Post on 10-Aug-2015
description
PENYAKIT PARU MIKOBAKTERIAL : KINERJA DIAGNOSTIK
TOMOSINTESIS DIGITAL DOSIS RENDAH DIBANDINGKAN DENGAN
RADIOGRAFI DADA
Eun Young Kim MD, Myung Jin Chung MD, Ho Yun Lee MD,
Won-Jung Koh MD, Hye Na Jung MD, Kyung Soo Lee MD. Radiology Society of North
America Journal, 257 (2010), 269–277
Telaah Kritis (Critical Appraisal)
Penelitian prospektif pada jurnal ini bertujuan untuk membandingkan
temuan penyakit mikobakterial paru pada foto radiografi antara radiografi dada
dengan digital tomosintesis dosis rendah. Jika dianalisa, penyampaian ide, proses,
dan hasil penelitian dalam jurnal ini sudah cukup baik, yang mana syarat jurnal
yang baik telah terpenuhi dengan pencantuman dan penguraian tujuan
(objective),material dan metode, hasil (result), simpulan (conclusion), serta
diskusi dengan baik. Dalam melakukan telaah kritis pada penelitian ini, kami
menggunakan metode PICO (Population/Problem, Intervention, Comparison,
Outcome). Berikut urain rinci dari telaah kritis yang kami lakukan.
Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah membandingkan temuan
radiografi antara radiografi foto polos X-ray dada dengan radiografi tomosintesis
digital dosis rendah pada orang dengan penyakit mikobakterial paru dan
selanjutnya dibandingkan dengan CT Scan sebagai baku emas. Indikator telaah
kritis berdasarkan populasi atau masalah (population/problem) adalah fair
recruitment (apakah subjek penelitian mewakili populasi target?). Dalam
penentuan keterwakilan populasi target oleh subjek penelitian, kita dapat
melihatnya dari teknik pemilihan sampel. Jumlah sampel ditentukan dengan
berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang juga membandingkan antara
radiografi dada dan DTS. Sampling yang digunakan adalah yakni menjaring
pasien yang sesuai dengan kriteria penelitian untuk ikut serta dalam studi. Dalam
hal ini dilakukan studi terhadap hasil x-ray dada dan DTS lalu dibandingkan
dengan CT scan dada dari 100 orang sampel, dimana 65 orang merupakan obyek
penelitian dan 35 orang sebagai kelompok kontrol. Periode penelitian cukup
singkat yakni dari Maret hingga Juni 2009. Penelitian ini tidak memaparkan
1
kriteria inklusi dan eksklusi yang spesifik, hanya dipaparkan bahwa 65 obyek
penelitian terdiri dari 42 orang dengan tuberkulosis paru dan 23 orang dengan
penyakit mikobakterial non tuberkulosa lainnya, dimana obyek penelitian tersebut
telah secara reguler diikuti perkembangan penyakitnya dengan CT scan dada.
Penelitian ini tidak mempertimbangkan aspek klinis pasien seperti kultur sputum
ataupun keadaan klinis pasien karena hanya membandingkan tampilan foto antara
DTS dan foto polos dada dengan CT Scan sebagai rujukan standar.
Dari segi intervensi (Intervention), seluruh sampel dievaluasi dengan
radiografi, DTS dan CT scan. Kelompok studi pada penelitian ini telah memenuhi
dengan baik indikator telaah berdasarkan intervensi yaitu fair allocation (apakah
kelompok studi yang ada dapat dibandingkan?), yang mana seluruh subjek
menjalani prosedur yang sama dan kedua hasil pencitraan dibandingkan lalu
dibandingkan kembali dengan hasil CT Scan sebagai nilai rujukan. Selanjutnya
hasil foto dievaluasi oleh dua ahli berbeda dengan mengacak foto dan membagi
foto menjadi dua kelompok. Sementara itu proporsi obyek berdasarkan jenis
kelamin pada penelitian ini cukup seimbang pada 65 obyek yaitu 32 laki – laki
dan 33 wanita. Sedangkan pada kelompok kontrol sedikit tidak seimbang (24 laki
– laki dan 11 wanita). Sebenarnya perbedaan proporsi ini dapat diatasi dengan
lebih memperpanjang periode penelitian, sehingga diperoleh proporsi subjek yang
lebih seimbang.
