Post on 09-Dec-2015
description
1. MATERI METODE
1.1. Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. Alat yang digunakan dalam
praktikum kali ini adalah blender, pisau, botol, toples (ukuran 300 ml), panci, kain
saring (ukuran 30x30) 2 helai, dan pengaduk kayu.
1.2. Metode
1
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)
Tulang dan kepala ikan dihancurkan
2
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi disaring
3
Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit
Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 1 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.
Setelah dingin hasil perebusan disaring
4
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dari tulang dan ekor ikan bawal dengan
penambahan enzim papain pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pembuatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain.
Kel Perlakuan Warna Rasa AromaSalinitas
(%)Penampakan
A1 Enzim papain 0,2% ++++ ++++ +++ - ++++A2 Enzim papain 0,4% ++++ +++++ +++ - ++++A3 Enzim papain 0,6% ++++ +++++ +++ - ++++A4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ - ++++A5 Enzim papain 1% ++++ ++++ +++++ - +++Keterangan:Warna: Rasa:+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin++++ : coklat gelap ++++ : asin+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin
Aroma: Penampakan+ : sangat tidak tajam + : sangat cair++ : kurang tajam ++ : cair+++ : agak tajam +++ : agak kental++++ : tajam ++++ : kental+++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental
Pada tabel hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa penampakan dari semua kecap ikan
adalah kental, kecuali kecap ikan pada kelompok A5 yang memiliki penampakan agak
kental. Untuk semua kecap-kecap ikan tersebut memiliki unsur warna coklat yang sama
tiap-tiap kelompok yaitu coklat gelap. Dapat diketahui pula bahwa semua kecap ikan
yang dihasilkan memiliki aroma yang cenderung agak tajam, kecuali kelompok A4
dengan aroma agak tajam untuk kelompok A3 dan kelompok A4 aromanya kurang
tajam. Untuk rasa dari semua kecap ikan tersebut juga cenderung sangat asin dan untuk
kelompok A1 dan A4 dengan rasa asin.
5
3. PEMBAHASAN
Pada umumnya kecap ikan terbuat dari ikan-ikan kecil yang memiliki nilai jual rendah
seperti teri, selar, tembang, dan ikan-ikan air tawar, misalnya adalah sriwet dan nilam
(Astawan & Astawan, 1988). Namun pada praktikum pembuatan kecap ikan ini, yang
digunakan bukannya ikan seutuhnya, namun hanya bagian tulang dan ekornya saja.
Tulang ikan yang digunakan merupakan tulang ikan bawal. Menurut Eigenmann &
Kennedy (1903), ikan bawal merupakan ikan air tawar. Ikan ini dapat dikelompokan
sebagai ikan pemakan daging karena gigi-giginya yang tajam. Beliau menambahkan
bahwa pada 100 gr ikan bawal mengandung 0.4 mg zat besi, 0.7 gram lemak, 18.2 gram
protein, 44 mg kolesterol dan 84 gr kalori. Astawan & Astawan (1988) menyatakan
bahwa tulang ikan bawal mengandung protein sebesar 0.78%, sehingga tulang ikan dan
ekor ikan ini masih memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan
kecap ikan. Selain itu penggunaan tulang dan ekor ikan juga dapat mengurangi limbah
dan justru dapat meningkatkan nilai ekonomi dari limbah tersebut.
Kilinc et al (2006) berpendapat bahwa pada dasarnya, kecap ikan dihasilkan dari
campuran garam dan ikan, yang kemudian difermentasi, beliau menyatakan bahwa
proteolisis merupakan proses biokimia yang paling sering terjadi selama fermentasi
berlangsung. Ritthiruangdej & Suwonsichon (2006), menambahkan bahwa selama
fermentasi ikan, protein yang terkandung dalam ikan mengalami hidrolisis, dan
hidrolisis tersebut disebabkan oleh enzim protease melalui proses autolisis maupun oleh
aktivitas mikroorganisme. Menurut Fukami et al (2004) dalam Ritthiruangdej &
Suwonsichon (2006), dari proses hidrolisis tersebut menghasilkan aroma dan rasa yang
khas, dan karakteristik ini menjadi faktor yang dapat menentukan penerimaan kecap
ikan oleh konsumen, dan menurut Kanlayakrit & Boonpan (2007), karakteristik tersebut
biasanya dijadikan indikator untuk mengukur kualitas dari kecap ikan tersebut.
