ENSEFALOPATI HEPATIKUM

37
I. ENSEFALOPATI HEPATIKUM I.1 Pendahuluan Ensefalopati adalah keadaan kebingungan akut yang berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran (dari mengantuk, stupor atau koma) 1 Sering dikelirukan dengan delirium yang merupakan keadaan kebingungan fluktuatif yang diakibatkan disfungsi serebral yang difus atau multifokal dengan ciri gangguan atensi, konsentrasi, orientasi dan memori, kesadaran berfluktuasi, gangguan berfikir, halusinasi, pembicaraan yang inkoheren dan agitasi. 1 Ensefalopati dapat disebabkan berbagai faktor,diantaranya : penyakit sistemik berat terutama pada pasien berusia tua dan demensia; zat toksik baik yang sistemik seperti benzodiazepine, propofol, steroid, dan sebagainya, maupun zat industri seperti organofosfat dan toksin dari lingkungan. Sering juga timbul akibat gejala withdrawal zat tertentu seperti : alkohol, yang dikenal dengan delirium tremens dan bentuk lain ensefalopati yang terkenal dengan istilah ensefalopati Wernicke. Penyebab metabolik diantaranya berupa : gangguan elektrolit seperti hiponatremia, gangguan kadar glukosa baik hipoglikemia maupun hiperglikemia (ketotik atau non-ketotik) dan gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Sedangkan ensefalopati septik dapat disebabkan berbagai infeksi diluar SSP, diantaranya : bakteremia/sepsis, infeksi saluran kemih/urosepsis, pneumonia, peritonitis, bacterial endocarditis, dan infeksi gastrointestinal. Ensefalopati akibat gangguan gastrointestinal yang tersering adalah ensefalopati hepatikum. 1,2 1

Transcript of ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Page 1: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

I. ENSEFALOPATI HEPATIKUM

I.1 Pendahuluan

Ensefalopati adalah keadaan kebingungan akut yang berhubungan dengan perubahan

tingkat kesadaran (dari mengantuk, stupor atau koma)1 Sering dikelirukan dengan delirium yang

merupakan keadaan kebingungan fluktuatif yang diakibatkan disfungsi serebral yang difus atau

multifokal dengan ciri gangguan atensi, konsentrasi, orientasi dan memori, kesadaran

berfluktuasi, gangguan berfikir, halusinasi, pembicaraan yang inkoheren dan agitasi.1

Ensefalopati dapat disebabkan berbagai faktor,diantaranya : penyakit sistemik berat

terutama pada pasien berusia tua dan demensia; zat toksik baik yang sistemik seperti

benzodiazepine, propofol, steroid, dan sebagainya, maupun zat industri seperti organofosfat dan

toksin dari lingkungan. Sering juga timbul akibat gejala withdrawal zat tertentu seperti : alkohol,

yang dikenal dengan delirium tremens dan bentuk lain ensefalopati yang terkenal dengan istilah

ensefalopati Wernicke. Penyebab metabolik diantaranya berupa : gangguan elektrolit seperti

hiponatremia, gangguan kadar glukosa baik hipoglikemia maupun hiperglikemia (ketotik atau

non-ketotik) dan gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Sedangkan

ensefalopati septik dapat disebabkan berbagai infeksi diluar SSP, diantaranya :

bakteremia/sepsis, infeksi saluran kemih/urosepsis, pneumonia, peritonitis, bacterial

endocarditis, dan infeksi gastrointestinal. Ensefalopati akibat gangguan gastrointestinal yang

tersering adalah ensefalopati hepatikum.1,2

Ensefalopati hepatikum menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada

kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) adalah suatu spektrum kelainan

neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hepar, sesudah mengekslusikan adanya penyakit

otak lain.3 Sedangkan dibeberapa literatur disebutkan bahwa ensefalopati hepatikum (EH) adalah

suatu sindrom neuropsikiatri kompleks, berupa gangguan kesadaran, perilaku, perubahan

kepribadian, gangguan kognitif, akibat komplikasi penyakit hati akut atau kronik yang

berhubungan dengan gangguan fungsi hepatoseluler atau akibat pintasan portosistemik atau

kombinasi keduanya.4,5,6

Sebagaimana diketahui, hati adalah salah satu organ yang berperan penting dalam

mengatur proses metabolisme tubuh (anabolisme dan katabolisme), menyimpan bahan-bahan

seperti glikogen dan vitamin,serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus. Apabila

terjadi kerusakan hati, maka fungsi-fungsi tersebut akan terganggu sehingga menyebabkan

terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat akumulasi zat-zat toksik. Gambaran klinis

gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati ini bermanifestasi dalam bentuk gangguan

neuropsikiatri yang dikenal sebagai koma hepatikum atau EH.7

1

Page 2: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Gangguan pada otak yang diakibatkan oleh penyakit hati terjadi melalui beberapa cara.

Gagal hati akut akan menyebabkan evolusi cepat menjadi koma, kejang dan tingginya angka

mortalitas akibat herniasi serebral yang berkaitan dengan hipertensi intrakranial dan hipoksia.

Bentuk kedua EH tampil dengan onset yang lebih lambat dan gejala yang lebih ringan dan dapat

pulih. Bentuk ketiga EH memperlihatkan evolusi kronis dengan gejala neuropsikiatrik yang

persisten.2,8

I.2 Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas:7,9

1. EH akut (fulminant hepatic failure), akibat kerusakan parenkim hati yang fulminan karena

infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Perjalanan

penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor pencetus.

2. EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal dengan

konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan berkurangnya fungsi proteksi

dan bersihan dari hati terhadap zat toksik. Gejalanya tidak progresif sehingga gejala

neuropsikiatri terjadi secara perlahan-lahan dan biasanya dicetuskan oleh faktor pencetus.

Klasifikasi lain membagi EH menjadi ensefalopati primer dan sekunder, yaitu:10

1. EH primer (endogen), disebabkan langsung oleh kerusakan hati yang difus atau nekrosis hati

yang meluas.

2. EH sekunder (eksogen), disebabkan bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi

disebabkan oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi seperti perdarahan saluran cerna

dan gangguan elektrolit.

