acid/ benzodiazepine systems,
stress juga menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada otak seperti depresi, dari
data terlihat kelainan terutama pada The hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis secara
ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin pada pasien dengan PTSD. Penemuan
penting yaitu: berkurangnya ekskresi cortisol urin 24 jam, supersuppresion pada cortisol
setelah pemberian low-dose dexamethasone, menumpulnya respon corticotropin pada
corticotropin releasing-hormone dan peningkatan reseptor glukokortikoid, hal ini
menunjukkan PTSD kronis diikuti oleh supersuppresion pada emergency HPA response pada
stress akut. Hal ini dapat terjadi karena proteksi diri individu pada toksisitas tingginya
corticosteroid yang muncul pada pemaparan berulang stress yang mengingatkannya terhadap
trauma. Selain itu perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor glukokortikoid
berkaitan dengan beratnya gejala PTSD, tetapi tidak dengan less specific anxiety dan
depressive symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran AS perang vietnam yang
bertarung langsung yang mengalami PTSD memiliki cortisol yang lebih rendah dibandingkan
veteran AS perang Vietnam yang tidak bertarung langsung yang mengalami PTSD 6, 7, 8, 9
Jadi faktor neuroendokrin pada PTSD menunjukkan abnormalitas yang spesifik,
dibandingkan gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD menunjukkan negative
feedback inhibiton dengan berlebihannya respon cortisol terhadap dexamethasone, disertai
peningkatan reseptor glukokortikoid dan cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien
dengan depresi mayor yaitu wanita dengan childhood abuse dengan didiagnosis current
major depression menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic hormone terhadap
stress terjadi penumpulan respon cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan
jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada studi biologi longitudinal terdapat
penurunan kortisol 15 μg/dL hingga ke 30 μg/dL, selain itu efek ini juga dipengaruhi fight-or-
flight reactions. 6, 7, 8, 9
Sleep Studies
107
[Type text]
Pada studi didapatkan dua kriteria jelas yang berhubungan dengan keluhan tidur pada
individu dengan PTSD:nightmare dengan kejadian traumatik, kegagalan untuk memulai dan
mempertahankan tidur, data selanjutnya menggagaskan kesulitan tidur pada individu dengan
PTSD dengan aktivitas motorik yang berlebih dan awakening with somatic anxiety symptoms.
Terdapat juga komplain pada penggunaan polysomnography pada studi, terutama pada pasien
dengan waktu tidur yang kurang atau efisiensi, dan peningkatan kesadaran pada pasien
PTSD. Terdapat juga dokumentasi pada pasien dengan PTSD dengan gangguan nafas akibat
tidur. PTSD juga dikaitkan dengan REM yang terfragmentasi. 6
Faktor Struktural dan Fungsional Pada Otak
Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan volume
hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk berkembang
menjadi PTSD bila mendapat pengalaman traumatik, pada PET scan bila terlihat peningkatan
aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja, yang secara spesifik, pada area
emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal medial, selama pemaparan kejadian
traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area frontal inferior-Broca, yang mempengaruhi
motor speech, dapat pula ditemukan aktivasi pada cingulate cortex pada respon trauma
related stimuli, pada individu PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis
mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan
respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira, atau
ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi declarative
memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume hippocampus pada pasien
PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman negative, emosi ekstrim dan reaksi
biologi yang mengingatkan mereka pada trauma, sehingga individu yang mengalami
kerusakan hippocamus, cenderung menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai
konteks. Pada individu dengan PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior
Cingulate Cortex sehingga terjadi penurunan kemampuan mengerjakan tugas kognitif dan
penguasaan emosi, pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak
sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal cortex atau Broca area dan
dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi thalamus, medial frontal
gyrus (Brodmann’s area), berbeda pada perempuan dengan childabuse menunjukkan
peningkatan aliran darah pada anterior prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi
penurunan aktivasi pada dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali
mengingat trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga hanya mengingat sebagian unsur
trauma, selain itu ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien dengan PTSD yang
108
[Type text]
terpapar memori negatif, pada bagian hemisfer kanan mengembangkan terlebih dahulu
dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi,
ekspresi wajah, komunikasi visual atau spasial, dengan kata lain hemisfer kanan khusus
mempengaruhi emosi, yang berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi komunikasi
verbal dan mengorganisasi penyelesaian masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan
neurotransmitter pada respon fight or flight pada pengaktifan HPA terjadi peningkatan
cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan
mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD. Pada (gambar 2.) dapat
dilihat peranan serotonin pada respon fight or flight melalui komunikasi secara langsung
dengan limbik dan struktur kortikal terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol
diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang
berperan dalam gejala PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan otak gagal memproses
informasi, memori episodik menetap di sistem limbik, yang menghasilkan gambaran kejadian
traumatik. 6, 7, 8, 9, 10
109
[Type text]
Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: “fight or flight”, rasa
takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience, arousal, fear, startle,
flashback, intrusive recollections.10
Locus coeruleus: pigmented area pada regio rostrolateral pontine dari fourth ventricle floor
dan memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion dari periaqueductal gray
substance; cell dari nukleus yang mengandung melanin.
Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: “fight or flight”,
kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan dengan gejala
aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression.10
3. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan
yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata,
perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor
perkembangan PTSD.3
Faktor Psychological
110
[Type text]
Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan PTSD, 3 fase
stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi kejadian yang menyakitkan
yang meenyebabkan kemarahan, kesedihan, dan penyesalan, (2) Fase Denial yaitu fase
dengan karakterisitik defense againt intrusion of memories pada kejadian traumatik, dimana
pasien menunjukkan kegagalan memori pada kejadian, yang mengingatkan mereka pada
kejadian traumatik, dan menggunakan fantasi mereka untuk melawan persepsi yang realistis
pada kejadian, (3) Fase Intrusive yaitu fase dengan karakteristik hypervigilance, terkejut yang
berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusive dan repetitive trauma-related thoughts, dan
kebingungan.11
Model Perilaku
Teori kondisi dapat membantu dalam menjelaskan proses dengan stimulus yang
berkaitan dengan kejadian traumatik dengan respon emosi pada individu yang mengalami
PTSD. Kondisi-kondisi penyerta yang terjadi saat kejadian traumatik selain kejadian
traumatik itu sendiri dapat direspon pasien sebagai kejadia traumatik, dengan respon pasien
berupa takut, ketidakberdayaan dengan respon emosi yang kuat, sebagai contoh, perempuan
yang diperkosa (unconditioned stimulus) di lorong gelap (conditioned stimulus) oleh laki-laki
(conditioned stimulus) memiliki respon rasa takut pada conditioned stimulus dan
unconditioned stimulus, dapat merasa ketakutan ketika berada di lorong gelap atau diikuti
seorang laki-laki. Perilaku menghindar dapat berkembang dengan anxietas yang berkaitan
dengan conditioned stimulus. Sebagai contoh perempuan yang diperkosa takut keluar ketika
gelap atau diikuti laki-laki. Terapi perilaku dapat menggunakan prinsip pemaparan yang
memerlukan konfrontasi pada situasi yang ditakuti dan dapat mengurangi anxietas. 6, 7, 8, 9
Proses Kognitif dan Informasi
Pemaparan terhadap kejadian traumatik yang berat atau tidak dapat diprediksi,
mengakibatkan kegagalan proses dan asimilasi dengan pengalaman yang cukup untuk secara
efektif menerima akibatnya, selain itu bila periode traumatiknya berkepanjangan, kesulitan
dan asimilasi yang tidak lengkap dapat terjadi. Pengalaman dipertahankan pada memori aktif,
mengakibatkan seseorang dengan kesadaran saat siang atau malam. Pada pengalaman yang
menyakitkan terjadi penghindaraan untuk mengingat kejadian traumatik. 6,7
Rasa takut dapat dijelaskan dengan struktur kognitif dengan tiga unsur: stimulus,
respon dan arti. Untuk mengurangi rasa takut, memori terhadap rasa takut harus diaktifkan
kemudian informasi baru diberikan untuk merubah struktur rasa takut. Intervensi kognitif
dapat digunakan untuk mengenali dan merubah maladaptive cognitions dan menggantikan
interpretasi dari bahaya dengan interpretasi yang realistis dan aman, dengan harapan pasien
111
[Type text]
dapat mengintegrasikan informasi baru pada struktur rasa takut, mengakibatkan pemikiran
realistis terhadap derajat bahaya. 5, 6, 7, 8, 9,10, 11
Faktor Genetic-Familial
Dari literatur yang ada, dibuat berdasarkan pertarungan langsung pada veteran AS
laki-laki, dengan survey populasi umum dan pemerkosaan traumatik yang berkaitan dengan
PTSD, didapatkan hasil berdasarkan genetik dengan kluster tiga gejala (intrusive, avoidant,
dan gejala hyperarousal) pada pemeriksaan terhadap pengaruh genetik dan lingkungan pada
