BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

31
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 Definisi pre-eklampsia The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 2015 mendefinisikan pre-eklampsia (PE) sebagai penyakit hipertensi yang terspesifik pada kehamilan dengan pengikutsertaan kerusakan multisistem. Pre- eklampsia ditandai dengan tekanan darah > 140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak 4 jam, atau tekanan darah dan disertai proteinuria > 300mg/24 jam setelah usia kehamilan 20 minggu. Dikatakan PE berat jika terdapat salah satu dari kriteria berikut ini: tekanan darah > 160/110mmHg minimal pada dua kali pengukuran, proteinuria > 5g / 24 jam, terjadi eklampsia, sindrom HELLP, terdapat keluhan nyeri kepala terus menerus, nyeri pada perut kanan atas, atau pertumbuhan intrauterine < 5 persentil. Pre-eklampsia, gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan, merupakan salah satu penyebab teratas kematian ibu dan janin. Insidensinya kira- kira 10% yang tentunya berbeda pada setiap populasi. Meskipun etiologi yang tepat untuk terjadinya PE belum dapat dipahami, tampaknya ada gangguan pada plasentasi, dimana trofoblas tidak mampu berdiferensiasi dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan invasi yang dangkal pada desidua, sehingga infiltrasi pada arteri spiralis berkurang serta terjadi modifikasi pada arteri spiralis (Zhong & Laivuori, 2001). Arteri pada uterus juga dapat terjadi obstruksi oleh adanya arteri

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pre-eklampsia

2.1.1 Definisi pre-eklampsia

The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada

tahun 2015 mendefinisikan pre-eklampsia (PE) sebagai penyakit hipertensi yang

terspesifik pada kehamilan dengan pengikutsertaan kerusakan multisistem. Pre-

eklampsia ditandai dengan tekanan darah > 140/90 mmHg pada dua kali

pengukuran dengan jarak 4 jam, atau tekanan darah dan disertai proteinuria >

300mg/24 jam setelah usia kehamilan 20 minggu. Dikatakan PE berat jika

terdapat salah satu dari kriteria berikut ini: tekanan darah > 160/110mmHg

minimal pada dua kali pengukuran, proteinuria > 5g / 24 jam, terjadi eklampsia,

sindrom HELLP, terdapat keluhan nyeri kepala terus menerus, nyeri pada perut

kanan atas, atau pertumbuhan intrauterine < 5 persentil.

Pre-eklampsia, gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan,

merupakan salah satu penyebab teratas kematian ibu dan janin. Insidensinya kira-

kira 10% yang tentunya berbeda pada setiap populasi. Meskipun etiologi yang

tepat untuk terjadinya PE belum dapat dipahami, tampaknya ada gangguan pada

plasentasi, dimana trofoblas tidak mampu berdiferensiasi dengan baik. Hal ini

dapat menyebabkan invasi yang dangkal pada desidua, sehingga infiltrasi pada

arteri spiralis berkurang serta terjadi modifikasi pada arteri spiralis (Zhong &

Laivuori, 2001). Arteri pada uterus juga dapat terjadi obstruksi oleh adanya arteri

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

8

osclerosis dengan hasil akhirnya adalah iskemia uteroplasenta (Levine, et al.,

2004). Sampai saat ini, tidak ada parameter tunggal yang dapat digunakan untuk

memprediksi adanya PE. Oleh karena itu diperlukan sebuah tes yang dapat

diterima dan terjangkau untuk menegakkan diagnosis sebelum timbulnya gejala

klinis. Dahulu, metode yang digunakan untuk diagnosis prenatal diantaranya

adalah, biopsi korion dan amnion, cordosintesis, metode ini bersifat invasif dan

memiliki risiko komplikasi yang cukup tinggi. Sampai saat ini ada beberapa

modalitas non invasif yang sedang dikembangkan, diantaranya adalah,

pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan biomarker dari darah maupun urin.

DNA ekstraseluler merupakan salah satu biomarker yang dapat diperiksa dan

dapat memberikan arti klinis termasuk diagnosa prenatal (Hahn, et al., 2011).

Penggunaan DNA sebagai biomarker dalam bidang medis, seperti penegakan

diagnosis, prognosis, dan monitoring terapi, sampai saat ini telah mengalami

kemajuan yang pesat. DNA yang bersirkulasi pada plasma sebagai biomarker

memiliki sifat accessible, reliable, dan reproducible. Adanya DNA ekstraseluler

pada sirkulasi darah manusia pertama kali ditemukan oleh Mandel dan Metais di

tahun 1948. Dengan menggunakan teknik kuantitatif, peneliti tersebut berhasil

mendeteksi adanya DNA dan RNA yang bersirkulasi pada plasma dari individu

yang sakit maupun yang sehat. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan cell free

fetal (cff) DNA (DNA fetal ekstraseluler) ditemukan dengan kadar yang lebih

tinggi pada individu dengan penyakit autoimun dan keganasan. Pengamatan ini

membuka kemungkinan untuk mengembangkan metode diagnostik dan tindak

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

9

lanjut yang sifatnya non invasif dengan akurasi yang tinggi dan biaya yang

rasional (Hahn, et al., 2011).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut WHO tahun 2011, penyakit hipertensi pada kehamilan terjadi pada

10% maternal di seluruh dunia. Termasuk di dalamnya PE dan eklampsia,

hipertensi gestasional dan hipertensi kronis. Terutama pada ras Asia dan Afrika,

hampir sepersepuluh kematian maternal disebabkan oleh kelainan hipertensi pada

kehamilan, bahkan seperempat kematian maternal pada ras Amerika Latin,

disebabkan oleh komplikasi ini. Pada negara berkembang, sebanyak 5-8% dari

kehamilan dengan PE akan ditemukan kejang atau yang disebut eklampsia.

Sebanyak 10-20% dari maternal dengan pre-eklampsia berat akan mengalami

sindrom HELLP. Insidensi pada populasi nullipara berkisar dari 3-10%, dan lebih

banyak dibandingkan multipara (Staff, et al., 2014).

Pre-eklampsia juga dihubungkan dengan peningkatan kadar bagian sel dari

fetus atau partikel fetus pada sirkulasi maternal, salah satunya adalah adanya

peningkatan kadar eritroblas pada darah tepi maternal dengan PE. Belakangan ini,

DNA fetal ekstraseluler juga didapatkan pada sirkulasi maternal melalui

pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Zhong & Laivuori, 2001).

Adanya perubahan jumlah dari DNA fetal ekstraseluler pada pasien pre-

eklampsia pertama kali dilaporkan oleh Luo,et al., 2001, dimana penelitian

tersebut membandingkan 20 wanita PE dengan 20 kontrol. Jumlah DNA fetal

ekstraseluler yang diukur dengan menggunakan PCR untuk gen SRY pada

kromosom Y meningkat 5 kali lipat pada pasien dengan PE jika dibandingkan

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

10

dengan kontrol. Untuk jumlah total DNA fetal ekstraseluler pada plasma maternal

yang diukur dengan mengunakan GAPDH atau gen beta globin juga mengalami

peningkatan (Hahn, et al., 2011). Untuk jumlah total DNA fetal ekstraseluler

sebagai prediktif marker untuk PE sampai saat ini masih kontroversial, namun

peningkatan total DNA fetal ekstraseluler ini dapat digunakan untuk memprediksi

atau mendiagnosa komplikasi lanjut dari PE seperti hemolisis, peningkatan enzim

hati, dan jumlah trombosit yang menurun (HELLP) (Zhong & Laivuori, 2001).

