teori sosiologi modern
-
Upload
omarpedjaabimayu -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of teori sosiologi modern
Emile Durkheim
Disusun Oleh :Kelompok 12
1. Claudya Novita (07101002025)
2. Dewi Handayani (07101002001)
3. Pertiwi Tya Permana (07101002029)
4. Putri Oktarina (07101002077)
Jurusan : Sosiologi
Mata kuliah : Teori Sosiologi
Klasik
Dosen Pengasuh : Faisal Nomaini
S.Sos, M.SI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Sriwijaya Inderalaya
Tahun Ajaran 2011-2012
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji kami panjatkan kepada Allah yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat-Nya, saya berhasil
menyelasaikan makalah saya tentang Emile Durkheim.
Makalah yang kami susun ini merupakan kutipan dari
beberapa sumber seperti buku-buku pengantar dan surat
kabar di internet yang saya rangkum menjadi sebuah bentuk
tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat memahami
bahwa perlunya kita mengetahui permasalahan di masyarakat
khususnya tentang Emile Durkheim yang dari tahun ketahun
menjadi sorotan di berbagai media massa.
Akhir kata kami berharap makalah ini menjadi
inspirasi yang baru untuk karya-karya selanjutnya dan
dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan
informasi tentang Emile Durkheim. Mohon maaf bila dalam
2
makalah ini terdapat kekurangan, oleh sebab itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Inderalaya, Oktober 2011
Tim Penulis
Daftar Isi
Kata
Pengantar........................................
....................................... 2
Daftar
Isi..............................................
.......................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
3
I.1 Latar
Belakang.........................................
....................... 4
I.2 Rumusan
Masalah..........................................
.................6
I.3 Kerangka
Berpikir.........................................
.................. 7
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Teori dan Gagasan…………………………………….. 8
II.2 Pendidikan……………………………………………..10
II.3 Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas……………………
11
BAB III
PENUTUP..........................................
................................ 15
4
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
David Emile Durkheim merupakan salah seorang pemikir
sosiologi yang memiliki beberapa karya besar sepanjang
sejarah. Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang
terletak di Lorraine pada tanggal (15 April 1858 - 15
November 1917) pada umur 59 tahun) dikenal sebagai salah
satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas
sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895,
dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan
kepada ilmu sosial, L'Année Sociologique pada 1896.
Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh -
ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri
5
sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya
dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan
berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun
demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya
- banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama
Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia
masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya
adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19
dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan
Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam
kehidupan intelektual Prancis. Di ENS, Durkheim belajar
di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik,
yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia
membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer.
Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap
masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik
pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem
akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu
sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu
kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat
kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian
agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam
pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.Minat
Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh
politik. Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga
didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang
Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap
6
pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang
menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik
sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali
kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa.
Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam
posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang
membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894
hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak
mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di
Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama
setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang
saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang
pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan
ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari
posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis
dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam
kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi
moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata
membuat ia banyak dikritik. Tahun 1890-an adalah masa
kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian
Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang
hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895
ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah
manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan
bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan
Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada
1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk
7
menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari
kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan
(ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok
mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan
akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah
studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana
bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk
memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi
profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas
Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk
mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini
memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-
kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun
pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus,
untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim
memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia
secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya
menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu
pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-
bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis
terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu
patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan
bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi
datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak
terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk
8
mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat
mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk
tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana
(ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia
sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini
berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa
yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer,
dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan
mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim
sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang
tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat
terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja,
sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan
meninggal pada 1917.
I.2 Rumusan MasalahDalam makalah ini maka dapat dirumuskan suatu
masalah:
9
I.3 Kerangka BerpikirDari uraian kehidupan Emile Durkheim diatas kami
tertarik untuk menelaah lebih dalam lagi pemikiran-
pemikiran Durkheim selain itu kami melihat spirit
minoritas yang positif yang membangun teori dan landasan
yang dianut 4 oleh Emile Durkheim.maka dari itu kami
berusaha menghimpun data-data yang valid dan sesuai
dengan materi di atas agar kita dapat mengetahui
bagaimana Emile durkheim membangun teori dalam karya-
karya nya.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana
masyarakat dapat mempertahankan integritas dan
koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar
belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi.
Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat
modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu
pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial yang
sampai sekarang dikenal dengan nama Sosiologi. Durkheim
memberikan definisi sosiologi sebagai suatu ilmu yang
mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang
mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang
berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut
memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu
orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat
berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada
fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan
10
dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak
dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih
daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi
berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan
perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-
tindakan dari setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap
"fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk
menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan
yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang
independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada
Emile Durkheim. Tindakan-tindakan individu yang membentuk
masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta
sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi
masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Teori dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana
masyarakat dapat mempertahankan integritas dan
koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar
11
belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi.
Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat
modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu
pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial.
Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang
pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai
bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang
mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal
sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih
daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi
berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan
perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-
tindakan dari setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap
"fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk
menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan
yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang
independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada
tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan
hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya
daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap
iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”
(1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial
12
dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia
memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti
bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional
dan masyarakat modern [1] . Para penulis sebelum dia
seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies
berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan
organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang
sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan
cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan
rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan
teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial,
evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia
berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional
bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa
setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai
banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya
mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat
dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya,
pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan
solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda
dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan
ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya,
karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan
mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’,
misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang
swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan
13
pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang
'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus
mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam
produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll)
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian
kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah
bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang
berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah
berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu
masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem
hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki
solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif:
pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan
terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran
kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu
bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas
organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan
untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas
normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin
meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu
kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat
yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya
mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur
perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari
14
keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku
menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie
dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam
bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di
antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan
bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang
Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih
rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat
keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka,
yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi
sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat
menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat
yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya
integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak
terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri
sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi
menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi
beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat
Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal,
sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang
rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori
kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis
yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya
tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam
buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari
Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi
15
Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua
karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan
mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian
manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis'
(meminjam ungkapan Durkheim)
II.2 Pendidikan
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal
ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan
untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk
menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-
tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas
mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada
bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan
kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular
bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan
tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan
inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok
profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas
bagi orang-orang dewasa.
Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak
fungsi:
1) Memperkuat solidaritas sosial
16
Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan
hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang
individu merasa tidak berarti.
Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian
dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi
kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2) Mempertahankan peranan sosial
Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur.
Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang
sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang
muda untuk memenuhi berbagai peranan.
3) Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok
kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan
sesuai dengan kecakapan mereka.
II.3 Bunuh Diri, Agama, dan MoralitasBagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam
bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic
suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan
penyimpangan perilaku seseorang. Bagaimana bunuh diri itu
terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem,
disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi
di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan
menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Di sinilah,
17
begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi
seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan
yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial dari
agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual,
yang kesemuanya merupakan fenomena religius yang dihadapi
manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya
’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak
suci’ (profane) yang pemisahan antara keduanya
menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang
dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam
agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada
yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif.
Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang
merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia
(juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas
ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma)
dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan
dalam berinteraksi
Menelusuri Bunuh Diri: Empat Skenario Durkheim
Sebagai seorang sosiolog, Durkheim meletakkan faktor
sosial sebagai elemen penting pendorong orang bunuh diri.
Oleh karena itu ia menarik kesimpulan: apabila orang
melakukan bunuh diri, maka pemicunya takkan jauh dari
faktor komunitas dan stabilitas sosial.
Empat tipe bunuh diri menurut Durkheim
18
1. Diri Egoistis Skenario Bunuh Diri I — Bunuh
Skenario pertama menurut Durkheim adalah bunuh diri
egoistis. Dalam hal ini orang melakukan bunuh diri karena
ia merasa terpisah dari masyarakat. Orang macam ini
menjalani hidupnya cenderung menyendiri, sebab memang dia
tidak punya ikatan yang kuat ke masyarakat. Ibaratnya
seperti layang-layang putus: dia hidup dengan mengacu
cuma dirinya sendiri (“ego-is”). Orang yang detached dari
masyarakat ini cenderung bertindak soliter. Akan tetapi
sebenarnya, itu mengingkari hakikat manusia sebagai
makhluk sosial. Perlahan-lahan ia akan mengalami tekanan
batin — hal yang, sebagaimana bisa ditebak, bisa berujung
ke bunuh diri. Dalam hal ini Durkheim menyorot bunuh diri
sebagai sarana pelarian. Orang yang tercerabut dari
masyarakat mengabaikan kecenderungan sebagai makhluk
sosial, maka dia menderita. Akan tetapi ia tidak punya
alasan untuk tinggal di dunia — dirasanya tidak ada orang
yang akan sedih atau kecewa jika dia meninggal. Oleh
karena itu orang jenis ini mudah terdorong mengakhiri
hidupnya sendiri.
2. Skenario Bunuh Diri II — Bunuh Diri Altruistik
Berbeda dengan sebelumnya, yang satu ini terjadi
karena rasa sosial yang kuat, dan umumnya berkonotasi
positif. Orang yang melakukan bunuh diri altruistik
dianggap telah berkorban untuk kepentingan orang lain.
Sedemikian hingga pengorbanannya jadi nilai plus
tersendiri.
