long case devina.docx

37
BAB I LAPORAN KASUS PANJANG 1. IDENTITAS 1.1. Identitas Penderita Nama penderita : An. D Umur : 10 Tahun Jenis kelamin : Laki-laki No. CM : 384278 Bangsal : Dahlia / III Tanggal Masuk : 30/06/14 Tanggal keluar : 3/07/17 1.2. Identitas Orang Tua Penderita Nama Ayah : Tn. P Umur : 35 tahun Pendidikan : SMP Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Islam Alamat : Karangsari Rt.03 Rw.04 Kendal Nama Ibu : Ny. R Umur : 34 tahun

Transcript of long case devina.docx

BAB I

LAPORAN KASUS PANJANG

1. IDENTITAS

1.1. Identitas Penderita

Nama penderita : An. D

Umur : 10 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

No. CM : 384278

Bangsal : Dahlia / III

Tanggal Masuk : 30/06/14

Tanggal keluar : 3/07/17

1.2. Identitas Orang Tua Penderita

Nama Ayah : Tn. P

Umur : 35 tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Alamat : Karangsari Rt.03 Rw.04 Kendal

Nama Ibu : Ny. R

Umur : 34 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Alamat : Karangsari Rt.03 Rw.04 Kendal

2. ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan 30 Juni 2014 jam 12.00 WIB.

2.1. Keluhan utama : Buang Air Besar terus menerus

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD mengeluh sejak tadi malam buang air

besar secara terus menerus >3 kali. Buang air besar berbentuk encer,

tidak ada ampas, volumenya sedikit-sedikit kira kira 1/4 gelas blimbing

disertai lendir dan ada bercak darah merah segar. Pasien juga mengeluh

kesakitan saat ingin BAB pada perut bagian bawah. Pasien sebelumnya

mengalami demam sejak 2 hari SMRS, batuk (-), mual (+), muntah (+),

BAK normal, nafsu makan dan minum normal. Sebelum kejadian ini

pasien mangaku tidak mengkonsumsi makanan atau minuman

sembarangan.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengalami penyakit

seperti ini sebelumnya. Riwayat alergi obat (-)

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga dengan

keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat Hipertensi : (-) DM (-)

2.5. Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah bekerja

wiraswasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Penderita tinggal

bersama ayah, ibu, dan adiknya. Biaya pengobatan dengan Jamkesmas.

Kesan : Riwayat sosial ekonomi kurang.

2.6. Riwayat Pemeliharaan Prenatal

Pemeriksaan kehamilan : 4 x ke bidan

Penyakit kehamilan : Disangkal

Perdarahan selama kehamilan : Disangkal

Obat selama kehamilan : Vitamin

Imunisasi selama kehamilan : 2 kali suntik TT

Kesan : Pemeliharaan prenatal baik

2.7. Riwayat Kelahiran

Persalinan : Lahir ditolong bidan

Jenis Persalinan : Spontan

Usia dalam kandungan : 9 bulan

Berat badan lahir : 2700

Panjang badan : 44 cm

2.8. Riwayat Imunisasi Dasar

BCG : 1x, umur 1 bulan

Polio : 4x, umur 0,2,4,6 bulan

DPT : 3x, umur 2,4,6 bulan

Campak : 1x, umur 9 bulan

Hepatitis B : 3x, umur 0,1,4 bulan

Kesan : Riwayat imunisasi dasar lengkap

2.9. Riwayat Gizi

ASI diberikan sejak lahir sampai kurang lebih usia 2 tahun. Sejak

usia 6 bulan pasien mulai diajarkan untuk makan. Makan pendamping

asal diberikan bubur dan pisang yang dihaluskan.

Sekarang pada usia 10 tahun penderita makan makanan keluarga.

Menu seadanya mengingat kebutuhan keluarga hanya dicukupi oleh

ayah penderita.

Status Gizi (Z-score)

Jenis Kelamin : laki-laki

Berat Badan : 23 kg

Panjang Badan : 125 cm

Usia : 10 tahun

Status gizi menurut Z-score = nilai real – nilai median

SD upper – SD lower

SD upper jika nilai real > nilai median

SD lower jika nilai real < nilai median

WAZ (BB/U) = 23 – 25,3 = 0,361 (Gizi Normal)

4,70

HAZ (TB/U) = 125 – 127,0 = -0,37 (Normal)

5,40

WHZ (BB/TB) = 27 – 24,5 = 0,86 (Normal)

2,9

Kesan : Status gizi baik

2.10. Riwayat perkembangan

Senyum : Usia 2 bulan

Miring : Usia 3 bulan

Tengkurap : Usia 4 bulan

Duduk dengan dibantu : Usia 5 bulan

Merangkak : Usia 6 bulan

Berdiri : Usia 7 bulan

Berjalan : 15 bulan

Kesan : Riwayat perkembangan dalam batas normal.

3. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 30 Juni 2014 jam 12.15 WIB di bangsal Dahlia / III RSUD Dr. H.

Soewondo Kendal.

Status Present

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 10 tahun

Berat Badan : 23 kg

Panjang Badan : 135 cm

Tanda Vital

Nadi : 92 x / menit, irama regular, isi cukup.

Suhu : 35,7 ºC (aksila)

Frekuensi Nafas : 24 x / menit

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sadar, lemah, status gizi baik.

Kepala : Mesocephal

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.

Mata : Palpebra simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis

(-/-), sklera ikterik (-/-).

Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.

Hidung : Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)

Mulut : Sianosis (-), tonsil bengkak (-)

Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-/-)

Thorax

Paru-paru

Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : Suara dasar : vesikuler

Suara tambahan : wheezing (+/+), ronkhi (+/+)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, linea

midclavicularis sinistra, kuat angkat (-), tidak

melebar.

Perkusi : Redup

Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri

Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri

Batas kiri : ICS V linea midclavicularis kiri

Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan

Auskultasi : Reguler, Suara jantung murni, gallop (-), bising (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), perut bagian bawah, massa

(-), hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Auskultasi : Peristaltic (+) normal

Genitalia : laki-laki, tidak ada kelainanEkstremitas

Pemeriksaan Superio

r

Inferior

Akral dingin -/- -/-

Reflek fisiologis +/+ N +/+ N

Reflek patologis -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Petekhie -/- -/-

4. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin (tanggal 01/07/14)

Hb : 11,3 g/dl

Ht : 33,7 %

Leukosit : 3.700 / ul

Trombosit : 169.000 /ul

Feses

Makroskopis

Warna : Coklat

Konsistensi : Lembek

Lendir : Negatif

Mikroskopis

Amoeba : Negatif

Telur cacing : Negatif

Sel Darah

Eritrosit : Positif

Leukosit : Positif

Bakteri : Negatif

Kimia Klinik

Natrium : 140,1 mmol/L

Kalium : 4,01 mmol/L

Calsium : 1,22 mmol/L

5. DIAGNOSIS BANDING

1 Disentri Amoeba

2 Diare Akut

3 Malabsorpsi

6. DIAGNOSIS SEMENTARA

Disentri Amoeba

7. PENATALAKSANAAN

- Infus RL 15 tpm

- Inj. Cefotaxime 3 x 500 mg

- Inj. Ranitidine 2 x 1/2 amp

- Inj. Metronidazole 3 x 400 mg

- Pamol syr 2 cth

- L-Bio 2 x 1 tab

- Onezinc 1 x ½ tab

8. PROGNOSIS

Qua ad vitam = ad bonam

Qua ad sanam = ad bonam

Qua ad fungsional = ad bonam

9. PERJALANAN PENYAKIT

Hari ke 1

(30/06/14)

Hari ke 2

(1/06/14)

Hari ke 3

(2/06/14)

Hari ke 4

(3/06/14)

Keluhan Panas (+),

batuk (-), pilek

(-), ma/mi

(+/+), , BAK

(+) BAB (+)

>5x cair(+),

lendir (+),

darah (+),

Panas (-), batuk

(-), pilek (-),

ma/mi (+/+), ,

BAK (+) BAB

(+) >3x cair(+),

lendir (-), darah

(-), ampas (+)

Panas (-), batuk

(-), pilek (-),

ma/mi (+/+), ,

BAK (+) BAB

(+) >3x cair(+),

lendir (+), darah

(-), ampas (+)

Panas (-),pilek

(-), ma/mi

(+/+), , BAK

(+) BAB (+)

