BAB II - Digital Library UNS

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Hukum Pidana Internasional a. Pengertian Hukum Pidana Internasional Bassiouni menyatakan bahwa hukum pidana internasional adalah disiplin hukum yang kompleks, yang komponennya lebih dari satu disiplin hukum dan memiliki hubungan fungsional diantaranya (Eddy O.S Hiariej, 2009: 8). Pidana internasional menurut Bantekas dan Nash adalah perpaduan antaran dua disiplin hukum, yaitu hukum internasional dan hukum pidana nasional (Eddy O.S Hiariej, 2009: 1). Sehingga untuk mengetahui definisi hukum pidana internasional harus mengetahui dulu definisi dari hukum pidana dan hukum internasional. 1) Pengertian Hukum Pidana Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Juga kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan (Moeljatno, 2008: 1). Menurut Sudarto memberikan definisi hukum pidana, yaitu penderitaan yang disengaja dibebankan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu (Muladi dan Badra Namawi, 1998: 2)

Transcript of BAB II - Digital Library UNS

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Hukum Pidana Internasional

a. Pengertian Hukum Pidana Internasional

Bassiouni menyatakan bahwa hukum pidana internasional adalah

disiplin hukum yang kompleks, yang komponennya lebih dari satu disiplin

hukum dan memiliki hubungan fungsional diantaranya (Eddy O.S Hiariej,

2009: 8).

Pidana internasional menurut Bantekas dan Nash adalah perpaduan

antaran dua disiplin hukum, yaitu hukum internasional dan hukum pidana

nasional (Eddy O.S Hiariej, 2009: 1).

Sehingga untuk mengetahui definisi hukum pidana internasional

harus mengetahui dulu definisi dari hukum pidana dan hukum

internasional.

1) Pengertian Hukum Pidana

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah sebagai bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar dan mengatur tentang perbuatan yang tidak boleh

dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa

yang melakukan. Juga kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dengan

cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan (Moeljatno,

2008: 1).

Menurut Sudarto memberikan definisi hukum pidana, yaitu

penderitaan yang disengaja dibebankan kepada orang-orang yang

melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu (Muladi dan

Badra Namawi, 1998: 2)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13

2) Pengertian Hukum Internasional

Menurut Sugeng Istanto hukum internasional adalah sebagai

kumpulan ketentuan hukum yang berlakuknya dipertahankan oleh

masyarakat internasional (Sugeng Istanto,1998: 2).

Starke memberi definisi hukum internasional publik sebagai

keseluruhan hukum yang terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah

yang mengikat negara-negara untuk mentaatinya dalam hubungan

antar negara-negara itu sendiri (J.G. Starke,2001: 1).

3) Pengertian Pidana Internasional

Menurut Bassiouni hukum pidana internasional adalah

perpaduan dari dua disiplin hukum yang berbeda, agar dapat saling

melengkapi, yaitu aspek-aspek pidana dari hukum internasional dan

aspek-aspek internasional dari hukum pidana (Eddy O.S Hiariej,

2009:8).

b. Sumber-Sumber Hukum Pidana Internasional

Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan dan

menggali suatu hukum.

Sugeng Istanto berpendapat bahwa sumber hukum formil ialah

faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum

yang berlaku umum. Tegasnya, sumber hukum formil adalah yang

membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum positif yakni

proses perundang-undangan dan kebiasaan. Di sisi lain, hukum

materiil ialah faktor yang menetukan isi ketentuan hukum yang

berlaku (Sugeng Istanto, 1998: 10-11).

Dalam hukum pidana internasional sendiri terdapat perpaduan sumber

hukum yaitu hukum internasional tentang kejahatan dan hukum pidana

yang mengandung dimensi nasional.

Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada

Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, dalam memutus

sengketa internasional yang diserahkan padanya, hakim mahkamah

internasional dapat menggunakan:

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14

1) Perjanjian internasional (International Conventions);

2) Kebiasaan internasional (Internastional Custom), sebagai bukti praktik

umum yang dierima sebagai hukum;

3) Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang

beradab (General Principles of Law Recognized by Civilized Nations);

4) Putusan pengadilan dan doktin atau karya hukum sebagai sumber

hukum tambahan (subsidiary).

Selain sumber hukum pidana internasional yang diutarakan di atas,

ada juga apa yang disebut dengan istilah jus cogens. Jus cogens adalah

hukum pemaksa tertinggi dan harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di

dunia sebagai prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang

berkaitan dengan moral. Dalam konteks hukum pidana internasional,

perlindungan terhadap perdamaian dan keamanan manusia serta nilai-nilai

kemanusiaan yang fundamental seperti hak hidup merupakan jus cogens,

sehingga kejahatan yang merupakan pengikaran terhadap jus cogens tidak

dapat disampingi oleh aturan hukum manapun (Eddy O.S Hiariej, 2009:8).

Sedangkan sumber hukum pidana internasional dalam konteks hukum

nasional negara-negara seperti:

1) Peraturan perundang-undangan;

2) Asas-asas hukum pidana nasional;

3) Putusan badan peradilan nasional.

