tugas ensefalopati anak

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya Dari segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif maupun autis.(1) Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara

description

tugas di bagian anak rs akademis

Transcript of tugas ensefalopati anak

Page 1: tugas ensefalopati anak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh

yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat

menyebabkan gangguan perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami

kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan

kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan

anak seusianya Dari segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca,

mengeja dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif maupun

autis.(1)

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada

masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa

angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau

berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka

yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar

30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara

berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)

Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati

yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik

minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-

50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal

biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis.

Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.(5)

Page 2: tugas ensefalopati anak

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh

yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.(6) Ensefalopati adalah disfungsi kortikal

umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari),

secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang

sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat

menurun).(7) Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada fungsi

otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa agitasi hiperalert hingga koma.(8)

B. ETIOLOGI

Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan disfungsi otak difuse

yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik, metabolik, atau toksik.(8) Etiologi ensefalopati

pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam),

metabolik dan iskemik.(6)

C. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada

masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa

angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau

berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka

yang lebih u tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar

30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara

berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)

Ensefalopati terkait sepsis terjadi berkisar 9% hingga 71% pada pasien yang menderita sepsis.

Angka kejadian ensefalopati akibat timbal juga sulit ditemukan,

Page 3: tugas ensefalopati anak

angka yang tersedia adalah kadar timbal dalam serum yang lebih dari 10mcg/dL berkisar 88%

pada 3 tahun terakhir. Dimana kadar yang lebih dari 10mcg/dL pada darah dapat menyebabkan

ensefalopati pada anak.(9) Prevalensi asam valproat menginduksi keadaan hiperamonia adalah

berkisar 35-45%.(10)

Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati

yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik

minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-

50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal

biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis.

Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.(5)

D. KLASIFIKASI

1. Ensefalopati akibat infeksi

a. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis,

ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan

meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien

yang mengalami imunosupresi.(6) Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana

pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung di dalam

parenkim otak.(11) Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun besar yang menonjol.

Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus.

Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting.(6)

Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling sulit dibedakan

dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara ensefalopati dan ensefalitis pada

umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.(12)

Page 4: tugas ensefalopati anak

Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons sistemik terhadap

infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi otak secara langsung disebut dengan

ensefalopati sepsis.(13, 14)

b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan

diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan

mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan

asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi

hipotesis yang paling dipercaya adalah moltifaktorial.(13)

Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab

disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan

bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi oleh sawar

darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai toll,

menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan

astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi,

IL6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan menginduksi ekspresi mediator

inflamasi.(13)

Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi

sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF α, dan IL 6 yang memegang peranan penting

dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat menginduksi

Page 5: tugas ensefalopati anak

cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung

jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan perubahan kebiasaan.

Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a, juga dikaitkan dengan

disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.(13)

Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin dapat menginduksi aktifasi

endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adesi

pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan

nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan

kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak

vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah korteks akan mengalami pembengkakan dan

akan terjadi ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki

astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang

terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan

dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edma

sitotoksik.(13)

Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak menurun dan iskemia

otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama sepsis berat. Kerusakan aliran darah otak

juga merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain, bukan karena

efek hipotensi sistemik.(13)

Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan apoptosis sel neuron dan

persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan ATP yang dihasilkan oleh mitokondria

disebabkan oleh sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria juga dapat

menginduksi terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C. (13)

c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan menyebabkan

gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat

kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status

konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada

pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan

deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan

banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada

ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten

Page 6: tugas ensefalopati anak

yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada

ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan

harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin. (13)

d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab

lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan

merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas

walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati

sepsis adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi.

Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada

pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi

dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh

hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya

ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang

dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada

serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik

intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan

meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.(13)

e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada,

penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.(13)

Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan

simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik

untuk penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.(13)

2. Ensefalopati akibat toksis

Ensefalopati yang diinduksi obat.

a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari

pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit liver primer sebelumnya.(10)

b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan enzim

liver serum. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana tejadi disfungsi kognitif

Page 7: tugas ensefalopati anak

dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai hingga

berkisar 3-5 tahun berikutnya.(10)

c. Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan mekanisme yang

menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada beberapa kasus hal ini

berkaitan dengan defisensi enzim siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang

jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia

dengan cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat

menghambat carbamoyl phosphate synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik pertama pada

siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat juga menurunkan level

kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk kompleks asam valproat-kartinin.

Defisiensi kartinin mengurangi fungsi mitokondria, dengan menghambat siklus urea dalam hati.

