Referat Bells Palsy

49
REFERAT BELL’S PALSY PENYUSUN : Anggie Pradetya Maharani 030.11.031 PEMBIMBING : Dr. Renie Augustine, Sp. THT KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

description

THT

Transcript of Referat Bells Palsy

Page 1: Referat Bells Palsy

REFERAT

BELL’S PALSY

PENYUSUN :

Anggie Pradetya Maharani

030.11.031

PEMBIMBING :

Dr. Renie Augustine, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN

TENGGOROKAN

RSUD BUDHI ASIH

PERIODE 25 MEI – 27 JUNI 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

Page 2: Referat Bells Palsy

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :

“Bells palsy”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan THT RSUD Budhi Asih periode 25 mei – 27 juni 2015

Disusun oleh :

Anggie Pradetya Maharani

030.11.031

Jakarta, …………………….. 2015

Mengetahui

Koparnit THT RSUD Budhi Asih

Dr. Renie Augustine, Sp. THT-KL

SIP : 2.2.01.3172.0830/40.01/05.11.1

i

Page 3: Referat Bells Palsy

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat

dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul

“Bells Palsy”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam

menempuh kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum

Budhi Asih Jakarta. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Dr. Renie Augustine, Sp. THT-KL selaku ketua SMF Ilmu Penyakit THT

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta

2. Dr. Djoko Sriyono, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta

3. Dr. Putri Anugrah Rizki, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Jakarta

4. Dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Jakarta

5. Seluruh staff SMF THT RSUD Budhi Asih

6. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Budhi Asih

atas bantuan dan dukungannya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka

saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar referat

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 19 Juni 2015

Penulis

ii

Page 4: Referat Bells Palsy

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv

DAFTAR TABEL....................................................................................................v

BAB I.......................................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................22.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis.......................................................22.2 Epidemiologi...............................................................................................52.3 Etiologi........................................................................................................62.4 Patofisiologi 3.............................................................................................82.5 Manifestasi klinis......................................................................................102.7 Blink Reflex..............................................................................................132.8 Pemeriksaan penunjang...............................................................................142.9 Penatalaksanaan...........................................................................................163.0 Komplikasi..................................................................................................193.1 Prognosis......................................................................................................20

BAB III..................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iii

Page 5: Referat Bells Palsy

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ………………………………………………………………………. 3

Gambar 2 ………………………………………………………………………. 5

Gambar 3 ………………………………………………………………………. 8

Gambar 4 ………………………………………………………………………. 10

Gambar 5 ………………………………………………………………………. 14

iv

Page 6: Referat Bells Palsy

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ………………………………………………………………………… 17

Tabel 2 ………………………………………………………………………… 18

v

Page 7: Referat Bells Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy atau biasa yang disebut paralisis fasialis idiopatik merupakan

salah satu gangguan neurologik yang dipengaruhi oleh nervus kranial. Gangguan

ini bersifat akut, unilateral dan mengenai lower motor neuron nervus facialis yang

pada 80-90% kasus sembuh secara perlahan.1

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh edema dan iskemik akibat penekanan

pada nervus kranialis. Penyebab edema dan iskemik ini dapat disebabkan oleh

iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter maupun imunologi. Namun peranan

infeksi virus merupakan penyebab tersering seperti reaktivasi infeksi laten dari

virus herpes simpleks (HSV).1,2

Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya

Bell’s palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring

orang yang terkena Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di

ganglion sel sensoris dalam fase laten, dimana apabila terjadi infeksi di nervus

fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat mendasari terjadinya

Bell’s palsy.3

Menurut literatur 5 tahun terakhir oleh Finsterer4 prevalensi gangguan

saraf fasialis perifer idiopatik (Bell’s palsy) berkisar antara 60-80%. Insiden pada

perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan. Usia dapat mempengaruhi, dimana

usia 15-50 tahun mempunyai insiden lebih tinggi. Bell’s palsy jarang ditemukan

pada usia dibawah 15 tahun dan diatas 60 tahun.4

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.

Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan

frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak

pada usia 21– 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak

didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada

beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin

berlebihan.5

1

Page 8: Referat Bells Palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis

Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang didalam tulang, sehingga

sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak didalam tulang temporal.

Perjalanan saraf ini dimulai dari area motorik korteks serebri yang terletak

pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Sinyal yang berasal dari neuron

pada area motorik korteks serebri dihantarkan melalui fasikulus-fasikulus jalur

kortikobulbar menuju kapsula interna kemudian melewati bagian atas

midbrain menuju batang otak bagian bawah untuk bersinapsis pada nukleus

saraf fasialis di pons.2,6

Perjalanan saraf fasialis dimulai dari intrakranial dari area motorik korteks

serebri yang terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Saraf fasialis

mempunyai dua nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Nukleus superior

dipersarafi korteks motoris secara bilateral sedangkan nukleus inferior hanya

disarafi dari satu sisi. Kedua serabut nukleus berjalan mengitari nukleus saraf

abdusen lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf vestibulo-

koklearis dan intermedius (Whrisberg) melewati sudut cerebelopontin

kemudian masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus internus.

