MAKALAH MASALAH KEPENDUDUKAN
Transcript of MAKALAH MASALAH KEPENDUDUKAN
MAKALAH KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
“PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN”
Disusun oleh:
1. Hendarti
( 25010110120082 )
2. Sohibun ( 25010112150003 )
3. Lucke Prismadia Kusuma
( 25010112150005 )
4. Septyanita Sulistyaningsih
( 25010112150017 )
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini dibuat
guna memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Kependudukan
dan Keluarga Berencana.
Tidaklah akan terwujud dan terlaksana penulisan
ini tanpa adanya kebijaksanaan dan bantuan dari pihak-
pihak lain, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian penulisan makalah. Ucapan terima
kasih penulis berikan kepada :
1. Dra V.G Tinuk Istiarti, M.Kes selaku Dekan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.
2. dr. Sri Winarni, M.Kes selaku Dosen Mata Kuliah
Kependudukan dan Keluarga Berencana.
3. Orang tua yang senantiasa mendukung dan mendoakan.
4. Teman-teman Fakultas Kesehatan Masyarakat.
5. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, adanya kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
dalam ilmu kesehatan masyarakat.
Semarang, Maret
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk adalah semua orang yang menempati suatu
wilayah hukum tertentu dan waktu tertentu, sehingga
kita mengenal istilah penduduk tetap (penduduk yang
berada dalam suatu wilayah dalam waktu lama) dan
penduduk tidak tetap (penduduk yang berada dalam
suatu wilayah untuk sementara waktu). Sedangkan
Warga Negara Indonesia adalah semua orang yang
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, baik
penduduk asli maupun keturunan asing yang telah
disyahkan oleh undang-undang sebagai warga negara
Indonesia. Oleh karena itu kita sering menemukan
istlah WNI pribumi (penduduk asli Indonesia), WNI
keturunan (misalnya keturunan Tiong Hoa, Belanda,
Amerika dan sebagainya), dan WNA.
Negara Republik Indonesia yang memiliki luas
kurang lebih 1,904,569 km2, saat ini jumlah penduduk
Indonesia tahun 2012 diperkirakan sekitar
257.516.167 jiwa. Secara nasional pertumbuhan
penduduk Indonesia masih relatif cepat, walaupun ada
kecenderungan menurun. Antara tahun 1961 – 1971
pertumbuhan penduduk sebesar 2,1 % pertahun, tahun
1971 – 1980 sebesar 2,32% pertahun, tahun 1980 –
1990 sebesar 1,98% pertahun, dan periode 1990 – 2000
sebesar 1,6% pertahun. Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS), per bulan September 2012,3 jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang
(11,66 persen), atau berkurang sebesar 0,54 juta
orang (0,30 persen) dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang
(11,96 persen). Serta Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 6,14
persen. Adanya jumlah penduduk yang besar dan angka
kemiskinan yang cukup tinggi dapat memicu adanya
masalah kependudukan yang dapat dilihat dari
berbagai aspek, baik dari kesehatan, pendidikan,
ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan
masalah dari makalah ini adalah:
1.Bagaimana masalah kependudukan yang ada di
Indonesia terkini?
2.Mengapa terjadi masalah kependudukan tersebut?
3.Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masalah
kependudukan tersebut?
4.Bagaimana solusi dari masalah kependudukan
tersebut?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari
makalah ini adalah:
1.Mengetahui masalah kependudukan yang ada di
Indonesia.
2.Mengetahui penyebab masalah kependudukan tersebut.
3.Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
masalah kependudukan tersebut.
4.Mengetahui solusi dari masalah kependudukan
tersebut.
D. Manfaat
1.Bagi mahasiswa
Mahasiswa menjadi lebih kreatif dan berlatih
berfikir kritis untuk menganalisis masalah
kependudkan yang ada di Indonesia sampai
mendapatkan solusi atas masalah tersebut.
2.Bagi Institusi Pendidikan
Bahan masukan terhadap perkembangan ilmu kesehatan
apabila ada penemuan baru terkait dengan masalah
kesehatan.
3.Bagi Masyarakat
Sebagai saran dan masukan kepada masyarakat dan
Pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan
yang ada di Indonesia.
BAB II
ISI
A. Kualitas Penduduk dan Kesehatan
Bagaimana kualitas penduduk Indonesia? Secara
spontan kita pasti akan mengatakan bahwa kualitas
penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Kualitas
penduduk dicerminkan dari tingkat pendapatan,
tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan.
1. Tingkat Pendapatan
Pendapatan penduduk Indonesia walaupun mengalami
peningkatan tetapi masih tergolong rendah
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Perhatikan tabel berikut:
Pendapatan Per Kapita Beberapa Negara Tahun 2010
No. Negara Pendapatan Per Kapita (US$)
1. Amerika Serikat 47.1402. Australia 43.7403. Jepang 42.1504. Malaysia 7.9005. Singapura 40.9206. Indonesia 2.5807. Thailand 4.2108. Filipina 2.0509. Inggris 38.54010. Korea Selatan 19.890
Dengan pendapatan per kapita yang masih rendah
berakibat penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga sulit mencapai kesejahteraan.
Rendahnya pendapatan per kapita penduduk di
Indonesia terutama disebabkan oleh:
a. Pendapatan nasional yang masih rendah. Hal ini
disebabkan sumber daya alam yang dimiliki
belum sepenuhnya dikelola dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan rakyat.
b. Jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi tiap tahunnya.
c. Masih rendahnya penguasaan teknologi oleh
penduduk sehingga pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam kurang optimal.
Oleh karena itu dalam upaya untuk menaikkan
pendapatan perkapita, pemerintah melakukan usaha,
antara lain:
a. Meningkatkan pengolahan dan pengelolaan sumber
daya alam yang ada.
b. Meningkatkan kemampuan bidang teknologi agar
mampu mengolah sendiri sumber daya alam yang
dimiliki bangsa Indonesia.
c. Memperkecil pertambahan penduduk diantaranya
dengan penggalakan program KB dan peningkatan
pendidikan.
d. Memperbanyak hasil produksi baik produksi
pertanian, pertambangan, perindustrian,
perdagangan maupun fasilitas jasa (pelayanan)
e. Memperluas lapangan kerja agar jumlah
pengangguran tiap tahun selalu berkurang.