Sebagian aroma khas pada kecap ikan tersebut diakibatkan karena adanya asam lemak
volatil dengan berat molekul yang rendah pada format, asetat, propionat, isobutirat, n-
butirat, isovalerat, dan asam n-valerat tertentu (Dougan & Howard, 1975 yang diacu
dalam Kanlayakrit & Boonpan, 2007).Kilinc et al (2006) juga menambahkan bahwa
karakteristik sensori yang meliputi aroma dan rasa tersebut disebabkan karena adanya
6
7
asam amino dan peptida yang dihasilkan dari degradasi protein selama proses
fermentasi. Kasma (1998) yang diacu dalam Olubunmi et al (2010) menyampaikan
bahwa biasanya kecap ikan terbuat dari ikan-ikan yang kecil yang memiliki nilai jual
rendah dan jarang dikonsumsi.Menurut Eyo (2011) yang diacu dalam Olubunmi et
al(2010), kandungan garam yang tinggi pada kecap ikan dapat mencegah pertumbuhan
dari bakteri patogen dan bakteri putrefactive (bakteri pemecah protein), sehingga dapat
memperpanjang umur simpan dari kecap ikan. Amano (1962) yang diacu dalam
Ritthiruangdej & Suwonsichon (2006), juga berpendapat bahwa kandungan nutrisi dari
kecap ikan terbatas, dikarenakan tingginya kandungan garam pada kecap ikan, namun
konsumsi yang rutin dari kecap ikan dapat menjadikannya sebagai sumber protein pada
beberapa negara dimana karbohidrat menjadi sember energi utama.
Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum kali ini adalah pertama-tama, sebanyak 50
gr tulang dan ekor ikan diblender. Penghancuran di sini bertujuan untuk memperluas
permukaan tulang dan ekor ikan, sehingga reaksi antara bahan baku tersebut dan bahan-
bahan lain yang akan di tambahkan akan menjadi lebih efisien dan lebih cepat pula
(Arpah, 1993). Saleh et al (1996) juga menambahkan bahwa dengan dilakukannya
penghancuran pada bahan baku ini, maka permukaan bahan baku akan menjadi semakin
luas, sehingga bahan baku tersebut dapat melepas komponen flavornya secara
maksimal.
Kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang digunakan menjadi wadah fermentasi
(toples) yang ditambahkan air sebanyak 250 ml. Lalu ditambahken dengan enzim
papain (kelompok A1: 0,2 %; kelompok A2: 0,4%; kelompok A3: 0,6%; kelompok A3:
0,8%; dan kelompok A4: 1%). Fungsi penambahan enzim ini yaitu untuk membantu
proses hidrolisis protein dan mempercepat proses fermentasi kecap ikan.Enzim papain
dapat diperoleh dari buah pepaya, getah pepaya, daun dan batang pepaya (Lisdiana &
Soemadi, 1997). Enzim papain merupakan enzim protease, dimana enzim ini berperan
untuk memecah molekul protein menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana
seperti peptida, asam amino, dan pepton (Winarno, 1995). Setelah itu, sampel
diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Menurut teori Yongsawatdigul et al (2007),
inkubasi yang paling baik dilakukan pada suhu 55oC, karena pada suhu tersebut dapat
8
meningkatkan aktivitas proteolitik, sehingga asam amino, pepton dan peptida yang
dihasilkan akan semakin banyak, dan aroma akan menjadi semakin kuat.
Setelah diinkubasi, sampel disaring, dan filtrat yang didapatkan direbus sampai
mendidih. Kemudian pada saat perebusan, filtrat tersebut ditambahkan dengan 50 gr
bawang putih yang sudah dihaluskan, 50 gr garam, dan 1 butir gula kelapa yang sudah
dihancurkan. Proses perbusan berfungsi untuk menginaktivasi enzim papain yang
ditambahkan, karena menurut Sangjindayvong et al (2009) enzim papain akan
terdenaturasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 61-81oC. Selain itu, perebusan yang disertai
dengan penambahan bumbu-bumbu ini bertujuan untuk melarutkan bumbu tersebut
secara sempurna, dan mempercepat reaksi bumbu-bumbu tersebut dalam memberikan
rasa, warna, dan aroma.
