Ensefalopati Fixed

download Ensefalopati Fixed

of 35

description

klkk

Transcript of Ensefalopati Fixed

PRESENTASI KASUSENSEFALOPATI HEPATIKUM

DIPRESENTASIKAN OLEH :Raisa Desyta Adliza 1102011220

PEMBIMBING : Dr. SIBLI, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMRSUD ARJAWINANGUN

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun tugas kasus yang berjudul Chronic Kidney Disease Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun agar di kesempatan yang akan datang penulis dapat membuat karya tulis yang lebih baik lagi.Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sibli Sp.PD serta berbagai pihak Rumah Sakit Arjawinangun yang telah membantu menyelesaikan tugas presus ini.Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Arjawinangun, Agustus 2015

Penulis

Lembar Pengesahan Presentasi Kasus

Nama dokter muda :1.Raisa Desyta Adliza.110.2011.220

Telah diajukan dan disahkan oleh dr. Sibli, SpPDDi Arjawinangun, Cirebon pada tanggalbulantahun 2015

Mengetahui :Kepala SMF Ilmu Penyakit Dalam Dosen pembimbing RSUD Arjawinangun Cirebon

dr. Sibli Sp.PD dr. Sibli Sp.PD

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....iiLEMBAR PENGESAHAN........iiiDAFTAR ISI...ivTINJAUAN PUSTAKA..1LAPORAN KASUS ..17ANALISA KASUS....22DAFTAR PUSTAKA....31

16

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATISI. DefinisiSirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati,yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal. Nodul-nodul regenerasi ini dapat berukuran kecil (mikronodular) atau besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap.1 Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas sirosis hati kompensata dansirosis hati dekompensata. Sirosis hati dekompensata disertai dengan tanda-tandakegagalan hepatoseluler dan hipertensi portal.2

II. EtiologiTerdapat tiga pola khas yang ditemukan pada kebanyakan kasus-sirosis Laennec, pascanekrotik, dan biliaris.11. Sirosis LaennecSirosis Laennec (disebut juga sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi) merupakan suatu pola khas sirosis terkait penyalahgunaan alkohol kronis yang jumlahnya sekitar 75% atau lebih dari kasus sirosis. Sejumlah 10- 15% peminum alkohol mengalami sirosis. Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak). Para pakar umumnya setuju bahwa minuman beralkohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati. Akumulasi lemak mencermikan adanya sejumlah gangguan metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya jumlah keluaran trigliserida dari hati, dan menurunnya oksidasi asam lemak. Individu yang mengonsumsi alcohol dalam jumlah berlebihan juga mungkin tidak makan selayaknya. Penyebab utama kerusakan hati tampaknya merupakan efek langsung alkohol pada sel hati, yang meningkat pada saat malnutrisi. Pasien dapat mengalami beberapa defisiensi nutrisi, termasuk tiamin, asam folat, piridoksin, niasin, asam askorbat, dan vitamin A. Pengeroposan tulang sering terjadi akibat asupan kalsium yang menurun dan gangguan metabolisme. Asupan vitamin K, besi, dan seng juga cenderung menurun pada pasien-pasien ini. Defisiensi kalori protein juga sering terjadi. Secara makroskopis hati membesar, rapuh, tampak berlemak, dan mengalami gangguan fungsional akibat akumulasi lemak dalam jumlah banyak. Bila kebiasaan minum alkohol diteruskan, terutama apabila semakin berat, dapat terjadi sesuatu hal yang akan memacu seluruh proses sehingga akan terbentuk jaringan parut yang luas. Sebagian pakar yakin bahwa lesi kritis dalam perkembangan sirosis hati mungkin adalah hepatitis alkoholik. Hepatitis alkoholik ditandai secara histologis oleh nekrosis hepatoselular, sel-sel balon, dan infiltrasi PMN di hati. Akan tetapi, tidak semua penderita lesi hepatitis alkoholik akan berkembang menjadi sirosis hati yang lengkap. Pada kasus sirosis Laennec sangat lanjut, lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal terbentuk pada tepian lobulus, membagi parenkim menjadi nodul-nodul halus. Nodul-nodul ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai upaya hati untuk mengganti sel sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang sel-sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal. Pada keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus. Hati akan menciut, keras, dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir sirosis, yang menyebabkan terjadinya hipertensi portal dan gagal hati. Penderita sirosis Laennec lebih berisiko menderita karsinoma sel hati primer.

