Kecap Ikan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

24
1. HASIL PENGAMATAN Dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap kecap asin, diperoleh hasil pengamatan seperti pada Tabel 1. berikut Tabel 1. Hasil Pengamatan terhadap Kecap Ikan Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Salini tas (%) Penampa kan C1 Enzim Papain 0,4% ++++ +++ ++++ 3 ++ C2 Enzim Papain 0,8% +++ +++ +++ 2,5 ++ C3 Enzim Papain 1,2% +++ +++++ ++ 3,1 ++ C4 Enzim Papain 1,6% + +++ +++ 3 + C5 Enzim Papain 2,0% +++ ++++ +++++ 2,9 ++ C6 Enzim Papain 2,5% +++ +++ ++ 3,5 ++ Keterangan: Warna Rasa Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam ++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam +++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam Penampakan + : sangat cair ++ : cair +++ : agak kental ++++ : kental +++++ : sangat kental 1

description

Produk yang dihasilkan dari hidrolisa ikan melalui proses fermentasi secara enzimatis, kimiawi maupun dengan penambahan garam disebut sebagai kecap ikan. Secara fisik kecap ikan terlihat cair dan berwana kekuningan sampai coklat muda atau tua namun bening.

Transcript of Kecap Ikan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. HASIL PENGAMATANDari pengamatan yang telah dilakukan terhadap kecap asin, diperoleh hasil pengamatan seperti pada Tabel 1. berikut

Tabel 1. Hasil Pengamatan terhadap Kecap IkanKelPerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)Penampakan

C1Enzim Papain 0,4%+++++++++++3++

C2Enzim Papain 0,8%+++++++++2,5++

C3Enzim Papain 1,2%++++++++++3,1++

C4Enzim Papain 1,6%+++++++3+

C5Enzim Papain 2,0%++++++++++++2,9++

C6Enzim Papain 2,5%++++++++3,5++

Keterangan:WarnaRasaAroma+ : tidak coklat gelap+ : sangat tidak asin+ : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap++ : kurang asin++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap+++ : agak asin+++ : agak tajam++++ : coklat gelap++++ : asin++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap+++++ : sangat asin+++++ : sangat tajam

Penampakan+: sangat cair++: cair+++: agak kental++++: kental+++++: sangat kental

Dari Tabel 1. diatas dapat dilihat bahwakecap ikan berwarna sangat coklat gelap adalah kelompok 1 dengan perlakuan enzim papain 0,4%, sedangkan yang berwarna tidak coklat gelap terdapat pada kelompok 4 dengan perlakuan enzim papain 1,6%. Untuk rasa kecap asin yang sangat asin diperoleh kelompok 3 dengan perlakuan enzim papain 1,2%., sedangkan kecap asin dengan rasa yang agak asin diperoleh kelompok 1, 2, 4 dan 6 dengan perlakuan enzim papain secara berturut-urut yaitu 0,4%, 0,8%, 2% serta 2,5%. Aroma kecap asin yang sangat tajam diperoleh kelompok 5 dengan perlakuan enzim papain 2%, sedangkan kecap asin dengan aroma yang kurang tajam diperoleh kelompok 3 dan 6 dengan perlakuan enzim papain secara berturut-urut yaitu 1,2% dan 2,5%. Salinitas dari kecap asin yang paling tinggi diperoleh kelompok 6 dengan perlakuan enzim papain 2,5%, sedangkan salinitas kecap asin yang paling rendah diperoleh kelompok 2 dengan perlakuan enzim papain 0,8%. Selain itu penampakan kecp asin yang sangat cair terdapat pada kelompok 4 dengan perlakuan enzim papain 1,6%, sedangkan kenampakan kelompok 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 dengan perlakuan enzim papain masing-masing secara berurutan adalah 0,4%, 0,8%, 1,2%, 2% serta 2,5%.