Jadi sumber hukum pidana internasioal terdiri dari hukum

internasional yaitu: perjanjian internasional, kebiasaan internasional,

prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang

beradab, putusan pengadilan dan doktrin, dan dari hukum pidana nasional

yaitu: peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum pidana nasional,

putusan badan peradilan nasional.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15

c. Asas-Asas Hukum Pidana Internasional

Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa asas hukum atau prinsip

hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret, melainkan pikiran dasar

yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang

konkret yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat

umum dalam peraturan hukum konkret tersebut. Ditegaskan lagi oleh

Sudikno, bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkret,

melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat

umum dan abstrak (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34-35).

Sebagaimana sumber hukum pidana internasional, asas hukum

internasional juga terdiri 2 (dua) aspek yaitu, asas hukum pidana

internasional yang berasal dari hukum internasional secara garis besar

dibedakan ke dalam asas umum dan asas khusus.

Asas-asas hukum pidana internasional yang bersifat umum:

1) Pacta sunt servanda: setiap Perjanjian menjadi hukum yang mengikat

para pihak yang melakukan perjanjian.Bila dihubungkan dengan

sumber hukum pidana internasional, dapat dipahami bahwa perjanjian

internasional merupakan urutan paling atas dalam sumber hukum

pidana internasional;

2) Good faith: bahwa semua kewajiban yang diembani oleh hukum

internasional harus dilakukan dengan sebaik-baiknya;

3) Civitas maxima: bahwa ada sistem hukum universal yang dianut semua

bangsa di dunia dan harus dihormati serta dilaksanakan;

4) Resiprokal: bahwa jika suatu negara menginginkan suatu perlakuan

baik dari negara lain, maka negara yang bersangkutan tersebut juga

harus memberi perlakuan yang baik terhadap negara lain;

5) Kemerdekaan, berdaulat, dan sederajat.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16

Sedangkan asas-asas hukum pidana internasional yang bersifat khusus:

1) Aut dedere aut punere: bahwa pelaku kejahatan internasional diadili

menurut hukum di tempat ia melakukan kejahatan;

2) Aut dedere aut judicare: bahwa setiap negara berkewajiban menuntut

dan mengadili pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban

melakukan kerja sama dengan negara lain dalam rangka menahan,

menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan internasional;

3) Par in parem in hebet imperium: bahwa kepala negara tidak dapat

dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Asas par in parem

in hebet imperium dikecualikan dari kejahatan-kejahatan serius

terhadap masyarakat internasional seperti genosida, kejahatan

kemanusiaan, keajahatan perang (Eddy O.S Hiariej, 2009: 26-27).

Asas-asas hukum pidana internasional yang berasal dari hukum pidana

nasional:

1) Legalitas: tidak ada kejahatan yang dapat dipidana, sebelum aturan

hukum dibuat terlebih dahulu;

2) Territorial: Perundangan suatu negara berlaku bagi semua orang yang

melakukan kejahatan di negara tersebut;

3) Ne bis in idem: seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di

depan pengadilan atas perkara yang sama. Dikecualikan terhadap

kejahatan-kejahatan berat seperti: genosida, kejahatan perang,

kejahatan terhadap kemanusiaan;

4) Praduga tak bersalah: seseorang yang diduga melakukan kejahatan

wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan dipengadilan.

d. Karakteristik Kejahatan Internasional

Menurut Bassiouni terdapat 10 (sepuluh) karakteristik kejahatan

internasional, meliputi:

1) Explicit recognition of prescribed conduct as constuting an

international crime or a crime or under international law, or a crime

(pengakuan secara ekspisit tindakan-tindakan sebagai kejahatan

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17

internasional atau kejahatan di bawah hukum internasional atau

kejahatan);

2) Implicit recognition of the penal nature of the act by establishing a

duty to prohibit, prevent, punish, or like (pengakuan secara implisit

dari sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan

menetapkan suatu kewajiban untuk melarang, mencegah, menuntut,

menjatuhkan pidana);

3) Criminalization of the proscribed conduct (kriminalisasi tindakan-

tindakan tertentu);

4) Duty of right to prosecute (kewajiban atau hak untuk menuntut);

5) Duty or right to punish the proscribed conduct (kewajiban atau hak

untuk menjatuhkan pidana atas tindakan tertentu);

6) Duty or right to extradite (kewajiban atau hak mengekstradisi);

7) Duty or right to coorporerate to prosecution, punishment, including,

judicial assistance in penal proceeding (kewajiban atau hak untuk

bekerjasama dalam penuntutan, pemidanaan, termasuk bantuan

yudisial dalam proses pemidanaan);

8) Establishment of criminal jurisdictional basis (penetapan suatu dasar-

dasar yuridkisi kriminal);

9) Reference to the establishment of an international criminal court or an

international tribunal with penal characteristics (referensi

pembentukan pidana internasional atau tribunal internaasional dengan

karakter-karakter pidana);

10) Elimination of the defense of superior orders (penghapusan alasan-

alasan perintah atasan) (Romli Atmasasmita, 2000: 38).

e. Internasionalisasi Kejahatan

Internasionaslisasi kejahatan adalah proses penetapan tindakan-

tindakan tertentu sebagai kejahatan internasional. Tindakan-tindakan

tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kejahatan internasional dapat

melalui doktrin, kebiasaan, atau praktik hukum internasional (Eddy O.S

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18

Hiariej, 2009:51). Sedangkan proses penetapannya dibahas oleh suatu

komite atau badan bersifat ad-hoc kemudian memperoleh persetujuan dari

suatu konvensi yang diadakan khusus untuk itu.