2. Sirosis pascanekrotikSirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati.Hepatosit dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan diselingi dengan parenkim hati normal. Sekitar 25-75% kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya. Banyak pasien yang memiliki hasil uji HbsAg-positif, sehingga menunjukan bahwa hepatitis kronis aktif merupakan peristiwa penting. Ciri khas sirosis pascanekrotik adalah bahwa tampaknya sirosis ini adalah faktor predisposisi timbulnya neoplasma hati primer (karsinomahepatoselular).

3. Sirosis biliarisKerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola sirosis yang dikenal sebagai sirosis biliaris. Tipe ini merupakan 2% penyebab kematian akibat sirosis.tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik. Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis Laennec. Hati membesar, keras, bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini, demikian pula pruritus, malabsorpsi, dan steatorea. Sirosis biliaris primer menampilkan pola yang mirip dengan sirosis biliaris sekunder, namun lebih jarang ditemukan. Penyebab keadaan ini (yang berkaitan dengan lesi duktulus empedu intrahepatik) tidak diketahui. Sirosis biliaris primer paling sering terjadi pada perempuan usia 30-65 tahun dan disertai dengan berbagai gangguan autoimun. Hipertensi portal yang timbul sebagai komplikasi, jarang terjadi. Osteomalasia terjadi pada sekitar 25% penderita sirosis biliaris primer (akibat menurunnya absorpsi vitamin D).Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik reversible pada parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis), pembentukan nodul degenerative ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distrosi jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intrahepatik antara pembulih darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatica), dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya.2,3 Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kupfer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentukan jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-beta) dan TNF alfa. Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.2

III. Gambaran klinisPada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. Manifestasi dari gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan fundamental tersebut.5 Gejala dan tanda dari kelainan fundamental ini dapat dilihat di tabel 1.Tabel 1. Gejala Kegagalan Fungsi Hati dan Hipertensi Porta.5

Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskular sistemik.5

IV.DiagnosisPada stadium kompensasi sempurna sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis,laboratorium,dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati ditegakkan dengan biopsi hati. Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit ditegakkan karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.3 V. KomplikasiTerdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati, akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi porta, diantaranya: 1. Ensepalopati HepatikumEnsepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.7 Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine, dan beta- phenylethanolamine), amonia, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum.62. Varises Esophagus Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap episodenya.

3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.3 PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS disebabkan oleh karena adanya translokasi bakteri menembus dinding usus dan juga oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya antara lain escherechia coli, streptococcus pneumoniae, spesies klebsiella, dan organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel / mm3 dengan kultur cairan asites yang positif.6

4. Sindrom Hepatorenal Sindrom Hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnose sindrom hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat serum creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan sodium urin kurang dari 10 mEq/L.6

5. Sindrom Hepatopulmonal Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.3

VI. Penatalaksanaan8Pengobatan sirosis biasanya tidak memuaskan. Tidak ada agen farmakologik yang dapat mengehentikan atau memperbaiki proses fibrosis. Terapi terutama ditujukan pada penyebabnya (seperti penyalahgunaan alkohol atau obstruksi saluran empedu) lalu mengatasi berbagai komplikasi (perdarahan saluran cerna, asites, dan ensefalopati hepatik).

A. Penatalaksanaan non-pembedahan varises esofagus1. Terapi farmakologis: vasopresin (pitressin), propanolol (Indreal),Somatostatin2. Tamponade balon, bilas salin, skolroterapi endoskopik3. Transjugular intrahepatik portosistemik shunting (TIPS)

B. Penatalaksanaan bedah varises esofagusProsedur bedah baypass :Anastomosis portakavaPirau plenorenalPirau mesokavaDevaskularisasi dan transeksi

ENSEFALOPATI HEPATIK

I. DefinisiEnsefalopatik hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati akut dan kornik berat dengan beragam manisfestasi.Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis. Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam. Ensefalopati hepatik yang berakhir dengan koma adalah mekanisme kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal.1,2 Di indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis. Data dari RSCM mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009. Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23 % pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.9,10,11,12EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.13,14

II. KlasifikasiKlasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi, sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan E persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat).2