pertarungan langsung, post traumatic stress disorder, dan penggunaan alkohol pada kembar
identik laki-laki, menemukan bahwa penggunaan alkohol berkaitan dengan gen yang
mempengaruhi kerentanan terhadap pertarungan langsung yang juga mempengaruhi
kerentanan terhadap gejala PTSD dan konsumsi alkohol. Merupakan catatan penting, untuk
mengetahui faktor lingkungan yang unik pada kembar tidak lebih penting dari pengaruh
genetik terhadap pertarungan langsung dan gejala PTSD, dimana pengaruh lingkungan
terlihat setara dengan pengaruh genetik terhadap konsumsi alkohol, secara keseluruhan
kejadian ini menggagaskan pada riwayat psychiatric, baik personal maupun pada anggota
keluarga, meningkat dengan terpaparnya trauma dan perkembangan PTSD setelah terpapar,
dengan kata lain orang tuan dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya kadar cortisol pada
anak-anakya, yang menunjukkan kerentanan yang berkaitan dengan gejala akut atau kronik
dari PTSD. 6, 7, 8, 9, 10, 11
Faktor Lainnya
Meskipun penelitian sistematis telah dilakukan, individu yang mengalami trauma
berulang dan berkelanjutan, terutama yang berasal dari interpersonal, lebih mungkin
mengalami PTSD. Trauma yang melibatkan berkurangnya community atau support
structures. Karena social support memiliki efek buffering, berkurangya support dapat
menjadi faktor kerentanan. Perempuan memiliki resiko PTSD yang lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. 6
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa
traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang bakan terjadi,
seperti :5
Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
112
[Type text]
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat
kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang budaya
yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari lingkungan
sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu untuk menyesuaikan
dirinya kembali.5
C. Gejala
Klien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukkan gejala-gejala khas PTSD secara
kontinu dan dalam kurun waktu yang tentu. Gejala dapat timbul sewaktu-waktu bergantung
pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD, meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi
yang khas. Terdapat tiga tipe gejala, flight, fight, dan freeze. Ansietas dan penghindaran
merupakan gejala flight. Meningkatnya amarah dan perilaku kekerasan merupakan gelaja
fight, sedangkan kekebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri merupakan
karakteristik freeze (APA, 2000). Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah:1,2,3
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:
selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami
flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang
kembali)
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya
sedih)
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan
akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan:
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan
yang berhubungan dengan trauma.
kehilangan minat terhadap semua hal
perasaan terasing dari orang lain
emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan:
susah tidur
mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah
susah berkonsentrasi
113
[Type text]
kewaspadaan yang berlebih
respon yang berlebihan atas segala sesuatu
D. Akibat
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan
fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial. 2,3
1. Gejala gangguan fisik:4
pusing
gangguan pencernaan
sesak napas
tidak bisa tidur
kehilangan selera makan,
impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif:4
gangguan pikiran seperti disorientasi,
mengingkari kenyataan,
linglung, melamun berkepanjangan, lupa,
terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
tidak fokus dan tidak konsentrasi
tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana,
tidak mampu mengambil keputusan.
3. Gangguan emosi :4
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan
memerlukan perawatan aktif yang dini),
mimpi buruk,
marah,
merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut,
kecemasan dan ketakutan.
4. Gangguan perilaku :4
menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh,
duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
5. Gangguan sosial:4
memisahkan diri dari lingkungan,
menyepi,
114
[Type text]
agresif, prasangka,
konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya
dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan
onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan disertai bukti
adanya trauma yang selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa
tersebut secara berulang-ulang, seringkali terjadi penarikan diri secara emosional,
penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan
mengingatkan kembali akan traumanya, gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan
kelainan perilaku semuanya. Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik (Tabel
dari DSM IV) diagnostik dan stastitical manual of mental dsorder ed 4 : Orang yang telah
terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana terdapat kedua dari berikut ini, orang
mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan sesuatu kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada
integritas fisik diri sendiri atau orang lain, respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.4
Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan
meningkatkan gaangguan stress pasca trauma, yaitu:5
1. Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan militer
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan
E. Diagnosis banding
Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan
gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakngan ketiganya berhubungan dengan
115
[Type text]
kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Pada gangguan stres pasca traumatik relasi waktu
antara kejadian traumatik dan gejala dan selalu teringat akan trauma yang terjadi.3,4
F. Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40 % terus menderita gejala ringan,
20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk. Umumnya orang
yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat
dicapai bila kondisi gangguan stres pasca traumatik muncul dalam waktu singkat, durasinya
singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang baikdan tidak ada kondisi
penyalahgunaan zat. Tingkat pemulihan tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50%
menjadi chrnoic psychiatric disorder. 2,3,11
G. Penatalaksanaan
Psikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang dapat digunakan adalah terapi
paparan, pasien dihadapkan pada keadaan traumatik secara perlahan- lahan dan bergradasi
untuk mencapai desentisasi. Kedua yaitu manajemen stres dengan cara mengajari pasien cara
menangani stres termasuk teknik relaksai, seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan
serta mengontrol pikiran-pikiran. Pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapi
kelompok dan terapi keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengatur
konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya.4,5
Farmakoterapi dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), seperti sertralin
dan paroxetin, karena cukup efektif, dan aman. SSRI mengurangi semua gejala pada
gangguan stres pasca traumatik berupa gejala kecemasan dan depresi. Golongan buspirone
juga dapat digunakan seperti imipramin dan amitriptilin. Dosis yang digunakkan sama seperti
pada pasien depresi. Obat-obat lain yang digunakkan seperti monoamine oxidaseinhibitors
(MAOIS), trazodone dan anticonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi
atau psikotik akut.4
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana
gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan : 5
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang
serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
116
[Type text]
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang
dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan menjadi lima
jenis yaitu:
1. Psychodynamic Approaches
Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi kegagalan
dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini bertujuan agar pasien
dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut kerusakan
dan mengembangkan intrepretasi yang realistis.11
2. Cognitive-behavioral Approaches
Terapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety lain, pada
learning theory model mengemukakan incorporate classical dan operant conditioning untuk
menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk
menambahkan learning theory untuk menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam
memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to
trauma-relevant fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive
exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state, penatalaksaan ini
dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga
anxiety teratasi dan hilang potensinya.11
3. Flooding Techniques
Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik exposure
terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal, kelemahan terapi ini
adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya.11
4. Training in Coping Skills
Pada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control symptom dan
meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase edukasi
dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk menjaga
kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri,
untuk menghambat negative rumination dan mempertahankan rasa percaya diri,
penatalaksaan ini efektif mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada
korban pemerkosaan.11
5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata terbuka,
selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma, diikuti dengan visual
117
[Type text]
saccadic eye movements agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga menghasilkan
relaksasi dan systemic desensitization.11
Komorbiditas
Pada beberapa studi pasien dengan PTSD juga mengalami disproprtionate degree of
medical illness, yaitu neurologis, musculoskeletal, kardiovaskuler, dan masalah pernapasan.
