Makalah Demokrasi

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi Demokrasi sebagai sebuah konsep yang mengalami perkembangan sejarah yang amat kompleks itu dipahami dalam perspektif sosiologis. Di samping persoalan- persoalan yang menyangkut struktur dan budaya, demokrasi sering mendapatkan interpretasi yang bersifat lokal dan partikular yang tidak jarang malah menyingkirkan elemen-elemen yang bersifat universal. Praktek demokrasi Orde Baru diangkat sebagai kasus dan 1

Transcript of Makalah Demokrasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep

demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan

perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada

tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan

beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka

terhadap arus informasi politik di tingkat global.

Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan

radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan

politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini

mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan

politik modern kepada para pemuda bumiputera Ketiga,

transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi

Demokrasi sebagai sebuah konsep yang mengalami

perkembangan sejarah yang amat kompleks itu dipahami

dalam perspektif sosiologis. Di samping persoalan-

persoalan yang menyangkut struktur dan budaya,

demokrasi sering mendapatkan interpretasi yang

bersifat lokal dan partikular yang tidak jarang malah

menyingkirkan elemen-elemen yang bersifat universal.

Praktek demokrasi Orde Baru diangkat sebagai kasus dan

1

sekaligus pijakan untuk melihat kemungkinan

mengembangkan sebuah wacana dan praktek demokrasi yang

lebih sejati di Indonesia. Pemahaman demokrasi sebagai

sebuah proses, di samping mengisyaratkan pentingnya

usaha untuk membangun lembaga-lembaga politik juga

mengabarkan pentingnya masyarakat pada umumnya dan

elit politik pada khususnya mengembangkan kesadaran-

kesadaran politik yang memungkinkan interaksi di

antara elemen-elemen demokrasi berlangsung secara

konstruktif.

Sebagai sebuah konsep teoritis maupun politis,

demokrasi jelas sekali terikat oleh faktor-faktor

kesejarahan yang terjadi di Eropa sepanjang abad 17

hingga 19. Prosesnya sendiri telah dimulai pada abad

pertengahan ketika dunia, khususnya Eropa, dilanda

reformasi, dan kemudian revolusi, sosial. Reformasi

intelektual yang mengubah Eropa, dan kemudian dunia,

merupakan proses sosial dan sejarah yang amat panjang.

Makalah ini kami susun sebagai bahan kajian

untuk memahami bagaimana proses perkembangan demokrasi

di Indonesia, yang mungkin akan bermanfaat bagi

pembaca, utama kami selaku penyusun.

B. Rumusan Masalah

2

1. Bagaimana proses perkembangan demokrasi di Indonesia

?

2. Apakah peranan masyarakat (civil society) dibutuhkan

dalam proses demokrasi ?

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang

diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara

tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari

sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi

modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah

sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah

berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan

perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.

Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos

yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti

pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai

pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal

sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan

untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata

kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini

menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut

sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya

pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya

berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan

4

kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus

digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat

penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta

sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang

begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk

masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan

absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran

terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga

negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari

lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk

gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa

mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa

kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus

akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme

formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap

lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara

operasional (bukan hanya secara teori) membatasi

kekuasaan lembaga negara tersebut

B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia

1. Masa Demokrasi Liberal

5

Momentum historis perkembangan demokrasi

setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya

Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang

ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini

dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik

sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana

pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari

1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas,

melegitimasi partai-partai politik yang telah

terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya

partai-partai politik baru.

Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil

menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya

UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai

secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29

September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15

Desember 1955 (untuk pemilihan anggota

konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia

ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik

yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain

jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan

langsung umum bebas rahasia (luber), serta

mencerminkan pluralisme dan representativ.

6

Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada

ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955

dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini

tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan

pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru

mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya,

yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang

relatif pendek.

Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang

serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan

partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan

dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan

tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir

menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai

politik sebagai orang yang memperjuangkan

kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya,

bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun

begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi

parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan

kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno

yang menempatkan demokrasi parlementer atau

demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno

lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan

demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam

7

penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama

kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk

keluar dari krisis politik tersebut adalah mengubur

demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak

cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya,

Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak

dapat digunakan untuk revolusi.

2. Demokrasi Diktatorial (Dibawah Kepemimpinan Soekarno

dan Soeharto)

Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante

di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas

menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal,

dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi

Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi

Terpimpin (Guided Democracy)

Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh

setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan

yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan

bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September

1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan

hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap

berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul

8

kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen.

Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.

Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis

politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih

sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang

kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila,

dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya,

konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik

berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi

Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli

Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang

sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat

Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi

yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral

dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu

ideologi tunggal, yaitu Pancasila.

Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto

untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi

adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan

pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh

partai-partai politik. Soeharto sendiri pada

hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera,

sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde

Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan

9

ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan

partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3

partai politik (Partai Persatuan Pembangunan,

Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri

yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh

penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai

parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau

penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan

Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk

membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra

sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim

Orde Baru.

Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang

kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen

perkembangan yang oleh Huntington dinamakan

gelombang demokrasi ketiga. Soeharto menjawab dengan

kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik

terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai

demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi

sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap

kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan “main”

yang ditentukan rezim.

Praktik democracy dictatorship yang diterapkan

Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis

10

bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru

sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997.

Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak

porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan

runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya

angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin

besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu

berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa

menuntut Soeharto mundur.

3. Demokrasi Pasca Orde Baru (Era Reformasi)

Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya

reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya

telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang

ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian,

dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU

Susduk). Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas

dan demokratis pertama pasca Orde Baru

diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di bawah

sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan

DPR, MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan

reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan

(amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan

kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid,

11

serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat

(2002) pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.

Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat,

bahwa konsensus prosedural dalam rangka efektifitas

format politik baru tak mungkin dicapai tanpa

reformasi konstitusi karena sistem demokrasi yang

stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang

memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang

mendalami masalah transisi demokrasi menggarisbawahi

pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang

tak terpisahkan dari proses transisi menuju

konsolidasi demokrasi.

Amandemen atas UUD 1945 pada akhirnya memang

berhasil dilakukan, namun sulit dibantah bahwa dalam

realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas

konstitusi tersebut cenderung bersifat tambal sulam.

Paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil

amandemen yang dilakukan Badan Pekerja MPR atas UUD

1945 sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi

yang bersifat independen, dibentuklah Mahkamah

Konstitusi. Kelemahan tersebut adalah pertama,

proses amandemen yang cenderung terjebak pada

kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai

di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi perubahan

12

yang cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu

sama lain. Dan ketiga, format legal drafting

perubahan yang tidak sistematik dan tak terpola

serta membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman

atasnya sebagai hukum dasar.

Dalam konteks substansi hasil amandemen, di

satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan

presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun

di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung

oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula.

Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang

semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem

perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena

kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak

mengherankan jika para anggota DPD dewasa ini

mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam

sistem yang berlaku. Sebaliknya, para politisi di

Panitia Ad-Hoc I MPR selaku penyusun konstitusi

justru makin memperkuat posisi, kedudukan,

kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya

dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem presidensiil.

Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak

melembagakan berlakunya mekanisme checks and

balances di antara cabang-cabang kekuasaan

13

pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-

legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-

yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU

dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari

tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain

Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk

menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal

tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak

karena menjadi salah satu fondasi utama bagi

stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan

presidensiil. Urgensi prinsip saling mengawasi

secara seimbang itu diabaikan pula oleh konstitusi

hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai

representasi perwakilan rakyat dan DPD sebagai

representasi perwakilan wilayah.

