Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

7
ANALISIS MASALAH 1a. Bagaimana kaitan faktor social ekonomi terhadap keluhan Adi? Keadaan social ekonomi keluarga Adi yang kurang memadai berpengaruh terhadap asupan gizi yang buruk. Asupan gizi buruk membuat pertahanan tubuh melemah sehingga Adi lebih mudah terkena penyakit. 3a. Bagaimana mekanisme lesu, pucat mudah lelah serta terengah- engah pada kasus ini? Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka. orang yang bersangkutan dapat menjadi anemia. Perdarahan itu terjadi akibat proses penghisapan aktif oleh cacing dan juga akibat perembesan darah disekitar tempat hisapan. Cacing berpindah tempat menghisap setiap 6 jam perdarahan ditempat yang ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali denqan cepat karena turn over sel epithel usus sangat cepat. Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi kecacingan dapat disebabkan oleh adanya lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh karena dikonsumsi oleh cacing

description

Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

Transcript of Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

Page 1: Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

ANALISIS MASALAH

1a. Bagaimana kaitan faktor social ekonomi terhadap keluhan Adi?

Keadaan social ekonomi keluarga Adi yang kurang memadai berpengaruh terhadap

asupan gizi yang buruk. Asupan gizi buruk membuat pertahanan tubuh melemah

sehingga Adi lebih mudah terkena penyakit.

3a. Bagaimana mekanisme lesu, pucat mudah lelah serta terengah-engah pada kasus ini?

Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan

sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah cacing

yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu

lebih dari 1000 ekor maka. orang yang bersangkutan dapat menjadi anemia.

Perdarahan itu terjadi akibat proses penghisapan aktif oleh cacing dan juga akibat

perembesan darah disekitar tempat hisapan. Cacing berpindah tempat menghisap setiap 6

jam perdarahan ditempat yang ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali

denqan cepat karena turn over sel epithel usus sangat cepat.

Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi kecacingan dapat disebabkan oleh

adanya lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh karena dikonsumsi oleh cacing

itu sendiri . walaupun ini masih belum terjawab dengan jelas termasuk berapa besar

jumlah darah yang hilang dengan infeksi cacing ini.

Kehilangan darah dapat menyebabkan lesu dan terengah-engah (karena kurangnya

asupan oksigen ke sel) dan terlihat pucat (berkurangnya aliran darah ke perifer).

5f. Bagaimana respon imun tubuh adi terhadap infeksi cacing tambang?

Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4 selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI (reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.

Page 2: Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic protein) dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit, dan enzim yang membunuh cacing. Infeksi parasit secara khusus merangsang sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan stadium infeksi.

Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan eosinophil. Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan mediator dari sel mast.

Paparan awal parasit berhubungan dengan meningkatnya respons inflamasi alergi terhadap parasit, sementara pada infeksi jangka panjang dan infeksi berulang respons inflamasi menjadi lebih terkendali. Infeksi kronis memiliki efek regulasi yang kuat pada respons inflamasi antiparasit, berhubungan dengan respons Th2 yang telah bermodifikasi yang selain memungkinkan parasit tetap hidup juga memberikan perlindungan dari penyakit imun bagi pejamu. Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori (T reg) yang mampu mensekresi sitokin imunosupressan seperti IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan suasana antiinflamasi. Respons antibodi terhadap berbagai stadium A. lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi maupun pada intensitas infeksi ulangan. Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi juga terhadap antigen eksogenus

Page 3: Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara, efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.

LEARNING ISSUE

Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang akan meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen. Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan mekanisme imun utama dalam mengatasi infeksi cacing.

Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4 selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI (reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic protein) dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan

Page 4: Analisis Dan Li Skenario B Blok 13

melepas superoksida, oksida nitrit, dan enzim yang membunuh cacing. Infeksi parasit secara khusus merangsang sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan stadium infeksi.

Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan eosinophil. Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan mediator dari sel mast.

Meskipun dari berbagai penelitian cross-sectional terlihat adanya perkembangan imunitas terhadap A. lumbricoides, tetapi respons antibodi humoral tidak mempunyai peranan untuk menekan infeksi. Adanya antibodi terhadap antigen Ascaris dewasa dan larva, merupakan refleksi dari intensitas infeksi dan tidak memberikan dampak perlindungan terhadap infeksi.

Infeksi STH menimbulkan respons imun pada manusia khas berupa kadar IgE yang meningkat, eosinofilia, dan peningkatan produksi sitokin Th2 oleh lekosit darah perifer sebagai respons terhadap rangsangan antigen parasit.

Paparan awal parasit berhubungan dengan meningkatnya respons inflamasi alergi terhadap parasit, sementara pada infeksi jangka panjang dan infeksi berulang respons inflamasi menjadi lebih terkendali. Infeksi kronis memiliki efek regulasi yang kuat pada respons inflamasi antiparasit, berhubungan dengan respons Th2 yang telah bermodifikasi yang selain memungkinkan parasit tetap hidup juga memberikan perlindungan dari penyakit imun bagi pejamu. Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori (T reg) yang mampu mensekresi sitokin imunosupressan seperti IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan suasana antiinflamasi. Respons antibodi terhadap berbagai stadium A. lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi maupun pada intensitas infeksi ulangan. Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi juga terhadap antigen eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara, efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.

Sumber

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3676/1/fkm-rasmaliah8.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21528/6/Chapter%20II.pdf

Page 5: Analisis Dan Li Skenario B Blok 13