(10)

d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah fenobarbital

dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia pada pasien yang

mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan

toporimate, inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam valproat, mempercepat

terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat menyebabkan

keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan produksi

ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang digunakan selama

reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi ammonia, selain itu carbamazepin,

ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin dan salisilat sosis tinggi.(10)

e. Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam

valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan perbaikan

utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi 1carnitine juga menunjukkan penurunan gejala

toksisitas yang diinduksi asam valproat.(10)

Ensefalopati akibat timbal.

a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Timbal

digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah belah lainnya. Bentuk intoksikasi timbal

dapat menyebabkan kebutaan, kolik, nyeri persendian, dan bentuk terparah berupa ensefalopati.

(9)

Page 8: tugas ensefalopati anak

b. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal dibandingkan pada dewasa

karena berbagai sebab. Eksposure pada anak anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pica. Pada

saluran pencernaan anak juga mengabsorbsi timbal lebih cepat dibandingkan pada dewasa dan

sistem saraf pusat pada anah lebih mudah diserang agen toksik dibandingkan dengan sistem saraf

pusat matur.(15)

Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta dan air susu.(16)

Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui ikatan kuat dengan kelompok sulfhidril

pada protein dan enzim. Ikatan ini akan menimbulkan toksik pada beberapa sistem enzim.(15)

c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari 5mcg/dL, dan

mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL, khususnya pada anak anak. Kadar

protophyrin digunakan sebagai alat diagnostik pada toksisitias timbal karena enzim yang

berdasarkan heme yang disebabkan oleh timbal. Peningkatan protopirin seiring dengan

peningkatan kadar timbal pada serum. Peningkatan protrofirin terjadi pada 6-8 minggu setelah

paparan dan nilai normal dari protophirin adalah kurang dari 35 mcq/dL.(16)

d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala,

muntah, ataksia, kejang, paralisisi, stumor dan koma. Pada ensefalopati kronik, pasien dapat

kehilangan memori, ketidaknormalan

kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi sensorik. Selain itu

toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam belajar, pengurangan IQ dan perburukan

kebiasaan. (16)

e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak memperbaiki kerusakan

neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal. Terapi farmakologis yang dapat digunakan

antara lain dimercaprol 25mg/kgBB/hari, Calsium disodium ethylenediammine tetraacetic acid

(CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari drip dengan NaCl atau D5%, Succimer dengan

dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari atau D-penicillamin 10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.

(16)

3. Ensefalopati akibat metabolik

a. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya

merupakan masalah baik bagi neonates maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung

Page 9: tugas ensefalopati anak

pada waktu dan intervensi yang hati hati. Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum

keadaan klinis yang ditandai dengan :

1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2) Gangguan neuropsikoatrik: kejang, lateralisasi

3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.

Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal, dan gangguan

metabolik. Gannguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar, sehingga yang dibahas

dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatic.

Terdapat tiga varian ensefalopati metabolik pada anak, dua varian pertama sangat berhubungan.

Kerusakan genetik dari metabolisme dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat

dari hanya hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan

hingga tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan metabolik

tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat,

toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang berkontribusi

terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ke tiga, ensefalopati berat

dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang sangat berkaitan dengan ketoasidosis

diabetik. (17)

Pada tahun 1998, The Working Party pada World Congress of Gastroenterology ke 11, membuat

standarisasi nomenklatur dari ensefalopati hepatik, yang membaginya dalam tiga tipe yaitu A, B

dan C.

Page 10: tugas ensefalopati anak

b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik pada anak sangat

berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu terdapat penyakit hati kronik dan sirosis.

Pada anak kerusakan hepar terjadi secara akut. Penyebab ensefalopati hepatik pada anak

bervariasi dari virus hepatitis, hingga kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada

dewasa, penyakit hepar yang disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi. Selain itu pada anak

edema serebral merupakan komplikasi yang penting yang dapat ditemukan pada stadium awal.

(18)

Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis fulminan, akumulasi dari

ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada pada otak, ligan yang tidak normal pada

reseptor γ amino butyric acid benzodiazepine (GABA-BDZ), deposit mangan pada ganglia

basalis.(18)

Teori Amonia. Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab dalam

patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan

otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal dari bakteri pada

kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal, berkisar 80-90%

ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi berkurang baik pada keadaan

hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih

belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel

hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA,

sehingga menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada

astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya

pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya

pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum ammonia lebih

dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan perbaikan tingkat

ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat

antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan derajat ensefalopati hepatik, tetapi

kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik, perhatian berkesinambungan yang terjadi

pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa

dengan tes psikometrik komputer.(18)

