ETIKA POLITIK DALAM PRESPEKTIF AGAMA ISLAM

26
ETIKA POLITIK DALAM PRESPEKTIF AGAMA ISLAM Amelia Hani Fazrina ABSTRAK Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berhubungan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Bila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran- ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dalam sistem politik seperti adanya korupsi dan muncul anarki yang sangat dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat mengganggu sistem politik yang benar. Kata kunci: etika, politik, islam PENDAHULUAN Dalam suatu filsafat telah dikatakan bahwa manusia merupakan zoon politicon, yang mengandung maksud manusia sejak lahir telah membawa potensi untuk berpolitik, antara lain adanya daya dorong atau keinginan untuk berkuasa, merebut kekuasaan, memimpin, memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan dan mempunyai pengaruh yang luas. Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan

Transcript of ETIKA POLITIK DALAM PRESPEKTIF AGAMA ISLAM

ETIKA POLITIK DALAM PRESPEKTIF AGAMA ISLAM

Amelia Hani Fazrina

ABSTRAKPersoalan etika politik adalah sesuatu yang sangatpenting dalam Islam, Pertama, politik itudipandang sebagai bagian dari ibadah, karena ituharus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsipibadah. Kedua, etika politik dipandang sangatperlu dalam Islam, karena politik itu berhubungandengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat.

Bila hubungan antar masyarakat dan danpenyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalahkekacauan dalam sistem politik seperti adanyakorupsi dan muncul anarki yang sangat dikecam olehpara ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatumasyarakat dan negara dapat mengganggu sistempolitik yang benar.

Kata kunci: etika, politik, islam

PENDAHULUAN

Dalam suatu filsafat telah dikatakan bahwa manusia

merupakan zoon politicon, yang mengandung maksud

manusia sejak lahir telah membawa potensi untuk

berpolitik, antara lain adanya daya dorong atau

keinginan untuk berkuasa, merebut kekuasaan, memimpin,

memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan dan

mempunyai pengaruh yang luas.

Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil

amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan

rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam

perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin

rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya

ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi

rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat

yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik

merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah),

pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad),

dan pendidikan (ta`dib). Rasulullah SAW sendiri

menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :

"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh

para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi

wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada

nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah"

(HR. Bukhari dan Muslim).

Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna

awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat.

Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan

kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan

kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan

kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu

mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka

mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari

keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai

rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi

kekufuran yang nyata seperti ditegaskan dalam banyak

hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui

Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi

Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya

bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa

saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan

kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR.

Al Hakim)

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa

yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat hak yang

disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad). Berarti secara

ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan

seluruh umat Muslim.

Secara nyata Islam tidak dapat menafikkan kehidupan

politik , karena umat Islam hidup dalam suatu Negara

yang telah memiliki system tersendiri. Sejarah peradaban

Islam diwarnai dengan kegiatan politik, sejak zaman Nabi

Muhammad SAW sampai sekarang, bahkan Islam pernah

mencapai puncak kejayaanya dalam bidang iptek karena

kekuasaan berada ditangannya.

Di setiap negara memiliki sistem politik yang

berbeda-beda. Namun, Islam memiliki aturan politik yang

bisa membuat negara itu adil. Dalam Al Qur‟an memang

aturan politik tidak disebutkan, tetapi sistem politik

pada zaman Rasullullah SAW sangatlah baik. Hal ini

disebabkan oleh faktor-faktor yang mendorong

masyarakatnya menjalankan syariat Islam.

Sejak kejatuhan Orde Baru dan muncul reformasi pada

tahun 1998 di Indonesia, umat Islam mendirikan partai

politik, baik yang menggunakan symbol keislaman, azaz

Islam dan program yang islami.Hal ini menandakan bahwa

Islam tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik.

Negara kita, Indonesia adalah sebuah negara Islam

terbesar di dunia, namun bila dikatakan negara Islam,

dalam prakteknya Islam kurang di aplikasikan dalam

sistem pemerintahan baik itu politik maupun

demokrasinya, hal itu berpengaruh besar dalam berbagai

aspek kehidupan manusia di Indonesia, terutama pada

system yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia, contoh

kecil adalah maraknya korupsi yang dikarenakan kurang

transparannya pemerintahan di Indonesia.