Klasifikasi EH menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada kongres

dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) dapat dilihat pada gambar 1.6

I.3 Faktor Pencetus

Beberapa faktor pencetus terjadinya EH dapat dibagi atas 4 kelompok:5,7,9,10

Kelompok produk nitrogen :

perdarahan gastrointestinal, hiperazoemia, konstipasi, diet tinggi protein, h.pylori, uremia

Kelompok obat : opiat, benzodiazepin, diuretik, sedatif, fenol

Kelompok ketidakseimbangan metabolik :

hipokalemia, alkalosis, hipoksia, hiponatremia, hiperkalemia, dehidrasi

Lain-lain :

infeksi (peritonitis bakterial spontan, sepsis), operasi/pembedahan, hepatopati, gagal ginjal,

asam amino rantai pendek

2

Page 3: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

I.4 Patogenesis

Patogenesis EH belum diketahui secara pasti. Sebagai konsep umum, dikemukakan EH

terjadi akibat akumulasi sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut

dalam sirkulasi sistemik.5 Saat ini telah dipastikan bahwa terdapat perubahan multi organ perifer

seiring perubahan komunikasi intrasel otak yang dihasilkan oleh perubahan dalam astrosit.

Perubahan perifer, diantaranya terdapat pada:5

a. Usus halus

Terdapat kontroversi tentang peranan Helycobacter pylori, yang menghasilkan amonium

di lambung dalam patogenesis EH. Sebagian penelitian memperlihatkan prevalensi tinggi

infeksi pada individu dengan hepatitis alkoholik yang mengalami EH sebagaimana

individu dengan serosis dan ensefalopati kronik. Tetapi eradikasi H.pylori ini tidak

mempengaruhi kadar amonium pada kelompok pasien ini dan berperan pada

perkembangan EH.

b. Komunikasi sistemik portal

3

Gambar 1. Klasifikasi ensefalopati hepatikum Episodic HE (precipitated, spontaneous, recurrent); persistent HE

(mild,severe,,treatment dependent); minimal HE

Page 4: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Diperlihatkan bahwa sebagian kelainan kongenital yang menyebabkan shunt portal-

sistemik pada anak dapat muncul sebagai ensefalopati hepatik episodik, bahkan tanpa

kelainan hepar sebelumnya. Pasien serosis dengan shunt portal-sistemik mudah

berkembang menjadi EH dibandingkan pasien tanpa shunt portal-sistemik

c. Gagal hepar

Terdapat berbagai penelitian yang melaporkan bahwa gagal hepar merupakan penyebab

utama EH, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsi hepar yang berguna untuk

detoksifikasi amonium, sehingga meningkatkan kadar plasma amoniak dan memberikan

gejala klinis.

d. Otot

Penurunan masa otot pasien serosis dapat mencetuskan terjadinya EH. Atrofi otot tidak

hanya disebabkan kelainan hepar dan status nutrisi pasien, tetapi juga akibat peningkatan

sebagian sitokin seperti TNF-α yang akan mengaktifkan faktor transkripsi seperti NK-a

yang mengakibatkan penurunan sintesis miosin. Atrofi otot ini berhubungan dengan

rendahnya kapasitas metabolik untuk mendetoksifikasi amonium dan glutamin, dan

menyebabkan perkembangan kearah EH.

Perubahan di otak, diantaranya :5

a. Osmotik

Sebagian penelitian memperlihatkan adanya perubahan osmotik pada pasien dengan

edem serebri dan insufisiensi hepar. Otak yang edem, akan meningkatkan tekanan

intraserebral dan menyebabkan herniasi yang dapat menyebabkan kematian. Glutamin

dihasilkan dari detoksifikasi amonium dalam astrosit, sebagai osmol organik yang dapat

menyebabkan edem dalam astrosit. Diamati bahwa saluran air aquaphorin-4

mengendalikan air ke dalam sel. Terdapat juga bukti bahwa otak beradaptasi terhadap

perubahan selama kelainan hepar kronik. Determinasi langsung dan tak langsung osmol

organik dengan memakai spektroskopi pada pencitraan resonansi memperlihatkan

kehilangan myo-inositol, taurin, dan gliseril-fosfokolin, yang osmol-nya dipakai oleh

astrosit untuk pengaturan osmolalitas intrasel. Perubahan ini membuat otak lebih rentan

terhadap perubahan osmotik kedua.

b. Komunikasi aksonal

Terdapat bukti, pentingnya astrosit dalam mempertahankan fungsi neuron normal. Pada

EH tidak ada perubahan morfologi di neuron. Sedangkan, sel Alzheimer tipe II (astrosit)

memperlihatkan kelainan : dimana terjadi penurunan aktifitas transporter (glutamat),

meningkatkan ekspresi reseptor benzodiazepin dan meningkatkan aktifitas monoamin

oksidase (MAO). Sebagai akibatnya terjadi perubahan dalam komunikasi metabolik

4

Page 5: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

antara astrosit dan sel lain. Sebagai contoh, astrosit menghasilkan neurosteroid yang

mengaktifkan reseptor GABA dan reseptor benzodiazepin endogen.

c. Komunikasi endotel dengan astrosit : aliran darah otak dan EH

Pasien dengan EH memiliki fluktuasi dalam perfusi serebral. Sebagian hewan

eksperimental memperlihatkan peningkatan perfusi serebral pada keadaan tingginya

kadar amonium. Hal ini diaktifkan oleh sinyal intraserebral yang dibangkitkan sesudah

sintesis glutamin dalam astrosit. Hipotermia dan edem serebri dapat juga memiliki

peranan penting dalam rendahnya perfusi serebral yang diperlihatkan pada hewan coba

d. Hipotesis lain : 2,5,7,9

(1) Amonium

Sesudah detoksifikasi amonium oleh astrosit sebagian perubahan neurokimia terjadi.

