sosiologi korupsi 1.

23
KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER EKONOMI: Sebuah Telaah Kritis Dalam Perspektif Ekonomi Politik Oleh Peribadi (Staf Pengajar FISIP Universitas Haluoleo) Kertas Kerja Dalam Kegiatan Kursus Advokasi Untuk Mahasiswa SULTRA, Minggu 16 Oktober 2011 Prolog. Prinsip-prinsip ekonomi tradisional berkembang lebih jauh menuju ilmu ekonomi politik dan ekonomi kelembagaan yang melampaui lingkup ilmu ekonomi konservatif, adalah menggeliat seiring dengan dinamika sosial dan perubahan budaya dengan berbagai problematikanya, termasuk yang paling liberal sekali pun sulit untuk menolak kehadiran peran negara di dalam kehidupan sosial yang sangat tergantung pada peranan pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi swasta. Dan peran negara menjadi lebih penting lagi ketika banyak ahli ekonomi percaya bahwa pasar tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sehingga intervensi diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan sosial. 1

Transcript of sosiologi korupsi 1.

KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER EKONOMI:Sebuah Telaah Kritis Dalam Perspektif Ekonomi Politik

Oleh

Peribadi

(Staf Pengajar FISIP Universitas Haluoleo)

Kertas Kerja Dalam Kegiatan Kursus Advokasi UntukMahasiswa SULTRA, Minggu 16 Oktober 2011

Prolog. Prinsip-prinsip ekonomi tradisional

berkembang lebih jauh menuju ilmu ekonomi politik dan

ekonomi kelembagaan yang melampaui lingkup ilmu ekonomi

konservatif, adalah menggeliat seiring dengan dinamika

sosial dan perubahan budaya dengan berbagai

problematikanya, termasuk yang paling liberal sekali pun

sulit untuk menolak kehadiran peran negara di dalam

kehidupan sosial yang sangat tergantung pada peranan

pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi

swasta. Dan peran negara menjadi lebih penting lagi

ketika banyak ahli ekonomi percaya bahwa pasar tidak bisa

menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sehingga

intervensi diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan

pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan

dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan sosial.

1

Dengan demikian, peluang peran ilmu ekonomi politik

kian urgen sehingga dibutuhkan varian teoritis sebagai

instrument yang mampu menerangkan fakta sosial secara

multidimensionalitas dalam upaya memahami kehidupan

ekonomi yang integral dan interdependen dengan berbagai

bidang kehidupan sosial lainnya.

EKONOMI POLITIK: Varian Konseptual

Pada awalnya, ilmu ekonomi tradisional tampak belum

melakukan pembahasan intensif tentang peranan ekonomi

negara. Upaya ke ranah konvergensi dan konfigurasi

tentang masalah ini baru muncul setelah beberapa ahli

ekonomi kontemporer (ekonomi politik dan kelembagaan)

seperti Joseph Stiglitz, George Stigler, Miltion Friedman

dan ekonom lainnya secara lebih holistik membahas peranan

ekonomi negara yang terkait dengan aspek sosial, hukum

dan politik.

Sejumlah ahli lain sebenarnya telah mencoba berupaya

mensinergikan antara politik dan kebudayaan. Kalau

penekan dan pendekatan politik dikembangkan oleh Daniel

Lev dan William Liddle, maka segi kultural digagas oleh

Anderson dan Taufik Abdullah. Sementara dari kedua

konteks tersebut dipadukan oleh Sartono Kartodirdjo

(Siahaan, 1995). Tentu saja ide-ide cerdas dari para ahli

2

tersebut sangat membantu para pengamat politik dan

pemerhati ekonomi dalam memahami kejadian, perkembangan,

dan perubahan sosial politik serta sosial ekonomi di

Indonesia.

Lebih membumi lagi bahwa diagnosis krisis ekonomi

politik yang antara lain dikemukakan oleh H. Denis, J.

Marshal dan H. Guitton di awal tahun 50-an memungkinkan

kita untuk kembali pada masalah-masalah utama dalam

perdebatan dan pertentangan yang kemudian menyebabkan

ditinggalkannya model keseimbangan umum Walras yang

diilhami oleh model ilmu fisika Newton. Perdebatan itu

antara lain membahas masalah penolakan kesatuan

metodologi dengan ilmu pengetahuan alam dan masalah

pencarian kesatuan metodologi baru antara Ekonomi Politik

dan Sejarah dan Sosiologi (Sugihardjanto, 1995).

