Makalah empirisme hamdi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Makalah empirisme hamdi
PAHAM EMPIRISME
A. PENDAHULUAN
Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak
sekali. Salah satu paham yang memaparkan tentang
sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme
merupakan paham yang mencoba memaparkan dan
menjelaskan bahwa sumber pengetahuan manusia itu
adalah pengalaman.
Ilmu-ilmu empiris ini memperoleh bahan-bahan
untuk sesuatu yang dinyatakan sebagai hasil atau
fakta dari sesuatu yang dapat diamati dengan
berbagai cara. Bahan-bahan ini terlebih dahulu harus
disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi,
diverifikasi, diidentifikasi, didaftar, dan
diklasifikasikan secara ilmiah.
Paham empirisme telah banyak didiskusikan oleh
orang-orang di bangku perkuiahan. Banyak yang
menyatakan bahwa suatu penelitian itu harus
didasarkan atas data empiris, namun menurut penulis
dengan data empiris saja penelitian tidak cukup dan
harus juga berdasarkan rasionalisme logis. Tuhan
telah menciptakan akal bagi manusia sehingga
membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain. Akal
harus difungsikan dalam suatu penelitian agar
pembaca memiliki gambaran yang kuat untuk menerima
1
hasil kajian ilmiah dari peneliti yang akan
dijadikan sebagai pengetahuan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis ingin
menyampaikan bahwa data empiris mempunyai banyak
kekurangan untuk mengkaji berbagai informasi dan
pengetahuan tanpa disandingkan dengan paham-paham
yang lainnya. Dan pada kesempatan ini penulis akan
memadukan paham empirisme dengan beberapa paham
untuk mendapatkan data yang valid dan akuntabel
sebagai ilmu pengetahuan.
Adapun tokoh-tokoh pakar filsafat yang
mengembangkan paham empirisme diantaranya Francis
Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley,
dan David Hume.
Paham empirisme banyak juga menuai sanggahan
dari orang-orang rasionalis karena mengesampingkan
akal dalam penelitian. Sehingga dapat dikatakan
bahwa paham rasionalisme ini merupakan lawan dari
paham empirisme.
2
B. PENGERTIAN EMPIRISME
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani
empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
3
Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan
rasionalisme.1
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal
dari kata Yunani empereikos yang berarti pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan
dari pengalaman inderawi. Hal ini dapat dilihat bila
memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang
mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris akan
mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan
karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu”.
Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu,
yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui
(objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu
dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin?
Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba.dengan
kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-
pengalaman inderawi yang sesuai.2
Dalam Juhaya juga menyatakan hal yang sama
dengan Amsal Bakhtiar bahwa pengetahuan itu
diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai dan pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber
pengetahuan bukan rasio.
1 Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu. (Jakarta : Rineka Cipta, 2010) hal 1632 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 98
4
Oleh sebab itu, empirisme dinisabatkan kepada
faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan yang dimaksudkan dengannya ialah baik
pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi
manusia.3
Sedangkan menurut Sutarjo menyatakan bahwa
empirisme merupakan aliran yang mengakui bahwa
pengetahuan itu pada hakikatnya didasarkan atas
pengalaman atau empiri melalui alat indra (empiri).
Empirisme menolak pengetahuan yang semata-mata
didasarkan akal, karena dapat dipandang sebagai
spekulasi belaka dan tidak berdasarkan realitas
sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan.
Pengetahuan sejati harus didasarkan pada kenyataan
sejati, yaitu realitas.4
Berbeda dengan Rasionalisme yang mengatakan bahwa
akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan.
Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur
dengan akal pula. Dicari dengan akal artinya dicari
dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya
diuji apakah temuan itu logis atau tidak.bila logis
berarti benar, bila tidak logis berarti salah. Jadi
3 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta: Kencana, 2005). hal.1054 Sutardjo, Pengantar Filsafat Edisi Revisi,(Bandung: Refika Aditama,2009), hal. 117
5
sumber pengetahuan bagi paham Rasionalisme adalah
akal yang logis.5
Dari beberapa uraian di atas tentang empirisme
dan rasionalisme penulis mengatakan bahwa keduanya
memiliki kekurangan. Empiris (pengalaman) belumlah
menjadi sebuah pengetahuan, karena masih merupakan
bahan yang belum berbentuk. Pengalaman itu menjadi
sebuah pengetahuan setelah diolah, dibentuk oleh
akal kita. Pandangan ini juga selaras dengan
pandangan Kant yang menyebut dirinya sebagai aliran
Kritisme.6 Begitupula dengan akal (rasio) belum juga
dapat menjadi sebuah pengetahuan, karena manusia
memiliki akal yang terbatas. Sehingga terkadang
orang menafsirkan sesuatu dengan akalnya sama-sama
logis padahal sesuatu itu tidak sama, seperti ayam
dan telur. Tanpa melibatkan konsep penciptaan tidak
dapat ditemukan mana dari keduanya yang pertama kali
ada. Adanya telur karena ayam, adanya ayam juga
karena telur. Karena tidak pernah ditemukan ayam
melahirkan seorang anak ayam sebelum telur. Oleh
karena itu pengetahuan perlu ditinjau dari
kemungkinan sumber lain.
