LAPORAN PENDAHULUAN BELLS PALSY
-
Upload
kucingdekil -
Category
Documents
-
view
738 -
download
59
description
Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN BELLS PALSY
LAPORAN PENDAHULUAN
BELL’S PALSY
I. KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah
kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi
secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai
adanya penyakit neurologis lainnya.
(Thamrinsyam,2002).
Bell’s palsy adalah suatu kondisi dimana otot – otot wajah di satu sisi menjadi
bengkak dan meradang yang mengakibatkan setengah wajah akan tampak terkulai dan
tak bertenaga. (Foster, 2008)
Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s
palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui.
(Widowati, 2000)
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter
dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi,
lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi.
Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada
kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain
dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah
paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik. (Widowati, 2000)
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala
Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup
kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini
disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak
mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang
sehat (lagoftalmos).
B. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29%
lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya
Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
C. Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s
palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus
(HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya
hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-
satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai
penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai
penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada
keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa
HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi
memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami
at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam
cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan
ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella
Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada
penderita Ramsay Hunt syndrome. (Foster, 2008)
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
D. Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae
(n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding
anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus
lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia
membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-
serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan
VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis
masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok
tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat
dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah
ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke
m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium
melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi
menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m.
digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi
di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai
gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara
ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi
tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen
stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).
E. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu
atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun
disitu (Foster, 2008).
F. Gejala klinik
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat
dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup,
apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,
makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup
atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda
klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt
adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan
pina.
5. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di
atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan
kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s
palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari
mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula
lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi
saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke
glandula lakrimalis.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang
harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan
kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus
fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus
fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan
nervus kranialis yang lain dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s
palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan
jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis
multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan
menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga,
ganglion genikulatum.
H. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan
antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN
I. Pengobatan
Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat
otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah
merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung
bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar
dapat membahayakan.
Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis
di dalam kanal fasialis yang sempit.
Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya
agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg selama 10
hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak
dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada
3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
J. Diagnosis banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS dan sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.
K. Komplikasi
Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi
motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus
fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar
lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
L. Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis
yang baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15%
kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala
sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s palsy
dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk
prognosis Bell’s palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23
% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis
M. Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy
Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan
dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO
adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial. Tujuan
rehabilitasi medik adalah :
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan
apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien
maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi
terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat
rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi,
okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat
rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
1. Program Fisioterapi
a. Pemanasan :
Pemanasan superfisial dengan infra red.
Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy\
Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah
untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan
sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
b. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut
mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh)
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud
untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara
perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,
memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3 Setelah lewat fase akut
diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep
Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,
melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan
nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga
melepaskan perlengketan.11 Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut,
hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
2. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.
3. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan
umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
4. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita
yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
5. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu
3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini
dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah
terjadinya kontraktur.
6. Home Progame
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang
sehat
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan
sedotan, mengunyah permen karet
d. Perawatan mata :
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
DAFTAR PUSTAKA
(Widowati, ). Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2000.
Doengues. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Pasien, edisi 3; EGC. Jakarta
(Foster). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan System Persarafan. Salemba
medika: Jakarta 2008
(Thamrinsyam). Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : 2002
Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985
Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991
http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28 -11-
2010)
http://musyrihah-megarezky.blogspot.com/2011/11/askep-bells-palsy.html
II. KONSEP DASAR KEPERAWTANA. Pengkajian Pengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.1. Anamnesis Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.2. Riwayat penyakit saat iniFaktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell. 3. Riwayat penyakti dahuluPengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. 4. Pengkajian psiko-sosio-spiritualPengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
B. Pemeriksaan fisik Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
B1 (breathing)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.
B2 (Blood)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
B3 (Brain)Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
2. Fungsi serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos). Saraf V : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada
sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik. Saraf VII : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema
nervus fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi Saraf IX & X : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
4. Sistem motorik Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
5. Pemeriksaan refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
6. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
7. Sistem sensorik Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Blader)Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (bowel)Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.C. Penatalaksaan medis Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien. Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut. Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah. Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas. Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.D. Diagnosa keperawatan 1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.2. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
E. Intervensi dan rasional
1.gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang ;Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi lainDo: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.
