REFLEKSI KASUS

24
REFLEKSI KASUS CHOLELITHIASIS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. SA Umur : 46 tahun Jenis kelamin : Perempuan B. KASUS Os datang dengan keluhan muntah-muntah ke RS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien juga mengeluh demam, menggigil (-), berkeringat banyak, pusing, lemes, nyeri ulu hati dan nyeri perut kanan atas. Nyeri datang tidak menentu dan berkurang setelah makan namun tidak selalu, terkadang nyeri dirasakan memberat hingga pasien diberi suntik analgetik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan murphy’s sign (+), sklera ikterik. Hasil USG menunjukkan cholelithiasis. C. PEMBAHASAN Pada pembahasan refleksi kasus ini akan dibahas tentang penegakan diagnosis cholelithiasis. 1. Definisi Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi.

Transcript of REFLEKSI KASUS

Page 1: REFLEKSI  KASUS

REFLEKSI KASUS

CHOLELITHIASIS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SA

Umur : 46 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

B. KASUS

Os datang dengan keluhan muntah-muntah ke RS dengan keluhan muntah-muntah

sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien juga mengeluh demam, menggigil (-), berkeringat

banyak, pusing, lemes, nyeri ulu hati dan nyeri perut kanan atas. Nyeri datang tidak

menentu dan berkurang setelah makan namun tidak selalu, terkadang nyeri dirasakan

memberat hingga pasien diberi suntik analgetik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

murphy’s sign (+), sklera ikterik. Hasil USG menunjukkan cholelithiasis.

C. PEMBAHASAN

Pada pembahasan refleksi kasus ini akan dibahas tentang penegakan diagnosis

cholelithiasis.

1. Definisi

Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan

dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang

memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Cholelithiasis lebih sering

dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan

memiliki factor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang

terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm.

Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat

menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan

collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior

Page 2: REFLEKSI  KASUS

hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi

ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati

dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus

yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus

hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus

vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan

permukaan visceral hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica

kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah

arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung

empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang

terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi

lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi

lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus

coeliacus. 

Gambar Anatomi vesica fellea.

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50

ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk

membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu

sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang

tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

Page 3: REFLEKSI  KASUS

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.

Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.

Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum

mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus

yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke

duodenum. 

Pengosongan Kandung Empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung

empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam

duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa

duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung

empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung

distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya

empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan

empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu

pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan

oleh dua hal yaitu: 

a. Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum

akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.

Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

b.  Neurogen:

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi

cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan

menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum

dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung

empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Page 4: REFLEKSI  KASUS

3. Etiologi

Batu empedu kolesterol, pigmen hitam dan coklat memiliki patogenesis dan

faktor resiko yang berbeda. Di Amerika Serikat, batu kolesterol hampir 75%

sampai 80% dari semua cholelithiasis. Batu kolesterol mengandung 50-90%

kolesterol dari total berat badan. Dari analisis beberapa batu, ada yang miskin

kolesterol. Garam kalsium pigmen bilirubin, karbonat dan protein terkandung

dalam batu. Faktor resiko pembentukan batu empedu meliputi obesitas, penurunan

berat badan mendadak, trauma tulang belakang, jenis kelamin wanita lebih

beresiko, paritas dan penggunaan estrogen. Batu pigmen dikategorikan batu hitam

dan coklat tergantung komposisi kimia dan penampakan batu. Batu ini juga

dibedakan berdasarkan patogenesis dan manifestasi klinisnya.

Tiga faktor utama dalam pembentukan batu kolesterol antara lain perubahan

komposisi empedu hepar, pembentukan inti kolesterol dan gangguan fungsi

kandung empedu.

Peranan infeksi – walaupun infeksi dikatakan menjadi faktor penting dalam

pembentukan batu kolesterol, DNA bakteri ditemukan dalam batu ini. Secara

konsep, bakteri mungkin terdekonjugasi dalam garam empedu selama absorpsi dan

penurunan kelarutan kolesterol. Infeksi bilier berperan dalam pembentukan batu

pigmen coklat, mayoritas mengandung bakteri pada pemeriksaan dengan

mikroskop elektron.

Umur – peningkatan prevalensi cholelithiasis secara bermakna tiap tahunnya,

kemungkinan peningkatan isi kolesterol dalam empedu. Pada umur 75 tahun, 20%

laki-laki dan 35% wanita memiliki cholelithiasis. Cholelithiasis kedua batu pigmen

dan tipe kolesterol sudah dilaporkan pada anak.