17

2. 1

3. PEMBAHASAN

Berdasarkan bahan baku yang digunakan terdapat 2 jenis kecap yaitu kecap manis dan kecap asin. Bahan baku pembuatan kecap manis adalah kedelai atau kacang-kacangan, sedangkan bahan baku pembuatan kecap asin adalah ikan. Kecap asin atau kecap ikan termasuk dalam salah satu produk dari perikanan yang tradisional. Proses pembuatannya melalui fermentasi dari sari ikan sebagai produk sampingan yang sebenarnya tidak banyak dikonsumsi secara langsung (Afrianto & Liviawaty, 1989). Iskandar (1995) menambahkan bahwa proses pengolahan hasil laut seperti contohnya ikan bertujuan untuk memperbaiki cita rasa, tekstur, bau, penampakan serta memperpanjang dari umur simpan.

Afrianto & Liviawaty (1989) mengatakan bahwa produk yang dihasilkan dari hidrolisa ikan melalui proses fermentasi secara enzimatis, kimiawi maupu dengan penambahan garam disebut sebagai kecap ikan. Secara fisik kecap ikan terlihat cair dan berwana kekuningan sampai coklat muda atau tua namun bening. Hal tersebut berbeda dengan kecap manis yang terlihat kental dan berwarna merah kecoklatan. Pada umumnya kecap ikan memiliki rasa yang asin serta mengandung banyak nitrogen. Sehingga jumlah garam yang ditambahkan serta waktu yang dibutuhkan untuk melakukan fermentasi sangat mempengaruhi kualitas dari kecap ikan.

Olubunmi, et al. (2010) menambahkan bahwa suatu cairan yang mengandung garam tinggi dan protein yang telah mengalami degradasi atau penguraian menjadi asam amino bebas dan nitrogen disebut sebagai kecap ikan. Proses penguraian tersebut terjadi karena adanya proses enzimatik oleh enzim proteolitik yang ditambahkan dalam pembuatan kecap ikan. Sehingga pH dan suhu sangat mempengaruhi kualitas dari kecap ikan yang dihasilkan karena aktivitas enzim proteolitik bergantung pada suhu dan pH. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam jurnal, dari hasil uji proksimat diketahui bahwa kadar abu dan air mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Sedangkan penurunan konsentrasi terjadi pada protein karena adanya penguraian oleh enzim proteolitik.Kecap ikan biasanya dimanfaatkan untuk menambah rasa maupun dijadikan sebagai bahan untuk menggantikan penambahan garam pada masakan ataupun pada industri pengolahan pangan. Kandungan protein dalam kecap ikan seimbang dengan kandungan karbohidrat, meskipun garam yang tinggi pada kecap ikan akan membatasi kandungan gizinya (Ritthiruangdej& Thongchai, 2006). Murakami et al. (2009) menambahkan bahwa karena flavor yang kuat sehingga rasa asam dapat dikurangi, namun kecap ikan cukup susah dimanfaatkan banyak orang dalam makanan sebab aromanya yang kurang sedap. Kelemahan lain pada kecap ikan ialah kandungan Na, Fe dan EDTA yang jika terpapar sinar matahari akan menjadi tidak stabil. Sehingga perlu kemasan yang baik dan tahan terhadap sinar matahari.

Manfaat lain dari kecap ikan ialah dapat mengurangi resiko kerusakan hati bagi yang mengonsumsinya. Sebab kinerja hati dapat diatur dengan baik oleh protein yang tinggi dalam kecap ikan. Selain itu karena protein ikan memiliki daya kecernaan yang cukup tinggi yaitu 98%. Oleh sebab itu semua produk ikan termasuk kecap ikan dapat dicerna serta diserap dengan baik oleh tubuh sehingga dapat bermanfaat sebagai nutrisi. Di dalam protein ikan juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh manusia (Hadju, 1998).

Kecap ikan dibuat dengan memanfaatkan produk samping dari proses pembuatan surimi yaitu berupa tulang, ekor serta kepala. Sebab biasanya hanya sekitar 70% bagian dari ikan yang dapat dimakan atau sering dimanfaatkan (Irawan, 1995). Menurut Astawan& Astawan (1988) dalam pembuatan kecap ikan umumnya dibuat dari ikan yang berukuran kecil seperti ikan air tawar, teri maupun ikan selar. Sehingga percobaan kali ini sesuai dengan teori karena menggunakan ikan bawal yang termasuk dalam ikan air tawar.