2. Tingkat Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk
meningkatkan mutu pendidikan penduduk melalui
berbagai program pemerintah di bidang pendidikan,
seperti program beasiswa, adanya bantuan
operasional sekolah (BOS), program wajib belajar,
dan sebagainya. Walaupun demikian, karena
banyaknya hambatan yang dialami, maka hingga saat
ini tingkat pendidikan bangsa Indonesia masih
tergolong rendah. Beberapa faktor yang
menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk
Indonesia sebagai berikut :
a. Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali
sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai
dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
b. Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-
Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar
680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang
berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas.
Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503
guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1
ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan
S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor
penentu keberhasilan pendidikan tetapi,
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan
dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar
pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran
dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji
bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan
sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp 460 ribu,
dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata
Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti
itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les
pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang
mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel.
d. Rendahnya prestasi siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya
sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia
di dunia internasional sangat rendah. Anak-
anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai
30% dari materi bacaan dan ternyata mereka
sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
e. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini
masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan
yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
f. Mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini
sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali
tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa
yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah
dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah
untuk ‘cuci tangan’.
g. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk,
menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai
anaknya sekolah, sehingga banyak anak yang
putus sekolah atau berhenti sekolah sebelum
tamat.
h. Ketidakseimbangan antara jumlah murid dengan
sarana pendidikan yang ada seperti kelas,
guru, dan buku-buku pelajaran. Hal ini
menyebabkan tidak semua anak usia sekolah
tertampung belajar di sekolah, terutama di
daerah pelosok dan terpencil yang sulit
dijangkau program pemerintah.
i. Masih kurangnya kesadaran penduduk terhadap
pentingnya pendidikan, sehingga anak tidak
disekolahkan tetapi justru diarahkan untuk
bekerja membantu memenuhi ekonomi keluarga.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah
dalam mengatasi masalah pendidikan. Usaha-usaha
pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di
Indonesia yaitu:
a. Menambah jumlah sekolah dari tingkat SD sampai
dengan perguruan tinggi.
b. Menambah jumlah guru (tenaga kependidikan) di
semua jenjang pendidikan.
c. Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun yang telah dimulai tahun ajaran
1994/1995.
d. Pemberian bea siswa kepada pelajar dari
keluarga tidak mampu tetapi berprestasi di
sekolahnya.
e. Membangun perpustakaan dan laboratorium di
sekolah-sekolah.
f. Menambah sarana pendidikan seperti alat
ketrampilan dan olah raga.
g. Meningkatkan pengetahuan para pendidik
(guru/dosen) dengan penataran dan pelatihan.
h. Penyempurnaan kurikulum sekolah dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan.
i. Menggalakkan partisipasi pihak swasta untuk
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan
ketrampilan.
3. Tingkat Kesehatan
Tingkat kesehatan penduduk merupakan salah satu
faktor yang menunjang keberhasilan pembangunan.
Tingkat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari
besarnya angka kematian bayi dan usia harapan
hidup penduduknya. Hal ini terlihat dari
tingginya angka kematian bayi dan angka harapan
hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara maju. Faktor-faktor yang dapat
menggambarkan masih rendahnya tingkat kesehatan
di Indonesia adalah:
a. Banyaknya lingkungan yang kurang sehat.
b. Penyakit menular sering berjangkit.
c. Gejala kekurangan gizi sering dialami
penduduk.
d. Angka kematian bayi tahun 1980 sebesar 108 per
1000 bayi dan tahun 1990 sebesar 71 per 1000
kelahiran bayi.
Masalah gizi yang masih dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah:
a. Kekurangan vitamin A
b. Kekurangan kalori protein
c. Kekurangan zat besi
d. Gondok
Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan
kualitas kesehatan penduduk Indonesia yaitu:
a. Melaksanakan program perbaikan gizi.
b. Perbaikan lingkungan hidup dengan cara
mengubah perilaku sehat penduduk, serta
melengkapi sarana dan prasarana kesehatan.
c. Penambahan jumlah tenaga medis seperti dokter,
bidan, dan perawat.
d. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
e. Pembangunan Puskesmas dan rumah sakit.
f. Pemberian penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat.
g. Penyediaan air bersih.
h. Pembentukan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu),
kegiatan posyandu meliputi:
- Penimbangan bayi secara berkala
- Imunisasi bayi/balita
- Pemberian makanan tambahan
- Penggunaan garam oralit
- Keluarga berencana
- Peningkatan pendapatan wanita
Gambar . Kegiatan di Posyandu
B. Kuantitas Penduduk (Jumlah Penduduk Besar Dan
Pertumbuhan Penduduk Cepat)
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak
237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang
bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak
118 320 256 jiwa (49,79 persen) dan di daerah
perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21 persen).
Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar
adalah: pulau Sumatera yang luasnya 25,2 persen dari
luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh 21,3
persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni
oleh 57,5 persen penduduk, Kalimantan yang luasnya
28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen penduduk,
Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3
persen penduduk, Maluku yang luasnya 4,1 persen
dihuni oleh 1,1 persen penduduk, dan Papua yang
luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.
Diantara negara-negara dengan jumlah penduduk
terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi
keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Di
Indonesia 60% penduduknya berada di pulau jawa.
Ketidak merataan persebaran penduduk di Indonesia
menyebabkan ketidak merataan juga pembangunan
fasilitas fisik maupun non fisik. Hal tersebut akan
menarik banyak migran ke pulau jawa. Sehingga daerah
yang ditinggalkan tidak mengalami kemajuan. Jumlah
penduduk Indonesia yang besar mengakibatkan
permasalahan kuantitas penduduk di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah penduduk Indonesia, besarnya sumber daya
manusia Indonesia dapat dilihat dari jumlah
penduduk yang ada. Jumlah penduduk di Indonesia
berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina,
India, dan Amerika Serikat.
2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia, peningkatan
penduduk dinamakan pertumbuhan penduduk. Angka
pertumbuhan penduduk Indonesia lebih kecil
dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina.
3. Kepadatan penduduk Indonesia, kepadatan penduduk
merupakan perbandingan jumlah penduduk terhadap
luas wilayah yang dihuni. Ukuran yang digunakan
biasanya adalah jumlsh penduduk setiap satu km2
atau setiap 1 mil2. Permasalahan dalam kepadatan
penduduk adalah persebarannya yang tidak merata.
Kondisi demikian menimbulkan banyak permasalahan,
misalnya pengangguran, kemiskinan, kriminalitas,
pemukiman kumuh dsb.
