MAKALAH PEND TERINTEGRASI

23
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat yang di lakukan oleh Akbar (2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar dua puluh persen oleh hard skill dan sisanya delapan puluh persen oleh soft skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan (Kemendiknas, 2010). Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno menegaskan” Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building). Karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. (Samani. M, 2012). Dari uraian diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya pendidikan karakter sebagai bentuk penanaman nilai-nilai pada putra-putri bangsa sebagai pedoman untuk membangun bangsa yang bermoral dan bermartabat, serta menciptakan integrasi sosial yang nantinya berimplikasi terhadap masa depan bangsa Indonesia sendiri. Sistem Pendidikan yang berlaku di Indonesia memilki tujuan yang mulia yakni tercermin dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

Transcript of MAKALAH PEND TERINTEGRASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat

yang di lakukan oleh Akbar (2000), ternyata kesuksesan seseorang

tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan

teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri

dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,

kesuksesan hanya ditentukan sekitar dua puluh persen oleh hard skill

dan sisanya delapan puluh persen oleh soft skill. Hal ini

mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik 

sangat penting untuk ditingkatkan (Kemendiknas, 2010).

Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno menegaskan”

Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan 

karakter (character building). Karena character building inilah yang akan

membuat Indonesia  menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya

serta bermartabat. (Samani. M, 2012). Dari uraian diatas

menggambarkan bahwa betapa pentingnya pendidikan karakter sebagai

bentuk penanaman nilai-nilai pada putra-putri bangsa sebagai

pedoman untuk membangun bangsa yang bermoral dan bermartabat,

serta menciptakan integrasi sosial yang nantinya berimplikasi

terhadap masa depan bangsa Indonesia sendiri.

Sistem Pendidikan yang berlaku di Indonesia memilki tujuan

yang mulia yakni tercermin dalam UU No.20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa,

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab, diharapkan mampu

meningkatkan kualitas moral bangsa Indonesia. Namun pada

kenyataannya tujuan yang diharapkan dan diinginkan oleh Undang-

Undang tersebut belum sepenuhnya terwujud. Hal ini ditandai

dengan banyaknya manusia yang cerdas namun tidak disertai dengan

keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak

berakhlak mulia, tidak jujur dan tidak bertanggungjawab, sehingga

dengan kepintarannya tersebut ia gunakan untuk hal-hal yang

kurang bermanfaat. Kondisi bangsa Indonesia saat ini cukup

memprihatinkan, sehingga membawa bangsa ini semakin terpuruk

dalam kemiskinan dan krisis moral yang berkepanjangan.

Penurunan kualitas moral generasi bangsa ini, disebabkan

oleh kurangnya perhatian dalam usaha etika dan moral dalam

pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Tidak ada pembentukan

program pendidikan karakter sejak dini, sehingga karakter yang

terbentuk dari sebagian pelajar Indonesia bukanlah karakter yang

mencerminkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sebuah solusi dalam

dunia pendidikan untuk menerapkan pendidikan karakter guna

membentuk karakter positif para pelajar, sehingga menghasilkan

manusia yang cerdas, kreatif, serta bermoral dan bermartabat

dalam rangka membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami merumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan pendidikan berkarakter?

2. Apakah hubungan antara pendidikan karakter dengan

pembentukan moral yang baik?

3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan berkarakter di Sekolah?

4. Apa saja hambatan penerapan pendidikan karakter di Sekolah?

5. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter di Indonesia?

6. Bagaimana potensi pendidikan karakter diintegrasikan dalam

kurikulum pendidikan di Indonesia?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Menjelaskan definisi pendidikan karakter.

2. Menjelaskan hubungan antara pendidikan karakter dengan

pembentukan moral yang baik

3. Menjelaskan pelaksanaan pendidikan berkarakter di Sekolah.

4. Menjelaskan hambatan penerapan pendidikan karakter di

Sekolah.

5. Mendeskripsikan implementasi pendidikan karakter di

Indonesia?