Penelitian Leung, et al. (2001) dengan menggunakan 18 sampel yang

nantinya menjadi PE, serta 33 kontrol, mendapatkan bahwa DNA fetal

ekstraseluler mengalami peningkatan yang signifikan sebelum timbulnya gejala

klinis. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa peningkatan DNA fetal

ekstraseluler bersifat bifasik atau terjadi dalam dua fase, dimana awalnya dimulai

pada minggu ke 17- 28 dan peningkatan kedua terjadi pada 3 minggu sebelum

onset timbulnya gejala klinis. Sedangkan jika wanita yang nantinya akan

menderita PE, DNA fetal ekstraseluler akan mengalami peningkatan jika

penyakitnya bertambah parah, onset dimulai sebelum usia kehamilan 37 minggu,

dan memiliki bayi dengan berat badan kurang dibanding masa kehamilannya.

Peningkatan ini merupakan tanda awal adanya gangguan pada plasenta,

dimana fisiologi maternal belum menunjukkan tanda-tanda adanya gangguan

(Levine, et al., 2004; Hahn, et al., 2011). Sedangkan pada wanita yang telah

mengalami PE, peningkatan DNA fetal ekstraseluler terjadi apabila penyakitnya

memburuk. Penelitian oleh Sifakis,et al.,(2009) menunjukkan bahwa peningkatan

DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal juga berhubungan dengan derajat

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

11

kerusakan dari perfusi plasenta yang dapat dinilai dengan menggunakan colour

doppler transabdominal. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa terdapat

peningkatan yang signifikan dari jumlah DNA fetal ekstraseluler dan PI

(pulsatility index) arteri uterina pada pasien dengan PE berat awitan dini

dibandingkan dengan yang awitan lanjut.

Peningkatan DNA fetal ekstraseluler dapat dideteksi pada kehamilan awal

pada maternal yang selanjutnya akan mengalami PE, dan adanya peningkatan

DNA fetus ini berhubungan dengan peningkatan risiko sebanyak 8 kali lipat.

Perkembangan penyakit ini tergantung dari seberapa banyak jumlah DNA yang

didapatkan. Penelitian mengungkapkan bahwa, 65% kontrol memiliki < 10.000

kopi/mL pada sirkulasi maternal, sedangkan kadar 10.000-50.000 kopi DNA fetus

berhubungan dengan rasio kecenderungan 2,32 dengan sensitifitas 82% dan

spesifisitas 65% (Cotter & Martin ,2004).

2.1.3 Kriteria diagnosis pre-eklampsia

Untuk menegakkan diagnosis PE harus dipenuhi dua kriteria, yaitu: tekanan

darah sistolik lebih tinggi atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah

distolik lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg dan protein uria dengan kadar

protein 0,3 g atau lebih yang diukur dari urin tampung 24 jam yang terjadi setelah

usia kehamilan 20 minggu. Pre-eklampsia berat didiagnosis bila didapatkan

tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih besar dari 160 mmHg atau tekanan

darah diastolik sama dengan atau lebih besar dari 110 mmHg dan proteinuria

sama dengan atau lebih besar dari 5 g yang diukur dari urin tampung 24 jam, serta

didapatkan adanya gejala lainnya seperti oliguria, gangguan penglihatan atau

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

12

kesadaran, edema paru atau sianosis, nyeri epigastrik, gangguan fungsi hati,

trombositopenia, dan gangguan pertumbuhan janin dalam rahim (Wagner, 2004)

2.1.4 Patomekanisme pre-eklampsia

2.1.4.1 Iskemia plasenta

Penyebab PE sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti, walaupun

demikian diketahui bahwa pembentukan plasenta yang tidak sempurna merupakan

faktor predisposisi yang penting Peran penting plasenta pada pre-eklampsia

didukung pula oleh kenyataan bahwa gejala PE berkurang setelah melahirkan.

Menurut kelompok peneliti dari Oxford, PE berawal dari kelainan pada plasenta

yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi gangguan remodelling arteri

spiralis yang berakhir dengan kekurangan aliran darah ibu yang mensuplai

plasenta, tahap ini merupakan tahap preklinik yang asimptomatik. Tahap kedua

merupakan dampak yang muncul pada ibu maupun janin sebagai akibat dari

iskemia pada plasenta, pada tahap ini baru muncul gejala klinik PE (Raijmakers,

et al., 2004a).

Peristiwa penting yang terjadi selama pembentukan plasenta adalah

terbentuknya sirkulasi darah ibu yang efektif untuk memenuhi kebutuhan janin

(Raijmakers, et al., 2004a). Pada awal kehamilan terjadi invasi sel sitotrofoblas ke

arteri spiralis uterus. Invasi sel sitotrofoblas menyebabkan perubahan pada arteri

spiralis yaitu : kerusakan lapisan otot, elastik dan jaringan saraf yang terdapat

pada dinding arteri spiralis dan penggantian sel endotel dengan sel sitotrofoblas

(Granger, et al., 2001). Sel sitotrofoblas yang melapisi arteri spiralis menunjukan

ciri-ciri seperti sel endotel, hal ini terjadi melalui diferensiasi sel sitotrofoblas

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

13

selama invasi. Proses tersebut disebut sebagai pseudovasculogenesis (Davidson,

et al., 2004). Jika invasi sel sitotrofoblas tidak mengalami hambatan, maka pada

akhir trimester kedua kehamilan arteri spiralis pada uterus hanya dilapisi oleh sel

sitotrofoblas, sehingga sel endotel tidak didapatkan lagi pada endometrium dan

miometrium bagian superfisial (Granger, et al., 2001). Remodelling pada arteri

spiralis ini mengakibatkan arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih besar

dan bertahanan rendah, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan suplai

darah ke fetus yang sedang berkembang (Granger, et al., 2001).

Pada pre-eklampsia invasi sel sitotrofoblas tidak sempurna (Fisher, 2004),

yaitu hanya terjadi pada bagian proksimal desidua dan sebagai akibatnya

sebanyak 30-50 persen arteri spiralis pada dasar plasenta tidak mengalami

remodelling. Arteri spiralis yang terdapat pada miometrium tidak mengalami

remodelling sehingga secara anatomis masih utuh yaitu masih mempunyai

komponen otot, elastik dan jaringan saraf (Granger, et al., 2001). Penelitian in

vitro maupun in vivo memperlihatkan bahwa sel sitotrofoblas yang berasal dari

penderita PE gagal mengalami pseudovaskulogenesis (Davidson, et al., 2004).