Proses pembuatan kecap ikan dapat dilakukan menggunakan 2 cara fermentasi yakni fermentasi secara enzimatis yaitu dengan menggunakan enzim dan fermentasi yang menggunakan garam. Proses fermentasi yang menggunakan garam merupakan proses fermentasi tradisional karena membutuhkan waktu selama kurang lebih 7 bulan dengan melibatkan bakteri dalam larutan garam 20% selama 2-4 jam. Garam yang ditambahkan tersebut berfungsi sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diijinkan tumbuh selama proses fermentasi serta sebagai pengawet alami. Prinsipnya yaitu garam akan menarik keluar komponen dari ikan terutama protein dan air karena adanya tekanan osmotik yang tinggi dari penambahan garam dalam jumlah yang banyak. Selain itu, garam akan menjadi pelindung bagi ikan dari bakteri pembusuk, lalat serta belatung (Astawan & Astawan, 1988).

Untuk kecap ikan yang dibuat secara enzimatis dapat dilakukan dengan menambahkan jenis enzim tertentu seperti protease agar proses fermentasi berjalan lebih cepat. Contoh enzim protease yang dapat digunakan adalah enzim papain yang diperoleh sari getah papaya serta enzim bromelin yang diperoleh dari nanas muda. Dengan adanya enzim tersebut maka penguraian protein menjadi komponen asam amino, pepton dan peptida menjadi lebih cepat dan hal tersebut akan mempersingkat waktu pembatan kecap asin menjadi hanya 3 hari. Selain itu pembuatan kecap asin secara enzimatis juga dapat meningkatkan kandungan protein pada kecap ikan yang dihasilkan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Astawan & Astawan (1988) mengatakan bahwa meskipun proses pembuatannya menjadi relative lebih singkat namun kecap ikan yang dihasilkan dari proses fermentasi secara enzimatis memiliki rasa dan aroma yang kurang diminati banyak orang.

Pembuatan kecap asin pada praktikum ini diawali memisahkan tulang dan ekor ikan dari dagingnya hingga bersih. Kemudian tulang dan ekor ikan dicuci bersih menggunakan air mengalir. Setelah itu tulang dan ekor ikan ditimbang sebanyak 50 gram lalu dihaluskan. Penghalusan bahan tersebut dimaksudkan agar proses ekstraksi selanjutnya dapat berjalan dengan mudah dan cepat. Saleh, et al. (1996) menambahkan bahwa bahan yang telah halus atau hancur akan mempunyai permukaan bahan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan rasio luas permukaan dengan volume bahan. Oleh sebab itu, komponen flavor dapat terlepas dengan mudah dan banyak. Biasanya senyawa yang membentuk flavor akan mengalami distribusi pada bahan yang terikat dalam bentuk ikatan dengan air, lemak atau protein, sehingga perlakuan pendahuluan perlu dilakukan seperti dengan menghancurkan bahan.

Selanjutnya tulang dan ekor ikan yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam wadah atau toples bening dan ditutup rapat untuk dilakukan proses fermentasi. Toples tersebut harus ditutup rapat agar terhindar dari kontaminan serta agar kondisi anaerob dapat diciptakan sehingga fermentasi dapat berjalan dengan baik. Kemudian ditambah dengan enzim papain dengan konsentrasi 0,4% (kelompok 1), 0,8% (kelompok 2), 1,2% (kelompok 3), 1,6% (kelompok 4), 2% (kelompok 5) serta 2,5% (kelompok 6). Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Sehingga pada praktikum ini, proses fermentasi dilakukan secara enzimatis karena menambahkan enzim papain. Lay (1994) mengatakan bahwa enzim papain merupakan salah satu jenis enzim protease yang dimanfaatkan dalam melakukan hidrolisis protein yakni memecah ikatan peptide yanga ada dalam suatu substrat pada kondisi yang memungkinkan.