Genetik – pasien dengan cholelithiasis secara relatif frekuensi batu meningkat

dua sampai empat kali, tidak tergantung pada umur, berat badan dan diet mereka.

Alel apoE4 lipoprotein E memiliki predisposisi pembentukan batu kolesterol.

Frekuensi apoE4 lebih tinggi pada pasien dengan riwayat kolesistektomi

dibandingkan penderita tanpa batu empedu. Adanya apoE4 memiliki prediksi

kekambuhan batu secara cepat setelah litotripsi. Mekanisme ini masih belum jelas

walaupun apolipoprotein E mungkin memainkan peranan absorpsi lipid diet,

transport dan distribusi ke jaringan. ApoE4 tidak dihubungkan dengan

pembentukan cholelithiasis baru selama kehamilan.

Page 5: REFLEKSI  KASUS

Obesitas – sindrom metabolik pada obesitas, resistensi insulin, diabetes

mellitus tipe II, hipertensi dan hiperlipidemia erat kaitannya dengan peningkatan

sekresi kolesterol hepar dan merupakan faktor resiko pembentukan batu kolesterol.

Biasanya terjadi pada wanita dengan umur kurang dari 50 tahun. Obesitas erat

kaitannya dengan peningkatan sintesis kolesterol. Tidak ada perubahan yang

konsisten pada volume kandung empedu post prandial. Pola makan (2100 kJ per

hari) bisa menghasilkan cairan empedu dan pembentukan batu empedu simtomatis

pada individu dengan obesitas. Sejumlah kecil lemak dalam diet untuk menjaga

pengosongan kandung empedu dapat menurunkan resiko pembentukan batu

empedu. 

Diet – peningkatan diet kolesterol meningkatkan kolesterol empedu tetapi

tidak ada data epidemiologi dan pola makan yang memaparkan asupan kolesterol

dengan cholelithiasis.

Sirosis hepatis – sekitar 30% pasien sirosis menderita cholelithiasis. Resiko

pembentukan cholelithiasis sangat berhubungan kuat dengan sirosis Child’s grade

C dan sirosis alkoholik dengan insiden tiap tahunnya 5%. Mekanismenya masih

belum jelas. Semua pasien dengan penyakit hepatoseluler menunjukkan derajat

hemolisis yang bervariasi. Walaupun sekresi asam empedu menurun, batu yang

terbentuk biasanya merupakan batu pigmen hitam. Phospolipid dan sekresi

kolesterol juga menurun sehingga empedu tidak tersaturasi.

Tipe dan Komposisi Batu Empedu

Secara normal, empedu terdiri atas 70% garam empedu (terutama cholic dan

asam chenodeoxycholic), 22% pospholipid (lechitin), 4% kolesterol, 3% protein

dan 0,3% bilirubin. Terdapat tiga tipe utama batu empedu antara lain batu

kolesterol, pigmen hitam dan pigmen coklat. Di negara barat lebih banyak

ditemukan batu kolesterol. Walaupun batu ini predominan terdiri atas kolesterol

(51-99%), diantara semua tipe, memiliki komponen kompleks dan mengandung

proporsi yang bervariasi dari kalsium karbonat, fosfat, bilirubinate, dan palmitat,

fospolifid, glikoprotein dan mukopolisakarida. Batu pigmen hitam terdiri atas 70%

kalsium bilirubinat dan lebih banyak terjadi pada pasien dengan anemia hemolitik

dan sirosis. Batu pigmen coklat jarang terjadi, dibentuk dalam saluran empedu

intrahepatik dan ekstrahepatik sama halnya yang terjadi pada kandung empedu.

Page 6: REFLEKSI  KASUS

Batu pigmen coklat dibentuk dari stasis dan infeksi dalam sistem empedu oleh

bakteri E. coli dan Klebsiella spp. 

4. Patofisiologi

Sekitar 75% pasien, batu empedu terdiri atas kolesterol, dan sisanya

merupakan batu pigmentasi yang terutama mengandung bilirubin tidak

terkonjugasi. Secara normal, kolesterol tidak mengendap dalam empedu, karena

mengandung garam empedu terkonjugasi dan phosphatidylcholine secukupnya

dalam bentuk micellar solution. Jika rasio konsentrasi kolesterol : garam empedu

dan  phosphatidylcholine meningkat, kelebihan kolesterol dalam batas minimal,

kejenuhannya akan meningkat (supersaturasi) dalam larutan lumpur. Adanya

supersaturasi oleh peningkatan rasio kolesterol, akan menyebabkan hepar

mensekresi kolesterol konsentrasi tinggi sebagai inti vesikel unilamelar dalam

kandung empedu dimana phosphatidylcholine menjadi kulit luar pembungkus

vesikel dengan diameter 50-100 nm. Jika jumlah kandungan kolesterol relatif

meningkat, vesikel multilamelar akan terbentuk (diameter melebihi 1000 nm).