4. Susunan penduduk Indonesia, sejak sensus penduduk
tahun 1961, piramida penduduk Indonesia berbentuk
limas atau ekspansif. Artinya pada periode
tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak
daripada penduduk usia tua. Median umur penduduk
Indonesia tahun 2010 adalah 27,2 tahun. Angka ini
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia termasuk
kategori menengah (intermediate). Penduduk suatu
wilayah dikategorikan penduduk muda bila median
umur < 20, penduduk menengah jika median umur 20-
30, dan penduduk tua jika median umur > 30 tahun.
Rasio ketergantungan penduduk Indonesia adalah
51,31. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100
orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat
sekitar 51 orang usia tidak produkif (0-14 dan
65+), yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan
penduduk suatu wilayah. Rasio ketergantungan di
daerah perkotaan adalah 46,59 sementara di daerah
perdesaan 56,30. Perkiraan rata-rata umur kawin
pertama penduduk laki-laki sebesar 25,7 tahun dan
perempuan 22,3 tahun (perhitungan Singulate Mean Age
at Marriage/SMAM).
Gambar. Populasi penduduk Indonesia berdasar
jenis kelamin tahun 2011
Susunan penduduk yang seperti itu memberikan
konsekuensi terhadap hal-hal berikut.
a. Penyediaan fasilitas kesehatan.
b. Penyediaan fasilitas pendidikan bagi anak usia
sekolah
c. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk
kerja
d. Penyediaan fasilitas sosial lainnya yang
mendukung perkembangan penduduk usia muda.
Solusi untuk mengatasi masalah jumlah penduduk
diantaranya adalah dengan Program Keluarga
Berencana (KB). Mencanangkan program Keluarga
Berencana (KB) sebagai gerakan nasional, yaitu
dengan:
a. Memperkenalkan tujuan-tujuan program KB
melalui jalur pendidikan.
b. Mengenalkan alat-alat kontrasepsi kepada
pasangan usia subur, dan menepis anggapan yang
salah tentang anak.
c. Menetapkan Undang-Undang Perkawinan yang di
dalamnya mengatur serta menetapkan tentang
batas usia nikah.
d. Mempermudah dan meningkatkan pelayanan dalam
bidang pendidikan, sehingga keinginan untuk
segera menikah dapat dihambat.
C. Mobilitas (Persebaran Penduduk Tidak Merata)
Banyaknya masyarakat Indonesia yang bermigrasi ke
kota-kota besar mengakibatkan terjadinya kepadatan
di kota-kota besar. Namun fasilitas dan perekonomian
di daerah perkotaan semakin meningkat. Sedangkan
pada daerah yang ditinggalkan penduduknya tidak
mengalami kemajuan sama sekali sehingga terjadi
ketidak seimbangan antara pertumbuhan daerah
perkotaan dan pedesaan.
Persebaran atau distribusi penduduk adalah bentuk
penyebaran penduduk di suatu wilayah atau negara,
apakah penduduk tersebut tersebar merata atau tidak.
Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan
jumlah rata-rata penduduk pada setiap kilometer pada
suatu wilayah negara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dan
kepadatan penduduk tiap-tiap daerah atau negara
sebagai berikut:
1. Faktor Fisiografis, meliputi keadaan fisik pulau
tersebut, misal keadaan tanah, iklim dan cuaca.
2. Faktor Biologis, meliputi keanekaragaman makhluk
hidup yang ada.
3. Faktor Kebudayaan dan Teknologi, meliputi
kemajuan teknologi yang ada.
Kepadatan penduduk dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Kepadatan penduduk aritmatik sangat mudah dalam
perhitungannya. Data kepadatan penduduk aritmatik
sangat bermanfaat. Contohnya adalah dengan
diketahui tingkat kepadatan penduduk di suatu
wilayah, maka dapat digunakan untuk perencanaan
penyediaan fasilitas sosial. Jika pada suatu
daerah memiliki kepadatan penduduk aritmatik yang
rendah, maka penyediaan fasilitas kesehatan,
seperti puskesmas dapat digabung dengan daerah
yang berdekatan.
2. Kepadatan penduduk Indonesia antara pulau yang
satu dan pulau yang lain tidak seimbang. Selain
itu, kepadatan penduduk antara provinsi yang satu
dengan provinsi yang lain juga tidak seimbang.
Hal inidisebabkan karena persebaran penduduk
tidak merata. Sebagian besar penduduk Indonesia
terkonsentrasi di pulau Jawa dan Madura. Padahal,
luas wilayah pulau Jawa dan Madura hanya sebagian
kecil dari luas wilayah negara Indonesia.
Akibatnya, pulau Jawa dan Madura memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi, sedangkan di
daerah-daerah lain tingkat penduduknya rendah.
Provinsi yang paling padat penduduknya adalah
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kepadatan
penduduk erat kaitannya dengan kemampuan wilayah
dalam mendukung kehidupan penduduknya. Daya
dukung lingkungan dari berbagai daerah di
Indonesia tidak sama. Daya dukung lingkungan
pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan
pulau-pulau lain, sehingga setiap satuan luas di
Pulau Jawa dapat mendukung kehidupan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan, misalnya di
Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan
Sumatra.Kemampuan suatu wilayah dalam mendukung
kehidupan itu ada batasnya. Apabila kemampuan
wilayah dalam mendukung lingkungan terlampau,
dapat berakibat pada terjadinya tekanan-tekanan
penduduk. Jadi, meskipun di Jawa daya dukung
lingkungannya tinggi, namun juga perlu diingat
batas kemampuan wilayah tersebut dalam mendukung
kehidupan.
Untuk mengatasi masalah pemerataan penduduk,
program pemerintah yang terkenal dalam upaya
mengatasi masalah tersebut adalah transmigrasi,
yaitu pemindahan penduduk dari daerah yang padat
penduduk ke daerah yang belum padat penduduk.
Program pemerintah tersebut dilaksanakan sekitar
tahun 1980 -1990 an. Tujuan pelaksanaan transmigrasi
yaitu:
a. Meratakan persebaran penduduk di Indonesia.
b. Peningkatan taraf hidup transmigran.
c. Pengolahan sumber daya alam.
d. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
Indonesia.
e. Menyediakan lapangan kerja bagi transmigran.
f. Meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
g. Meningkatkan pertahanan dan kemananan wilayah
Indonesia.
Transmigrasi bukan hanya memindahkan penduduk,
tetapi harus juga menyiapkan aspek sosial, SDM, dan
teknis. Aspek sosial, masyarakat yang akan
dipindahkan harus dipersiapkan agar mudah
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Aspek SDM,
peningkatan skill perlu diberikan kepada masyarakat
yang akan dipindahkan. Aspek Teknis, mempersiapkan
prasarana dasar yang menunjang daerah
transmigrasi, tidak hanya rumah dan sepetak tanah.
