Ensefalopati Tifoid
-
Upload
muhammaddio929 -
Category
Documents
-
view
622 -
download
2
Transcript of Ensefalopati Tifoid
Demam Tifoid Pada Anak
DEMAM TIFOID
1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini memiliki manifestasi
yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh
karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti mirip.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau Tipes
karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid merupakan suatu
infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran Cerna khususnya usus
halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke dalam aliran darah
(bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang khas tempat dimana kuman
melewati organ selama bakteremia tersebut.
2. Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk bacil
atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella peritrik, memiliki
ukuran 2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif
anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan
selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang mengandung garam empedu.
Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida),
antigen H (flagel) dan antigen Vi
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4: Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe group D.
Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab infeksi
utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan
mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi
kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman lambung, flora normal
usus, dan ketahanan usus lokal.
1
Demam Tifoid Pada Anak
3. Epidemologi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di
Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini
tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi.
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16
juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia prevalensi
91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian yang meningkat
setelah usia 5 tahun.
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid
dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari demam
tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari setahun.
2
Demam Tifoid Pada Anak
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila
berada di dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Mudah
mati pada klorisasi dan pasteurinisasi (temp 63oC).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (carier),
biasanya keluar bersama- sama dengan tinja (rute fecal-oral).
Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber
kuman berasal dari laboratorium penelitian.
3
Demam Tifoid Pada Anak
4. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch
dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda
dan gejala infeksi sistemik.
4
Demam Tifoid Pada Anak
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi
konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3
hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabiil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.
5
Demam Tifoid Pada Anak
5. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari gejala
yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem
organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan,
gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga pada
minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang terjadi
biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC dan
cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan berangsur- angsur turun dan normal
pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang
khas seperti di atas pada demam tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin
karena intervensi pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau
komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam akibat
infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi endotoksin
merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang disekresi oleh sel- sel
mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan
pirogen endogen. Kedua pirogen ini akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada
membran sel yang mana akan mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur
siklooksigenase memproduksi Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama
dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di
hipothalamus sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut
kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem biasanya
dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari cavum oris
didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemerehan
kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada lidah ini
disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup
7
Demam Tifoid Pada Anak
berarti diagnostik. Gejala- gejala lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena
bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di
dalamnya maka tidak jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang
diselingi konstipasi. Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus
yang perlu untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami setelah
mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering mengalami diare
daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang- kadang membuat sering
miss diagnosis ketika penderita datang berobat.
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar dan
Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel fagosit atau
sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan menyebabkan respon
inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti InterLeukin (IL-1, IL-6),
Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan permeabilitas kapiler akan meningkat
sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri
tekan dan hanya berlangsung singkat (terutama terjadi waktu bakteremia sekunder).
Penanda ini cukup spesifik dalam membantu diagnostik.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain
Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom
Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran
seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tanda- tanda ini
sering muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi khas “mengigau atau nglindur”
yang terjadi selama periode demam tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya
lebih berat ditemukan pada demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami
komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya
sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit
berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan
ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil
dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk
bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari. Namun
8
Demam Tifoid Pada Anak
menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose spot ini hampir tidak pernah dilaporkan
pada kasus anak di Indonesia.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi tifoid.
Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan denyut nadi sampai
10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh
peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan Bradikardi yang relatif pada demam.
Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang terjadi pada anak.