Adapun kekurangan empirisme menurut positivisme
bahwa empirisme belum terukur. Empirisme hanya
sampai pada konsep-konsep umum, seperti kelereng ini5 Ahmad tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2006), hal. 306 Op. Cit. Sutardjo, hal. 117
6
kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,
matahari sangat besar, demikianlah seterusnya.
Konsep ini belum operasional, karena belum terukur.
Jadi, masih perlu alat-alat lain seperti paham
positivisme.
Paham positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu
ialah yang logis, ada bukti empirisnya, dan
terukur.”Terukur” inilah yang menjadi sumbangan
penting positivisme. Positivisme akan mengatakan bahwa
air kopi ini panasnya 80 derajat celcius, air
mendidih ini 100 derajat celcius, ini panjangnya
satu meter, dan lainnya.
Oleh karena itu, filsafat empirisme tentang
teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme
logis. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu
harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Kalau
kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak
lahir di karuniai idea oleh Tuhan yang dinamakan
“idea innatae” ( idea terang benderang atau idea
bawaan) , maka pendapat impiris berlawanan mereka
mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah
putih bersih ( tabula rasa), tidak ada bekal dari
siapapun yang merupakan “idea innatae”.
Meskipun demikian positivisme telah memberi
sumbangan terhadap paham empirisme yang dapat
mengajukan logikanya, menunjukkan bukti empirisnya
7
yang terukur, namun keduanya masih pula memiliki
kekurangan. Kekurangannya menimbulkan pertanyaan “
Bagaimana caranya?”oleh karena itu masih diperlukan
alat-alat lain seperti Metode Ilmiah. Metode ilmiah
mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar
dilakukan langkah berikut: logico – hypothetico – verificartif.
Maksudnya, buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan
hipotesis berdasarkan logika itu, kemudian lakukan
pembuktian hipotesis itu secara empiris.7
C. TOKOH-TOKOH ALIRAN EMPIRISME
Sebagai aliran filsafat, empirisme merupakan
salah satu dari dua cabang filsafat modern yang
lahir pada zaman pencerahan. Bertentangan dengan
rivalnya, rasionalisme, yang menempatkan rasio
sebagai sumber utama pengetahuan, empirisme justru
memilih pengalaman sebagi sumber utama pengetahuan
baik lahiriah maupun batiniah.
Aliran ini bertanah air di Inggris. Francis
Bacon (1561-1626) bisa dikatakan sebagai peletak
dasar lahirnya empirisme yang untuk kali pertama
menyatakan pengalaman sebagai sumber kebenaran yang
paling terpercaya. Kemudian paham ini diikuti dan
dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon
Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753) dan
7 Ibid. Hal. 32-33
8
mencapai puncaknya dalam filsafat David Hume (1711-
1776).8
1. Francis Bacon (1561-1626 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang
sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang
melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati.
Kata Bacon selanjutnya, kita sudah terlalu lama
dpengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma
diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah
kita sekarang memperhatikan yang konkret
mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Ia seorang ahli pikir Inggris lahir di
Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford
untuk belajar logika Skolastik dan Fisika, yang
ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab
gurunya beraliran Aristotelien. Sumbangan yang
besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem
materialistis yang besar, termasuk juga kehidupan
organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia
mengemukakan teori teori Kontrak Sosial.9
8 Zubaedi dkk. Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007). hal. 319 Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Jakarta: Rajawali Press,2003) hal 112
9
Materialisme yang dianut Hobbes yaitu segala
yang bersifat bendawi. Juga diajarkan bahwa
segala kejadian adalah gerak yang berlangsung
secara keharusan. Bedasarkan pandangan yang
demikian manusia tidak lebih dari satu bagian
alam bendawi yang mengelilinginya. Manusia hidup
selama jantungnya tetap bergerak memompa
darahnya. Dan hidup manusia merupakan gerak
anggota-anggota tubuhnya. Menurutnya pula akal
bukanlah pembawaan melainkan hasil perkembangan
karena kerajinan. Ikhtiar merupakan suatu awal
gerak yang kecil yang jikalau diarahkan menuju
kepada sesuatu yang disebut keinginan, dan jika
diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut
keengganan atau keseganan. Menurutnya pula
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas
pengamatan, yang disimpan didalam ingatan dan
digabungkan dengan suatu pengamatan, yang disipan
dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu
pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa
yang telah diamati pada masa yang lampau.10
Pendapatnya tentang ilmu filsafat yaitu suatu
ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang
akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang10 Harun Hadiwidodo. Sari Sejarah Filsafat Barat, (yogyakarta : Kanikus 2005) hal 31
10
diperoleh dari sebab-sebabnya. Sasaran filsafat
adalah fakta yaitu untuk mencari sebab-sebabnya.