Substansi hasil amandemen yang juga tidak

koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan pembentukan

sistem presidensiil yang kuat dan efektif adalah

kedudukan dan kelembagaan MPR, serta ketidakjelasan

tata-hubungan lembaga yudikatif menyusul keberadaan

Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY)

selain Mahkamah Agung (MA) yang telah ada

sebelumnya. MPR yang semestinya merupakan sidang

gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru

14

menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan

permanen pula.

Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-

sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga

tercermin dalam UU bidang politik –UU Partai Politik

(No. 31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu

Presiden (No. 23/2003), dan UU Susduk (No. 22/2003)—

dalam rangka Pemilu 2004. Secara teoritis, pilihan

atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi

logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan,

sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah

konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem

pemilu. Namun dalam realitasnya kita mempertahankan

sistem proporsional (proportional representation

system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan

politik sebenarnya tidak tepat karena sistem

proporsional merupakan basis bagi terbentuknya

sistem multipartai. Padahal, sistem presidensiil tak

akan pernah bisa bekerja efektif apabila fragmentasi

dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem

multipartai yang berlaku dewasa ini.

Selain problematik yang dikemukakan di atas,

reformasi kelembagaan yang tambal-sulam juga tampak

dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga

15

Kepresidenan. Di dalam suatu UU Lembaga Kepresidenan

tak hanya bisa diatur wilayah politik yang menjadi

kewenangan Wakil Presiden --karena terbatasnya

pengaturan oleh konstitusi— melainkan juga format

kabinet yang seharusnya berlaku untuk memperkuat dan

mengefektifkan pemerintahan presidensiil. Disharmoni

relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres

Jusuf Kalla tak perlu terjadi seandainya ada

pengaturan yang jelas mengenai apa saja sesungguhnya

wilayah kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden.

Begitu pula, tarik-menarik kepentingan partai-partai

politik dalam pembentukan kabinet atau dalam isu

reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden

cukup percaya diri bahwa pemerintahannya bukanlah

kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti

berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain,

para politisi partai kita semestinya menyadari bahwa

mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem

presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun

partai-partai, melainkan dari rakyat secara

langsung.

Pengalaman lebih dari sewindu reformasi

memperlihatkan bahwa hampir selalu terdapat

kesenjangan antara obsesi para wakil rakyat dengan

16

tindakan, perilaku, dan pilihan politiknya. Dalam

konteks sistem pemerintahan misalnya, di satu pihak

para politisi mengobsesikan sistem presidensiil,

tetapi di pihak lain tindakan dan perilaku politik

mereka cenderung berorientasi parlementer.

Kecenderungan perilaku parlementarian itu pula yang

tampak di balik isu tarik-menarik dukungan terhadap

pemerintahan sekarang ini.

C. Demokrasi sebagai Pengalaman Kultural

Sejak dua dekade terakhir dunia menyaksikan

kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi.

Sejak 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem

politik demokrasi telah meningkat lebih dari dua kali

lipat, dari 44 menjadi 107. Dari 187 negara saat ini

di dunia, lebih dari 58 persen di antaranya mengadopsi

pemerintahan demokratis, masing-masing dengan variasi

sistem politik tertentu. Kecenderungan ini menguat

terutama setelah jatuhnya pemerintahan komunis di

akhir tahun 80-an dan karenanya telah menjadikan

demokrasi sebagai “satu-satunya alternatif yang sah

terhadap berbagai bentuk rejim otoritarian”. Secara

sosiologis mungkin ini merupakan salah satu perubahan

terpenting yang menandai tahun-tahun akhir milineum

17

kedua; sebuah perkembangan yang oleh Huntington

dikonseptualisaikan sebagai “gelombang ketiga

demokratisasi”.