9
Demam Tifoid Pada Anak
10
Mukosa Usus yang terinfeksi akan
menstimulasi datangnya sel- sel
fagosit (Netrofil dan makrofag)
Sel-sel yang mengalami cedera, netrofil,
dan makrofag sekresi mediator
peradangan: IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6
(Pirogen Endogen)
Bakteri memproduksi
Endotoksin (Pirogen
Eksogen)
Aktivasi Fosfolipase A2 pada
membran fosfolipid
Aktivasi Asam
Arakidonat
Asam Arakidonat melalui jalur
siklooksigenase membuat
Prostaglandin E2 (PGE2)
Masuk Pembuluh darah
(Bakteremia Primer)
Mencapai organ Retikulo Endothelial
System (Hepar, Splen) = Bakteremia
Sekunder
Bakteri, toksin atau faktor virulensi lainnya
menyebabkan proliferasi sel-sel organ
Pembesaran organ
HepatomegaliSplenomegali
Makanan yang
terkontaminasi
Salmonell typhii
Masuk Saluran Cerna dalam
jumlah minimal 105-109 untuk
menimbulkan infeksi
Masuk ke dalam usus
halus melalui mikrovilli
Mencapai “Plak Peyer”
Aktivasi AMP siklik
DEMAMMengubah setting termostat
di hipothalamus
Suhu tubuh diatur
agar lebih tinggi
Demam Tifoid Pada Anak
6. Diagnosis
6.a Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella
typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap
demam tifoid:
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke pusat
pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun
menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak kapan
mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak
- Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-, konsistensi,
volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak kapan mulai tidak
BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut kembung
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya sebatas
ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
- Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit
seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin
menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak
menunjukkan gejala
- Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan
atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah
mengalami perubahan
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat
salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat
dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
11
Demam Tifoid Pada Anak
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum
sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat
dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu diketahui
karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan dalam
imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu formula sejak
kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan baik
oleh Imunoglobulin.
- Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah ditemukan
vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap terinfeksi
Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh vaksinasi
sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi berikutnya. Atau
terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi banyak faktor.
6.b Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang
bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan
menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium,
stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan
bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi
lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai
tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali
pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada
cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada
anak- anak.
12
Demam Tifoid Pada Anak
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik
pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman
Salmonella typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi
konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat
konstipasi. Palpasi organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan
permukaan rata dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan
rose spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter
1-5 mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak
6.c Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan
leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the
Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai
leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi
diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan
makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear
leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan
merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena
makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung
jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang
meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit
demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi
tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa
perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik
Mikrositik.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
untuk menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita
13
Demam Tifoid Pada Anak
tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen
H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A
dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)
oUji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube
Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Larutan
garam
fisiologis
(ml)
0,9 0,5 0,5 0,5 0,5
Serum
pasien (ml)
0,1 0,5 0,5 0,5 0,5
Suspensi
antigen (ml)
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Titer
antibodi
1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
oDengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum
pasien, solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 =
0,1/0,1 = 1/10. Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan
serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II =
1/20
Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
Deretan
Tabung
+ + - - -
+ + + - -
14
Demam Tifoid Pada Anak
+ + + + +
oKeterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen
antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
oUji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi
peningkatan sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau
awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula- mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada
penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini
dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed,
3) pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi,
6) Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau
infeksi tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara
laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan
untuk suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila
terjadi penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.
Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah
15
Demam Tifoid Pada Anak
yang kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit
hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedsaide langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang
kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup
tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan
jaringan tubuh.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang
penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena
kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain
yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang
memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari
adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi
dengan skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini
khususnya bermanfaat bagi carier tifoid
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella
atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida
bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95%
dan > 91%.
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri
dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe
partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan
antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang
disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah
16
Demam Tifoid Pada Anak
sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator
yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang
dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam
sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi
dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat
terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
17
Demam Tifoid Pada Anak
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
Pemeriksaan radiologi, bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk
menegakkan diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau
belum:
Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat mungkin
terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia
Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi komplikasi
intestinal seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi
udara yang tidak merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, tanda- tanda udara bebas dalam cavum abdomen.
7. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya influenza/common cold,
gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia bila didapatkan tanda- tanda sesak,
batuk dan demam. Pada demam tifoid yang berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.
8. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan,
diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada
kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit,
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan penyulit.
a) Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/ Bed
rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
18
Demam Tifoid Pada Anak
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
b) Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan
hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid
terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan
yang akan menjadi lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian
bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan.
Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat
meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang
baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian
makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling
membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang muncul
pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting tapi tidak
mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu
pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake perOral
yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 ¼
Normal saline, > 3 tahun D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan
dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara
dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
19
Demam Tifoid Pada Anak
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
c) Antibiotika
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol
dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
20
Demam Tifoid Pada Anak
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
d) Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
9. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi penderita carier
sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting adalah hygiene pribadi
dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Macam- macam
pencegahan untuk demam tifoid antara lain:
Preventif dan control penularan, merupakan tindakan pencegahan penularan dan
peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid. Mencakup kuman Salmonella
typhi, faktor pejamu, serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi
pokok untuk memutuskan tranmisi tifoid:
o Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid
Asimtomatik, carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif
yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu terutama anak- anak yang tinggal di
lingkungan padat dengan sanitasi yang kurang.
o Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella typhi
akut maupun carier.
