sosiologi korupsi 1.
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of sosiologi korupsi 1.
KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER EKONOMI:Sebuah Telaah Kritis Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar FISIP Universitas Haluoleo)
Kertas Kerja Dalam Kegiatan Kursus Advokasi UntukMahasiswa SULTRA, Minggu 16 Oktober 2011
Prolog. Prinsip-prinsip ekonomi tradisional
berkembang lebih jauh menuju ilmu ekonomi politik dan
ekonomi kelembagaan yang melampaui lingkup ilmu ekonomi
konservatif, adalah menggeliat seiring dengan dinamika
sosial dan perubahan budaya dengan berbagai
problematikanya, termasuk yang paling liberal sekali pun
sulit untuk menolak kehadiran peran negara di dalam
kehidupan sosial yang sangat tergantung pada peranan
pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi
swasta. Dan peran negara menjadi lebih penting lagi
ketika banyak ahli ekonomi percaya bahwa pasar tidak bisa
menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sehingga
intervensi diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan
pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan
dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan sosial.
1
Dengan demikian, peluang peran ilmu ekonomi politik
kian urgen sehingga dibutuhkan varian teoritis sebagai
instrument yang mampu menerangkan fakta sosial secara
multidimensionalitas dalam upaya memahami kehidupan
ekonomi yang integral dan interdependen dengan berbagai
bidang kehidupan sosial lainnya.
EKONOMI POLITIK: Varian Konseptual
Pada awalnya, ilmu ekonomi tradisional tampak belum
melakukan pembahasan intensif tentang peranan ekonomi
negara. Upaya ke ranah konvergensi dan konfigurasi
tentang masalah ini baru muncul setelah beberapa ahli
ekonomi kontemporer (ekonomi politik dan kelembagaan)
seperti Joseph Stiglitz, George Stigler, Miltion Friedman
dan ekonom lainnya secara lebih holistik membahas peranan
ekonomi negara yang terkait dengan aspek sosial, hukum
dan politik.
Sejumlah ahli lain sebenarnya telah mencoba berupaya
mensinergikan antara politik dan kebudayaan. Kalau
penekan dan pendekatan politik dikembangkan oleh Daniel
Lev dan William Liddle, maka segi kultural digagas oleh
Anderson dan Taufik Abdullah. Sementara dari kedua
konteks tersebut dipadukan oleh Sartono Kartodirdjo
(Siahaan, 1995). Tentu saja ide-ide cerdas dari para ahli
2
tersebut sangat membantu para pengamat politik dan
pemerhati ekonomi dalam memahami kejadian, perkembangan,
dan perubahan sosial politik serta sosial ekonomi di
Indonesia.
Lebih membumi lagi bahwa diagnosis krisis ekonomi
politik yang antara lain dikemukakan oleh H. Denis, J.
Marshal dan H. Guitton di awal tahun 50-an memungkinkan
kita untuk kembali pada masalah-masalah utama dalam
perdebatan dan pertentangan yang kemudian menyebabkan
ditinggalkannya model keseimbangan umum Walras yang
diilhami oleh model ilmu fisika Newton. Perdebatan itu
antara lain membahas masalah penolakan kesatuan
metodologi dengan ilmu pengetahuan alam dan masalah
pencarian kesatuan metodologi baru antara Ekonomi Politik
dan Sejarah dan Sosiologi (Sugihardjanto, 1995).
Sementara itu, di tengah konstalasi Bangsa Indonesia
selama kurun waktu Orde Baru, pembangunan tampak
dikendalikan oleh dua kekuatan intelektual dominan yaitu
kelompok ekonom dan kelompok teknolog. Kelompok ekonom
tampil ke depan ketika Orde Baru mulai menjalankan
reformasi ekonomi pada tahun 1970-an, sehingga
pertumbuhan ekonomi, efisien, produktivitas, dan
keunggulan komparatif, merupakan pokok-pokok masalah yang
lazim terdengar dalam perbincangan sehari-hari. Namun
3
ketika memasuki awal 1990-an tampaknya peran ekonom mulai
sedikit tergeser. Pembicaraan tentang efisiensi atau
keunggulan komparatif mulai jarang terdengar, sehingga
pembicaraan baru yang kerapkali terlontar adalah seperti
nilai tambah, teknologi canggih, industri strategis,
lompatan ke depan, dan sumberdaya manusia yang digulirkan
oleh kaum teknolog.