Juga terjadi gangguan tidur yaitu gangguan untuk memulai dan mempertahankan tidur.11
DAFTAR PUSTAKA
118
[Type text]
1. Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: Cendika. EGC;
2009
2. Kaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Tangerang: Binarupa
Aksara; 2007 h: 68-75.
3. Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2008
4. David A. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004
5. Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam: Elvira,
Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2010 h: 254-264
6. Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders. Dalam: Kay J
dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h: 627-
638.
7. Van der Kolk B. Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. Dalam: Panksepp
J ed. Textbook of Biological Psychiatry, Wiley-Liss, Inc. New Jersey; 2004 h: 319-
344.
8. Fairbank JA, Ebert L, dan Caddell JM. Post Traumatic Stress Disorder. Dalam:
Sutker PB dan Adams HE. Comprehensive Handbook of Psychopathology 3ed. New
York: Kluwer Academic Publishers; 2002 h: 183-209.
9. First MB dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders. Dalam: First
MB dan Tasman A. Clinical Guide to the Diagnosis and Treatment of Mental
Disorders. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h: 326-334.
10. Benedek DM. Acute Stress Disorder and Post Traumatic Stress Disorder in the
Disaster Environment. Dalam: Ursano RJ, Fullerton CS, Wiesaeth L, dan Raphael B.
Textbook of Disaster Psychiatry. New York: Cambdrige University Press; 2007 h:
140-163.
11. Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder Dalam:
Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h: Ch.23.
119
[Type text]
120
[Type text]
GANGGUAN KEPRIBADIAN ANANKASTIK/ OBSESSIVE COMPULSIVE
PERSONALITY DISORDER
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif ditandai oleh penyempitan emosional,
ketertiban, kekerasan hati, sikap keras kepala, dan kebimbangan. Gangguan ini sering terjadi
pada pria dan sering pada anak tertua. Orang dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif
memiliki keasyikan dengan keteraturan, kebersihan, perincian, dan pencapaian
kesempurnaan. Biasanya orang tersebut resmi dan serius, seringkali tidak memiliki rasa
humor. Mereka memaksakan aturan supaya diikuti secara kaku dan tidak mampu untuk
mentoleransi apa yang dirasakannya sebagai pelanggaran. Karena takut mereka melakukan
kesalahan, mereka mengalami kebimbangan dan berpikir dalam waktu yang lama untuk
mengambil suatu keputusan. Orang dengan gangguan obsesif-kompulsif dapat bekerja
dengan baik dalam posisi yang membutuhkan pekerjaan metodologis, deduktif, atau
terperinci. Tetapi mereka rentan terhadap perubahan yang tidak diharapkan. Dilihat dari teori
kognitif-behavioral, pasien gangguan ini mempunyai perhatian yang tidak realistik mengenai
perfeksitas dan penolakan terhadap kesalahan. Kalau gagal dalam mencapai perfeksitas, ia
menganggap dirinya tidak berharga (Martaniah, 1999 : 79).
Definisi
Suatu gangguan kepribadian yang sering muncul pada dewasa muda dan ditandai
antara lain dengan perfeksionisme, kekakuan, berlebihan dalam kerja, dan kurangnya
hubungan interpersonal.
Epidemiologi
Prevalensi gangguan kepribadian obsesif kompulsif tidak diketahui. Keadaan ini
lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita dan didiagnosis paling sering pada anak yang
tertua.
Etiologi
Etiologi pasti masih belum diketahui, tetapi pasien seringkali memiliki latar belakang
yang ditandai oleh disiplin yang keras. Freud menghipotesiskan bahwa gangguan kepribadian
ini adalah berhubungan dengan kesulitan pada stadium anal dari perkembangan psikoseksual,
biasanya di sekitar usia 2 tahun. Tetapi, pada berbagai penelitian teori tersebut belum
disahkan.
Gejala klinis
Orang dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif memiliki keasikan dengan
aturan, peraturan, ketertiban, kebersihan, perincian, dan pencapaian kesempurnaan.
121
[Type text]
Keterampilan interpersonal pasien gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah terbatas.
Mereka mengasingkan orang lain, tidak mampu untuk berkompromi dan memaksakan supaya
orang lain tunduk kepada mereka. Tetapi mereka mudah memaafkan mereka yang
dipandangnya sebagai lebih berkuasa dibandingkan dirinya dan memenuhi keinginan mereka
dalam cara penguasa.
Berikut dibawah ini adalah gejala yang dapat dimunculkan oleh penderita gangguan
kepribadian anankastik:
Perfeksionis
Workaholic
Sangat cemas ketika merasa ada sesuatu yang salah sehingga sangat berupaya
menghindari kesalahan
Ragu dan hati-hati secara berlebihan
Terpaku pada detail, peraturan, perintah, jadwal (harus tepat waktu)
Sangat khawatir dengan kegagalan
Meragukan kemampuan orang lain
Memaksakan orang lain untuk melakukan kehendaknya
Dalam keadaan senang / cemas dapat melakukan hal-hal yang tidak biasa dan dapat
berisiko
Kaku dan tertutup
Keras kepala
Pemalu dan pengawasan diri yang tinggi
Menganut norma-norma etik dan moral yang tinggi dan patuh secara berlebihan
Kriteria Diagnostik Gangguan Kepribadian Obsesif Kompulsif
DSM IV-TR
Pola pervasif preokupasi dengan urutan, perfeksionisme, dan pengendalian mental
dan interpersonal, dengan mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi, dimulai
pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan
oleh empat (atau lebih) berikut :
1. Preokupasi dengan perincian, aturan, daftar, urutan, susunan, atau jadwal sampai
tingkat dimana aktivitas sesama hilang.
2. Menunjukkan perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas misalnya, tidak
mampu menyelesaikan suatu proyek karena tidak memenuhi standarnya sendiri yang
terlalu ketat.
122
[Type text]
3. Secara berlebihan setia kepada pekerjaan dan produktivitas sampai mengabaikan
aktivitas waktu luang dan persahabatan (tidak disebabkan oleh kebutuhan ekonomi
yang besar)
4. Terlalu berhati-hati, teliti, dan tidak fleksibel tentang masalah moralitas, etika atau
nilai-nilai (tidak disebabkan oleh identifikasi kultural atau religius)
5. Tidak mampu membuang benda-benda yang usang atau tidak berguna walaupun tidak
memiliki nilai sentimental.