Teori kesalahan neurotransmiter. Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam

amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat,

Page 11: tugas ensefalopati anak

konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatic (AAA) yaitu triptopan, tyrosin dan

phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda (leucine, isoleucine dan

valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan

phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi ensefalopati hepatik.(19)

Teori GABA. GABA adalah merupakan neurotransmiter inhibitori pada manusia yang bekerja

dengan berikatan dengan kompleks reseptor GABA. Peningkatan jumlah benzodiazepine

endogen sebagai neurosteroid mengakibatkan inhibisi terhadap neurotransmisi. Perubahan pada

kompleks reseptor GABA dan perubahan konsentrasi GABA serebral terjadi pada ensefalopati

hepatik. (19)

Teori Mangan. Akumulasi mangan di ganglia, banyak pada pasien sirosis dan sebaliknya pada

transplantasi hepar. Konsentrasi mangan pada serum berhubungan dengan derajat ensefalopati

hepatik. Manifestasi klinis pada intoksikasi mangan dan manifestasi ekstrapiramidal dari

ensefalopati hepatik menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar mangan yang berperan dalam

terjadinya ensefalopati hepatik. (19)

c. Gejala Klinis

Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan kriteria West

Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif dan koma dalam. (19)

Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatik(19)

Page 12: tugas ensefalopati anak

Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih objektif adalah Glasgow Coma

Scale (GCS), akan tetapi tidak khusus mengukur ensefalopati hepatik.(19)

d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik

adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat,

mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka

panjang.

Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat

menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites saebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik.

Seorang anak dengan ensefalopati hepatik sebaiknya ditangani dalam perawatan intensif dengan

program transplantasi hepar, akan tetapi sumber daya yang terbatas. Management pertama yang

dilakukan adalah mencangkup airway, breating, dan sirkulasi, sebagaimana penanganan kasus

kegawatan lainnya.(18)

Page 13: tugas ensefalopati anak

Managemen cairan. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah

keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena adanya

hidrasi yang kurang maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan

pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance. Status hidrasi sebaiknya

dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral, dengan target 6-8cm H2O. Monitoring

urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi, dan indikator fungsi renal. Pemberian cairan

secara intra vena sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan

ensefalopati terganggu.(18)

Kalium. Hipokalemi dapat disebabkan karena pemberian diuretik, muntah, dan diare.

Hipokalemi dan gejala penyertanya berupa alkalosis merusak detoksifikasi ammonia,

meningkatkan produksi ammonia ginjal, meningkatkan difusi ammonia melewati sawar darah

otak. Kebutuhan kalium diperkirakan berkisar 3-6mEq/kgbb/hari.(18)

Natrium. Intake natrium total sebanyak 1mEq/kgBB/hari, biasanya cukup adekuat untuk

mencegah terjadinya asites. Pada umumnya, sekresi yang tidak sesuai dari hormon anti diuretik,

menyebabkan hiponatremi dilusi, yang dapat ditangani dengan pembatasan cairan. Bila

pembuangan air bebas diperlukan maka biasanya diberikan diuretik yang dikombinasikan dengan

albumin rendah garam. Penggunaan NaCl hipertonik dapat dipertimbangkan pada kasus dengan

kadar natrium kurang dari 120 mEq/l dan atau turun secara cepat.(18)

Glukosa. Penanganan hipoglikemia penting bagi pada bayi dengan ensefalopati hepatik.

Pemberian cairan intravena minimal mengandung glukosa 100mg/ml (10%) dan infuse dilakukan

titrasi untuk mempertahankan glukosa darah diantara 120-240mg/dl. (18)

Restriksi ammonia

Pembersihan selauran cerna. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan untuk mendeteksi dan

membuang adanya darah dalam saluran cerna atas, dan memberikan drainase secara

berkesinambungan. Hal ini dapat mencegah mempercepatnya perdarahan karena kerusakan

mukosa lambung yang mungkin terjadi karena suction. Pencucian lambung dilakukan biasanya

dengan larutan 50% magnesium sulfat, selain itu dapat digunakan enemas retensi (20% laktosa)

tetapi masih jarang digunakan karena ketersediaan dan masih minimnya penelitian.(18)

Antibiotik. Banyak antibiotik yang dapat digunakan pada pasien ensefalopati hepatik untuk

―membersihkan‖ saluran cerna, antara lain ampisilin, metronidazol, vankomicin, rifamixin. Dari

antiboiotik tersebut, rifaximin menunjukkan spectrum luas baik bakteri gram positif maupun

Page 14: tugas ensefalopati anak

negatif dan aerobik maupun anaerobik, selain itu rifaximin diabsorbsi minimal secara sistemik.