6. Mendeskripsikan potensi pendidikan karakter diintegrasikan

dalam kurikulum pendidikan diIndonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi dan Makna Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu sistim penanaman nilai-

nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus

dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,

yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,

penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,

pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan

sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga

sekolah/lingkungan (Lubis, 2010). Megawangi (2007) menyatakan

bahwa pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui

proses knowing the good, loving the good, and acting the good.

Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif,

emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi

habit of the mind, heart, and hands. Pengembangan karakter bangsa

dapat dilakukan melalui perkembangan karakter individu seseorang.

Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan

budaya tertentu, maka perkembangan karakter individu seseorang

hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial  dan budaya yang

bersangkutan. Artinya, perkembangan budaya dan karakter dapat

dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan

peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan

budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah

Pancasila, jadi pendidikan budaya dan karakter adalah

mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peseta didik

melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.

Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia

yang tak pernah ditinggalkan. Sebagai sebuah proses, ada dua hal

asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan manusia.

Pertama, bisa dianggap sebagai sebuah proses yang terjadi secara

tidak disengaja atau berjalan secara alamiah. Pendidikan bukanlah

proses yang diorganisasi secara teratur, terencana, dan

mengunakan metode-metode yang dipelajari serta berdasarkan

aturan-aturan yang telah disepakati mekanisme penyelenggaraannya

oleh suatu komunitas masyarakat (Negara), melainkan lebih

merupakan bagian dari kehiupan yang memang telah berjalan sejak

manusia itu ada. Pengertian ini menunjuk bahwa pada dasarnya

manusia secara alamiah merupakan mahkluk yang belajar dari

peristiwa alam dan gejala-gejala kehidupan yang ada untuk

mengembangkan kehidupannya. Kedua, pendidikan dianggap sebagai

proses yang terjadi secara sengaja, disengaja, dan diorganisasi

berdasarkan aturan yang berlaku, terutama perundang-undangan yang

dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat.

Pendidikan sebagai sebuah kegiatan dan proses aktivitas yang

disengaja ini merupakan gejala masyarakat ketika sudah mulai

disadari pentingnya upaya untuk membentuk, mengarahkan, dan

mengatur manusia sebagaimana dicita-citakan masyarakat terutama

cita-cita orang yang mendapatkan kekuasaan. Cara mengatur manusia

dalam pendidikan ini tentunya berkaitan dengan bagaimana

masyarakat akan diatur. Artinya, tujuan dan pengorganisasian

pendidikan mengikuti arah perkembangan sosio-ekonomi yang

berjalan. Jadi, ada aspek material yang menjelaskan bagaimana

arah pendidikan didesain berdasarkan siapa yang paling berkuasa

dalam masyarakat tersebut. Karakter merupakan perpaduan antara

moral, etika, dan akhlak. Moral lebih menitikberatkan pada

kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku manusia atau apakah

perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, atau benar atau

salah. Sebaliknya, etika memberikan penilaian tentang baik dan

buruk, berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat

tertentu, sedangkan akhlak tatanannya lebih menekankan bahwa pada

hakikatnya dalam diri manusia itu telah tertanam keyakinan di

mana ke duanya (baik dan buruk) itu ada. Karenanya, pendidikan

karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya

mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan

bai-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan

itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

2. Hubungan Antara Pendidikan Karakter dengan Pembentukan Moral

yang Baik

Moral berasal dari bahasa latin mores, yang artinya adat

istiadat, kebiasaan atau cara hidup (Gunarsa, 1981; Martini,

1995). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi

seseorang. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau

kesusilaan yang mengandung makna tata tertib hati nurani yang

membimbing tingkah laku batin dalam hidup. Moralitas merupakan

apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan

buruk atau benar dan salah (Nashori, 1995). Banar atau salah

tidak muncul begitu saja, tetapi diperlukan proses berpikir dan

berbagai pertimbangan, ini disebut sebagai penalaran moral (moral

reasoning) (Woolfolk, 2009). Penalaran moral kemudian memberikan

pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai moral.

Pendidikan moral bukan semata-mata masalah pengetahuan,

tetapi harus diajarkan melalui perilaku dan kebiasaan (Habit).