6. Enggan untuk mendelegasikan tugas atau untuk bekerja dengan orang lain kecuali
mereka tunduk dengan tepat caranya mengerjakan hal
7. Memiliki gaya belanja yang kikir baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, uang
dipandang sebagai sesuatu yang harus ditimbun untuk rencana dimasa depan.
8. Menunjukkan kekacauan dan keras kepala.
PPDGJ III
Untuk diagnosis paling sedikit dibutuhkan 3 dari :
a) Perasaan ragu-ragu dan hati-hati yang berlebihan
b) Preokupasi dengan hal-hal yang rinci / details, peraturan, daftar, urutan, organisasi,
atau jadwal
c) Perfeksionisme yang mempengaruhi penyelesaian tugas
d) Ketelitian yang berlebihan, terlalu hati-hati dan keterikatan yang tidak semestinya
pada produksivitas sampai mengabaikan kepuasan dan hubungan interpersonal
e) Keterpakuan dan keterikatan yang berlebihan pada kebiasaan sosial
f) Kaku dan keras kepala
g) Pemaksaan yang tak beralasan agar orang lain mengikuti persis caranya mengerjakan
sesuatu, atau keengganan yang tak beralasan untuk mengizinkan orang lain
mengerjakan sesuatu
h) Mencampuradukan pikiran atau dorongan yang memaksa dan yang enggan
Diagnosis Banding
Jika ditemukan obsesi atau kompulsi yang rekuren, gangguan obsesifkompulsif
harus ditulis dalam aksis l. Kemungkinan pembedaan yang paling sukar adalah antara
pasien rawat jalan dengan sifat obsesif-kompulsif dan pasien dengan gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Diagnosis gangguan kepribadian bermakna dalam
efektivitas pekerjaan atau sosialnya. Pada beberapa kasus, gangguan delusional terjadi
bersama-sama dengan gangguan kepribadian dan harus dicatat.
Perjalanan penyakit dan prognosis
123
[Type text]
Perjalanan gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah bervariasi dan tidak
dapat diramalkan. Dari waktu ke waktu, obsesi atau kompulsi dapat berkembang dalam
perjalanan gangguan kepribadian. Beberapa remaja dengan gangguan kepribadian obsesi
kompulsif berkembang menjadi orang dewasa yang hangat, terbuka dan ramah; tetapi
orang lain, gangguan dapat mengawali skizofrenia atau gangguan depresif berat.
Terapi
- Psikoterapi : Tidak seperti gangguan kepribadian lainnya, pasien gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif seringkali tahu bahwa mereka sakit dan mencari pengobatan atas
kemauan sendiri. Asosiasi bebas dan terapi yang tidak terlalu mengarahkan sangat
dihargai oleh pasien gangguan ini. Terapi kelompok dan terapi perilaku biasanya
memberikan manfaat tertentu. Pada kedua konteks, mudah untuk memutuskan pasien
ditengah-tengah interaksi atau penjelasan maladaptive mereka. Melengkapi perilaku
kebiasaan mereka mencegah meningkatkan kecemasan pasien dan menyebabkan mereka
mudah mempelajari strategi baru.
- Farmakoterapi : Clonazepam (klonopin) adalah suatu benzodiazepine dengan
antikonvulsan, pemakaian obat ini telah menurunkan gejala pada pasien dengan
gangguan kepribadian obsesif-kompulsif parah. Apakah obat ini digunakan pada
gangguan kepribadian adalah tidak diketahui. Clomipramine (anafranil) dan obat
serotonergik tertentu seperti fluoxetine mungkin berguna jika tanda dan gejala obsesif-
kompulsif timbul.
124
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA:
1. Kaplan & Saddock, 1997, Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis, Edisi ke-7, jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta.
125
[Type text]
GANGGUAN KEPRIBADIAN NARSISTIK
A. PENGERTIAN
Gangguan kepribadian narsistik adalah gangguan yang melibatkan pola pervasive
dari grandiosities dalam fantasi atau perilaku serta membutuhkan pujian dan kurang
memiliki empati. Orang-orang yang menilai “tinggi” dirinya sendiri, bahkan melebih-
lebihkan kemampuan riil mereka dan menganggap dirinya berbeda dengan orang lain,
serta pantas menerima perlakuan khusus, merupakan perilaku yang sangat ekstrem.
Individu dengan kelainan kepribadian narsistik menunjukkan sebuah perasaan yang
dilebih-lebihkan akan kepentingan pribadi, keasyikan dengan menjadi yang dikagumi dan
kurangnya empati tehadap perasaan orang lain (Ronningstan, 1999; Widiger & Bornstein,
2001). Ini bahwa hal yang penting dan dulu menggunakan standar diagnosa secara luas
untuk mendiagnosa pasien narsistik, grandiositi dinyatakan oleh kecenderungan yang kuat
untuk menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka dan prestasi, sementara menaksir rendah
kemampuan dan prestasi orang lain.
Perasaan mereka akan pemberian gelar atau judul sering kali menjadi sebuah sumber
keheranan terhadap orang lain, walaupun diri mereka sendiri terlihat menghargai
pengharapan berlebihan mereka sebagai selalu apa yang mereka pantas dapatkan. Mereka
berperilaku dalam cara-cara meniru (sebagai contoh, dengan acuan diri yang konstan dan
membual) untuk memperoleh tuntutan dan pengakuan yang sangat mereka harapkan.
Karena mereka percaya bahwa mereka sangat spesial, mereka sering berpikir mereka
hanya akan dimengerti hanya dengan orang yang berstatus tinggi atau seharusnya
berteman dengan orang–orang yang seperti itu. Akhirnya, perasaan mereka akan
pemberian gelar atau judul juga dihubungkan dengan keengganan memaafkan orang lain
karena merasa diremehkan, dan mereka akan dengan mudah membalas dendam (Exline,
Baumeister, et al., 2004).
Kebanyakan peneliti dan dokter percaya bahwa orang-orang dengan kelainan
kepribadian narsistik mempunyai perasaan akan harga diri yang tidak stabil dan rapuh
dibawah semua grandiositi mereka (Widiger & Bornstein, 2001). Ini mungkin menjadi
alasan mengapa mereka sering mengasyikan diri dengan apa yang orang pikirkan dan
mengapa mereka sangat asyik dengan khayalan akan penghargaan yang mengagumkan.
Kebutuhan mereka yang hebat akan kekaguman mungkin membantu mengatur dan
melindungi perasaan akan harga diri mereka yang rapuh.
126
[Type text]
Kepribadian narsistik berbagi ciri khusus yang lain dari enggan atau tidak bisa
menerima sudut pandang orang lain, untuk melihat lebih dari apa yang mereka lihat
dengan mata mereka sendiri. Selain itu, jika mereka tidak menerima pengesahan atau
bantuan dari apa yang mereka inginkan, mereka cenderung menjadi sangat suka
mengkritik dan menuntut pembalasan (Rasmussen, 2005). Memang, sebuah studi tentang
murid laki-laki dengan tingkat ciri-ciri narsistik yang tinggi menunjukkan bahwa mereka
mempunyai kecenderungan yang lebih kuat ke arah kekerasan seksual ketika mereka
ditolak oleh target hasrat seksual mereka ketimbang laki-laki dengan tingkat ciri-ciri
narsistik yang lebih rendah (Bushman et al., 2003).