Segala yang ada ditentukan oleh sebab, sedangkan
prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ilmu
alam.
Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa
pengalaman indrawi sebagai permulaan segala
pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh
dengan indralah yang merupakan kebenaran.
Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain
hanyalah merupakan pengabungan data-data indrawi
belaka.
3. Jhon Locke (1632-1704 M)
John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di
Wrington/Somersetshire dan meninggal di
Oates/Essex tanggal 28 Oktober 1704. Ia
dilahirkan dari keluarga yang memihak parlemen.
Sikap puritan ayahnya sedikit banyak menularkan
kepada anaknya sebuah sikap tidak suka pada
aristokrasi.11
Menurutnya segala pengetahuan datang dari
pengalaman, sedangkan akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri. Seluruh
pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan
11 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Cet. 2, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007), Hal.74
11
dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh
dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya
merupakan tempat penampungan yang secara pasif
menerima hasil penginderaan kita. Sedangkan obyek
pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-
idea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah
(sensation) dan pengalaman batiniah (reflection)
dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.12
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi
pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik
lebih penuh dari pada sensation. Sensation
merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan
dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak
dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa
sensations manusia tak dapat juga suatu
pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi
dari kerja sama antara sensation dan reflections.
Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab
jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang
putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari
siapa pun yang merupakan ide bawaan.13
Fokus filsafat Locke adalah antitesis
pemikiran Descrates. Ia menyarankan bahwa akal
12 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. 20, (Yogyakarta; Kanisius, 2007), hal. 36 13 I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 105
12
budi dan spekulasi abstrak agar kita harus
menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman
dalam menangkap fenomena alam melalui
pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh
pengalaman yang dilaluinya seperti mencium,
merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar bagi
hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.
Gagasan yang datang dari indra tadi diolah dengan
cara berpikir, bernalar, memercayai dan
meragukannya dan inilah akhirnya disebut bagian
aktivitas merenung dan perenungan.14
4. George Berkeley (1685-1753)
George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret
1685 di Dysert Castle Irlandia dan meninggal
tanggal 14 Januari 1753 di Oxford.15 Sebagai
penganut empirisme mencanangkan teori yang
dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-
prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan
pendapat John Locke yang masih menerima substansi
dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak
ada substansi-substansi material dan yang ada
hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia
material sama dengan ide-ide. Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada
14 Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 133
15 Op. Cit, Budi Hardiman, hal. 83
13
dalam layar putih sebagai benda yang riil dan
hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu
substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu
ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.16
Pandangan Berkeley ini sekilas seperti
rasionalisme karena memutlakkan subjek. Jika
diperhatikan lebih lanjut padangan ini termasuk
empirisme, sebab pengetahuan subjek itu diperoleh
lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam
rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman
batin. Selanjutnya, dengan menegaskan tentang
adanya sesuatu yang sama dengan pengertiannya
dalam diri subjek dan juga ia beranggapan bahwa
dunia adalah idea-idea kita.17
5. David Hume (1711-1776)
Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di
Edinburgh Inggris dan meninggal pada tanggal 25
Agustus 1776.18 Empirisme mendasarkan pengetahuan
bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume
memilih pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Pengalaman itu bersifat lahiriyah (yang
menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat
16 Op. Cit, Juhaya S. Praja, hal. 111-11217 Op. Cit, Budi Hardiman, hal. 8518 Ibid, hal. 86
14
batiniah (yang menyangkut pribadi manusia).19 Hume
mengkritik tentang pengertian subtansi dan
kausalitas (hubungan sebab akibat).20 Ia tidak
menerima subtansi, sebab yang dialami manusia
hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang
selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul
gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung
atas realitas lahiriah, sedang gagasan adalah
ingatan akan kesan-kesan.
