Refleksi Kasus Pterygium

36
Refleksi Kasus PTERYGIUM Ellyna Aisha Sari 20100310096 Dokter Pembimbing dr. Sri Yunihartati Sp.M

description

Re

Transcript of Refleksi Kasus Pterygium

Page 1: Refleksi Kasus Pterygium

Refleksi KasusPTERYGIUM

Ellyna Aisha Sari 20100310096

Dokter Pembimbing dr. Sri Yunihartati Sp.M

Page 2: Refleksi Kasus Pterygium

Nama : Ibu S Umur : 57 tahun Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : S1 Pekerjaaan : PNS Agama : Islam Alamat : Kebonkuning, Sawangan,

Magelang

IDENTITAS PASIEN

Page 3: Refleksi Kasus Pterygium

ANAMNESIS Keluhan utama : mata kiri nyerocos terasa pedih

Page 4: Refleksi Kasus Pterygium

Riwayat Penyakit Sekarang

Sehari-hari pasien sering terpapar angin saat mengendarai motor untuk bekerja antar kota

Keluhan dirasakan sudah +/- 5 tahun

Terdapat selaput putih pada mata kiri dan terkadang kabur untuk melihat

Pasien mengeluh mata nyerocos dan pedih

Page 5: Refleksi Kasus Pterygium

Riwayat keluhan serupa : sejak 5 tahun yang lalu

Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat DM : disangkal Riwayat trauma : disangkal Riwayat mondok : disangkal Riwayat operasi : disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu

Page 6: Refleksi Kasus Pterygium

Riwayat keluhan serupa : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat DM : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Page 7: Refleksi Kasus Pterygium

Gambar

Page 8: Refleksi Kasus Pterygium

Pemeriksaan

Oculli dextra (OD) Oculli sinistra (OS)

Visus Jauh 6/12 6/21

Refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Proyeksi Sinar

Dapat membedakan arah

sinar

Dapat membedakan

arah sinarProyeksi Warna

Dapat membedakan

warna

Dapat membedakan

warna

Pemeriksaan Subjektif

Page 9: Refleksi Kasus Pterygium

Pemeriksaan Objektif Pemeriksaan OD OS Penilaian

1. Sekitar mata (supersilia)

Kedudukan alis baik, scar (-)

Kedudukan alis baik, scar (-)

Simetris, scar (-)

2. Kelopak mata

- Pasangan N N Simetris

- Gerakan Bebas Bebas Ptosis (-), spasme (-)

- Lebar rima 10 mm 10 mm Normal 9-13mm

- Kulit N N Hiperemi (-), tumor (-)

- Tepi kelopak N N Trikiasis (-), entropion (-), ekstropion (-),

Page 10: Refleksi Kasus Pterygium

3. Apparatus Lakrimalis

- Sekitar glandula lakrimalis

N N Dakriodenitis (-)

- Sekitar sacus lakrimalis

N N Dakriosistitis (-)

- Uji flurosensi - - Tak dilakukan

- Uji regurgitasi - - Tak dilakukan

- Tes Anel - - Tak dilakukan

4. Bola Mata

- Pasangan N N Simetris

- Gerakan N N Tak ada gangguan gerak (syaraf dan otot penggerak bola mata normal)

- Ukuran N N Makroftalmus (-)Mikroftalmus (-)

Page 11: Refleksi Kasus Pterygium

5. TIO N N Palpasi konsistensi kenyal, simetris

6. Konjungtiva

- Palpebra superior N N Hiperemis (-), hordeolum (-)

- Forniks N N Tenang

- Palpebra inferior N N Hiperemis (-), hordeolum (-)

- Bulbi Tenang Tampak selaput putih berbentuk segitiga +/- 1 cm di bagian nasal, hiperemis (+)

OS terdapat selaput putih

Page 12: Refleksi Kasus Pterygium

7. Sklera Ikterik (-), perdarahan (-)

Ikterik (-), perdarahan (-)