19
Contoh yang bagus di sini adalah orangtua yang
mengorbankan diri untuk keselamatan anak. Namanya orang
tua, sudah pasti tidak ingin anaknya terluka. Katakanlah
misalnya sang anak hendak tertabrak mobil, maka orangtua
akan mendorong anak supaya menjauh. Akan tetapi justru
ini mengakibatkan orangtua tertabrak dan meninggal —
secara teknis orangtua telah bunuh diri, akan tetapi,
bunuh diri di sini dipandang sebagai suatu kemuliaan.
Seorang yang melakukan bunuh diri altruistik adalah orang
yang bunuh diri untuk kepentingan orang lain atau
masyarakat. Dalam kasus ekstrem misalnya pilot Kamikaze
atau aktivis bom bunuh diri. Biarpun tahu akan tewas,
mereka percaya pengorbanannya tidak sia-sia — dan
masyarakat yang dibela pun menghormati. Pada akhirnya
bunuh diri di sini jadi bersifat utilitarian dan
pragmatis.
3. Skenario Bunuh Diri III — Bunuh Diri Anomik
Manusia adalah makhluk yang menginginkan kontrol.
Orang pada umumnya gentar menjalani hidup yang tidak
pasti. Oleh karena itu, diusahakan agar hidup dapat
dikontrol untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai contoh,
orang bekerja untuk mendapatkan keamanan finansial
(kontrol keuangan). Sama halnya dengan orang membangun
rumah untuk mengamankan dari marabahaya — umpamanya
perampok atau hewan liar (= kontrol keselamatan diri).
Problemnya adalah ketika kontrol yang biasa dimiliki
itu tiba-tiba hilang. Dalam sekejap rasa aman yang sudah
20
dibangun hancur berantakan. Di sini akan timbul sebuah
gejala psikologis yang disebut anomi, rasa gentar di
mana orang takut tidak mampu mengatur jalan kehidupannya.
Tanpa kemampuan regulasi orang merasa tidak berdaya. Di
sinilah kecenderungan untuk bunuh diri itu mengintai.
Anomi terjadi manakala orang tak siap menghadapi
perubahan sosial. Sebagai contoh orang yang mengalami post-
power syndrome. Dia yang sebelumnya berpangkat mendadak tak
punya orang untuk disuruh. Pada akhirnya dia terjangkit
stress. Begitu pula dengan veteran perang yang mengalami
PTSD, atau orang kaya yang mendadak jatuh miskin. Pada
dasarnya orang yang tak siap menerima perubahan
berpotensi terkena anomi. Dan dari situ, jadi cenderung
terdorong untuk mengakhiri hidup. (cf: bunuh diri
egoistis di skenario I)
4. Skenario Bunuh Diri IV — Bunuh Diri Fatalistik
Yang terakhir adalah skenario bunuh diri keempat,
yakni bunuh diri fatalistik. Durkheim menyebut bunuh diri
fatalistik ini sebagai kebalikan bunuh diri anomik dalam
artian, hidup orang dikacaukan regulasi eksternal yang
ketat. Orang yang melakukan bunuh diri fatalistik pada
umumnya adalah orang yang merasa kalah dalam hidup.
Setiap kali dia berusaha, selalu gagal. Cita-citanya
untuk maju selalu terhambat; ke mana pun dia pergi selalu
dihantui nasib buruk. Singkat cerita orang ini merasa
bahwa dunia selalu kejam padanya. Sebab memang menurutnya
semua yang dialami buruk-buruk terus.
21
Dalam hal ini orang tersebut telah mengambil posisi
fatalistik. Ia tidak lagi hendak berusaha, melainkan
menyerahkan saja apa yang akan terjadi nanti. Dia
memiliki ekspektasi buruk pada dunia. Oleh karena itu
orang jenis ini jadi terdorong untuk pergi saja — dengan
kata lain, mengakhiri hidup di dunia yang kejam. Ada
banyak contoh orang yang melakukan bunuh diri fatalistik.
Barangkali kalau boleh dibilang, hampir semua orang bunuh
diri yang masuk berita melakukan bunuh diri jenis ini.
Menyerah pada himpitan ekonomi; menyerah karena tak
kunjung tamat kuliah; atau lain sebagainya. Kasar-
kasarnya: orang yang sudah menyerah dalam hidup jadi
terdorong untuk bunuh diri; dia ingin secepat mungkin
mengakhiri penderitaannya.
BAB III
PENUTUP
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya
agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai
penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur
esensial dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma,
dan ritual, yang kesemuanya merupakan fenomena religius
yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang
sifatnya ’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang
sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara
keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius
22
yang dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam
agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada
yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif.
Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang
merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia
(juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas
ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma)
dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan
dalam berinteraksi.
23