Terkait dengan internasionalisasi kejahatan, menurut Bassiouni ada 5

(lima) unsur tingkah laku tertentu yang jika salah satu unsurnya terpenuhi,

maka tingkah laku tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan.

Kelima unsur tersebut:

1) Tingkah laku yang dilarang berakibat signifikan terhadap kepentingan

internasional, khususnya perdamaian dan keamanan internasional

(contoh: kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida);

2) Tingkah laku yang dilarang merupakan perbuatan buruk dan dianggap

mengancam nilai-nilai yang dianut bersama oleh maasyarakat dunia,

termasuk apa yang dianggap oleh sejarah sebagai tingkah laku yang

menyentuh nurani kemanusian (contoh: kejahatan perang dan bajak

laut);

3) Tingkah laku yang dilarang memiliki implikasi transnasional yang

melibatkan atau mempengaruhi lebih dari satu negara dalam

perencanaan, persiapan, perbuatannya, baik melalui keragaman

kewarganegaraan para pelaku kejahatan atau korban atau perlengkapan

yang digunakan melebihi batas-batas negara. (contoh: pembajakan

pesawat udara);

4) Tingkah laku yang membahayakan perlindungan terhadap kepentingan

internasional atau terhadap orang yang dilindungi secara internasional

(contoh: kejahatan terhadap diplomat, kepala negara asing dan konsul);

5) Tingkah laku tersebut melanggar kepentingan internasional yang

dilindungi namun tidak sampai pada poin pertama dan kedua, namun

tingkah laku tersebut dapat dicegah dan ditekan melalui kriminalisasi

internasional. (contoh: pemalsuan uang dan peredaran uang palsu)

(Eddy O.S Hiariej, 2009: 50-52).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19

f. Hirarki Kejahatan Internasional

Berdasarkan internasionalisasi kejahatan dan karakteristik kejahatan

internasional, kejahatan internasional memiliki hirarki atau tingkatan.

Sampai dengan tahun 2003 atas dasar 281 konvensi internasional sejak

tahun 1812, ada 28 kategori kejahatan internasional dan berdasarkan 28

kategori tersebut Basiiouni membagi tingkat kejahatan internasional

menjadi 3 (tiga) ,yaitu:

1) International crime

International crime adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan

karakteristik dari international crime berkaitan dengan perdamaian dan

keamanan manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental.

Kejahatan tersebut meliputi:

a) Aggresion (agresi);

b) Genocide (genosida);

c) Crimes againts humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan);

d) Unlawful possession or use or emplacement of weapons

(penyalahgunaan senjata api);

e) Theft of nuclear materials (pencurian material nuklir);

f) Mercanarism (tentara bayaran);

g) Apartheid;

h) Slavery and slave-related practices (perbudakan);

i) Torture and other forms of cruel, inhuman, or degrading treatment

(penyiksaan dan segala bentuk kekejaman yang tidak manusiawi);

j) Unlawful human experimentation (percobaan yang tidak

manusiawi).

2) International delicts

Tipikal dan karakter international delicts berkaitan dengan

kepantingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu

negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal dari satu negara.

Kejahatan tersebut meliputi:

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20

a) Piracy (bajak laut);

b) Aircraft hijacking and unlawful acts against international air safety

(pembajakan pesawat terbang dengan cara melawan hukum

internasional tentang keamanan penerbangan);

c) Threat and use of force against internationally protected persons

(mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang

dilindungi hukum internasional);

d) Threat and use of force against internationally protected persons

(mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang

dilindungi hukum internasional);

e) Crime against united nationas and associated personnel (kejahatan

melawan personel PBB);

f) Taking of civilian hostages (membawa penduduk sipil sebagai

sandera);

g) Unlawful use of the mail (pelanggaran hukum dalam penggunaan

surat);

h) Attacks with exsplosives (serangan dengan menggunakan ledakan);

i) Financing of terrorism (pembiayaan terorisme);

j) Unlawful traffic in drugs and related drugs offenses (pelanggaran

hukum terhadap penjualan obat-obat terlarang);

k) Organized crime (organisasi criminal);

l) Destruction and/or theft of national treasures (menghancurkan atau

mencuri peninggalan bersejarah);

m) Unlawful acts against certain internationally protected elements of

the environment (kejahatan terhadap lingkungan).

3) International infractions

Dalam hukum pidana internasional secara normatif, international

infraction tidak termasuk dalam kategori international crime dan

international delicts. Kejahatan tersebut meliputi:

a) International traffic in obscene materials (menjual-belikan alat-alat

cabul);

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21

b) Falsification and counterfeiting (pemalsuan mata uang asing dan

materai);

c) Unlawful interferece with submarine cables, and (pelanggaran

hukum dengan mencampuri kabel pada kapal selam);

d) Bribery of foreign public officials (menyuap pejabat publik) (Eddy

O.S Hiariej, 2009: 55-58).

g. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pelanggaran HAM Berat

1) Melalui Hukum Nasional:

Penegakan hukum pidana internasional yang menggunakan

hukum nasional masing-masing negara di mana kejahatan

internasional tersebut terjadi.Penegakan hukum pidana

internasional menggunakan hukum nasional sering disebut indirect

enforcement system atau penegakan hukum pidana internasional

secara tidak langsung.

2) Melalui Pengadilan ad hoc

Dalam hukum pidana terdapat prinsip yang dianggap

fundamental yaitu asas legalitas yang tertuang dalam adagium

nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.