Dari 5 model faktor sudut pandang, individu dengan kelainan kepribadian narsistik
digolongkan menurut rendahnya persetujuan/ tingginya antagonisme atau permusuhan
(yang memasukan ciri-ciri dari kesederhanaan, keangkuhan, dan keunggulan), rendahnya
altruisme atau sifat lebih mementingkan kepentingan orang lain (mengharapkan perawatan
yang menguntungkan dan memanfaatkan yang lain), dan berpikiran kuat (kurangnya
empati). Mereka juga menunjukan tingkat kecenderungan khayalan yang tinggi
(keterbukaan untuk mengalami) dan tingkat marah-permusuhan dan kesadaran diri yang
tinggi (Widiger, Trull. 2002).
B. GEJALA
Membutuhkan pujian dan kekaguman berlebihan
Mengambil keuntungan dari orang lain
Merasa diri paling penting
Enggan atau tidak bisa menerima sudut pandang orang lain
Kurangnya empati
Berbohong, pada diri sendiri dan orang lain
Terobsesi dengan fantasi ketenaran, kekuasaan, atau kecantikan.
C. FAKTOR PENYEBAB
Faktor Penyebab Berdasarkan Teori-teori Para Ahli
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971, 1977), percaya bahwa gangguan
kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa
perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan
127
[Type text]
grandiose. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian,
yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figur ideal yang dianggapnya dapat memenuhi
kebutuhan empatinya, yang tak pernah terpenuhi. Banyak teori yang berbeda tentang
faktor kebetulan yang terkait di dalam perkembangan penyakit kepribadian narsistik telah
dikemukakan, dan masing-masing mempunyai penyokong yang kuat.
Di sisi yang lain, ahli teori psikodinamik yang berpengaruh seperti Heinz Kohut
setuju bahwa semua anak yang melewati fase primitif grandiositi selama apa yang mereka
pikirkan tentang semua kejadian dan kebutuhan berputar di sekeliling mereka. Untuk
perkembangan normal diluar fase yang terjadi, menurut pandangan ini, orang tua harus
melakukan suatu pencerminan terhadap anak. Ini membantu anak mengembangkan tingkat
kepercayaan diri yang normal dan perasaan harga diri guna menopang di kehidupan
mereka, ketika realita hidup mereka diumbar untuk membesarkan. Kohut dan Kernberg
(1978) mengemukakan lebih jauh bahwa kelainan kepribadian narsistik lebih mungkin
berkembang jika orang tua lalai, menghilangkan nilai, atau tidak berempati kepada anak;
individu ini akan terus menerus mencari penegasan dari sebuah pengidealan dan perasaan
megah terhadap diri. Walaupun teori ini telah menjadi sangat berpengaruh di antara
dokter-dokter klinik psikodinamik, sayangnya ini mempunyai sedikit dukungan empiris.
Dari sebuah pendirian teoritis yang sangat berbeda, Theodore Millon mempunyai
argument yang sangat berbeda. Dia percaya bahwa kelainan kepribadian narsistik datang
dari penilaian berlebihan orang tua yang tidak realistis (Millon & Davis, 1995; Widiger &
Bornstein, 2001). Seperti contoh, dia telah mengemukakan bahwa “orang tua memanjakan
dan menurutkan permintaan anak-anaknya dalam cara mendidik mereka bahwa keinginan
mereka adalah sebuah perintah, bahwa mereka dapat menerima tanpa harus
mengembalikannya, dan bahwa mereka pantas menjadi seseorang yang menonjol bahkan
tanpa perjuangan yang minim” (Millo, 1981, p.175; dari Widiger & Trull, 1993). Ahli
teori itu dari dua tradisi yang berbeda (psikodinamik dan pelajaran sosial) dapat menjadi
semacam kesimpulan yang berlawanan yang mengilustrasikan kekurangan saat ini dari
pengetahuan empiris mengenai bagian terdahulu dari kelainan semacam ini.
D. KRITERIA DIAGNOSIS
Penderita gangguan kepribadian narsistik memiliki perasaan yang tidak masuk akal
bahwa dirinya orang penting dan sangat terokupasi dengan dirinya sendiri sehingga
mereka tidak memiliki sensivitas dan tidak memiliki perasaan iba terhadap orang lain
128
[Type text]
(Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Mereka membutuhkan dan mengharapkan
perhatian khusus. Mereka juga cenderung memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain
bagi kepentingannya sendiri serta hanya sedikit menunjukkan sedikit empati. Ketika
dihadapkan pada orang lain yang sukses, mereka bisa merasa sangat iri hati dan arogan.
Dan karena mereka sering tidak mampu mewujudakan harapan-harapannya sendiri,
mereka sering merasa depresi.
Gangguan kepribadian Narcissistic dicirikan oleh keterpusatan diri. Mereka
membesar-besarkan prestasi mereka, mengharapkan orang lain untuk mengakui mereka
sebagai superior. Mereka cenderung teman, karena mereka percaya bahwa tidak
sembarang orang yang layak menjadi teman mereka. Narsisis cenderung membuat kesan
pertama yang baik, namun mengalami kesulitan menjaga hubungan jangka panjang.
Mereka umumnya tidak tertarik pada perasaan orang lain dan dapat mengambil
keuntungan dari mereka.
Menurut DSM IV-TR, kriteria gangguan kepribadian narsistik yaitu :
Pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri
Arogansi
Terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk
dipuja
Perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu
Kecenderungan memanfaatkan orang lain, dan iri kepada orang lain.
E. KRITERIA KEPRIBADIAN NARSISTIK MENURUT DSM-IV
Sebuah pola dari khayalan dan perilaku, diantaranya kebutuhan untuk kekaguman,
dan kurangnya empati, seperti yang diindikasikan oleh minimal 5 dari yang di bawah ini :
1. Perasaan megah akan kepentingan pribadi.
2. Keasyikan dengan khayalan akan keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan, atau
kecantikan yang tidak terbatas.
3. Kepercayaan bahwa dia itu spesial dan unik.
4. Kebutuhan akan kekaguman yang berlebihan.
5. Perasaan akan pemberian judul.
6. Kecenderungan menjadi meledak-ledak antar individu.
7. Kekurangan empati.
129
[Type text]
8. Sering cemburu terhadap orang lain atau percaya bahwa orang lain itu pun cemburu
terhadapnya.
9. Menunjukkan keangkuhan, perilaku atau sikap yang sombong.
Menurut DSM-IV-TR, kelainan kepribadian narsistik mungkin bisa lebih sering
diobservasi pada pria daripada wanita (APA, 2000; Golomb, 1995), walaupun tidak semua
studi menunjukan ini. Dibandingkan dengan beberapa kelainan kepribadian lainnya, ini
menjadi relatif jarang dan ditaksir tetap terjaga sekitar 1 persen dari populasi.
F.GANGGUAN KEPRIBADIAN NARSISTIK MENURUT BERBAGAI PERSPEKTIF
a). Psikososial
Psikodinamik. Para psikoanalis, termasuk Freud, menggunakan istilah narcissistik
untuk mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting
secara berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian
(Cooper dan Ronningstam, 1992). Dimana fase yang dilalui semua anak sebelum
menyalurkan cinta mereka dari diri mereka sendiri kepada significant person, sehingga
anak terfiksasi pada fase narsistik. Akibat memiliki orangtua yang selalu menuruti anak
dan menanamkan rasa bangga atas kemampuan diri dan harga diri mereka, atau anak tidak
percaya terhadap pengasuh dan memutuskan bahwa mereka hanya dapat bersandar pada
diri sendiri.