Vesikel-vesikel ini tidak stabil dan mengendap lingkungan cairan dalam bentuk

kristal kolesterol. Kristal kolesterol ini merupakan prekursor batu empedu.

Penyebab penting peningkatan rasio kolesterol : garam empedu dan

phosphatidylcholine adalah:

1. Peningkatan sekresi kolesterol, baik oleh karena peningkatan sintesis kolesterol

(peningkatan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl [HMG]-CoA-kolesterol

reduktase) ataupun penghambatan esterifikasi kolesterol seperti progesterone

selama kehamilan

2. Penurunan sekresi garam empedu oleh karena penurunan simpanan garam empedu

pada penyakit Crohn’s atau setelah reseksi ataupun selama puasa dan nutrisi

parenteral

3. Penurunan sekresi phosphatidylcholine sebagai penyebab batu kolesterol

ditemukan pada wanita Chili yang hidup hanya memakan sayuran.

Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang

memberikan warna hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga mengandung

kalsium karbonat dan fosfat, dimana batu coklat juga mengandung stearat, palmitat

Page 7: REFLEKSI  KASUS

dan kolesterol. Peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi pada empedu, yang

dipecahkan hanya dalam micelles, ini merupakan penyebab utama pembentukan

batu empedu, dimana  normalnya mengandung hanya 1-2% dalam empedu.

Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi

adalah meningkatnya pemecahan hemoglobin seperti pada anemia hemolitik, yang

mana terdapat banyak bilirubin yang akan mengalami proses konjugasi dengan

perantara enzim glukorunidase dalam hepar, ditemukan kelainan sebagai berikut:

Penurunan kapasitas konjugasi dalam hepar seperti pada sirosis hepar

Dekonjugasi non-enzimatik bilirubin dalam empedu khususnya monoglukoronat

Dekonjugasi enzimatik (β-glucosidase) oleh bakteri.

Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu sehingga

terjadi pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam presipitat

sebagai garam kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme pertama diatas,

mengandung komponen tambahan, kalsium karbonat dan fosfat, inilah yang akan

menurunkan kapasitas keasaman dalam kandung empedu.

Kandung empedu, dimana komponen spesifik (kolesterol, garam empedu,

phoshatidylcholine) terkonsentrasi dalam waktu yang lama keterikatan dalam air,

juga merupakan bagian penting dalam pembentukan batu empedu. Gangguan

pengosongan kandung empedu bisa menjadi salah satu penyebab baik karena

insufisiensi CCK (tidak ada asam lemak bebas yang dilepaskan dalam lumen pada

insufisiensi pancreas) sehingga rangsangan kontraksi ke kandung empedu

melemah, ataupun karena vagotomy nonselektif tidak terdapat sinyal kontraksi dan

asetilkolin. Kontraksi kandung empedu melemah juga pada keadaan kehamilan.

Saat itu menjadi waktu yang sangat cukup terjadi endapan kristal untuk

membentuk batu yang besar. Peningkatan sekresi mukus (dirangsang oleh

prostaglandin) bisa memicu peningkatan jumlah inti kristalisasi.

Konsekuensi yang mungkin terjadi pada cholelithiasis adalah kolik. Jika

terjadi penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan

meningkat dalam saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah

Page 8: REFLEKSI  KASUS

sumbatan menyebabkan nyeri viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan

penyebaran nyeri ke punggung dan disertai muntah.

5. Gejala Klinis

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pasien

dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien

dengan komplikasi batu empedu. Sedangkan dilihat dari tahapan penyakitnya,

dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium litogenik, dimana kondisi yang

memungkinkan terbentuknya batu; batu empedu asimtomatis; episode kolik biliaris

dan cholelithiasis terkomplikasi. Gejala dan komplikasi cholelithiasis merupakan

efek yang terjadi dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung

empedu ke saluran duktus biliaris komunis.

Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu

diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien

dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50%

pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mendapat

komplikasi. Pada pasien cholelithiasis asimtomatis ditemukan secara insidental.

Pada kebanyakan kasus cholelithiasis asimtomatis tidak memerlukan penanganan.