Biasanya enzim papain banyak terdapat di getah papaya yang terdapat pada daun, batang maupun buah papaya (Muhidin, 1999). Pada proses fermentasi ini mikroorganisme halofilik seperti Pediococcus, Saccharomyces serta Torulopsis akan berkembang dan menghasilkan senyawa flavor karena mikroorganisme tersebut tahan terhadap garam. Dalam fermentasi ini senyawa kompleks dari tubuh ikan akan terurai menjadi senyawa sederhana karena fermentasi merupakan proses katabolisme (Astawan & Astawan, 1988). Proses fermentasi yang berjalan hanya 3 hari tersebut disebabkan oleh kondisi yang memungkinkan untuk enzim bekerja secara optimal. Namun jika suhu penyimpanan terlalu tinggi aktivitas dari enzim papain akan terhambat karena tidak tahan suhu tinggi (Sangjindayvong et al, 2009).

Setelah dilakukan inkubasi lalu hasil fermentasi ditambah dengan 250 ml air. Kemudian disaring dan filtratnya direbus hingga mendidih selama 30 menit. Tujuan dilakukannya penyaringan tersebut adalah agar cairan hasil dari fermentasi terpisah dari padatan maupun kotoran yang ada didalamnya (Moeljanto, 1992). Proses perebusan dilakukan agar mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi selama fermentasi mati, sebagian air menguap serta cita rasa meningkat. Selama direbus ditambahkan pula bumbu-bumbu yang sebelumnya telah dihaluskan diantaranya bawang putih, garam dan gula jawa masng-masing sebanyak 50 gram.

Bumbu-bumbu yang ditambahkan tersebut akan menambah cita rasa, aroma serta memperpanjang umur simpan pada kecap ikan. Contohnya adalah penambahan bawang putih dimanfaatkan sebagai pembunuh bakteri yang efektif karena mengandung zat allicin. Sementara itu, garam yang ditambahkan akan memberikan flavor yang sedap karena akan terjadi interaksi antara asam glutamate pada ikan dengan garam. Penambahan garam dilakukan setelah proses fermentasi bertujuan agar garam tidak mengganggu kerja dari enzim papain selama fermentasi. Sebab enzim papain memiliki sifat yang tidak tahan pada konsentrasi garam tinggi (Tri & Cn, 2006).

Selain itu fungsi lain dari garam adalah untuk mengawetkan, memperkuat rasa serta member cita rasa asin. Garam mampu menjadi pengawet karena garam akan mengganggu keseimbangan dari ionik sel mikroba sebab proton dalam sel akan berkurang, garam juga akan menurunkan nilai aw, serta membuat kelarutan oksigen menjadi berkurang (Desrosier & Desrosier, 1977). Sedangkan gula jawa dimanfaatkan dalam memberikan warna coklat pada kecap ikan karena adanya karamelisasi dari gula jawa. Selain itu juga gula akan memberikan flavor yang spesifik, sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme serta viskositas kecap ikan dapat meningkat (Kasmidjo, 1990).

Kilinc, et al., (2006) menambahkan bahwa bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan kecap ikan berfungsi sebagai pemberi aroma, warna serta cita rasa. Selain itu kecap ikan kualitasnya juga ditentukan dari kesegaran bahan baku. Jika bahan baku yang digunakan masih segar maka akan semakin member aroma, cita rasa dan warna yang sesuai dan disenangi banyak konsumen. Dari sisi kesehatan pun dengan menggunakan bahan baku yang segar maka aman bagi tubuh manusia.

Selama proses perebusan, harus selalu diaduk agar semua bumbu yang ditambahkan serta seluruh komponen dapat tercampur rata (homogen) didalam air (Moeljanto, 1992). Ketika sudah mendidih lalu didinginkan sebentar kemudian disaring menggunakan kain saring. Penyaringan ini bertujuan untuk kembali memisahkan seluruh pengotor seperti sisa bumbu yang tidak larut serta pengotor lainnya yang ada pada kecap ikan tersebut. Terakhir diamati secara sensoris warna, rasa, aroma serta penampakan dari kecap asin tersebut. Selain itu dilakukan uji salinitas menggunakan alat refrakometer.

