Bells Palsy

21
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat tentang Bell’s Palsy untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Saraf Fakultas Kedokteran UKRIDA di Rumah Sakit Panti Wilasa Dokter Cipto Semarang. Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr.Endang Kustiowati Sp.S (K), Msi.Med selaku konsulen ilmu kesehatan saraf yang telah membimbing dalam mengerjakan referat ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini menguraikan tentang Bell’s Palsy dengan gejala-gejala, penanganan serta komplikasinya. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan orang yang membacanya terutama mengenai Bell’s Palsy. Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan datang. 1

description

refrat bell palsy

Transcript of Bells Palsy

Page 1: Bells Palsy

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga

dapat menyelesaikan referat tentang Bell’s Palsy untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan Saraf Fakultas Kedokteran UKRIDA di Rumah Sakit Panti Wilasa Dokter Cipto

Semarang.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr.Endang Kustiowati Sp.S (K), Msi.Med selaku

konsulen ilmu kesehatan saraf yang telah membimbing dalam mengerjakan referat ini sehingga

dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini menguraikan tentang Bell’s Palsy dengan gejala-

gejala, penanganan serta komplikasinya. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan bagi penulis dan orang yang membacanya terutama mengenai Bell’s Palsy. Saya

menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan

kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan datang.

Semarang, 13 September 2015

Penyusun

1

Page 2: Bells Palsy

2

Page 3: Bells Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang

terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik

ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih

banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan

penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.1

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang.

Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada

perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia mempengaruhi

probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45

tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang

berusia di atas 60 tahun.1

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat sembuh, namun pada

beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa

ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup

kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan

tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris

wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi,

potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi.

Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang

melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata,

gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah.1,2

3

Page 4: Bells Palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang

disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik tanpa adanya penyakit neurologik lain.

Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter

bedah bernama Sir Charles Bell.1

Anatomi Saraf Fasialis

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu serabut somatomotorik, serabut

viseromotorik, serabut viserosensorik dan serabut somatosensorik.

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator

palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan

lakrimalis.

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba

dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Daerah overlapping ini terdapat psda lidah, meatus akustikus eksterna dan bagian

luar gendang telinga.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik

wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa

pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis

4

Page 5: Bells Palsy

auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,

yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi

pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor

menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual

serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut

nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus

abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang

berdekatan pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh

lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama

dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior

vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut

genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum

untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial

major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan

oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus

kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot

wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.2

Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997.

Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000

orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000

populasi. Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan

dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari

seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Penderita diabetes mempunyai

resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita

5

Page 6: Bells Palsy

dengan perbandingan yang sama. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy.

Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada

orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1

Etiologi

Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi

masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain

iskemik vascular, imunologi, infeksi dan herediter.1,2

1. Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan

regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.

2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex

Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV  (khususnya tipe 1).

3. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan

atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis

fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi

virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir

selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan

terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus

fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai

6

Page 7: Bells Palsy

bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan

bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat

menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis

bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear

bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di

lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik

primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela

yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus

fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan

fasialis Lower Motor Neuron (LMN). Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-

pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang

tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan

fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai

kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak

bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa

penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)

yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf

melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut

terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan

terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan,

fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata

yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma

tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar

sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena

bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi

serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.2,3,4

Gejala Klinis

7

Page 8: Bells Palsy

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan

inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan

menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang

sehat. Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada

awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi

atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak

mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka

bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila

berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Gejala kelumpuhan

perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen

stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi

wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon).

Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu

muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan

yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut

mulut.

Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah

ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid

ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi

terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri

terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi

dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.1,3

Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap mengenai onset dan perjalanan penyakit, ada tidaknya

nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan

8

Page 9: Bells Palsy

penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering

unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan

perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu

atau kurang.1

2. Pemeriksaan fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap

untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab

lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi

wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang

terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena

memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien

maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.

Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat

sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain,

motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu

mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.1,2

3. Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk

menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,

otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat

memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Beberapa pemeriksaan

penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis.1

9

Page 10: Bells Palsy

a. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan

setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan

keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis

ireversibel.

b. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur

kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

c. Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot

wajah.

d. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah

Gilroy dan Meyer menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara

sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit

dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau

metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi

khorda timpani atau proksimalnya.

e. Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di

belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas

rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mate

menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer.

Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama

dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset

gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;

sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika;

10

Page 11: Bells Palsy

dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat

trauma sebelumnya.

Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan

mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan

suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel

yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi

virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;

tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis kelima dan delapan.1

Penatalaksaan

1. Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam

patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis

permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid,

terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan

untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60

mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama

enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan

pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan,

hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan

terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat

antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil

menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

kortikosteroid. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik

didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon

dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa

diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali

11

Page 12: Bells Palsy

pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah

3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3

kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat

antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit

kepala.1

2. Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya

dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat

tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral

(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).

Fisioterapi sering diberikan bersama-sama dengan pemberian prednison, dapat

dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang

lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu dengan massage otot wajah.

Bila tidak mengalami perbaikan dapat dilakukan pembedahan untuk

membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien

dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten

cukup baik untuk dilakukan pembedahan.1,2

Komplikasi

1. Crocodile tear phenomenon.

Crocodile tear phenomenon adalah keluarnya air mata pada saat penderita makan

makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari

regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi

menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

2. Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu

timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul

gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

12

Page 13: Bells Palsy

Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi

bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

3. Tic Facialis

Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak

terkendali). Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian

dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat

spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam

beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.2,3

Prognosis

Perjalanan Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf

substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total

dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami

asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat

rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele

berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,

refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari

(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat

mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan

total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan

dalam minggu pertama.1,3

13

Page 14: Bells Palsy

Daftar pustaka

1. Lowis H, Gaharu MN. 2012.“Bell’s Palsy, Diagnosis and management in Primer Care”.J

IndonMedAssoe.Volume62,No.1,http://Indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/

article/viefile/1118/1104,13 September 2015

2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia;2013.h.39-60

3. Frotscher M, baehr M. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi ke-4.Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC; 2005148-155

4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar.

Edisi ke-5. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2005.h.159-163.

14