Berdasarkan prinsip ini seseorang tidak dapat dianggap melakukan

tindak pidana dan dijatuhi pidana apabila sebelumnya tidak ada

kriminalisasi formal terhadap tindakan yang dilakukan. Dengan

kata lain seseorang tidak dapat dituntut atau dihukum apabila pada

waktu melakukan perbuatan tersebut belum dinyatakan sebagai

tindak pidana. Pasal 11 Statuta Roma juga mencerminkan hal yang

sama mengenai asas legalitas. Dalam pasal 11 Statuta Roma

menegaskan bahwa yurisdiksi ICC hanya mencakup kejahatan

yang dilakukan setelah Statuta Roma 1998 berlaku yaitu tanggal 1

Juli 2002, jadi berdasarkan pasal 11 tersebut ICC tidak memiliki

kewenangan utuk mengadili kejahatan yang dilakukan sebelum

tanggal 1 Juli 2002. Hal ini juga dikuatkan pada Pasal 24 ayat (1)

Statuta Roma 1998. Sehingga untuk mengadili sutu pelanggaran

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

HAM berat yang terjadi sebelum Statuta Roma 1998 berlaku, maka

pelanggaran HAM berat tersebut merupakan yurisdiksi pengadilan

ad hoc. Dibawah ini akan dibahas beberapa mahkamah ad hoc

yang mengadili pelanggaran HAM berat:

a) Mahkamah Nuremberg

Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili

penjahat perang Nazi. Mahkamah Nuremberg dibentuk tahun

1945 berdasarkan Piagam London (London Charter).

Mahkamah Nuremberg terdiri dari empat (4) orang hakim

ditambah dengan empat (4) hakim pengganti berasal dari

keempat negara penyusun Statuta Mahkamah yaitu Amerika

Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Sovyet. Mahkamah Nuremberg

memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap perdamaian

(crimes against peace), keajahatan perang (crimes war),

kejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity).

Dalam mahkamah ini kedudukan resmi pelaku tidak dapat

dijadikan alasan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.

Kejahatan yang dilakukan atas perinstah pemerintah atau atasan,

tidak dapat membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan

dijadikan dasar untuk mengurangi hukuman (Eddy O.S Hiariej,

2009: 76).

b) Mahkamah Tokyo

Mahkamah Tokyo dibentuk pada 19 Januari 1946.

Mahkamah Tokyo dibentuk bertujuan untuk mengadili para

penjahat perang Jepang. Berbeda dengan Mahkamah

Nuremberg yang dibentuk oleh para negara pemenang perang

dunia II, Mahkamah Tokyo dibentuk melalui proklamasi

komandan tertinggi sekutu di Timur Jauh, Jendral Douglas Mac

Arthur. Mahkamah Tokyo terdiri 11 hakim yang semuanya

dibentuk oleh Jendral Douglas Mac Arthur. Yurisdiksi

Mahkamah Tokyo hampir sama dengan Mahkamah Nuremberg

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23

yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace),

keajahatan perang (crimes war), kejahatan terhadap kemanusian

(crimes against humanity). Mahkamah Tokyo mengatakan

bahwa alasan tindakan negara (act of state) dan perintah atasan

tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab

pelaku, tetapi dapat dijadikan dasar untuk mengurangi

hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika pelaku

melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai

pejabat resmi (Eddy O.S Hiariej, 2009: 78).

c) International Criminal Trbunal for the Former Yugoslavia

(ICTY)

Dalam rangka merespons konflik bersenjata yang terjadi

di Yugoslavia awal dekade 1992. DK PBB membentuk komisi

ahli pada tanggal 6 Oktober 1992 untuk meneliti pelanggaran

hukum internasional yang terjadi di sana, dari penelitian komisi

ahli tersebut kemudian DK PBB dengan Resolusi Nomor 827

tahun 1993 membentuk ICTY dengan yurisdiksi genosida,

Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter, Pelanggaran

berat sebagaimana yang diatur dalam Konvesi Jenewa 1949,

Pelanggaran terhadap hukum kebiasaan perang, dan kejahatan

terhadap kemanusiaan yang dilakuakan di dalam wilayah bekas

Yugoslavia sejak 1 Januari 1991. Berbeda dengan Mahkamah

Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in

absentia. Jika pengadilan tidak dapat menghadirkan terdakwa,

maka penuntut dapat mempresentasikan kasusnya ke majelis

pemeriksa

d) International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)

Rwanda meupakan negara di Afrika tengah yang

komposisi penduduknya terdiri dari dua (2) kelompok utama,

yaitu suku Hutu (85%) dan suku Tutsi (14%).Pada tahun 1959,

kelompok mayoritas suku Hutu melancarkan pemberontakan

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

terhadap pemerintahan Rwanda yang didominasi suku Tutsi.