Ikterik (-), perdarahan (-)

8. Kornea

- Ukuran Ø 10 mm Ø 10 mm

- Kecembungan N N Lebih cembung dari sklera

- Limbus Arkus senillis (-) Arkus senillis (-)tampak selaput putih pada tepi limbus bagian

nasal

ODS Arkus senillis (-), OS tampak selaput

putih bagian nasal

- Permukaan Licin Terdapat selaput putih berukuran

+/- 1 mm di bagian nasal dari

limbus

OS tampak selaput putih

- Uji Flurosensi - - Tak dilakukan

- Placido - - Tak dilakukan

Page 13: Refleksi Kasus Pterygium

9. Camera oculi anterior

- Ukuran N N Dbn

- Isi Jernih, fler (-), hifema (-),

hipopion (-)

Jernih, fler (-), hifema (-),

hipopion (-)

Dbn

10. Iris

- Warna Coklat Coklat Coklat

- Pasangan Simetris Simetris Simetris

- Bentuk Bulat Bulat Bulat, reguler

11. Pupil

- Ukuran Ø 4 mm Ø 4 mm Pada ruangan dengan cahaya

cukup, N= Ø 3-5 mm

- Bentuk Bulat Bulat Isokor

- Tempat Sentral Sentral Sentral

- Tepi Reguler Reguler Dbn

- Reflek direct + + Dbn

- Reflek indirect + + Dbn

Page 14: Refleksi Kasus Pterygium

12. Lensa

- Ada/tidak Ada Ada Dbn

- Kejernihan Jernih Jernih Jernih

- Letak Sentral, belakang iris

Sentral, belakang iris

Dbn

- Warna kekeruhan Jernih Jernih Jernih

13. Corpus vitreum Jernih Jernih Jernih

14. Reflek Fundus + + Cemerlang

Page 15: Refleksi Kasus Pterygium

OD OS- Mata tenang- Visus 6/12- Konjungtiva bulbi tenang- Limbus arcus senilis (-)- Kornea permukaan licin - Proyeksi sinar baik- Persepsi warna baik

- Mata tenang- Visus 6/21- Konjungtiva bulbi tampak selaput putih berbentuk segitiga +/- 1 cm di bagian nasal, hiperemis (+)- Limbus tampak selaput putih pada tepi limbus bagian nasal- Kornea permukaan terdapat selaput putih berukuran +/- 1 mm di bagian nasal dari limbus- Proyeksi sinar baik- Persepsi warna baik

Kesimpulan Pemeriksaan

Page 16: Refleksi Kasus Pterygium

◦ Pseudopterygium ◦ Pingueculae ◦ Squamous cell carcinoma of the conjunctiva

Deferensial Diagnosis

Diagnosis OS : Pterygium stadium II

Page 17: Refleksi Kasus Pterygium

Air mata buatan : Lyteers 4 x gtt OS Kortikosteroid : Tobroson 6 x gtt OS

Penatalaksanaan

Page 18: Refleksi Kasus Pterygium

Apakah yang dimaksud dengan pterygium dan apakah faktor risiko dan bagaimana patofisiologinya?

Bagaimana klasifikasi pterygium dan bagaimana penegakan diagnosis pterygium?

Penatalaksanaan apa yang dapat diberikan untuk pasien dengan pterygium? Bagaimana komplikasi dan prognosis pterygium?

Masalah yang Dikaji

Page 19: Refleksi Kasus Pterygium

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “pteron” yang artinya sayap.

Pterygium adala pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya billateral di sisi nasal

Pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang terjadi pada pterygium bersifat degeneratif dan invasif.

Pterygium mudah meradang, bila terjadi iritasi, bagian pterygium akan berwarna merah.

Definisi Pterygium

Page 20: Refleksi Kasus Pterygium

Anatomi Lensa

Page 21: Refleksi Kasus Pterygium

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain.