2x lembek

lendir (+),

darah (-),

K U Sadar, lemah, Sadar, lemah, Sadar, aktif, Sadar, aktif,

status gizi baik status gizi baik status gizi baik status gizi baik

Vital sign HR = 92 x/mnt

RR = 24 x/mnt

T = 37,6 º C

HR = 88 x/mnt

RR = 20 x/mnt

t = 36,5 º C

HR = 94 x/mnt

RR = 28 x/mnt

t = 36,3 º C

HR = 90 x/mnt

RR = 24 x/mnt

t = 36,1 º C

PP Elektrolit

Na : 140,1

K : 4, 01

Cl : 1,32

DR

Leuko 3.700

Hb 11,3

Ht 33,7

Tr 169.000

Asseseme

nt

Disentri

Amoeba

Disentri

Amoeba

Disentri

Amoeba

Disentri

Amoeba

Terapi Inf.RL 15tpm

Inj. Cefotaxim

3x500 mg IV,

Inj. Ranitidine

2 x ½ amp,

Parasetamol

syr 2x1 cth,

diaform 3 x ½

cth

Inf.RL 15tpm

Inj. Cefotaxim

3x500 mg IV,

Inj. Ranitidine 2

x ½ amp, Inj.

Metronidazole

3 x 700 mg

Parasetamol syr

2x1 cth,

L-Bio 2 x 1 tab

OneZinc 1x1/2

Inf.RL 15tpm

Inj. Cefotaxim

3x500 mg IV,

Inj. Ranitidine 2

x ½ amp, Inj.

Metronidazole

3 x 400 mg

Parasetamol syr

2x1 cth,

L-Bio 2 x 1 tab

OneZinc 1x1/2

Parasetamol

syr 2x1 cth,

L-Bio 2 x 1 tab

OneZinc 1x1/2

Disentri Amoeba (Amoebiasis)

1. Definisi

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron

(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan

gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare berkonsistensi cair

dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lendir

(mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).2 Disentri merupakan

peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang

air besar dengan konsistensi cair secara terus menerus (diare) yang

bercampur dengan lendir dan darah.3 Disentri merupakan suatu infeksi

yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang

ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma disentri,

yakni:1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus,2) berak-

berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir.4

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang

dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC).

Di Bagian Penyakit Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-1992)

tercatat di catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat karena diare ada 16

kasus yang disebabkan oleh disentri basiler. Sedangkan hasil penelitian

yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998

sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat,

ditemukan 5% shigella.

Prevalensi amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10 persen

populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%).

Manusia merupakan host dan reservoir utama. Penularannya lewat

kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat,

kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral.

Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya

sanitasi individual mempermudah penularannya.

Di dunia setidaknya ditemukan kasus E.histolytica sebanyak 50

juta kasus setiap tahunnya dan ditemukan sekitar 100,000 kematian, hal ini

menunjukkan bahwa hanya 10-20% individual yang menimbulkan gejala

sehingga sering sekali tidak terdiagnosis. Insidensi kasus amoebiasis lebih

banyak ditemukan di Negara berkembang terutama sekitar India, Afrika

bagian selatan, Amerika Selatan dan daerah asia timur. Berkunjung ke

tempat endemis dapat menimbulkan resiko terinfeksi amoebiasis tetapi

amoebiasis jarang menyebabkan travelers diarrhea karena pada umumnya

timbul jika tinggal di daerah endemis tersebut lebih lama dari 1 bulan.

Amoebiasis dapat terjadi pada segala umur tetapi komplikasi

seperti abses hepar karena amoebiasis 10 kali lebih sering ditemukan di

orang dewasa dibandingkan anak-anak.

3. Etiologi

Penyebab disentri dibagi atas 2 bagian besar yaitu berdasarkan

penyebabnya yaitu bakteri dan amoeba.

- Disentri basiler

Disentri basiler disebabkan oleh kuman Shigella, s.p.. Shigella sendiri

adalah basil non motil gram negatif dalam family enterobacteriaceae.

Ada 4 spesies dari Shigella yaitu S. dysentriae, S. flexneri, S. bondii

dan S. sonnei. Karena kekebalan tubuh kita bersifat serotype spesifik

maka seseorang dapat terinfeksi lebih dari 1 kali dengan tipe yang

berbeda-beda. Genus ini dapat menginvasi sel epitel intestinal dan

menyebabkan infeksi yang dapat menimbulkan gejala ringan hingga

berat.

- Disentri amoeba

Disentri dapat juga disebabkan oleh amoeba atau yang sering disebut

amoebiasis. Pada umumnya disebabkan oleh Entamoeba histolytica

yang merupakan protozoa usus yang sering hidup menjadi

mikroorganisme apatogen di usus besar manusia. Apabila kondisi

seperti sistem imun yang rendah timbul, protozoa ini dapat menjadi

pathogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan

menembus dinding usus sehingga menyebabkan ulserasi. Siklus hidup

amoeba ini ada 2 bentuk yaitu bentuk trofozoit dan bentuk kista.

Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran

< 10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit

komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala

penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar

bersama tinja. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di

lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus

(ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri. Diameternya

lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm) dan

mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan

trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous

trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap

terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar

tubuh manusia. Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan

kista dewasa. Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista

bertanggung jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat

hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung

dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga kekeringan

akibat penyerapan air di sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit

berubah menjadi kista.

Siklus hidup dari E.histolytica adalah kista matur yang masuk secara oral

akan melalui proses excystation yang akan menjadi stadium trofozoit dimana lebih

aktif dan bermultiplikasi di usus besar dan menyebabkan ulserasi. Beberapa

trofozoit dapat menyebar ke ekstraintestinal dan menyebabkan abses di daerah

lain seperti hepar dan otak. Beberapa akan berkembang menjadi kista kembali dan

keluar melalui feses dan dapat menginfeksi orang lain kembali yang terpapar.

4. PatofisiologiAmoebiasis didapat dari rute fekal-oral melalui konsumsi dari makanan

atau air yang sudah terkontaminasi oleh amoeba. Setelah masuk ke saluran

cerna E.histolytica dalam bentuk kistanya akan melalui proses ekskistasi di

usus halus dan menginvasi usus besar dalam bentuk trofozoit. Masa

inkubasi nya dapat bermacam-macam dari 2 hari hingga 4 bulan. Proses

invasiv timbul saat penempelan E.histolytica ke dinding usus besar, setelah

proses penempelan maka trofozoit akan menginvasi epitel usus besar dan

membentuk lesi ulkus di daerah tersebut. Trofozoit akan melisiskan sel

target dengan menggunakan lectin untuk menempel dan protein parasitic

untuk menimbulkan kebocoran ion dari sitoplasma sel.

Penyebaran amoebiasis ke hepar terjadi melalui darah. Trofozoit

masuk ke pembuluh darah dan naik ke daerah hepar melalui vena porta

dan dapat memproduksi abses hepar yang dipenuhi oleh debris aselular.

Trofozoit ini juga dapat melisiskan hepatosit serta neutrofil sehingga dapat

timbul nekrosis dan dapat timbul daerah iskemik yang disebabkan oleh

obstruksi vena porta.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada disentri amoeba dapat berbeda-beda tergantung

atas proses invasi yang timbul serta penyebaran yang terjadi.

Carrier (Cyst passer)

Pasien dalam kondisi ini tidak akan timbul gejala apa pun,

hal ini disebabkan karena amoeba yang berada di lumen

usus besar tidak mengadakan proses invasi ke dinding usus

besar. Meskipun begitu seseorang dengan kondisi seperti

ini masih dapat menularkan ke orang lain melalui feses

yang mengandung kista dari E.histolytica.

Disentri amoeba ringan

Pasien dengan disentri amoeba ringan timbul gejalanya

akan perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluhkan perut

kembung, terkadang juga mengeluhkan nyeri perut ringan

yang hilang timbul. Diare yang timbul dapat 4 – 5 kali

sehari dengan tinja yang berbau busuk dan terkadang dapat

ditemukan lendir serta darah. Nyeri tekan yang dapat

timbul berdasarkan atas lokasi dimana ulkus tersebut

timbul. Keadaan umum pasien pada umumnya baik dengan

tanpa demam atau subfebris.

Disentri amoeba sedang

Keluhan serta gejala klinis yang timbul lebih berat

dibandingkan dengan disentri ringan tetapi pasien tetap

dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa gangguan. Pada

tinja sering ditemukan lendir serta darah. Pasien dapat

mengeluhkan demam, lemah, serta nyeri perut.

Disentri amoeba berat

Keluhan yang timbul akan lebih berat dimana akan timbul

diare yang lebih banyak dengan darah yang lebih banyak

juga. Dapat timbul demam tinggi serta rasa mual. Pada

kondisi ini juga sering ditemukan gejala anemia yang

disebabkan oleh hilangnya darah melalui saluran cerna.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat membantu kita untuk menegakkan diagnosis

amoebiasis lebih baik lagi dari sekedar hanya gejala klinis yang khas yaitu

tenesmus, nyeri abdomen, serta diare yang disertai lendir dan darah.

Pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah pemeriksaan tinja serta

pemeriksaan serologis. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan radiologis

maupun biopsi.