Hal tersebut diatas mengakibatkan arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih

kecil dan bertahanan tinggi bila dibandingkan dengan arteri spiralis pada

kehamilan normal. Selain itu juga terjadi atherosis akut, yaitu adanya kerusakan

endotel yang disertai nekrosis fibrinoid dan penimbunan sel busa yang berisi lipid

serta leukosit yang mengakibatkan arteri spiralis tersumbat sebagian atau

seluruhnya (Raijmakers, et al., 2004a). Kedua hal tersebut diatas, yaitu diameter

arteri spiralis yang kecil dan atherosis akut menyebabkan aliran darah ke plasenta

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

14

berkurang. Aliran darah yang tidak cukup menyebabkan kurangnya suplai oksigen

dan nutrisi, hal ini memicu plasenta melepaskan bahan-bahan kedalam sirkulasi

sistemik ibu yang kemudian menyebabkan munculnya gejala klinik pre-eklampsia

(Raijmakers, et al., 2004a). Kekurangan perfusi ke plasenta juga menyebabkan

terjadinya infark pada plasenta (Granger, et al., 2001). Peran plasenta dalam

patogenesis PE didukung pula oleh penelitian yang mendapatkan bahwa wanita

hamil yang mengalami penurunan aliran darah ke plasenta lebih cenderung akan

menderita PE (Fisher, 2004).

2.1.4.2 Gangguan adaptasi imun

Adanya keterlibatan faktor imun pada pre-eklampsia didasari oleh beberapa

kenyataan, yaitu: pre-eklampsia sebagian besar terjadi pada kehamilan pertama

dan sangat jarang pada kehamilan kedua, hal ini mengindikasikan adanya adaptasi

ibu terhadap kehamilan. Adaptasi bersifat spesifik, yaitu bila wanita yang sudah

pernah hamil kemudian berganti pasangan maka risiko pre-eklampsia akan

meningkat. Sistem imun maternal berperan dalam mengatur invasi sel trofoblas,

sehingga sel trofoblas tidak dikenali sebagai benda asing oleh tubuh. Keadaan

tersebut memungkinkan terjadinya pembentukan plasenta dan remodelling arteri

spiralis. Reaksi yang berlebihan dari sistem imun ibu akan menyebabkan

gangguan invasi sel trofoblas sehingga plasenta tidak terbentuk dengan sempurna

(Raijmakers, et al., 2004a).

2.1.4.3 Faktor genetik

Studi klinis menunjukan adanya pewarisan kecenderungan untuk menderita

pre-eklampsia pada keluarga penderita pre-eklampsia, walaupun pola

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

15

penurunannya masih belum jelas. Gen yang diduga kuat menyebabkan

kecenderungan menderita pre-eklampsia adalah gen yang mengatur tekanan

darah, fungsi plasenta, penyakit pembuluh darah (Kim, et al., 2001). Insidensi

pre-eklampsia pada wanita yang lahir dari ibu yang sama dilaporkan pertama kali

oleh Chesley, et al. (1968). Dalam laporannya insiden pre-eklampsia pada wanita

yang lahir dari ibu yang mengalami pre-eklampsia sebesar 26%, dan hanya 8%

pada wanita yang lahir dari wanita yang tidak menderita pre-eklampsia.

Predisposisi genetik untuk pre-eklampsia kemungkinan berhubungan dengan

implantasi dan pembentukan plasenta (Raijmakers, et al., 2004a).

Penelitian aspek familial pre-eklampsia (PE) menuntun penemuan PE sebagai

sindroma penyakit dengan karakteristik yang diwariskan, dimana hal tersebut

berdasarkan pada genetik. Publikasi Adams & Finlayson. (1961) merupakan

publikasi tertua yang mengamati kecenderungan familial bersifat kuat terhadap

PE dan hipertensi pada kehamilan, menemukan bahwa 49% saudara perempuan

dari wanita PE pernah mengalami pengalaman serupa dengan penyakit ini.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mendukung hal ini dimana

ditemukan peningkatan frekuensi PE pada sejumlah ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek dari wanita yang memiliki sindroma PE ini. Kemudian

faktor genetik ibu, faktor genetik janin juga muncul dalam berperan terjadinya PE

melalui transmisi paternal. (Esplin et al., 2003). Pada penelitian retrospektif

kelahiran Norwegia (data dari MBRN) menunjukkan bahwa lelaki yang terlahir

dari kehamilan PE memunculkan risiko sedang (1,5 kali) dibandingkan ayah yang

memberikan kehamilan PE. Faktor genetik diyakini bertanggungjawab pada lebih

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

16

dari 50% terjadinya PE namun pola pasti pewarisannya masih belum diketahui.

(Esplin, et al., 2003).

Upaya untuk menjelaskan kerentanan genetik pada PE memiliki bukti yang

memadai pada wanita hamil yang memiliki lokus kerentanan dan lokus-lokus

heterogen pada sejumlah orang Islandia, Australia/New Zealand, Belanda dan

Finlandia dari kohort keluarga (lihat tabel 2.1) (Moses, et al., 2000; Moses, et

al.,2006; Fitzpatrick et al., 2004; Johnson, et al., 2007). Pemindaian genom pada

keluarga Islandia mengungkapkan kerentanan lokus pada kromosom ibu untuk

pre-eklampsia 2p13. Dalam kohort Aust / NZ, hubungan keluarga ke kromosom 2

dikonfirmasi oleh identifikasi keterkaitan yang signifikan pada 2p12 dan linkage

sugestif di 2q23.(Moses, et al., 2000) Itu menyarankan bahwa temuan Islandia

dan Australia diwakili wilayah kromosom yang sama pada 2p. Tapi analisis

berikutnya dari Australia / New Zealand, pemindaian data linkage genome diatur

dengan menerapkan komponen varians berbasis prosedur , kemudian diselesaikan

dan memperkuat sinyal hubungan kromosom 2 untuk 2q22. (Moses, et al., 2006).

Analisis ini mengidentifikasi dua pendekatan baru juga kerentanan pre-eklamsia

dari lokus sifat kuantitatif pada kromosom 5q dan 13q. (Johnson, et al., 2007)

sebuah sifat kuantitatif, juga disebut sifat terus menerus, bervariasi pada rentang

yang terus-menerus dari fenotipe.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

17

Tabel 2.1

Studi Hubungan Genom Pada Keluarga Pre-eklampsia (Moses, et al.,

2000; Moses, et al., 2006; Fitzpatric, et al., 2004)

Negara Kromosom dengan

hubungan yang

bermakna

Kromosom

dengang hubungan

yang sugestif

Pubikasi

Islandia 2p13 2q23 Arngrimsson et al.,

1999

Australia/New

Zealand

2q22,5q,13q 4q34,11q23 Moses et al.,2000;

Johnson et al., 2007;

Harrison et al., 1997

Belanda --- 10q,12q,22q Lachmeijer et al.,

2001

Finland 2q25,9p13 4q32 Laivouri et al., 2003

Pemindahan genom pada keluarga Islandia telah mengungkapkan kerentanan

lokus pada kromosom ibu untuk pre-eklampsia 2p13. Dalam kohort keluarga

Australia / New Zealand linkage ke kromosom 2 dikonfirmasi oleh identifikasi

keterkaitan yang signifikan pada 2p12 dan linkage sugestif di 2q23. (Moses, et al.,

2000). Menyatakan bahwa temuan Islandia dan Australia diwakili wilayah

kromosom yang sama pada 2p. Tapi analisis berikutnya dari Australia / New

Zealand linkage genome memindai data set , menerapkan komponen varian

berbasis prosedur, diselesaikan dan memperkuat sinyal hubungan kromosom 2

untuk 2q22. (Moses, et al., 2006)

Analisis ini mengidentifikasi dua pendekatan baru yaitu kerentanan pre-

eklampsia pada lokus kromosom 5q dan 13q.209 bersifat kuantitatif terjadi terus

menerus, bervariasi pada rentang fenotipe dan berlawanan dengan kualitatif, atau

terputus-putus, sifat yang diekspresikan dalam bentuk fenotipe yang berbeda.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

18

Munculnya sifat kuantitatif biasanya menandakan keterlibatan beberapa lokus

genetik, meskipun hal ini tidak mesti terjadi. Secara khusus, lokus polimorfik

tunggal dengan beberapa alel yang diekspresikan secara berbeda dapat

menimbulkan variasi kontinyu dalam populasi alami. Sifat multifaktorial luar

penyakit berkontribusi seperti apa yang kita lihat dengan ciri-ciri yang kontinyu

seperti tekanan darah tinggi dan yang dapat diukur dengan beberapa cara

kuantitatif. Sifat-sifat ini umumnya menunjukkan distribusi kontinyu normal.