Terdapat berbagai faktor yang berinteraksi dengan amonium, menyebabkan perubahan

dalam astrosit (hiponatremia, peningkatan sitokin, perubahan dalam ligand astrosit),

yang menghasilkan substrat anatomi dan sinergisme neurokimia yang dapat

meningkatkan perkembagan EH. Tetapi, tingginya kadar amonium tidak berhubungan

dengan beratnya ensefalopati. Di otak, amoniak dimetabolisme oleh astrosit menjadi

glutamin. Glutamin kemudian disimpan dalam sel, menyebabkan pembengkakan sel.

Amoniak secara in vitro dapat mengubah loncatan perpindahan pada membran sel saraf

dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Terjadi peningkatan

permeabilitas sawar darah otak tanpa rusaknya tight junction, mengakibatkan edema

serebri yang bisa berlanjut ke peningkatan TIK.

(2) Toksisitas sinergisme

Menurut hipotesis ini terdapat neurotoksin yang bersinergi dengan amoniak seperti

merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain. Merkaptan yang

dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus, akan menghambat pompa Na-K ATPase.

Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilamin dapat menekan aktivitas otak dan

enzim monoamin oksidase, laktat-dehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan prolin

oksidase yang berpotensiasi dengan zat toksik lain seperti amoniak, mengakibatkan

terjadinya koma hepatikum.

(3) Neurotransmiter palsu

Penurunan asam amino rantai cabang dapat merubah masuknya asam amino ke dalam

otak, yang menjadi prekursor neurotransmiter palsu yang merubah sintesis glutamin,

seperti oktapamin dan feletanolamin yang lebih lemah dari dopamin dan norepinefrin .

Pengalaman klinis dengan menambahkan asam amino merupakan terapi yang baik

karena asam amino memiliki efek langsung ke otot, meningkatkan detoksifikasi

5

Page 6: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

amonium. Jalur neurotransmisi lain terlibat dalam perkembangan EH adalah serotonin (5-

HT), opiat dan katekolamin. Faktor tambahan lain yang dapat menyebabkan episode EH

rekuren adalah status nutrisi khususnya pada penderita alkoholik yang mengalami

defisiensi vitamin dan mikronutrien, seperti kekurangan Zinc yang merupakan kofaktor

dalam siklus urea. Isu lain adalah kolonisasi H.pylori di lambung yang menghasilkan

urease.

(4) Benzodiazepin endogen

Amoniak yang meningkat akan menghambat aktivitas otak menyebabkan meningkatnya

efek GABA yang menghambat transmisi impuls disertai dengan adanya suatu substansi

yang menyerupai benzodiazepin.

I.5 Gambaran klinis

Dari perspektif neurologi, terdapat beberapa gejala dan tanda EH, yaitu:2,9,11

1. Perubahan status mental.

Pasien memperlihatkan perubahan perilaku ringan (stadium I) yang kadang teramati oleh

anggota keluarga. Misalnya pasien kesulitan dalam melakukan perhitungan matematis yang

sederhana, perubahan siklus bangun-tidur yang ditandai dengan kesulitan memulai tidur di

malam hari dan mengantuk di siang hari. Bila ensefalopati berlanjut, pasien akan terlihat letargi

dan cenderung somnolen (stadium II). Pada stadium III, kesadaran pasien stupor dan menjadi

koma pada stadium IV dengan derajat respon yang bervariasi terhadap rangsangan nyeri.

Klasifikasi ini dikenal dengan West Haven Classification.

2. Kelainan pada neuromuskular

a) Asterixis

Asteriksis adalah tanda klasik dari EH, meskipun bisa juga terlihat pada ensefalopati

metabolik lainnya (seperti pada uremia, retensi CO2 dan hipomagnesia). Pada mulanya

digambarkan sebagai gerakan palmar flapping yang terjadi tiba-tiba saat tangan

dikembangkan pada posisi dorsofleksi pada pergelangan tangan. Asterixis juga sering

terjadi pada otot-otot kaki, lidah, dagu. Patogenesis asterixis ini belum diketahui secara

pasti, diduga disebabkan oleh gangguan fungsi ganglia basal dan talamus.

b) Gangguan traktus kortikospinal

Pada pasien EH stadium yang berat, dapat dijumpai reflek babinski bilateral dan klonus.

c) Edema serebri

Seperti pada kelainan neurologi lainnya, edema serebri dapat tidak terdeteksi hingga

terjadi suatu peningkatan TIK yang jelas. Oleh karena itu penting untuk memantau

6

Page 7: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

reflek pupil dan reflek okulovestibuler pada gagal hati akut. Pada sirosis hepatis, edema

serebri ringan tidak terdiagnosis secara klinis.

d) Gejala ekstrapiramidal

Pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, dapat mengalami hipokinesia,

rigiditas dan tremor postural seperti pada penyakit Parkinson.

e) Degenerasi hepatoserebral.

Pada pasien dengan pintasan portosistemik yang berlangsung lama, dapat mengalami

degenerasi hepatoserebral berupa acquired hepatolenticular degeneration. Gejala

ekstrapiramidal dan serebelar yang terutama terlihat, bersamaan dengan gejala

paraparesis spastis, perubahan mood dan demensia.

f) Gangguan respirasi.

Merkaptan, suatu produk dari metabolisme bakteri usus dihubungkan dengan bau nafas

yang busuk (fetor hepatikus). Bisa juga dijumpai hiperventilasi akibat stimulasi pusat

pernafasan yang diinduksi oleh glutamat.

