Bells Palsy Pada Usia Dewasa

25
Bells Palsy pada Usia Dewasa Uria Ricko Tanguhno Handen Mahasisiwi Fakultas Kedokteran UKRIDA Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 [email protected] Pendahuluan Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan sini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisisfasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita dimana permasalahan kapasitas fisik antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi, sedangkan permasahan fungsional berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan 1

description

bells palsy dewasa

Transcript of Bells Palsy Pada Usia Dewasa

Bells Palsy pada Usia DewasaUria Ricko Tanguhno HandenMahasisiwi Fakultas Kedokteran UKRIDAFakultas kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat [email protected]

PendahuluanBells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan sini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisisfasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita dimana permasalahan kapasitas fisik antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi, sedangkan permasahan fungsional berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.PembahasanAnatomi Saraf facialis adalah saraf ketujuh. Inti saraf ketujuh ini terletak pada daerah pons. Inti ini akan mendapat informasi dari girus parasentralis dari korteksmotorik yang mengurus persarafan dahi ipsilateral dan kontralateral. Traktuskortikalis serebrum juga mensarafi belahan kontralateral bagian wajah lainnya. Nukleus motorik hanya mengurus saraf fasialis ipsilateral. Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:1. Saraf fasialis propius: yaitu saraf fasialis yang murni untuk mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.2. Saraf intermedius (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih tipis yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.a) Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.b) Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatoriussuperior. Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleu sini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan di perjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana, impuls berjalan keglandula sublingualis dan submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.c) Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf trigeminus.Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran timpani.Inti motorik saraf VII terletak di pons. Serabutnya mengitari saraf VI dan keluar di bagian lateral pons. Saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons di antara saraf VII dan saraf VIII. Ketiga saraf ini bersama-sama memasuk imeatus akustikus internus. Di dalam meatus ini, saraf fasialis dan intermediet berpisah dari saraf VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis , saraf fasialis meninggalkan kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar diatas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula parotis. Sewaktu meninggalkan pons, saraf fasialis beserta saraf intermedius dan saraf VIII masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus.1

Gambar 1. Anatomi Saraf Fasialis1Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segmen timpani dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan gangliongenikulatum, panjang segmen ini 2-4 milimeter. Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal gangliongenikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani, perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen mastoid, disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari saraf VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid, panjang segmen ini 15-20 milimeter. Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Juga, ada hubungan dengan gangglion basalis. Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem piramidal menderita penyakit penyakit, mungkin terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau amimi).1

AnamnesisAnamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien. Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.2 Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, dari keluhan-keluhan tersebut dan dasar teori dari anamnesis, maka hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain:1. Identitas PasienBerupa nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal pemeriksaan.2. Keluhan Utama Keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu.3. Riwayat Penyakit Sekarang Hal yang perlu ditanyakan antara lain: Kapan anda mulai menyadari masalah tersebut? Kapan pertama kali masalah tersebut muncul? Apakah ada kesulitan bicara, menelan, keluhan gerak (kaku, lemah, gemetar, gerak involunter)? Apakah terdapat nyeri tengkuk? Apakah terdapat parestesia, hipestesia? Apakah ada mual, muntah, kejang? Apakah ada gangguan penglihatan, gangguan pengecapan, gangguan pendengaran?4. Riwayat penyakit DahuluHal-hal yang perlu ditanyakan antara lain: Apakah anda mengalami gangguan berikut; hipertensi/ kolesterol tinggi/ demam rheumatik/ epilepsi/ diabetes? Apakah anda pernah mengalami Pulmonal Emboli dan Deep Vein Thrombosis? Apakah anda pernah dirawat di rumah sakit? 5. Riwayat pengobatanHal-hal yang perlu ditanyakan antara lain: Apakah pasien sedang menjalani pengobatan? Obat apa yang dipakai? Bagaimana perkembangannya? Apakah anda menggunakan obat-obatan yang tidak diresepkan? Apakah anda memiliki alergi obat atau zat lainnya? 6. Riwayat Penyakit KeluargaHal-hal yang perlu ditanyakan antara lain: Apakah ada keluarga anda yang mengalami masalah yang sama? Apakah terdapat kelainan familial yang diwariskan? Apakah ada keluarga yang mengalami stroke, darah tinggi, DM? 7. Riwayat AlergiApakah pasien menderita alergi terhadap obat-obatan tertentu atau faktor lain. 8. Riwayat Sosial-EkonomiHal-hal yang perlu ditanyakan antara lain: Apakah pasien merokok? Berapa batang sehari dan sudah berapa lama? Apakah pasien minum alkohol? Berapa banyak yang diminum dalam seminggu? 2