III. Patogenesis1Dalam arti sederhana, ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolisme hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibatnekrosis, atau terdapat pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.Metabolit yang menyebabkan timbulnya ensefalopati belum diketahui pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intoksikasi otak oleh produk pemecahan metabolisme protein oleh kerja bakteri dalam usus. Hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena terdapat penyakit pada sel hati atau karena terdapat pirau. NH3 (yang dalam keadaan normal diubah menjadi urea oleh hati) merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.Ensefalopati hepatik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, obat diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia, dan pemberian morfin, sedatif, atau obat mengandung NH3. Azotemia adalah retensi zat nitrogenosa (misal urea) dalam darah yang normalnya difiltrasi ginjal. Efek berbahaya dari zat-zat ini dapat ditelusuri pada mekanisme yang mengakibatkan pembentukan amonia dalam jumlah besar dalam usus. Ensefalopati yang menyertai kekurangan kalium atau parasentesis dapat dihubungkan dengan pembentukan NH3 yang berlebihan oleh ginjal dan perubahan keseimbangan asam/basa.

IV. PatofisiologiBeberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan gnjal, perdarahan varises esofagus, dan konstipasi). Gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis, dan alkalosis). Penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.14 Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam perdaran darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosi hati.13

V. Gambaran klinisGejala dan tanda ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversibel. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam empat stadium.1 Tanda-tanda pada stadium I tidak begitu jelas dan mungkin sukar diketahui. Tanda yang berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawat baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran.Penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak koperatif atau sedikit kurang ajar. Pemantauan yang seksama menunjukan bahwa mereka lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasa, atau irama tidurnya terbalik. Perawat berada dalam posisi yang strategis untuk memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dan dapat meminta bantuan keluarga pasien untuk mencari perubahan kepribadian ringan tersebut karena perawatn memiliki hubungan yang erat dengan penderita seperti ini.1Tanda-tanda pada stadium II lebih menonjol daripada stadium I dan mudah diketahui. Terjadi perubahan prilaku yang tidak semestinya, dan pengendalian sfingter tidak dapat terus dipertahankan. Kedutan otot generalisata atau asteriksis merupakan temuan yang khas. Asteriksis (atau flapping tremor) dapat dicetuskan bila penderita disuruh mengangkat kedua lengannya dengan lengan atas difiksasi, pergelangan tangan hiperekstensi, dan jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involuntar cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpopalangeal. Asteriksis merupakan suatu manifestasi perifer ganguan metabolisme otak. Keadaan semacam ini dapat juga timbul pada sindrom uremia. Pada tahap ini, letargi serta perubahan sifat dan kepribadian menjadi lebih jelas terlihat.1 Apraksia konstitusional adalah gambaran lain yang mencolok dari ensefalopati hepatik. Penderita tidak dapat menulis atau menggambar dengan baik seperti menggambar bintang atau rumah. Sederetan tulisan tangan atau gambar merupakan cara yang berguna untuk menentukan perkembangan ensefalopati.1 Pada stadium III, penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan prilaku. Bila pada saat ini pasien hanya diberi sedatif dan bukan pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya, maka ensefalopati mungkin akan berkembang menjadi koma, dan prognosisnya fatal. Selama stadium ini, penderita dapat tidur sepanjang waktu. Elektroensefalogram mulai berubah pada stadium II dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV.1Pada stadium IV, penderita masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga timbul refelks hiperaktif dan tanda babinsky. Pada saat ini bau apek yang manis (fetor hepatikum) dapat tercium pada napas penderita, atau bahkan waktu masuk ke dalam kamarnya. Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk, dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah kadar amonia darah yang meningkat, dan hal ini dapat membantu mendeteksi ensefalopati.1 Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan drajat gejalanya. Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt.

Tabel 2. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven15

VI.DiagnosisElektroensefalografi akan menunjukan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar ammonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar diIndonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia.1,14,15

Gambar 3. Alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH13

Skor Child Pugh digunakan untuk menentukan prognostik suatu penyakit liver kronis, seperti sirosis. Skor ini juga dapat digunakan untuk memprediksi kematian selama pembedahan, dan sekarang digunakan untuk menentukan prognosis yang dibutuhkan untuk pengobatan dan transplantasi liver.Terdapat 5 poin tanda klinis penentu penyakit liver. Setiap tanda klinismempunyai nilai 1-3, jika lebih dari 3 mengindikasikan penyakit yang berat.