Namun bagi Arif Budiman, bahwa kedua ”nomik”
tersebut, yakni Widjojonomic dan Habibienomic adalah
sekedar ganti kesing karena isi dalamnya adalah sama-sama
berintikan kapitalisme. Kalau aliran pemikiran
Widjojonomic alias pemikiran sang ekonom Widjojo
Nitisastro dan kawan-kawan didasarkan pada usaha untuk
mengembangkan produksi barang yang memiliki keunggulan
komparatif, sehingga laris di pasaran. Maka Habibie sang
teknolog beranggapan lain bahwa kita harus menciptakan
industri berteknologi tinggi yang memepunyai nilai tambah
besar. Hanya dengan cara ini kita bisa terlepas dari
cengkraman kekuatan ekonomi dunia. Lebih jauh, kita akan
berparang sebagai salah aktor kekuatan ekonomi global.
Untuk tujuan ini maka ada dua hal harus dilakukan.
Pertama, mendidik tenaga teknolog yang handal untuk
menguasai teknologi canggih. Kedua, mendirikan industri
4
dengan teknologi tinggi untuk merebut sebagian pangsa
pasar dunia.
Tampaknya pandangan Peter Drucker lebih relevan
dengan kondisi Bangsa Indonesia kini. Menurutnya, kini
negara tidak lagi menjadi satu-satunya pusat kekuatan
(center of power). Berbagai kekuatan lain dari organisasi
politik dan ekonomi yang kian pluralistis dan menekan.
Meskipun bagi Herbert Spencer sebagai ahli ekonomi
liberal adalah termasuk sebagai salah seorang ahli yang
menyangsikan peranan negara di dalam kegiatan ekonomi.
Demikian pula Hayek sebagai ahli ekonomi menandaskan
bahwa di dalam ekonomi pasar negara tidak sangat layak
(incompetence) untuk terlibat di dalam ekonomi secara
langsung, dan bahkan Hayek menolak sama sekali peranan
negara di dalam kehidupan ekonomi.
Namun betapapun para ahli tersebut cenderung
antitesis atas campur tangan negara dalam kegiatan
ekonomi, tetapi beberapa bidang kegiatan ekonomi tertentu
harus digarap dan dan ditangani secara monopolistik.
Misalnya produksi komoditi persenjataan strategis yang
harus ditangani langsung oleh negara agar masyarakat
terhindar dari upaya perebutan kelompok kepentingan.
Meskipun tetap diakui bahwa sampai saat ini masih
5
terdapat perbedaan mendasar tentang tingkat keterlibatan
pemerintah di dalam kegiatan ekonomi.
Para ahli ekonomi kesejahteraan (welfare economics)
menilai bahwa pareto optimum dapat dicapai jika dasar-dasar
sistem ekonomi pasar diterapkan dalam iklim yang
kondusif. Tetapi di dalam kenyataan kita melihat bahwa
pasar tidak bekerja sempurna untuk segala keadaan dan
situasi. Pada bidang-bidang tertentu di mana pasar tidak
bekerja sempurna, maka negara lagi-lagi harus tampil
memainkan peranannya agar sistem ekonomi terjaga
kelangsungannya. Di sinilah negara memainkan peranan
khususnya yang suportif. Selain itu menurut Stigler,
negara harus juga dijaga dari rongrongan kelompok
kepentingan (vested interest).
KAPITALISME NEOLIB: Spilis...?
Tampaknya, di tengah pergumulan pemikiran yang amat
panjang nan melelahkan itu, sekonyong-konyong menjelmah
sebuah gerakan lagi yang nota bene beraliran ”Spilis”.
Jika demikian, jangan sampai memang, semua gebrakan
kelompok sosial, termasuk dalam konteks politik dan
ekonomi, juga nota bene sesat ? Wah gawat nih...’
Libidoisme. Jean Francois Lyotard menggambarkan
sebuah sistem ekonomi ekstasi yaitu sebuah sistem ekonomi
6
(dan kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari
kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar
yang disebutnya sebagai ekonomi libidio: manfaatkanlah
potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu
tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan petontonkan
sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan,
kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah
perputaran modal.
Takkala di suatu sistem ekonomi, kapital mengapung
dan berputar secara bebas tanpa batas, takkala apapun
dilakukan, dipertontonkan, diproduksi, dikomsumsi,
digunakan demi perputaran uang dan spiritual, maka di
dalam sistem seperti ini orang akan tenggelam dalam ekstasi
perputaran uang (gaya hidup jet set, selebritis, judi,
undian, lotre, kuis).