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil warna kecap ikan yang coklat gelap diperoleh kelompok 1 (enzim papain 0,4%), sedangkan warna agak coklat gelap diperoleh kelompok 2 (enzim papain 0,8%), 3 (enzim papain 1,2%) dan 5 (enzim papain 2%). Untuk kelompok 6 (enzim papain 2,5%)warna kecap yang diperoleh adalah kurang coklat gelap, dan warna kecap ikan yang tidak coklat gelap diperoleh kelompok 4 (enzim papain 1,6%). Astawan & Astawan (1991) mengatakan bahwa cairan coklat yang terbentuk pada kecap ikan berasal dari aktivitas enzim proteolitik. Sehingga dengan semakin banyaknya penambahan enzim papain maka akan semaakin tinggi pula aktivitas dari enzim tersebut yang menghasilkan warna dari cairan produk hhidrolisa menjadi semakin gelap. Selain itu terjadinya reaksi maillard antara gugus amino yang terkandung di dalam daging dengan gula pereduksi (maltosa, glukosa, manitol serta gliserol) pada gula jawa juga akan menimbulkan warna coklat pada kecap (Lees & Jackson, 1973). Proses enzimatis yang sempurna juga menghasilkan warna coklat dari kecap ikan (Astawan & Astawan, 1988).

Sehingga dari hasil yang diperoleh tersebut tidak sesuai dengan teori karena seharusnya semakin tinggi konsentrasi enzim papain akan menghasilkan kecap dengan warna yang semakin gelap. Ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dengan teori yang ada mungkin disebabkan oleh waktu dan suhu yang digunakan untuk pemanasan pada setiap kelompok berbeda-beda. Sebab dengan suhu yang tinggi dan waktu pemanasan yang lama akan menyebabkan warna kecap ikan semakin gelap. Selain itu penambahan gula jawa yang terlalu banyak akan menyebabkan warna kecap ikan semakin gelap. Meskipun begitu warna dari kecap ikan pada seluruh kelompok sudah sesuai yakni mulai dari coklat muda sampai coklat tua.

Untuk rasa kecap ikan yang dihasilkan kelompok 1, 2, 4 dan 6 adalah agak asin, sedangkan kelompok 5 adalah asin dan kelompok 3 menghasilkan kecap ikan yang sangat asin. Rasa asin merupakan rasa khas dari kecap ikan yang dihasilkan dari komponen-komponen hasil penguraian protein seperti pepton, peptida serta asam amino (Astawan & Astawan, 1988). Selain itu rasa kecap asin juga dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan akan meningkatkan rasa dari kecap ikan karena akan semakin banyak protein yang diuraikan. Namun dari hasil percobaan tersebuy dapat dilihat bahwa kecap ikan yang paling justru diperoleh kelompok 3 yang hanya menambahkan enzim papain 1,2%. Perbedaan mungkin disebabkan oleh kualitas dari kecap ikan yang didapatkan setiap kelompok berbeda-beda. Kualitas kecap asin ditentukan jumlah garam yang ditambahkan, mungkin penimbangan garam yang dilakukan kurang tepat. Selain itu waktu dan suhu yang digunakan pun ikut mempenagaruhi rasa dari kecap ikan yang dihasilkan.

Parameter selanjutnya yang diuji dalam uji sensoris adalah uji aroma. Kecap ikan dari kelompok 1 beraroma tajam, kelompok 2 dan 4 beraroma agak tajam, kelompok 3 dan 6 beraroma kurang tajam sedangkan kelompok 4 beraroma sangat tajam. Aroma yang muncul dari kecap ikan hasil fermentasi disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang membentuk aroma pada kecap ikan seperti 2-pentanone, 3-(methylthio)-proppanal, lain 2-methylpropanal, 3-methylbutanoic acid, 2-methylbutanal serta 2-ethylpyridine (Ritthiruangdej& Thongchai, 2006). (Amstrong, 1995) menambahkan bahwa komponen nitrogen yang mendukung seperti arginin, ammonia, kadaverin, histidin serta kadaverin merupakan komponen yang menentukan aroma dari kecap ikan. Ketika komponen tersebut bereaksi dengan asam suksinat maka akan menghasilkan aroma yang sedap. Begitu juga jika asam suksinat bereaksi dengan senyawa garam yang akan menghasilkan aroma yang enak.