Dari segi comparison (perbandingan), hasil pemeriksaan radiografi dalam
hal ini dibandingkan dengan hasil pemeriksaan CT scan. Adapun indikator dari
telaah kritis berdasarkan comparison adalah fair maintenance (apakah status
komparabel antar kelompok studi dipertahankan hingga akhir penelitian?). Setelah
kami analisis, maintenance status dapat dibandingkan pada studi ini dan telah
dilaksanakan dengan baik. Oleh karena studi ini adalah studi prospektif tanpa
follow-up, tidak ada subjek yang dropout.
Outcome dari penelitian ini adalah resume hasil pencitraan penyakit
mikobakterial paru pada orang dewasa melalui dua modalitas pencitraan yaitu X-
ray dada dan DTS, yang selanjutnya dibandingkan dengan hasil CT Scan sebagai
nilai rujukan, yang akhirnya mendapat kesimpulanadanya keunggulan DTS
dibandingkan dengan X-ray dada. Dalam hal ini indikator telaah kritis
2
berdasarkan outcome adalah fair measurement, yaitu apakah penelitian
dilaksanakan secara blinded (subjek dan evaluator), serta menggunakan parameter
yang objektif? Pada penelitian ini diuraikan bahwa evaluator tidak mengetahui
identitas dan status pasien dan hanya diberikan foto yang diberi nomor dari 1 – 50
dan 51 – 100 sehingga penelitian ini telah dilaksanakan secara blinded.
Tujuan : Membandingkan kinerja diagnostik teknik tomosintesis digital dosis
radiasi rendah (DTS) dengan radiografi konvensional dalam mendeteksi lesi paru
pada pasien dengan penyakit mikobakterial paru3
Bahan dan Metode : The Institutional Review Board pada institusi kami
menyetujui penelitian ini, dan semua pasien diberikan persetujuan tertulis. Dalam
studi ini, 100 pasien (65 pasien studi, 35 pasien kontrol) melalui pemeriksaan
dengan multidetector computed tomography (CT), radiografi dada, dan DTS dosis
rendah (dosis efektif: masing-masing 3,4, 0,02, dan 0,05 mSv). Dua ahli radiologi
mengevaluasi gambar radiografi dan DTS untuk melihat adanya lesi parenkim dan
jumlah rongga dalam setiap pasien, CT sebagai standar acuan. Wilcoxon signed
rank, tes McNemar dan statistik ĸ yang digunakan.
Hasil : Keakuratan DTS dan radiografi dalam menggambarkan penyakit
mikobakterial adalah 97% dan 89%, dimana untuk pengamat 1 (P = 0,039) dan
99% dan 93%, dan untuk pengamat 2 (P = 0,031). Keakuratan DTS dan radiografi
dalam menggambarkan setiap jenis lesi adalah, 95% dan 77% untuk bronkiolitis,
92% dan 76% untuk nodul, 86% dan 79% untuk konsolidasi, dan 93% dan 70%
untuk cavities. Para pengamat menyepakati bahwa dengan menggunakan DTS (ĸ
= 0,62-0,94) lebih unggul dibandingkan dengan radiografi (ĸ = 0,46-0,62). Dari
total 141 rongga ditemukan dengan CT, dimana 27 (19%) cavities pada radiografi
dada dan 108 (77%) cavities pada DTS (P<0,01) yang terdeteksi oleh dua
pengamat.
Kesimpulan : DTS yang dikerjakan dengan teknik dosis rendah lebih unggul
daripada radiografi konvensional dalam mendeteksi lesi paru pada pasien dengan
penyakit mikobakterial paru.
Tomosintesis digital (DTS) berdasarkan atas prinsip pengumpulan
proyeksi radiografi dengan dosis radiasi rendah pada sudut yang berbeda dan
menggunakan proyeksi untuk merekonstruksi bagian gambar guna mendeteksi
adanya peningkatan lesi halus (1). Keuntungan dari DTS, dibandingkan dengan
radiografi konvensional, meliputi lokalisasi kedalaman dan peningkatan struktur
yang mampu dicapai dengan menghilangkan kekacauan visual dimana
berhubungan dengan overlying anatomi (1-3).
Penyakit mikobakterial paru tetap merupakan penyebab besar infeksi di
seluruh dunia dan berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan
4
mortalitas, terutama pada pasien dengan dengan perubahan imunitas selular (4).
Identifikasi dini dan pengobatan kasus tuberkulosis (TB) aktif sangat penting
untuk pengendalian tuberkulosis. Bakteri tahan asam (BTA) ditemukan pada
dahak dari sejumlah pasien dengan TB aktif. Oleh karena itu, diagnosis berbasis
pencitraan akan memfasilitasi terapi yang tepat untuk pasien yang terinfeksi
sebelum diagnosis definitif ditegakkan melalui pemeriksaan bakteriologi (5).