Ultraviolet B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-beta dan VEGF (vascular endotelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.

Patofisiologi Pterygium

Page 22: Refleksi Kasus Pterygium

Pterygium lebih banyak terjadi di daerah iklim panas dan kering

Paparan ultraviolet, mikrotrauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus

Radiasi sinar UV

Mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan atau kekeringan

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.

Faktor Risiko

Page 23: Refleksi Kasus Pterygium

Berdasarkan Tipe • Nuklear• Tipe I • Tipe II • Tipe III

Berdasarkan Stadium • Stadium I • Stadium II • Stadium III• Stadium IV

Klasifikasi Pterygium

Page 24: Refleksi Kasus Pterygium

Berdasarkan Perjalanan Penyakit

• Pterygium Progressif • Pterygium Regresif

Berdasarkan Stadium

• T1 • T2• T3

Klasifikasi Pterygium

Page 25: Refleksi Kasus Pterygium
Page 26: Refleksi Kasus Pterygium

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali.

Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada beda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Manifestasi Klinis

Page 27: Refleksi Kasus Pterygium

Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair dan gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja diluar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Terdapat dua kelompok gejala klinis yaitu: Proliferasi minimal dan penampilan yang relatif atopik. Pada

kelompok dengan gejala ini, pterygium tumbuh lebih rata dan lebih lambat, serta insidensi yang lebih rendah pascaoperasi.

Pertumbuhan yang cepat, komponen fibrovaskular yang meninggi. Pterygium tampak lebih agresif dan angka rekurensi pascaoperasi yang cukup tinggi.

Diagnosis Pterygium - Anamnesis

Page 28: Refleksi Kasus Pterygium

Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva.

Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium avaskular dan flat.

Pterygium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.

Pemeriksaan Fisik

Page 29: Refleksi Kasus Pterygium

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.

Pemeriksaan Penunjang

Page 30: Refleksi Kasus Pterygium

KONSERVATIF Penanganan pterygium pada tahap awal

adalah berupa tindakan konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops, serta pemberian kortikosteroid anti inflamasi jika gejala semakin sering.

Penatalaksanaan

Page 31: Refleksi Kasus Pterygium

OPERATIF Menurut Ziegler:

◦ Mengganggu visus◦ Mengganggu pergerakan bola mata ◦ Berkembang progresif ◦ Mendahului suatu operasi intraokuler ◦ Kosmetik

Menurut Guilermo Pico: ◦ Progresif, resiko rekurensi > luas◦ Mengganggu visus ◦ Mengganggu pergerakan bola mata ◦ Masalah kosmetik◦ Didepan apeks pterygium terdapat Grey Zone ◦ Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat◦ Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Penatalaksanaan

Page 32: Refleksi Kasus Pterygium
Page 33: Refleksi Kasus Pterygium

◦ Bare sclera◦ Simple closure◦ Sliding flap◦ Rotational flap◦ Conjungtival graft◦ Amniotic membran transplantation

Teknik Operasi Pterygium

Page 34: Refleksi Kasus Pterygium

Preoperatif◦ Astigmatis, kemerahan, iritasi, bekas luka kronis, keterlibatan

otot ekstraokular Intraoperatif

◦ Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan.

Pascaoperatif◦ Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut

kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus, dan ablasio retina. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea. Pterigium rekuren.

Komplikasi

Page 35: Refleksi Kasus Pterygium

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

Prognosis

Page 36: Refleksi Kasus Pterygium

Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

Cason, John B., Amniotic Membrane Transplantation.[online] 2007. [cited 2015 September 14]. Available from http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

Ilyas S., 2008. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Jerome P. Fisher, Pterygium. [online]. 2011. [cited 2015 September 14]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In: Opthalmology a Pocket Textbook Atlas. New York: Thieme Stutgart.2000

Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy o Opthalmology. 2008. P.8-13, 366

Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2007, Ofalmologi Umum, Edisi ke -17, Widya Medika, Jakarta.

Referensi