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik yang cermat selalu diperlukan dalam evaluasi pasien. Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.3Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan. Tes Gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf khorda timpani dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Whartons dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit. Bila Produksi saliva berkurang dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi baik. Pada kasus Bells palsy sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan reflek stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi fungsi salivasinya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demyelinisasi disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer. Untuk fungsi pendengaran dapat dilakukan uji Rinne, Weber, dan Schwabach.3Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.3

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam menegakkan diagnosis. Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis dianjurkan menjalani pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam melindungi kornea.3Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Gambaran MRI pada kasus Bells palsy berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap 3Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970-sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.3

Working DiagnosisBells PalsyBells palsy merupakan suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), dan akut. Diagnosis biasanya ditegakkan bila Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.4Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang letih, hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya. Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.4

Differential DiagnosisTransient Ischemic Attack (TIA)Serangan iskemik sesaat (Transient Ischemic Attack) adalah gangguan fungsi otak akibat berkurangnya aliran darah otak untuk sementara waktu (kurang dari 24 jam). TIA terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah di otak untuk waktu singkat, akibat aliran darah ke daerah otak melambat atau berhenti. Kurangnya darah (dan oksigen) menyebabkan gejala sementara, misalnya bicara cadel atau pandangan kabur. Terjadi secara tiba-tiba, berlangsung 2-30 menit. TIA, seperti stroke, dimana gejalanya berupa defisit neurologis jelas seperti kelumpuhan. Namun,gejala juga mungkin halus, seperti mati rasa atau pembakaran anggota badan, atau kesulitan menggunakan tangan atau berjalan. Gejala tergantung dari otak yang mengalami kekurangan darah: jika mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, terjadi kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan; jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, terjadi pusing, penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh. Gejala lain yang ditemukan: hemihipestesia, heimiparese, hemianopsia, diplopia, sakit kepala, bicara tidak jelas, sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh.5Gejala ini juga dapat ditemukan pada Stroke namun TIA lebih bersifat sementara dan reversible dan TIA cenderung kambuh, penderita dapat mengalami serangan beberapa kali dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun. Dua gejala tambahan dari TIA adalah "Drop Attack". Drop attack adalah ketika orang yang terkena jatuh tiba-tiba tanpa peringatan. Yang kedua adalah amaurosis Fugax yang merupakan jenis khusus dari TIA mana ada tiba-tiba kehilangan penglihatan di sebelah mata. Hal ini terjadi ketika puing-puing dari arteri karotid di sisi yang sama menyumbat atau menutup dari salah satu arteritetes mata dan menghentikan suplai darah ke retina.5Gejala dan tanda-tanda TIA mungkin menghilang pada saat individu yang terkena tiba di rumah sakit. Oleh karena itu, riwayat kesehatan orang yangterkena mungkin menjadi dasar konfirmasi diagnosis TIA. Setelah tiba di rumah sakit, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan. Pada TIA diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan belum terjadi kerusakan otak, maka diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan CT scan maupun MRI. Kalaupun dilakukan CT scan atau MRI hanyauntuk mengetahui apakah terjadi perdarahan atau tidak.5