Penyakit mikobakterial paru memiliki berbagai pola manifestasi pada radiologi,
meliputi nodul, konsolidasi, cavities, dan hilangnya volume segmental atau lobar.
Pasien dengan cavitary pulmonary tuberculosis memiliki prognosis yang buruk
oleh karena beban besar dari organisme dan membutuhkan waktu yang lama
dalam mengkonversi sputum smear (10,11). Dengan demikian, pasien dengan
penyakit infeksi paru TB wajib dilakukan pemeriksaan adanya cavities secara
tepat untuk mendapatkan pengobatan yang efektif (12).
Meskipun kenyataan menyebutkan bahwa Computed Tomography (CT)
memberikan informasi yang lebih akurat mengenai tingkat dan distribusi penyakit
mikobakterial paru dan dapat membantu dalam evaluasi aktivitas penyakit, dosis
tinggi radiasi secara potensial berbahaya bagi pasien dengan tuberkulosis (8,9).
Dilaporkan dosis efektif dengan DTS adalah sekitar 0,12 mSv (2,13). Staf
radiologi di lembaga kami telah berusaha untuk memberikan dosis rendah DTS,
yang merupakan dosis rendah efektif (0,05 mSv untuk pasien standar), dengan
mengubah parameter DTS dan menetapkan kondisi dosis rendah untuk pencitraan
dada. Dengan demikian, tujuan dari penelitian kami adalah untuk membandingkan
kinerja diagnostik teknik DTS dosis rendah dengan radiografi konvensional dalam
mendeteksi lesi paru pada pasien dengan penyakit mikobakterial paru.
Bahan dan Metode
Pasien
The Institutional Review Board menyetujui studi prospektif kami, dan
sebelum partisipasi mereka, semua pasien diberikan persetujuan tertulis dimana
akan diperiksa dengan DTS. Dari bulan Maret sampai Juni 2009, 65 pasien
berturut-turut berusia 16-86 tahun (usia rata-rata, 50 tahun ± 18 [standar deviasi])
-32 laki-laki (usia rata-rata, 49 tahun ± 18) dan 33 perempuan (usia rata-rata, 51
5
tahun ± 18)-dengan TB paru (n = 42) atau penyakit mikobakterial nontuberkulosis
lainnya (n = 23) yang secara teratur ditindaklanjuti dengan CT dada dimana secara
prospektif terdaftar dalam penelitian ini. Selain itu, 35 pasien berusia 25-75 tahun
(usia rata-rata, 54 tahun ± 12) -24 pria (usia rata-rata, 54 tahun ± 13) dan 11
wanita (usia rata-rata, 55 tahun ± 10)-yang telah menjalani DTS dimana hanya
untuk mengkonfirmasi diagnosis CT dada bahwa mereka bebas dari lesi, dimana
terdaftar sebagai kelompok kontrol. Di departemen kami, protokol standar untuk
pasien yang dirujuk menjalani CT dada termasuk radiografi dada posteroanterior
(dengan radiograf lateral yang dihilangkan untuk mengurangi paparan radiasi).
Setelah menjalani radiografi dada, semua pasien kemudian menjalani pemeriksaan
dengan DTS. Delapan puluh lima dari 100 pasien menjalani DTS dan CT dada
pada hari yang sama, dan 15 pasien menjalani DTS dalam waktu 1 minggu dari
waktu pemeriksaan CT. Penyakit mikobakterial paru didiagnosis rata-rata, 39 hari
sebelum radiografi dada (kisaran, -1 sampai 322 hari), DTS (kisaran, -1 sampai
322 hari), dan CT (kisaran, -7 sampai 322 hari).
Radiografi
Pemeriksaan radiografi dada dilakukan dengan menggunakan sistem
radiografi digital cesium iodide–amorphous silicon flat-panel detector (Definium
8000, GE Healthcare, Chalfont St Giles, Inggris) termasuk akuisisi gambaran
posteroanterior pada tegangan tabung 120 kVp dengan kontrol paparan otomatis
setara dengan kecepatan 400. Dosis yang efektif untuk standar pasien (pasien laki-
laki Amerika, tinggi, 176 cm; berat badan, 86 kg) adalah 0,02 mSv, yang
ditentukan dengan menggunakan anthropomorphic chest phantom (Alderson
Lung/Chest Phantom RS-320; Radiology Support Devices, Long Beach, Calif)
dan Monte Carlo software (PCXMC, versi 1.5, STUK, Helsinki , Finlandia).