Hume membagi kesan menjadi dua: kesan sensasi
dan kesan refleksi. Kesan sensasi adalah kesan-
kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak
diketahui sebab-musababnya. Misalnya (kita
melihat sebuah meja kayu): benda yang saya lihat
di depan adalah meja. Kesan refleksi adalah hasil
dari gagasan. Gagasan jika muncul kembali ke
dalam jiwa akan membentuk kesan-kesan baru. Kesan
baru hasil pencerminan dari ide sebelumnya inilah
yang disebut dengan kesan refleksi. Misalnya,
(kita melihat sebuah meja dari besi): itu meja
besi. Kita dapat menentukan bahwa itu meja
walaupun terbuat dari bahan yang berbeda, karena
sebelumnya kita sudah ada kesan sensasi terhadap
meja kayu.
19 Op. Cit, Ali Maksum, hal. 135 20 Op. Cit, Juhaya, hal. 112
15
Sedangkan ia menolak tentang kausalitas dan
menurutnya bahwa pengalaman hanya memberi kita
urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada
kita urutan sebab-akibat. Hume lebih suka
menyebut urutan kejadian. Jika kita bicara
tentang hukum alam atau sebab akibat, sebenarnya
kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang
merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte
oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.21
Pengalaman lebih memberi keyakinan
dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian
sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya
hubungan saling berurutan saja dan secara konstan
terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam
api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang
mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum
kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan
demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk
menetapkan suatu peristiwa yang akan datang
berdasarkan peristiwa terdahulu.22
21 Op. Cit, Ali Maksum, hal. 136-13722 Op. Cit, Amsal Bahtiar, hal. 100-101
16
D. KESIMPULAN
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria
yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai
doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.
Pandangan ini menurut Fuad Ihsan. Berbeda dengan Amsal
Bakhtiar menyatakan bahwa empirisme berasal dari kata
empereikos yang berarti penngalaman.
Dalam paham empirisme ini, memilih pengalaman
sebagai sumber utama pengetahuan, baik pengalaman
lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman
batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Pengalaman
yang dimaksud adalah pengalaman atau empiri melalui
alat indera. Paham empirisme ini dipertentangkan
dengan paham rasionalisme yang mengatakan akal (rasio)
sebagai sumber pengetahuan.
Kedua paham ini menurut Kant memiliki kekurangan,
sehingga selain harus dipadukan antara keduanya juga
harus ditinjau dari kemungkinan sumber lain,agar
menghasilkan pengetahuan yang benar dan tidak
meragukan. Seperti contoh yang ditambahkan oleh paham
positivisme menambahkan selain logis, empiris, juga
harus terukur. Selain itu juga diperlukan alat-alat
lain agar tidak menimbulkan pertanyaan cara melakukan
penelitian. Alat-alat yang dimaksud adalah Metode
Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan untuk memperoleh
pengetahuan yang benar dilakukan langkah berikut: logico
17
– hypothetico – verificartif. Maksudnya, buktikan bahwa itu
logis, kemudian ajukan hipotesis berdasarkan logika
itu, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara
empiris.
Adapunt tokoh-tokoh empirisme adalah Francis Bacon
yang dikatakan sebagai peletak dasar lahirnya
empirisme yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh
Thomas Hobbes, Jhon Locke, George Berkeley, dan
mencapai puncaknya dalam filsafat David Hume.
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN.................................. 1
B. PENGERTIAN EMPIRISME......................... 3
C. TOKOH-TOKOH EMPIRISME........................ 5
1. Francis Bacon............................. 6
2. Thomas Hobbes............................. 6
3. John Locke................................ 7
4. George Berkeley........................... 8
5. David Hume................................ 9
D. KESIMPULAN................................... 11
18
Oleh:
Nama : MUHAMMAD HAMDI
NIM : 13760034
Kelas/Semester : B/I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan Fuad. Filsafat Ilmu. (Jakarta : Rineka Cipta, 2010)
20
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2012)
S. Praja Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta:
Kencana, 2005)
Sutardjo, Pengantar Filsafat Edisi Revisi,(Bandung: Refika
Aditama,2009)
Tafsir Ahmad, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2006)
Zubaedi dkk. Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
2007)
Achmadi Asmoro. Filsafat Umum. (Jakarta: Rajawali
Press,2003)
Harun Hadiwidodo. Sari Sejarah Filsafat Barat, (yogyakarta :
Kanikus 2005)
Hardiman F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche, Cet. 2, (Jakarta; Gramedia Pustaka
Utama, 2007)
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. 20,
(Yogyakarta; Kanisius, 2007)
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Maksum Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2008)
21