Ditemui berbagai kendala misalnya masyarakat tidak
kerasan ditempat barunya, sehingga mereka kembali ke
kota. Banyak proyek transmigrasi yang tidak
dilakukan sesuai prosedur, yaitu penyiapan prasarana
dasar secukupnya, dana diselewengkan, sehingga
penduduk yang dipindahkan teraniaya. Beberapa solusi
lain upaya lain yang dapat dilakukan adalah:
a. Pengadaan rumah vertikal atau rusun
b. Mengatur jarak kelahiran
c. Menambah pengetahuan tentang kependudukan\
d. Meningkatkan usaha ekonomi keluarga
e. Para transmigran yang sukses bisa kembali
membangun daerah asalnya.
D. Rendahnya Usia Kawin Pertama
Usia perkawinan pertama wanita erat hubungannya
dengan fertilitas. Karena bila umur perkawinan
pertamanya semakin muda semaki mendekati umur haid
pertama, maka semakin lama masa reproduksinya. Hal
itu semakin panjang resiko seorang wanita untuk
hamil dan melahirkan.
Data Riskesdas 2010 menunjukan bahwa prevalensi
umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebanyak
41,9 persen. Menurut SDKI Tahun 2007, 17 persen
wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah
pada umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang
menikah pada umur 15 tahun berkurang dari 9 persen
untuk umur 30-34 tahun menjadi 4 persen untuk wanita
umur 20-24 tahun. Menurut data Susenas Tahun 2010,
secara nasional rata-rata usia kawin pertama di
Indonesia 19.70 tahun, rata-rata usia kawin didaerah
perkotaan 20.53 tahun dan di daerah perdesaan 18.94
tahun, masih terdapat beberapa propinsi rata-rata
umur kawin pertama perempuan dibawah angka nasional.
Data BPS tahun 2010, menunjukkan rata-rata
perempuan di daerah perkotaan menikah pada usia 20-
22 tahun, hal ini disebabkan karena partisipasi
perempuan dalam karir dan pekerjaan sebelum
perkawinan sehingga dapat menunda usia perkawinan.
Walaupun telah terjadi sedikit peningkatan usia
perkawinan pertama pada perempuan namun perlu
mendapat perhatian karena dapat memberikan dampak
pada peningkatan TFR.
Hasil penelitian menemukan bahwa ada beberapa
factor yang berpengaruh terhadap perkawinan pertama
pada perempuan, diantaranya adalah factor social,
ekonomi, budaya dan factor tempat tinggal desa-kota.
Diantara beberapa factor tersebut, ternyata faktor
ekonomi yang paling dominan terhadap perkawinan
pertama pada perempuan.
Rendahnya tingkat kemampuan eknomi keluarga akan
mendorong para orangtua mengawinkan anak-anak
wanitanya walaupun mereka masih umur muda. Sementara
itu dari segi sosial budaya, umumnya terjadi karena
adanya pemikiran seperti takut anaknya menjadi
perawan tua, kebanggaan apabila anaknya cepat
dilamar dan juga ingin mengurangi beban (tanggung
jawab) sebagi orang tua apabila anaknya telah
menikah.
Ada juga faktor agama yang dianut oleh masyarakat
setempat, seorang anak diwajibkan patuh terhadap
orang tua, apabila orang tua menginginkan anaknya
segera menikah walaupun usianya masih muda harus
menurut kehendak orang tua dan yang penting anaknya
sudah ”haid pertama”. Tokoh Masyarakat dan Tokoh
Agama berpendapat bahwa perkawinan usia muda pada
perempuan lebih kepada menjaga agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan misalnya ”hamil diluar
nikah”, pergaulan bebas atau sex bebas antar remaja.
Faktor sosial yang berpengaruh terhadap
perkawinan pertama pada perempuan adalah faktor
pendidikan, rendahnya pendidikan orang tua dan
rendahnya pendidikan remaja mendorong untuk
pernikahan usia muda. Mereka yang tidak melanjutkan
sekolah akhirnya menganggur, karena sulitnya mencari
pekerjaan.Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai
pembantu rumah tangga dan tidak bertahan lama. Kawin
usia muda juga terjadi karena terlanjur ”hamil”
sehingga terpaksa dikawinkan. Setelah menikah
umumnya mereka menyadari bahwa perkawinan usia muda
tidak baik untuk kelangsungan rumah tangga karena
berbagai faktor. Rapuhnya ketahanan keluarga karena
masing-masing tidak siap secara sosial, ekonomi
budaya.
Salah satu program kependudukan yang dapat
mengendalikan jumlah penduduk dan langsung
sasarannya terhadap perkawinan pertama pada
perempuan adalah program Pendewasaan Usia Perkawinan
(PUP). Program PUP ini adalah upaya untuk
meningkatkan usia perkawinan pertama, sehingga
mencapai usia minimal pada saat perkawinan usia 20
tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Program
ini bisa terlaksana dengan baik apabila semua pihak
yang terkait mendukung. Salah satu kendala dalam
pelaksanaan program PUP di lapangan adalah belum
direvisinya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang
membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun untuk
wanita dan 18 tahun untuk pria.
E. Rendahnya Partisipasi Pria Dalam Ber-KB
Partisipasi pria adalah tanggung jawab pria dalam
keterlibatan dan kesertaan ber KB dan Kesehatan
Reproduksi, serta prilaku seksual yang sehat dan
aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya
(BKKBN, 2000). Bentuk nyata dari partisipasi pria
tersebut adalah: sebagai peserta KB, mendukung dan
memutuskan bersama istri dalam penggunaan
kontrasepsi, sebagai motivator KB merencanakan
jumlah anak dalam keluarganya (BKKBN, 2003).
Berdasarkan pengambilan data peserta aktif pada
bulan januari tahun 2010 menunjukan bahwa prevelensi
KB di Indonesia adalah 75.8 % . Diantaranya akseptor
wanita sebanyak (75.4%) dan akseptor pria sebanyak
(1.6%)(BKKBN, 2011)
Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB dan
kesehatan reproduksi disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu: (a) faktor dukungan, baik politis,
sosial budaya, maupun keluarga yang masih rendah
sebagai akibat rendah/kurangnya pengetahuan
pria/suami serta lingkungan sosial budaya yang
menganggap KB dan kesehatan reproduksi merupakan
urusan dan tanggung jawab perempuan, (b) faktor
akses, baik akses informasi, maupun akses pelayanan.
