Presentasi Kasus Bells Palsy Isaac

download Presentasi Kasus Bells Palsy Isaac

of 23

description

Re

Transcript of Presentasi Kasus Bells Palsy Isaac

  • 1

    PRESENTASI KASUS

    BELLS PALSY

    Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian

    Stase Ilmu Penyakit Syaraf di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

    Diajukan Kepada :

    dr. TH Suryono, Sp.S

    Disusun Oleh :

    M.Isyhaduul Islam

    (201003100969)

    SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

    RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    2016

  • 2

    PRESENTASI KASUS

    a. IDENTITAS

    Nama : Ny. SA

    Usia : 37 tahun

    Alamat : Ganten, RT 6 RW 1 Jurang Ombo, Magelang Selatan

    Agama : Islam

    Pekerjaan : IRT

    Status : Menikah

    b. ANAMNESIS

    Keluhan Utama

    Bibir merot pada sisi sebelah kirinya

    Keluhan Tambahan

    Mata kiri tidak bisa menutup dan sering berair.

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien datang ke poli spesialis syaraf dengan keluhan bibir merot sejak 3 hari SMRS.

    Gejala yang dirasakan sebelum bibir merot adalah mata kirinya sering berair. 1

    minggu setelah matanya sering berair, bibir mulai merot. Mata kiri tidak dapat ditutup

    sempurna/mengedip. Rasa kesemutan, nyeri pada mata, pandangan kabur/dobel, dan

    kelemahan anggota gerak tidak dikeluhkan oleh pasien. Pasien menyatakan tidak

    mengalami demam sebelum gejala muncul, tidak pernah ada keluar cairan dari

    telinga, pusing berputar, telinga berdenging, nyeri kepala, kesulitan menelan, dan

    mual muntah. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh pasien.

    Riwayat Penyakit Dahulu

    Riwayat penyakit serupa : (-)

    Riwayat tumor payudara : (+)

    Riwayat herpes simplek : (-)

    Riwayat otitis media : (-)

    Riwayat HT, DM, jantung : (-)

  • 3

    Riwayat trauma kepala : (-)

    Riwayat Penyakit Keluarga

    Riwayat penyakit serupa : (-)

    Riwayat herpes simplek : (-)

    Riwayat otitis media : (-)

    Riwayat HT, DM, jantung : (-)

    Riwayat Pengobatan

    Pasien mengaku belum pernah berobat dan sedang tidak mengkonsumsi obat apapun

    Riwayat Alergi

    Riwayat alergi debu, dingin, makanan dan obat-obatan disangkal

    Riwayat Sosial dan Kebiasaan

    Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, pasien rutin berpergian menggunakan

    sepeda motor ke temanggung 2x/minggu tanpa masker dan tidak menutup mukanya

    dengan pentup helm, kebiasaan ini sudah dilakukannya lebih kurang 5 tahun.

    c. PEMERIKSAAN FISIK

    Status Generalis

    a. Keadaan Umum : Baik

    b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6

    c. Vital Sign :

    Tekanan Darah : 120/80 mmHg

    Nadi : 80x/menit

    Respirasi : 24x/menit

    Suhu : 360C

    d. Meningeal signs : kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-)

    e. Kepala :

    - Mata : pupil isokor d= 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), releks kornea (+/+)

    f. Leher : pembesaran KGB (-)

    g. Dada : paru dan jantung dalam batas normal

  • 4

    h. Abdomen : dalam batas normal

    i. Ekstremitas : akral hangat, nadi kuat angkat

    Pemeriksaan Neurologi

    No. Nama Nervus Komponen yg diperiksa Kanan Kiri

    1. I: Olfaktorius Secara subyektif : Membau

    sesuatu secara bergantian

    hidung ditutup

    Tidak dilakukan Tidak dilakukan

    2. II: Optikus -Tajam Penglihatan

    -Lapang Penglihatan

    -Melihat warna

    -Funduskopi

    Normal (>2/60)

    Normal

    Normal

    Tidak dilakukan

    Normal (>2/60)