Helicobacter pylori (bakteri amoniagenik) dapat mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik

pada pasien sirosis, terutama dengan adanya hipoklorida gaster. Oleh karena itu pemberian

antibiotik juga diberikan untuk membunuh H. pylori.(18)

Protein. Pembatasan protein atau bahkan eliminasi total dianjurkan hingga terjadi perbaikan.

Pada penelitian terakhir, pemberian protein dimulai dari 0,5gram/kgBB/hari dengan peningkatan

bertingkat hingga 1,5gr/kgbb/hari, hingga beberapa minggu dan terjadi perbaikan hepar.

Pemberian protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan dengan protein hewani, karena lebih

dapat ditoleransi dan lebih sedikit mengandung aminium, methionin dan asam amino aromatik.

(18)

Laktoasa. Laktosa merupakan disakarida yang dapat ditemukan di sekum dalam keadaan belum

diubah, dan kemudian diubah oleh flora intestinum menjadi komponen glukosa, galaktosa dan

fruktosa. Galaktosa dan laktosa dimetabolisme menjadi asam organik termasuk diantaranya asam

laktat dan asam asetat, yang menyebabkan pH lumen intestinal turun mencapai 5,5. Hal ini

menyebabkan pencegahan pembentukan ion ammonium yang mudah terserap.(18)

Probiotik. Secara teoritis, bakteri intestinal yang tidak menghasilkan urease akan menurunkan

jumlah ammonia enteral. Penelitian yang pernah dilakukan adalah dengan pemberian

Lactobacillus acidophilus per oral memberikan efek yang bermanfaat pada pasien sirosis yang

menderita ensefalopati hepatik. Suplementasi Lactobacillus acidophilus selama 1-4 minggu

menunjukkan perkembaangan klinis sebanyak 71% pada pasien dengan ensefalopati hepatik

dibandingakan dengan pasien yang hanya mendapatkan neomycin saja.(18)

Peningkatan metabolisme ammonia

Omithine-Aspartat. Infus 1omithine dan 1-aspartat merupakan usaha unuk menurunkan ammonia

serum dengan meningkatkan metabolisme jaringan terhadap urea dan glutamine. Pada hepatosit

periportal, 1omithine bekerja sebagai substrat ureagenesis dan mengaktifasi siklus enzim urea

omithine transcarbamylase dan carbamoyl phospotase syntase. Aktifitas siklus urea diharapkan

mengkonsumsi ammonia dan menurunkan kadar ammonia dalam serum. Pada sel perivena

hepatik, dimana enzim siklus urea minimal, aspartan (dan dekarboxylate lainnya) menstimulasi

sintesis glutamine dan memulai proses detoksifikasi ammonia. Akan tetapi belum ada dosis dasar

untuk anak, rekomendasi yang masih digunakan adalah hingga 20 gram/hari diencerkan pada

cairan maintenance.(18)

Page 15: tugas ensefalopati anak

Benzoate dan Phenil asetat. Hiperamonia berhubungan dengan kerusakan metabolisme pada bayi

baru lahir, penggunaan benzoate dan phenyl asetat merupakan standart pengobatan.(18)

e. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan member pengobatan

sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu bila memiliki penyakit hati

sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati.(18)

f. Prognosis

Ensefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dnegan tanda prognostic yang

jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat

bertahan hingga tiga tahun.

4. Ensefalopati akibat iskemik

a. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang penting

pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat

bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi mental.(6)

b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal, dan

iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan

fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di

dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari(6):

1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit

jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida

2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi anestesi

spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid

3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani uterus yang

disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan

4) Pemisahan plasenta premature

Page 16: tugas ensefalopati anak

5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau pembentukan simpul

pada tali pusat

6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain

7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.

Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari (6):

1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat kritis,

akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik

2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel vital, akibat

perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah

yang masif.

3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang adekuat pada

pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak

4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit jantung

kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.

Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan

intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk

gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan tahanan vascular janin) dan

kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis.

Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan

sistem saraf pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar

bersalin.(6)

Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter atau keadaan yang mengganggu

proses respirasi spontan sehingga menyebabkan hipoksia perinatal, asidosis laktat dan jika cukup

berat maka akan menurunkan cardiac output atau menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia.(20)

Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus venosus, duktus arteriosus,

dan foramen ovale dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung dan adrenal lebih

diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi pulmonal), hati, ginjal dan usus.