Penguraian protein oleh enzim papain juga mempengaruhi aroma kecap ikan. Sehingga seharusnya semakin banyak penambahan enzim papain maka aroma yang ditimbulkan juga semakin tajam. Namun yang diperoleh dari percobaan ini aroma paling tajam diperoleh kelompok 5 padahal penambahan enzim papain tidak sebanyak kelompok 6. Ketidaksesuaian antara hasil dengan teori yang ada pada semua uji sensori mungkin disebabkan oleh penilaian panelis. Masing-masing orang memiliki kepekaan yang berbeda terhadap rasa, aroma dan warna, oleh sebab itu penilaian yang diberikan pun kurang akurat.

Peningkatan rasa dan aroma pada kecap ikan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bakteri halofilik (tahan kadar garam tinggi) agar aktivitas dari enzimatik dapat berjalan optimal, karena dengan adanya bakteri tersebut maka kondisi optimal yang dibutuhkan enzim selama proses fermentasi dapat terpenuhi. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Staphylococcus warneri PB233. Sebab kecap ikan adalah produk yang cirri khasnya terletak pada aromanya, dimana aroma biasanya dijadikan sebagai indikator dalam menentukan kualitas kecap ikan tersebut. Beberapa senyawa asam lemak volatil yang memunculkan aroma khas kecap ikan antara lain propionat, isobutirat, asam isovalerat, asetat, n-butirat, n-valerat (Kanlayakrit, et al., 2007).

Yongsawatdigul, et al. (2007) menambahkan bahwa senyawa volatil yang memunculkan aroma pada kecap ikan adalah gigs karbonil, asam, senyawa yang mengandung sulfur serta senyawa yang mengandung nitrogen. Beberapa senyawa tersebut terbentuk selama proses fermentasi berlangsung. Sehingga senyawa-senyawa tersebut menjadi penentu atau yang memberi ciri khas pada kecap ikan. Bakteri halofilik yang ada pada proses pembuatan kecap ikan tersebut juga menghasilkan aroma tertentu pada kecap ikan serta membantu dalam peningkatan penguraian protein.

Uji selanjutnya adalah uji salinitas dengan menggunakan hand refractometer yang ditetesi dengan kecap ikan yang sudah jadi. Shadily et al. (1984) mengatakan bahwa dalam melakukan pengukuran terhadap indeks bias dari suatu medium cair, padat maupun gas dapat dilakukan menggunakan hand refractometer. Dari hasil uji salinitas diperoleh hasil salinitas kelompok 1 : 3%, kelompok 2 : 2,5%, kelompok 3 : 3,1%, kelompok 4 : 3%, kelompok 5 : 2,9%, kelompok 6 : 3,5%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada sebab salinitaas tertinggi justru diperoleh kelompok 6 yang menggunakan enzim papain dengan konsentrasi yang paling tinggi. Astawan & Astawan (1991) mengatakan bahwa salinitas dari kecap akan semakin rendah dengan adanya penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang semakin tinggi. Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh kurang bersihnya alat hand refractometer yang digunakan, sehingga hasil yang diperoleh menjadi berbeda dengan teori yang ada.

Uji yang terakhir adalah uji penampakan dimana kecap ikan dari hampir seluruh kelompok berbentuk cair, hanya kecap ikan kelompok 4 yang berbentuk sangat cair. Seperti yang telah dikatakan oleh Afrianto & Liviawaty (1989) bahwa secara fisik kecap ikan terlihat cair dan berwana kekuningan sampai coklat muda atau tua namun bening. Sehingga hasil yang diperoleh hampir pada seluruh kelompok tersebut sudah sesuai dengan teori yang ada. Meskipun ada 1 kelompok yang memperoleh penampakan kecap ikan yang sangat cair mungkin dikarenakan penggunaan gula jawa yang kurang dari 50 gram sehingga kecap ikan menjadi lebih cair daripada yang lain.

Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam membuat kecap ikan diantaranya penggunaan enzim papain, waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi, kualitas bahan baku yang digunakan, tingkat kebersiha serta ketepatan jumlah bumbu yang ditambahkan. Enzim papain yang ditambahkan semakin banyak maka protein yang mengalami hidrolisa akan semakin banyak pula sehingga akan menghasilkan komponen yang menyusun aroma semakin banyak. Bahan baku juga dapat mempengaruhi produk karena semakin segar bahan baku yang digunakan akan mengandung semakin banyak asam amino yang dapat dihidrolisa sehingga rasa dan aroma kecap asin semakin kuat. Selain itu, bumbu tambahan yang digunakan akan memperpanjang umur simpan dari kecap ikan (Astawan & Astawan, 1991).