Di dalam sistem ekonomi komoditi sebuah komoditi
mendapatkan nilai tukarnya sesuai dengan nilai material,
jasa, keterampilan atau intelektual yang dikeluarkan pada
proses produksinya. Di dalam sistem ekstasi, judi,
undian, lotre dan kuis, uang mengalir deras dan bebas
bukan mengikuti hukum nilai tukar melainkan hukum nilai
keberuntungan. Lihat misanya ekstasi perputaran uang dalam
acara televisi ”Ayo Tebak” atau ”Jari-jari” . sebuah
pernyataan ”siapakah nama asli McGyper? Bisa berharga Rp.
7
2,5 juta atau 2.000 kali upah harian seorang buruh
bangunan. Atau pertanyaan ”Apa senjata yang digunakan
tokoh Callaghan dalam film The Enforce?” bisa bernilai Rp.
5 juta, lima bulan gaji seorang peneliti di universitas.
Di sinilah uang tak lagi berfungsi seperti disebutkan
Marx sebagai ”sistem representasi nilai makna” ekonomi”,
melainkan sebagai sebuah ”sistem penampakan tanpa makna”
yang merupakan perpanjangan tangan dari sistem ”bujuk
rayu”, ekonomi masyarakat konsumer.
Ekonomi disemarkan dengan gairah-gairah,
keterpesonaan dan ekstasi demi kelancaran mengalirnya
perputaran uang. Di dalam ekstasi perputaran uang ini
setiap orang dapat menikmati ampas komoditi berupa hadiah
kuis, bonus. Kuis, bonus adalah bentuk ekstasi perputaran
komoditi dan barang sebagaimana pelacuran, fornograpi,
cyber porno dan seks bebas adalah bentuk ekastasi
sirkulasi seks.
Premanisme. Sungguh-sungguh mengagungkan ajakan
pertobatan individu dan pertobatan kolektif yang
diajarkan dan dihimbaukan oleh John Perkins, sebagai
orang yang merasa paling amat sangat berdosa atas upaya
”pemiskinan strategis” terhadap manusia dan masyarakat
yang menghuni bumi dunia ketiga. Tak bisa bisa
dibayangkan, kalau sekiranya seluruh komponen masyarakat,
8
terutama kaum elite sosial dunia ketiga mempunyai
kesadaran setingkat dengan John Perkins. Maka, sudah
pasti, tidak ada perbedaan persepsi dan tindakan kita
terhadap kehadiran BUSH sang”manusia maniak perang” dan
”si-anak emas yahudi” itu.
Betapa menakjubkan, ajakan John Perkins kepada anak-
anak bangsa di dunia ketiga untuk melakukan hal yang
sama, sebagaimana yang dia telah lakukan secara jujur,
berani dan transparan. Meskipun ikhwal itu merupakan
status position yang empuk dan beresiko nyawa bagi diri dan
keluarganya, ketika hendak mencampakkan dan mengekspose
tangan jahilnya di masa lalu. Betapa tidak, John Perkins
mengajak kita untuk melakukan sebuah pengakuan
(confessions) atas kesalahan dan kezhaliman yang kita
abaikan dan menumpulkan nurani kita selama ini.
Menurutnya, mengakui sebuah kesalahan adalah awal
dari solusi dan mengakui sebuah dosa besar adalah awal
dari keselamatan. Itulah fatwa kontemporer dan
spektakuler dari seorang ekonom yang amat patut direnungi
oleh siapapun, terutama bagi mereka yang telah dimanahi
sebuah tugas dan tanggung jawab masa depan atas
kesinambungan hidup masyarakat, bangsa dan negara
tercinta ini.
9
Tak bisa dibayangkan, jenis kebahagian apa gerangan
yang kelak menjelmah, ketika semua elite dalam berbagai
kapasitasnya masing-masing, yang selama ini secara
langsung (sadar) dan tidak langsung (tidak sadar)
bertindak sebagai pendekar Hit Man (Baca: preman picisan).
Misalnya, ”pejabat Hit Man”, ”akademisi Hit Man”, dan
bahkan mungkin menjadi ”Ustadz/Kiyai Hit Man”. Maka besar
dugaan, kita akan kesulitan bertemu dengan ”rakyat
pengemis”, ”pengusaha pengemis”, ”penguasa pengemis”,
”legislator pengemis” dan ”ulama/pendeta pengemis” dan
lain sebagainya. Sebaliknya, kita akan bangga serta kagum
menyaksikan bangkitnya kaum pendekar yang berjurus
handal, mumpuni, dan sakti mandrguna serta mandiri dan
percaya diri.