Sebuah pemindaian keterlibatan genom dari keluarga Finlandia juga telah

mengkonfirmasi hubungan pada kromosom 2, namun pada lokus yang berbeda,

2p25, daripada lokus Islandia dan Australia.(Laivuori, et al., 2003).

Selain itu, hubungan signifikan diidentifikasi pada kromosom 9p13 di

keluarga Finlandia, yang telah terbukti menjadi daerah calon untuk diabetes tipe 2

di keluarga Finlandia dan Cina. (Luo, et al., 2001; Lindgren, et al., 2002).

Pemindaian genom pada saudara-pasangan keluarga Belanda yang mengalami PE

tidak menemukan linkage pada kromosom 2, tapi mengungkapkan bukti sugestif

untuk linkage pada kromosom 10q dan 22q.

2.1.4.3.1 Kandidat gen pre-eklampsia

Studi lebih dari 50 kandidat gen telah dilaporkan, tetapi ini sejauh ini masih

gagal mengidentifikasi gen rentan yang diterima secara universal (Mutze, et al.,

2008) (Nejatizadeh, et al., 2008). Sekitar 70% dari studi kandidat gen yang

diterbitkan dalam pengaruhnya terhadap pre-eklampsia berfokus pada hanya

delapan gen. (Chappell, et al., 2006).

Sebagian besar penelitian kandidat gen juga telah membahas peran genotipe

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

19

ibu, namun satu studi multisenter dalam skala besar yang ditujukan untuk melihat

kontribusi dari kedua risiko utama gen ibu dan janin terkait dengan sejumlah

single nucleotide protein (SNP) telah mengungkap adanya kontribusi genetik

terhadap pre-eklamsia masih tetap merupakan salah satu tantangan yang paling

fundamental di bidang obstetri.(Roberts & Cooper, 2001).

Gambar 2.1 Skema Tentang Faktor-Faktor yang Berperan dalam Perkembangan

PE (Dimodifikasi Weissgerber, et al., 2003) dan Interaksi Diantara

nya. *Panah padat mengindikasikan interaksi yang diterima dalam

pathogenesis pre-eklampsia, dan panah terputus mengindikasikan

kemungkinan hubungan.

Penelitian kandidat gen di PE dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yang

berbeda sesuai dengan peran mereka yang dijelaskan dalam patofisiologi : gen

Predisposisi Genetik

- Maternal

- Fetal/Paternal

- Interaksi maternal-fetal

Adaptasi imun

Perkembangan

plasenta abnormal dan

pernurunan perfusi Stress oksidatif Faktor Konstitusional

Maternal - Genetik

- Obesitas

- Hipertensi kronis

- diabetes - resistensi insulin

- hiperhomosisteinemia

- suku berkulit putih Respon inflamasi

Aktifasi/ disfungsi endothelial sistemik

Pre-eklampsia

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

20

yang mengkode: 1 ) protein yang vasoaktif dan terlibat dalam renovasi vaskular, 2

) protein yang terlibat dalam trombofilia, 3 ) protein yang terlibat dalam stres

oksidatif, metabolisme lipid dan kerusakan endotel, 4 ) protein yang mengatur

imun, 5 ) protein yang terlibat dalam plasentasi dan 6 ) faktor-faktor

pertumbuhan. (Mutze, et al., 2004).

2.1.4.4 Faktor DNA Fetal Ekstraseluler

Disfungsi sel endotel merupakan salah satu ciri khas dari pre-eklampsia, dan

kegagalan plasentasi merupakan kunci utamanya. Beberapa data menunjukkan

bahwa DNA ekstraseluler ini berasal dari trofoblas yang membentuk plasenta, dan

diperkirakan 2-6% DNA pada darah ibu berasal dari fetus (Livine, et al., 2011 ;

Hahn, et al., 2011). DNA fetus dapat memasuki sirkulasi maternal melalui

peluruhan dari mikropartikel plasenta. Oleh karena itu, DNA ekstraseluler dapat

menggambarkan bagaimana kondisi plasenta. Pada fase pertama peningkatan

DNA ekstraseluler, yaitu umur kehamilan 17-28 minggu, terjadi kegagalan arteri

spiralis uterina untuk bertransformasi sehingga terjadi keterbatasan aliran darah

ibu yang mengandung oksigen menuju jaringan plasenta, sehingga perfusi

plasenta terganggu (Hahn, et al., 2011). Juga terjadi perubahan keseimbangan dari

angiogenic growth factor seperti vaskular endothelial growth factor, dan placenta

growth factor mengakibatkan gangguan pertumbuhan vaskular diantara villi,

sebagai akibatnya, plasenta menjadi hipoksia kronis, dan memicu timbulnya stres

oksidatif, sehingga dapat mengakibatkan apoptosis dan nekrosis dari plasenta

yang diikuti dengan peluruhan jaringan plasenta yang mengandung DNA

ekstraseluler ke dalam sirkulasi maternal (Hahn, et al., 2011).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

21

Peningkatan DNA ekstraseluler pada fase kedua yaitu 3 minggu sebelum

onset timbulnya gejala klinis sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi endotel

(Levine, et al., 2004). Baik jumlah maternal maupun fetal DNA meningkat

terjadinya PE, dimana DNA sel bebas maternal lebih banyak dibandingkan DNA

fetal ekstraseluler, yang kemungkinan disebabkan oleh kerusakan dari endotel dan

juga meredam reseptor makrofag yang memetabolisme DNA yang bersirkulasi

pada plasma maternal sehingga mengurangi laju eliminasi dari DNA ekstraseluler.

Bukti lain yang menunjukkan peningkatan DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi

maternal adalah penurunan klirens ginjal pada pasien dengan PE. Pada kehamilan

normal, DNA fetal ekstraseluler ini dapat dideteksi pertama kali pada saat 5

minggu post coitus, meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan dan akan

hilang 2 jam setelah persalinan. Sedangkan pada pasien dengan pre-eklampsia,

laju klirens ginjal menjadi lebih lambat hingga 4 kali lipat dibandingkan dengan

kehamilan normal (Levine, et al., 2004).

Pada saat sebelum timbulnya gejala, jumlah peningkatan DNA fetal

ekstraseluler berbeda tergantung dari berat ringannya penyakit, onset timbulnya

penyakit, dan adanya bayi berat badan kurang masa kehamilan, dan setelah

timbulnya pre-eklampsia perbedaan tersebut tidak ditemukan lagi, hal ini

menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang luas saat sudah timbul gejala klinis.