Dilihat dari akses informasi, materi informasi pria
masih sangat terbatas, demikian halnya dengan
kesempatan pria/suami yang masih kurang dalam
mendapatkan informasi mengenai KB dan kesehatan
reproduksi. Keterbatasan juga dilihat dari sisi
pelayanan dimana sarana/ tempat pelayanan yang dapat
mengakomodasikan kebutuhan KB dan kesehatan
reproduksi pria/suami masih sangat terbatas,
sementara jenis pelayanan kesehatan reproduksi untuk
pria/suami belum tersedia pada semua tempat
pelayanan dan alat kontrasepsi untuk suami hanya
terbatas pada kondom dan vasektomi (Iman, 2008).
1. Adanya Sosial Budaya
Adanya anggapan sebagian masyarakat terutama
perempuan bahwa pria yang mengikuti KB terutama
MOP atau vasektomi dimungkinkan untuk “dapat
kemana-mana” atau berlaku serong. Menghadapi
suatu permasalahan yang ada di dalam masyarakat
yang terkait dengan permasalahan ini diawali
dengan diskusi, konsultasi yang terkait dengan
tata nilai sosial budaya yang ada di dalam
masyarakat tersebut dengan memberikan pemahaman
bahwa orang yang dapat berlaku serong itu bukan
hanya orang yang sudah melakukan vasektomi saja.
Namun demikian dalam kehidupan masyarakat
siapapun yang mempunyai niatan untuk berbuat
serong tersebut siapapun bisa melakukannya. Upaya
melakukan pemahaman atau konsultasi ini tidak
mungkin hanya dilakukan oleh petugas KB saja
tetapi dengan melibatkan tokoh masyarakat dan
tokoh agama yang ada di sekitar masyarakat
tersebut untuk dapat memberikan pemantapan akan
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama bagi
seluruh anggota masyarakat. Dalam prakteknya
kegiatan ini diawali dengan pelatihan bagi tokoh
agama dan tokoh masyarakat tentang pentingnya
Keluarga Berancana dalam kehidupan masyarakat
(Iman, 2008).
2. Pengetahuan Masyarakat
Berdasarkan pengamatan langsung dan penelitian
sederhana yang pernah dipublikasikan ternyata ada
masyarakat yang belum mengetahui sama sekali
adanya jenis kontrasepsi yang diperuntukkan laki-
laki/suami. Masyarakat tertentu baik laki-laki
ataupun perempuan masih ada yang beranggapan
bahwa tidak ada alat kontrasepsi yang
diperuntukkan bagi laki-laki. Sehingga ada yang
merasa aneh atau merasa lucu KB kok yang
melakukan laki-laki. Dari kondisi ini berarti
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
kontrasepsi pria yaitu kondom dan vasektomi bagi
sebagian masyarakat masih sangat rendah (Iman,
2008).
3. Agama
Tokoh agama tertentu masih beranggapan bahwa
medis operatif pria belum dibolehkan dalam aturan
agama. Kondisi yang sebenarnya hubungannya dengan
agama disampaikan bahwa yang tidak diperbolehkan
adalah yang merusak atau tidak dapat
dikembalikan. Dengan demikian pelayanan vasektomi
yang secara medis disebut sebagai reversible atau
dapat dikembalikan dengan melalui operasi
sederhana bedah mikro berarti bisa dipulihkan
kembali sehingga memungkinkan untuk orang yang
melakukan tersebut dapat memiliki anak kembali.
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini
mutlak diperlukan tokoh agama yang telah memahami
secara penuh vasektomi tanpa pisau ini dapat
diberikan kepada masyarakat di
lingkungannya(Iman, 2008).
4. Tata Nilai Lokal Yang Ada Di Masyarakat
Wilayah tertentu beranggapan bahwa KB adalah
urusan perempuan. Kondisi ini menciptakan upaya
pelaksanaan program KB yang diutamakan sasarannya
hanya perempuan. Sehingga dalam upaya
mengatasinya harus melibatkan suami atau pria
sebagai obyek sekaligus subyek dalam partisipasi
pria dalam ber-KB. Maksudnya dalam pelayanan KB
pria diupayakan pria diperankan secara penuh
untuk memberikan motivasi langsung sebagai
teladan bagi masyarakat di lingkungannya melalui
penyampaian pengalaman langsung yang dihadapi
masyarakat tersebut kepada calon peserta (Iman,
2008).
5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah
beranggapan bahwa operasi adalah mahal sehingga
tidak mampu/tidak mungkin dilakukan bagi
masyarakat yang kurang mampu (Iman, 2008). Dalam
pelaksanaan program KB apapun dan berapapun
kebutuhan masyarakat terutama yang miskin dan
hampir miskin untuk pemenuhan kebutuhan program
KB akan dipenuhi seluruhnya. Sehingga berapapun
kebutuhan yang diperlukan untuk vasektomi ini
menjadi tanggungan pemerintah. Sehingga
masyarakat tidak harus mempunyai kekhawatiran
berapa besar yang diperlukan untuk kegiatan ini.
Bahkan pemerintah memikirkan kondisi ekonomi ini
dengan memberikan ayoman pasca pelayanan untuk
biaya hidup 2 hari (Iman, 2008).
6. Belum Dimanfaatkannya Peserta KB Pria
Masyarakat yang sudah mengikuti KB pria yaitu
kondom dan vasektomi belum secara optimal
diperankan sebagai motivator atau teladan dalam
masyarakat. Program yang dapat berjalan secara
efektif di masyarakat adalah yang dapat dianggap
sebagai dari, oleh, dan untuk masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu hubungannya dengan
kesertaan KB pria yaitu peserta vasektomi sudah
seyogyanya diperankan sebagai tokoh masyarakat,
teladan, motivator dan komunikator program
tersebut antara masyarakat dengan petugas
pelaksana/pelayan program (Suprihastuti, 2000).
7. Persepsi
Adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target
program KB menjadi salah satu faktor rendahnya
partisipasi pria dalam KB. Hasil penelitian
Purwanti (2004) menyimpulkan bahwa suami dengan
persepsi positif terhadap alat kontrasepsi pria
lebih tinggi pada kelompok suami yang menggunakan
alat kontrasepsi pria dari pada kelompok kontrol
(Ekayanthi, 2005).
8. Kualitas Pelayanan KB Pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional tahun 2001 menunjukkan
kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor
rendahnya partisipasi pria dalam KB
(Suprihastuti, 2000).