Penyakit liver kornis diklasifikasikan dalam Child Pugh A sampai C, dan diperoleh dari menjumlahkan skor tersebut.16

Flicker fusion threshold (flicker fusion rate) adalah pemeriksaan neuropsikiatri terutama untuk menilai kelelahan pengelihatan. Dapat digunaka untuk menilai penyakit ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai frekuensi intermiten stimulus cahaya yang muncul dan setara dengan rata-rata dayaobservasi manusia. Flicker dapat menilai fluktuasi, konvensionalitas, dan intensitas sinusoid. Terdapat tujuh parameter yang dapat diperiksa oleh filcker :1. Frekuensi modulasi2. Amplitudo atau kedalaman modulasi3. Rata-rata intensitas iluminasi4. Panjang gelombang iluminasi5. Posisi retina saat stimulasi muncul6. Drajat adaptasi terang dan gelap7. Fisiologi faktor seperti usia dan kelelahan

VIII. PengobatanLangkah pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanismepenyebabnya. Yang paling penting adalah mencari faktor pencetus, sepertiperdarahan saluran cerna atau terapi diuretik yang berlebihan, dan memberikan pengobatan korektif. Pengobatan awal adalah menyingkirikan semua protein dari deit damenghambat kerja bakteri terhadap protein usu karena pemecahan protein dalam ususdalam sumber NH3, zat nitrogen lain. Neomisin (suatu antibiotik yang tidak diabsorpsi) biasanya merupakan obat terpilih untuk penghambatan bakteri usus. Dosis yang lazim diberikan adalah sekitar 4-12 g/hari untuk dewasa. Bakteri usus juga dapat diturunkan dengan penggunaan laktulosa.Laktulosa juga menurunkan pH feses bila difermentasi menjadi asam organic oleh bakteri dalam kolon. Kadar pH yang rendah menangkap NH3 dalam kolon sebagai ion amonium yang tidak dapat berdifusi (NH4) yag kemudia diekskresikan dalam feses. Apabila pasien baru mengalami perdarahan saluran cerna (sumber potein), selanjutnya dapat diberikan magnesium sulfat atau enema untuk membersihkan usus. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit penting dilakukan, terutama hipokalemia, yang mencetuskan ensefalopati. Pemberian obat sedatif, tranquilizer, dan diuretik dihindari, dan penggunaan diuretik diminimalkan,terutama diuretik yang menurunkan kalium. Makanan yang diberikan berbentuk jus buah manis atau glukosa IV. Tindakan ini biasanya berhasil dilakukan bila diberikan pada awal perjalanan prakoma dan bila kerusakan hati tidak begitu berlanjut.Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah ensefalopati pada pasien yang memiliki pirau portkaval atau yang sembuh dari ensefalopati. Tindakan ini mencakup diet dengan protein dalam jumlah sedang, dosis rumatan neomisin, tidak memberikan obat diuretik pendeplesi kalium dan yang mengandung NH3, tidak memberikan obat sedatif dan narkotika, menghindari konstipasi, dan membatasi semua makanan mengandung protein bila gejala muncul kembali.1 Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain itu Laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada ammonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia menjadi ion amonium. Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal.Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.15Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagi salah satu factor presipitasi EH. Selain itu, antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berpektrum luas dan diserap secara minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.13,17,15L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan ammonia menjadi urea dan glutamin. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan di otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah. Selain itu, Lola juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.13Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lamadipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.18,19

X. PrognosisEnsefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan sirosis hepatis. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi medikamentosa.

BAB IILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama: Ny. SUsia: 68 tahunJenis Kelamin: PerempuanAlamat: Bringin Status: -Pekerjaan: -Masuk RS: 14 Agustus 2015Keluar RS: -

II. ANAMNESAKeluhan UtamaPenurunan kesadaran sejak 2 hari SMRSRiwayat Perjalanan PenyakitPasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) tidak ada riwayat trauma. Keluhan disertai dengan perut semakin membesar dan terasa sakit dan kedua kaki membengkak dan BAB bewarna hitam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluarga pasien mengatakan dahulu pasien pernah dirawat pada bulan mei 2015 dengan penyakit yang sama dan pasien pernah riwayat pungsi selama 2x. Keluarga pasien mengatakan pasien pernah terkena penyakit kuning. Satu bulan yang lalu pasien pernah melakukan pemeriksaan USG dengan hasil sirosis hepatis dan Splenomegali disertai asites massif .Pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi obat-obatan sakit kepala dan tidak suka mengkonsumsi makanan-makanan pedas. Keluarga atau orang terdekat pasien tidak memiliki penyakit dengan gejala yang serupa.