Selain klasifikasi menurut West Haven Classification diatas, klasifikasi yang dibuat oleh

Trey et al (1966) juga sering digunakan. Trey et al memasukan hasil rekaman

elektroensefalografi (EEG) sebagai salah satu kriteria. Klasifikasi tersebut adalah :12

1. Stadium 1 (prodromal)

a. Terjadi perubahan mental, berupa (1) kepandaian menurun, (2) tidur terganggu atau

tidak teratur, (3) euforia dan kadangkala depresi, (4) kebingungan yang ringan dan

berfluktuasi, (5) bereaksi lambat, (6) bicara tidak jelas, dan (7) suara monoton.

b. Tremor ada, tapi sedikit

c. Tidak ada perubahan pada rekaman EEG

2. Stadium 2 (impending koma atau prekoma)

a. Perubahan mental sama dengan stadium 1, tapi lebih nyata

b. Terdapat flapping tremor. Kadang dapat terjadi tremor pada kelopak mata yang tertutup,

pada bibir yang dikatupkan dan pada lidah yang dijulurkan.

c. Pada EEG terlihat kelainan berupa perlambatan gelombang otak

3. Stadium 3 (stupor)

a. Mulai tampak seperti tidur, tetapi kadang masih ada reaksi. Berbicara inkoheren dan

kekacauan pikiran makin nyata.

b. Flapping tremor biasanya ada bila pasien masih bisa kooperatif

c. EEG abnormal

4. Stadium 4 (koma dalam)

7

Page 8: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

a. Terlihat seperti orang tidur yang dalam dan nyenyak. Bisa atau tidak bereaksi terhadap

rangsangan

b. Tremor tidak ada

c. EEG abnormal

I.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang:5,12,13

1. Tentukan stadium dari EH, yang merupakan kombinasi dari penilaian perubahan derajat

kesadaran, perubahan perilaku dan gangguan neuromuskular

2. Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien dengan gagal hati akut.

Kadar > 200μg/dL mengindikasikan risiko tinggi terjadinya herniasi serebral

3. Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan gangguan

kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor ensefalopati hepatik psikometri

(PHES) seperti Number Connection test A dan B, line drawing, digital symbols dan points

following dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan tersebut, terutama fokus pada

waktu untuk bereaksi dan ketepatan, konstruksi visual, konsentrasi, atensi dan memori.

4. Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan yang progresif

berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead frontal dan menyebar ke posterior

sesuai dengan makin dalamnya penurunan kesadaran. Perubahan ini khas namun tidak

spesifik, dapat membantu dalam mengidentifikasi kelainan difus namun tidak cukup dalam

mendiagnosis gagal hati

5. Pemeriksaan imajing otak. CT scan atau MRI kepala hanya membantu dalam

menyingkirkan lesi struktural. Namun pada EH stadium lanjut, pemeriksaan ini penting

untuk mengetahui adanya edema serebri.

I.7 Penatalaksanaan

Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan EH adalah: 7,9

1. Mengobati penyakit dasar

2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus

3. Mengurangi dan mencegah pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak dengan

cara mengurangi asupan protein, pemberian asam amino rantai cabang, pemberian laktulosa

dan antibiotika dan pembersihan saluran cerna bagian bawah

4. Upaya suportif jka ditemukan komplikasi seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna

dan gangguan keseimbangan elektrolit

8

Page 9: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

5. Memperbaiki eliminasi amoniak. Zink adalah kofaktor semua reaksi pada siklus urea. Pasien

dengan sirosis dan defisiensi zink mengalami perbaikan dalam mensintesis urea setelah

suplementasi zink. Pemberian suplemen jangka panjang sangat bermanfaat pada pasien

dengan ensefalopati kronik ringan

6. Memperbaiki abnormalitas dari neurotransmiter.

I.8 Prognosis

Prognosis tergantung pada keparahan EH/gagal hati dan lamanya /waktu. Pasien dengan

gagal hati berat 30% meninggal karena EH. Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau

gagal hati fulminan, 80% akan berakhir dengan kematian.14

II. SIROSIS HATI

II.1 Pendahuluan

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis

hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan

pembentukan nodulus degeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.13

II.2 Klasifikasi dan Etiologi

Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata dan dekompensata.

Berdasarkan morfologi, sirosis hati (SH) dibagi menjadi (1) makronodular (besar nodul lebih

dari 3 mm) , (2) mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) dan (3) kombinasi antara bentuk

makronodular dan mikronodular.12,13 Sebagian besar SH diklasifiasikan secara etiologis dan

morfologis, yaitu: (1) alkoholik, (2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrotik), (3) biliaris,

(4) kardiak, dan (5) metabolik, keturunan dan terkait obat. Etiologi tersering penyakit ini di

negara barat adalah alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B

dan C.13

11.3 Patologi dan Patogenesis

Gambaran patologi hati pada SH pasca nekrotik biasanya mengkerut, berbentuk tidak

teratur dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar.

Gambaran mikroskopis konsisten dengan gambaran makroskopis. Pada patogenesis SH pasca

nekrotik, terdapat peran dari sel stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran

dalam keseimbangan pembentukan matriks ektraseluler dan proses degradasi. Pembentukan

9

Page 10: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

fibrosis menunjukkan perubahan pada proses keseimbangan ini. Jika terpapar faktor tertentu

yang berlangsung secara terus menerus (misalnya hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik),

maka sel stelata menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis

juga berjalan terus di dalam sel stelata dan jaringan hati yang normal diganti oleh jaringan ikat.13

11.4 Gambaran klinis

Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan perut kembung, mual, berat badan

menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya

dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata) gejala-gejala lebih menonjol

terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal meliputi hilangnya rambut

badan, gangguan tidur dan demam yang tidak terlalu tinggi.13 Pada pemeriksaan fisik dapat

dijumpai spider angioma (spider telangiektasi), eritema palmaris, perubahan kuku Muchrche, jari

gada, kontraktur dupuytren, ginekomastia, atroi testis hipogonadisme, hepatomegali,

splenomegali, asites, fetor hepatikum, ikterik dan asterixis bilateral.13

II.5 Gambaran Laboratoris

Tes fungsi hati meliputi pemeriksaan enzim aspartat dan alanin aminotransferase (AST

dan ALT), alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase (GGT), bilirubin, albumin dan waktu

protrombin. AST dan ALT meningkat tapi tidak begitu tinggi. Alkali fosfatase meningkat kurang

dari 2-3 kali batas normal atas. γGT konsentrasinya tinggi pada sirosis alkoholik. Bilirubin

konsentrasinya bisa meningkat pada sirosis lanjut. Albumin konsentrasinya menurun sesuai

dengan perburukan sirosis, sedangkan globulin konsentrasinya meningkat. Waktu protrombin

memanjang dan natrium serum kadarnya menurun pada sirosis dengan asites. USG sudah rutin

digunakan karena non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang.13

II.6 Diagnosis

Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan SH. Pada

proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan

pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologis dan pemeriksaan penunjang

lainnya. Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan tanda-

tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.13

10

Page 11: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

II.7 Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasi yang ditimbulkannya.