Setelah berada didalam tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam

suatu saluran yang disebut kanal falopi yang kemudian masuk ke os mastoid.

Kemudian ia keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan

kemudian mempersarafi otot-otot wajah2,7

Saraf fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu6 :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator

palpebrae (N.III), stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di

telinga tengah).

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

2

Page 9: Referat Bells Palsy

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual

dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

Gambar 1. Saraf kanial ketujuh (Fasialis)8

(cabang motorik biru, cabang aferen otonom hijau, eferen otonom jingga)

Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot

wajah, stapedius ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus.

Nervus fasialis intermedius (Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang

membawa saraf aferen otonom dan eferen otonom. Aferen otonom mengantar

impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian

depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke

ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom

datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu

kelompok akson dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan

diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula

3

Page 10: Referat Bells Palsy

mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai

korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana

impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan

merangsang salivasi.9

Nervus fasialis dibagi menjadi 6 segmen10:

1. Intrakranial : cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur

kortikonuklear kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan

batang otak, serabut motorik melingkar di nucleus abdusen dan

membentuk genu internal saraf. Setelah melewati batang otak, nervus

fasialis memasuki porus akustikus internus dengan nervus

vestibulokoklearis.

2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki

porus akustikus internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior

melalui foramen meatal. Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga

disana saraf-saraf sering terperangkap karena proses inflamasi.

3. Labirin : setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal

mayor, yang juga merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula

lakrimalis dan glandulua mumosa nasalis. Nervus fasialis turun secara

tajam di ganglion genikulatum membentuk genu pertama.

4. Timpanik : segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga

tengah. Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis

semisirkular. Segmen timpanik dilapisi selunung tulang tipis.

5. Mastoid : di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu

sekunder oleh aditus ad antrum, membelok secara vertical kebawah

membentuk sudut 90 derajat. Kemudian menuju mastoid dan saluran

bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan foramen,

nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke

telinga tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut

sensoris pengecapan.

6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki

glandula parotis.

4

Page 11: Referat Bells Palsy

Gambar 2. Komponen serabut nervus fasialis10

2.2 Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis

fasial akut. Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986

dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,

insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih

tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun

lebih rentan terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama.

Penyakit ini mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50

tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan,

kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,

bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

2.3 Etiologi

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di

ganglion genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan

5

Page 12: Referat Bells Palsy

kemungkinan bisa menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak

di kanalis fasialis, persimpangan segmen labirin dan timpani, dimana nervus

fasialis berbelok ke foramen stilomastoideus. Secara umum, Bell’s palsy

didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan

penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11

1. Infeksi Virus

Banyak kemiripan antara Bell’s palsy dengan neuropati lainnya yang

disebabkan oleh virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai

manifestasi neuritik yang progresif.

Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya

Bell’s palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada

nasofaring orang yang terkena Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini

predileksinya di ganglion sel sensoris dalam fase laten. Nervus fasialis yang

mengandung saraf sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana apabila

terjadi infeksi di nervus fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang

dapat mendasari terjadinya Bell’s palsy.3

Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan

kerusakan setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut.

Kemudian hal ini dapat diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan

radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel schwann yang menyebabkan

terjadi inflamasi dan reaksi imunologik. Infiltrasi limfositik akhirnya

menyebabkan terjadinya fragmentasi pada mielin, demielinisasi dan

kromatolisis. Ketika inflamasi dan reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah

proses remielinisasi.12

2. Vaskular iskemik

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus

fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina

(proksimal), arteri meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal).

Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari

6

Page 13: Referat Bells Palsy

pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik

primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan

kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik

yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12

Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari

arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi

kecuali apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus.

Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan

dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler

dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi

yang mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula

di kanal falopi menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang

berlanjut dapat menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi

tidak begitu jelas, namun beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu

oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan permeabilitas sehingga

terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas.

Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses iskemik

sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan

efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada

Bell’s palsy.12

3. Herediter

Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan

terjadinya kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan

terjadinya kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan

terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang terjadi dapat

berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya

Bell’s palsy yang pemanen apabila tidak segera diatasi.12

7

Page 14: Referat Bells Palsy

Gambar 3. Etiologi Bell’s Palsy12

2.4 Patofisiologi 3

Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang

melewati tulang temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori,

proses edema dan iskemi dihasilkan dari kompresi oleh nervus fasialis yang

berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin,

merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya berdiameter

0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus

fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat

logis sekali bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi

dapat menghambat konduksi pada nervus fasialis.1

Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori

yang mengatakan penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan

herediter.3,11

Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh

dapat menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan

inflamasi yang biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan

mengakibatkan kompresi atau penekanan pada kanal falopi pada segmen

8

Page 15: Referat Bells Palsy

labirin yang akan mengakibatkan terjadinya infark. Kerusakan pada

pembungkus myelin dapat menyebabkan gangguan seperti terhambatnya

penghantaran sinyal dari otak ke otot-otot fasialis. Gangguan ini dapat juga

disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti Lyme Disease, diabetes mellitus,

tumor, HIV, chickenpox atau trauma di wajah yang dekat dengan nervus

fasialis.12

Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke

nervus fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina

(proksimal), arteri meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal).

Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari

pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik

primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan

kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik

yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12

Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari

arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi

kecuali apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus.

Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan

dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler

dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi

yang mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula

di kanal falopi menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang

berlanjut dapat menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi

tidak begitu jelas, namun beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu

oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan permeabilitas sehingga

terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas.

Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses iskemik

sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan

efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada

Bell’s palsy.12

9

Page 16: Referat Bells Palsy

Selain itu, variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki

kecendrungan terjadinya kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi

menyebabkan terjadinya kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga

menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang

terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan

terjadinya Bell’s palsy yang oemanen apabila tidak segera diatasi.12

2.5 Manifestasi klinis

Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam,

nyeri dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini

muncul secara tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah

bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan

hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus

kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13

Gambar 4. Manifestasi klinis Bell’s palsy1

Manifestasi motorik13 :

10

Page 17: Referat Bells Palsy

Bell’s palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah.

Kelemahan bersifat luas, mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.

Alis turun

Ektropion pada kelopak bawah

Synkinesis

Manifestasi sensorik:

Gangguan mengecap

Nyeri dibelakang telinga

Manifestasi parasimpatik:

Penurunan produksi air mata

Hipersalivasi

Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan

kompleks, kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat

mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan

gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering

terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup

dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada

salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai

dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga

berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi

mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi

diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai

infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi

menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus -

menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara

(hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan

wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar, air mata

berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap

cahaya.13

11

Page 18: Referat Bells Palsy

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit

ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada

saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.

Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat

dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya

maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat

bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui

sisi mulut yang lumpuh.13

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan

tempat/lokasi lesi14 :

a. Lesi di luar foramen stylomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di

antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah

menghilang, lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena

tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus

menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen

stylomastoideus, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah

(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya

daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,

sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda

timpani bergabung dengan nervus fasialis (N.VII) di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen

stylomastoideus, lesi di kanalis fasialis, ditambah dengan adanya

hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus.

Lesi di kanalis fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang

12

Page 19: Referat Bells Palsy

dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di

membran timpani dan konka.

e.Lesi di daerah meatus acusticus interna

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus,

lesi di kanalis fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di

tempat yang lebih tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari

terlibatnya nervus vagus (N.X).

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda

terlibatnya nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadang-

kadang juga nervus abdusen (N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus

hipoglosal (N.XII).14

Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan

beberapa pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius,

tes gustometri dan tes salivaasi.

Tes Schirmer

Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus

dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal

menunjukkan kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN)

atau saraf fasialisdi proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini

dapat menybabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea akibat

terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.

Pemeriksaan Refleks Stapedius

Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf

fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang

stapedius dari saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif

dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada pasien Bell’s palsy

dengan refleks stapedius yang masih normal menandakan bahwa

penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.

Tes Gustometri

13

Page 20: Referat Bells Palsy

Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani

dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis,

asam dan asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan,

korda timpani juga berperan pada fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi

dari duktus wharton’s dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit.

Tes Salivasi

Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak

berfungsi dengan baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bell’s palsy

sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien

terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan refleks stapedius dan

fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan

refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.

Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi

disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.

Blink Reflex

Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien

dengan keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi

polineuropati dan lesi sentral di batang otak.15

Sama dengan refleks cornea.

Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut

motorik.

Stimulasi saraf supraorbital15 :

Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.

Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis

okuli atau ditempelkan pada hidung dan dagu

Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi

Respon dari refleks:

Komponen R1à Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal.

Perbedaan antara sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.

14

Page 21: Referat Bells Palsy

Komponen R2 à Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih

dari 14 ms dikatakan tidak normal.

Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan

adanya gangguan dari nervus trigeminus atau fasialis.

Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi

ketika R1 abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya

keterlambatan bilateral atau kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari

sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf fasialis memiliki ciri adanya

keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun adanya rangsangan

dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang

terkena.15

Gambar 5. Respon blink normal15

2.7 Pemeriksaan penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang

perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf

kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

15

Page 22: Referat Bells Palsy

dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem

saraf pusat (neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk

mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan

dan penyengatan kontras saraf fasialis.15

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun

1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada

penentuan kandidat tindakan dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai

prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENOG). Selain itu

pemeriksaan pada Bell’s palsy dapat pula dilakukan pemeriksaan uji stimulasi

maksimal.17

3. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG

dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau

suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,

nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.

Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial

denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukan

kepulihan sebagai serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17

3. Elektroneuronografi

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG

melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang

lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila

terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dama

sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch

Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat penyembuhan

tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu

mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal

saraf fasialis.17

16

Page 23: Referat Bells Palsy

3. Uji stimulasi maksimal

Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan

pada wajah di daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan

hingga 5 mA, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah

periorbital, pipi, ala nasi dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda

secara perlahan. Tiap gerakan didaerah-daerah ini menunjukan suatu respon

normal. Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang

lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah

apabila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari

arus yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari

92% persen menderita Bell’s palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi.

Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi

yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang paling

dapat diandalkan adalah uji funsgi saraf secara langsung.17

2.8 Penatalaksanaan

A. Medikamentosa

2. Agen antiviral.

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang

menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli

percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis

memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s

palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai

penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400

mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy.

Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit

untuk mencegah replikasi virus.1

Nama obat Acyclovir (Zovirax)–menunjukkan aktivitas hambatan langsung

melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi secara selektif.

17

Page 24: Referat Bells Palsy

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat

memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang bersifat

nefrotoksik.

Tabel 1. Obat Bell’s palsy antiviral1

2. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan

suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai

keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih

cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih

baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera

dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/

kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,

dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya

untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.18

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek

farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,

yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis

fasialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

18

Page 25: Referat Bells Palsy

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,

jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;

penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit

gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan

klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat

menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan

metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis

pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian

bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat

memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat

menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung,

hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia

gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul

dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

Tabel 2. Obat Bell’s palsy kortikosteroid18

B. Non-medikamentosa

1. Perawatan mata

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.

Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda

asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti dan pelindung mata.18

19

Page 26: Referat Bells Palsy

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata

yang kurang atau tidak ada.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi

kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung

dengan kornea.18

2. Fisioterapi

Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan

dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk

mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan

radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10

menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan

sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu dapat dilakukan

massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.

3. Operatif

Terapi pembedahan seperti dekompresi saraf hanya dilakukan pada

kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurografi menunjukan

penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf ini sering terdapat

pada segmen labirin, maka pada pembedahan dilakukan melalui pendekatan

middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen

mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

4. Konsul

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan

yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan

penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke

dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut18:

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan

tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.

20

Page 27: Referat Bells Palsy

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang

abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan

lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan

otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus fasialis kadang dianjurkan

untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah

pemeriksaan nervus fasialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan

pembedahan.18

2.9 Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami

deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang

tidak dapat diterima oleh pasien.19

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang

merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi

yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah

tersebut.

Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata

berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa).

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus

normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus fasialis.

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus fasialis dimulai dengan regenerasi

dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat

21

Page 28: Referat Bells Palsy

berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat

menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan involunter

(seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan menutup mata

disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut

synkinesis.

3.1 Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah1:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita

sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita

yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan

beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau

kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total

dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka

penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial.20

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding

penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non

DM. Hanya 23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy

kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral

menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.20

22

Page 29: Referat Bells Palsy

BAB III

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan

yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab Bell’s

palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus

fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan

timbul demam, nyeri dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi

klinis ini muncul secara tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah

setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan

hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus kelumpuhan

dirasakan selama 5 hari.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat-

obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan.

Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa

pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

23

Page 30: Referat Bells Palsy

DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 8 Juni 2015. Terdapat pada:

www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview .

2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus

fasialis perifer. Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung

tenggorokan kepala leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.

3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2nd ed.

London: Saunders; 2008.p.1257-69.

4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch

Otorhinolaryngol 2008;265:743-52.

5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed

5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.

6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR.

editors. The facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.

7. Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Diakses 9 juni 2015. Terdapat pada:

www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview .

8. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan

primer. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7.

9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial

Palsy: Anatomy And Physiology. An Update. The Internet Journal of

Neurosurgery. 2004.

10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step

learning guide. New York: Thieme. p.290-2.

11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am

Fam Physician. 2007: 1;76(7):997-1002.

12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee;

2012.p.30-45.

13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical

Practice. USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.

24

Page 31: Referat Bells Palsy

14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and

neck surgery. 2nd edition. New York: McGraw-Hill. 2007.

15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder:

Clinical electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.

16. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of

electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope.

2008;118:394-7.

17. Maisel R, Levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar

Penyakit THT 6th ed. Jakarta: EGC, 1997.

18. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and

antivirals for Bell palsy: Report of the Guideline Development

Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. Nov 7

2012;[Medline].

19. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Rugierro DA. Cranial nerves

and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous

system: structure and function. 6th ed. New Jersey: Human press; 2005. p.

253.

20. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd

ed. George Thieme Verlag: German, 2003. p.98-99.

25