Pemeriksaan tinja

o Pada umumnya tinja pada penderita disentri amoeba akan

berbau busuk serta didapatkan darah serta lendir. Untuk

pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar,

terkadang perlu dilakukan pemeriksaan tinja berulang

hingga 3 kali dalam seminggu dan sebaiknya dilakukan

sebelum dilakukan pengobatan. Jika dilakukan pemeriksaan

tinja yang sudah berbentuk akan sulit ditemukan stadium

trofozoit sehingga perlu dicari stadium kista. Untuk melihat

inti dalam kista dapat menggunakan larutan lugol. Bila

jumlah kista sedikit dapat menggunakan larutan seng sulfat

yang menyebabkan kista terapung, serta eterformalin yang

akan mengendapkan kista yang ada. Untuk menemukan

stadium trofozoit diperlukan tinja yang segar dan

mengandung darah serta lendir. Jika tinja berdarah dapat

ditemukan juga trofozoit dengan sel eritrosit didalamnya.

Pemeriksaan serologis

o Serum antibody dapat ditemukan pada 70 – 90% dari

penderita amoebiasis dan lebih banyak ditemukan pada

penderita abses hepar yang disebabkan oleh E.histolytica.

Jika ditemukan hasil yang negatif perlu dilakukan

pemeriksaan ulang 1 minggu setelahnya. Meskipun begitu

pemeriksaan antibodi ini tidak dapat membedakan infeksi

sekarang atau dahulu karena dapat ditemukan hasil positif

hingga bertahun-tahun setelah infeksi akut.

o Pemeriksaan yang dilakukan adalah tes IHA (Indirect

Hemagglutination antibody) yang mendeteksi antibodi

spesifik terhadap E.histolytica dan titer lebih dari 1:256

ditemukan pada penderita amoebiasis ekstraintestinal yang

berarti lebih berat.

Pemeriksaan radiologis

o Pemeriksaan yang diunggulkan adalah USG untuk menilai

jika diduga sudah timbul abses hepar dengan cepat, efek

samping yang sedikit serta lebih murah. Jika memiliki

sarana seperti CT scan dapat ditemukan lesi yang ireguler

tanpa kapsul yang mengelilinginya.

Pemeriksaan laboratorium

o Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis tanpa

eosinophilia pada 80% kasus. Anemia ringan dapat

ditemukan juga. Jika sudah menyebar ke daerah hepar

maka akan ditemukan serum transaminase yang meningkat

dengan alkalin phosphatase yang meningkat sehingga ada

peningkatan serum bilirubin ringan. Sering ditemukan juga

laju endap darah yang meningkat.

Pemeriksaan biopsi (rektosigmoidoskopi/ kolonoskopi)

o Prosedur ini dilakukan jika ditemukan ulkus pada usus

besar jika dicurigai penyebabnya adalah amoeba. Indikasi

prosedur ini adalah seperti berikut.

Pemeriksaan tinja negatif dengan serum antibodi

yang positif

Pemeriksaan tinja negatif, tetapi diperlukan

diagnosis secepatnya

Pemeriksaan tinja dan serum negatif, tetapi dugaan

kuat amoebiasis

Evaluasi gejala intestinal kronik atau lesi masa

7. Diagnosis Banding

Hal yang perlu diperhatikan jika sudah ditemukan gejala-gejala disentri

adalah membedakan antara disentri ini disebabkan oleh bakteri (basiler)

atau amoeba, karena terapi yang diberikan akan berbeda. Selain itu pada

anak kecil juga sering ditemukan gejala diare berdarah yang disebabkan

oleh kuman Eschericiae coli.

Disentri amuba

Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang.

Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya

besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir.

Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus

yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol.

Disentri basiler

Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia,

tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil,

banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk

dilapisi lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang

ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial

ulseratif dan selaput lendir akan menebal.

8. Komplikasi

Komplikasi intestinal

- Perdarahan usus.

Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan

merusak pembuluh darah.

- Perforasi usus.

Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding

usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya

tinggi. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati

amoeba.

- Ameboma.

Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi

terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah

sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau

penyempitan usus.

- Intususepsi.

Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan

tindakan operasi segera.

- Penyempitan usus (striktura).

Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat

atau akibat ameboma.

Komplikasi ekstraintestinal

- Amebiasis hati.

Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering

terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun

sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat

embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang

lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang

merupakan stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal

kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu,

membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran darah vena

porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan.

Abses berisi nanah kental yang steril, tidak berbau, berwarna

kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang

rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning

kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.

- Abses pleuropulmonal.

Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang

lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini.

Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari

dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial

sehingga penderita batuk- batuk dengan sputum berwarna kecoklatan

yang rasanya seperti hati.

- Abses otak, limpa dan organ lain.

Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari

dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang

terjadi.

- Amebiasis kulit.

Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan

membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau

dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi

ameba yang berasal dari anus.

9. Tatalaksana

- Cairan dan elektrolit

Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan

rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi

akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu

diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang.

Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui

minuman atau pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita berangsur

sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan.

- Diet

Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5

kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.

- Pengobatan spesifik

Untuk kondisi disentri amoeba ini perlu dilakukan pengobatan yang

dapat membunuh stadium trofozoit serta mengeradikasi stadium kista

yang dapat menularkan serta dapat menimbulkan infeksi berulang.

Untuk pengobatan terhadap stadium trofozoit digunakan golongan

antibiotic serta antiprotozoa, Metronidazole sedangkan untuk

mengeradikasi kista yang berada di intraluminal adalah obat-obatan

seperti Paramomycin. Untuk kondisi amoebiasis ekstraintestinal seperti

abses hepar dapat digunakan obat-obatan seperti Dehydroemetine yang

hanya dapat memiliki efek di luar lumen usus, jadi masih perlu

diberikan obat-obatan yang dapat mengeradikasi infeksi amoeba

intraluminal.

Dosis yang diberikan untuk penggunaan metronidazole adalah 30

mg/kg/hari yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral yang

diberikan selama 5 sampai 10 hari. Sedangkan paramomycin diberikan

dengan dosis 25 -35 mg/kg/ hari yang dibagi menjadi 3 dosis dan

diberikan selama 7 hari.

- Pencegahan

Pencegahan sangat diperlukan terutama untuk mencegah penyebaran

infeksi dari carrier yang tidak memiliki gejala sama sekali.

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

Mencuci tangan setelah dari toilet serta setelah kontak dengan

orang yang terinfeksi amoebiasis

Mencuci tangan sebelum masak dan makan, merawat bayi serta

member makan anak kecil maupun orang lanjut usia

Membatasi kontak dengan seseorang yang menderita disentri

Mencuci pakaian dengan air panas

Menghindari berbagi handuk

Memasak air selama 5 menit dalam suhu 50 º C untuk

mematikan kista

10. Prognosis

Pada umumnya prognosis pasien dengan amoebiasis baik jika didiagnosis

dengan tepat dan diberikan terapi terhadap semua stadium secara cepat

untuk mencegah komplikasi yang dapat timbul. Prognosis lebih buruk

pada neonatus, ibu hamil, pengguna steroid, penderita keganasan dan

malnutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.

FKUI: Jakarta.

2. Pritt BS, Clark CG. Amebiasis. Mayo Clin Proc. Oct 2008;83(10):1154-9; quiz

1159-60.

3. Freedman DO, Weld LH, Kozarsky PE, et al. Spectrum of disease and relation to

place of exposure among ill returned travelers. N Engl J Med. Jan 12

2006;354(2):119-30.

4. Blessmann J, Van Linh P, Nu PA, et al. Epidemiology of amebiasis in a region of

high incidence of amebic liver abscess in central Vietnam. Am J Trop Med Hyg.

May 2002;66(5):578-83.

5. Hung CC, Ji DD, Sun HY, Lee YT, Hsu SY, Chang SY, et al. Increased risk for

Entamoeba histolytica infection and invasive amebiasis in HIV seropositive men

who have sex with men in Taiwan. PLoS Negl Trop Dis. Feb 27 2008;2(2):e175.

6. Muzaffar J, Madan K, Sharma MP, Kar P. Randomized, single-blind, placebo-

controlled multicenter trial to compare the efficacy and safety of metronidazole

and satranidazole in patients with amebic liver abscess. Dig Dis Sci. Dec

2006;51(12):2270-3.

7. Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF. Gender distribution in asymptomatic and

invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. May 2000;95(5):1277-83.

8. Rao S, Solaymani-Mohammadi S, Petri WA Jr, Parker SK. Hepatic amebiasis: a

reminder of the complications. Curr Opin Pediatr. Feb 2009;21(1):145-9.

9. Loulergue P, Mir O. Pleural empyema secondary to amebic liver abscess. Int J

Infect Dis. May 2009;13(3):e135-6.

10. Gonzales ML, Dans LF, Martinez EG. Antiamoebic drugs for treating amoebic

colitis. Cochrane Database Syst Rev. Apr 15 2009;CD006085.