Paling tidak, menurut bayangan dan harapan Yudho
Pedyanto bahwa dengan kesadaran dan pertobatan kolektif,
kelak mengemuka serangkaian buku-buku sebagai efek domino
dari Confessions of Economic Hit Man ini. Apakah itu Confessions
of, yang merupakan pengakuan dari para pemimpin dan
birokrat korup yang mengabaikan kepentingan warga
negaranya dan melayani kepentingan korporasi-kapitalisme.
Atau Confessions of, yang merupakan pengakuan dari para
ustadz/kiyai yang menjadikan agama Islam sebagai alat
legitimasi kepentingan kapitalisme, liberalisme, dan
10
sekularisme. Atau siapapun yang selama ini melakukan
”pembodohan terselubung” yang terus-menerus
mengetengahkan Islam hanya sebatas dimensi moral dan
spiritual semata, tanpa pernah melakukan pencerdasan dan
penyadaran terhadap aspek politik-ideologi Islam.
Mampukah ikhwal ini kita mulai ? Tentu saja bukan soal
mampu dan tidak mampu. Akan tetapi, adakah niatan kita
(Baca: political will) untuk mengembangkan gebrakan kesadaran
revolusioner ala John Perkins ?
Pragmatisme. Dalam konteks ini, perkenankan saya
mengambil dua pandangan representatif dalam deru debu
pragmatism pasca reformasi. Pertama, Saiful Mujani
menyayangkan dan bahkan amat terkesan menyesalkan atas
perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau disertai
dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena
menurutnya, para calon kepala daerah pada umumnya
mengeluarkan biaya sangat besar untuk melakukan serangan
fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon
pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Maka
amat mudah diterka bahwa ketika menang, kandidat akan
mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah
mereka keluarkan plus labanya. Pasalnya, mungkinkah gaji
seorang gubernur, bupati, atau walikota mencapai miliaran
rupiah dalam lima tahun, sehingga modal pilkada dan
11
labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu korupsi
adalah satu-satunya cara mengembalikan modal tersebut
Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci mengekspos
ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak
awal dalam upaya pencarian dukungan partai yang terkesan
berbelit-belit, karena tidak diatur dalam undang-undang,
sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS.
Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp
300 juta-Rp 500 juta. Sementara untuk calon gubernur
disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya saksi
pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk
sekadar uang makan dua orang saksi. Sudah pasti, kalau
sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000 TPS, maka si
calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80
juta - Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10
untuk calon gubernur.
Memang betul, sebagaimana juga ditandaskan oleh
kedua pengamat tersebut bahwa betapa.sulit dibayangkan
kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak
berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk
duduk dikursi itu. Lebih celaka lagi - kata Karni Ilyas -
kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para
kontraktor atau supplier daerah. Sudahlah, yang pasti,
tiada orang yang dibiarkan tidak bertanggung jawab. Tak
12
pelak lagi, di Mahkamah Ilhiah nanti, takkan berfungsi
kelincahan, kelicikan dan kelihaian kita sekalian
KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF EKOPOL
Secara substantif, pandangan atas kemiskinan yang
berkembang di Indonesia tampak dalam dua bentuk “school of
thought”, yakni dalam pandangan pakar dan LSM serta dalam
pandangan pejabat. Bagi kaum pakar dan kalangan aktivis
LSM bahwa kemiskinan terjadi sebagai akibat dari campur
tangan yang terlalu luas dari negara terhadap kehidupan
masyarakat, terutama pada masyarakat perdesaan.
Menurutnya, orang miskin mampu membangun diri mereka
sendiri, jika pemerintah mau memberi kebebasan untuk
mengatur diri mereka sendiri. Sementara dalam lensa
pandang pejabat bahwa kemiskinan itu bersumber dari
masalah budaya, sehingga orang menjadi miskin karena
faktor etos kerja yang lemah, tidak memiliki jiwa
wiraswasta dan berpendidikan rendah.