Suasana sekolah dan aturan-aturan yang berlaku harus mampu

menjadi supporting system bagi penanaman nilai-nilai moral dan

membentuk perilaku yang baik. Melihat fakta yang ada di

Indonesia, semangat untuk membangun moralitas pelajar ini masih

sangat rendah. Institusi sekolah yang diharapkan menjadi

penanggung jawab pengganti utama generasi penerus, secara nyata

belum banyak mendidik penalaran moral. (Nashori, 1995). Hal ini

juga sangat dipengaruhi karena tolok ukur pendidikan kita adalah

prestasi akademik. Sistem pendidikan kita semakin hari justru

lebih mengedepankan prestasi daripada moralitas atau budi pekerti

(Riyono, 2009). Penelititian menunjukkan bahwa tanpa

spiritualitas, maka moralitas akan bersifat relatif dan

situasional (Hui dan Graen, 1997, Ditimaso dan Hooijberg, 1996;

dalam Riyono, 2009). Nilai-nilai budaya lokal yang syarat akan

moralitas sudah mulai ditinggalkan demi mengejar tuntutan global.

Adat timur yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat menjadi bekal

dalam penanaman moralitas terhadap anak bangsa.

Menurut T. Ramli (dalam panduan pendidikan karakter, 2011)

pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan

pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah

membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga

masyarakat, dan warga negara yang baik. Dalam karakter manusia

terdapat tiga komponen. Yang pertama pengetahuan moral (moral

knowing). Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran

moral dan strategi kognitif yang digunakan untuk mengambil

keputusan secara sistematis. Melalui komponen ini individu dapat

membayangkan konskuensi yang akan terjadi di kemudian hari dari

keputusan yang di ambil dan siap bagaimana menghadapi konskuensi

tersebut. Kedua, perasaan moral (moral affect), yang mencakup

identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan, komitmen, hati

nurani, dan empati yang semuanya merupakan sisi afektif dari

moral pada diri individu, perasaan moral juga berfungsi sebagai

jembatan antara pengetahuan moral dan tindakan moral. Ketiga,

tindakan moral (moral action) yang memiliki tiga komponen yaitu

kehendak, kompetensi, dan kebiasaan.

Koehler dan Royer (dalam lestari, 2009) merinci ciri-ciri

karakter adalah sebagai berikut;

a) Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap

pengalaman dari luar

b) Secara konsisten mampu mengelola emosi

c) Memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan

menerima tanpa pamrih

d) Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain

yang melihat

e) Memiliki kekuatan dari dalam unuk mengupayakan keharmonisan

dengan lingkungan sekitar

f) Mengembangkan standar pribadi yang tepat dan berperilaku

yang konsisten dengan standar tersebut.

3. Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah

Menurut Sartono (2011), karakter yang dimaksud dalam

pendidikan adalah karakter bangsa Indonesia yang sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila antara lain Beriman dan Bertakwa, Jujur dan

Bersih, Santun dan Cerdas, Bertanggung jawab dan Kerja Keras,

Disiplin dan Kreatif, Peduli dan Suka menolong.  Maka dengan

Pendidikan karakter diharapkan agar pendidikan karakter

terintegrasi dalam setiap mata pelajaran sehingga dengan adanya

pendidikan karakter diharapkan masa depan Indonesia lebih baik.

Strategi pelaksanaan pendidikan karakter dibuat mulai dari

pemerintah pusat sampai ke tataran keluarga. Ini menunjukkan

bahwa pelaksanaan pendidikan karakter harus mendapatkan  dukungan

dari semua pihak.

Marzuki (2012, hal. 42) dalam hasil penelitiannya menyatakan

bahwa pendidikan karakter di sekolah merupakan bagian dari

reformasi pendidikan, maka reformasi pendidikan karakter bisa

diibaratkan sebagai pohon yang memiliki empat bagian penting,

yaitu  akar, batang, cabang, dan daun. Akar reformasi adalah

landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter

harus jelas dan dipahami oleh masyarakat. Pengintegrasian

Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah penyelenggara

dan pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari

pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan

nasional. Dalam hal ini standar dan tujuan dilaksanakannya

pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan akuntabel.