Penambahan bumbu-bumbu ini dilakukan untuk menambah cita rasa dan memberi
warna pada kecap ikan (Winarno et al, 1980). Penambahan garam dapat menjadi
penguat rasa dan memberikan rasa asin pada kecap ikan. Penambahan gula jawa juga
dapat menetralkan rasa asin yang berlebih serta memberikan warna dan aroma pada
kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Dan menurut Desrosier & Desrosier (1977), bawang putih
berfungsi untuk memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan (Desrosier &
Desrosier, 1977). Selain itu, penambahan garam, gula jawa dan bawang putih tersebut
juga dapat memberikan efek pengawetan terhadap kecap ikan, karena menurut
Desrosier& Desrosier (1977), garam dan gula dapat menurunkan kadar Aw dengan
mengikat molekul air bebas pada bahan kecap ikan yang ditambahkan, sehingga air
bebas yang tersedia pada kecap ikan tersebut akan berkurang. Kadar garam yang tinggi
dapat menyebabkan plasmolisis pada sel mikroorganisme, yaitu keluarnya cairan sel
dari sel mikroorganisme, sehingga mikroorganisme tersebut akan mati. Sedangkan pada
bawang putih sendiri mengandung senyawa antimikroba yang disebut dengan allicin
(Santoso, 1994).
Setelah mendidih dan sudah didinginkan, kecap ikan tersebut disaring dengan
menggunakan kain saring. Pendinginan dimaksudkan agar praktikan dapat dengan
mudah menyaring kecap ikan tersebut, jika penyaringan pada kondisi panas, maka akan
9
menyebabkan penyaringan menjadi tidak efektif. Tujuan dilakukannya penyaringan ini
adalah untuk memisahkan residu bawang putih dan padatan-padatan lainnya dari kecap
ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyitno (1989) bahwa proses
penyaringan digunakan untuk memisahkan suatu campuran yang terdiri dari partikel
padat yang tidak dapat larut dan partikel cair. Proses penyaringan ini dapat dilakukan
dengan menggunakan membran, kain saring, kertas saring dan masih banyak lagi, alat
yang digunakan tersebut tergantung dari bahan yang akan disaring. Kemudian diamati
secara sensoris yang meliputi warna, rasa dan aroma, dan nilai salinitasnya diukur
dengan menggunakan refraktometer.Menurut Reynold & Richards (1996),
refraktometer adalah suatu alat yang dapat dugunakan untuk mengukur konsentrasi
padatan terlarut atau TDS (Total Dissolved Solid) berdasarkan indeks biasnya.
Hasil pengamatan dapat dilihat bahwa kecap ikan yang memiliki warna coklat gelap
pada semua perlakuan enzim papain dalam semua kelompok. Untuk rasa yang sangat
asin pada perlakuan enzim papain 0,4% dan 0,6% serta yang asin pada perlakuan enzim
papain 0,2%, 0,8% dan 1%, untuk aroma dihasilkan aroma kecap ikan agak tajam pada
perlakuan enzim papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6%. Sedangkan untuk aroma kurang tajam
terdapat pada perlakuan enzim papain 0,8%, kecuali pada perlakuan enzim papain 1%
dengan aroma sangat tajam, untuk penampakan kental pada semua perlakuan enzim
papain, kecuali pada perlakuan enzim papain 1% agak kental. Untuk salinitas tidak
diperoleh hasil.
Untuk pengamatan warna didapat hasil warna yang berbeda-beda tidak menunjukkan
peningkatan atau penurunan setelah diberi penambahan enzim papain. Hal ini tidak
sesuai dengan teori menurut Astawan & Astawan (1988) bahwa aktivitas enzim
proteolitik yang diberikan pada ikan akan membentuk warna coklat yang semakin gelap
dengan dengan menambahkan dalam jumlah yang banyak. Dapat dilihat juga bahwa
semua hasil kecap ikan menunjukkan hasil warna coklat gelap. Hal ini dapat
dikarenakan penambahan gula jawa yang akan membuat cairan kecap ikan menjadi
tambah coklat dan akibat pemanasan yang digunakan. Menurut Kasmidjo (1990) gula
jawa dapat juga memberikan warna coklat kepada kecap ikan. menurut Lees & Jackson
(1973) pemanasan akan menyebabkan adanya reaksi mailard, yaitu reaksi antara asam
10
amino dari ikan dan gula pereduksi dari gula jawa dengan penggunaan suhu tinggi maka
akan menyebabkan warna coklat. Hasil yang berbeda dapat dikarenakan adanya
pemanasan yang kurang sesuai dengan yang dianjurkan, penambahan gula jawa yang
kurang, enzim proteolitik yang diatambahkan kurang sesuai, dan dapat diakibatkan
kesalahan dalam pengamatan.