DTS
Pemeriksaan DTS dilakukan dengan menggunakan unit yang tersedia
secara komersial (Volume RAD, GE Healthcare) dengan sistem cesium iodide–
amorphous silicon flat-panel detector. Kami mengubah parameter DTS dan
membentuk kondisi radiasi dosis rendah untuk pencitraan dada. Enam puluh
6
gambar proyeksi dengan dosis rendah diperoleh dalam waktu 10 detik dengan
menggunakan tegangan tabung 100 kVp, dengan perbandingan dosis 1:5, dan
filter tembaga 0,3 mm sebagai tambahan. Detektor tersebut tetap dalam posisinya,
sedangkan tabung X-ray menjadi subjek gerak vertikal yang berlangsung secara
kontinyu, dari -17,5° sampai +17,5°, berada di sekitar posisi standar
posteroanterior ortogonal. Data gambar diperoleh pada -15° hingga +15°. Total
akhir, terdapat 60 proyeksi gambar yang diperoleh dari satu pemeriksaan dan
digunakan untuk merekonstruksi sekitar 54 gambar koronal dengan ketebalan 4
mm tanpa adanya keadaan tumpang tindih. Surface dose untuk protokol ini,
termasuk akuisisi radiograf posteroanterior sebagai referensi gambar, adalah 0,3
mGy. Dosis yang efektif adalah 0,05 mSv untuk pasien standar, yang ditentukan
dengan menggunakan asumsi bahwa paparan diberikan pada sudut nol proyeksi
yaitu, proyeksi dimana arah radiasi tegak lurus terhadap bidang detektor (14).
Gambar 1. Gambar pasien wanita, umur 64 tahun dengan penyakit paru mikrobakterial nontuberkulosis ( Mycobacterium avium infection). (a) Radiografi posteroanterior tidak menunjukkan abnormalitas pada zona paru kanan atas. (b) Gambaran DTS menunjukkan nodul bergerombol dengan struktur cabang linier yang disebut tree in bud sign (panah) di zona paru kanan atas. (c) Gambaran CT koronal dan (d) aksial (lung window) mengkonfirmasi kehadiran bronkiolitis (panah) di segmen anterior lobus kanan atas.
7
Multidetektor CT
Pada semua pasien, CT scan helikal diperoleh melalui pemeriksaan seluruh
thorax pada akhir inspirasi dengan menggunakan 64 section equipment
(LightSpeed VCT; GE Health-care). Parameter pemindaian adalah sebagai
berikut, lebar detektor individu, 0,625 mm, gantry rotation time, 400 msec,
tegangan tabung, 120 kVp, current tube, 110-150 mAs, dan pitch 0,97. Gambar
aksial yang direkonstruksi, menggunakan parameter berikut : ketebalan bagian 2.5
mm, high-spatial-frequency reconstruction algorithm (bone preset), dan 34-38 cm
lapangan pandang. Gambar koronal yang direkonstruksi pada interval 4 mm.
Gambar rekonstruksi koronal sepenuhnya tertutup daerah dari permukaan depan
ke belakang dada. Dosis yang efektif untuk dada CT, 3,4 mSv, berdasarkan data
dari model standar pasien dimana melibatkan penggunaan anthropomorphic
phantom dan dose-length product to effective dose conversion factor of 0 0.017
mSv/(mgy · cm) (15).
Studi Deteksi
Dua orang subspesialisasi radiologis dada (H.Y.L., E.Y.K.), yang memiliki
pengalaman membaca CT scan dada selama 10 tahun dan 3 tahun dan sekitar 2
tahun dan 6 bulan pengalaman klinis dengan DTS, masing-masing bekerja
independen dan menganalisis data gambar secara terpisah. Untuk setiap pasien,
mereka diminta untuk menandai dan mencatat setiap temuan penyakit
mikobakterial paru pada gambar radiografi dan DTS secara blinded. Untuk setiap
pengamat, kasus tersebut dibagi menjadi dua kelompok, kasus satu sampai 50 dan
kasus 51-100 dan gambar radiografi dalam kelompok pertama dari 50 kasus dan
gambar DTS dalam 50 kasus yang terakhir yang dikelompokkan dan diatur
kembali secara acak. Pengacakan dicapai dengan menggunakan standar generator
nomor acak untuk menentukan urutan pembacaan secara acak. Gambar-gambar
ini dibaca selama sesi pertama. Selama sesi kedua, radiografi dada di kelompok
kedua (kasus 51-100) dan gambar DTS di kelompok yang telah dibaca. Interval
antara dua sesi adalah 2 minggu. Oleh karena perbedaan besar dalam penampilan
antara gambar DTS dan radiografi, protokol ini dianggap cukup untuk
8
menghindari bias. Para pengamat diizinkan untuk mengubah window width dan
window level dan menggunakan tombol fungsi untuk pan dan zoom.