Proses invasi trofoblas secara normal memerlukan waktu 20 minggu kehamilan,

maka kelainan pada plasenta yang menyebabkan timbulnya pre-eklampsia sudah

terjadi jauh sebelum timbulnya gejala klinis (Levine, et al., 2004).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

22

Peningkatan DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal yang menderita

pre-eklampsia merupakan hasil dari peningkatan sel fetal seperti trofoblas dan

eritroblas ke dalam sirkulasi maternal. Meskipun etiologi dari pre-eklampsia

masih belum diketahui, disfungsi endotel dan inflamasi memegang peranan

penting.

2.1.4.5 Stres oksidatif

Pada PE terjadi keadaan stres oksidatif, yaitu keadaan dimana kadar

prooksidan lebih tinggi bila dibandingkan dengan antioksidan. Stres oksidatif

terjadi bila pembentukan radikal bebas melebihi kapasitas antioksidan. Radikal

bebas mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga akan

cenderung mengambil elektron dari molekul non radikal disekitarnya. Molekul

yang kehilangan elektron akan menjadi radikal, sehingga akan terjadi reaksi yang

berantai dengan perpindahan elektron dari satu molekul ke molekul yang lainnya

(Poston & Raijmakers, 2004).

Keadaan stres oksidatif pada plasenta penderita pre-eklampsia ditandai oleh

peningkatan produk stres oksidatif antara lain peningkatan isoprostane (Walsh,

2000), protein karbonil, dan nitrotyrosine (Poston & Raijmakers, 2004), dan

penurunan kapasitas antioksidan, yaitu : penurunan ekspresi mRNA Cu/ZnSOD

dan Gluthathione yang merupakan antioksidan enzimatik yang penting, serta

penurunan antioksidan non enzimatik yaitu vitamin E (Poston & Raijmakers,

2004).

Pada plasma penderita pre-eklampsia juga didapatkan keadaan stres oksidatif,

yaitu terjadi peningkatan peroksidasi lipid yang ditandai oleh peningkatan kadar

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

23

malondialdehid (MDA) plasma sebanyak 4,5 kali lebih tinggi bila dibandingkan

dengan kehamilan normal (Takacs, et al., 2001) dan peningkatan kadar F2-

isoprostane (Morreti, et al., 2004). Sedangkan kadar antioksidan glutathione

(Raijmakers, et al., 2004a), α-tokoferol, β-karotin dan asam askorbat mengalami

penurunan pada plasma penderita pre-eklampsia.

2.1.4.5.1 Teori oksidasi

Remodelling terhadap arteri spiralis yang tidak sempurna pada pre-eklampsia,

menyebabkan keadaan hipoksia yang diikuti oleh reoksigenasi pada plasenta. Hal

ini terjadi karena arteri spiralis yang tidak mengalami remodelling masih

mempunyai komponen otot polos dan saraf pada dindingnya, sehingga arteri

spiralis masih bisa mengalami konstriksi karena pengaruh rangsangan saraf atau

hormon dari ibu. Konstriksi arteri spiralis ini menyebabkan aliran darah ke

plasenta menjadi intermittent, sehingga terjadi keadaan hipoksia yang diikuti

reoksigenasi yang berulang pada plasenta (Burton & Hung, 2003). Raghuvanshi,

et al. (2005) menyatakan bahwa keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan

peningkatan pembentukan radikal bebas.

Poston & Raijmakers (2004), menyatakan bahwa, peningkatan radikal bebas

pada plasenta penderita pre-eklampsia merupakan kombinasi dari peningkatan

pembentukan radikal bebas oleh mitokondria dan sintesa radikal bebas melalui

Xanthine oxidase serta NAD (P) H oxidase. Pengecatan imunohistokimia terhadap

xanthine oxidase/dehydrogenase mengalami peningkatan pada sel sitotrofoblas

plasenta penderita pre-eklampsia. Peningkatan aktivitas enzim ini merupakan

respon terhadap keadaan hipoksia dan reoksigenasi pada plasenta (Poston &

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

24

Raijmakers, 2004). Xanthine oxidase dan dehydrogenase merupakan enzim yang

berperan dalam metabolisme purin. Peningkatan aktivitas enzim ini pada keadaan

hipoksia yang diikuti reoksigenasi menyebabkan terbentuknya O2.- dan H2O2 yang

terjadi melalui reduksi terhadap molekul oksigen (Szocs, 2004). Enzim NAD(P)H

oxidase juga merupakan salah satu sumber radikal bebas pada plasenta

(Raijmakers, et al., 2004b). Enzim NAD(P)H oxidase didapatkan pada plasenta

saat usia kehamilan 6 sampai 8 minggu, peningkatan aktivitas enzim ini

mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas. Beberapa keadaan yang dapat

menstimulasi aktivitas NAD(P)H oxidase pada pre-eklampsia yaitu : peningkatan

sitokin TNFα, peningkatan tahanan aliran darah uteroplasenta, LDL yang

teroksidasi dan peningkatan sensitifitas terhadap angiotensin II (Poston &

Raijmakers, 2004; Raijmakers, et al., 2004b). Electron transport chain pada

mitokondria merupakan salah satu sumber ROS yang penting.

Pada keadaan fisiologis hanya sedikit oksigen yang berubah menjadi

superoksid dan dengan cepat akan didismutase oleh MnSOD. Pada keadaan

hipoksia mitokondria merupakan salah satu sumber ROS yang penting.

Peningkatan produksi ROS oleh mitokondria disebabkan oleh tidak tersedianya

electron acceptor yaitu O2 sehingga produksi ROS meningkat terutama oleh

complexes I-III (Szocs, 2004). Mitokondria pada pre-eklampsia mengalami

kerusakan oksidatif, yang disebabkan oleh peningkatan kadar TNF-α sehingga

aliran elektron pada mitokondria terganggu. Hal ini mengakibatkan pelepasan

radikal bebas dan terjadi peroksidasi lipid pada mitokondria, yang ditandai oleh

meningkatnya kadar malondialdehid (Granger, et al., 2001; Poston & Raijmakers,

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

25

2004). Keadaan iskemia yang diikuti reoksigenasi juga berhubungan dengan

terjadinya aggregasi dan aktivasi platelet, sehingga kemudian terjadi peningkatan

produksi radikal bebas oleh platelet (Raghuvanshi, et al., 2005).

2.1.4.5.2 Stres oksidatif pada plasenta menyebabkan stres oksidatif pada sirkulasi

sistemik

Stres oksidatif yang terjadi pada plasenta baik secara langsung maupun tidak

langsung menyebabkan keadaan stres oksidatif pada sirkulasi ibu. Peningkatan

radikal bebas pada plasenta memicu terjadinya apoptosis pada sel sinsiotrofoblas,

fragmen sel sinsiotrofoblas yang terlepas kedalam sirkulasi menyebabkan aktivasi

endotel dan leukosit pada sirkulasi ibu. Selain itu leukosit juga dapat teraktivasi

secara lokal di plasenta ketika leukosit melewati plasenta karena terbawa oleh

aliran darah (Poston & Raijmakers, 2004; Raijmakers et al., 2004a). Leukosit

yang teraktivasi menghasilkan radikal bebas dan sitokin (Raijmakers et al.,

2004a). Peningkatan radikal bebas dan sitokin dalam plasma menyebabkan

aktivasi endotel, yang selanjutnya akan menyebabkan perlekatan leukosit pada

endotel. Leukosit yang menempel pada endotel akan teraktivasi dan akan

melepaskan radikal bebas serta sitokin, sehingga akan semakin meningkatkan

jumlah radikal bebas pada plasma (Raijmakers, et al., 2004a).