Pada kurun waktu tahun 1963 hingga 1994, kekerasan etnis

selalu terjadi di negara tersebut, sehingga menimbulkan banyak

korban yang tewas dari penduduk sipil. Melihat kekerasan demi

kekerasan yang terjadi di negara tersebut, akhirnya mendorong

DK PBB membentuk komisi ahli yang bertugas meneliti dan

membuat rekomendasi tentang grave violantions of

international humanitarian law dan evidence of possible act of

genocide di Rwanda. Pada tanggal 29 September 1994, komisi

ahli menyerahkan laporan awalnya kepada DK PBB, serta

merekomendasikan dibentuknya mahkamah kejahatan

internasional. Pada tanggal 8 November 1994, DK PBB

memutuskan membentuk International Criminal Tribunal for

Rwanda (ICTR) dengan yurisdiksi genosida, kejahatan terhadap

kemanusian, dan Pelanggaran berat sebagaimana yang diatur

dalam Konvesi Jenewa 1949 (Arie Siswanto, 2005: 6-8).

3) Melalui International Criminal Court (ICC)

ICC didirikan berdasakan Statuta Roma 1998 tanggal 17

Juni 1998 yang dihadiri oleh 148 negara. Hasil pemungutan suara

terdiri dari 120 negara mendukung, 7 negara menentang dan 21

negara abstain. ICC mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002.

Mahkamah ini bersifat permanen untuk mengadili kejahatan-

kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes). ICC

bekerja apabila pengadilan nasional tidak mau (unwilling) atau

tidak mampu (unable). Menurut Pasal 5 sampai dengan 8 Statuta

Roma 1998, ICC memiliki yurisdiksi terhadap empat macam

kejahatan yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

kejahatan perang, dan agresi. Dalam ICC berlaku tanggung jawab

individu, dengan demikian ICC tidak berwenang memeriksa dan

mengadili negara maupun organisasi internasional berdasarkan

pada Pasal 25 Statuta Roma 1998. Jumlah hakim dalam ICC

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25

berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta Roma 1998 berjumlah 18

orang dengan masa jabatan selama 9 tahun. Secara umum,

pengajuan kasus ICC dapat dilakukan oleh beberapa pihak baik

dalam wilayah negara pihak Statuta Roma 1998 maupun bukan

pihak Statuta Roma 1998, berikut tabel yurisdiksi territorial di

wilayah negara pihak Statuta Roma 1998 maupun bukan pihak

dalam Statuta Roma 1998 (Arie Siswanto, 2005: 41).

Tabel. 1. Yurisdiksi Teritorial ICC

Wilayah Inisiatif

Penuntutan dari

Negara Pihak

Inisiatif

Penuntutan

dari Penuntut

Umum ICC

Inisiatif

Penuntutan

dari Dewan

Keamanan

PBB

Negara

Pihak

Dapat Dapat Dapat

Negara

Bukan

Pihak

Dapat, asal pelaku

pelanggaran adalah

warga negara dari

negara pihak

Dapat, asal

pelaku

pelanggaran

adalah warga

negara dari

negara pihak

Dapat

h. Kriteria Pelanggaran HAM Berat menurut pengadilan Ad hoc dan

International Court of Criminal (ICC)

1) Menurut pengadilan ad hoc:

a) Pengadilan Nuremberg:

(1) Kejahatan terhadap perdamaian

Yaitu, perencanaan, persiapan, inisiasi atau

pelaksanaan perang agresi, atau peperangan yang

melanggar perjanjian internasional, atau ikut serta dalam

suatu konspirasi untuk melakukannya (Pasal 6 huruf a

London Charter 1945).

(2) Kejahatan perang

Yaitu, pelanggaran terhadap hukum-hukum atau

kebiasaan-kebiasaan perang, pembunuhan, perlakuan

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26

buruk, deportasi, perbudakan, perampasan, dan

penghancuran (Pasal 6 huruf b London Charter 1945).

(3) Kejahatan terhadap kemanusiaan

Yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,

deportasi (pengasingan, pengiriman kembali ketempat

asal) dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawi

yang ditujukan terhadap penduduk sipil sebelum atau

selama terjadi peperangan, atau penganiayaan yang

didasarkan pada latar belakang politik, rasial atau agama

dalam pelaksanakan hukuman atau dalam kaitannya

dengan sesuatu kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi

mahkamah yang dilakukan, apakah hal itu melanggar atau

tidak dengan hukum nasional sesuatu Negara (Pasal 6

huruf c London Charter 1945).

b) Pengadilan Tokyo

(1) Kejahatan terhadap perdamaian

Yaitu, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan perang

sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun

tidak atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian

internasional atau yang ikut serta dalam suatu rencana

bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu

bentuk kejahatan (Pasal 5 huruf a Special Proclamation

Establishment of an International Military Tribunal for

The Far East).

(2) Kejahatan perang

Yaitu, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan

perang (Pasal 5 huruf b Special Proclamation

Establishment of an International Military Tribunal for

The Far East).

(3) Kejahatan terhadap kemanusiaan

Yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,

deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang

dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan

selama masa perang. Adanya penyiksaan berdasar politik

atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan

bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi

pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai

kejahatan atau tidak menurut hukum domestik dimana

tindakan tersebut dilakukan (Pasal 5 huruf c Special

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27

Proclamation Establishment of an International Military

Tribunal for The Far East).

c) International Criminal Trbunal for the Former Yugoslavia

(ICTY)

(1) Pelanggaran berat sebagaimana yang diatur dalam Konvesi

Jenewa 1949

Pengadilan Internasional (dalam hal ini ICTY)

dapat memiliki kewenangan untuk menuntut orang-orang

yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan

suatu pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12

Agustus 1949, yaitu tindakan berikut terhadap orang atau

harta benda (kekayaan) yang dilindungi berdasarkan

ketentuan Konvensi Jenewa (Pasal 2 Statuta ICTY).

