REFLEKSI KASUS

2
REFLEKSI KASUS – IMPETIGO KRUSTOSA, TERAPI ANTIBIOTIK Desatya Rossa Amygha 2004.031.0087 PENGALAMAN: Seorang pasien berusia 10 tahun diperiksakan orang tuanya ke RS PKU Muhammadiyah dikarenakan muncul koreng di jari dan punggung tangan. Gejala dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya muncul kemerahan di kulit dan rasa gatal. Lalu muncul plenting plenting yang terasa agak panas dan gatal. Plenting tersebut pecah dan mengeluarkan nanah. Setelah nanah keluar terbentuk koreng, dan muncul plenting plenting baru lagi di sekitar koreng, makin lama makin banyak. Os sering main di pasir dan tempat becek dengan tidak mengenakan alas kaki, dan tidak cuci tangan setelah bermain. Oleh dokter pasien tersebut didiagnosa dengan impetigo krustosa. Dokter memberikan terapi antibiotik sistemik, berupa eritromisin. Antibiotik topikal berupa bactroban, dan antihistamin. PEMBAHASAN: Penulis ingin membahas tentang terapi, khususnya penggunaan antibiotik pada pasien ini. Bactroban adalah sebuah obat antibiotik topikal yang mengandung bahan aktif berupa mupirocin. Mupirocin sudah digunakan untuk mengobati lesi pada penyakit kulit yang disebabkan infeksi bakteri. Mupirocin sudah dibuktikan pada penelitian bahwa lebih superior dibandingkan dengan polymixyn B dan Neomicyn. Mupirocin jika dibandingkan dengan obat cephlexin oral mempunyai efek yang sama baiknya. Mupirocin juga terbukti lebih superior jika dibandingkan dengan bacitracin. Namun mupirocin mempunyai kuman kuman yang resisten terhadapnya. Kejadian resistensi ini dilaporkan sebanyak 5-10% di Amerika Serikat. Kuman yang resisten terhadap mupirocin adalah S.aureus. Penggunaan asam fusidat sebagai terapi first line sudah digunakan secara luas. Namun penggunaan obat topikal asam fusidat ini harus berhati hati dikarenakan banyaknya laporan resistensi yang terjadi. Sebuah studi di Swedia menemukan bahwa dari seluruh pasien Impetigo yang diakibatkan S. Aureus yang diterapi dengan asam fusidat topikal, 32% mengalami resistensi. Sehingga peneliti merekomendasikan untuk tidak menggunaka asam fusidat sebagai terapi untuk membatasi angka resistesi kuman terhadap asam fusidat.

Transcript of REFLEKSI KASUS

Page 1: REFLEKSI KASUS

REFLEKSI KASUS – IMPETIGO KRUSTOSA, TERAPI ANTIBIOTIKDesatya Rossa Amygha2004.031.0087

PENGALAMAN:Seorang pasien berusia 10 tahun diperiksakan orang tuanya ke RS PKU Muhammadiyah

dikarenakan muncul koreng di jari dan punggung tangan. Gejala dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya muncul kemerahan di kulit dan rasa gatal. Lalu muncul plenting plenting yang terasa agak panas dan gatal. Plenting tersebut pecah dan mengeluarkan nanah. Setelah nanah keluar terbentuk koreng, dan muncul plenting plenting baru lagi di sekitar koreng, makin lama makin banyak. Os sering main di pasir dan tempat becek dengan tidak mengenakan alas kaki, dan tidak cuci tangan setelah bermain.

Oleh dokter pasien tersebut didiagnosa dengan impetigo krustosa. Dokter memberikan terapi antibiotik sistemik, berupa eritromisin. Antibiotik topikal berupa bactroban, dan antihistamin.

PEMBAHASAN:Penulis ingin membahas tentang terapi, khususnya penggunaan antibiotik pada pasien ini.Bactroban adalah sebuah obat antibiotik topikal yang mengandung bahan aktif berupa

mupirocin. Mupirocin sudah digunakan untuk mengobati lesi pada penyakit kulit yang disebabkan infeksi bakteri. Mupirocin sudah dibuktikan pada penelitian bahwa lebih superior dibandingkan dengan polymixyn B dan Neomicyn. Mupirocin jika dibandingkan dengan obat cephlexin oral mempunyai efek yang sama baiknya. Mupirocin juga terbukti lebih superior jika dibandingkan dengan bacitracin.

Namun mupirocin mempunyai kuman kuman yang resisten terhadapnya. Kejadian resistensi ini dilaporkan sebanyak 5-10% di Amerika Serikat. Kuman yang resisten terhadap mupirocin adalah S.aureus.

Penggunaan asam fusidat sebagai terapi first line sudah digunakan secara luas. Namun penggunaan obat topikal asam fusidat ini harus berhati hati dikarenakan banyaknya laporan resistensi yang terjadi. Sebuah studi di Swedia menemukan bahwa dari seluruh pasien Impetigo yang diakibatkan S. Aureus yang diterapi dengan asam fusidat topikal, 32% mengalami resistensi. Sehingga peneliti merekomendasikan untuk tidak menggunaka asam fusidat sebagai terapi untuk membatasi angka resistesi kuman terhadap asam fusidat.

Untuk pengobatan topikal pada pasien yang tidak bisa diterapi dengan mupirocin dan asam fusidat, karena terjadi infeksi yang disebabkan S.aureus maka dapat diberikan clindamycin (krim, lotion, dan foam). Selain itu gentamicyn krim juga baik dalam mengatasi infeksi yang disebabkan species Staphylococcus.

Antibiotik golongan makrolid seperti Eritromicyn juga dapat digunakan untuk mengobati infeksi pada impetigo. Eritromicyn bekerja dengan mengganggu sintesis protein bakteri. Namun resistensi terhadap eritromicyn pada negara negara maju sering ditemui, sehingga penggunaannya harus hati hati.

Antibiotik sistemik yang mungkin dapat digunakan secara aman untuk mengobati infeksi impetigo yang disebabkan S.aureus yang resisten adalah Cotrimoxazole. Obat yang terdiri dari Trimethoprim-sulfamethoxazole ini dilaporkan sangat efektif untuk melawan S.aureus yang resisten terhadap obat lainnya. Mempunyai merek dagang seperti Bactrim, Cotrim, Bactrizol, dan lain lain.

Page 2: REFLEKSI KASUS

KESIMPULANTerapi antibiotik yang digunakan pada pasien ini adalah antibiotik topikal berupa bactroban,

yang berisi mupirocin. Dan antibiotik sistemik berupa golongan makrolid, yaitu eritromicyn. Penggunaan kedua antibiotik ini merupakan kombinasi yang baik. Namun penggunaan eritromicyn hendaknya lebih dikurangi dikarenakan banyaknya kejadian resistensi pada negara maju. Cotromoxazole bisa digunakna untuk mengganti terapi eritromicyn pada pasien ini.

Dokter tidak menggunakan asam fusidat. Asam fusidat sudah banyak dilaporkan menimbulkan resistensi.