Terdapat beragam temuan kelainan pada penyakit mikobakterial paru, dimana
dibagi menjadi lima pola: bronkiolitis, nodul, konsolidasi, cavities, dan volume
loss. Menurut daftar istilah dari Fleischner Society (16), temuan tersebut
diinterpretasikan sebagai berikut: Bronkiolitis atau “tree in bud” adalah
sekelompok mikronodul dengan atau tanpa struktur cabang linier (Gambar 1).
Sebuah nodul adalah opasitas berbentuk bulat atau oval kurang dari 30 mm.
Konsolidasi adalah peningkatan opasitas yang homogen dalam parenkim paru
dimana garis tepi pembuluh darah dan dinding saluran napas menjadi tidak jelas
atau kabur. Sebuah cavity adalah daerah luscent dalam daerah konsolidasi paru,
massa, atau nodul (Gambar 2, 3). Volume loss ditunjukkan dengan dilatasi
bronkus dengan atau tanpa adanya atelektasis, atau sebaliknya. Setiap cavity pada
pasien harus ditandai pada radiografi dan terdapat hanya satu dari 54 gambar
DTS. Kami juga mencatat jumlah dari cavities. Setelah analisis dari masing-
masing pola penyakit paru, penyakit mikobakterial dianggap hadir ketika terdapat
lesi konsolidasi, cavity atau cavities, nodul atau tree in bud sign.
9
Gambar 2: Gambar pasien pria, umur 39 tahun dengan TB paru. (a) Radiografi Posteroanterior menunjukkan konsolidasi di kiri atas lapang paru. Pada analisis gambar prospektif, dua pengamat tidak mendeteksi adanya cavity. (b) Gambar DTS menunjukkan cavity (panah) pada zona paru kiri atas. (c) Gamabar CT koronal (lung window) mengkonfirmasi adanya cavity (panah) pada lobus kiri atas.
Standar Referensi
Multidetector CT merupakan metode standar referensi untuk analisis.
Setelah dua pengamat menyelesaikan studi deteksi, pencatatan gambaran DTS dan
pembacaan radiografi sudah sesuai lalu dibandingkan dengan mereka yang berasal
dari CT multidetektor pembacaan scan (baik koronal dan aksial CT gambar).
Sebagai perbandingan, kami mengacu pada pembacaan catatan CT scan dada dari
seorang ahli radiologi (KSL, 20 tahun CT pengalaman membaca) dimana dengan
pertimbangan dari lima pola abnormalitas paru yang digunakan dalam radiografi
dan dari pembacaan gambar DTS segera setelah pemeriksaan CT. Selain itu,
10
kinerja diagnostik DTS dan radiografi dibandingkan dalam hal tingkat deteksi
cavity pada kedua dasar yaitu dasar per-pasien dan dasar per-lesi. Semua gambar
dinilai dengan menggunakan arsip gambar dan sistem komunikasi (Centricity RA
1000; GE Healthcare).
Analisis Statistik
Sebelum memulai penelitian ini, jumlah sampel ditentukan berdasarkan
hasil dasar dari penelitian sebelumnya dimana DTS dada dan radiografi dada
dibandingkan. Berdasarkan laporan tersebut, deteksi rata – rata (p) dari
tomosintesis dada (p1) dan radiografis dada (p2) adalah 0.64 dan 0.40. Jumlah
sampel yang diperlukan dikalkulasi dengan menggunakan persamaan berikut :
Dengan level signifikansi 10 % (contohnya Za=1.282) dan stastistikal
power 90 % (Zb=1.960) dan dimana Zcrit adalah nilai Z dengan nilai P spesifik
sebagai kriteria signifikan (P = .05 pada penelitian ini), Zpwr adalah nilai Z dengan
spesifik statistikal power (power 0.90 pada penelitian ini, p adalah rata – rata dari
p1 dan p2, D adalah perbedaan antara p1 dan p2 (p1- p2) dan p rata – rata = (p1+
p2)/2. Dibawah kondisi ini hasil analisis power mengindikasikan jumlah sampel
minimal dari 97 pasien yang menjalani DTS dada dan radiografi dada dari tiap
pasang grup.