Hipoksi intrauteri yang lama dapat menyebabkan terjadinya LPV, dan hyperplasia otot polos

arteriol, membuat bayi cenderung mangalami hipertensi pulmonal. Apabila kegawatan janin

Page 17: tugas ensefalopati anak

menyebabkan janin terengah engah maka akan menyebabkan kandungan cairan amnion

(mekonium, skuama rambut, lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.(6)

Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang menyebabkan hipoksia dan

kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang menyebabkan iskemia dapat menyebabkan

berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat yang menghasilkan asidosis pada

jaringan lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi

nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran darah pembuluh darah distal.(20)

c. Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus memiliki

karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada

neonatus preterm, memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat

menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.(20)

Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan

neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis

neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm

memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV.

Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat

atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia.

Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas

otak.(6)

Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam macam

bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut

jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan merupakan beberapa tanda

umum terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik

derajat keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan

yang meningkat sesaat setelah dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak

menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan apneu.

Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah

lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak

adanya reflek tendon.(20)

Page 18: tugas ensefalopati anak

d. Penatalaksanaan. Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang

menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan kadang kadang dapat dicegah melalui

pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan

koreksi disfungsi multiorgan terkait.(6)

Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang

berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini

refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB, iv) dapat digunakan

selama kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin

memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin.

Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik,

kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi

atau hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi

hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi

dengan respon minimal pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin

berkisar 23-300C, dan didiamkan hinggan ia menangis.

Page 19: tugas ensefalopati anak

e. Prognosis. Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik stadium 3 memiliki

insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang serius terutama pada perkembangan

sarafnya, Prognosis dari asfiksia berat juga tergantung pada cedera pada sistem organ lain.(20)

Indikator lain dari jeleknya prognosis adalah onset dari respirasi spontan yang dapat diperkirakan

dari skor APGAR. Neonatus dengan skor APGAR 3 pada menit ke 10 memiliki mortalitas 20%

dan 5% angka kejadian cerebral palsy. Jika hingga menit ke 20, skor APGAR tetap tidak naik

bahkan turun, maka angka mortalitasnya meningkat menjadi 60% dan insidensi serebral palsy

meningkat menjadi 57%.(20)

Page 20: tugas ensefalopati anak

DAFTAR PUSTAKA

1. Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.

2. Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship between neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet Gynaecol. 2001;21: 114–20.

3. Badawi N, Kurinczuk JJ, Keogh JM, Alessandri LM, O'Sullivan F, Burton PR, et al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy: the Western Australia case–control study. Br Med J .1998;317: 1554–8.

4. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human Development. 2010;86: 329-338.

5. Benedeto-Stojanov D, Stojanov D. Minimal Hepatik Encephalopaty. In: Editor Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on Encephalopaties—A Second Look. Europe: InTech. 2010.

6. DiCarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2004.

7. Atri A, Milligan TA, Reddy KC, Kayser AS. Encephalopathy: Approch to Diagnosis and Care. Neurology. 2008;12: 1-2.

8. Lewis SL. Encephalopaty dalam Emergency Neurology. USA: Spingerlink; 2012. p283-294.

9. Chandran L, Catalado R. Lead Poisoning: Basic and New Developments. Pediatrics in Review. 2010;31(10):399-407.

10. Laish I, Ari ZB. Noncirrhotic hyperammonaemic encephalopathy. Journal of The International Association for Study of The Liver. 2011; 1259-1270.

11. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roose KL. et al. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. CID.2008;47(1): 303-327.

12. Kennedy PGE. Viral Encephalitis: Cause, Differential Diagnosis and Management. Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry. 2004;75: i10-i15

13. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine. 2012;2(3): 20-27.

14. Papadopoulus MC, Cavies DC, Moss RF, Tighe D, Bennett ED. Encephalopathy. Critical Care Medicine. 2000; 28(8): 3019-3024.

15. Olympio KPK, Goncalves C. Neurotoxicity and aggressiveness triggered by low level lead in children: a review. Panam American Journal Public Health. 2009; 26(3): 266- 275.

16. Karii SK, Saper RB, Kales SN. Lead Encephalopathy Due to Traditional Medicines. Curr Drug Saf. 2008;3(1): 54-59.

17. McCandless, D.W. Metabolic Encephalopathy. USA: Spinger Science. 2007.

Page 21: tugas ensefalopati anak

18. Arya R, Gulati S, Deopujari S, Management of hepatik encephalopathy in children. Postgraduation Medical Journal. 2010;86: 34-41.

19. Cash WJ, Mcconville P, Mcdermott E, Mccormick PA, Callender ME, McDougal NI. Current concept in the assessment and treatment of Hepatik Encephalopathy. Q J Med. 2010;103: 9-16.

20. Gowen CW. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2007.