Komplikasi yang sering dijumpai antara lain adalah: (1) peritonitis bakterialis spontan (PBS), (2)

sindroma hepatorenal, (3) varises esofagus, dan (4) EH.13

II.8 Pengobatan

Terapi ditujukan untuk mengurangi progesifitas penyakit hati, menghindari bahan-bahan

yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.13

II.9 Prognosis

Prognosis SH sangat bervariasi, dipengaruhi oleh sejumlah faktor (etiologi, beratnya

kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai). SH saat ini masih dianggap

sebagai kondisi yang ireversibel. Sepuluh persen pasien SH kompensata akan menjadi

dekompensata setiap tahunnya. Penderita SH dekompensata mempunyai angka ketahanan hidup

5 tahun hanya sekitar 20%. Sedangkan penderita SH hati dengan komplikasi PBS mempunyai

angka ketahanan hidup sebesar 30-40% dan pada EH sekitar 40% dalam satu tahun.15

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki usia 44 tahun, dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP DR M

Djamil Padang sejak tanggal 6 -12- 2011, dengan:

Keluhan Utama :

Gelisah dan meracau sejak 12 jam yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Demam sejak 2 minggu yang lalu, tidak menggigil dan tidak berkeringat dan menurut

keluarga, pasien terlihat pucat disertai buang air kecil berwarna teh pekat.

- Pasien juga mengeluh sakit perut sejak 2 minggu yang lalu, hilang timbul dan disertai mual

sejak 3 hari terakhir

- Tidur malam kurang nyenyak sejak 2 minggu yang lalu

- Nafsu makan berkurang sejak 3 hari yang lalu dan mengalami buang air besar berwarna

hitam

- Pasien terlihat gelisah didahului banyak tidur sejak 12 jam yang lalu dan saat di IGD rumah

sakit os meracau dan mengamuk.

- Mata terlihat kuning tidak ada

11

Page 12: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat sakit kuning atau sakit liver sebelumnya tidak ada

- Riwayat transfusi darah tidak ada

- Riwayat operasi bedah tulang 11 tahun yang lalu ec. fraktur cruris sinistra

- Riwayat hipertensi tidak ada

- Riwayat DM tidak ada

Riwayat penyakit keluarga

- Riwayat orang tua sakit kuning disangkal

- Kakak no.2 (laki-laki) meninggal karena penyakit liver

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

- Pasien seorang pekerja swasta

- Riwayat minum alkohol sejak 17 tahun yang lalu

- Riwayat suka makan kacang-kacangan tidak ada

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : delirium Tinggi badan : 165 cm

Keadaan umum : sedang Berat badan : 65kg

Tekanan darah : 130/70 mmHg IMT : 23,9 (normoweight)

Frek nadi : 112 x/menit

pengisian cukup Sianosis : (-)

Frek nafas : 26 x/menit Edema : (-)

Suhu : 38C Anemis : (+)

Keadaan gizi : sedang Ikterik : (-)

Kulit : spider nevi (-)

Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran

Kepala : tidak ditemukan kelainan

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : tidak ada kelainan

Hidung : tidak ada kelainan

Tenggorokan : tidak ada kelainan

Gigi & Mulut : carries (+), mukosa mulut tidak ikterik

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Dada: Paru

Inspeksi : Simetris statis dan dinamis kiri = kanan, spider nevi (-)

Palpasi : Fremitus kiri = kanan

12

Page 13: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Perkusi : Sonor kiri = kanan, pekak hepar pada RIC V

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rokhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus tak terlihat

Palpasi : Iktus teraba 2 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Batas Jantung kiri : 1 jari med LMCS RIC V, batas kanan: LSD,

batas atas: RIC II

Auskultasi : Bunyi jantung murni, reguler M1>M2, P2<A2, bising (-)

Perut

Inspeksi : Perut tidak membuncit

Palpasi : Hepar teraba 1 jari bawah arkus kostarum, pinggir tumpul, rata,

konsistensi padat,

Perkusi : Shiffting dullness (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : Nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA(-)

Alat kelamin : Tak ada kelainan

Anus : Tidak ada kelainan

Anggota gerak : Edema (-/-), palmar eritema (+/+), flapping tremor (+)

Status neurologi:

Kesadaran apatis; GCS: E3M5V4 = 12

Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), Kernig (-)

Tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK): tidak ada

Nn. Kranialis:

N I : penciuman belum bisa dinilai

N II : belum bisa dinilai

N III : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), pupil isokor Ø 3mm, ptosis (-),

motorik tidak bisa dinilai

N IV : belum bisa dinilai

N V : reflek kornea (+/+), motorik dan sensorik belum bisa dinilai

N VI : belum bisa dinilai

N VII : motorik: wajah simetris dengan rangsang nyeri

sensorik: belum bisa dinilai

N VIII : belum bisa dinilai

N IX,X : arcus faring simetris, uvula ditengah, reflek muntah ada

N XI : belum bisa dinilai

13

Page 14: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

N XII : belum bisa dinilai

Motorik: ekstremitas superior dan inferior tidak nampak lateralisasi

Reflek fisiologis:

Bisep ++ ++

Trisep ++ ++

KPR ++ ++

APR ++ ++

Reflek patologis:

Babinski + +

Tes fungsi kognitif : NCT (number connection test) tidak bisa dilakukan

Hasil Laboratorium

6 Desember 2011

Darah (RSUD Padang) :

Hb : 5,2 gr % SGOT : 94 u/L

Leukosit : 47.900/mm³ SGPT : 69 u/L

GDR : 249 mg/dl Total protein : 5,1 g/dL

Bilirubin total : 0,6 mg/dL Albumin : 1,7 g/dL

Bilirubin direk: 0,5 mg/dL Globulin : 3,4 g/dL

Bilirubin indirek: 0,1 mg/dL

RSUP DR.M.Djamil Padang :