Cabang reformasi berupa manajemen pengelolaan pendidikan

karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus

ditingkatkan. Sedang daun reformasi adalah adanya keterlibatan

orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pelaksanaan

pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan

kebiasaan hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi

teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-

hari.

Keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan

pendidikan/sekolah dapat tercapai dengan keterlibatan semua warga

sekolah, keluarga, dan anggota masyarakat. Bahkan Wening (2012)

dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Pendidikan nilai merupakan

implementasi pendidikan karakter yang diperoleh dari lingkungan

keluarga, sekolah, teman sebaya, dan media massa. Keluarga

merupakan lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter yang

pertama yang harus terlebih dahulu diberdayakan, sedangkan

pendidikan karakter di sekolah ditekankan pada penanaman moral,

nilai-nilai estetika, budi pekerti yang luhur. Di samping itu

lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter

atau watak seseorang. Mengingat keberhasilan pendidikan karakter

sangat dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan

masyarakat, keberadaan contoh (role model) sangat berarti.

Misalnya orang tua, guru, dan para public figur harus menjadi

contoh langsung bagi anak atau peserta didik.

Peran guru sebagai role model di sekolah sangat berpengaruh

terhadap efektifitas penerapan pendidikan karakter. Pendidik yang

berkarakter kuat dan cerdas diperlukan dalam situasi dan kondisi

bangsa yang masih dilanda krisis multidimensi. Sehingga kehadiran

pendidik sebagai key actor in the learning process, yang

profesional serta memiliki karakter kuat dan cerdas, karena

melalui pendidik yang memiliki karakter kuat dan cerdas akan

tercipta sumber daya manusia yang merupakan pencerminan bangsa

yang berkarakter kuat dan cerdas, serta bermoral luhur.

Pelaksanaan pendidikan karakter tidak semudah mendesain

pendidikan karakter itu sendiri. Sebagai contoh,  pendidikan

karakter di sekolah menanamkan nilai-nilai disiplin, jujur, dan

toleran sehingga pendidikan karakter menjadi salah satu solusi

kultural untuk mengurangi korupsi, namun di luar sekolah, stuktur

masyarakat menampilkan sosok pemimpin yang korup, tidak jujur,

terjadi ketidakadilan. Di sinilah letak tidak efektifnya

pendidikan budaya dan karakter yang ditanamkan kepada anak.

4. Kendala Penerapan Pendidikan Karakter di Sekolah

Belum membudayanya pendidikan karakter di Indonesia menjadi

tantangan tersendiri bagi upaya pengembangannya. Hal ini

menyebabkan baik pendidik maupun peserta didik belum terbiasa

dengan model pendidikan karakter. Dibutuhkan komitmen yang kuat

untuk bisa merancang dan melaksanakan program ini dengan

efektif. Selain itu, sumber-sumber informasi yang tersedia lebih

banyak mengacu model di negara lain yang budaya dan kebutuhannya

relatif berbeda dengan Indonesia.

Di indonesia, pembangunan karakter bangsa talah diupayakan

melalui pendidikan karakter baik di sekolah/madarasah maupun

diperguruan tinggi. Namun, penulis memandang belum optimal

implementasi pendidikan karakter, implementasinya hanya berkutat

pada ranah knowing saja belum pada ranah aplikasi secara

menyeluruh (suri tauladan dari pendidik). Sependapat dengan Siti

Hasanah ( jurnal Media Pendidikan Islam, Vol XVII: 2012)

menyatakan pendidikan karakter di Indonesia belum berjalan

sebagaimana mestinya, bahkan cenderung tidak menyentuh aspek-

aspek karakter dan keperibadian yang substansial sehingga

terancam terjebak pada bentuk pengajaran perilaku yang siafatnya

formal kognitif dan simbolis yang hanya mengulang persoalan yang

sama sejak zaman kolonial. Pendidikan yang baik itu haruslah “Ing

ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”

akan tetapi pendidikan sekarang jauh dari apa yang dikandung dari

pesan bapak pendidikan kita ini. yang terjadi sekarang justru

guru-guru yang seharusnya menjadi contoh dalam pendidikan,

mereka malah memberikan contoh sebaliknya. Pejabat-pejabat publik

yang seharusnya menjadi panutan, mereka malah berbuat seolah tak

mengenal Tuhan. Inilah yang membuat implementasi pendidikan

karakter dewasa ini belum memberikan dampak yang signifikan.