    Normal

    Normal

    Tidak dilakukan

    3. III: Okulomotorius -Bentuk & ukuran pupil

    -Refleks terhadap sinar

    -Gerak mata : atas, bawah,

    medial

    Bulat 3mm

    (+)

    (+)

    Bulat 3mm

    (+)

    (+)

    4. IV: Trochlearis -Gerak mata ke lateral

    bawah

    (+) (+)

    5. V: Trigeminus -Motorik

    -Sensibilitas

    -Refleks kornea

    -Sensibilitas taktil dan

    nyeri muka

    -Membuka mulut

    -Mengunyah

    -Menggigit

    Normal

    Normal

    (+)

    Normal,

    simetris

    Normal

    Normal

    Normal

    Normal

    Normal

    (+)

    Normal, simetris

    Normal

    Normal

    Normal

    6. VI: Abducens -Gerak mata superior

    oblique

    (+) (+)

    7. VII: Facialis

    -Mengerutkan dahi

    -Mengangkat alis

    -Menutup mata

    -Memperlihatkan gigi

    -Meringis

    (+)

    (+)

    (+)

    (+)

    (+)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (+) menurun

  • 5

    -Mencucu

    -Menggembungkan pipi

    -Pengecapan lidah 2/3

    anterior

    (+)

    (+)

    Tidak dilakukan

    (+) menurun

    (-)

    Tidak dilakukan

    8. VIII:

    Vestibulotroklearis

    -Pemeriksaan dengan suara

    -Tes Rhine, Weber, dan

    Swabach

    (+)

    Tidak dilakukan

    (+)

    Tidak dilakukan

    9. IX: Glossofaringeus -Pemeriksaan orofaring

    -Refleks muntah

    Normal Normal

    10. X: Vagus -Bicara

    -Menelan

    (+)

    (+)

    (+)

    (+)

    11. XI: Asesorius -Memalingkan kepala

    -Mengangkat bahu

    (+)

    (+)

    (+)

    (+)

    12. XII: Hipoglossus -Menjulurkan lidah (+) (+)

    Pemeriksaan Sistem Motorik

    Kanan Kiri Keterangan

    Ekstremitas atas

    -Kekuatan

    Distal

    Proksimal

    -Tonus

    -Trofi

    -Ger.Involunter

    5

    5

    Normal

    Eutrofi

    (-)

    5

    5

    Normal

    Eutrofi

    (-)

    Kesan : dbn

    Ekstremitas Bawah

    -Kekuatan

    Distal

    Proksimal

    -Tonus

    -Trofi

    -Ger.Involunter

    5

    5

    Normal

    Eutrofi

    (-)

    5

    5

    Normal

    Eutrofi

    (-)

    Kesan : dbn

    Badan

    -Trofi

    Eutrofi

    Eutrofi

    Tidak ada kelainan

  • 6

    -Ger.Involunter (-) (-)

    Pemeriksaan Refleks

    Kanan Kiri Keterangan

    Fisiologis

    -Biseps

    -Triseps

    -Patella

    -Achilles

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    (+) 2

    Refleks fisiologis

    dalam batas normal

    Patologis

    -Babinski

    -Chaddock

    -Hoffman

    -Tromer

    -Gordon

    -Gonda

    -Oppenheim

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    (-)

    Refleks patologis

    tidak ditemukan

    Pemeriksaan Fungsi Otonom

    Miksi : normal

    Defekasi : normal

    Resume Pemeriksaan Fisik

    o Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di poli penyakit syaraf RSUD

    Tidar Kota Magelang

    o Pasien mengeluh bibir bagian kiri perot, mata kiri tidak bisa mengedip dan

    berair.

    o Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan pada nervus VII sinistra perifer,

    yaitu kerutan dahi yang tidak simetris (hanya dahi sebelah kanan yang dapat

    berkerut), kelopak mata kiri tidak menutup sempurna, senyum yang tidak

    simetris, dan sulit menggembungkan pipi.