Performa diagnosis dari DTS dan radiografi, termasuk juga sensitivitas,
spesifisitas dan akurasi untuk mendeteksi penyakit mikobakterial dan tiap pola
dari abnormalitas paru, yang dikalkulasi dari berdasarkan tiap pasien dan
dibandingkan dengan performa diagnosis dari CT sebagai standar referensi.
Sebagai tambahan, DTS dan radiografi dibandingkan satu sama lain, dalam
batasan dari nilai performance dengan menggunakan tes McNemar. Jumlah dari
kavitas yang dideteksi dengan DTS dan radiografi dada, dengan CT sebagai
standar referensi, dibandingkan dengan menggunakan wilcoxon signed rank test.
11
Persamaan interobserver antara dua pengamat dianalisis dengan
menggunakan cohen k statistik. P < .05 menjadi dasar untuk mengindikasikan
signifikansi statistik. Data diproses dan dianalisis dengan menggunakan program
komersial yang ada ( SPSS, versi 17.0 ; SPSS, Chicago, III)
Hasil
DTS dan Deteksi Radiografi Pada Tiap Temuan dari Penyakit
Mikrobakterial
Akurasi rata – rata dari DTS dan radiografi untuk mendeteksi penyakit
mikrobakterial adalah 97 % dan 89 %. Pada pengamat pertama, (P = 0.39, tes mc.
Nemar). Dan 99 % dan 93 % untuk pengamat kedua (P = 0.31, mc. Nemar tes).
Akurasi DTS untuk mendeteksi penyakit mikrobakterial secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan radiografi (tabel 1).
Tabel 1. Performa diagnosis dari DTS dan radiografi untuk deteksi penyakit
mikobakterial
Ketika kami melakukan evaluasi dari 100 pasien dengan tampilan pola lesi
pada parenkim paru, kehilangan volume lobar ditemukan pada 61 pasien,
bronkiolitis pada 56 pasien, konsolidasi pada 52 pasien, nodul pada 49 pasien dan
lubang pada 37 pasien. Dua pola ditemukan pada 6 pasien, tiga pola pada 14
pasien, empat pada 25 pasien, dan lima pada 20 pasien. Satu pasien kontrol
12
memiliki temuan positif yang tidak disengaja dengan temuan kehilangan volume.
Rata – rata sensitivitas dan akurasi dari DTS untuk mendeteksi lesi paru secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi. (tabel 2). Untuk observer
pertama, nilai akurasi untuk DTS dan deteksi radiografi dengan lesi parenkim
diverse adalah 95 % dan 72 % untuk bronkiolitis, 92 % dan 79 % untuk nodul, 84
% dan 73 % untuk konsolidasi, 96 % dan 72 % untuk lubang dan 98 % dan 78 %
untuk kehilangan volume. Untuk pengamat kedua, akurasi koresponden adalah 94
% dan 81 % untuk bronkiolitis, 91% dan 72 % untuk nodul, 87 % dan 85 % untuk
konsolidasi, 90 % dan 68 % untuk lubang, dan 95 % dan 88 % untuk kehilangan
volume (tabel 2). Semua nilai P, kecuali untuk perbandingan DTS dengan deteksi
radiografi dari konsolidasi (P = .754, Mc.Nemar tes) oleh observer kedua, adalah
dibawah 0.05
Tabel 2. Performa diagnosis dari DTS vs Radiografi untuk deteksi lesi parenkim
paru
Pendapat antar observer berdasarkan temuan DTS adalah antara baik dan
sangat baik ( k = 0.62 – 0.94) dan superior bila dibandingkan dengan temuan
radiografik (k = 0.46 – 0.62), pda hal yang berkaitan dengan berbagai temuan
pada lesi parenkim paru dengan DTS, persamaan sangatlah baik untuk mendeteksi
bronkiolitis (k=0.90) dan kehilangan volume (k=0.94) dan baik untuk mendeteksi
13
nodul (k=0.74), konsolidasi (k=0.62) dan kavitas (k=0.79) (tabel 3). Dengan
radiografi, persamaan adalah antara moderate dan baik untuk mendeteki berbagai
temuan dari lesi paru, dengan nilai k adalah 0.62 utnuk bronkiolitis, 0.46 untuk
nodul, 0.53 untuk konsolidasi, 0.58 untuk kavitas, dan 0.61 untuk kehilangan
volume.