2.1.4.5.3 Keadaan stres oksidatif menyebabkan munculnya gejala klinik pre-

eklampsia

Penyebab dan patogenesis PE sampai saat ini masih belum jelas, walaupun

demikian hampir semua peneliti setuju bahwa patogenesis PE melibatkan endotel

pembuluh darah yang meliputi aktivasi dan disfungsi endotel (Roberts, et al.,

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

26

2001; Takacs, et al., 2001). Granger, et al. (2001) menyatakan bahwa disfungsi

endotel terjadi sebelum munculnya gejala klinik pre-eklampsia, sehingga

merupakan penyebab bukan sebagai akibat dari PE.

Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi dan disfungsi endotel (Granger, et

al., 2001). Beberapa penanda adanya aktivasi dan disfungsi endotel dilaporkan

pada wanita yang menderita PE, yaitu : peningkatan faktor VIII, fibronektin,

peningkatan ICAM-1 melalui aktivasi NF-КВ (Takacs,et al., 2001), gangguan

keseimbangan tissue plasminogen activator/plasminogen activator inhibitor

(tPA/PAI), gangguan keseimbangan PGI2/thromboxane A2 (TAX2) dan penurunan

kadar nitrit oksida (Granger, et al. (2001).

Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara lain mengatur tekanan

darah melalui pelepasan bahan vasokontriktor dan vasodilator, mengatur fungsi

antikoagulan, antiplatelet, dan fibrinolisis (Granger, et al., 2001). Gangguan

fungsi dan struktur endotel dapat menjelaskan munculnya gejala klinik pre-

eklampsia yaitu hipertensi, protein uria, edema dan aktivasi sistem koagulasi

(Takacs, et al., 2001). Perubahan endotel yang khas bisa diamati pada pre-

eklampsia adalah endoteliasis pada glomerulus ginjal, yang meliputi

pembengkakan kapiler dan glomerulus yang dipenuhi oleh sel endotel yang

membengkak. Disamping itu juga terjadi kerusakan pada keutuhan lapisan sel

endotel pada glomerulus yang mengakibatkan terjadinya protein uria. Kerusakan

endotel juga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, yang

menyebabkan protein masuk keruang interstisial sehingga terjadi penurunan

volume plasma. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah ini menyebabkan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

27

munculnya gejala edema pada pre-eklampsia. Hipertensi pada pre-eklampsia

disebabkan oleh adanya peningkatan tahanan pembuluh darah. Sel endotel

mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pengatur tahanan pembuluh

darah, dengan cara mensekresikan faktor yang menyebabkan vasodilatasi seperti

endothelial-derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin (PGI2) dan faktor yang

menyebabkan vasokontriksi seperti endothelin, platelet-derived growth factor

(PDGF) dan prostaglandin (Raijmakers, et al., 2004a).

Pada PE terjadi keadaan yang mengakibatkan vasokontriksi melalui

peningkatan kadar endothelin yang memacu peningkatan kadar tromboksan A2

yang merupakan vasokontriktor kuat. Di lain pihak terjadi penurunan substansi di

atas yang menyebabkan vasodilatasi berupa penurunan produksi Endothel derived

relaxing factor (EDRF), penurunan vasodilator PGI2, dan penurunan kadar nitrit

oksida. Selain karena hal tersebut di atas, peningkatan tekanan darah pada PE juga

disebabkan oleh peningkatan kepekaan ginjal terhadap angiotensin II, hal ini

disebabkan oleh peningkatan kadar tromboksan, penurunan nitrit oksida dan

prostasiklin (Granger, et al., 2001).

2.1.4.6 Faktor Lingkungan

Walaupun PE merupakan penyakit plasenta, namun pre-eklampsia merupakan

penyakit multifaktorial dimana faktor lingkungan juga ikut mempunyai pengaruh.

Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi PE termasuk riwayat hipertensi

kronis, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit yang berhubungan dengan renal

(Hill, et al., 2011).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

28

2.2 Polimorfisme Genetik

Definisi polimorfisme genetik dalam kata benda berarti: 1. Eksistensi

bersama dari beberapa bentuk sekuens DNA pada sebuah lokus di dalam populasi.

2. Variasi genetik yang bersifat diskontinyu yang menghasilkan perbedaan bentuk

dan tipe individu sebagai anggota dalam spesies tunggal. Polimorfisme genetik

mempromosikan perbedaan dalam sebuah populasi. Hal ini sering menetap

sepanjang beberapa generasi karena tidak satu pun bentuk yang secara

keseluruhan lebih unggul atau sebaliknya dibandingkan dengan yang lain menurut

seleksi alam. Sebuah contoh yang umum adalah perbedaan bentuk alel dapat

memberikan pengaruh terhadap golongan darah yang berbeda pada manusia.

(Anonim a, 2016)

2.2.1 Polimorfisme nukleotid tunggal

Polimorfisme nukleotid tunggal (single nucleotide polymorphisms), sering

disebut dengan SNP (diucapkan sebagai “snips”), merupakan jenis variasi genetic

yang umum pada sejumlah orang. Setiap SNP merepresentasikan sebuah

perbedaan pada sebuah blok bangunan DNA yang disebut dengan nukleotid.

Sebagai contoh, sebuah SNP dapat mengganti nukleotid cytosine (C) dengan

nukleotid thymine (T) pada tempatnya yang tepat di DNA (Anonim b, 2016).

SNP normal terjadi pada DNA seseorang. Dimana terjadi sekali pada setiap

sekitar 300 nukleotid, artinya terdapat sekitar 10 juta SNP pada genom manusia.

Paling sering, variasi ini ditemukan pada DNA antara beberapa gen. Mereka dapat

berperan sebagai penanda biologis, membantu para ilmuwan menentukan lokasi

sebuah gen atau menentukan bagian regulator dekat gen, dimana mereka dapat

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

29

memainkan peran secara langsung pada penyakit yang berdampak pada fungsi

gen. (Anonim b, 2016)

Sebagian besar SNP tidak memberi dampak pada kesehatan dan

perkembangan. Beberapa perbedaan genetik ini telah terbukti sangat penting

dalam penelitian kesehatan manusia. Beberapa peneliti menemukan SNP dapat

membantu dalam memperkirakan respon individu terhadap obat-obatan, respon

terhadap faktor lingkungan seperti toksin, dan risiko berkembangnya suatu

penyakit. SNP dapat juga digunakan untuk menelusuri pewarisan gen penyakit

pada keluarga. Penelitian mendatang akan mengidentifikasi hubungan SNP

dengan penyakit-penyakit kompleks seperti penyakit jantung, diabetes, dan kanker

(Anonim b, 2016).