Secara konseptual, pembangunan demokrasi di

sebuah negara tidak lagi dilihat sebagai hasil-hasil

dari tingkat modernisasi yang lebih tinggi sebagaimana

ditunjukkan melalui indikator-indikator kemakmuran,

struktur kelas borjuasi, dan independensi ekonomi dari

aktor-aktor eksternal. Melainkan, lebih dilihat

sebagai hasil dari interaksi-interaksi dan pengaturan-

pengaturan strategis di antara para elit, pilihan-

pilihan sadar atas berbagai bentuk konstitusi

demokratis, dan sistem-sistem pemilihan umum dan

kepartaian. Pemikiran ini didasarkan pada argumentasi

sentral bahwa pengalaman Barat tentang demokrasi tidak

akan dapat diulang dengan arah yang sama di negara-

negara sedang berkembang.

Sebagai sebuah konsep teoritis maupun politis,

demokrasi jelas sekali terikat oleh faktor-faktor

kesejarahan yang terjadi di Eropa sepanjang abad 17

hingga 19. Prosesnya sendiri telah dimulai pada abad

pertengahan ketika dunia, khususnya Eropa, dilanda

reformasi, dan kemudian revolusi, sosial. Reformasi

intelektual yang mengubah Eropa, dan kemudian dunia,

18

merupakan proses sosial dan sejarah yang amat panjang,

bahkan prinsip-prinsip dasarnya mungkin telah diawali

dengan diperkenalkannya institusi modern yang disebut

dengan universitas. Dalam buku klasiknya yang terkenal

itu, The Triumph of Science and Reason, Nussbaum

dengan jelas memberikan ilustrasi sejarah tentang

bagaimana masyarakat modern Eropa digerakkan oleh

berbagai kekuatan yang saling berkaitan. Dalam hal

demikian itu, Nussbaum menyebut faktor-faktor seperti

surutnya monopoli institusi gereja, kemudian negara,

dalam mengkontrol ‘kebenaran’ (yang memberi arti

penting bagi diletakkannya tradisi berpikir bebas yang

menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi

pada abad-abad selanjutnya), dan mulai surutnya

masyarakat feodal diakhir abad ketujuhbelas, sebagai

sejarah yang sangat penting dalam menentukan

perkembangan sosial, seperti, parlementarisme dan

pengakuan terhadap civil liberties.

Sampai dengan tahun 60-an dan 70-an, penelitian-

penelitian tentang demokrasi, sebagaimana ditunjukkan

oleh hasil kerja dari Lipset (1959), Almond dan Verba

(1963), Dahl (1971), O’Donnell (1979), banyak

didominasi oleh upaya untuk menemukan kondisi-kondisi

dan persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan

19

guna munculnya sebuah demokrasi yang stabil. Dalam

perkembangannya sampai dengan dekade lalu, studi

tentang demokrasi diwarnai terutama oleh upaya untuk

memahami dinamika dari transisi demokratis dan

konsolidasi. Hanya dalam beberapa tahun belakangan ini

terjadi pergeseran arah studi mengenai demokrasi.

Penelitian belakangan ini memfokuskan perhatiannya

pada peran para pemimpin politik dan elit strategis

lainnya dalam proses demokrasi.

Dalam ikhwal ini banyak para ahli ilmu sosial

dewasa ini cenderung untuk berpikir bahwa transisi

menuju demokrasi, khususnya di negara-negara sedang

berkembang, jarang sekali merupakan hasil dari faktor-

faktor yang digerakkan oleh tindakan-tindakan politik

massa. Dengan kata lain, kesuksesan dalam proses

perubahan dan konsolidasi menuju demokrasi lebih

banyak ditentukan oleh para elit politik , di samping

perkembangan politik yang berlangsung di tingkat

global dan internasional. Beberapa bahkan

berargumentasi bahwa sesungguhnya demokrasi semestinya

diperlakukan sebagai suatu hasil yang dapat direkayasa

secara sosial sepanjang terdapat craftsmanship di

kalangan para elit politik. . Cara pandang semacam ini

jelas menolak argumentasi yang menganggap bahwa

20

demokrasi tak dapat ditranplantasikan di tanah asing,

di luar konteks sosial dan budaya di mana demokrasi

itu pada awalnya dikembangkan.