DTS dan Radiografi Dalam Menentukan Jumlah Kavitas
Total 141 kavitas ditemukan pada 37 pasien pada multideteksi CT, 76
kavitas pada paru kanan, dan 65 kavitas pada paru kiri. Diameter terpanjang dari
kavitas berkisar dari 10 hingga 69 mm , dan diameter rata – ratanya adalah 24
mm. Kedua observer rata – rata mendeteksi 27 (19%) kavitas dengan radiografi
dada dan rata – rata 108 (77%) kavitas dengan DTS (P< .01, wilcoxon signed test
rank). Dengan radiografi, pengamat 1 mendeteksi 20 kavitas asli pada 14 pasien, 5
kavitas palsu pada lima pasien (38 % sensitivitas, 92 % spesifisitas pada tiap basis
pasien), dan pengamat 2 mendeteksi 34 kavitas asli pada 18 pasien dan 18 kavitas
palsu pada 15 pasien (49 % sensitivitas dan 79 % spesivisitas). Bagaimanapun
juga, DTS membantu pengamat 1 untuk mengindentifikasi 104 kavitas pada 35
pasien (95 % sensitivitas), dan membantu pengamat 2 untuk mengidentifikasi 112
kavitas pada 34 pasien (92 % sensitivitas (tabel 4), (gambar 2,3).
Tabel 3. Persamaan antar observer pada DTS dan Radiografi dalam mendeteksi lesi parenkim
14
Tabel 4. Deteksi kavitas dengan DTS dan Radiografi
Dengan DTS, pengamat 1 mendeteksi 2 kavitas palsu pada dua pasien (97
% spesifitas) dan pengamat 2 mendeteksi 11 kavitas palsu pada 10 pasien (89 %
spesifitas). Hasil positif palsu pada pembacaan DTS dan radiografi terutama
disebabkan oleh misinterpretasi pada kehilangan volume (gb 4), emfisema yang
terlokalisir, konsolidasi atau nodul sebagai kavitas.
Gb 4. Foto dari wanita 73 tahun dengan tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan a) Radiografi posteroanterior menunjukkan lesi kistik berdinding tipis yang diinterpretasikan sebagai kavitas oleh dua observer. b) foto DTS menunjukan lesi kistik berdinding tipis yang diinterpretasikan sebagai kavitas oleh dua observer. c) temuan dari foto CT koronal mengkonfirmasi bronkiektasis terlokalisir pada segmen lingular dari lobus kiri atas
DISKUSI
Meskipun radiografi dada merupakan pilihan pertama dalam mendiagnosis
dan mengikuti pasien dengan tuberkulosis paru, sensitivitas dan spesifitas yang
rendah merupakan kelemahan utama. Masalah yang berkaitan dengan
keterbatasan sensitivitas dan spesifitas dari radiografi ditutupi dengan penggunaan
15
CT. Dengan perkembangan dari multideteksi CT, CT scan dada sekarang
menawarkan keuntungan dalam interval waktu pemeriksaan dan peningkatan
resolusi spasial. Akan tetapi, dengan peningkatan penggunaan CT, dosis radiasi
yang lebih tinggi dan biaya yang lebih tinggi menjadi problem tersendiri. Karena
pasien dengan tuberkulosis paru umumnya muda dan membutuhkan pemantauan
yang sering untuk memonitor aktivitas penyakit dan respond terapi, resiko untuk
peningkatan ekspose radiasi dari CT berulang harus dipertimbangkan. Teknik
baru yang dikembangkan, DTS, merupakan alternatif yang menarik, dengan dosis
radiasi yang rendah (bila dibandingkan dengan CT) dan peningkatan deteksi
(dibandingkan dengan radiografi). Dosis efektif DTS yang dilaporkan adalah
sekitar 0.12 mSv, yang merupakan sekitar 10 kali lebih tinggi dibandingkan yang
dipakai pada pemeriksaan radiografi (0.01-0.02 mSv). Tetapi itu sekitar tiga puluh
kali lebih rendah dibandingkan yang digunakan pada pemeriksaan CT dada. (3-8
mSv). Dengan DTS, dengan mengambil beberapa gambar proyeksi pada berbagai
sudut berbeda dengan menggunakan detektor digital, satu orang bisa
menghasilkan jumlah yang tak terhitung dari gambar perbagian pada kedalaman
berbeda dengan menggunakan algoritma rekonstruksi yang sesuai. Dengan
kedalaman resolusi yang lebih baik dan lebih sedikit tampilan anatomi yang saling
menutupi bila dibandingkan dengan radiografi, penggunaan DTS mungkin
berujung pada peningkatan deteksi dari lesi paru.