Kolik bilier – kolik bilier timbul secara episodik, nyeri hebat, berlokasi di

epigastrium atau di kuadran kanan atas. Nyeri ini menyebar ke belakang atau

daerah punggung kanan tetapi biasanya tidak fluktuatif, sebagaimana istilah kolik

pada umumnya. Nyeri ini mula-mula timbul secara tiba-tiba di daerah epigastrium

atau kuadran kanan atas dan menyebar di sekitar punggung tepatnya di

interskapula. Secara umum, nyeri timbul secara cepat, kurang dari 30 menit sampai

3 jam, dan secara berangsur-angsur mereda. Kolik bilier benigna tidak

berhubungan dengan demam, leukositosis atau tanda peritoneal akut. Adanya

gejala ini atau nyeri bilier lebih lama dari 4 sampai 6 jam, kemungkinan

kecurigaan kolekistitis akut. Kolik bilier timbul akibat desakan batu empedu pada

duktus kistikus selama kontraksi kandung empedu, peningkatan tekanan dinding

kandung empedu. Konstraksi kandung empedu ini timbul akibat pelepasan

kolekistokinin yang dirangsang oleh diet lemak.  Pada kebanyakan kasus, obstruksi

akan kembali ke relaksasi kandung empedu dan nyeri akan mereda. Nyeri bersifat

konstan dan tidak ditimbulkan oleh muntah, antasid, defekasi atau perubahan

posisi. Nyeri ini diikuti oleh mual dan muntah.

Page 9: REFLEKSI  KASUS

 

Gejala komplikasi – kolesistitis akut maupun kronis terjadi bila batu

menyumbat dan terjepit dalam duktus kistikus menyebabkan kandung empedu

menjadi distensi dan inflamasi progresif. Pasien akan merasakan nyeri kolik

biliaris tetapi secara spontan hilang timbul dan kadang akan memberat.

Pertumbuhan koloni bakteri yang banyak pada kandung empedu sering terjadi, dan

pada kasus yang berat, akumulasi pus dalam kandung empedu yang dikenal dengan

empiyema kandung empedu. Dinding kandung empedu akan menjadi nekrotik

kemudian timbul perforasi dan abses polikistik. Kolekistitik akut merupakan

kedaruratan bedah, walaupun nyeri dan inflamasi dapat ditangani secara

konservatif seperti dengan hidrasi dan antibiotik. Jika serangan akut timbul secara

spontan, inflamasi kronis berubah berlangsung lama dengan eksaserbasi akut.

Fistula biliaris interna atau fistula kolekistoenterik merupakan komplikasi

penyerta migrasi batu empedu akut atau biasanya kronis. Batu kandung empedu

dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal.

Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran

cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

6. Diagnosis

Anamnesis

Setengah sampai dua pertiga penderita cholelithiasis adalah asimtomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di

daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya

adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang baru

menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan

tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa

nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi cholelithiasis,

keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

Page 10: REFLEKSI  KASUS

Pemeriksaan Fisik

Batu kandung empedu – apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan

dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,

hidrop kandung empedu, empiyema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada

pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak

anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah

sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang

tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

Batu saluran empedu – batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam

fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar

bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan

saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium – batu kandung empedu yang asimtomatik

umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila

terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.

Tes laboratorium sangat membantu, tetapi memberikan hasil yang tidak

spesifik untuk diagnosis cholelithiasis. Karena pasien dengan cholelithiasis tidak

menimbulkan gejala atau sering asimptomatik sehingga hasil tes laboratorium

normal berarti tidak ditemukan kelainan. Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah

yaitu bilirubin, tes fungsi hati, dan enzim pankreatik. Hasil yang diperoleh,

diantaranya : 

Meningkatnya serum kolesterol.

Meningkatnya fosfolipid.

Menurunnya ester kolesterol.

Meningkatnya protrombin serum time

Tes fungsi hati ; meningkatnya bilirubin total lebih dari 3mg/dL,

transaminase (serum glumatic-pyruvic transaminase dan serum glutamic-

oxaloacetic transaminase) meningkat pada pasien choledocholithiasis dengan

komplikasi cholangitis, pankreatitis atau keduanya.

Pemeriksaan Radiologis

Page 11: REFLEKSI  KASUS

Manfaat pemeriksaan radiologi intervensional, diantaranya :

Digunakan pemeriksaan endoscopic retrograde cholangiopancreatography dan

percutaneous transhepatic cholangiography.

Radiologi intervensional memiliki keakuratan yang sangat tinggi untuk mendeteksi

cholelithiasis dan sebagai akses dalam memberikan terapi.

Merupakan suatu tatacara yang invasif dengan risiko terjadinya pankreatitis,

hemoragik dan sepsis.

