ETIKA POLITIK DALAM PRESPEKTIF AGAMA ISLAM
Amelia Hani Fazrina
ABSTRAKPersoalan etika politik adalah sesuatu yang sangatpenting dalam Islam, Pertama, politik itudipandang sebagai bagian dari ibadah, karena ituharus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsipibadah. Kedua, etika politik dipandang sangatperlu dalam Islam, karena politik itu berhubungandengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat.
Bila hubungan antar masyarakat dan danpenyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalahkekacauan dalam sistem politik seperti adanyakorupsi dan muncul anarki yang sangat dikecam olehpara ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatumasyarakat dan negara dapat mengganggu sistempolitik yang benar.
Kata kunci: etika, politik, islam
PENDAHULUAN
Dalam suatu filsafat telah dikatakan bahwa manusia
merupakan zoon politicon, yang mengandung maksud
manusia sejak lahir telah membawa potensi untuk
berpolitik, antara lain adanya daya dorong atau
keinginan untuk berkuasa, merebut kekuasaan, memimpin,
memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan dan
mempunyai pengaruh yang luas.
Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil
amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan
rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam
perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin
rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya
ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi
rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat
yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik
merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah),
pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad),
dan pendidikan (ta`dib). Rasulullah SAW sendiri
menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh
para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi
wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada
nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna
awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat.
Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan
kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan
kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu
mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka
mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari
keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai
rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi
kekufuran yang nyata seperti ditegaskan dalam banyak
hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi
Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya
bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa
saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan
kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR.
Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa
yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat hak yang
disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad). Berarti secara
ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan
seluruh umat Muslim.
Secara nyata Islam tidak dapat menafikkan kehidupan
politik , karena umat Islam hidup dalam suatu Negara
yang telah memiliki system tersendiri. Sejarah peradaban
Islam diwarnai dengan kegiatan politik, sejak zaman Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang, bahkan Islam pernah
mencapai puncak kejayaanya dalam bidang iptek karena
kekuasaan berada ditangannya.
Di setiap negara memiliki sistem politik yang
berbeda-beda. Namun, Islam memiliki aturan politik yang
bisa membuat negara itu adil. Dalam Al Qur‟an memang
aturan politik tidak disebutkan, tetapi sistem politik
pada zaman Rasullullah SAW sangatlah baik. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor yang mendorong
masyarakatnya menjalankan syariat Islam.
Sejak kejatuhan Orde Baru dan muncul reformasi pada
tahun 1998 di Indonesia, umat Islam mendirikan partai
politik, baik yang menggunakan symbol keislaman, azaz
Islam dan program yang islami.Hal ini menandakan bahwa
Islam tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik.
Negara kita, Indonesia adalah sebuah negara Islam
terbesar di dunia, namun bila dikatakan negara Islam,
dalam prakteknya Islam kurang di aplikasikan dalam
sistem pemerintahan baik itu politik maupun
demokrasinya, hal itu berpengaruh besar dalam berbagai
aspek kehidupan manusia di Indonesia, terutama pada
system yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia, contoh
kecil adalah maraknya korupsi yang dikarenakan kurang
transparannya pemerintahan di Indonesia.
ETIKA
Secara literal kebahasaan, etika berarti
tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna
dasar dari etika ialah ethos (bahasa: Yunani) yang
berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku
atau prinsip-prinsip moral” . Dari definisi di atas,
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “etika” adalah
suatu ilmu yang mempelajari tentang ukuran baik dan
buruk, merupakan bagian dengan perilaku moral,
kewajiban, dan hukuman. Etika membahas masalah
moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik
dan buruk dalam sistem tingkah laku manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “etika” sering
disamakan dengan “akhlak”, akan tetapi ada sebagian ahli
membedakannya. Misalnya Ahmad Amin, dalam Kitab al-
Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang
menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan
hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali
mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam macam pola
laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.” Berdasarkan definisi yang
dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara
etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik
dan buruk.
Jika kita merujuk pada isi kandungan al-Qur’an,
ternyata ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang
konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika
yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang
ditetapkan oleh Allah sendiri. Aktor yang menjadi contoh
dalam bidang etika ini adalah langsung Nabi Muhammad Saw
sendiri.
Keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai figur
keteladanan dalam bidang tingkah laku telah memberikan
kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika
yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi
Muhammad Saw sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al-
Qur’an adalah cerminan akhlaknya. Dari sisi ini, al-
Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak,
atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah
mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk
kepada al-Qur’an.
Etika Qur’ani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-
kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani;
kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat,
keseimbangan; dan kelima, realistik . Ciri rabbani
menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang
membimbing manusia ke arah yang benar atau jalan yang
lurus. Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani
memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta
menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat . Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa
misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh
dunia ,menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan
ketenangan baik secara individual maupun komunal .Ciri
keseimbangan artinya mengajarkan bahwa manusia
memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh
melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan
rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani. Sedangkan
ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan
kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan
berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam
menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan
keringanan bagi yang tidak mampu melakukannya.
POLITIK
Sedangkan definisi kata “politik” itu sendiri
adalah berasal dari kata “polis” (bahasa Yunani) yang
artinya “Negara Kota”. Dari kata “polis” muncul beberapa
kata di antaranya:
1. Politeria artinya segala hal ihwal mengenai
Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang
paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan
bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik
atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari
system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Dan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyatnya. Dari definisi di atas, kegiatan
berpolitik terkait dengan Kekuasaan yaitu kemampuan
sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah
laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari
pelaku.
ETIKA POLITIK
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian
etika politik mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya
hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya
memperluas lingkup kebebasan; ketiga, membangun
institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling
terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak
mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan
dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik
tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan
eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-
institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan
dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok
dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga
negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak
hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi
terkait dengan tindakan etika sosial.
Sedangkan jika dikaitkan dalam konsep agama, dalam
hal ini adalah agama Islam, dapat dipahami bahwa etika
politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam
bernegara di mana setiap individu dituntut untuk
berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana
tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi
nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan
Nabi Muhammad Saw baik dalam kehidupan secara umum
maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik
kenegaraan.
Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang
paling sempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang
dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sistem kepemimpinan
yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas
kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki
sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan
kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah
kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki
sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya. Namun, salah
satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan
mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam
kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas
kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat
menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas
dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin
Abi Thalib. Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan
Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat
masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah
tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk
meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat
menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas
untuk memimpin. Maka, Abu Bakar sebagai khalifah pertama
yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari
golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin
Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi
yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama
sahabat-sahabat lain pada masa hidupnya. Selanjutnya,
khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih
berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh
Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh
Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan
digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah
keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin.
Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan
prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak
akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan
Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak.
Kemudian, sistem kepemimpinan berganti dengan dinasti,
yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah
dan dinasti-dinasti lainnya.
TUJUAN ETIKA POLITIK
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan
menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan
demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku
politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik?
Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga
tidak! Tapi yang penting adalah standar baik dalam
konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk
memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah
mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu,
itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang
terjadi di negeri kita tercinta ini.
Dalam etika individual, kalau orang mempunyai
pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan
etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga
Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka
hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan
tindakan kolektif tidak langsung, akan tetapi
membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi
menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-
nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai
keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha
meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.
Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan
untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan
manipulasi, kebohongan, pengkhianatan dan kekerasan.
Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau
penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia
berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan
kolektif.
Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik
bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika
politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku
politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah
jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang
lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk
kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya.
Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah
negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung
kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan
moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal
balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman
etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah
puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.
Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan.
“Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan
makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini tidak
terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi,
pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan.
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi
norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik,
cenderung mandul. Namun bukankah real politik adalah
hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat
bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum,
tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai
kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik
adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun
caranya. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur
kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun
institusi institusi yang lebih adil.
Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan
etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini
antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah,
musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi
manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip
perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan,
prinsip ketaatan rakyat.