Namun demikian, menurut Lukman Soetrisno (1995)
bahwa kedua pandangan tersebut masih merupakan kategori
pandangan dari luar. Keduanya belum berupaya memahami
inti dari masalah kemiskinan dari pandangan kelompok
miskin itu sendiri. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi
di masa Orde Baru, sehingga pengetahuan lokal (local
13
knowledge) dimaksud C. Geertz beserta kearifan-kearifan
sosial sebagai mutiara orang-orang terdahulu mengalami
degradasi secara fundamental.
Pada tingkat unit analisis, menurut Yeremias T.
Keban (1995) terdapat 4 (empat) kerangka teori yang
berpengaruh. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai produk
kegagalan individu dan sikap yang menghambat niat untuk
memperbaiki nasib. Perspektif ini diambil dari perkiraan
banfield.
Kedua, kemiskinan merupakan akibat dari adanya
kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan tersebut meliputi
sistem kepercayaan fatalistik, kurang mampu mengandalkan
diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu
menunda kenikmatan, atau gagal dalam merencanakan masa
depan dan kurang mampu mengandalkan peluang-peluang yang
ada. Prespektif ini didasarkan atas karya Oscar Lewis.
Ketiga, kemiskinan merupakan akibat dari kurang
tersedianya kesempatan (lack of opportunity) untuk maju, dan
seseorang menjadi miskin karena kurang memiliki
keterampilan atau pendidikan tertentu. Pemikiran tersebut
didasarkan atas karya Campbell dan Burkhead.
Keempat, kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang
Karl Marx, yakni kemiskinan merupakan akibat dari ulah
kaum kapitalis dalam masyarakat melalui proses
14
eksploitasi. Perspektif mana yang diduga sesuai dengan
kondisi obyektif warga masyarakat kita ???
Perspektif pertama dan kedua cenderung digolongkan
kedalam kelompok konservatif karena selalu
mengkambinghitamkan kaum miskin sebagai sumber
kemiskinan. Kedua pandangan ini diklasifikasi ke dalam
paradigma “kulturalis”. Perspektif ketiga dianggap sebagai
pencerminan dari aliran liberal karena mereka melihat
bahwa kemiskinan berasal dari ketidak mampuan struktur
yang ada dalam masyarakat. Sementara pandangan keempat
berusaha memojokkan kaum kapitalis sebagai penyebab
kemiskinan ini, sehingga disebut sebagai aliran radikal.
Kedua pandangan terakhir ini dikelompokkan ke dalam
paradigma “strukturalis”.
NEGARA DAN STRUKTUR EKOPOL YANG TIDAK ADIL
Dalam konteks kepemilikan tanah atau lahan
pertanian dan perkebunan, seolah kita tidak asing lagi
dengan konsep petani yang “kenyang tanah dan petani yang
lapar tanah”, yang mengarah pada ketimpangan struktur
pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang.
Akibatnya, secara khusus bagi mereka yang kategori
“tunakisma” tersebut cenderung bergantung (dependent) dan
bahkan terkesan menjadi budak kepada mereka yang diklaim
15
sebagai pelaku “eksploitasi kapitalisme agraris” (Scott, 1984,
Rajagukguk, 1995, Darman, 1996; Tjondronegoro, 1999).
Tampaknya, eksploitasi agraris dari kaum
kapitalistik yang tampak lebih sistemik di dalam berbagai
aspek kehidupan sosial, terlihat dalam konstalasi
hubungan antara negara dan masyarakat, terutama yang
selama ini berlangsung di dunia ketiga. Paling tidak, hal
ini dapat ditelusuri melalui tiga teori, yakni, teori
ketergantungan, strukturalis semi otonom dan neo klasik
(Salman, 1996).
Pertama, teori ketergantungan mempersepsikan bahwa
Negara ketiga tidak lebih dari perpanjangan tangan atau
kelas komparador kapitalisme internasional, yang melalui
kekuasaan ekonomi negara berkembang di kontrol dan
diarahkan agar mengambil kebijakan pembangunan yang
sesuai dengan keinginan kapitalis internasional, sehingga
kalau negara berkembang ingin lebih mandiri menentukan
kebijakan pembangunannya, ketergantungan tersebut
seyogyanya diputuskan.
Kedua, teori strukturalis semi otonom mempersepsikan
negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom, dimana
negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik
antara berbagai kelompok kepentingan sehingga dengan
16
demikian pembangunan (oleh negara) dapat dipandang
sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi
konflik yang terjadi terutama antara kapital asing,
kapital domestic, dan laipisan bawah masyarakat.