Pendidikan karakter merupakan program baru yang

diprioritaskan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai

program baru masih menghadapi banyak kendala. Kendala-kendala

tersebut adalah:

1) Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah belum

terjabarkan dalam indikator yang representatif. Indikator

yang tidak representatif dan baik tersebut menyebabkan

kesulitan dalam mengungukur ketercapaiannya.

2) Sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai

dengan visinya. Jumlah nilai-nilai karakter demikian banyak,

baik yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, maupun dari sumber-sumber lain. Umumnya sekolah

menghadapi kesulitan memilih nilai karakter mana yang sesuai

dengan visi sekolahnya. Hal itu berdampak pada gerakan

membangun karakter di sekolah menjadi kurang terarah dan

fokus, sehingga tidak jelas pula monitoring dn penilaiannya.

3) Pemahaman guru tentang konsep pendidikan karakter yang masih

belum menyeluruh. Jumlah guru di Indonesia yang lebih 2 juta

merupakan sasaran program yang sangat besar. Program

pendidikan karakter belum dapat disosialisaikan pada semua

guru dengan baik sehingga mereka belum memahaminya.

4) Guru belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai

dengan mata pelajaran yang diampunya. Selain nilai-nilai

karakter umum, dalam mata pelajaran juga terdapat nilai-

nilai karakter yang perlu dikembangkan guru pegampu. Nilai-

nilai karakter mata pelajaran tersebut belum dapat digali

dengan baik untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran.

5) Guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk

mengintegrasikan nilai-niai karakter pada mata pelajaran

yang diampunya. Program sudah dijalankan, sementara

pelatihan masih sangat terbatas diikuti guru menyebabkan

keterbatasan mereka dalam mengintegrasikan nilai karakter

pada mata pelajaran yang diampunya.

6) Guru belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter

yang dipilihnya. Permasalahan yang paling berat adalah peran

guru untuk menjadi teladan dalam mewujudkan nilai-nilai

karakter secara khusus sesuai dengan nilai karakter mata

pelajaran dan nilai-nilai karakter umum di sekolah.

5. Implementasi Pendidikan Karakter di Indonesia

Sebelum pada implementasi di Indonesia, sebaiknya kita

mengetahui hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa. Hal ini yang selanjutnya menghasilkan sebuah

Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa yang dinyatakan sebgai berikut:

1) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian

integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional

secara utuh.

2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan

secara komperhensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena

itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu

diwadahi secara utuh.

3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung

jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan

orang tua. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya

dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut.

4) Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan karakter

bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat

kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Kemudian bagaimana implementasi pendidikan karakter di

Indonesia. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan

karakter harus meliputi dan berlangsung pada:

1). Pendidikan Formal

Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung

pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MAK dan

Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler

dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan budaya satuan

pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pendidikan formal ialah

peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.

2). Pendidikan Nonformal

Dalam pendidikan nonformal pendidikan karakter

berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan,

pendidikan keaksaraan, dan lembaga pendidikan nonformal lain

melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-

kurikuler, penciptaan budaya lembaga, dan pembiasaan.

3). Pendidikan Informal

Dalam pendidikan informal pendidikan karakter berlangsung

dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa

di dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung

jawabnya. .

6. Pengintegrasian Pendidikan Karakter ke dalam Kurikulum

Pendidikan

Di Indonesia ada sebuah lembaga yang bernama Indonesia

Heritage Foundation (IHF) yang telah mengembangkan sebuah model

Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, yang memfokuskan pada

pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi

manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter

ini disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan

diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning,

Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices,

Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple

Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar

yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh

aspek dimensi manusia secara holistik.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran

pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan

dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu

dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan

sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter

tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada

internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik

sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama

ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang

potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik

peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan

pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan

peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat

mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh

pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan

berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler

diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab

sosial, serta potensidanprestasipesertadidik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan

manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud

adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan,

dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah

secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-

nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,

penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait

lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu

media yang efektif dalam pendidikankarakterdisekolah.