  • 7

    d. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Tidak dilakukan

    e. DIAGNOSIS

    Diagnosis klinis : Paresis nervus VII tipe perifer

    Diagnosis topik : Paresis nervus VII sinistra tipe perifer (infranuklear)

    Diagnosis etiologi : Bells palsy (idiopatik)

    Diagnosis patologis : Proses inflamasi

    f. TATA LAKSANA

    Medikamentosa:

    - Metylprednisolon 3 x 1

    - Acyclovir 5 x 400 mg

    - Neurodex 1 x 1

    Non Medikamentosa:

    - Massage wajah ke arah atas (lateral)

    - Dianjurkan menjalani fisioterapi

    Edukasi:

    - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya

    - Menganjurkan untuk minum obat teratur dan beristirahat

    - Menganjurkan untuk kontrol perkembangan ke dokter secara rutin

    - Menganjuran untuk menghindari faktor resiko (menghindari paparan angin pada

    wajah seperti kipas angin, atau menggunakan helm yang menutupi wajah saat

    berkendara)

    - Menganjurkan melakukan fisioterapi

    g. PROGNOSIS

    Kesembuhan (Ad Sanam) : dubia ad bonam

    Jiwa (Ad Vitam) : dubia ad bonam

    Fungsi (Ad Fungsionam) : dubia ad bonam

  • 8

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. PENDAHULUAN

    Bells palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor

    neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di

    luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,

    kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan

    pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Sir

    Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma

    kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf

    fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf

    fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Berbagai teori mencoba menerangkan

    abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1.

    Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan, walaupun hampir sebagian besar

    kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan dan rekurensi terjadi pada 8% - 12%

    kasus dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan.

    Insidensi sindrom ini bervariasi di berbagai negara di seluruh dunia. Insidensinya

    sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur.

    Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus

    berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Manifestasi

    klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang

    menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat

    permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter layanan

    primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding

    yang mungkin didapatkan.

    B. ANATOMI

    Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang

    mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil

    (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan

    komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula

    lakrimalis. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri

    dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya

  • 9

    membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk

    pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis,

    submandibula, sublingual dan lakrimal.

    Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar

    sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau

    pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada

    lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah

    dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum.

    Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion

    genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf

    trigeminus (N.V) hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. Saraf otak ke VII

    mengandung 4 macam serabut, yaitu :

    1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator

    palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

    stapedius di telinga tengah).

  • 10

    2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

    superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga

    hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan

    lakrimalis.

    3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga

    bagian depan lidah.

    4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)

    dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

    Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus

    internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk

    ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan

    bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin

    merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada

    segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen

    yaitu :

    1. Segmen supranuklear

    2. Segmen batang otak

    3. Segmen meatal

    4. Segmen labirin

    5. Segmen timpani

    6. Segmen mastoid

    7. Segmen ekstra temporal

  • 11

    C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

    Terdapat beberapa teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy,

    yaitu iskemik vaskular, virus, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas

    sebagai etiologi penyakit ini.

    1. Teori iskemik vaskuler

    Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab

    dari bells palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.

    VII. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari pembuluh darah leher

    atau telinga rusak, sehingga terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII

    dan terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas

    kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang

    keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan

    menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan vena dalam

    kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan

    circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf

    mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.

    2. Teori infeksi virus

    Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess

    mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum

    seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells

    palsy. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi

    karena proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus

    herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam

    ganglion sensoris. Reaktivasi ini dapat terjadi jika daya tahan tubuh menurun,

    sehingga terjadi neuritis/neuropati dengan proses peradangan dan edema. Menurut

    Adour, lokasi nyeri dapat terjadi di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian

    ahli berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada Bells palsy adalah

    sekitar foramen stilomastoideum.

    Menurut Holland HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus Bells palsy

    sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13% kasus. Herpes zoster

    lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk Zoster sine

    herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome

    (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir

  • 12

    sepertiga kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini

    juga berhubungan dengan prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf

    yang irreversibel. Selain HSV ada beberapa virus yang dikaitkan dengan Bells

    Palsy yaitu CMV, adenovirus, rubella dan mumps.