Untuk pengamatan rasa didapat hasil yang menunjukkan peningkatan rasa asin sampai
penambahan enzim papain 0,6% dan setelah itu mengalami penurunan kembali. Untuk
rasa asin yang semakin meningkat dengan penambahan enzim papain tersebut sesuai
dengan pernyataan menurut Handayani, W., dkk (2007) bahwa enzim protease akan
menghidrolisis komponen protein menjadi lebih sederhana. Sehingga akan cepat
meningkatan pemecahan jika ditambahkan lebih banyak, dimana pemecahan protein
tersebut akan meningkatkan flavor yang terbentuk. Penambahan gula jawa menurut
Kasmidjo (1990) dapat menetralkan rasa asin yang berlebih dari garam.
Untuk hasil aroma didapat kebanyakan menghasilkan aroma yang agak tajam, namun
pada penambahan enzim papain 0,8% mengalami penurunan menjadi kurang tajam, dan
mengalami peningkatan menjadi sangat tajam pada penambahan enzim papain sebesar
1%. Hal ini dikarenakan menurut Winarno, et al. (1980) penambahan bumbu-bumbu
diatas dilakukan akan meningkatkan flavor dan cita rasa kecap ikan yang akan dibuat.
Salah satunya adalah bawang putih sendiri menurut Desrosier & Desrosier (1977)
berfungsi untuk memberikan aroma dan flavor pada kecap ikan. Sehingga seharusnya
semakin banyak enzim papain maka aroma yang terbentuk semakin tajam.
Untuk penampakan dapat dilihat bahwa nilainya secara garis besar menunjukkan kental
lalu mengalami penurunan menjadi agak kental pada penambahan enzim papain 1%..
Hal ini sesuai dengan teori Illanes(2008) bahwa penambahan enzim papain akan
menurunkan nilai susut masak daging, dengan menghidrolisis jaringan ikat protein
daging diantaranya kolagen daging, sehingga menurut Nowak(2011) dapat membuka
struktur mikro daging dengan terputusnya myofibril. Menurut Lawrie (1985) daya
mengikat air yang tinggi akan mengurangi terjadinya penyusutan selama daging
11
dimasak. Hal ini akan membuat daging semakin basah. Sehingga semakin banyak enzim
papain seharusnya didapat kecap ikan yang lebih cair.
Untuk salinitas digunakan pengukuran dengan bantuan refraktometer, akan dihasilkan
jumlah konsentrasi. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa salinitas tidak
menunjukkan hasil sama sekali. Hal tersebut dapat terjadi karena pemapakan yang
menunjukkan agak kental hingga kental. Di mana telah dijelaskan sebelumnya semakin
banyak enzim papain maka tingkat keasinan akan semakin meningkat. Oleh karena itu
hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa salinitas yang akan diperoleh semakin tinggi
dengan semakin banyaknya pemberian enzim papain. Tetapi pada hasil dihasilkan
berbeda dengan teori hal itu dikarenakan adanya pemanasan yang kurang sesuai dengan
yang dianjurkan, penambahan garam yang kurang, enzim proteolitik yang diatambahkan
kurang sesuai, dapat diakibatkan kesalahan dalam pengamatan, dan pembacaan
refraktometer yang kurang tepat.