Tujuan :konsep diri klein meningkat Criteria hasil :klien mampu menggunakan koping yang positif Intervensi :
a) Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.R/ intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klienb) Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.R/ mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah tetjadinya kecemasan tambahan.c) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.R/ orientasi dapat menurunkan kecemasan.d) libatkan system pendukung dalam perawatan klienR/ kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.
2. cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan. Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang Criteria hasil : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang. Intervensi :
a) kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.R/ reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.b) Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.R/ mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.c) Tingkatkan control sensasi klienR/ control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif.d) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak dieksperesikan.e) Berikan privasi untuk klien dan orang terdekatR/ memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.3.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yasng tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.
Criteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi :a) Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.R/ indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan serta untuk evaluasi lebih lanjut.b) Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawatR/ meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.c) Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan.R/ meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.d) Kaji ulang resiko efek samping pengobatanR/ dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.e) Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.R/ memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan.
DDDDDDDDDDDDDDLAPORAN KASUSIDENTITASNama : Tn. P S Umur : 47 tahun Jenis kelamin : Laki-lakiAlamat : Tuminting Pekerjaan : WiraswstaAgama : Islam Tanggal Pemeriksaan : 22 April 2008ANAMNESISKeluhan utama : kekakuan di pipi di bawah mukaRiwayat Penyakit SekarangMulut tertarik ke kiri dialami penderita sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya penderita merasa lidahnya menebal saat makan siang. Ketika penderita bangun pagi keesokan harinya, penderita merasa mulutnya seperti tertarik ke kiri, lalu penderita bercermin dan melihat mulutnya miring/tertarik ke kiri. Bersamaan dengan itu, mata penderita tidak bisa menutup rapat sehingga terasa pedih bila terkena air dan angin. Selain itu mata kanan penderita berair terus.Bila penderita makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan. Bila penderita minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kanan. Bibir terasa kering dan pecah-pecah. Influensa dan nyeri di belakang telinga disangkal oleh penderita. Penderita tidak mengalami gangguan pengecapan ataupun gangguan pendengaran. Penderita mengaku terpapar udara dingin pada malam hari karena letak kamar mandi/WC ada di luar rumah. Sebelumnya penderita berobat ke praktek dokter umum, tetapi tidak ada perubahan. Lalu penderita datang ke RSU Prof. dr. R. D. Kandou bagian poli Saraf dan dirujuk ke bagian Rehabilitasi Medik.Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya penderita belum pernah menderita penyakit seperti ini. Penderita tidak pernah sakit telinga, kecelakaan/jatuh, sakit seperti cacar air ataupun trauma di wajah/sekitar telinga. Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-)Riwayat Penyakit KeluargaHanya penderita yang sakit seperti iniRiwayat Sosial Ekonomi Penderita seorang janda, pengungsi, dan mempunyai 1 orang anak dalam tanggungan. Saat ini penderita tinggal di rumah tetangga dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Rumah permanen, berlantai ubin, 4 buah kamar tidur, dihuni oleh 5 orang, KM/WC jongkok (khusus untuk penderita dan anaknya) berada di luar rumah, menggunakan air sumur pompa dan PLN. Biaya pengobatan penderita ditanggung sendiri.PEMERIKSAANKeadaan umum : BaikKesadaran : Compos mentis, kontak (+), pengertian baikTanda vital : T : 150/90 mmHg, N : 80x /menit, R : 20 x/menit, SB : atermKepala : Konjungtiva anemis -/-, sclera icterus -/-