Behaviorisik. Narsistik merupakan reaksi asumsi untuk menghadapi masalah-
masalah self-worth yang tidak realistik sebagai hasil dari penurutan dan evaluai yang
berlebihan dari orang-orang yang signifikan. Serta sebagai hasil dari unrealistic-
overevaluation orangtua terhadap anak.
b). Sosiokultural
Faktor-faktor kultur sosial yang berkontribusi terhadap kelainan kepribadian tidak
dimengerti dengan baik. Sebagaimana bentuk-bentuk lain dari ilmu psikologi, timbulnya
dan sebagian fitur dari kelainan kepribadian merubah sedikit banyak dengan waktu dan
tempat, walaupun sebanyak yang seseorang mungkin pikirkan (Allik, 2005).
Sesungguhnya ada sedikit perbedaan lintas budaya daripada di dalam budaya. Ini mungkin
berhubungan dalam penemuan yang semua kebudayaan (keduanya Barat dan non-Barat,
130
[Type text]
termasuk Afrika dan Asia) berbagi 5 ciri-ciri dasar kepribadian yang sama, dan pola
variasi mereka juga terlihat mendunia.
Beberapa peneliti percaya bahwa beberapa kelainan kepribadian tertentu telah
meningkat di masyarakat Amerika beberapa tahun terakhir (misalnya, Paris, 2001). Jika
tuntutan ini benar, kita dapat berharap menemukan peningkatan perhubungan untuk
mengubah kebutuhan dan aktifitas kebudayaan kita yang umum. Apakah penekanan kita
terhadap dorongan kepuasan, solusi sekejap, dan keuntungan bebas sakit membawa lebih
banyak orang untuk mengembangkan gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri yang kita
lihat dalam bentuk yang lebih ekstrim dalam kelainan kepribadian? Contohnya, ada
beberapa bukti bahwa kelainan kepribadian narsistik yang lebih umum di budaya Barat
dimana ambisi pribadi dan kesuksesan mendukung dan memperkuat (misalnya, Widiger &
Bornstein, 2001).
Ini juga telah diketahui meningkat lebih dari 60 tahun sejak Perang Dunia II dalam
emosional dysregulation (misalnya, depresi, dan bunuh diri) dan perilaku sesuai kata hati
(penyalahgunaan dasar dan perilaku kriminal) mungkin berhubungan dengan
meningkatkan dalam garis batas dan kelainan kepribadian diatas periode waktu yang
sama. Ini dapat berakar dari perusakan yang meningkat terhadap keluarga dan struktur
sosial yang tradisional lainnya (Paris, 2001).
G. PENANGANAN DAN HASILNYA
Gangguan kepribadian narsistik secara umum sulit untuk dirawat, pada sebagian
karena mereka adalah, menurut definisi, relatif kronis, dapat meresap, dan pola perilaku
dan pengalaman di dalam diri yang tidak dapat diubah. Lebih jauh lagi, banyak tujuan dari
perawatan yang berbeda dapat dirumuskan, dan beberapa lebih sulit untuk dicapai dari
yang lainnya. Tujuan mungkin termasuk keadaan sulit subjektif, mengubah perilaku
dysfunctional yang spesifik, dan mengubah keseluruhan pola perilaku atau keseluruhan
struktur kepribadian.
Pada banyak kasus, orang dengan kelainan kepribadian mengikuti perawatan hanya
oleh desakan seseorang, dan mereka sering tidak percaya bahwa mereka harus berubah.
Selanjutnya, mereka yang berasal dari Kelompok A yang aneh/eksentrik dan Kelompok B
yang tidak teratur/dramatis mempunyai perbedaan-perbedaan yang umum dalam
131
[Type text]
pembentukan dan memelihara hubungan baik, termasuk dengan seorang ahli terapi. Bagi
mereka yang berasal dari Kelompok B yang tidak teratur/dramatis, pola dari tindakan,
khas dalam hubungan mereka yang lainnya, dibawa ke dalam situasi terapi, dan daripada
berhadapan dengan masalah mereka di tingkat verbal, mereka mungkin akan menjadi
marah pada ahli terapi dan mengacaukan sesi.
Sebagai tambahan, orang yang mempunyai 2 kelainan baik di Axis I dan Axis II
rata-rata, melakukan perawatan yang baik untuk kelainan pada Axis I mereka sebagai
pasien tanpa kelainan kepribadian. Ini sebagian dikarenakan orang dengan kelainan
kepribadian mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kaku dan berakar yang sering
membawa kepada hubungan yang mengandung unsur pengobatan yang memprihatinkan
dan apalagi membuat mereka bertahan melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan
kondisi Axis I mereka.
H. JENIS-JENIS TERAPI
a. Terapi Menurut Pendekatan Millon
Ada sebuah informasi yang berdasar kepada penelitian kecil dalam merawat
kelainan kepribadian sebagaimana adanya informasi dalam bagaimana mereka
berkembang. Ada, meskipun, sebuah kesusastraan kasus klinis yang hidup dan
berkembang dalam terapi-terapi untuk banyak kelainan-kelainan kepribadian.
Walaupun garis besar ide-ide berikut ini adalah untuk bagian besar berdasarkan pada
pengalaman-pengalaman klinis dari beberapa professional kesehatan mental, dan tidak
pada studi-studi tentang yang berisikan pengawasan-pengawasan yang cocok, petunjuk
pengobatan ini adalah semua yang tersedia dalam memperlakukan kelainan
kepribadian.
Sebuah perasaan terhadap apa yang terkandung dalam literatur dapat dipahami
dari beberapa ide yang seterusnya ditanamkan oleh Millon (1981) dalam bukunya yang
terkenal secara luas tentang kelainan-kelainan kepribadian (Millon sebelumnya adalah
bagian dari tim DSM-III yang bekerja tentang kelainan-kelainan kepribadian). Dia
menganjurkan bahwa:
132
[Type text]
1. Terapi dengan kepribadian-kepribadian yang tidak mandiri terfasilitasi oleh fakta
bahwa orang-orang ini mencari orang lain yang lebih kuat ada siapa mereka
bergantung. Oleh karena itu mereka rela dan mau menerima pasien-pasien.
Bagaimanapun, ciri seperti ini dapat membuat mereka terlalu terlalu bergantung
pada ahli terapi dan tidak suka membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan
mengambil tanggung jawab atas diri mereka sendiri. Millon menyarankan bahwa
pendeketan-pendekatan yang bersifat tidak langsung bekerja lebih baik daripada
yang bersifat perilaku karena mereka membantu perkembangan yang mandiri.
2. Kepribadian narsistik tidak tetap dalam terapi untuk waktu yang lama, terlebih
ketika sumber-sumber kegelisahan diperiksa (sebagian besar ahli terapi, tanpa
menghiraukan orientasi teoritis, akan bersedia). Millon mengusulkan terapi
kognitif untuk membantu kepribadian narsistik belajar untuk berpikir ketimbang
untuk bertindak sesuai dorongan hati.
Bagaimanapun juga, ini penting untuk diperhatikan bahwa, seperti orang lain
yang menulis tentang tentang itu dan bekerja dengan kelainan-kelainan kepribadian,
Millon sangat berhati-hati tentang berharap terlalu besar dari terapi ketika jarak dari
masalah-masalah sangat lebar dan mencakup semua.
b. Teknik Penanganan Terapeutik
Teknik-teknik pengobatan harus sering dimodifikasi. Contohnya, mengenali
bahwa psikoterapi individu tradisional cenderung untuk mendorong ketergantungan
pada orang yang telah terlalu dependen, ini sering bermanfaat untuk mengembangkan
strategi perawatan secara khusus bertujuan pada perubahan ciri-cirinya. Para pasien dari
Kelompok C yang gelisah/ketakutan, mungkin akan menjadi hipersensitif terhadap
berbagai kritikan yang mungkin mereka rasakan dari ahli terapi, jadi para ahli terapi
harus sangat berhati-hati dalam memastikan itu tidak terjadi.