21
Demam Tifoid Pada Anak
o Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun
1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%
(WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan
dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya kekebalannya terbatas, disamping
efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna)
pemberiannya secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS
(Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna dengan
selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama 6 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia > 10 tahun insiden yang
turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun sebesar
17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk
turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping
serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral. Diberikan pada usia
> 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di dalam prefilled syringe 0,5
cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
Kelompok orang yang menjadi sasaran vaksinasi tergantung pada faktor resiko
yang berkaitan diantaranya: anak usia sekolah terutama yang berada di daerah
endemik, pengunjung yang akan berwisata ke daerah endemic, dan anak- anak
yang kontak erta dengan pengidap tifoid (carier)
Efektivitas vaksin secara serokonversi dapat membuat peningkatan antibodi
sampai 4x setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15
hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam, sakit
kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek samping
22
Demam Tifoid Pada Anak
yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi bila diberikan
secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat, edema, hipotensi dan nyeri
dada.
10. Komplikasi dan Penatalaksanaannya
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi intestinal dan
komplikasi ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada
perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama
pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar
25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak
memerlukan tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita
dapat mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor
hemostasis yang masih dalam batas normal.
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi
usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus.
Bising usus melemah, pekak hapar juga menghilang yang menandakan adanya
udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi
usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana
akan didapatka gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik spectrum luas
untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi Chloramphenicol dan
Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif anaerob pada flora
23
Demam Tifoid Pada Anak
usus digunakan Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada
anak- anak namun mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus.
Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah
manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma
Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tifoid
ensefalopati.
Tata Laksana Tifoid Ensefalopati
Antibiotik pertama untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol,
digunakan pada tahun 1948 dan selanjutnya menjadi terapi pilihan sampai tiga dekade
disamping ampisilin dan trimetoprimsulfametoksazol. Laporan pertama mengenai
resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol pada tahun 1974, dua puluh tahun kemudian
dilaporkan resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan
trimetoprimsulfametoksazol, atau dikenal sebagai MDR (multiple drug resistance) S.
typhi. Saat ini peningkatan resistensi S.typhi terhadap terapi lini kedua yaitu sefalosporin
generasi ke-3 dan golongan kuinolon juga telah banyak dilaporkan. Kondisi inilah yang
banyak memicu terjadinya kasus ensefalopati tifoid.
Dari beberapa kasus ensefalopati tifoid yang pernah dilaporkan, semua isolat
klinis (S. typhi dan S. paratyphi) resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin dan
trimetoprim-sulphamethoxazole, yang intermediately rentan terhadap ciprofloxacin, dan
sensitif penuh untuk ceftriaxone dan cefixime sebagaimana ditentukan dengan metode
difusi. Semua pasien adalah multi-obat resisten (MDR) kasus demam enterik dan diobati
dengan ceftriaxone parenteral, kecuali untuk pasien yang menerima ciprofloxacin
parenteral dan memiliki hasil yang fatal, tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara
tipe antimikroba dan morbiditas diamati. Hubungan antara demam enterik yang
disebabkan oleh strain MDR dan ensefalopati telah dilaporkan.
Untuk tata laksana pasien dengan ensefalopati tifoid, kita tidak hanya
menggunakan antibiotik saja, tetapi harus dikombinasikan dengan kortikosteroid dosis
tinggi. Pada neonatus, ceftriaxon direkomendasikan untuk infeksi berat yang disebabkan
oleh salmonella tifii dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal, walaupun
dengan dosis yang lebih besar pernah dilaporkan. Penggunaan ceftriaxon tidak
direkomendasikan pada bayi yang kuning, hipoalbumin, asidosis, dan premature. Pada
24
Demam Tifoid Pada Anak
bayi dewasa dan anak kecil, dosis ceftriaxon yang dianjurkan 80 mg/KgBB setiap 12 jam
untuk 3 dosis pertama, selanjutnya 80 mg/KgBB ( maksimal 4 gr dosis tunggal ) sekali
sehari untuk pengobatan meningitis pada tifii. Ketika cefotaxime digunakan untuk
pengganti ceftriaxone, sebuah dosis tinggi 200-300 mg/KgBB direkomendasikan,
walaupun untuk neonatus itu bukanlah hal yang spesifik untuk pengobatannya.