9. Terbatasnya Metode Kontrasepsi Pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional tahun 2001 menunjukkan
terbatasnya metode kontrasepsi pria menjadi salah
satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB
(BKKBN, 2001).
10. Dukungan Istri Terhadap Suami Untuk
KIB
Dari hasil penelitian di Sumatera Selatan dan
Jawa Barat yang dilakukan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional tahun 2001
menunjukkan 66,26% istri tidak setuju suaminya
ber KB (BKKBN, 2001).
11. Aksesibilitas Pelayanan KB Pria
Adanya kemudahan dan ketersediaan sarana
pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan
suatu alat kontrasepsi. Menurut suami pelayanan
KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan
rumah atau dekat dari tempat mereka bekerja
(48,85%), sebanyak 12,8% menginginkan tempat
pelayanan dengan trasportasi yang mudah, biaya
terjangkau (9,9%), fasilitas lengkap (9,3%),
dilayani dengan tenaga ahli yang ramah (9%) dan
dapat menjaga privacy (2,2%). Sedangkan tempat
memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit
pemerintah 36,1%, Puskesmas 29,1%, dan rumah
sakit swasta 8,6% (Suprihastuti, 2000).
Belum semua pelayanan kesehatan mampu
memberikan pelayanan vasektomi. Hanya 5 – 81
persen pelayanan kesehatan yang menyediakan
pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen
pelayanan kesehatan pemerintah (Wibowo, 1994).
Bahkan hasil baseline survei di 4 propinsi
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat,
dan NTT tahun 2002 memperlihatkan bahwa dari 30%
pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan
vasektomi, hanya 4% yang melayani vasektomi. Dari
sisi provider terlihat bahwa keberadaan dan
kesiapan provider pemberi pelayanan secara teknis
telah mendukung pelaksanaan vasektomi. Namun
secara mental masih ada hambatan, disamping itu
mutasi dokter terlatihpun sangat cepat.
Terbatasnya akses ke tempat pelayanan disebabkan
antara lain oleh (Suprihastuti, 2000):
a. Citra terhadap tempat pelayanan KB yang
dipersiapkan sebagai tempat pelayanan untuk
wanita.
b. Kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi
c. Kurangnya motivasi provider untuk pelayanan
vasektomi
d. Kurangnya dukungan peralatan dan medical
suplies untuk vasektomi
e. Kurang dukungan logistik kondom.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah kurangnya partisipasi pria dalam ber-KB
antara lain:
1. Untuk petugas KB atau petugas Kesehatan
a. Perlunya peningkatan KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) tentang partisipasi
pria dalam KB kepada pasangan usia subur
sehingga mereka bisa memahami bahwa bukan
hanya perempuan saja yang ber-KB tapi pria
juga penting untuk ber-KB.
b. Perlunya peningkatan KIE melalui paguyuban
atau kelompok KB pria tentang alat kontrasepsi
pria yaitu kondom untuk meningkatkan
pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi
kondom.
c. Perlunya peningkatan KIE kepada calon
pengantin pria dan wanita tentang partisipasi
pria dalam KB.
2. Untuk Pemerintah
a. Perlunya bantuan biaya pelayanan KB dan
penyelenggaraan safari KB selain alat
kontrasepsi vasektomi/MOP.
b. Perlunya peningkatan pemberian kondom gratis
untuk pasangan usia subur.
c. Perlunya pengadaan metode kontrasepsi baru
bagi pria selain kondom dan vasektomi.
d. Perlunya peningkatan KIE mengenai partisipasi
pria dalam KB melalui media elektronik seperti
televisi, radio dan media massa sepeti majalah
dan Koran.
F. Masih Lemahnya Institusi Daerah Dalam Pelaksanaan
Program KB
Kerumitan makin terbayang karena upaya untuk
mengatasi simpang siur data dan kinerja program KB
untuk menahan laju pertumbuhan penduduk juga
terganggu oleh masalah institusi, terutama di
kabupaten/kota. Belum lagi kalau kependudukan bukan
hanya soal jumlah, tetapi juga soal menjaga
kualitasnya.
Dimulai sejak awal era reformasi, program KB
seakan mati suri. Stagnasi mulai terjadi sejak era
otonomi daerah dicanangkan tahun 1999. Pada umumnya
daerah tidak menempatkan KB sebagai program
prioritas.
Bahkan masih banyak kabupaten/kota yang tidak
memiliki badan atau lembaga yang mengurus KB. Dari
497 kabupaten/kota di Indonesia, baru 385 yang
mempunyai institusi untuk mengurus KB. Ironisnya,
dari 385 kabupaten/kota tersebut, baru 7 persen
yang mempunyai institusi yang khusus menangani KB,
sedangkan 93 persen digabung dengan tugas-tugas
lain.
Mengecilnya komitmen pemda, khususnya pemerintah
kabupaten/kota pada awal pelaksanaan otonomi daerah
antara lain karena pertimbangan pembiayaan. KB yang
banyak dinilai sebagai urusan yang lebih banyak
menyedot anggaran, kemudian diciutkan, digabungkan
dengan urusan lain.
Kewajiban pemerintah provinsi, maupun
kebupaten/kota mengurus program KB baru ditegaskan
pada Peraturan Pemerintah 38/2007. PP ini ternyata
hanya melahirkan berbagai institusi KB yang ala
kadarnya. Kinerja program tidak membaik, setidaknya
jika dilihat dari hasil SP 2010.
SolusiKebijakan dan institusi KB mau nggak mau harus
sentralistis. Saya yakin tidak akan mengalami penolakan
dari pemerintah daerah. mendesak pemerintah
mengembalikan kebijakan keluarga berencana (KB) nasional
menjadi urusan pemerintah pusat. Desakan didasari atas
pertimbangan bahwa selama otonomi daerah program KB
mengalami stagnasi alias jalan di tempat.
Kelemahan itu ditandasi dengan tidak memadainya alokasi
anggaran dalam APBD untuk mendukung program. Kemudian,
tidak jelasnya institusi atau kelembagaan yang menangani
KB. Kondisi ini diperburuk dengan alokasi sumber daya
manusia untuk program KB di daerah menurun drastis.
Akibatnya, kinerja program KB yang cenderung stagnan
dalam sepuluh tahun terakhir
sentralisasi, dia menuntut adanya perubahan strategi
kampanye dan sosialisasi KB. KB juga tidak semata-mata
diasosiasikan dengan keluarga berencana. Kebijakan KB
juga perlu melihat kondisi geografis antara Kawasan
Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia
http://jabar.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?