Mengikuti argumentasi ini, tulisan ini mengambil

posisi teoritis yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya

perubahan menuju demokrasi di Indonesia akan menjadi

lebih feasible apabila para elit politik Indonesia

sebagai agen perubahan sosial memiliki peralatan-

peralatan teoritis yang memadai untuk memahami dan

terlibat dalam proses-proses transisi demokrasi. Ini

berarti, faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya

dan struktur politik tidak dilihat sebagai struktur

operasional yang konstan dan stabil, melainkan dilihat

sebagai arena diskursus yang dinamis yang melibatkan

proses-proses konstruksi dan dekonstruksi dari para

individu sebagai agen, khususnya para elitnya ,

daripada semata-mata sebagai representasi dari

struktur.

Bukti-bukti empiris terhadap kecenderungan

semacam ini sebenarnya dapat dilihat dari makin

meluasnya gerakan-gerakan oposisi di Indonesia yang

mulai marak pada awal tahun 90-an yang pada dasarnya

digerakkan oleh elit dari berbagai golongan, misalnya

intelektual, mahasiswa, buruh, dan LSM, daripada oleh

21

kekuatan-kekuatan yang secara langsung tumbuh dari

massa. Ini tidak berarti bahwa saya mengartikan tidak

terdapat masalah yang serius dalam ikhwal itu.

Perbedaan yang besar di antara diskursus resmi dan

diskursus alternatif tentang bagaimana demokrasi itu

dikonstruksikan merupakan satu persoalan besar yang

menghadang masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam

uraian-uraian berikut ini, saya mencoba memfokuskan

perhatian pada isu tentang bagaimana format politik

yang berkembang selama Orde Baru ini menghasilkan

pemahaman budaya politik yang khas yang ditandai oleh

hadirnya interpretasi resmi atas Demokrasi Pancasila

sebagai basis legitimasi spiritual dan Pembangunan

sebagai basis legitimasi material.

D. Peran Civil Society

Oligarki politik lebih terkorekasi dengan baik

jika masyarakat sipil (civil society) diperkuat dan

lebih berperanan terhadap proses perkembangan dan arah

reformasi di Indonesia. Civil society yang dimaksud di

sini adalah institusi sosial yang merdeka, bebas dari

pengaruh negara, dan oleh sebab itu bersifat mandiri

dan otonom. Oligarki sebagai sebuah konsep

dikembangkan secara sistematik oleh Aristoteles dan

22

mengacu pada entitas politik yang sederhana dan

homogen sehingga kekuasaan dilaksanakan oleh

segelintir orang, dilakukan dengan komando, tanpa

partisipasi, tanpa negosiasi, tanpa kompromi di antara

kekuatan yang pluralistik. Masyarakat sipil harus

berjuang keras demi masa depan bangsa yang lebih baik

dengan menyelamatkan proses reformasi yang dewasa ini

sedang berlangsung.

Politik oligarkis telah menghasilkan berbagai

undang-undang, antara lain UU Susunan dan Kedudukan

Anggota Parlemen, UU Pemilu Legislatif dan UU

Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung yang

didasarkan atas kompromi-kompromi politik yang sangat

oportunistik. Pada gilirannya UU yang demikian hanya

akan menghasilkan elite-elite politik baru yang tidak

akan peduli, apalagi memihak kepada keprihatinan dan

kepentingan rakyat banyak.

Undang-undang hanya sebagai instrumen untuk

meneguhkan kekuasaan dan hanya memberikan sedikit

ruang bagi kontrol masyarakat terhadap masyarakat

politik. Akibatnya, jumlah peraturan perundangan yang

telah diproduksi oleh lembaga perwakilan selama masa

reformasi tidak ada korelasi yang positif dengan

penegakan hukum. Hasil pemilihan umum 2004 sebagai

23

pemilu kedua pasca Orde Baru secara nyata telah

menghasilkan masyarakat politik yang tidak jauh

berbeda kualitasnya (dalam arti mempunyai komitmen

yang konsisten terhadap aspirasi, kehendak, dan

keprihatinan masyarakat layaknya pemilu orde baru

dahulu). Artinya, agenda proses reformasi tidak dapat

hanya diserahkan kepada masyarakat politik.