ETIKA

Secara literal kebahasaan, etika berarti

tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna

dasar dari etika ialah ethos (bahasa: Yunani) yang

berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,

kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku

atau prinsip-prinsip moral” . Dari definisi di atas,

dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “etika” adalah

suatu ilmu yang mempelajari tentang ukuran baik dan

buruk, merupakan bagian dengan perilaku moral,

kewajiban, dan hukuman. Etika membahas masalah

moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik

dan buruk dalam sistem tingkah laku manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata “etika” sering

disamakan dengan “akhlak”, akan tetapi ada sebagian ahli

membedakannya. Misalnya Ahmad Amin, dalam Kitab al-

Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang

menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan

hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali

mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam

dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam macam pola

laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan

pemikiran dan pertimbangan.” Berdasarkan definisi yang

dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara

etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik

dan buruk.

Jika kita merujuk pada isi kandungan al-Qur’an,

ternyata ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang

konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa

pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika

yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang

ditetapkan oleh Allah sendiri. Aktor yang menjadi contoh

dalam bidang etika ini adalah langsung Nabi Muhammad Saw

sendiri.

Keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai figur

keteladanan dalam bidang tingkah laku telah memberikan

kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika

yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi

Muhammad Saw sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al-

Qur’an adalah cerminan akhlaknya. Dari sisi ini, al-

Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak,

atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah

mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk

kepada al-Qur’an.

Etika Qur’ani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang

membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-

kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani;

kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat,

keseimbangan; dan kelima, realistik . Ciri rabbani

menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang

membimbing manusia ke arah yang benar atau jalan yang

lurus. Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani

memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta

menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia

dan akhirat . Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa

misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh

dunia ,menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan

ketenangan baik secara individual maupun komunal .Ciri

keseimbangan artinya mengajarkan bahwa manusia

memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh

melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan

rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani. Sedangkan

ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan

kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan

kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan

berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam

menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan

keringanan bagi yang tidak mampu melakukannya.

POLITIK

Sedangkan definisi kata “politik” itu sendiri

adalah berasal dari kata “polis” (bahasa Yunani) yang

artinya “Negara Kota”. Dari kata “polis” muncul beberapa

kata di antaranya:

1. Politeria artinya segala hal ihwal mengenai

Negara.

2. Polites artinya warga Negara.

3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang

paham tentang Negara atau negarawan.

4. Politicia artinya pemerintahan Negara.

Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan

bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik

atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari

system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.

Dan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah

yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati

oleh rakyatnya. Dari definisi di atas, kegiatan

berpolitik terkait dengan Kekuasaan yaitu kemampuan

sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah

laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari

pelaku.

ETIKA POLITIK

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian

etika politik mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya

hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya

memperluas lingkup kebebasan; ketiga, membangun

institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling

terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak

mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan

dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik

tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan

eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-

institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan

dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok

dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga

negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap

institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak

hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi

terkait dengan tindakan etika sosial.

Sedangkan jika dikaitkan dalam konsep agama, dalam

hal ini adalah agama Islam, dapat dipahami bahwa etika

politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam

bernegara di mana setiap individu dituntut untuk

berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana

tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi

nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan

Nabi Muhammad Saw baik dalam kehidupan secara umum

maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik

kenegaraan.

Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang

paling sempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang

dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sistem kepemimpinan

yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas

kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki

sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.

Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan

kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah

kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki

sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya. Namun, salah

satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan

mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam

kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas

kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat

menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas

dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin

Abi Thalib. Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan

Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat

masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah

tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk

meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat

menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas

untuk memimpin. Maka, Abu Bakar sebagai khalifah pertama

yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari

golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin

Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi

yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama

sahabat-sahabat lain pada masa hidupnya. Selanjutnya,

khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih

berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh

Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh

Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan

digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah

keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin.

Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan

prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak

akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan

Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak.

Kemudian, sistem kepemimpinan berganti dengan dinasti,

yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah

dan dinasti-dinasti lainnya.

TUJUAN ETIKA POLITIK

Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan

menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan

demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku

politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik?

Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga

tidak! Tapi yang penting adalah standar baik dalam

konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk

memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah

mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu,

itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang

terjadi di negeri kita tercinta ini.

Dalam etika individual, kalau orang mempunyai

pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam

tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan

etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya

dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga

Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka

hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan

tindakan kolektif tidak langsung, akan tetapi

membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi

menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.

Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-

nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai

keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui

simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha

meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima

pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.

Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan

untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan

manipulasi, kebohongan, pengkhianatan dan kekerasan.

Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau

penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia

berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik,

ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan

kolektif.

Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik

bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika

politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku

politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah

jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang

lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk

kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya.

Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah

negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.

Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung

kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan

moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal

balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman

etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah

puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.

Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan.

“Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan

makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini tidak

terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi,

pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan.

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi

norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik,

cenderung mandul. Namun bukankah real politik adalah

hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat

bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum,

tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai

kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik

adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun

caranya. Relevansi etika politik terletak pada

kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur

kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun

institusi institusi yang lebih adil.

Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan

etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini

antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah,

musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan,

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi

manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip

perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan,

prinsip ketaatan rakyat.

Politik Islam adalah aktifitas politik yang

didasari oleh nilai/prinsip Islam tersebut di atas, baik

dari titik tolak ,program, agenda, tujuan, sarana dan

lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh

karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda

dengan politik non-Islam. Jika politik konvensional bisa

menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka

politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain

yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan

hukum Islam dll. Bukankah dalam kitab suci al-Qur’an

sendiri, Allah mengatakan dalam Surat At-Tin dengan

istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang

binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu.

Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan

hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa

yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai “zaman edan”.

ETIKA POLITIK DI INDONESIA

Jika kita perhatikan semenjak era reformasi yang

serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite

dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi

“miris”.

sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya

mementingkan individualisme dan kelompoknya saja.

Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya

melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir

demikian.

Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul

pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan

dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini?

Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna

kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang

berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat.

Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih,

dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan

pandangan umum.

Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita

cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan

moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara

dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang

harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik

dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika

dalam bidang politik dan bidang lainnya menuju ke arah

“jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa

dihargai dengan uang.

Kita boleh bangga negara kita sebagai negara

demokrasi yang damai terbesar ketiga setelah Amerika dan

India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita

selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan

damai. Akan tetapi fenomena politik yang menyeruak

belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung

mengotori demokrasi. Demokrasi pada titik ini tercederai

antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang

dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara.

Contoh kasus yang mencederai etika politik di

Indonesia. Soal etika dan perilaku politik, para

pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak

bahkan perlu belajar dan memahami konsep etika politik

dalam Islam. Di negara kita tercinta ini banyak terjadi

baik ditingkat nasional maupun daerah. Misalkan dalam

pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti

si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun

kedepan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun,

jika di tahun pertama atau kedua si A kemudian ’loncat

pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah

entah gubernur atau walikota atau bupati, tidakkah ia

sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang

sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi

wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya

melepas jabatannya di parlemen.

Itulah di antara salah satu contoh hasrat berkuasa para

elit politik kita yang begitu menggebu-gebu sampai-

sampai mampu mengalahkan etika politik meskipun juga

sebenarnya banyak para elit politik negeri kita yang

juga birsikap amanah. Jika hasrat tersebut muncul, maka

biasanya membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu

politik, baik di lingkungan internal partainya maupun

eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya

perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan

atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di

kemudian hari. Maka jika hal itu terjadi, Negara akan

rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.

Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa

juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat

pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan dalam

waktu beberapa bulan kemarin yakni ada salah seorang

Gubernur dan Bupati di negeri ini, yang ingin meraih

kursi di DPR RI. Padahal dia seharusnya memiliki

komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun.

Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah

diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan

waktunya,”

Dinegeri ini marak terjadi penyebaran “virus-virus

pemikiran” yang menghalalkan segala cara untuk

diperaktekkan demi mempertahankan eksistensi dirinya.

PENGUATAN ETIKA POLITIK ISLAM SEBAGAI TAWARAN

Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa memang

setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan

(disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara

nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat.

Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat

ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar

kerangka nalarnya.

Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah,

bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat

politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga

memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan

mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke

arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu

dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses

penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya

perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika

politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami.

Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern

di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu

tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan.

Perilaku menyimpang pada etika politik di kalangan

politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan

tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan

yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka

masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.

Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui

barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris

dan praksis. Dalam konteks itu, karena itu, dalam hal

ini konsep etika politik islam bisa menjadi tawaran yang

baik untuk mengobati negeri kita yang sedang dirundung

sakit ini terutama para elit politiknya.

Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika

politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk

orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good

life’ with and for others); memperluas ruang lingkup

kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun

institusii-nstitusi yang adil (just institutions).

Ketiga alat ukur etika politik ini dapat

diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku

politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri

kita.

Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk

negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama.

Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”.

Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan

harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam

koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan

oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif

atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap

eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama rakyat,

bukan pada lembaga. Dengan cara seperti itu, maka Negara

kita akan menjadi Negara dengan “religious state” yang

memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama

Islam.

Dengan cara seperti itu, maka yang biasanya dikenal

bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi,

dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan

mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut bahkan

terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada

pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa

dibenahi menjadi baik dan mulia.

Namun demikian, pertautan antara moral dan politik

perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral

merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu

berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap

sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat

memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan

politik.

Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral

politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak

berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik

bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang

dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan

moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda

perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala

kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat

dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang

dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.

Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar

menuju pemerintahan yang bersih. Upaya ini bukan semata-

mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun

juga perubahan signifikan pada moralitas yang

dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada

argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan”

terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya.

Sistem sebaik apa pun, tanpa ada mekanisme kontrol yang

kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh

penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa

untuk mempertahankan kekuasaannya.

Bukankah kita juga senang jika para pemimpin

sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku

politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan

perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral

diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan

perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh

mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai

yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan

masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.

Meskipun memang sulit memberi penilaian etis

tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti

itu (kotor), karena dasar hukumnya memang tidak ada.

Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan

tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa

yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’.

Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia juga harus

memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin

masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi

kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya

diseimbangkan. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata

berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka

untuk melayani.

Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan

keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa

ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk.

Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan

tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk.

Kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas

adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik

yang buruk.

Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini,

politisi tampaknya memahami hakekat politik secara

sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada

cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat

memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di

legislatif dan eksekutif, kemudian melanggengkannya

sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat.

Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap

menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa

syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari

mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara

untuk menata kehidupan negara agar terwujud

kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.

Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa

ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur

aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun,

mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji

kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah,

masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan

politik.

Itulah sekelumit gambaran singkat dan sederhana

akan kondisi negeri kita tercinta yang carut marut ini.

Akan tetapi kita harus tetap optimis demi untuk kemajuan

Negara ini. Sebagai kata akhir dalam orasi ilmiah ini,

mari kita berdo’a, dan berusaha memberikan arahan dan

kritik yang sifatnya membangun bagi para pemangku

jabatan di negeri ini agar selalu bertindak lebih baik,

dan lebih baik dikemudian hari dan menerapkan etika

politiknya. Sehingga dengan demikian, politisi kita

diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten

pada kebenaran, Mengutip kata- kata tokoh moral India

Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa salah satu dosa

sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas

kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan

politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics

without principles). Kehidupan politik saat ini lebih

banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa .

PENUTUP

Melihat perkembangan realita politik dan tingkah

laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia

akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik

yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih

mengutamakan factor-faktor kepentingan yang sifatnya

sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau

kelompok lebih ditamakan dan terkesan melupakan

kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu,

mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa

menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.

Kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada

para elit politik pemangku jabatan dinegeri ini tentunya

harus terus di sampaikan dan diperjuangkan demi kebaikan

negeri ini, saat ini, dan dimasa yang akan datang.

Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga

pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu

negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-

mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan

politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan

pendidikan politik yag berbudi.

Para Insan pendidik yang ada di lingkungan Lembaga

pendidikan terutama yang berada di fakultas atau jurusan

ilmu politik atau ilmu politik Islam sebagai salah yang

bertanggungjawab di dalam “melahirkan” atau

“memproduksi” para generasi penerus bangsa dalam bidang

ilmu politik diharapkan selalu memberikan teladan,

konsistensi dan arahan yang baik ketika menyampaikan

dalam bentuk perkuliahan atau diluar perkuliahan.

DAFTAR RUJUKAN

Pendidikan, Gerpolek. 2013. Etika Politik. (Online),

(https://www.facebook.com/GerpolekPendidikan/

posts/494186663987521, diakses 2 Desember 2013).

Hujan, Moledi. 2013. Etika Islam dalam Aspek Politik.

(Online),

(http://umieee008.blogspot.com/2013/04/etika-islam-

dalam-aspek-politik.html, diakses 2 Desember 2013).

Tazkirah, Fendi. 2011. Politik dalam Islam. (Online),

(http://fenditazkirah.blogspot.com/2011/04/politik-

islam-politik-islam-bahasa-arab.html, diakses 2

Desember 2013)

Saleh, Akhmad. 2013. Etika Berpolitik dalam Islam.

(Online),

(http://www.scribd.com/doc/17235985/Etika-

Berpolitik-Dalam-IslamBuletin, diakses 2 Desember

2013).