Politik Islam adalah aktifitas politik yang
didasari oleh nilai/prinsip Islam tersebut di atas, baik
dari titik tolak ,program, agenda, tujuan, sarana dan
lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh
karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda
dengan politik non-Islam. Jika politik konvensional bisa
menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka
politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain
yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan
hukum Islam dll. Bukankah dalam kitab suci al-Qur’an
sendiri, Allah mengatakan dalam Surat At-Tin dengan
istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang
binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu.
Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan
hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa
yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai “zaman edan”.
ETIKA POLITIK DI INDONESIA
Jika kita perhatikan semenjak era reformasi yang
serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite
dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi
“miris”.
sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya
mementingkan individualisme dan kelompoknya saja.
Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya
melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir
demikian.
Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul
pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan
dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini?
Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna
kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang
berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat.
Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih,
dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan
pandangan umum.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita
cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan
moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara
dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang
harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik
dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika
dalam bidang politik dan bidang lainnya menuju ke arah
“jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa
dihargai dengan uang.
Kita boleh bangga negara kita sebagai negara
demokrasi yang damai terbesar ketiga setelah Amerika dan
India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita
selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan
damai. Akan tetapi fenomena politik yang menyeruak
belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung
mengotori demokrasi. Demokrasi pada titik ini tercederai
antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang
dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Contoh kasus yang mencederai etika politik di
Indonesia. Soal etika dan perilaku politik, para
pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak
bahkan perlu belajar dan memahami konsep etika politik
dalam Islam. Di negara kita tercinta ini banyak terjadi
baik ditingkat nasional maupun daerah. Misalkan dalam
pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti
si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun
kedepan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun,
jika di tahun pertama atau kedua si A kemudian ’loncat
pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah
entah gubernur atau walikota atau bupati, tidakkah ia
sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang
sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi
wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya
melepas jabatannya di parlemen.
Itulah di antara salah satu contoh hasrat berkuasa para
elit politik kita yang begitu menggebu-gebu sampai-
sampai mampu mengalahkan etika politik meskipun juga
sebenarnya banyak para elit politik negeri kita yang
juga birsikap amanah. Jika hasrat tersebut muncul, maka
biasanya membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu
politik, baik di lingkungan internal partainya maupun
eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya
perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan
atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di
kemudian hari. Maka jika hal itu terjadi, Negara akan
rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa
juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat
pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan dalam
waktu beberapa bulan kemarin yakni ada salah seorang
Gubernur dan Bupati di negeri ini, yang ingin meraih
kursi di DPR RI. Padahal dia seharusnya memiliki
komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun.
Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah
diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan
waktunya,”
Dinegeri ini marak terjadi penyebaran “virus-virus
pemikiran” yang menghalalkan segala cara untuk
diperaktekkan demi mempertahankan eksistensi dirinya.
PENGUATAN ETIKA POLITIK ISLAM SEBAGAI TAWARAN
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa memang
setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan
(disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara
nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat.
Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat
ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar
kerangka nalarnya.
Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah,
bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat
politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga
memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan
mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke
arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu
dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses
penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya
perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika
politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami.
Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern
di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu
tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan.
Perilaku menyimpang pada etika politik di kalangan
politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan
tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan
yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka
masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.
Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui
barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris
dan praksis. Dalam konteks itu, karena itu, dalam hal
ini konsep etika politik islam bisa menjadi tawaran yang
baik untuk mengobati negeri kita yang sedang dirundung
sakit ini terutama para elit politiknya.
Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika
politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk
orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good
life’ with and for others); memperluas ruang lingkup
kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun
institusii-nstitusi yang adil (just institutions).
Ketiga alat ukur etika politik ini dapat
diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku
politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri
kita.
Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk
negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama.
Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”.
Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan
harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam
koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan
oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif
atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap
eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama rakyat,
bukan pada lembaga. Dengan cara seperti itu, maka Negara
kita akan menjadi Negara dengan “religious state” yang
memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama
Islam.
Dengan cara seperti itu, maka yang biasanya dikenal
bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi,
dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut bahkan
terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada
pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa
dibenahi menjadi baik dan mulia.