Ultrasonografi

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding

kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh

peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal

kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG

punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih

jelas daripada dengan palpasi biasa.

Pelebaran saluran empedu merupakan tabung (tubulus) yang anekoik (cairan)

dengan dinding hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-

kadang berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena

porta. Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan

akustik (acoustic enhancement). Bila kita ragu-ragu apakah suatu

duktus choledochus melebar atau tidak, maka pemeriksaan dilakukan setelah

penderita diberi makan lemak terlebih dahulu. Pada keadaan obstruksi

duktus choledochus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih lebar;

sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, di mana elastisitas dinding

saluran sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil. Prosedur ini

akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam

harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadaan distensi.

Page 12: REFLEKSI  KASUS

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas

karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.

Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium

tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung

empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai

massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam

usus besar, di fleksura hepatica.

Computed Tomography (CT)

Batu ginjal dengan kalsifikasi memberikan gambaran yang khas pada

pemeriksaan CT scan tapi tidak jelas menggambarkan batu ginjal tanpa kalsifikasi.

Komplikasi seperti sumbatan saluran empedu dan kolesistitis juga dapat

terlihat pada pemeriksaan ini tapi USG merupakan tes investigasi yang utama.

Pemeriksaan Cholecystography

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada

keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi

pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat

mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian

fungsi kandung empedu.

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP terutama digunakan untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit-

penyakit saluran empedu termasuk batu empedu. Sampai saat ini, endoscopic

retrograde cholangiopancreatography (ERCP) menjadi kriteria standar untuk

diagnosis dan terap. Karena ERCP merupakan pedoman tehnik diagnostik untuk

visualisasi lithiasis traktus biliaris. Bagaimanapun ini merupakan teknik yang

invasif dan dihubungkan dengan kelahiran maupun kematian.

Page 13: REFLEKSI  KASUS

ERCP merupakan kombinasi antara sebuah endoskopi (panjang,fleksibel, pipa

bercahaya) dengan prosedur fluoroskopi yang menggunakan sinar X pada biliaris

memberikan efek yang sama seperti MRCP, tetapi keuntungan yang didapatkan

pada sesuai dengan prosedur terapi seperti sfingterotomi dengan pengangkatan batu

dan penempatan biliaris. ERCP dikerjakan dengan menyuntikkan bahan kontras di

bawah fluoroskopi melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati. Ini

penting, keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu,

bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan

menempatkan eksternal dan internal drainage stents dapat dikerjakan secara

perkutan.

Pemeriksaan ERCP memerlukan waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam.

Sebaiknya untuk prosedur yang aman dan akurat, perut dan duodenum harus

dikosongkan. Tidak boleh makan atau minum apapun setelah tengah malam

sebelum malam melakukan prosedur, atau untuk 6 hingga 8 jam sebelumnya,

tergantung dari waktu sesuai dengan prosedur dan juga operator harus mengetahui

adanya alergi atau tidak, khususnya terhadap iodine.

7. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain :

Kolesistektomi terbuka – operasi ini merupakan standar terbaik untuk

penanganan pasien dengan cholelithiasis simtomatik. Komplikasi yang paling

bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%

pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.

Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,

diikuti oleh kolesistitis akut.

Kolesistektomi laparaskopi – indikasi awal hanya pasien dengan cholelithiasis

simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya

pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan

kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledukus. Secara teoritis,

keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat

Page 14: REFLEKSI  KASUS

mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat

cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang

belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan

insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih

sering pada kolesistektomi laparaskopi.

Disolusi medis – masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah

digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat

disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.

Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa

disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini

dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.

Disolusi kontak – meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut

kolesterol yang poten seperti metil-ter-butil-eter (MTBE) ke dalam kandung

empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam

melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan

kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) – sangat populer digunakan

beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan

bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

Kolesistotomi – dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan disamping

tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama

untuk pasien yang sakitnya kritis.

Page 15: REFLEKSI  KASUS

Referensi

Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. London: BMJ Books; 2001.

Douglas M Heuman, MD, FACP, FACG, AGAF; Chief Editor: Julian Katz, MD. Cholelithiasis, available from http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview#showall Last update November 11 2011 (diakses tanggal 26 Februari 2012)

Lesmana L. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.

Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed.

Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Billiary System. 11 th ed. Oxford: Blacwell Science; 2002.

Silbernagl S, Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme Stuttgart; 2000.

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.

Yogyakarta, 27 Februari 2012

dr. Yunada H.R. SpB-KBD