4. 5. KESIMPULAN

Produk yang dihasilkan dari hidrolisa ikan melalui proses fermentasi secara enzimatis, kimiawi maupu dengan penambahan garam disebut sebagai kecap ikan. Kecap ikan biasanya dimanfaatkan untuk menambah rasa maupun dijadikan sebagai bahan untuk menggantikan penambahan garam pada masakan ataupun pada industri pengolahan pangan. Proses pembuatan kecap ikan dapat dilakukan menggunakan 2 cara fermentasi yakni fermentasi secara enzimatis yaitu dengan menggunakan enzim dan fermentasi yang menggunakan garam. Kecap ikan yang dibuat secara enzimatis dapat dilakukan dengan menambahkan jenis enzim tertentu seperti protease agar proses fermentasi berjalan lebih cepat. enzim papain merupakan salah satu jenis enzim protease yang dimanfaatkan dalam melakukan hidrolisis protein yakni memecah ikatan peptida yang ada dalam suatu substrat pada kondisi yang memungkinkan. Proses perebusan dilakukan agar mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi selama fermentasi mati, sebagian air menguap serta cita rasa meningkat. Penambahan bawang putih dimanfaatkan sebagai pembunuh bakteri yang efektif karena mengandung zat allicin. Penambahan garam dilakukan setelah proses fermentasi bertujuan agar garam tidak mengganggu kerja dari enzim papain selama fermentasi. Gula jawa dimanfaatkan dalam memberikan warna coklat pada kecap ikan karena adanya karamelisasi dari gula jawa. Semakin banyaknya penambahan enzim papain maka akan semaakin tinggi pula aktivitas dari enzim tersebut yang menghasilkan warna dari cairan produk hhidrolisa menjadi semakin gelap. Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan akan meningkatkan rasa dari kecap ikan karena akan semakin banyak protein yang diuraikan. Semakin banyak penambahan enzim papain maka aroma yang ditimbulkan juga semakin tajam. Salinitas dari kecap akan semakin rendah dengan adanya penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang semakin tinggi. Secara fisik kecap ikan terlihat cair dan berwana kekuningan sampai coklat muda atau tua namun bening. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam membuat kecap ikan diantaranya penggunaan enzim papain, waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi, kualitas bahan baku yang digunakan, tingkat kebersiha serta ketepatan jumlah bumbu yang ditambahkan.

Semarang, 15 September 2014Praktikan,Asisten Dosen Yuni Rusiana

Lely Prima Anggraeni12.70.0139

6. 7. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pessindo.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Hadju, V. (1998). Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Pikir, dan Produktifitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta.

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Iskandar, H.M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Kanlayakrit, W., Boonpan, A. (2007). Screening of Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 41 : 576-585.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kilinc, B., Cakli, S., Tolasa, S., Dincer, T. (2006). Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing. Europe Food Research Technology 222 : 604-613.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Murakami, Miyuki; Masataka S., Masashi A., Yasuyuki T., and Kenichi Kawasaki. (2009). Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction Waste of Stock from Dried Fish using Various kojis.Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.7 (2) : 175-181

Olubunmi, F., Suleman, S., Uche, I., Olumide, B. (2010). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. 3(3) : 45-49.

Ritthiruangdej, Pitiporn; dan Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl) : 181 191.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sangjindavong, Mathana., Juta Mookdasanit., Pongtep Wilaipun., Pranisa Chuapoehuk., & Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795.

Shadily, Hasan. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Tri, Tap Chi Phat; dan Cn Tap.(2006). Characterization of Protease from Aspergillus OryzaeSurface Culture and Application in Fish Sauce Processing.Department of Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.

Yongsawatgidul, J., Rodtong, S., Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauce Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science 72 (9) : 382-390.

8. 9. LAMPIRAN9.1. PerhitunganRumus :

Kelompok E1

Kelompok E2

Kelompok E3

Kelompok E4

Kelompok E5

Kelompok E6

9.2. Foto

9.3. Laporan Sementara