Ketiga, teori neo klasik memandang negara sebagai
pengambil keputusan ekonomi politik yang selalu bersandar
pada pertimbangan dan pilihan mekanisme pasar yang
rasional, dimana kebijakan ekonomi diputuskan berdasarkan
pengaruh faktor teknologi, penduduk, pasar dan pemenuhan
kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga prilaku negara
dianggap berkisar pada pendayagunaan ekonomi nasional
untuk memenuhi tuntutan pasar dan kesejahteraan
masyarakat.
Tampaknya, teori structural semi otonom menjadi lebih
relevan dalam melihat hubungan negara dan petani di era
Orde Baru, karena: (1) teori ini memperlihatkan latar
belakang historis hubungan negara dan masyarakat; (2)
teori ini memberi tempat bagi konflik dalam eksistensi
negara dimana negara memperkuat kekuasaannya melalui
peranan menengahi konflik antar berbagai kelompok. (3)
teori ini memperhatikan secara mendalam hubungan dinamis
saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.
17
Peranan Negara dalam dinamika masyarakat petani pada
Orde Baru setidaknya dapat di lihat dalam tiga model
politik pembangunan yang diterapkan dalam kerangka
pengintegrasian kawasan pedesaan kedalam negara.
Pertama, dalam format “pembangunan politik” Orde Baru
menempuh kebijakan “masa mengambang” dimana massa
pedesaan diputuskan hubungannya secara permanen dengan
Partai Politik sehingga praktis sesudah itu massa petani
kehilangan kekuatan politiknya. Kebijakan ini didasari
pengalaman masa pemerintahan orde lama dimana kontrol
negara terhadap masyarakat tani begitu lemah sehingga
massa petani menjadi ajang pertarungan pengaruh dan
dukungan bagi Partai Politik seperti PNI, Masyumi, NU,
dan PKI, Dengan mengasingkan pedesaan dari dunia politik,
Orde Baru dapat menjamin stabilitas politik dan melalui
kontrol dan mobilisasi politik dari bawah yang
dipercayakan kepada aparat negara ditingkat desa.
Kedua, dalam pembangunan pertanian Orde Baru telah
menjalankan Revolusi Hijau melalui adopsi inovasi
teknologi (pupuk sintesis, bibit unggul, dan aplikasi
pestisida) yang ditunjang oleh inovasi kelembagaan
(perkreditan, perkoperasian, kelompok tani dan
Perkumpulan Petani Pemakai Air-P3A) dan perangkat fisik
(irigasi dan jalan tani), dengan target utama pada
18
pencapaian dan pelestarian swasembada beras demi
stabilitas sosial, ekonomi dan politik.
Ketiga, dalam pembangunan desa, negara telah
mengalirkan sejumlah proyek ke pedesaan guna perbaikan
infrastruktur fisik pedesaan (jalan, jembatan, gedung
sekolah, puskesmas, kantor aparat desa dan sebagainya),
atau proyek lainnya seperti “Pengembangan Kawasan
Terpadu” (PKT) dan “Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan
fokus pada pengentasan kemiskinan.
MEMAHAMI KRISIS DARI SISI EKOPOL
Apa tidak lucu menyoal proses penanggulangan
kemiskinan yang menggeliat di tengah eskalasi drama
pemiskinan yang kini aktor-aktrisnya mulai ditelanjangi
di ruang pesakitan Tipikor ? Betapa tidak, bantuan ke-
haribaan “warga komunitas miskin” tertumpah bagai air bah
ke bumi persada. Namun “drama pemiskinan” di lembaga
legislatif, eksekutif, yudikatif dan BUMN, bersenandung
sejak Orba hingga sukses gemilang meraih “prestise negara
terkorup”.
Jika demikian, bukankah ketika kita
menumbuhkembangkan bedah kemiskinan serta upaya-upaya
penanggulangan dengan gaya khas gonta-ganti paradigma dan
19
metodologis, adalah bagian integral dari “geliat
sandiwara” yang tampak signifikan dengan “eskalasi drama
pemiskinan dimaksud ???
Betapa sulit dipungkiri. Pasalnya, ketika kuping
telinga mulai mengiang dan lensa pandang terasa pedas,
karena geliat drama dan sandiwara dana siluman sekaliber
BLBI yang tidak jelas jantrungnya, dana raksasa BI yang
memuncrak kiri-kanan, serta kewajiban royalti pengusaha
batu bara yang contra-productive. Tak pelak lagi, soal
gratifikasi yang mulai mendamprak pejabat/mantan pejabat.