Penelitian kami menunjukkan sensitivitas yang superior dari teknik DTS dengan
dosis radiasi rendah, bila dibandingkan dengan radiografi dada, dalam mendeteksi
temuan penyakit mikobakterial paru. Meskipun angka deteksi konsolidasi dari
pengamat 2 dengan DTS tidak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan
radiografi dada, sensitivitas dari DTS dan radiografi adalah tinggi (86% untuk
keduanya) untuk deteksi dari pengamat terhadap temuan ini.
Sebagai pengetahuan kita, staf radiologi kami pertama – tama diminta
melakukan teknik DTS dosis rendah, yang termasuk juga kurang dari setengah
dosis efektif dari DTS konvesional,dengan mengubah parameter DTS. Dengan
teknik DTS dosis rendah yang digunakan pada penelitian ini, 60 gambar proyeksi
didapatkan, dengan dosis radiasi efektif untuk pasien standar adalah sekitat 0.83
mikroSv. Akhirnya, dosis efektif total adalah sekitar 0.05 mSv. Ini sekitar 2,5 kali
16
lebih tinggi dibandingkan total dosis efektif untuk radiografi posteroanterior tapi
sekitar 70 kali lebih rendah dibandingkan multideteksi CT, yang memiliki dosis
efektif tinggi sekitar 3.4 mSv. Untuk selanjutnya, dosis ini lebih rendah
dibandingkan dengan yang dikirimkan dengan radiografi dua pandang (0.06 mSv
untuk pasien standar), termasuk tampilan posteroanterior dan proyeksi standar.
Dengan dosis radiasi rendah, DTS memiliki sensitivitas yang lebih superior
dibandingkan dengan radiografi pada penelitian kami.
Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Pertama, evaluasi
kami terhadap aktivitas penyakit tidak memasukkan analisis dari data klinis,
termasuk dari hapusan sputum dan kultur, dan kami tidak mengevaluasi gejala
pasien. Selain itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membandingkan
performa diagnostik dari DTS dan radiografi dalam mendeteksi berbagai temuan
penyakit mikobakterial paru. Dengan CT dada sebagai standar referensi.
Penelitian ini tidak didesain untuk mengevaluasi performa diagnosis dari DTS
untuk memprediksi aktivitas penyakit itu sendiri. Kedua, kami tidak memasukan
radiografi dada lateral pada analisis foto, memasukkan jenis foto ini memiliki
kemungkinan untuk meningkatkan sensitivitas radiografis untuk mendeteksi lesi.
Selain itu, pada departemen kami, kami umumnya hanya merekomendasikan
radiografi dada posteroanterior untuk pasien dimana CT dada dijadwalkan untuk
evaluasi selanjutnya dari gejala pada dada yang timbul. Oleh karena itu, pola
praktik klinis ini merefleksikan pekerjaan rutin harian kami. Sebagai tambahan,
investigator pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa satu radiografi
posteroanterior sudah cukup untuk skrining tuberkulosis dari individu dengan
hasil tes positif dari protein yang dimurnikan yang berasal dari kulit. Ketiga, biaya
DTS harus dielaborasikan. Biaya dari CT dosis rendah, DTS dan pemeriksaan
radiografi dada sekitar $ 200, $ 30, $ 10 pada negara kami. DTS sekitar tiga kali
lebih mahal dari radiografi dada tapi masih jauh lebih murah dibandingkan CT.
Jadi, DTS memiliki kemungkinan untuk dipakai sebagai pemeriksaan lanjutan
bagi pasien.
Sebagai kesimpulan, penggunaan teknis DTS dosis rendah adalah lebih
superior dibandingkan penggunaan radiografi untuk mendeteksi lesi paru.,
17
terutama lesi cavitas, pada penyakit mikobakterium paru. Deteksi dini mungkin
akan menuntun pada terapi yang tepat sebelum diagnosis pasti ditentukan dengan
kultur bakteri, dan deteksi dari cavitas mungkin akan dapat memprediksi dari
prognosis pasien. Terlebih lagi, persamaan antar pengamat berdasarkan temuan
DTS adalah dari moderate hingga sangat baik dan superior dibandingkan dengan
temuan radiografik.
18