Di sinilah perlunya penyadaran masyarakat secara

terus-menerus bahwa setiap pemilihan umum harus dapat

dijadikan sebagai peradilan rakyat. Artinya, rakyat

harus dicerahkan agar dapat mengetahui kandidat-

kandidat anggota parlemen serta kandidat

presiden/wakil presiden yang pantas dipilih pada

pemilu 2009. Para kandidat yang bermasalah dalam

kaitannya dengan skandal KKN, perusak lingkungan,

pelanggar HAM, dan hal buruk lainnya harus dihukum

dengan cara tidak memilih mereka kembali dalam pemilu

2009. Sementara itu bagi para kandidat yang bersih dan

telah menunjukkan komitmen dan kinerjanya bagi

kepentingan rakyat, serta bagi mereka yang tidak

mempunyai permasalahan dengan hal-hal di atas, dapat

dipilih kembali.

Intinya, persoalan yang sangat mendesak untuk

dijawab adalah bagaimanakah peran masyarakat sipil

24

dalam menyelamatkan proses transformasi politik dewasa

ini dan nasib bangsa ke depan? Sebab, kegagalan

penerapan agenda demokratisasi yang tidak bersentuhan

langsung dengan kepentingan hidup rakyat, ditambah

lagi dengan rendahnya tingkat ketertiban sosial,

penegakan hukum serta tekanan kehidupan sehari-hari

yang semakin berat telah menyebabkan meningkatnya

keraguan masyarakat terhadap manfaat proses reformasi.

Jawaban terhadap persoalan tersebut tentu tidak

mudah, tetapi secara umum dapat disebutkan bahwa

tindakan yang sangat perlu dilakukan adalah memperkuat

masyarakat sipil. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak

sederhana mengingat beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, masyarakat sipil yang mempunyai andil besar

terhadap tumbangnya rezim yang otoriter adalah

masyarakat sipil yang terbatas pada kalangan tertentu

dan elitis, antara lain mereka itu adalah kalangan

mahasiswa dan dosen (civitas akademika), pekerja

profesional termasuk pengacara, budayawan, wartawan,

dan aktivis dari berbagai organisasi kemasyarakatan.

Kedua, gerakan demokratisasi menumbangkan Orde

Baru lebih merupakan upaya menjatuhkan rezim otoriter,

tetapi tidak disertai dengan agenda yang jelas dan

menyeluruh mengenai proses reformasi selanjutnya.

25

Penyusunan agenda semacam itu tidak mudah mengingat

proses reformasi tidak berhasil memisahkan secara

hitam-putih, siapa yang dapat dikategorikan sebagai

kaum reformis murni dan siapa yang sesungguhnya yang

masih menjadi bagian, bahkan inti dari kekuatan

sebelumnya.

Ketidakjelasan kategorisasi tersebut

mengakibatkan proses perubahan sangat terkontaminasi

dengan kekuatan yang sebenarnya ingin mempertahankan

tatanan lama, setidak-tidaknya secara oportunistik

mereka berpura-pura menjadi tokoh atau agen perubahan,

tetapi sebenarnya hanya benalu yang justru akan

mematikan benih-benih demokrasi.

Ketiga, watak elitis dari gerakan prodemokrasi

berimbas kepada pendekatan selanjutnya dalam mengelola

proses perubahan. Gerakan prodemokrasi lebih

mengandalkan pendekatan yang elitis berupa tekanan-

tekanan terhadap elite politik baik melalui forum

public discourse, memobilisasi massa untuk memberikan

pressure pada kebijakan yang dianggap tidak adil, dan

pendekatan-pendekatan yang lebih personal tetapi

mengabaikan konstituensi yang sebenarnya mempunyai

kepentingan terhadap suatu masalah yang sedang

diperjuangkan.