Sementara itu, di tengah konstalasi Bangsa Indonesia

selama kurun waktu Orde Baru, pembangunan tampak

dikendalikan oleh dua kekuatan intelektual dominan yaitu

kelompok ekonom dan kelompok teknolog. Kelompok ekonom

tampil ke depan ketika Orde Baru mulai menjalankan

reformasi ekonomi pada tahun 1970-an, sehingga

pertumbuhan ekonomi, efisien, produktivitas, dan

keunggulan komparatif, merupakan pokok-pokok masalah yang

lazim terdengar dalam perbincangan sehari-hari. Namun

3

ketika memasuki awal 1990-an tampaknya peran ekonom mulai

sedikit tergeser. Pembicaraan tentang efisiensi atau

keunggulan komparatif mulai jarang terdengar, sehingga

pembicaraan baru yang kerapkali terlontar adalah seperti

nilai tambah, teknologi canggih, industri strategis,

lompatan ke depan, dan sumberdaya manusia yang digulirkan

oleh kaum teknolog.

Namun bagi Arif Budiman, bahwa kedua ”nomik”

tersebut, yakni Widjojonomic dan Habibienomic adalah

sekedar ganti kesing karena isi dalamnya adalah sama-sama

berintikan kapitalisme. Kalau aliran pemikiran

Widjojonomic alias pemikiran sang ekonom Widjojo

Nitisastro dan kawan-kawan didasarkan pada usaha untuk

mengembangkan produksi barang yang memiliki keunggulan

komparatif, sehingga laris di pasaran. Maka Habibie sang

teknolog beranggapan lain bahwa kita harus menciptakan

industri berteknologi tinggi yang memepunyai nilai tambah

besar. Hanya dengan cara ini kita bisa terlepas dari

cengkraman kekuatan ekonomi dunia. Lebih jauh, kita akan

berparang sebagai salah aktor kekuatan ekonomi global.

Untuk tujuan ini maka ada dua hal harus dilakukan.

Pertama, mendidik tenaga teknolog yang handal untuk

menguasai teknologi canggih. Kedua, mendirikan industri

4

dengan teknologi tinggi untuk merebut sebagian pangsa

pasar dunia.

Tampaknya pandangan Peter Drucker lebih relevan

dengan kondisi Bangsa Indonesia kini. Menurutnya, kini

negara tidak lagi menjadi satu-satunya pusat kekuatan

(center of power). Berbagai kekuatan lain dari organisasi

politik dan ekonomi yang kian pluralistis dan menekan.

Meskipun bagi Herbert Spencer sebagai ahli ekonomi

liberal adalah termasuk sebagai salah seorang ahli yang

menyangsikan peranan negara di dalam kegiatan ekonomi.

Demikian pula Hayek sebagai ahli ekonomi menandaskan

bahwa di dalam ekonomi pasar negara tidak sangat layak

(incompetence) untuk terlibat di dalam ekonomi secara

langsung, dan bahkan Hayek menolak sama sekali peranan

negara di dalam kehidupan ekonomi.

Namun betapapun para ahli tersebut cenderung

antitesis atas campur tangan negara dalam kegiatan

ekonomi, tetapi beberapa bidang kegiatan ekonomi tertentu

harus digarap dan dan ditangani secara monopolistik.

Misalnya produksi komoditi persenjataan strategis yang

harus ditangani langsung oleh negara agar masyarakat

terhindar dari upaya perebutan kelompok kepentingan.

Meskipun tetap diakui bahwa sampai saat ini masih

5

terdapat perbedaan mendasar tentang tingkat keterlibatan

pemerintah di dalam kegiatan ekonomi.

Para ahli ekonomi kesejahteraan (welfare economics)

menilai bahwa pareto optimum dapat dicapai jika dasar-dasar

sistem ekonomi pasar diterapkan dalam iklim yang

kondusif. Tetapi di dalam kenyataan kita melihat bahwa

pasar tidak bekerja sempurna untuk segala keadaan dan

situasi. Pada bidang-bidang tertentu di mana pasar tidak

bekerja sempurna, maka negara lagi-lagi harus tampil

memainkan peranannya agar sistem ekonomi terjaga

kelangsungannya. Di sinilah negara memainkan peranan

khususnya yang suportif. Selain itu menurut Stigler,

negara harus juga dijaga dari rongrongan kelompok

kepentingan (vested interest).

KAPITALISME NEOLIB: Spilis...?

Tampaknya, di tengah pergumulan pemikiran yang amat

panjang nan melelahkan itu, sekonyong-konyong menjelmah

sebuah gerakan lagi yang nota bene beraliran ”Spilis”.

Jika demikian, jangan sampai memang, semua gebrakan

kelompok sosial, termasuk dalam konteks politik dan

ekonomi, juga nota bene sesat ? Wah gawat nih...’

Libidoisme. Jean Francois Lyotard menggambarkan

sebuah sistem ekonomi ekstasi yaitu sebuah sistem ekonomi

6

(dan kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari

kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar

yang disebutnya sebagai ekonomi libidio: manfaatkanlah

potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu

tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan petontonkan

sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan,

kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah

perputaran modal.

Takkala di suatu sistem ekonomi, kapital mengapung

dan berputar secara bebas tanpa batas, takkala apapun

dilakukan, dipertontonkan, diproduksi, dikomsumsi,

digunakan demi perputaran uang dan spiritual, maka di

dalam sistem seperti ini orang akan tenggelam dalam ekstasi

perputaran uang (gaya hidup jet set, selebritis, judi,

undian, lotre, kuis).