2.2.2 Protein ERAP2, Polimorfisme rs2549782 Gen ERAP2 dan Pre-

eklampsia

Protein ERAP2 diketahui sampai saat ini dapat berhubungan dengan pre-

eklampsia melalui jalur-jalur berikut :

2.2.2.1 Renin angiotensin system (RAS)

Protein ERAP2 meregulasi tekanan darah melalui jalur RAS, dimana ERAP2

memotong angiotensin III dan kallidin. Angiotensin III dan kallidin diketahui

terlibat meregulasi dilatasi dan konstriksi pembuluh darah. Abnormalitas pada

proses produksi substansi vasoaktif tersebut dapat mengakibatkan perubahan

tekanan darah ibu (Hill, et al., 2011).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

30

2.2.2.2 Respon imun

Pre-eklampsia diketahui berhubungan dengan respon imun yang didominasi

oleh sel T Helper 1 (Th1) dimana terjadi penurunan plasentasi, inflamasi dan

disfungsi sel endotel. Sel Th1 berhubungan erat dengan MHC kelas I dan fungsi

protein ERAP2 adalah pemotongan peptida HLA kelas I dan pada pre-eklampsia

ditemukan penurunan level HLA-G pada sirkulasi darah penderita dan penurunan

tingkat ekspresi pada permukaaan sel trofoblas. Oleh karena adanya perubahan

pada protein ERAP2 yang disebabkan oleh polimorfisme gen ERAP2 dapat

mempengaruhi respon imun yang didominasi oleh sel Th1 dan pada akhirnya akan

menginduksi PE (Hill, et al., 2011).

Penelitian selanjutnya berupa studi kohort pada populasi Australia dan

Norwegia memperlihatkan asosiasi polimorfisme rs2549782 gen ERAP2 pada

ibu dengan PE (Johnson et al., 2009). Lebih lanjut Hill, et al. (2011) menemukan

hasil yang serupa pada fetus populasi Afrika-Amerika pada studi kasus-kontrol.

Adanya polimorfisme rs2549782 Gen ERAP2 dimana merupakan mutasi

missense diprediksi merubah struktur tiga dimensi protein ERAP2 dan merubah

fungsinya. Lebih lanjut polimorfisme rs2549782 terletak pada domain zinc-

binding yang sangat terkonservasi sehingga diprediksi juga mempengaruhi

fungsinya. Protein ERAP2 mempunyai fungsi yang banyak, sehingga adanya

polimorfisme rs2549782 dapat menyebabkan konsekuensi fisiologis yang

berbeda-beda pula (Hill, et al., 2011).

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

31

2.3 DNA Fetal Ekstraseluler

Ada beberapa keuntungan yang didapat jika kita menggunakan DNA fetal

sebagai salah satu metode diagnose prenatal non-invasive (Poon & Lo, 2001).

1. Salah satu alasan utama adalah konsentrasi dari DNA fetal ekstraseluler pada

plasma maternal sangat tinggi selama kehamilan. Sebagai contoh, DNA

kromosom Y dapat ditemukan hanya dengan menggunakan 10 µl plasma

maternal yang mengandung fetal laki-laki. Jumlah DNA fetal ekstraseluler

berkisar antara 0,39-11,9% pada kehamilan awal, dan 2,33-11,4% pada

kehamilan lanjut. Karena jumlahnya yang tinggi pada plasma maternal,

menjadikan plasma maternal sebagai sumber untuk diagnosis prenatal yang

sifatnya non invasive karena mudah terjangkau.

2. Klirens dari DNA fetal ekstraseluler pada sirkulasi maternal sangat cepat,

dengan rata-rata half-life 16,3 menit. Sehingga pemeriksaan ini dapat

digunakan sebagai monitoring keadaan fisiologis maupun patologis.

3. Penggunaan PCR sebagai alat bantu diagnosis yang sangat sensitif untuk

mendeteksi adanya DNA dalam plasma maternal. Dengan menggunakan

metode single tube PCR, dalam mendeteksi fetal kromosom Y spesifisitasnya

mencapai 94%. Lo dan kawan-kawan juga menemukan bahwa dengan

menggunakan PCR assay untuk mendeteksi kromosom Y pada semua ibu

hamil dengan fetus laki-laki didapatkan hasil tanpa nilai positif semu.

4. Kemudahan dalam mengakses DNA fetus dalam plasma ibu dengan

menggunakan PCR kuantitatif yang real time, sehingga dapat digunakan

untuk pemeriksaan dalam skala yang besar.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

32

2.3.1 Aplikasi klinis dari DNA fetal ekstraseluler pada darah maternal

Penemuan DNA fetal ekstraseluler pada darah maternal, dengan konsentrasi

yang tinggi, dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis prenatal. Hal ini

pertama kali dilakukan untuk mendeteksi kromosom Y pada maternal dengan

fetus laki-laki, yang dapat digunakan untuk diagnosis prenatal dalam mendeteksi

kelainan sex-linked. Teknologi ini tidak hanya untuk mendeteksi DNA laki-laki

saja, namun segera setelah ditemukannya kromosom Y dalam plasma ibu, status

rhesus fetal D (RhD) dapat juga ditentukan pada plasma ibu hamil dengan RhD

negatif (Karina & Thomasz, 2009). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk

mendeteksi adanya kelainan jumlah dan struktur dari kromosom fetus seperti

identifikasi kromosom trisomi, dan mendeteksi kelainan genetik yang bersifat

resesif (cystic fibrosis, congenital adrenal hyperplasia), dan dominan (dystrophia

myotonica protein kinase, Huntington disease). Penyakit autosomal, seperti

achondroplasia yang disebabkan oleh mutasi poin juga dapat dideteksi (Karina &

Thomas, 2009).

Dengan penggunaan teknologi PCR saat ini, dapat dipelajari secara detail

konsentrasi DNA fetal ekstraseluler pada plasma maternal. Pada beberapa

penelitian, penemuan ini dapat digunakan untuk marker diagnosis pada kehamilan

patologis. Pada kehamilan normal, DNA fetal ekstraseluler dapat ditemukan pada

plasma ibu hamil saat usia kehamilan 7 minggu, dan jumlahnya akan meningkat

seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada partus iminens ditemukan ada

peningkatan konsentrasi DNA fetal ekstraseluler secara mendadak pada akhir

trimester ketiga. Selain itu konsentrasi DNA fetal ekstraseluler yang tinggi juga

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

33

didapatkan pada wanita yang mengalami persalinan preterm, PE, polihidramnion

idiopatik, dan fetus aneuploid. Jadi, bila ditemukan peningkatan konsentrasi DNA

fetal ekstraseluler yang tidak biasa pada plasma ibu dapat merupakan indikasi

adanya kehamilan yang abnormal (Alberry & Maddoks, 2009).