26

Pendekatan elitis dalam melakukan agenda

perubahan dengan menempatkan sebagai posisi lawan bila

berhadapan dengan masyarakat politik yang mempunyai

otoritas dalam pengambilan keputusan menjadi tidak

efektif. Misalnya kasus-kasus korupsi yang telah

dibongkar oleh berbagai komponen masyarakat dan

kemudian menjadi lebih transparan setelah dijadikan

diskusi terbuka di media massa, tetapi begitu kasus

tersebut masuk lembaga penegak hukum atau lembaga

peradilan kasus tersebut menjadi tidak jelas ujung

pangkalnya.

Menghadapi tantangan yang sedemikian besar,

apakah masyarakat sipil mempunyai kekuatan untuk

menanggulanginya? Untuk menjawab pertanyaan itu

mungkin perlu sedikit menengok ke belakang mengenai

keberadaan masyarakat sipil di Indonesia. Sepanjang

sejarah politik Indonesia modern, eksistensi

masyarakat sipil di Indonesia mengalami pasang surut.

Keberadaan serta perannya berbanding terbalik dengan

tingkat kontrol negara terhadap masyarakat. Semakin

ketat kontrol negara terhadap aktivitas masyarakat

semakin kecil peranan dan eksistensi masyarakat sipil.

Sebaliknya, semakin demokratis suatu negara semakin

berkembang dan signifikan peranan masyarakat sipil.

27

Dengan mencermati secara singkat pasang surut dan

perkembangan historis keberadaan masyarakat sipil,

sangat jelas bahwa masyarakat sipil mempunyai peran

dan kontribusi yang sangat besar dalam proses

demokrasi. Bila hal itu dikaitkan dengan konteks

kehidupan politik dewasa ini dan arah perkembangan

politik ke depan, maka dalam menyusun strategi

penguatan masyarakat sipil pertama-tama perlu

ditekankan bahwa perjuangan melawan rezim diktator

berbeda dengan perjuangan mewujudkan kehidupan

demokrasi.

Kekuatan masyarakat sipil ternyata telah mampu

menjatuhkan sistem kekuasan yang otoriter. Tetapi

masyarakat sipil karena watak dan ruang lingkup

perjuangannya tidak begitu mudah mewujudkan demokrasi.

Sebab, mengukir demokrasi secara mutlak memerlukan

pembangunan institusi politik baru yang dapat menopang

demokrasi serta mengembangkan kultur demokrasi.

Khususnya budaya patronage politik dan mental serta

paradigma baru yang menempatkan pemimpin adalah hamba

atau pelayan rakyat dan bukan satrio piningit apalagi

tuan atau ratu adil yang dengan tuahnya dapat mengubah

Indonesia menjadi surga. Oleh karena itu perjuangan

28

masyarakat sipil ke depan perlu dilakukan melalui

suatu kerangka strategi sebagai berikut.

Pertama, melakukan assesment terhadap masalah

yang paling mendasar yang dihadapi bangsa dalam masa

transisi dewasa ini. Pembacaan terhadap proses politik

selama lebih kurang sembilan tahun terakhir ini,

masalah yang sangat fundamental adalah justru perilaku

masyarakat politik yang korup dan kolutif adalah

penyebab utama proses reformasi terancam gagal. Oleh

sebab itu gerakan nasional perlu melakukan

identifikasi terhadap mereka yang akan duduk dalam

lembaga-lembaga politik dan negara. Selain itu kontrol

terhadap mereka harus secara terus-menerus dilakukan.