ID=1320&ContentTypeId=0x0100A28EFCBF520B364387716414
DEECEB1E
G. Rendahnya Budaya Olahraga Di Kalangan Masyarakat Dan
Prestasi Olahraga Indonesia Yang Tertinggal
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, terdapat
beberapa permasalahan, yaitu: belum terwujudnya
peraturan perundang-undangan tentang keolahragaan;
dan kecenderungan makin menurunnya minat dan
keinginan masyarakat untuk melakukan kegiatan
olahraga. Masalah lainnya adalah rendahnya angka
partisipasi penduduk dalam berolahraga yang hanya
sekitar 22,6 persen; terbatasnya fasilitas olahraga,
baik berupa prasarana maupun sarana olahraga;
rendahnya rasio guru olahraga/penjaskes untuk
jenjang SD yaitu hanya 0,5 persen; lemahnya
koordinasi antarpembinaan olahraga pendidikan,
olahraga prestasi, dan olahraga masyarakat; dalam
era desentralisasi dan otonomi daerah, penataan
peran pembinaan olahraga antarpemerintah pusat dan
daerah belum tertata dengan baik; serta menurunnya
prestasi olahraga dalam event-event internasional.
Jika pada SEA GAMES XIV tahun 1987 di Jakarta dan XV
tahun 1989 di Kuala Lumpur, Indonesia selalu
menduduki juara umum, maka dalam SEA GAMES XX tahun
1999 di Brunei Darussalam, hanya menduduki posisi
ketiga. Masalah lainnya adalah belum serasinya
kebijakan olahraga di tingkat nasional dan daerah.
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga beberapa
permasalahan yang harus diatasi yaitu: (1) Belum
terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang
keolahragaan; (2) Rendahnya kesempatan untuk
berkreativitas olahraga dikarenakan semakin
berkurangnya lapangan dan fasilitas olahraga; serta
(3) Lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam hal
penyediaan ruang publik untuk lapangan dan
fasilitas olahraga bagi masyarakat umum. Maka dari
itu, hal tersebut diatas perlu mendapat perhatian
khusus dalam upaya meningkatkan budaya olahraga di
indonesia.
H. Database Serta Administrasi Kependudukan
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, yang termasuk dalam
Peristiwa Kependudukan antara lain perubahan alamat,
pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas atau
tinggal sementara, serta perubahan status Orang
Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap.
Sementara yang dinamakan Peristiwa Penting adalah
kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan
perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan
pengesahan anak, serta perubahan status
kewarganegaraan, ganti nama dan Peristiwa Penting
lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan
kejadian yang harus dilaporkan karena membawa
implikasi perubahan data identitas atau surat
keterangan kependudukan. Berikut merupakan masalah
dari database serta administrasi kependudukan :
1. Masalah KTP dan KK
a. Masih banyak warga DKI Jakarta yang belum
memiliki akta kelahiran karena tidak memiliki
KTP, Kartu Keluarga, akta nikah dari
KUA/Catatan Sipil dan surat keterangan lahir
anak dari dokter/bidan.
b. Kasus lain, salah satu orang tua
kabur/meninggalkan istri/suami dan anak tanpa
kabar bertahun-tahun dengan membawa KTP dan
Akta nikah sehingga istri/suami sulit untuk
membuatkan akta kelahiran untuk anaknya.
2. Masalah Akta Nikah
a. Masih banyak warga DKI Jakarta yang tidak
memiliki akta nikah sama sekali karena kawin di
bawah tangan atau kawin siri.
b. Ada juga yang memiliki akta nikah secara
agama, namun tidak memiliki akta nikah dari
catatan sipil atau dari KUA sehingga berdampak
pula pada status anak dalam akta kelahirannya,
yaitu hanya ”ANAK SEORANG IBU”. Hal ini tentu
sangat berpengaruh negatif terhadap
perkembangan psikologis anak ketika ia dewasa.
c. Masih banyak ditemukan kasus dimana akta
nikah catatan sipil tidak dapat diterbitkan
gara-gara salah satu pasangan suami istri itu
tidak memiliki akta lahir saat menikah. Apakah
ada kebijakan dari Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta untuk mengatasi masalah tersebut,
misalnya cukup dengan menunjukkan ijasah
sekolah atau dengan cara lain yang bisa
digunakan dan bisa dipertanggungjawabkan secara
hukum untuk mengatasi masalah tersebut
mengingat masih ada warga yang tidak memiliki
ijasah sekolah.
3. Masalah Status Anak Di luar Nikah
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengatakan bahwa: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “.
Konsekuensinya adalah anak-anak yang lahir di
luar perkawinan dianggap ”anak haram” dan hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga
ibunya. Padahal dalam kenyataannya banyak
pasangan suami istri (non muslim) yang sudah
menikah secara sah menurut agama namun Dinas
Ducapil menolak untuk mencatatkan perkawinan
mereka karena salah satu pasangan tidak memiliki
akta kelahiran.
Solusi dari masalah database dan administrasi
kependudukan antara lain dengan menggunakan Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) bertujuan
untuk menciptakan sistem pengenal tunggal berupa
Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan menjadi
identitas tunggal penduduk.
NIK menjadi prasyarat utama bagi database
kependudukan nasional yang berbasis registrasi dan
menjadi instrumen dan validasi jati diri seseorang
yang dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan.
DPR-RI mendukung langkah pemerintah menerbitkan
single identity number (SIN) yang akan menjadi nomor
identitas tunggal bagi setiap penduduk di seluruh
Indonesia. Dengan adanya KTP nasional berbasis NIK,
tidak akan ada seorang warga yang mempunyai KTP
lebih dari satu dengan NIK yang berbeda.
Hal ini dikarenakan adanya proses otentifikasi
yang berjenjang, mulai dari kelurahan hingga pusat.
Selain itu, sanksi tegas akan diberikan kepada
warga yang memiliki KTP lebih dari satu.
Manfaat NIK:
NIK akan menjadi dasar penerbitan paspor, surat
izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis
asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-
dokumen lainnya, sehingga NIK menjadi kunci akses
dalam pelayanan publik di hampir setiap sektor.
Dengan adanya NIK, memudahkan setiap warga negara
yang ingin menjadi tenaga kerja ke luar negeri dan
menjadi jelas status Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di
luar negeri yang mengalami kesulitan atau
permasalahan dapat segera terselesaikan.