Pada jurnal yang berjudul “Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce
Products from “Bibisan” Fish Hydrolizate” membahas tentang kecap ikan yang
berkualitas dapat diproduksi dari hidrolisat ikan bibisan. Pembuatan kecap ikan dari
bahan hidrolisat ikan bibisan dapat dilakuka dalam waktu yang singkat. Hal tersebut
dikarenakan proses fermentasi yang digunakan tidak melalui proses fermentasi pada
umumnya. Produksi kecap ikan berbahan dasar ikan bibisan dapat berjalan dalam
waktu yang singkat karena kombinasi dari biduri dan enzim papain. Secara
keseluruhan, penilaian karakteristik dan sesnsori kecap ikan dapat diterima untuk
dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan praktikum yang juga menggunakan fermentasi
sebagai salah satu langkah proses pembuatan kecap ikan (Witono, et. al., 2014).
Dalam jurnal yang berjudul “Chemical and microbial properties of mahyaveh, a
traditional Iranian fish sauce” membahas mengenai seperti yang diketahui bersama,
penelitian ini merupakan laporan kimia dan mikrobiologi dari Iran. pH sampel
mahyaveh dari berbagai lokasi berada di kisaran 4,89 sampai 7,55 dan konsentras NaCl
pada kisaran 7,48 hingga 17,41%. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa TVB dalam
12
sampel yang diuji adalah 3.098 mg/kg. Histamin, dengan rata-rata keseluruhan 2.662
mg/kg, tidak menjadi bagian dari amina biogenik kecap ikan. Tingginya kandungan
histamin dapat meningkat ke tingkatan jumlah bakteri kecuali enterobactericeae dan
asam lemak dalam bakteri terutama enterobactericeae. Hal tersebut berkaitan dengan
praktikum, di mana kecap ikan yang dibuat berasal dari ikan dan menggunakan proses
kimia (Zarei, Mehdi, et. al., 2012).
Jurnal berjudul “Occurence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish
Sauce” membahas tentang kandungan histamin pada sampel kecap ikan pada level 50
ppm. Produk tergolong aman semenjak dikonsumsi. Amina pada tingkat yang tinggi
menujukkan produk dalam kondisi yang higienis pada saat fermentasi. Dalam
penelitian, ditemukan bahwa dengan bakteri dalam kecap ikan, bakteri tersebut dapat
dijadikan amina biogenik, histamin sederhana, dan dapat mendegradasi tiga amina.
Oksidasi amina dapat digunakan untuk menyeleksi bakteria terutama untuk mengurangi
akumulasi amina pada kecap ikan (Zaman, Muhammad Zukhrufuz, et. al., 2010).
Pada jurnal yang berjudul “Preliminary Production of Sauce From Clupeids” membahas
mengenai kecap ikan diproduksi dengan cara melumuri tubuh ikan dengan garam dan
difermentasi selama 12 minggu. Karaktristik kimiawi menjadi mirip dengan kecap ikan
yang diproduksi Malaysia dan Korea. pH meningkat tetapi semua kecap ikan yang
dihasilkan berada pada kisaran pH 6,8 sampai 7,6. Penggunaan garam dalam proses
pembuatan kecap ikan juga dilakukan dalam praktikum kali ini (Olubunmi, Fakunle, et.
al., 2010).
Jurnal yang berjudul “Proteolytic action in Valamugil sehelli and Ilisha melastoma for
fish sauce production” membahas tentang berbagai pengaruh jenis ikan yang digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan kecap ikan. Berdasarkan pada kandungan biokimianya,
kecap ikan yang terbuat dari I. Melastoma memiliki kandungan protein terlarut dan
menajdi bahan yang baik untuk memproduksi kecap ikan. Di samping itu, V. Seheli
dapat memberikan alternatif bahan mentah untuk produksi kecap ikan dalam skala besar
(Afiza, T. S., et. al., 2011).
4. KESIMPULAN
Kecap ikan terbuat dari proses fermentasi ikan.
Kecap ikan dapat dibuat dari tulang dan ekor ikan.
Kecap ikan merupakan cairan berwarna coklat.
Fermentasi kecap ikan secara enzimatis dilakukan dengan menambahkan enzim
protease.
Enzim protease dapat diperoleh dari nanas dan getah atau daun pepaya.
Penambahan gula jawa dimaksudkan untuk menetralkan rasa asin dan memberi
warna serta memerikan aroma.
Penambahan bawang putih dimaksudkan untuk memberikan rasa dan aroma.
Gula dan garam dapat mengikat molekul air bebas pada kecap ikan.