(2) Pelanggaran terhadap hukum kebiasaan perang

Pengadilan Internasional (dalam hal ini ICTY)

dapat memiliki kewenangan untuk menuntut orang-orang

yang melanggar hukum atau kebiasaan perang (Pasal 3

Statuta ICYT).

(3) Genosida

Pengadilan Internasional (dalam hal ini ICTY)

dapat memiliki kewenangan untuk menuntut orang-orang

melakukan genosida sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

Pasal ini atau melakukan tindakan-tindakan lain yang

disebutkan dalam ayat (3) Pasal ini (Pasal 4 ayat (1)

Statuta ICTY).

(4) Kejahatan terhadap kemanusiaan

Pengadilan Internasional (dalam hal ini ICTY)

dapat memiliki kewenangan untuk menuntut orang-orang

yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ketika

dilakukan dalam konflik bersenjata, baik yang berskala

internasional maupun internal dan ditujukan terhadap

penduduk sipil (Pasal 5 Statuta ICTY).

d) International Criminal Tribunal for the Former Rwanda

(ICTR)

(1) Genosida

The International Tribunal for Rwanda dapat

melakukan penuntutan terhadap orang yang melakukan

genosida yang seperti didefinisikan pada ayat (2) dari Pasal

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28

ini atau melakukan suatu tindakan yang disebutkan pada

ayat (3) dari Pasal ini (Pasal 2 ayat (1) Statuta ICTR).

(2) Kejahatan terhadap kemanusiaan

The International Tribunal for Rwanda dapat

melakukan penuntutan terhadap orang yang bertanggung

jawab melakukan kejahatan tersebut dan serangan tersebut

meluas dan sistematis dan ditujukan kepada penduduk sipil

pada suatu bangsa, politik, etnis, atau agama tertentu (Pasal

3 Statuta ICTR).

(3) Pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan bersama

Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun

1977.

The International Tribunal for Rwanda dapat

melakukan penuntutan terhadap orang yang melakukan

atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran serius

terhadap bagian 3 konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yaitu

tentang perlindungan terhadap korban perang, dan protokol

tambahan II 8 juni 1977. Semua pelanggaran termasuk,

tapi tidak harus terbatas (Pasal 3 Statuta ICTR)

2) Menurut International Court of Criminal (ICC)

a) Genosida

Untuk keperluan Statuta ini, “genosida” berarti setiap

perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk

menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu

kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan (Pasal 6 Statuta

Roma 1998).

b) Kejahatan terhadap kemanusiaan

Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap

kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini

apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau

sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk

sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu (Pasal 7 ayat (1)

Statuta Roma 1998).

c) Kejahatan perang

Mahkamah mempunyai yurisdiksi berkenaan dengan

kejahatan perang pada khususnya apabila dilakukan sebagai

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29

bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian

dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan

tersebut. (Pasal 8 ayat (1) Statuta Roma 1998)

i. Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh International Court of Criminal

(ICC) menurut Statuta Roma 1998

1) Bersifat komplementer;

Artinya, jika terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi

mahkamah pidana internasional, maka pengadilan terhadap pelaku

kejahatan terlebih dahulu diserahkan kepada hukum nasional

negara dimana kejahatan tersebut dilakukan. Apabila negara

tersebut tidak mau atau tidak dapat mengadili pelaku kejahatan

tersebut, maka pengadilan terhadap pelaku dilakukan oleh

mahkamah pidana internasional.

2) Asas legalitas;

Asas ini berlaku secara absolut dan tidak dimungkinkan

penyimpangan terhadapnya selama menyangkut kejahatan-

kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah pidana internasional.

Tidak hanya larangan hukum berlaku surut (non retroaktif),

larangan terhadap analogi juga termaktub secara eksplisit dalam

Statuta Roma. Bahkan, dalam hal keragu-raguan atau perubahan

peraturan, maka harus diterapkan aturan yang meringankan orang

yang sedang disidik, ditutut, atau diadili berdasarkan Statuta Roma.

3) Asas Ne bis in idem;

Asas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat

dituntut lebih dari satu kali didepan pengadilan dengan perkara

yang sama. Akan tetapi, dalam Statuta Roma, asas ne bis in idem

ini tidak berlaku mutlak. Artinya, asas ini dapat disimpangi jika

pengadilan nasional yang mengadili pelaku kejahatan tidak

berjalan adil (fair) atau bermaksud untuk membebaskan pelaku

dari segala tuntutan.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30

4) Prinsip pertanggungjawaban pribadi;

5) Percobaan, penyertaan, dan pemufakatan jahat untuk melakukan

perbuatan yang merupakan yurisdiksi mahkamah;

6) Tidak mengenal relevansi jabatan resmi dan tidak berlaku

tanggung jawab komando dan atasan lainnya;

7) Tidak dimasukannya yurisdiksi anak dibawah 18 tahun (Eddy O.S

Hiariej, 2009: 71-72).

2. Hukum Humaniter Internasional

a. Pengertian hukum humaniter internasional

Menurut Jean Pictet

International humanitarian law in the wide sanse is constitutionall

legal provision, whether written and customary, ensuring respect for

individual and his well being (Haryomataram, 1994: 15).