Hb : 5,7 gr% Protein total : 5,1 g/dL

Lekosit : 58700/mm3 Albumin : 1,7 g/dL

Hitung jenis : 0/0/2/70/17/2 Globulin : 3,4 g/dL

LED : 48 /mm Bilirubin total : 0,6 mg/dl

Trombosit : 289000 Bilirubin direct : 0,5 mg/dL

Eritrosit : 1,89 juta/mm3 Bilirubin indirect : 0,1 mg/dL

MCV : 103 fL Natrium : 134 mmol/L

MCH : 30,3 pg Kalium : 4,8 mmol/L

MCHC : 29,3% Khlorida : 107 mmol/L

Hematokrit : 19,6 ‰ HBsAg : (+)

Retikulosit : 70‰ (5-10 ‰) Ureum : 85,25 g/dL

Creatinin : 0,96 g/dL

Kesan: Eritrosit : anisositosis, normokrom, polikromasi

Leukosit : leukositosis, netrofil shift to the left

14

Page 15: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Trombosit: jumlah cukup

Kimia klinik :

pH : 7,51 APTT : 29 detik (29,2-39,4)

pCO2 : 23 mHg PT : 13,4 detik (10,0-13,6)

pO2 : 62 mmHg Hb : 6,2 g/dL

Na+ ; 132 mmol/L Ht : 18,9 %

K+ : 4,5 mmol/L Leukosit : 63.300 /mm3

HCO3- : 18,4 mmol/L Trombosit : 292.000/mm3

HCO3 std : 22,4 mmol/L

TCO2 : 19,1 mmol/L

BE ecf : -4,6 mmol/L

BE (B) : -3,2 mmol/L

SO2 c : 94 %

THbc : 11,2 g/dL

Kesan :

Anemia berat normositik normokrom ec. hemolitik et hemoragik

Hipoksia ec?

EKG:

Heart rate : 75 x/menit ST segmen : isoelektrik

Irama : sinus T inverted : V1

Axis : normoaxis SV1+RV5 : < 35 mm

Gel P : normal R/S V1 : < 1

QRS komplek : 0,08 detik Q patologis : (-)

PR interval : 0,16 detik Kesan : dalam batas normal

Foto Thorax : kesan dalam batas normal

Diagnosis Kerja:

Prekoma hepatik Sherlock grade II ec. sekunder

Hematemesis melena ec. pecahnya varises esofagus ec. sirosis hepatis post nekrotik

stadium dekompensata

Anemia berat normositik normokrom

Hipoalbuminemia

15

Page 16: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

SIRS

Terapi

- Istirahat/ NGT/puasa - Ranitidine 2 x 50 mg (IV)

- IVFD Comafuchsin :Triofuchsin : NaCl 0,9% =

2:1:1 (6 jam/500cc)

- Drip sandostatin 2 ampul dalam D5% 500

cc 8 jam/kolf

- Cefotaksim 2 x 1 gram (IV) - Transfusi PRC s.d Hb 8 gr/d

- Transamin 3 x 1gram (IV) - Madopar 3 x 1 tab (po)

- Vit K 3x 1 ampul (IV) - Lactulac 3 x 30 cc (po)

- Koreksi albumin -Klisma/hari

Pemeriksaan anjuran

- Faal hepar (bilirubin total, bilirubin I dan II, SGOT, SGPT, albumin, globulin, γGT)

- USG abdomen

- Darah lengkap (eritrosit, MCV, MCH,MCHC, retikulosit, trombosit)

- Gastroskopi

- PT/APTT

- SGOT/SGPT

- Bilirubin direct/indirect

- Albumin, globulin

- Cek Hb serial

- EEG

Follow up

Tanggal 7-12-2011

A/ Mulai bisa diajak bicara, tidur kurang, mengeluh sakit perut, NGT masih berdarah, BAK

seperti teh pekat

PF/ KU : lemah TD : 140/80 mmHg Nafas : 20x/menit

Nadi : 110 x/menit Suhu : 36,5C

Kesadaran : CMC, Flapping tremor (+)

NCT : 2 menit 18 detik

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus ec.sirosis hepatis post nekrotik

stadium dekompensata

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS

16

Page 17: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

- Hipoalbuminemia

Th/ - Lanjut

- Transfusi PRC s.d Hb 8 gr/dL

- Koreksi albumin

Tanggal 8-12-2011

A/ pasien sadar, sakit perut (+), darah di NGT (+), BAK seperti teh pekat (+)

PF/ KU : sedang TD : 110/80 mmHg Nafas : 20x/menit

Nadi : 96x/menit Suhu : 38C

Kesadaran : CMC, Flapping tremor (-/-)

Hasil laboratorium:

Darah: Hb : 6,3 gr% MCV : 101 fL

Lekosit : 26.100/mm3 MCH : 31 pg

LED : 39 MCHC : 31 %

Hitung Jenis : 0/2/3/76/15/4 Ht : 21%

Trombosit : 217.000/ mm3 Retikulosit : 60 ‰

Eritrosit : 2,04 juta/mm3

Kesan :

Eritrosit : hipokrom, polikromasi

Leukosit : jumlah sangat meningkat, netrofil shift to the left

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus ec. sirosis hepatis post nekrotik

stadium dekompensata

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS

- Hipoalbuminemia

Tanggal 10-12-2011

A/ pasien sadar, sakit perut (+), darah di NGT (-), BAK seperti teh pekat (-)

PF/ KU : sedang TD : 110/60 mmHg Nafas : 20x/menit

Nadi : 90x/menit Suhu : 37,4C

CMC, Flapping tremor (-/-)

Urinalisa:

17

Page 18: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Makroskopis: Warna : kuning

Mikroskopis: Leukosit : (+) (7-8/LPB) Bilirubin : (-)

Eritrosit : (+)(1-2/LPB) Urobilinogen : (+)

Epitel : gepeng (+) Protein : (-)

Glukosa : (-)

Protein total ; 3,2 g/dL

Bilirubin total 1,3 g/dL

Bilirubin direct : 0,83 g/dL

Bilirubin indirect : 0,47 g/dL

Trigliserida ; 82,9 mg/dL

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan)

- Sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS

- Hipoalbuminemia

Tanggal 11-12-2011

A/ pasien sadar, BAK seperti teh pekat (-), edem kedua tungkai (+)

PF/ KU : sedang TD : 110/60 mmHg Nafas : 20x/menit

Kes : CMC Nadi : 90x/menit Suhu : 37,1C

NCT : 1 menit

USG Abdomen :

18

Page 19: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Hati : membesar, permukaan tidak rata, parenkim heterogen, kasar, pinggir tajam, vena tidak

melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena portal melebar Ø 14,2 cm

Kandung Empedu : dinding tebal, batu (-)

Pankreas ; normal

Lien : membesar

Ginjal : tidak membesar, batu (-), hidronefrosis (-), kista(-)

Diagnosa USG : serosis hati, splenomegali, hipertensi portal

Kolesistitis kronis

19

Page 20: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec. sirosis hepatis

post nekrotik stadium dekompensata

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS

Tanggal 15-12-2011

A/ pasien sadar, makan kurang, BAB kurang lancar, edem tungkai dan perut membesar

PF/ KU : sedang TD : 120/90 mmHg Nafas : 20x/menit

Kes : CMC Nadi : 84x/menit Suhu : 36,6C

Hasil Laboratorium : ureum : 19,91 g/dL; creatinin : 0,61 g/dL (kesan : perbaikan)

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec sirosis hepatis

post nekrotik stadium dekompensata

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS (perbaikan)

- Hipoalbuminemia

Th/ Lanjut

Koreksi albumin

Tanggal 17-12-2011

A/ edem tungkai (+), perut agak membesar

PF/ KU : sedang TD : 130/80 mmHg Nafas : 20x/menit

Kes : CMC Nadi : 72x/menit Suhu : afebris

Hasil Laboratorium :

Hb : 10,7 g/dL ureum ; 19,91 g/dL

Protein total : 6,397 g/dL creatinin : 0,61 g/dL (kesan : perbaikan)

Albumin : 2,275 g/dL;

Globulin 4,1 g/dL

WD/ - Prekoma hepatikum (perbaikan)

- Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec sirosis hepatis

post nekrotik stadium dekompensata

20

Page 21: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

- Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises

esophagus

- SIRS (perbaikan)

- Hipoalbuminemia

Th/ Lanjut

Koreksi albumin

Tanggal 19-12-2011

Albumin : 2,454 g/dL

Tanggal 22-12-2011

Gastroskopi :

- Esofagus : varises esophagus grade III

- Lambung : Gastropati HP

Gastroskopi masuk sepanjang 85 cm

Kesan : Varises esophagus grade III

Gastropati HP

Tanggal 24-12-2011

Pasien minta pulang.

DISKUSI

Telah dilaporkan kasus, seorang pasien laki-laki berumur 44 tahun dengan diagnosis

awal:

Prekoma hepatik Sherlock grade II

Hematemesis melena ec. pecahnya varises esofagus ec. sirosis hepatis post nekrotik

stadium dekompensata

Anemia berat normositik normokrom

Hipoalbuminemia

SIRS

Diagnosis ini berdasarkan pada anamnesis gelisah dan meracau sejak 12 jam yang lalu dan

termasuk klasifikasi Sherlock grade II karena ditemukan penurunan kesadaran berupa

kebingungan, bicara tidak jelas dan meracau disertai adanya flapping tremor. Diperkirakan EH

yang terjadi adalah sekunder akibat adanya faktor presipitasi berupa perdarahan saluran cerna,

infeksi (SIRS) dan dehidrasi serta adanya riwayat gangguan tidur 2 minggu sebelumnya.

Demikian juga berdasarkan klasifikasi menurut West Haven classification dan klasifikasi

21

Page 22: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

menurut Trey dkk, pasien dikategorikan pada EH stadium II karena dijumpai adanya gangguan

status mental dan gejala neuromuskular yaitu asterixis (flapping tremor).

Pada pasien ini ensefalopati yang dialami akibat kondisi anemia berat (Hb waktu masuk

rumah sakit 5,7 g%) dan hipoksia (berupa saturasi oksigen yang 94%) sehingga menyebabkan

oksigenisasi otak terganggu. Setelah dikoreksi dengan pemberian transfusi PRC dan oksigenisasi

kesadaran cepat membaik (pada hari ke II rawatan). Pada literatur dikatakan bahwa hipoksia

sering dialami oleh pasien EH yang merupakan pertanda bahwa kelainan heparnya cukup berat,

dimana sering dijumpai hiperventilasi dengan turunnya tekanan arteri PCO2 dan meningkatnya

kadar pH yang terutama timbul pada keadaan koma sampai koma dalam sedangkan bila dijumpai

asidosis metabolik biasanya jarang diakibatkan oleh gangguan hepar. Pada pasien ini dijumpai

hipoksia dengan PCO2 turun tetapi PH asidosis metabolik tidak sesuai dengan gangguan

heparnya. Sedangkan kriteria SIRS dapat ditegakkan sesuai data suhu yang tinggi (demam-suhu

38 TC), leukosistosis (leukosit > 12.000/mm3 ), takikardia (Nadi > 90 x/menit), frekuensi nafas >

20 x/menit.

Pemeriksaan NCT yang dilakukan pada hari ke-2 rawatan tidak sesuai dengan klinis

dimana pasien sudah compos mentis tetapi NCT sangat rendah (2 menit 18 detik). Hal ini dapat

disebabkan karena kondisi pasien yang masih berbaring dan belum bisa duduk atau memang

masih mengalami mild EH. Nilai normal number connection test dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Waktu yang dibutuhkan Stadium EH

s.d 30 detik

31-50 detik

51-80 detik

81-120 detik

Sukar melakukan

-

0-1

1-2

2-3

3

Number connection test direkomendasikan untuk menilai EH akan tetapi dapat dipengaruhi usia

dan tingkat pendidikan.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai hepar membesar 2 jari arkus kosta dan lien teraba S2.