Pengintegrasian Pendidikan karakter ke dalam kurikulum

pendidikan, tidak hanya cukup dengan diajarkan melalui mata

pelajaran di dalam kelas. Lebih dari itu, sekolah dapat menyusun

indikator pencapaian yang akan diwujudkan dengan menerapkan

pendidikan karakter melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pusat

Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2011) dalam kaitan

pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan

pengembangan diri, menyarankan empat hal yang meliputi:

a) Kegiatan Rutin

Merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh peserta didik

secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya,

upacara bendera setiap hari senin dan lainnya yang bersifat

kontinyu.

b) Kegiatan Spontan

Merupakan kegiatan yang bersifat spontan, saat itu juga,

pada waktu terjadi keadaan tertentu. Misalnya, mengumpulkan

sumbangan bagi korban bencana alam dan lain-lain.

c) Keteladanan

Timbulnya sikap dan perilaku peserta didik karena meniru

perilaku atau sikap orang lain seperti dalam lingkungan

sekolah adalah guru dan tenaga kependidikan serta seluruh

warga dewasa sekolah yang lainnya yang berada pada

sekitanya. Sehingga sudah menjadi keharusan bagi guru,

tenaga kependidikan, dan orang dewasa memberi telada sikap

dan perilaku yang baik.

d) Pengondisian

Merupakan usaha menciptakan kondisi yang kondusif untuk

terlaksananya proses pendidikan karakter. Misalnya, kondisi

meja guru dan kepala sekolah yang ditata rapi, dan kondisi

toilet bersih dan tidak bau.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pendidikan karakter adalah suatu sistim penanaman nilai-

nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata

tertib hati nurani yang membimbing tingkah laku batin dalam

hidup. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama

dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah

membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga

masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter di

sekolah merupakan bagian dari reformasi pendidikan, maka

reformasi pendidikan karakter bisa diibaratkan sebagai pohon yang

memiliki empat bagian penting, yaitu  akar, batang, cabang, dan

daun. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan

pendidikan/sekolah dapat tercapai dengan keterlibatan semua warga

sekolah, keluarga, dan anggota masyarakat. Kendala-kendala

dalampenerapan pendidikan karakter di Sekolah adalah:

Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah belum

terjabarkan dalam indikator yang representatif.

Sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai

dengan visinya.

Guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk

mengintegrasikan nilai-niai karakter pada mata pelajaran

yang diampunya.

Guru belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter

yang dipilihnya

Implementasi pendidikan karakter di Indonesia berlangsung pada:

Pendidikan Formal

Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada

lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MAK dan

Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler

dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan budaya satuan

pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pendidikan formal ialah

peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.

Pendidikan Nonformal

Dalam pendidikan nonformal pendidikan karakter berlangsung

pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan

keaksaraan, dan lembaga pendidikan nonformal lain melalui

pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-

kurikuler, penciptaan budaya lembaga, dan pembiasaan.

Pendidikan Informal

Dalam pendidikan informal pendidikan karakter berlangsung

dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan orang

dewasa di dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi

tanggung jawabnya. .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran

pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan

dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu

dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan

sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Marzuki. (2012). Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran diSekolah.Jurnal pendidikan Karakter , 34.

Ihsan. Fuad, 2008, Dasar Dasar Kependidikan, Jakarta: RINEKA CIPTA.

Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7

Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id

Pendidikan, M. (2012, Desember 3). Pendidik yang Berkarakter Kuat danCerdas. Dipetik November 15, 2012, dari http://www.blog.tp.ac.id.

http://berbagireferensi.blogspot.com/2011/10/pengembangan-pendidikan-dan budaya-dan.html

http://hangeo.wordpress.com/2012/03/15/kendala-kendala-

implementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/