Entah dana siluman apalagi yang kelak menggelegar dan
entah siapa lagi yang bakal terkerangkeng pasca Jaksa
Urip, sehingga nuansa dramatisme kian transparan dan
sandiwara penanggulangan kemiskinan kian sulit
terbantahkan ?
Dalam konteks ini, belum cukupkah gelegar drama
kasus dana siluman tersebut dapat menyadarkan semua
pelaku kemiskinan mulai dari lembah birokrasi yang
bersenjatakan TKPKD hingga pada tataran LSM dengan
berbagai paradigmanya ? Mengapa kita, baik dari kalangan
pemerhati dan pengamat maupun pelaku (TKPKD/P2KP/NUSSP,
dan LSM), masih kepingin bersandiwara menyoal akar
penyebab kemiskinan dalam perspektif kultural ?
20
Mengapa lensa pandang dan kuping telinga kita
terkesan kabur dan tuli dengan duit siluman yang
terhambur di tangan-tangan jahil kaum elite itu? Bukankah
akibat dari “degelan-degelan politik” yang bernafsu
mengumbar hiper-tontonan dengan biaya mahal, adalah
penyebab utama bangsa dan negara tercinta ini berkubang
kemiskinan plus berutang dollar ?
Mungkin demikianlah lucuisme kini saudaraku, karena
kita tetap saja menggeliat menyoal kemiskinan, tanpa
kepingin dipusingkan dengan ikhwal drama pemiskinan yang
nota bene “berwajah malaikat”. “Tau aja lho” - kata sang
kritikus di tempat belanja: “memangnya penjual sayur atau
penjual ikan yang menyebabkan bangsa dan negara tercinta
bernasib malang, suram dan buram?”
Adalah kian marak, ketika analogi drama dan teater dari
Goffman sang ahli sosiologi kontemporer kita coba pinjam
pisaunya untuk membedah proses interaksi sosial yang
mampu menghipnotis penonton. Dan mungkin saja kepala kita
tergeleng-geleng ketika kerangka konseptual ini
direfleksikan ke arena birokrasi dan parlement, dll.
Pasti dech…, di balik interaksi itu akan ditemukan
segumpal kesadaran virtual di lorong-lorong psedou-liberalis,
psedou-demokrasi, dan psedou-welfare.
21
EPILOG
Capek khan, kalau kita terus disuguhi dengan
perdebatan sengit, dan kapan berakhirnya serta apa
manfaatnya ? Apa yang harus dilakukan oleh sebuah bangsa
yang dikitari dengan hutan belantara keterpasungan,
sehingga mampu keluar dari lingkaran setan kehidupan
masyarakat kontemporer ? Ya, menurut guru bangsa Cak Nur
perlu ditumbuhkan “Psychologikal striking force”, supaya bisa
mengemuka ide-ide cerdas dan segar.
Jika demikian, dalam bentuk apa gerangan kekuatan
pamungkas psikologis dimaksud, sehingga kelak menjelmah
pikiran kolektif yang segar dan mencerahkan serta sepakat
untuk menguburkan tindak-tanduk brutalisme dengan berbagai
problematikanya ? Pasalnya, amat sangat dibutuhkan model
pencerahan yang kelak mampu menetralisir virus dan
bakteri akal bulus serta berbagai bentuk kejumudan
lainnya. Namun dalam bentuk apa gerangan ?
Apakah sejenis gerakan-gerakan SiPILIS, agama
beraliran sesat, politik dan ekonomi beraliran sesat dan
para musuh bebuyutannya, ataukah sebuah bengkel ala ESQ
power Ary Ginanjar Agustian yang mampu menghidupkan
“mayat berjalan” yang kebetulan jumlahnya cukup banyak
malang melintang di republik tercinta ini ?
22
Akhirnya, dalam upaya minimalisasi timbulnya
pergolakan dan keresahan, maka amat perlu dinetralisis
berbagai kontradiksi dan ketimpangan serta kesenjangan
ekonomi antara lain melalui politik pemerataan, keadilan
sosial, keseimbangan, dan keterpaduan pembangunan ekonomi
dengan pembangunan di bidang sosial-politik dan
kebudayaan. Demikian pula kesenjangan pertumbuhan ekonomi
antar sektor dan antar daerah perlu dijaga secara
konsisten.
23