Dijumpai shifting dullness dan nyeri tekan serta nyeri lepas di seluruh permukaan abdomen.

Pada anggota gerak dijumpai palmar eritem dan edema pada kedua tungkai. Dari pemeriksaan

laboratorium dijumpai adanya anemia normokrom normositik dan hipoalbuminemia. Semua data

ini sesuai untuk pasien dengan serosis hepatis stadium dekompensata dan dibuktikan dari hasil

USG abdomen dengan kesan serosis hati, splenomegali, hipertensi portal dan kolesistitis kronis

22

Page 23: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Pada hari kelima rawatan terjadi perbaikan, hematemesis dan melena tidak dijumpai lagi,

tetapi Hb masih rendah sehingga pada pasien belum bisa dilakukan endoskopi dan transfusi

masih lanjut sedangkan analisa cairan ascites tidak dilakukan karena ascites minimal. Kadar

albumin masih rendah dan sesuai klinis terdapat ascites di perut dan edem kedua tungkai dan

direncanakan koreksi albumin. Perbaikan Hb terjadi pada hari ke 11 rawatan dimana Hb : 10,7

g/dL dan albumin pada hari ke-13 rawatan naik menjadi: 2,454 g/dL, dan hasil ini sejalan dengan

perbaikan klinis. Profil lipid dalam hal ini kadar trigliserida yang menurun sesuai untuk

gambaran adanya gangguan fungsi sintesis hepar dan dari laboratorium tidak ditemukan kesan

kearah kolestasis.

Pasien mendapat terapi prekoma sesuai dengan tujuan terapi EH, selain itu pasien juga

mendapat terapi untuk SIRS yaitu pemberian antibiotik sefalosporin generasi ke-3intravena

dalam hal ini diberikan cefotaksim 2 x 1 gr serta rehidrasi dan oksigenisasi yang adekuat. Pada

terapi prekoma, salah satu obat yang didapat pasien adalah madopar (mengandung L-dopa dan

benserazid), obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi gejala penyakit Parkinson.

Mekanisme kerja L-dopa pada ensefalopati hepatikum ini belum diketahui dengan pasti. Diduga

neurotransmitter palsu seperti oktopamin, yang dihasilkan di saluran cerna dari degradasi

nitrogen yang normalnya didetoksikasi di hepar, mencapai sirkulasi serebral pada kasus penyakit

hati akut atau kronik melalui kolateral porto-sistemik. Neurotransmiter palsu ini berkompetensi

dengan dopamin, suatu neurotransmitter sinaptik di formasio retikularis di batang otak sehingga

dapat menyebabkan penurunan kesadaran. L-dopa, yang merupakan prekursor dopamine dapat

mengganti neurotransmitter palsu ini setelah diubah menjadi dopamin sehingga dapat

memperbaiki kesadaran.

Setelah mendapat terapi, keadaan pasien makin membaik. Salah satunya ditandai dengan

hilangnya flapping tremor. Patogenesis flapping tremor ini juga belum diketahui dengan pasti,

diduga karena adanya gangguan di ganglia basal (khususnya substansia nigra yang menghasilkan

dopamine) dan thalamus. Oleh karena itu madopar dapat juga dipakai untuk memperbaiki gejala

asterixis ini.

Prognosis pada pasien adalah dubia ad malam karena keadaan pasien sangat rentan untuk

berulang dan dianjurkan untuk beristirahat cukup, kontrol teratur dan diet rendah protein.

Daftar Pustaka

1. Wright WL, Encephalopathy. In : Handbook of neurocritical care. 10 th Ed. New Jersey.

Humana Press, 2004 : 19-30

23

Page 24: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

2. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Multifocal, diffuse, and metabolic brain disease

causing delirium, stupor, or coma. In: Plum and Posner Diagnosis of Stupor and Coma. 4 th

ed. Oxford: Oxford University Press, 2007: 224-240

3. Dhiman RK, Saraswat VA, Sharma BK, Sarin SK, Chawla YK, Butterwoth E et al. 2010.

Minimal hepatic encephalopathy: consensus statement of a working party of the Indian

National Association for Study of the Liver. Journal of Gastroenterology and Hepatology 25

(2010) 1029–1041.

4. Tarigan P. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S editor.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi ke-1. Jakarta: Jayabadi, 2007: 407-419

5. Lizardi-Cervera J, Almeda P, Guevara L, Uribe M. hepatic encephalopathy : a review in

Annals of Hepatology 2003; 2(3): July-September: 122-130

6. Prakash R, Mullen KD. 2010 Mechanisms, diagnosis and management of hepatic

encephalopathy. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 7, 515–525

7. Zubir N. Koma Hepatikum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M,

Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 499-451

8. Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine

and oxidative stress. Annals of Hepatology; 8 (2) : April-June: 95-102

9. Blei AT, Weissenborn K. Hepatic Rncephalophaty. In: Billler J et al eds. The Interface of

Neurology & Internal Medicine. Philadelphia: Wolter Kluwer Lippicont Williams and

Wilkins, 2008: 281-289

10. Komolmit P, Davies M. Hepatic Encephalopathy.In: Management of severe liver disease.

Leeds: The Medicine Publishing Company Ltd, 1999: 77-79

11. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. 2002. Hepatic

encephalopathy-definition, nomenclature, diagnosis, and quantification : final report of the

working party at the 11th world congresses of gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology :

716-722

12. Hadi S. Koma Hepatikum.1995. Dalam : Gastroenterologi. Edisi ke-6. Bandung : Penerbit

Alumni : 447-460

13. Nirdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M,

Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 443-4446

14. Irawan C, Abdullah M, Tarigan TJE, Marbun MB, Rinaldi I, Chen K et al. Ensefalopati

Hepatik. Dalam: Irawan C, Tarigan THE, Marbun MB editor. Panduan tatalaksana

24

Page 25: ENSEFALOPATI HEPATIKUM

kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta: Internal Publishing

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009: 44-47

15. Setiawan, Purnomo B. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas

Airlangga. Surabaya: Penyakit Dalam FK Unair, 2006: 129-136

25