Terjemahan bebasnya:

Hukum Humaniter dalam arti luas adalah konstitusi ketentuan

hukum, baik tertulis maupun kebiasaan, untuk memastikan

penghargaan dan kesejahteraan terhadap seseorang.

Menurut Geza Herzegh

Part of the rule of public international law which serve as the

protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside

the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly

distinguish from these its purpose and spirit being different (Arlina

Permanasari dkk, 1999: 2).

Terjemahan bebasnya:

Bagian dari peraturan hukum internasional publik yang mengatur

tentang perlindungan seseorang waktu terjadi konflik bersenjata, yang

letaknya terdapat disamping dari norma peperangan dan mereka saling

terkait erat, tapi dapat dibedakan dari tujuan dan semangatnya.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31

Menurut Mochtar Kusumaatmadja

Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan

pelindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang

mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara

melakukan perang itu sendiri (Mochtar Kusumaatmadja, 1980:5).

Menurut Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan

Perundangan-undangan

Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan

internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum

perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan

terhadap harkat dan martabat seseorang (Arlina Permanasari dkk, 1999:

10).

b. Asas-asas hukum humaniter internasional

1) Asas kepentingan militer (Military Necessity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yan bersengketa dibenarkan

menggunakan kekerasan untuk menundukan lawan demi

tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.

2) Asas perikemanusiaan (Humanity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan

memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk

menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang

berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

3) Asas kesatria (Chivalry)

Asas ini mengadung arti bahwa didalam perang, kejujuran harus

diutamakan.Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai

macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Selain ketiga prinsip diatas masih ada prinsip yang dianggap paling

penting dalam hukum humaniter internasional, yaitu Prinsip

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32

Pembedaan (Distinction principle) berdasarkan prinsip ini pada

waktu terjadinya perang/konflik bersenjata harus dilakukan

pembedaan antara penduduk sipil (civilian) di satu pihak dengan

combatan serta antara obyek sipil di satu pihak dengan obyek

militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan

obyek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan

sasaran (Arlina Permanasari dkk, 1999: 11).

c. Tujuan hukum hummaniter internasional

1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun

penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary

suffering);

2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi

mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke

tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak

diperlukan sebagai tawanan perang;

3) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal

batas. Di sini, yang terpenting adalah asas perikemanusian

(Arlina Permanasari dkk, 1999: 12).

d. Sumber-sumber hukum humaniter internasional

1) Konvensi Den Haag 1899 dan 1907

Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum hukum

humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang

(Arlina Permanasari dkk, 1999: 21-31).

2) Konvensi Jenewa 1949

Hukum jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban

perang terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian

tersebut adalah keempat (4) konvensi Jenewa 1949, yang

masing-masing adalah:

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33

a) Konvensi Jenewa pertama (1864) mengenai perbaikan

keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit

di darat;

b) Konvensi Jenewa kedua (1906) mengenai perbaikan

keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit,

dan karam di laut;

c) Konvensi Jenewa ketiga (1929) mengenai perlakuan

tawanan perang;

d) Konvensi Jenewa keempat (1949) mengenai perlindungan

terhadap orang-orang sipil (Arlina Permanasari dkk, 1999:

32).

Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977

ditambahkan lagi dengan protokol tambahan 1977 yakni disebut

dengan:

a) Protokol tambahan I tahun 1977 yang mengatur tentang

perlindungan korban pada saat terjadi konflik bersenjata

internasional;

b) Protokol tambahan II tahun 1977 yang mengatur tentang

perlindungan korban pada saat terjadi konflik bersenjata non

intenasional (Arlina Permanasari dkk, 1999: 132-139).

e. Jenis-jenis konflik bersenjata.

Konflik bersenjata menurut Pietro Vierri adalah ungkapan yang

mencakup segala bentuk konfrontasi antara beberapa pihak, yaitu: dua

negara atau lebih, negara dengan suatu entitas bukan negara, negara

dengan kelompok pemberontak, dan dua kelompok etnis dalam satu

negara (Vierri, Pietro, 1992: 34-35). Konflik bersenjata dalam

Konvensi Jenewa dibagi menjadi 2 yaitu :

1) Konflik Bersenjata Non Internasional.

Konflik besenjata non internasional diatur dalam Pasal 3 ketentuan

bersama Konvensi Jenewa 1949. Pasal 3 ketetuan bersama

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34

Konvensi Jenewa 1949 memberikan pengertian luas terhadap

konflik bersenjata non internasional untuk membedakan konflik

bersenjata non internasional dalam pengertian Pasal 3 ini dengan

situasi ketegangan dan gangguan dalam negeri, kerusuhan atau

tindakan aksi bandit, maka kriteria atau batas tertentu, yaitu:

a) Konflik bersenjata harus mencapai tingkat minimum intensitas,

yaitu ketika pemerintah berkewajiaban untuk menggunakan

kekuatan militer terhadap kelompok pemberontak atau

kelompok non pemerintahan.

b) Kelompok pemberontak atau kelompok non pemerintah

merupakan pihak yang terlibat dalam konflik, adanya

pengorganisasian angkatan bersenjata secara berlanjut, adanya

struktur komando tertentu dan memiliki kapasitas untuk

mempertahankan operasi militer

(www.icrc.org/eng/assets/files/other/opinion-paper-armed-

confict.pdf, How is the Term “Armed Conflict” difined in

International Humanitarian Law?, diakses pada tanggal 04

Januari 2017).