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar (-)Status Internus : Dalam batas normalStatus neurologis : Nervus kranialis I – XII dalam batas normal, kecuali N.VII dextra tipe periferStatus lokalis N.VII :Dextra SinistraMengerutkan dahi - +Menutup mata - +Mengangkat sudut bibir - +Tersenyum - +Pengecapan rasa manis (+) N (+) NSKALA UGO FISCH
Posisi Nilai Persentase (%)0, 30, 70, 100
Skor
Istirahat 20 70 14
Mengerutkan dahi 10 30 3
Menutup mata 30 70 21
Tersenyum 30 30 9
Bersiul 10 30 3
Total 50
Mata Kanan : Lagoftalmus 3 mmEpifora (+)DIAGNOSISDiagnosa klinis : Bell’s palsy dextraDiagnosa topik : Sekitar foramen stilomastoideusDiagnosa etiologi : IdiopatikTERAPI MEDIKAMENTOSAGolongan kortikosteroidNeurotropik
PROBLEM REHABILITASI MEDIKKelumpuhan otot wajah :- Sudut mulut tertarik ke kiri- Kelopak mata kanan tidak bisa menutup rapat dengan baikGangguan dalam AKS otot-otot wajah :- Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan- Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananGangguan psikologis, penderita merasa malu dengan keadaan iniGangguan sosial ekonomi yaitu masalah biaya pengobatanPROGRAM REHABILITASI MEDIK1. FisioterapiEvaluasi : - Kontak (+), pengertian baik- Angkat alis (±), mata kanan tidak bisa menutup rapat dengan baik- Sudut mulut tertarik ke kiri- Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan- Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananProgram : – Pemanasan superfisial berupa infra red pada wajah sebelah kanan selama 10 menit- Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah, lamanya 5-10 menit- Latihan gerak volunter wajah sisi kanan di depan cermin dengan gerakan mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut.2. Okupasi TerapiEvaluasi : - Kontak (+), pengertian baik- Angkat alis (±), mata kanan tidak bisa menutup rapat- Sudut mulut tertarik ke kiri- Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan- Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananProgram : - Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata, mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis- Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan3. PsikologiEvaluasi : - Kontak (+), pengertian baik- Penderita merasa sedikit cemas dan malu- Keinginan penderita untuk sembuh sangat besar- Penderita menjalankan aturan rehabilitasi medikProgram : - Memberikan dorongan mental supaya penderita tidak merasa cemas dan malu dengan penyakitnya- Memberikan dorongan mental agar penderita rajin menjalankan program rehabilitasi dan melakukan home progame yang diberikan agar penyakitnya cepat sembuh4. Sosial MedikEvaluasi : - Penderita seorang janda dengan 1 orang anak dalam tanggungan, tinggal dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah tetangga- Biaya pengobatan ditanggung sendiri dan ada masalah dengan biaya pengobatannya
Program : - Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi masalah biaya dengan menghubungi majikan tempat penderita bekerja agar dapat memberi uang tunjangan kesehatan, juga dengan mengurus dana GAKIN5. Ortotik ProstetikEvaluasi : - Wajah tidak simetris- Kelopak mata kanan tidak bisa menutup rapat- Mulut tertarik ke kiriProgram : Saat ini belum diperlukan6. Terapi WicaraEvaluasi : - Kontak (+), pengertian baik- Artikulasi baik, tidak ada gangguan dalam bicaraProgram : Saat ini belum diperlukanHome Programe :Perawatan mata :- Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari- Memakai kacamata hitam saat bepergian siang hari- Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif2. Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kanan selama 20 menit3. Massage wajah sebelah kanan ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sebelah kiri4. Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan, makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan dan mengunyah permen karet.FOLLOW UP (2 Februari 2005)SKALA UGO FISCH
Posisi Nilai Persentase (%)0, 30, 70, 100
Skor
Istirahat 20 100 20
Mengerutkan dahi 10 70 7
Menutup mata 30 100 30
Tersenyum 30 70 21
Bersiul 10 100 10
Total 88
Mata Kanan : Lagoftalmus (-)Epifora (-)Keterangan : - Program fisioterapi dan okupasi terapi tetap dilanjutkan 3x seminggu, lalu dievaluasi. Home programe tetap dilakukan- Secara psikologi, penderita tidak merasa malu dan cemas lagi sehingga program psikologi tidak perlu dilanjutkan- Masalah biaya pengobatan sudah dapat teratasi, dimana majikan penderita telah memberikan uang tunjangan kesehatan. Jadi program sosial medik tidak perlu dilanjutkan