Stroke Stroke menurut WHO adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular. Gejala klinis bergantung pada neuroanatomi dan vaskularisasinya.Gejala klinis dan defisit neurologis yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi iskemi. Berikut ini merupakan gejala klinis yang sering ditemukan: gangguan peredaran darah arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral; Gangguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral terutama mengenai lengan disertai gangguan fungsi luhur; Gangguan peredaran darah arteri serebri posterior menimbulkanhemianopsi homonim atau kuadranopsi kontralateral; Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan saraf kranial; Infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murnimotorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur.5Stroke iskemik adalah gangguan peredaran darah pada otak yang dapat berupa penyumbatan pembuluh darah arteri, sehingga menimbulkan infark/iskemik. Umumnya terjadi pada saat penderita istirahat. Tidak terjadi perdarahan dan kesadaran umumnya baik. Stroke non-hemoragik terjadi karena penurunan aliran darah sampai di bawah titik kritis, sehingga terjadi gangguan fungsi pada sebagian jaringan otak. Bila hal ini lebih berat dan berlangsung lebih lama dapat terjadi infark dan kematian. Stroke iskemik memberikan gambaran klinis berupa simptom dan tanda fokal yang berhubungan dengan area otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang terkena. Pada stroke iskemik, oklusi pembuluh darah menghalangi aliran darah ke area spesifik di otak, mengganggu fungsi neurologik yang bergantung pada regio tersebut dan memberikan gambaran pola defisit yang khas untuk regio tersebut. Pendekatan klinis terhadap stroke iskemik bergantung pada kemampuan untuk mengidentifikasi dasar neuroanatomik dari defisit klinis.5 Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak sehingga timbul stroke.5

EtiologiAda 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu: iskemik vaskuler, infeksi virus, herediter, dan imunologi. Pada teori iskemik vaskuler terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Menurut teori infeksi virus Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus, sehingga menurut teori ini penyebab Bells palsy adalah virus. Juga dikatakan bahwa perjalanan klinis Bells palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya. Pada teori herediter penderita bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. Pada teori imunologi dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.4Berdasarkan beberapa penelitian penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Berdasarkan teori ini maka penderita Bells palsy diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.4 PatofisiologiPara ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.4 Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu pencetus terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN dapat terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 4

EpidemiologiBells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.4Penatalaksanaan Terapi UmumUntuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednisone dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari sejak awitan. Prednisone dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Istirahat merupakan bagian dari terapi yang sangat penting. Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kaca mata hitam kadang diperluka untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja. Pemijatan wajah boleh dilakukan. Untuk rasa nyeri atau tidak nyaman, kompres hangat akan membantu. Obat yang dapat menghilangkan nyeri ini diantaranya gabapentin.3Dosis PrednisonDosis dewasa1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan total pemakaian 10 hari.

Dosis anak1mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tapering off dengan total pemakaian 10 hari.

KontraindikasiHipersensitivisas, diabetes berat yang tidak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis.

Dosis AntiviralNama obatAsiklovir, obat antiviral yang menghambat krja HSV-1, HSV-2 dan VZV.

Dosis dewasa400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari

Dosis anak2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari

KontraindikasiHipersensitif, penderita gagal ginjal.

Pemberian Antiviral pada pasien Bells palsyFamsiklovir dan asiklovir sering diresepkan sebagai obat antiviral. Saat ini dapat digunakan antiviral baru seperti valasiklovir yang bekerja cepat, vitamin B penting dalam fungsi system saraf, pemberian air mata buatan, lubrikan dan pelindung mata.3,5KomplikasiSekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat erjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).6PrognosisDubia ad bonam, perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.4

Pencegahan Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung.Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidurtepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagusuntuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhurendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Andamenderita Bell's Palsy.5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupiwajah dengan kain atau penutup.5

KesimpulanPenegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan Bells palsy. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk menegakkan diagnosis. Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter, teori imunologi. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter di pelayanan primer yang diharapkan adalah dapat menegakkan diagnosis Bells palsy, menyingkirkan diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan tepat. Gambaran klinis Bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita sembuh sempurna dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa adanya faktor resiko yang memperberat.

Daftar Pustaka1. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.245-56,346-8.2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke -5. Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009.h.25-28.3. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf: Jakarta:Buku kedokteran EGC;2007. h.25-30,137-141.4. Beal MF, Hauser SL. Trigeminal neuralgia, Bells palsy, and other cranial nerve disorders in Harrisons neurolog in clinical medicine. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies;2006.p.314-47.5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku saku neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2004.h.174.6. Sabirin J. Gangguan gerak. Cetakan I. Semarang:Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro;1990.h.171-812.

16