05. DM Portofolio Bells Palsy -DM EDAH

11
Portofolio Minggu ke 2 Nama DM: Edah Humaidah NIM : 0910710062 A. Identitas Nama : Tn. Y Usia : 20 th Alamat : Malang Pekerjaan : Mahasiswa Tgl periksa : 9 Mei 2014 B. Anamnesa: Keluhan Utama: Bibir mencong ke kiri. Pasien datang dengan mengeluh bibir mencong ke kiri sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengeluh wajah perot mendadak saat bangun tidur, sejak 1 minggu yang lalu. Tidak disertai lidah terasa tebal maupun tidak dapat merasakan makanan. Pasien merasa kesulitan saat berkumur karena air selalu keluar dari mulut. Mata kiri pasien juga sulit menutup dan dirasakan perih. Telinga/pendengaran tidak ada keluhan, pasien tidak mengeluhkan suara “gemebrek” . Lemah ½ badan (-), pelat (-), kesemutan/tebal pada ½ badan (-). Demam (-), infeksi herpes (-) muntah (-) pandangan double/kabur (-) Riwayat paparan dingin è sering mengendarai sepeda motor, AC (+), sering tidur di lantai (+) riwayat trauma (-). Riwayat penyakit dahulu: tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. HT (-) DM (-)Asam Urat (-) Hiperkolestrol (-) Riwayat keluarga: di keluarga tidak ada yang mengalami seperti ini. Riwayat pengobatan: belum pernah minum obat dan belum pernah ke dokter sebelumnya. C. Pemeriksaan fisik: Status Interna : KU: Baik Gizi: Cukup TD: 120/80 N: 80x/m RR:20X/M Tho c/ s1s2 singular m(-) p/ vesikular, rh(-), wh(-) 1

Transcript of 05. DM Portofolio Bells Palsy -DM EDAH

Portofolio Minggu ke 2

Portofolio Minggu ke 2Nama DM: Edah HumaidahNIM : 0910710062

A. IdentitasNama : Tn. YUsia: 20 thAlamat : MalangPekerjaan : MahasiswaTgl periksa : 9 Mei 2014

B. Anamnesa: Keluhan Utama: Bibir mencong ke kiri. Pasien datang dengan mengeluh bibir mencong ke kiri sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengeluh wajah perot mendadak saat bangun tidur, sejak 1 minggu yang lalu. Tidak disertai lidah terasa tebal maupun tidak dapat merasakan makanan. Pasien merasa kesulitan saat berkumur karena air selalu keluar dari mulut. Mata kiri pasien juga sulit menutup dan dirasakan perih. Telinga/pendengaran tidak ada keluhan, pasien tidak mengeluhkan suara gemebrek . Lemah badan (-), pelat (-), kesemutan/tebal pada badan (-). Demam (-), infeksi herpes (-) muntah (-) pandangan double/kabur (-) Riwayat paparan dingin sering mengendarai sepeda motor, AC (+), sering tidur di lantai (+) riwayat trauma (-).

Riwayat penyakit dahulu: tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. HT (-) DM (-)Asam Urat (-) Hiperkolestrol (-)Riwayat keluarga: di keluarga tidak ada yang mengalami seperti ini.Riwayat pengobatan: belum pernah minum obat dan belum pernah ke dokter sebelumnya.

C. Pemeriksaan fisik:Status Interna : KU: BaikGizi: CukupTD: 120/80N: 80x/mRR:20X/M Thoc/ s1s2 singular m(-)p/ vesikular, rh(-), wh(-) Abd flat, soefl, bu(+)n Ext edema(-)Status Neurologis : GCS: 456 FL Berbahasa: dbN MS (-)N. cranialis:n. I: tde (tidak ada gangguan)n. II: tde (tidak ada gangguan)n. III: PB I 3mm/3mm, RC +/+n. IV: dbnn. V: RK +/+n. VI: dbnn. VII: Parese N VII (S) LMN, Lagoftalmus (S), Bells sign (+)

n. VIII: dbnn. IX: dbnn. X: dbnn. XI: dbnn. XII: dbn

Reflek FisiologisB +2/+2T +2/+2 K +2/+2 A +2/+2

Reflek PatologisH/T-/- / -/- B- / - C- / - O- / - G- / - S- / -

Motorik TN/NP5/5N/N5/5Sensoris dbnAutonom inkontinensia urin(-)House Brackmann Classification of Fascial Function : derajat 3

