KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga
dapat menyelesaikan referat tentang Bell’s Palsy untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Saraf Fakultas Kedokteran UKRIDA di Rumah Sakit Panti Wilasa Dokter Cipto
Semarang.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr.Endang Kustiowati Sp.S (K), Msi.Med selaku
konsulen ilmu kesehatan saraf yang telah membimbing dalam mengerjakan referat ini sehingga
dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini menguraikan tentang Bell’s Palsy dengan gejala-
gejala, penanganan serta komplikasinya. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan bagi penulis dan orang yang membacanya terutama mengenai Bell’s Palsy. Saya
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan
kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan datang.
Semarang, 13 September 2015
Penyusun
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang
terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik
ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih
banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan
penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.1
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang.
Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia mempengaruhi
probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45
tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang
berusia di atas 60 tahun.1
Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat sembuh, namun pada
beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa
ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup
kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan
tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris
wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi,
potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi.
Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang
melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata,
gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah.1,2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik tanpa adanya penyakit neurologik lain.
Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter
bedah bernama Sir Charles Bell.1
Anatomi Saraf Fasialis
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu serabut somatomotorik, serabut
viseromotorik, serabut viserosensorik dan serabut somatosensorik.
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Daerah overlapping ini terdapat psda lidah, meatus akustikus eksterna dan bagian
luar gendang telinga.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa
pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis
4
auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor
menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut
nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus
abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang
berdekatan pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh
lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama
dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior
vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut
genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial
major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan
oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus
kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot
wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.2
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997.
Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan
dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
5
dengan perbandingan yang sama. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy.
Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada
orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1
Etiologi
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi
masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain
iskemik vascular, imunologi, infeksi dan herediter.1,2
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir
selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
6
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di
lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis Lower Motor Neuron (LMN). Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-
pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang
tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak
bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa
penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan
terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan,
fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena
bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.2,3,4
Gejala Klinis
7
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan
inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan
menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang
sehat. Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada
awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi
atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka
bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Gejala kelumpuhan
perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen
stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi
wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon).
Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan
yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut
mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi
terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri
terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi
dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.1,3
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset dan perjalanan penyakit, ada tidaknya
nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
8
penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering
unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan
perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu
atau kurang.1
2. Pemeriksaan fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab
lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi
wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang
terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena
memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien
maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat
sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain,
motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.1,2
3. Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat
memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Beberapa pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis.1
9
a. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan
setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan
keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis
ireversibel.
b. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
c. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot
wajah.
d. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara
sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit
dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau
metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi
khorda timpani atau proksimalnya.
e. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas
rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mate
menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum
Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer.
Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama
dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset
gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;
sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika;
10
dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan
suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel
yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi
virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis kelima dan delapan.1
Penatalaksaan
1. Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid,
terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60
mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan
pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan,
hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan
terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat
antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil
menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan
kortikosteroid. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik
didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon
dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa
diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
11
pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah
3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3
kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat
antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit
kepala.1
2. Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
Fisioterapi sering diberikan bersama-sama dengan pemberian prednison, dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu dengan massage otot wajah.
Bila tidak mengalami perbaikan dapat dilakukan pembedahan untuk
membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien
dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten
cukup baik untuk dilakukan pembedahan.1,2
Komplikasi
1. Crocodile tear phenomenon.
Crocodile tear phenomenon adalah keluarnya air mata pada saat penderita makan
makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari
regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul
gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
12
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali). Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian
dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat
spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.2,3
Prognosis
Perjalanan Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf
substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total
dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami
asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat
rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele
berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,
refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat
mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan
total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan
dalam minggu pertama.1,3
13
Daftar pustaka
1. Lowis H, Gaharu MN. 2012.“Bell’s Palsy, Diagnosis and management in Primer Care”.J
IndonMedAssoe.Volume62,No.1,http://Indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/
article/viefile/1118/1104,13 September 2015
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia;2013.h.39-60
3. Frotscher M, baehr M. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi ke-4.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2005148-155
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar.
Edisi ke-5. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2005.h.159-163.
14