NIK akan menjadi dasar database daftar pemilih
tetap (DPT) dalam rangka pelaksanaan pemilihan umum
di seluruh Indonesia. NIK juga lebih memudahkan
identifikasi personal yang bergabung dan kelompok-
kelompok ekstrem atau yang akhir-akhir ini marak
disebut kelompok teroris dan memudahkan pihak
berwajib untuk melakukan pelacakan agar tidak
terjadi salah tangkap atau hal-hal yang lainnya yang
pada akhirnya warga dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. ________ . Persebaran dan Kepadatan Penduduk.
(online).
(http://www.scribd.com/doc/70499413/Persebaran-
Dan KepadataPenduduk). Di Akses pada tanggal 14
Maret 2013.
Anonim. ________ . Sensus Penduduk 2010. (online).
(http://sp2010.bps.go.id/) Diakses pada tanggal
14 Maret 2013
Bappenas. 2004. Bab 30 Pengendalian Pertumbuhan Penduduk,
Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas
[Online : http://www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/838/].
Bappenas. Pembangunan Kependudukan Dan Keluarga Kecil
Berkualitas Serta Pemuda Dan Olahraga. (online).
http://kppo.bappenas.go.id/files/PEMBANGUNAN
%20KEPENDUDUKAN%20DAN%20KELUARGA%20KECIL
%20BERKUALITAS%20SERTA%20PEMUDA%20DAN
%20OLAHRAGA.pdf. Diakses 14 maret 2013.
BKKBN. 2001. Operasionalisasi Program dan Kegiatan Strategis
Peningkatan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi. Jakarta.
BKKBN. 2003. Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana
dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta.
BKKBN. 2011. Perkawinan Muda di Kalangan Perempuan: Mengapa?.
Jakarta.
Ekayanthi, Ni Wayan Dian. 2005. Persepsi Pria Pasangan Usia
Subur Terhadap Partisipasi Pria Dalam Program KB di Kecamatan
Tabanan Kab. Tabanan Prop Bali. UGM. Yogyakarta.
Ganis. 2010. Masalah Pendidikan Di Indonesia. (online).
(http://ganis.student.umm.ac.id/2010/01/26/mahaln
ya-biaya-sekulah-di-masa-sekarang/) di akses pada
tanggal 14 Maret 2013.
Iman, Saptono Budisantoso. 2008. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
Di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Magster Promosi
Kesehatan Program Pascasarjana Universitas
Dipoegoro. Semarang
Kemdiknas. _______. Kualitas Penduduk Rendah. (online).
(http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?
display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Modul
%20Online/SMP/view&id=134&uniq=1280). Di akses
pada tanggal 14 Maret 2013.
Kemendagri. 2012. Kualitas Penduduk Indonesia Masih
Memprihatinkan. (online).
(http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/learning/de
tail/2012042512184643). Diakses pada tanggal 13
Maret 2013.
Suprihastuti, DR. 2000. Pengambilan Keputusan Penggunaan
Alat Kontrasepsi Pria di Indonesia. Analisis Hasil SDKI
1997. Jakarta
http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000741/
uii-skripsi-05410167 avy%20setya%20dewi-05410167-
AVY%20SETYA%20DEWI-1011329489-bab%201.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/33144/4/Chapter%20I.pdf
Andrianty, Istoqomah, dkk. 2012. PARTISIPASI PRIA DALAM
DALAM KELUARGA BERENCANA DI KELURAHAN SUKAMANAH
KECAMATAN CIPEDES KOTA TASIKMALAYA. (Online).
(http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=UPAYA+UNTUK+MENGATASI+RENDAHNYA+PRIA
+DALAM+BER+KB&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CC0QFj
AA&url=http%3A%2F%2Fjournal.unsil.ac.id
%2Fdownload.php%3Fid
%3D655&ei=LuRBUccCwuisB7CIgMgN&usg=AFQjCNGJEcEoa3
aw0bcpCm2ffK94O__vtw&bvm=bv.43287494,d.bmk).
Diakses pada tanggal 14 Maret 2013.
Fungsi :
1. Menetapkan kebijakan jaminan dan pelayanan KB,peningkatan partisipasi pria, sertakelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skalakabupaten.
2. Menyelenggarakan pelayanan rujukan KB danoperasionalisasi jaminan dan pelayanan KB,peningkatan partisipasi pria, penanggulanganmasalah kesehatan reproduksi, sertakelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skalakabupaten.
3. Menetapkan dan mengembangkan jaringanpelayanan KB dan kesehatan reproduksi termasukpelayanan KB dirumah sakit skala kabupaten.
4. Menetapkan perkiraan sasaran pelayanan KB,sasaran peningkatan perencanaan kehamilan,sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran“Unmet Need”, serta sasaran kelangsungan hidupibu, bayi dan anak skala kabupaten.
5. Menyerasikan dan menetapkan kriteria sertakelayakan tempat pelayanan KB, sertapeningkatan partisipasi pria, sertakelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skalakabupaten.
6. Melaksanakan jaminan dan pelayanan KB, sertapeningkatan partisipasi pria, sertakelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skalakabupaten.
7. Memantau tingkat Droup Out peserta KB.
8. Mengembangkan materi penyelenggaraan jaminandan pelayanan KB, dan pembinaan penyuluhan KB.
9. Menyebarluasan jaringan dan membina pelayananKB.
10. Menyelenggarakan dukungan pelayanan rujukanKB dan kesehatan reproduksi.
11. Menyelenggarakan dan fasilitasi upayapeningkatan kesadaran keluarga berkehidupanseksual yang aman dan memuaskan, terbebas dariHIV/AIDS dan infeksi menural seksual (IMS).
12. Membina penyuluhan KB.
13. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender,terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaanprogram pelayanan KB.
14. Menyediakan sarana dan prasarana pelayanankontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangkapanjang yag lebih terjangkau, aman,berkualitas dan merata skala kabupaten.
15. Melaksanakan distribusi dan penggandaansarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, danpelayanannya dengan prioritas keluarga miskindan kelompok rentan skala kabupaten.
16. Menjamin ketersediaan sarana, alat, obat dancara kontrasepsi bagi peserta mandiri skalakabupaten
17. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikanoleh Kepala Bidang.
B. KEPALA SUB BIDANG KELUARGA BERENCANA DANKESEHATAN REPRODUKSITugas Pokok :Melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengankeluarga berencana dan kesehatan dan hal-halreproduksi.
Fungsi :
1. Melaksanakan promosi pemenuhan hak-hakreproduksi dan promosi kesehatan reproduksiskala kabupaten.
2. Melaksanakan informed choise dan informedconsent dalam program KB.