Bawang putih mengawetkan kecap ikan karena adanya senyawa allicin yang bersifat
antimikroba.
Penghancuran bahan dapat memperluas kontak permukaan bahan, sehingga reaksi
antara bahan dan bahan yang ditambahkan akan menjadi lebih efisien.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan, maka aroma yang
dihasilkan akan semakin tajam.
Aroma dan rasa kecap ikan dijadikan sebagai indikator untuk menentukan kualitas
dari kecap ikan tersebut.
Kecap ikan dengan fermentasi secara enzimatis memiliki kandungan protein yang
lebih besar.
Suhu inkubasi yang paling baik dilakukan pada suhu 55oC karena pada suhu
tersebut, enzim protease dapat melakukan aktivitas proteolitik dengan optimal.
Semarang, 24 September 2015
Praktikan, Asisten dosen,
- Michelle D.
Theo Rony Yuliarto
13.70.0195
13
14
5. DAFTAR PUSTAKA
Amano, K. 1962. The influence of fermentation on the nutritive value of fish with special reference to fermented fish products of South- East Asia, pp. 180- 197. In E. Heen and R. Kreuzer (eds.). Fish in Nutrition. London: Fishing News (Books).
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dougan, J. and G.E. Howard. 1975. Some flavoring constituents of fermented fish sauces. J. Sci. Food Agric. 26: 887-894.
Eyo, A. A. (2001). Fish Processing Technology in the tropics. University ofIlorin, Press. Pp 403.
F., Ng Y., Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce production. 2011. Malaysia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.
Fukami K, Satomi M, Funatsu Y, Kawasaki K,Watabe S (2004)Characterization and distribution of Staphylococcus sp. Implicated for improvement of fish sauce odor. Fish Sci 70:916–923
Handayani, W., dkk. 2007. Pengaruh Variasi Konsentrasi Sodium Klorida terhadap Hidrolisis Protein Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) oleh Protease Ekstrak Nanas (Ananas comosus [L.] Merr. var. Dulcis). Jr. Teknologi Proses, 6 (1): 1-9.
Illanes, A., 2008. Enzyme Production. In: Enzyme Biocatalysis: Principles and Applications: Enzyme Production. A. Illanes, Ed. Springer Pub., Chile. Page: 57-106.
Kanlayakrit, Werasit & Boonpan, Anan. (2007). Screening of Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. (Nat. Sci.) 41: 576 – 585. Thailand.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
15
Kasma Loha-unchit copyright (c) 1998 Kasma Loha Unchit.
Kilinc, Berna; Sukran Cakli; Sebnem Tolasa; Tolga Dincer. (2006). Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing. Eur Food Res Technol (2006) 222: 604–613. Turkey.
Lawrie, R.A. 1985. Meat Science.4th Ed. Pergamon Press, Oxford, New York.
Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W.Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.
Nowak, D., 2011. Enzymes in Tenderization of Meat: The System of Calpains and Other Systems: A Review. Pol. J. Food Nutr.Sci.61(4): 231-237.
Olubunmi, Fakunle; Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal. Nigeria. http://sciencepub.com. Diakses pada tanggal 24 September 2015.
Pitiporn Ritthiruangdej and Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Department of Product Development, Faculty of Agro-Industry, Kasetsart Unviversity, Bangkok 10900, Thailand.
Reynold, T.D and Richards, P.A. 1996. Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company. Boston.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).
Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Suyitno.(1989). PetunjukLaboratoriumRekayasaPangan. PusatAntarUniversitas.
16
Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
Winarno, F. G ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Witono, Yuli, et. al. Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from “Bibisan” Fish Hydrolizate. 2014. Indonesia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.
Yongsawatdigul, J; S. Rotdong; and N. Raksakulthai. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauce Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science – Vol. 72, Nr. 9. Thailand.
Zahrei, Mehdi, et. al. Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. 2012. Iran. Diakses pada tanggal 24 September 2015.
Zaman, Muhammad Zukhrufuz, et. al. Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. 2010. Malaysia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan Salinitas
Rumus:
Kelompok E1
Kelompok E2
Kelompok E3
Kelompok E4
Kelompok E5
Kelompok E6
17
18
6.2. Diagram Alir
6.3. Laporan Sementara
19
20
21
22
23
24
25
26