Bagi orang dengan beberapa kelainan kepribadian, terapi mungkin akan lebih
efektif dalam situasi dimana perilaku tindakan dapat dipaksakan. Contohnya, banyak
pasien dengan kelainan kepribadian di garis batas dirawat inap di rumah sakit beberapa
saat, untuk alasan keamanan, karena perilaku hampir bunuh diri mereka yang sering.
Bagaimanapun, sebagian program berobat ke rumah sakit terus meningkat dalam
penggunaan sebagai sebuah perawatan alternatif menengah dan tidak mahal bagi pasien
133
[Type text]
(Azim, 2001). Dalam program-program ini, pasien tinggal di rumah dan menerima
paket perawatan dan rehabilitasi yang lebih luas hanya saat hari-hari kerja.
Teknik pengobatan yang spesifik adalah bagian pusat dari pendekatan teori yang
relatif baru pada kelainan kepribadian yang mengasumsikan bahwa perasaan dan
perilaku dysfunctional yang diasosiasikan dengan kelainan kepribadian adalah hasil
yang lebih luas dari skema-skema yang cenderung memproduksi keputusan yang
menyimpang secara konsisten, sebagaimana kecenderungan untuk membuat teori yang
salah (Beck, Freeman, & Associates, 1990; Beck et al., 2003; Cottraux & Blackburn,
2001). Mengubah skema-skema dysfunctional yang mendasar ini sulit tetapi berada di
inti dari terapi kognitif untuk kelainan kepribadian, yang menggunakan teknik-teknik
kognitif standar dari memantau pikiran-pikiran otomatis, menantang logika yang cacat,
dan menugaskan tugas yang berhubungan dengan perilaku dalam sebuah usaha untuk
menantang kepercayaan pasien.
c. Terapi Perilaku-Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy)
Treatment research sangat terbatas, baik dalam hal jumlah studi maupun laporan
tentang kesuksesannya (Groopman dan Cooper, 2001). Bila terapi dicobakan pada
individu-individu ini, terapi itu sering kali difokuskan pada grandiositas, hipersensivitas
terhadap evaluasi orang lain, dan kekurangan empati terhadap orang lain (Beck dan
Freeman, 1990). Terapi kognitif diarahkan pada usaha mengganti fantasi mereka
dengan fokus pada pengalaman sehari-hari yang menyenangkan, yang memang benar-
benar dapat dicapai. Strategi Coping seperti latihan relaksasi digunakan untuk
membantu mereka mengahadapi dan menerima kritik. Membantu mereka untuk
memfokuskan perasaannya terhadap orang lain juga menjadi tujuannya. Karena
penderita gangguan ini rentan mengalami episode-episode depresif, terutama pada usia
pertengahan, penanganan sering dimulai untuk mengatasi depresinya. Tetapi, mustahil
untuk menarik kesimpulan tentang dampak penanganan semacam itu pada gangguan
kepribadian narsistik yang sesungguhnya.
d. Terapi Kelompok (Group Therapy)
134
[Type text]
Ahli terapi perilaku, dalam menjaga perhatian mereka pada situasi-situasi
daripada ciri-ciri, tidak mempunyai perawatan khusus sebagaimana untuk kelainan-
kelainan kepribadian lainnya yang yang ditunjukkan oleh DSM-III. Akan lebih baik
mereka menganalisa masalah-masalah yang mana, diambil bersama mungkin
dipertimbangkan oleh para pengikut dari DSM-III untuk menggambarkan sebuah
kelainan kepribadian. Pelatihan keterampilan-keterampilan sosial di dalam sebuah
kelompok dukungan bisa jadi dipertimbangkan sebuah jalan untuk mendorong
kepribadian yang menghindar menjadi lebih berani dalam memulai hubungan atau
koneksi dengan orang lain. Teknik ini, boleh jadi dikombinasikan dengan terapi
rasional-emotif, mungkin membantu mereka untuk tidak menganggap becana besar
ketika usaha-usaha mereka untuk keluar tidak berhasil, sebagaimana ini dibatasi untuk
terjadi (Turkat dan Maisto, 1985).
Satu aspek dari kelainan kepribadian memerintahkan perhatian dari ahli terapi
yang berketerampilan manapun. sebagaimana dari penolong professional lainnya, yaitu,
yang dinyatakan melekat secara mendalam, berdiri lama, dan dapat menembus sifat
dasar dari masalah. Ahli terapi manapun yang bekerjasama dengannya harus betul-betul
mempertimbangkan implikasi-implikasi yang luas dari masalahnya. Sebelum seorang
yang mempunyai kecurigaan yang tinggi dapat mengekspresikan emosinya secara
terbuka dan sewajarnya.
135
[Type text]
Gangguan Kepribadian Histrionik
Definisi
Pola perilaku berupa emosionalitas berlebih dan menarik perhatian, bersifat pervasif,
berawal sejak usia dewasa muda, dan nyata dalam pelbagai konteks. Histrionik dikodekan
dalam aksis II, kelompok B, yaitu orang denga perilaku terlalu dramatik, emosional, atau
eratik. Beberapa orang cenderung mengekspresikan diri mereka dalam cara yang sangat
dramatis. Karena dibawa ke arah yang ekstrim, kecenderungan tersebut membentuk dasar
gangguan kepribadian histrionic (histrionic personality disorder). Istilah histrionic berasal
dari bahasa Latin yang berarti “aktor”.
Epidemiologi
Menurut DSM-IV data yang terbatas dari penelitian populasi umum menyatakan
suatu prevalensi gangguan kepribadian histrionik kira-kira 2 sampai 3 %. Angka kira-
kira 10 sampai 15% telah dilaporkan pada lingkungan kesehatan mental rawat inap dan
rawat jalan jika pemeriksaan terstruktur digunakan. Keadaan ini lebih sering didiagnosis
pada wanita dibandingkan laki-laki
Gambaran Klinis
Orang yang memiliki gangguan tersebut memperlihatkan kepura-puraan mereka
dalam perilaku kesehariannya. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik
yang tidak biasa. Para individu tersebut, meskipun menunjukkan emosi secara berlebihan,
diperkirakan memiliki kedangkalan emosi.
Pasien dengan gangguan kepribadian hitrionik menunjukkan perilaku mencari
perhatian yang tinggi. Gangguan kepribadian histrionik ditandai oleh perilaku yang
bermacam-macam, dramatik, ekstovert pada orang yang meluap-luap dan emosional. Tetapi,
menyertai penampilan mereka, seringkali terdapat ketidakmampuan untuk mempertahankan
hubungan yang mendalam dan berlangsung lama. Mereka cenderung memperbesar pikiran
dan perasaan mereka, membuat segalanya terdengar lebih penting dibandingkan
kenyataannya.Perilaku menggoda sering ditemukan baik pada pria maupun wanita.
Pada kenyataannya, pasien histrionik mungkin memiliki disfungsi psikoseksual;
wanita mungkin anorgasmik dan pria cenderung mengalami impotent. Mereka mungkin
bahwa melakukan impuls seksual mereka untuk menentramkan diri mereka bahwa mereka
menarik bagi jenis kelamin yang lain. Kebutuhan mereka akan ketentraman tidak ada
136
[Type text]
habisnya. Tetapi, hubungan mereka cenderung dangkal dan pasien dapat gagal lagi tapi asyik
dengan diri sendiri dan berubah-ubah (Kaplan & Saddock, 1997 : 20).