D. Diagnosis Diagnosis klinis : Acute parese N VII S tipe LMNAcute lagoftalmus S Acute Bells sign S Diagnosa topis : N.VII SDiagnosa etiologis : suspect Bells Palsy SDiagnosa sekunder : (-)

E. PlanningPDx: ENMG

PTx: Farmakoterapi:Prednison 60mg/hari selama 5 hari, lanjut tappering off sampai hari ke 10.Acyclovir 5x400mg/hari selama 7 hari Methylcobalamin 3x500 g/hari Artificial eye tear Non-Farmakoterapi:FisioterapiPMo:.Kontrol untuk melihat respon terapi

PEd:Istirahat cukup, hindari paparan angin berlebihan, sering gunakan air mata artificial pada mata yang sulit menutup.

F. Tinjauan Pustaka

DEFINISIBells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan.

PATOFISIOLOGI Bells palsy disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum sehingga menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi saraf. Baru-baru ini perhatian terfokus pada virus Herpes Simpleks tipe I (HSV-1) yang dianggap sebagai penyebab inflamasi tersebut. Hal ini berdasarkan pada penelitian Mukarami dkk dikutip dari Desatnik14 yang mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bells palsy dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13% kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini juga berhubungan dengan prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel.

GEJALA KLINIS Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.

DIAGNOSISa. Anamnesis Anamnesis : keluhan khas pada pasien Bells palsy adalah kelemahan atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa wajahnya perot. Makanan dan air liur dapat terkumpul pada sisi yang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah ke luar melalui sudut mulut.

b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik : a. Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi yang sehat.b. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta untuk menutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena Bells).c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi dan paparan langsung.

Untuk menilai derajat paresis N. Facialis digunakan House Brackmann Classification of Facial Function, yaitu :a. Derajat 1 : fungsional normalb. Derajat 2 : angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetrisc. Derajat 3 : angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimald. Derajat 4 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimale. Derajat 5 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut sedikit bergerakf. Derajat 6 : tidak bergerak sama sekali

c. Penunjang LABORATORIUMPemeriksaan laboratorium tidak selalu dilakukan, namun pada pasien yang mengalami diabetes sekitar 10% mengalami bells palsy, maka pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti; pemeriksaan gula darah puasa atau A1C terutama pasien yang memiliki faktor resiko seperti riwayat keluarga diabetes, obesitas, dan usia lebih 30 tahun. RADIOLOGI Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan pada kasus ini kecuali bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada riwayat trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan. (ENMG) dilakukan hanya pada kasus-kasus dimana tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi paresis N. Facialis. Pemeriksaan ENMG diutamakan untuk menentukan prognosis. Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu neoplasma tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk mengevaluasi multiple sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bells palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap.

DIAGNOSIS BANDING Lesi perifer :a. Otitis media: disebabkan oleh bakteri pathogen, onset perlahan, nyeri pada telinga, demam, dan gangguan pendengaran konduktif.b. Sindroma Ramsay Hunt: disebabkan oleh virus Herpes Zoster, nyeri semakin memberat, erupsi vesikuler pada kanalis telinga atau faring.c. Penyakit Lyme: disebabkan oleh Spirocheta Borrelia burgdorferi, riwayat adanya tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah endemik penyakit Lyme.d. Polineuropati (GBS, sarkoidosis): disebabkan respon autoimun, kebanyakan bilateral.e. Tumor: onset perlahan.