Kedua, masyarakat sipil perlu melakukan

konsolidasi ideologi dan jaringan sehingga efek dari

suatu gerakan akan lebih besar. Dalam hal ini,

hubungan dan komunikasi antara pusat dan daerah sangat

diperlukan. Selain itu pengorganisasian konstituensi

berbasis kepentingan dan organisasi massa, seperti

buruh, petani, nelayan, perlu dilakukan. Kedua, para

aktivis prodemokrasi agar bersedia berjuang juga dalam

tataran political society. Terus terang harus diakui

bahwa medan perjuangan ini cukup berat karena para

aktivis dihadapkan kepada dua lawan utama, yaitu

29

pertama kekuatan konservatif yang tetap menginginkan

struktur kekuasaan otoritarian. Kedua, melawan diri

sendiri terhadap godaan politik yang mungkin sangat

menggiurkan.

Ketiga, gerakan prodemokrasi bekerja sama denganelite politik dalam proses kebijakan publik tetapitidak ikut menjadi bagian dari masyarakat politik(cooperation without cooptation). Hal itu dapatdilakukan dengan membentuk forum diskusi secara lebihpermanen untuk membicarakan dan merumuskan rencanakebijakan yang dianggap cukup strategis.

Dengan mencermati perkembangan politik selamalebih kurang sembilan tahun dapat diproyeksikan bahwapolitik Indonesia ke depan akan sangat diwarnai olehpertarungan antara masyarakat sipil dan masyarakatpolitiknya (civil society vis a vis politicalsociety). Peran masyarakat sipil akan semakinberkurang sejalan dengan pembangunan lembaga-lembagapolitik yang dapat menopang bangunan demokrasi sertakultur politik demokratis yang akan memberikan rohbagi kehidupan demokrasi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan panjang di atas, kami dapat

menyimpulkan bahwa pada dasarnya demokrasi di

30

Indonesia sampai saat ini belum berjalan sesuai dengan

apa yang diinginkan masyarakat. Demokrasi seakan

dikekang oleh keinginan-keinginan para elit politik

yang “bermain” atas nama seluruh rakyat. Namun

kenyataannya, mereka justru menyengsarakan rakyat demi

kepentingan pribadi dan golongannya.

Untuk itu peran masyakat sipil (civil society)

sangat dibutuhkan, dalam memperbaiki proses demokrasi

di Indonesia. Masyarakat harus ikut mengawasi jalannya

proses demokrasi, agar hak-hak rakyat tidak terabaikan

oleh para pemimpin bangsa dan elit politik.

B. Saran

1. Kepada seluruh lapisan masyarakat, hendaknya ikut

mengawasi dan berperan aktif dalam proses demokrasi.

2. Kepada para politikus, jangan jadikan demokrasi

untuk meraup keuntungan pribadi yang dapat merugikan

masyarakat

3. Kepada pemerintah, hendaknya mengeluarkan peraturan

perundang-undangan yang betul-betul dapat menjadi

pegangan yang kuat dan berpihak kepada rakyat.

31

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, 2008. Demokrasi di Indonesia. www.wikipedia.com.Diakses Tanggal 22 Oktober 2008.

Damayanti, 2008. Sejarah Perkembangan Demokrasi.

www.google.co.id. Diakses Tanggal 22 Oktober 2008

Khaerul, 2008. Demokrasi. www.google.co.id. Diakses

Tanggal 22 Oktober 2008.

Sutrisno, 2007. Proses Demokrasi di Indonesia. www.yahoo.com.

Diakses Tanggal 23 Oktober 2008.

Triyadi, 2008. Demokrasi dan Implikasinya pada Pengembangan

Lembaga Legislatif. www.google.co.id.

32

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ...................................... i

DAFTAR ISI .......................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................. 1

A. Latar Belakang ............................ 1

B. Rumusan Masalah ........................... 2

BAB II

PEMBAHASAN ................................... 3

A. Pengertian Demokrasi ...................... 3

B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia ....... 4

C. Demokrasi Sebagai Pengalaman Kultural ..... 11

D. Peran Civil Society ....................... 14

BAB III

PENUTUP ...................................... 19

A. Kesimpulan ................................ 19

B. Saran ..................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ...................................... 20

33