    3. Teori herediter

    Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy,

    terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.

    Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance sekitar

    6% dari seluruh penderita Bells palsy. Ini mungkin karena kanalis falopii yang

    sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi

    untuk terjadinya paresis fasialis. Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan

    temuan objektif tentang dasar genetik dari Bells palsy, dan kebanyakan terpusat

    pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif

    yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun.

    4. Teori imunologi

    Suatu hipotesa imunologis, berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan.

    Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit pada pasien Bells

    palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bells palsy merupakan hasil dari

    cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung

    penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya. Dikatakan bahwa

    Bells Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul

    sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka

    penderita Bells Palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk

    mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai

    immunosupressor.

    D. PATOGENESIS

    Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bells palsy adalah

    proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang Bells palsy sebagai

    suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu entrapment syndrome.

    Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bells palsy, oleh

    George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:

    a. Tipe 1

  • 13

    Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami

    kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami

    penyembuhan yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis)

    adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf

    dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum

    dapat dibuktikan.Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler

    oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke

    dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium

    maka konduksi saraf menjadi terhambat.

    b. Tipe 2

    Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain

    yang mungkin akibat degenerasi saraf sinkenesis ini terjadi karena impuls dari

    satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi

    otot-otot lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik

    pada waktu terjadi saltatory movement kepada saraf yang berdekatan yang

    mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan

    kontraksi dua otot pada saat bersamaan.

    c. Tipe 3

    Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang

    terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini

    terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion

    genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya

    dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan

    menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan

    degenerasi. Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya,

    menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu

    menyebabkan peradangan dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan

    protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran

    saraf.

    E. MANIFESTASI KLINIS

    Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya

    mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari

    saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan

  • 14

    tidak hanya pada serabut motorik termasuk otot stapedius, tetapi juga pada inervasi

    otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada

    2/3 lidah melalui korda timpani.

    Pasien Bells Palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi

    secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut,

    tidak mampu menutup mata dan bila diusahakan tampak bola mata berputar keatas (Bells

    phenomen), sudut nasolabial tidak tampak dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala

    lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi

    pengecapan pada 2/3 depan lidah. Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri

    sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien Bells Palsy. Nyeri ini dapat

    terjadi bersamaan dengan paralisis wajah atau terjadi sebelum onset paralisis.

    a. Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala seperti mulut

    tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi,

    sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata

    pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus

    menerus.

    b. Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama

    seperti penjelasan di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah

    2/3 bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang.

    c. Lesi yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda

    dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya

    hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).

    d. Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga

    poin diatas disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di

    belakang telinga.

    e. Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada

    ganglion genikulatum, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli.

  • 15

    F. DIAGNOSIS

    a. Anamnesis

    Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada

    tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk

    membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy

    kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset

    mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan

    mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.

    b. Pemeriksaan Fisik

    Kelumpuhan sentral atau perifer dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis

    harus dibedakan. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja,

    otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi

    dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

    Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk

    menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.

    Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi

    wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang

    terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang

    terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada

  • 16

    telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus

    stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke

    atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan

    pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas

    normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.

    Untuk menegakan diagnosis Bell Palsy harus ditetapkan dulu adanya paralisis

    fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan.

    - Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya infeksi

    telinga tengah dan kolestoma.

    - Pemeriksaan neurologi dan nervi kraniales. Ini untuk mencari adanya Ca.

    nasopharing atau tumor pada sudut serebelo pontin.

    - Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari adanya

    mastoiditis dan fraktur os temporal.

    Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan

    menggunakan sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara

    grading system (Y-system). Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk

    menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes

    gustometri.

  • 17

    c. Diagnosis Banding

    Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan

    perifer. Kelainan sentral :

    1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan

    proses patologis di hemisfer serebri kontralateral.

    2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status

    atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya.

    3. Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis

    atau neuritis optika

    4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau

    terdapat riwayat trauma sebelumnya.