Riwayat Penyakit Dahulu Sirosis Hepatitis

Riwayat Penyakit KeluargaRiwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIKStatus GeneralisKeadaan sakit: sakit burukKesadaran: composmetisTekanan Darah: 100/60Nadi: 72RR: 26Suhu: 36.8

Keadaan SpesifikKepala: normocephal, rambut hitam beruban, distribusi merata dan tidak mudah rontok. Mata: Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra anemis (+/+) pada kedua mata, sklera ikterik (+/+) pada kedua mata, pupil isokhorHidung: Normoseptal, mukosa hidung lembab (+/+), hiperemis (-/-), epistaksis (-/-), pernafasan cuping hidung (-), rhinore (-/-)Telinga: normotia, meatus akustikus normal (+/+), lubang telinga cukup bersih, debris (-/-). Serumen (-/-), nyeri tekan proc. Mastoideus (-/-), membran timpani intakMulut: mukosa bibir lembab, lidah deviasi (-), caries dentis (-). Pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), atropi papil (-), sianonsis (-). Leher: pembesaran KGB (-)

DadaParu-paruInspeksi: statis & dinamis bentuk dada simetris kanan sama dengan kiriPalpasi: fremitus taktil dan vocal kanan sama dengan kiriPerkusi: Sonor pada kedua lapang paruAuskultasi: vesikuler (+/+), bronkial (+), ronkhi (-), wheezing (-)

JantungInspeksi: iktus kordis terlihatPalpasi: iktus kordis teraba di ICS 5 LMCSPerkusi: batas atas jantung atas ICS 2, batas kanan ICS 5 LS sinistra, batas kiri ICS 5 LMC sinistraAuskultasi: HR 100 x/menit, bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)

AbdomenInspeksi: cembung,asitesPalpasi: nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan regio kanan dan kiri bawah (+), nyeri tekan regio kanan dan kiri atas (+), Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomenAuskultasi: bising usus menurun

GenitalTidak diperiksa

Ekstremitas Ekstremitas atas: akral hangat, nyeri sendi (-), edema (-), jaringat parut (-), ikterik (-), turgor kembali lambat (-) kering (+)Ekstremitas bawah: akral hangat, nyeri sendi (-), edema tungkai (+), jaringat parut (-), ikterik (-), turgor kembali lambat (-) kering (+) IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGData Lengkap 14 agustus 2015LABRESULTFLAGSUNITNORMAL

Darah Rutin

WBC4,9110e3/uL4-10

HGB8,5Menurung/dL12-14

HCT24,6Menurun %37-43

MCV98,7Fl80-96

MCH34,0MenurunPg27-31

MCHC34,5g/dL32-36

PLT19110e3/uL150-450

Kimia Klinik

Glukosa117mg/dL60-140

Fungsi hati

Protein total6,20Menurungr/dL7,0-9,0

Albumin2,59Menurungr/dL3,5-5,0

Globulin3,61Meningkatgr/dL1,5-3,0

V. RESUME

Pasien perempuan umur 68 tahun dengan keluhan utama penurunan kesadaran, asites massif dan terasa sakit, dyspepsia,edema tungkai,sklera ikterik konjungtiva anemis ratio albumin globulin terbalik 2,59:3,61, Hb 8,5 , USG sirosis hepatis dengan splenomegali

BAB III ANALISA KASUS

1. DAFTAR MASALAH Ensefalopati hepatis Sirosis hepatis Spontaneous Bakterial Peritonitis Ascites massif Melena Anemia

II. PENGKAJIAN1. Ensefalopati HepatikumAtas dasar penurunan kesadaran selama 2 hari dengan sirosis hepatis, asites masif, gula darah sewaktu 117 mg/dl, Hb 8,5 g/dl. Dengan Suspec Ensefalopati Hepatikum

Planing diagnosis :- Darah rutin : menilai kadar Hb karena melena dapat memperburuk terjadinya EH