2.3.2 Prosedur Pemeriksaan DNA Ekstraseluler

Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi DNA ekstraselular

adalah dengan menggunakan analisis PCR yang prosesnya diawali dengan

melakukan ekstraksi DNA. Plasma darah dipisahkan dengan sentrifugasi

kemudian disimpan dalam kondisi beku, kemudian DNA di ekstraksi dari 400 µL,

pada proses ini, prosedur anti kontaminasi wajib dilakukan. Setelah DNA

diperoleh melalui ekstraksi, DNA kemudian diberikan larutan buffer sebanyak 50

µL, dimana 2 µL digunakan sebagai template untuk reaksi PCR. Analisis PCR

yang digunakan disini adalah untuk mendeteksi DNA fetus laki-laki yang

bersirkulasi pada plasma ibu, serta mengetahui jumlah DNA total yang ada

(Zhong & Laivuori, 2001). Dengan mengetahui jumlah DNA fetus laki-laki, maka

didapatkan bahwa terdapat peningkatan DNA fetus laki-laki secara signifikan

pada ibu hamil dengan PE dibandingkan dengan subjek kontrol. Sedangkan

jumlah total DNA fetus yang terdapat pada sirkulasi maternal berkisar antara

1,4%-1,5%, hal ini menunjukkan bahwa jumlah DNA yang terdapat pada sirkulasi

sebagian besar berasal dari maternal (Zhong & Laivuori, 2001). Jumlah DNA

pada plasma ibu dengan PE secara signifikan mengalami peningkatan

dibandingkan dengan subjek kontrol, peningkatan ini juga berbanding lurus

dengan berat ringannya penyakit (Zhong & Laivuori, 2001).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

34

Mekanisme pasti yang menyebabkan terdapatnya DNA fetal ekstraseluler

pada sirkulasi masih belum jelas, namun penjelasan yang dapat diterima mengenai

penyebab adanya fragmen DNA pada sirkulasi adalah mekanisme apoptosis atau

bentuk lain dari kematian sel. Penjelasan ini didukung oleh data yang

menunjukkan bahwa DNA yang terdapat pada sirkulasi menunjukkan

karakteristik dari fragmen DNA apoptosis. Konsentrasi DNA yang tinggi juga

didapatkan pada pasien dengan penyakit keganasan yang memiliki kecepatan

kematian sel yang lebih tinggi dibandingkan pasien normal (Zhong & Laivuori,

2001).

2.4 Protein Sistatin C

Sistatin C adalah protein nonglikosilasi dengan berat molekul rendah sekitar

13kDa terdiri dari 120 asam amino, yang dihasilkan oleh semua sel berinti dengan

kadar yang konstan. Gen sistatin C terdapat pada lengan pendek kromosom 20

yang disebut CST3. Gen sistatin C tersebut tidak memiliki elemen regulator. Dari

perspektif fungsi ginjal, karakter sistatin C yang penting adalah ukurannya yang

kecil dan level isolectric yang tinggi, yang memungkinkan sistatin C terfilterisasi

secara bebas. Protein sistatin C terdistribusi luas pada ruang ekstraseluler, dan

peningkatan sistatin C pada trimester kedua merupakan respon terhadap

kerusakan jaringan (Saleh, et al., 2010; Sumithra, et al., 2013)

Protein sistatin C difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, kemudian

direabsorbsi dan dikatabolisme oleh sel tubulus proksimal (Sumithra, et al.,

2013). Di samping itu protein sistatin C tidak disekresikan oleh tubulus ginjal,

sehingga sangat sensitif terhadap perubahan minimal laju filtrasi glomerulus yang

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

35

timbul pada stadium awal kelainan ginjal. Konsentrasi serum sistatin C dapat

mencerminkan GFR lebih akurat dibandingkan serum kreatinin, baik pada wanita

hamil maupun tidak hamil, wanita sehat maupun wanita hipertensi. Terutama pada

individu dengan penurunan GFR yang minimal atau moderate. Kadar sistatin C

akan sangat tinggi saat GFR menurun hingga 88-95 ml/menit per 1,73m2 (Saleh,

et al., 2010; Farag, et al., 2011).

Terdapat perbedaan fisiologis antara proses filtrasi ginjal pada wanita hamil

dan tidak hamil, baik dari segi size-dependent, configuration-dependent, ataupun

charge dependent. Menurut studi oleh Saleh, et al. (2010), pada pasien pre-

eklampsia peningkatan serum sistatin C saat trimester kedua dapat disebabkan

oleh perubahan pada selektivitas polaritas glomerulus, yang mana hal tersebut

tidak berpengaruh pada kadar kreatinin (Saleh, et al., 2010).

Pengukuran serum kreatinin memiliki kelemahan saat kondisi hamil normal,

dimana serum kreatinin akan menurun akibat peningkatan aliran plasma ginjal dan

laju filtrasi glomerulus saat hamil (Jummaat, et al., 2014). Di lain pihak serum

sistatin C tidak akan menurun pada kehamilan normal cukup bulan, meskipun laju

filtrasi glomerulus untuk substansi dengan berat molekul rendah meningkat

sekitar 40% pada trimester ketiga (Saleh, et al., 2010).

Konsentrasi serum sistatin C tidak terpengaruh oleh masa otot, umur, proses

inflamasi, demam, ataupun agen eksogen. Meskipun pada beberapa laporan,

terdapat keterkaitan antara konsentrasi sistatin C dengan fungsi tiroid dan steroid

(Farag, et al., 2011). Di lain pihak serum kreatinin dipengaruhi oleh masa otot,

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

36

dipengaruhi sekresi dan reabsorpsi tubulus ginjal, asupan makanan, atau bahkan

proses analisis kadar kreatinin itu sendiri (Saleh, et al., 2010).

Pada saat hamil, kadar serum sistatin C biasanya mengalami peningkatan

pada trimester ketiga, akibat menurunnya ekskresi dan meningkatnya sintesis oleh

unit fetoplasenta (Sharma, et al., 2014). Peningkatan ini akan jauh lebih tinggi

pada pre-eklampsia karena terjadi perubahan fungsional dan struktural organ

ginjal (Sharma, et al., 2014). Pada studi Sharma, et al., (2014) dilakukan

pengukuran rerata kadar serum sistatin C pada 197 wanita dengan kehamilan

normal. Hasilnya rerata serum sistatin C pada semua pasien sebesar 0,82 + 0,18

mg/l. Dimana serum sistatin C cukup tinggi sekitar 0,89 + 0,12 mg/l saat trimester

pertama, kemudian menurun secara signifikan menjadi 0,65 + 0,14 mg/l saat

trimester kedua dibanding pada trimester pertama (p<0,001) dan kemudian

meningkat kembali sebesar 0,82 + 0,19 mg/l pada trimester ketiga. Studi menurut

Strevens et al. (2002), kadar sistatin C meningkat secara proporsional sepanjang

kehamilan (Jummaat, et al., 2014). Strevens, et al (2001) juga mendapatkan

bahwa sistatin C dapat digunakan sebagai marker, tidak hanya pada gangguan

fungsi ginjal, namun juga tingkat endotheliosis gromerulus dan peningkatan

volume glomerulus pada wanita hamil, serta cukup signifikan dalam memonitor

kehamilan dengan PE (Saleh, et al., 2010). Dari hasil studi tersebut didapat hasil

bahwa sensitivitas sistatin C pada populasi pre-eklampsia sebesar 91,1% dan

spesifisitasnya sebesar 86,6% (Jummaat, et al., 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kristensen, et al. (2007) telah

melaporkan bahwa kadar sistatin C dan beta-2-microglobulin di plasma

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pre-eklampsia 2.1.1 ... - UNUD

37

meningkat bermakna pada PE. Kadar sistatin C yang tinggi pada PE merupakan

refleksi dari iskemia plasenta (Saleh, et al.,2010).