    Kelainan perifer :

    Grade HBS Y-system

    Normal, fungsi pada semua area simetris I 40

    Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata

    dengan penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada

    senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak

    ada kontraktur atau spasme

    II 32-38

    Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan

    wajah secara statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan

    mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris

    pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass

    movement atau spasme (walaupun tidak terlihat saat statis/

    menyebabkan disfigurasi)

    III 24-30

    Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi,

    ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang

    tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal,

    sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme

    IV 16-22

    Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan

    mata yang tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut,

    sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak didapati.

    V 8-14

    Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun

    spasme

    VI 0-6

  • 18

    1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam

    kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi.

    2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel

    yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan

    kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster.

    3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut.

    4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa

    gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli

    bilateral.

    5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus

    kranialis V dan VIII.

    6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus

    mandibula).

    7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe

    hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

    d. Pemeriksaan Penunjang

    Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

    dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

    1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan

    untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat

    (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang

    temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multiple serta

    MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

    2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat

    dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

    3. Tes laboratorium jika pasien memiliki tanda-tanda keterlibatan sistemik tanpa

    perbaikan lebih dari empat minggu.

    G. TATALAKSANA

    Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini

    dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada

    pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding

    Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya

  • 19

    setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum dapat

    berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.

    Terapi Non-farmakologis

    Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya

    dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat

    tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral

    (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).

    Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat

    wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas

    dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan

    pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.

    Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah

    onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula

    bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi

    fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,

    meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang

    dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol

    gerakan, dan relaksasi.

    Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat

    istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang

    digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif

    sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah

    berlebih.

    Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat

    istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang

    digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi

    neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi

    wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang

    simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.

    Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-

    sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.

    Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan

    agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara

  • 20

    simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi

    strategi meditasi-relaksasi.

    Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah

    yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa

    mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di

    depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar

    visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.

    Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan

    otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu

    dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya,

    baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu

    dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti

    Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat

    kelainan pemeriksaan otoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara

    berurutan pada pasien.

    Terapi Farmakologis

    Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam

    patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis

    permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama

    prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk

    optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan

    prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari

    diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada

    penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan,

    hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan

    terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

    Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus

    digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil

    menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

    kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih

    baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon

    dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.

  • 21

    Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison

    memiliki hasil yang lebih baik. deAlmeida et al menemukan bahwa kombinasi antivirus

    dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih

    besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi

    antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.

    Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al22 dengan

    1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral

    dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya

    keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus

    dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan

    keuntungan penggunaan terapi kombinasi.

    Dosis pemberian asiklovir untuk usia>2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui

    oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa

    diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali

    pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah

    3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3

    kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat

    antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit

    kepala.

    H. KOMPLIKASI

    Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang

    tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy :

    1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis

    seluruh atau beberapa muskulus fasialis.

    2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),

    ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang

    tidak sama dengan stimuli normal).

    3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

    Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu

    gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi

    involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan

    mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat

    regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat

  • 22

    mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul

    kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah

    saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi

    bersamaan).

    I. PROGNOSIS

    Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai

    cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells

    palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3

    minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%

    mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat

    mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat

    rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks

    stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari

    (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.

    Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit

    pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal

    dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.

    Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang

    dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua

    menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan pemeriksaan

    neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading

    System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan

    prognosis pasien Bells palsy.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok

    Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP. Dr.M.Djamil.

    Padang. Sunaryo,U.2012.BellsPalsy.25 September2013.

    Lowis, H.,dan Maula, N.G. 2012. Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di

    Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

    (P2KB). Universitas Pelita Harapan,Tangerang. Departemen Saraf Rumah Sakit

    Jakarta Medical Center. Jakarta.

    Madhok, V. (2014). Bells Palsy. British Medical Journal .

    Tiemstra, J. D. (2008). Bells Palsy: Diagnosis and Management. American Family

    Physician

    .