Lesi sentral :a. Multiple sklerosis : proses demielinisasi, ditemukan defisit neurologik lain.b. Stroke : ditemukan defisit neurologik lain.c. Tumor : metastase atau primer di otak, onset kronik progresif, perubahan status mental, adanya riwayat keganasan.

PENATALAKSANAANa. Non-Bedah / Konservatif Non-Farmakologis Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas superfisial, elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas. latihan otot wajahLatihan wajah dapat bermanfaat pada pasien dengan Bell palsy. Mereka harus dilakukan sambil berdiri di depan cermin dan termasuk mencoba mengangkat alis, membuka dan menutup mata, meniup, dan bersiul. latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari. Efektivitas latihan belum telah dievaluasi secara resmi. FarmakologisDalam penatalaksanaan Bells palsy pada pasien ini kita berikan kortikosteroid dan antiviral. Tiemstra dkk7 mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus. Pada pasien ini kortikosteroid kita berikan pada hari kedua onset penyakit dengan dosis 60 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Karena terdapat perbaikan pada kontrol hari ketiga pengobatan, maka setelah hari kelima dosis kortikosteroid kita turunkan menjadi 40 mg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 5 hari berikutnya. Setelah 10 hari pemberian kortikosteroid, pada kontrol terdapat perbaikan yang cukup besar, maka dosis kortikosteroid kita turunkan secara bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis minimal (1x5mg). Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi menurut Tiemstra dkk Prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk Prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari). Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11 Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau intravena. b. BedahTerapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

KOMPLIKASI Iritasi dan ulserasi kornea karena pasien Bells palsy mengalami kesulitan menutup salah satu mata yang mengalami lesi, sehingga harus selalu diberi lubrikasi dengan airmata artificial. Kelemahan permanen pada kelopak mata mungkin memerlukan tarsorhaphy. Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan tindakan pembedahan kosmetik atau pemberian injeksi toksin Botulinum.

PEMANTAUAN Fungsi motorik otot wajah Gangguan lakrimasi, gangguan hiperakusis, gangguan pengecapan Komplikasi PROGNOSISPrognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan House-Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen.15 Pada pasien ini, hari ketiga pengobatan sudah terdapat perbaikan walaupun belum maksimal. Pada hari kesepuluh, kelumpuhan saraf fasialisnya sudah mencapai House-Brackmann derajat II, lokasinya setinggi infra khorda dan fungsi motorik yang terbaik meningkat menjadi 76%, setelah 3 minggu terapi kelumpuhan saraf fasialisnya sudah tidak terlihat lagi (HB I) dan fungsi motorik otot wajahnya sudah normal. Diperlukan pemeriksaan untuk menentukan prognosis penyakit ini. Pemeriksaan tersebut direko- mendasikan pada kelumpuhan komplit atau bila tidak terdapat tanda-tanda penyembuhan dalam 3 minggu dari onset penyakit. Menurut Yeo dkk ENoG merupakan alat yang dapat membantu memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal pada saraf fasialis bagian distal dari foramen stilomastoid. Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak. Chen dkk melaporkan terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA: Staf medis ilmu penyakit saraf. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Universitas Brawijaya: Malang Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT, Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-Otolaryngology. 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins; Texas; 2006. P. 2139-54 Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy : Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31: 1503-07 Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2007;76(7): 997-1002 Alford BR. Anatomy of the 7th cranial nerve. Baylor College of Medicine. 2010 Chen WX, Wong V. Prognosis of Bells Palsy in Children-Analysis of 29 cases. Brain & Development, vol 27. 2005: 504-8 Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bells Palsy and Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007: 159-1643 29; 2004 :553 557. Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in Bells Palsy : a Randomized, Double-Blind,Placebo-Controlled, Multicentre Trial. Lancet Neurol. 2008;7: 993-1000 Holland J, Bernstein J. Bells palsy. Clin Evid Handbook. June 2011:433-434.

8