Hubungan mereka cenderung dangkal, bagaimanapun, dan mereka dapat sia-sia,
egosentris, dan berubah-ubah. Pertahanan utama pasien dengan gangguan kepribadian
histrionik adalah represi dan disosiasi.
Teoritikus kognitif-perilaku menyatakan bahwa orang-orang dengan gangguan
tersebut menderita karena perspektif kesalahan yang mendasari pendekatan mereka terhadap
kehidupan. (Freeman, Pretzer, Fleming, & Simon, 1990). Teori psikoanalisis mendominasi
dan berpendapat bahwa emosionalitas dan ketidaksenonohan perilaku secara seksual
didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah kepada anak perempuannya.
Pasien yang mengalami gangguan ini diduga dibesarkan dalam lingkungan keluarga dimana
orang tua berbicara tentang seks sebagai suatu hal yang kotor, namun berperilaku seolah seks
adalah sesuatu yang menyenangkan dan diinginkan. Pola asuh tersebut menjelaskan focus
pikiran pada seks, dikombinasikan dengan ketakutan untuk benar-benar berperilaku secara
seksual. Ekspresi emosi yang berlebihan pada orang-orang histrionic dipandang sebagai
symptom-simptom konflik tersembunyi tersebut, dan kebutuhan untuk menjadi pusat
perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya
yaitu harga diri yang rendah.
Perpektif
1. Psikososial
Sumbangsih kognitif dan pengalaman masalalu yang suram menjadi salah satu
pemicu lahirnya gangguan ini. Lingkungan termasuk pengalaman masa kanak-kanak
yang merugikan termasuk kurangnya perhatian orangtua.
2. Sosiokultural
Studi budaya tertentu dengan tingkat tinggi HPD menunjukkan penyebab sosial dan
budaya HPD. Sebagai contoh, beberapa peneliti harapkan untuk menemukan
gangguan ini lebih sering antar budaya yang cenderung menampilkan nilai tanpa
hambatan emosi.
3. Biologi
137
[Type text]
Secara genetis, kemungkinan bawah ciri-ciri karakter mayornya merupakan sifat yang
diturunkan. Sedangkan ciri-ciri karakter lainnya disebabkan oleh kombinasi fenotip
dari genetika dan lingkungan, termasuk pengalaman di masa kecil.
Diagnosa
Diagnosis kepribadian histrionic, yang sebelumnya disebut histerikal, ditegakkan bagi
orang-orang yang terlalu dramatis dan mencari perhatian. Dalam wawancara, pasien dengan
gangguan kepribadian histrionik umumnya kooperatif dan ingin memberikan sejarah rinci.
Isyarat dan tanda baca yang dramatis dalam pembicaraan mereka adalah umum. Tampilan
afektif adalah umum, namun, saat ditekan untuk mengakui perasaan-perasaan tertentu
(misalnya, kemarahan, kesedihan, dan keinginan seksual), mereka mungkin merespon dengan
kejutan, kemarahan, atau penolakan. Hasil pemeriksaan kognitif biasanya normal, meskipun
kurangnya ketekunan dapat ditampilkan pada aritmatika atau tugas konsentrasi.
Kriteria diagnostik gangguan kepribadian histrionik berdasarkan DSM-IV
Pola pervasif emosionalitas dan mencari perhatian yang berlebihan, dimulai pada
masa dewasa muda dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh
lima ( atau lebih ) berikut :
1. Tidak merasa nyaman dalam situasi dimana ia tidak merupakan pusat perhatian.
2. Interaksi dengan orang lain sering ditandai oleh godaan seksual yang tidak pada
tempatnya atau perilaku provokatif.
3. Menunjukkan pergeseran emosi yang cepat dan ekspresi emosi yang dangkal.
4. Secara terus menerus menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian
kepada dirinya.
5. Memiliki gaya bicara yang sangat impresionistik dan tidak memiliki perincian.
6. Menunjukkan dramitasi diri, teatrikal, dan ekspresi emosi yang berlebihan.
7. Mudah disugesti, yaitu mudah dipengaruhi oleh orang lain atau situasi.
8. Menganggap hubungan menjadi lebih intim ketimbang keadaan sebenarnya.
138
[Type text]
Diagnosis Banding
a. Perbedaan antara gangguan kepribadian histrionik dan gangguan kepribadian ambang
adalah sukar. Pada gangguan kepribadian ambang, usaha bunuh diri, difusi identitas dan
episode psikotik singkat adalah lebih sering. Walaupun kedua kondisi dapat didiagnosis
pada pasien yang sama, klinisi harus memisahkan keduanya.
b. Gangguan somatisasi sindroma Briquet dapat terjadi bersama-sama dengan gangguan
kepribadian histrionik.
c. Pasien dengan gangguan psikotik singkat dan gangguan disosiatif mungkin perlu
mendapatkan diagnosis penyerta gangguan kepribadian histrionik.7
Terapi
- Psikoterapi : Pasien dengan gangguan kepribadian histrionik seringkali tidak menyadari
perasaan mereka yang sesungguhnya; dengan demikian penjelasan dalam (inner feeling)
mereka adalah suatu proses yang penting. Psikoterapi berorientasi psikoanalisis, baik
dalam kelompok atau individual, adalah terapi yang terpilih untuk gangguan kepribadian
histrionik.
- Psikofarmaka : Farmakoterapi dapat adjunctive bila gejala ditargetkan (misalnya,
penggunaan antidepresan untuk depresi dan keluhan somatik, agen anti ansietas untuk
kegelisahan, dan antipsikotik untuk derealisasi dan ilusi)
Perjalanan penyakit dan prognosis
Dengan bertambahnya usia, pasien dengan gangguan kepribadian histrionik
cenderung menunjukkan gejala yang lebih sedikit, tetapi, karena mereka tidak memiliki
energi yang sama dengan yang dimilikinya saat masih muda. Pasien adalah pencari sensasi
dan mungkin mengalami masalah dengan hukum, penyalahgunaan zat dan bertindak kepada
siapa saja. Seiring bertambahnya usia, orang dengan gangguan kepribadian histrionik
menunjukkan gejala yang lebih sedikit.
139
[Type text]
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas maka dapat dismpulkan bahwa siapa saja berpotensi untuk
mengalami gangguan – gangguan baik gangguan mood maupun gangguan ciri kepribadian.
Karena gangguan –gangguan ini tidak saja disebabkan oleh faktor genetika (dapat
diturunkan), tapi juga dipengaruhi oleh faktor temperamental, faktor biologis (hormon,
neurotransmitter dan elektrofisiologi), dan faktor psikoanalitik (yaitu adanya fiksasi pada
salah satu tahap di masa perkembangan psikoseksual dan juga tergantung dari mekanisme
pertahanan ego orang yang bersangkutan).
Dalam DSM-IV, gangguan kepribadian dibagi menjadi tiga kelompok dan masing-
masing kelompok terdapat beberapa gangguan kepribadian dengan karakteristik yang khas
dan berbeda-beda satu sama lain. Hampir semua gangguan kepribadian dapat disembuhkan
baik melalui psikoterapi (terapi kejiwaan) maupun farmakoterapi (terapi obat-obatan),
dengan teknik penyembuhan yang berbeda-beda untuk masing-masing gangguan kepribadian.
140