Terapi Farmakologi- LaktulosaMeningkatkan frekwensi defekasi dengan tujuan menghindari pembentukan amonia oleh bakteri usus Menurunkan ph kolon dengan tujuan mengurangi bakteri usus penghasil urease- L Ornithine L AspartatMengubah amonia menjadi urea agar dapat diekskresikan melalui ginjalMengurangi edema serebri- AntibiotikMenekan bakteri penghasil urease

Terapi non Farmakologi- Oksigen- Bed rest- NGT, DCNGT dengan tujuan mengeluarkan perdarahan yang berada di dalam saluran cerna karena dapat meningkatkan risiko terjadinya Ensefalopati HepatikDC dengan tujuan menghitung balance cairan negatif serta digunakan karena pasien dalam keadaan tidak sadar- Diet protein rantai cabangProtein rantai cabang digunakan untuk diet pasien EH karena mengandung protein yang dibutuhkan tubuh tetapi hasil metabolisme protein tersebut tidak menjadi ammonia.

1. Sirosis hepatisAtas dasar ensefalopati, sklera ikterik, asites masif, edem tungkai, melena, ratio albumin globulin terbalik (alb : glb =2,59:3,61:). Dengan diagnosis Sirosis Hepatis Dekompensata Child Pugh CPlanning diagnosis- Prothrombin timeMenilai fungsi sel hepatosit dengan mengukur waktu pembekuan- BilirubinMenilai kadar bilirubin untuk memastikan penyebab ikterus

Terapi farmakologi- Curcuma Meningkatkan nafsu makan- Tranfusi AlbuminDiperlukan jika albumin sudah rendah dan menunjukan gejala asites masif, disebabkan karena penurunan fungsi sel hepatosit dalam memproduksi albumin

Terapi non farmakologi- Diet rendah lemak, tinggi protein rantai cabang Diet rendah lemak ditujukan untuk mengurangi kerja sel hepatosit dalam memetabolisme lemak Diet tinggi protein rantai cabang ditujukan untuk memberikan protein yang dibutuhkan dalam tubuh tetapi tidak dapat diubah menjadi amonia oleh bakteri usus

3. Spontaneous Bakterial PeritonitisAtas dasar nyeri tekan 4 kuadran abdomen, asites masif, sirosis hepatisDengan Suspek Spontaneous Bakterial Peritonitis (SBP)

Planing Diagnosis- Kultur cairan asitesBerfungsi untuk menegakan diagnosis dan bakteri penyebabinfeksiTerapi farmakologi- AntibiotikDigunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri

4. Ascites massifAtas dasar asites masif, albumin 2,59 g/dl Dengan Asites Masif

Planning diagnosis- Cek fungsi hati (albumin, globulin, protein total) Menentukan diagnosis adanya kerusakan pada sel hati- USGMerupakan salah satu prosedur diagnostik pemeriksaan pencitraan yang dapat menggambarkan keadaan hepar, lien, dan ginjal serta kondisi organ lain di abdomenTerapi farmakologi- FurosemidBertujuan untuk mengurangi edema tungkai dan asites- SpironolaktonMengurangi edema tungkai dan asites serta menjaga kalium tetap di dalam tubuh (mencegah hipokalemi).- Tranfusi albuminMengurangi asites dan risiko SBP- AntibiotikMenekan pertumbuhan bakteri

Terapi non farmakologi- Tirah baring- Diet rendah garam, tinggi protein rantai cabangDiet rendah garam agar mengurangi edema pada tungkai dan paru sehingga tidak bengkak dan sesak nafas- ParasintetaseDilakukan jika asites masif dan kadar albumin sudah mencapai 2,9 dengan tujuan mengurangi rasa sesak yang dialami pasien

5. MelenaAtas dasar melena sudah 3 hari, Hb 8,5 mg/dl Dengan Suspec Varises Esofagus dd/ Gastritis ErosivaPlanning diagnosis- EndoskopiMenentukan diagnosis Varises Esofagus atau Gastritis Erosiva- Darah rutinMenilai kadar Hb karena melena dapat memperburuk terjadinya EH karena sel darah merah yang terdapat pada saluran cerna banyak mengandung protein dan dapat diubah oleh bakteri usus menjadi kadar amonia yang banyak.Terapi Farmakologi- Vit KUntuk membantu proses pembekuan darah karena pada pasien dengan sirosis terjadi penurunan fungsi proses pembekuan darah- Tranfusi PRC Jika Hb