2) Konflik Bersenjata Internasional.

Konflik bersenjata internasional diatur pada Pasal 2 ketentuan

bersama Konvensi Jenewa 1949 yang berbunyi:

Pasal 2

“Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang

akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini

akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang

diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang

mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta

Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah

satu antara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk

semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari

wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan

tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata. Meskipun

salah satu dari Negara-negara dalam sengketa mungkin

bukan peserta Konvensi ini, Negara-negara yang jadi

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35

peserta Konvensi ini akan tetap sama terikat olehnya

didalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya

terikat oleh Konvensi ini dalam hubungan dengan Negara

bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini

menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi

ini.”

Pasal 2 ketentuan bersama Konvensi Jenewa 1949 di atas

menunjukan bahwa Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan:

a) Perang atau konflik bersenjata yang melibatkan antara 2 (dua)

atau lebih dari Pihak Peserta Agung.

b) Perang atau konflik bersenjata yang diumumkan.

c) Perang atau konflik bersenjata walaupun keadaan perang atau

konflik bersenjata tersebut tidak diakui.

d) Pendudukan (okupasi) sebagaian atau seluruh dari wilayah

pihak Peserta Agung, meskipun pendudukan tersebut tidak

menemui perlawanan.

Selain memenuhi unsur-unsur yang terdaapat pada Pasal 2

ketentuan bersama Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata

internasional juga dapat terjadi akibat dari pergeseran status hukum

pihak-pihak yang terlibat dari konflik bersenjata non internasional.

Keadaan tersebut dinamakan internationalized internal armed

conflict (internasionalisasi konflik bersenjata non internasional).

Internasionalisasi konflik bersenjata non internasional menurut

Pietro Vierri adalah suatu konflik non internasional dapat dianggap

menjadi konflik bersenjata internasional apabila telah terpenuhi

syarat-syarat berikut:

a) Jika suatu negara yang berperang melawan pihak pemberontak

di dalam wilayahnya telah mengakui pihak pemberontak

tersebut sebagai pihak yang bersengketa (belligerent);

b) Jika terdapat satu atau lebih negara asing memberikan bantuan

kepada salah satu pihak dalam konflik non internasional

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36

dengan mengirimkan angkatan bersenjata resmi mereka dalam

konflik yang bersangkutan;

c) Jika terdapat 2 negara asing atau lebih dengan angkatan

bersenjata masing-masing melakukan intervensi dalam suatu

negara yang terlibat konflik non internasional, dimana masing-

masing angkatan bersenjata tersebut membantu pihak yang

saling berlawanan (Vierri, Pietro, 1992: 35).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37

B. Kerangka Berpikir

Tertangkapnya Ratko

Mladić di Desa Kravica

pada Tahun 2011

Faktor penyebab konflik

bersenjata antara Bosnia

dengan Serbia

Terjadi Pelanggaran HAM

berat pada saat terjadi

konflik bersenjata di

Bosnia-Herzegovina yang

dilakukan tentara Serbia

(Termasuk Ratko Mladić)

pada tahun 1992-1995

Dibentuknya Mahkamah

Pidana Permanen/

International Court

Criminal (ICC) pada tahun

1 Juli 2002 yang

berdasarkan Statuta Roma

1998 yang bertujuan

mengadili pelaku

kejahatan HAM berat

Pembentukan ICTY(Ad

Hoc) melalui Resolusi DK

PBB Nomor 827 Tahun

1993 yang bertugas

mengadili para pelaku

pelanggaran HAM berat di

wilayah Yugoslavia

DK PBB mengeluarkan

Resolusi No.1966 tahun

2010 tentang pembubaran

ICTY dan ICTR

Mekanisme penegakan

hukum terhadap Ratko

Mladić yang telah

melakukan pelanggaran

HAM melalui MICT

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38

Keterangan:

Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai

penegakan hukum (law enforcement). Suatu perangkat hukum baru dapat

dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat

ditegakan. Maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang

mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakan. Mekanisme

penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Yugoslavia

khusunya negara bagian Bosnia-Herzegovina masih menimbulkan permasalahan

karena penjahat yang melakukan pelanggaran HAM tersebut tidak tertangkap dan

diadili pada saat itu juga.

Hal itu dimulai ketika PBB melalui Resolusi DK Nomor 827 tahun 1993

membentuk pengadilan ad hoc International Criminal Tribunal for Former

Yugoslavia (ICTY) sebagai respon terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi

di wilayah Yugoslavia. ICTY dibentuk untuk meginvestigasi, menuntut, dan

mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran

HAM berat selama konflik bersenjata di Yugoslavia sejak tahun 1991.

Permasalahannya adalah tidak semua pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat

yang terjadi di Yugoslavia langsung tertangkap pada waktu itu juga, sebagai

contoh tertangkapnya Jendral Ratko Mladić di Desa Kravica pada tanggal 26 Mei

2011. Disisi lain pada tahun 2010 DK PBB telah mengeluarkan Resolusi No 1966

tahun 2010 tentang pembubaran pengadilan ad hoc ICTY dan ICTR.

Sehingga dalam hal ini menimbukan masalah yurisdiksi mahkamah mana

yang berhak mengadili Ratko Mladić yang melakukan pelanggaran HAM pada

tahun 1992-1995, tetapi tertangkap pada 2011.