Namun demikian, pertautan antara moral dan politik
perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral
merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu
berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap
sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat
memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan
politik.
Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral
politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak
berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik
bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang
dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan
moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda
perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala
kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat
dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang
dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.
Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar
menuju pemerintahan yang bersih. Upaya ini bukan semata-
mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun
juga perubahan signifikan pada moralitas yang
dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada
argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan”
terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya.
Sistem sebaik apa pun, tanpa ada mekanisme kontrol yang
kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh
penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Bukankah kita juga senang jika para pemimpin
sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku
politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan
perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral
diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan
perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh
mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai
yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan
masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.
Meskipun memang sulit memberi penilaian etis
tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti
itu (kotor), karena dasar hukumnya memang tidak ada.
Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan
tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa
yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’.
Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia juga harus
memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin
masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi
kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya
diseimbangkan. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata
berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka
untuk melayani.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan
keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa
ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk.
Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan
tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk.
Kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas
adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik
yang buruk.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini,
politisi tampaknya memahami hakekat politik secara
sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada
cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat
memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di
legislatif dan eksekutif, kemudian melanggengkannya
sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat.
Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap
menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa
syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari
mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara
untuk menata kehidupan negara agar terwujud
kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa
ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur
aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun,
mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji
kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah,
masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan
politik.
Itulah sekelumit gambaran singkat dan sederhana
akan kondisi negeri kita tercinta yang carut marut ini.
Akan tetapi kita harus tetap optimis demi untuk kemajuan
Negara ini. Sebagai kata akhir dalam orasi ilmiah ini,
mari kita berdo’a, dan berusaha memberikan arahan dan
kritik yang sifatnya membangun bagi para pemangku
jabatan di negeri ini agar selalu bertindak lebih baik,
dan lebih baik dikemudian hari dan menerapkan etika
politiknya. Sehingga dengan demikian, politisi kita
diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten
pada kebenaran, Mengutip kata- kata tokoh moral India
Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa salah satu dosa
sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas
kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan
politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics
without principles). Kehidupan politik saat ini lebih
banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa .
PENUTUP
Melihat perkembangan realita politik dan tingkah
laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia
akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik
yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih
mengutamakan factor-faktor kepentingan yang sifatnya
sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau
kelompok lebih ditamakan dan terkesan melupakan
kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu,
mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa
menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada
para elit politik pemangku jabatan dinegeri ini tentunya
harus terus di sampaikan dan diperjuangkan demi kebaikan
negeri ini, saat ini, dan dimasa yang akan datang.
Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga
pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu
negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-
mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan
politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan
pendidikan politik yag berbudi.
Para Insan pendidik yang ada di lingkungan Lembaga
pendidikan terutama yang berada di fakultas atau jurusan
ilmu politik atau ilmu politik Islam sebagai salah yang
bertanggungjawab di dalam “melahirkan” atau
“memproduksi” para generasi penerus bangsa dalam bidang
ilmu politik diharapkan selalu memberikan teladan,
konsistensi dan arahan yang baik ketika menyampaikan
dalam bentuk perkuliahan atau diluar perkuliahan.
DAFTAR RUJUKAN
Pendidikan, Gerpolek. 2013. Etika Politik. (Online),
(https://www.facebook.com/GerpolekPendidikan/
posts/494186663987521, diakses 2 Desember 2013).
Hujan, Moledi. 2013. Etika Islam dalam Aspek Politik.
(Online),
(http://umieee008.blogspot.com/2013/04/etika-islam-
dalam-aspek-politik.html, diakses 2 Desember 2013).
Tazkirah, Fendi. 2011. Politik dalam Islam. (Online),
(http://fenditazkirah.blogspot.com/2011/04/politik-
islam-politik-islam-bahasa-arab.html, diakses 2
Desember 2013)
Saleh, Akhmad. 2013. Etika Berpolitik dalam Islam.
(Online),
(http://www.scribd.com/doc/17235985/Etika-
Berpolitik-Dalam-IslamBuletin, diakses 2 Desember
2013).