Ciprofloxacin IV direkomendasikan menimbang manfaatnya lebih besar daripada
risikonya untuk pengobatan infeksi generalisata pada anak dengan dosis 8-16 mg/KgBB
dibagi dalam 2 dosis. Dalam sebuah laporan kasus pada dua neonatus yang berhasil
sembuh terhadap salmonella ensefalopati, ciprofloxacin diberikan 10 mg/KgBB dan 15
mg/KgBB dalam dua dosis terbagi. dalam laporan kasus lain dosis yang lebih tinggi yaitu
30 mg/KgBB digunakan untuk bayi umur 2 dan 5 bulan.
Untuk penggunaan kortikosteroidnya, yang pernah dilaporkan adalah pemakaian
dekasamethason IV dosis tinggi. Cara pakainya adalah deksametason 3 mg/KgBB/kali IV
pela-pelan selama 30 menit, dilanjutkan 1 mg/KgBB/ 6 jam sampai 48 jam atau 8 kali
pemberian Mekanisme aksi deksametason dalam ensefalopati enterik tidak diketahui.
Endotoksin yang dikeluarkan oleh S. typhi dan S. paratyphi merangsang makrofag untuk
memproduksi monokines, asam arakidonat dan metabolitnya, dan oksigen bebas yang
mungkin bertanggung jawab atas efek toksik, terutama pada mereka dengan ensefalopati
enterik (Nag et al, 1975; Johnston et al, 1978; Clark et al, 1981). Mungkin deksametason
dapat mengurangi tingkat ini atau menetralkan efek fisiologis dari produk atau keduanya,
dan bertindak sebagai antioksidan yang mengakibatkan korban jiwa berkurang (Hoffman
et al, 1984). Edema cerebellar dan kongesti vena sel-sel otak yang sering terlihat dalam
ensefalopati enterik (Chand dan Singh, 1988) dan deksametason dosis tinggi mungkin
memainkan peran dalam mengurangi substansial ini.
11. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi
antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan
pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
25
Demam Tifoid Pada Anak
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi carier yang kronis.
Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan meningkat sesuai usia. Carier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada carier kronis dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis
juga dapat terjadi, namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis.
26
Demam Tifoid Pada Anak
UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : Nn N / Wanita/ 15 tahun
b. Pekerjaan/pendidikan : Pelajar
c. Alamat : Jln Hiu Ulak Karang, Padang
2. Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga
a. Status Perkawinan : Belum Menikah
b. Jumlah Anak : -
c. Status Ekonomi Keluarga : Cukup
d. Kondisi Rumah :
- Rumah permanen, perkarangan luas
- Listrik ada
- Sumber air : air sumur
- Jamban ada 1 buah, di dalam rumah
- Sampah dibakar
- Jumlah penghuni 5 orang, pasien, ibu, ayah, 2 orang kakak
- Kesan : higine dan sanitasi baik
e. Kondisi Lingkungan Keluarga
- Pasien tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk
3. Aspek Psikologis di keluarga
- Hubungan dengan keluarga baik
- Faktor stress dalam keluarga (-)
4. Riwayat Penyakit dahulu / Penyakit Keluarga
10 hari yang lalu pasien selesei perawatan di salah satu rumah sakit swasta di kota
Padang dengan diagnosis demam tifoid.
27
Demam Tifoid Pada Anak
5. Keluhan Utama
Badan letih sejak seminggu yang lalu .
6. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Ulak Karang dengan keluhan badan terasa
letih sejak seminggu yang lalu. Demam masih dirasakan, tidak tinggi, dan hilang
timbul. Demam tidak disertai pilek, batuk, mual dan muntah. BAB dan BAK
biasa. Pasien sebelumnya sudah dirawat di salah satu rumah sakit swasta di kota
Padang dengan diagnosis demam tifus dan mendapat perawatan selama seminggu
dan diperbolehkan pulang 10 hari yang lalu.
7. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : CMC
Nadi : 84x/ menit
Nafas : 24x/menit
TD : 110/70 mmHg
Suhu : 36,8 0C
BB : 45 Kg
TB : 156 cm BMI : 18,75 (normoweight)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit : Turgor kulit baik
Leher : JVP 5 – 2 cmH20, pembesaran kelenjar tiroid (-), bising
arteri karotis (-)
Dada
Paru
Inspeksi : Simetris ki = ka
Palpasi : Fremitus ki = ka
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)
28
Demam Tifoid Pada Anak
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi :
Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Kanan : LSD
Atas : RIC II
Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : Hati dan lien tidak teraba, nyeri tekan ( - )
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N, Bruit (-)
Anggota gerak : Reflex fisiologis +/+, reflex patologis -/-, Oedem -/-
8. Laboratorium Anjuran : darah lengkap
9. Diagnosis Kerja: Demam Tifoid dalam perbaikan
10. Diagnosis Banding : Malaria
11. Manajemen
a. Preventif :
- Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah
penularan kuman ke orang-orang sekitar pasien.
- Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu
istirahat mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian
boleh duduk dan selanjutnya boleh duduk dan berjalan.
- Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat
sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
29
Demam Tifoid Pada Anak
- Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk penderita
dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan
melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik, maka dapat
diberikan makanan lunak.
- Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare
dan demam.
b. Promotif :
- Memberi edukasi kepada pasien tentang penyakitnya.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya bisa sembuh namun bisa
juga kambuh jika pasien tidak teratur minum obat dan tidak menaati
nasehat.
c. Kuratif :
- Paracetamol tablet 500 mg
- Vitamin C tablet 50 mg
- Lanjutkan obat yang diberikan Rumah Sakit
d. Rehabilitatif :
- Makan dan istirahat yang cukup
30
Demam Tifoid Pada Anak
31
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Ulak Karang
Dokter : Bobby Rojas
Tanggal : 15 November 2012
R/ Paracetamol tab 500 mg No. X
Sprn max qdd tab I £
R/ Vit C tab 50 mg No. X
S3 dd tab 1 £
Pro : Nn N
Umur : 15 tahun
Alamat : Jln. Hiu, Ulak Karang
Demam Tifoid Pada Anak
DISKUSI
Seorang pasien perempuan berumur 15 tahun datang ke Puskesmas Ulak Karang,
Padang dengan badan letih sejak seminggu yang lalu, demam dirasakan, tidak tinggi, dan
hilang timbul. Demam tidak disertai pilek, batuk, mual dan muntah. BAB dan BAK
biasa. Pasien sebelumnya sudah dirawat di salah satu rumah sakit swasta di kota Padang
dengan diagnosis demam tifus dan mendapat perawatan selama seminggu dan
diperbolehkan pulang 10 hari yang lalu dan diberikan obat makan selama 7 hari, namun
karena pasien merasa demam sudah tidak ada dan badan sudah terasa baik, pasien hanya
meminum obat tersebut selama tiga hari dan tidak ada minum obat yang diberikan oleh
rumah sakit itu lagi sampai sekarang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan dan suhu
tubuhnya adalah 36,80 C ( normal ). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis
kerja pada pasien ini adalah demam tifoid dalam perbaikan karena pada pasien ini
ditemukan riwayat demam tifoid yang baru selesei dirawat 10 hari yang lalu namun
pasien hanya meminum obat selama 3 hari post demam karena menurut teori seharusnya
pasien meminum obat tersebut selama 7 hari post demam.. Penatalaksanaannya adalah
dengan tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitative.
Tindakan preventifnya adalah istirahat yang cukup, hindari kelelahan dan stress
serta memakan makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein namun rendah serat.
Upaya promotifnya adalah memberi edukasi kepada pasien tentang penyakitnya.
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya bisa sembuh dan bisa saja kambuh jika
pasien tidak minum obat terarur dan tidak mentaati nasehat dokter.
Upaya kuratifnya adalah Paracetamol jika demam dan vitamin C 3x50 mg untuk
meningkatkan imun tubuh, serta melanjutkan obat yang diberikan oleh Rumah sakit.
Rehabilitatifnya adalah banyak makan dan istirahat yang cukup.
32
Demam Tifoid Pada Anak
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI
5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo
Surabaya.
7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
10. Harrison’s Practice. “Thypoid Fever”. 2009
11. The New England Journal of Medicine. “Thypoid Fever”. 2002
12. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com
13. Journal of Antimicrobial Chemotherapy “ Antibiotics for Salmonella Meningitis
in Children” 2000. London
14. International Centre for Diarrhoeal Disease Research “High-Dose Intravenous
Dexamethasone In The Management Of Diarrheal Patients With Enteric Fever
And Encephalopathy”. 2009. Bangladesh,
33