Di dalam sistem ekonomi komoditi sebuah komoditi

mendapatkan nilai tukarnya sesuai dengan nilai material,

jasa, keterampilan atau intelektual yang dikeluarkan pada

proses produksinya. Di dalam sistem ekstasi, judi,

undian, lotre dan kuis, uang mengalir deras dan bebas

bukan mengikuti hukum nilai tukar melainkan hukum nilai

keberuntungan. Lihat misanya ekstasi perputaran uang dalam

acara televisi ”Ayo Tebak” atau ”Jari-jari” . sebuah

pernyataan ”siapakah nama asli McGyper? Bisa berharga Rp.

7

2,5 juta atau 2.000 kali upah harian seorang buruh

bangunan. Atau pertanyaan ”Apa senjata yang digunakan

tokoh Callaghan dalam film The Enforce?” bisa bernilai Rp.

5 juta, lima bulan gaji seorang peneliti di universitas.

Di sinilah uang tak lagi berfungsi seperti disebutkan

Marx sebagai ”sistem representasi nilai makna” ekonomi”,

melainkan sebagai sebuah ”sistem penampakan tanpa makna”

yang merupakan perpanjangan tangan dari sistem ”bujuk

rayu”, ekonomi masyarakat konsumer.

Ekonomi disemarkan dengan gairah-gairah,

keterpesonaan dan ekstasi demi kelancaran mengalirnya

perputaran uang. Di dalam ekstasi perputaran uang ini

setiap orang dapat menikmati ampas komoditi berupa hadiah

kuis, bonus. Kuis, bonus adalah bentuk ekstasi perputaran

komoditi dan barang sebagaimana pelacuran, fornograpi,

cyber porno dan seks bebas adalah bentuk ekastasi

sirkulasi seks.

Premanisme. Sungguh-sungguh mengagungkan ajakan

pertobatan individu dan pertobatan kolektif yang

diajarkan dan dihimbaukan oleh John Perkins, sebagai

orang yang merasa paling amat sangat berdosa atas upaya

”pemiskinan strategis” terhadap manusia dan masyarakat

yang menghuni bumi dunia ketiga. Tak bisa bisa

dibayangkan, kalau sekiranya seluruh komponen masyarakat,

8

terutama kaum elite sosial dunia ketiga mempunyai

kesadaran setingkat dengan John Perkins. Maka, sudah

pasti, tidak ada perbedaan persepsi dan tindakan kita

terhadap kehadiran BUSH sang”manusia maniak perang” dan

”si-anak emas yahudi” itu.

Betapa menakjubkan, ajakan John Perkins kepada anak-

anak bangsa di dunia ketiga untuk melakukan hal yang

sama, sebagaimana yang dia telah lakukan secara jujur,

berani dan transparan. Meskipun ikhwal itu merupakan

status position yang empuk dan beresiko nyawa bagi diri dan

keluarganya, ketika hendak mencampakkan dan mengekspose

tangan jahilnya di masa lalu. Betapa tidak, John Perkins

mengajak kita untuk melakukan sebuah pengakuan

(confessions) atas kesalahan dan kezhaliman yang kita

abaikan dan menumpulkan nurani kita selama ini.

Menurutnya, mengakui sebuah kesalahan adalah awal

dari solusi dan mengakui sebuah dosa besar adalah awal

dari keselamatan. Itulah fatwa kontemporer dan

spektakuler dari seorang ekonom yang amat patut direnungi

oleh siapapun, terutama bagi mereka yang telah dimanahi

sebuah tugas dan tanggung jawab masa depan atas

kesinambungan hidup masyarakat, bangsa dan negara

tercinta ini.

9

Tak bisa dibayangkan, jenis kebahagian apa gerangan

yang kelak menjelmah, ketika semua elite dalam berbagai

kapasitasnya masing-masing, yang selama ini secara

langsung (sadar) dan tidak langsung (tidak sadar)

bertindak sebagai pendekar Hit Man (Baca: preman picisan).

Misalnya, ”pejabat Hit Man”, ”akademisi Hit Man”, dan

bahkan mungkin menjadi ”Ustadz/Kiyai Hit Man”. Maka besar

dugaan, kita akan kesulitan bertemu dengan ”rakyat

pengemis”, ”pengusaha pengemis”, ”penguasa pengemis”,

”legislator pengemis” dan ”ulama/pendeta pengemis” dan

lain sebagainya. Sebaliknya, kita akan bangga serta kagum

menyaksikan bangkitnya kaum pendekar yang berjurus

handal, mumpuni, dan sakti mandrguna serta mandiri dan

percaya diri.

Paling tidak, menurut bayangan dan harapan Yudho

Pedyanto bahwa dengan kesadaran dan pertobatan kolektif,

kelak mengemuka serangkaian buku-buku sebagai efek domino

dari Confessions of Economic Hit Man ini. Apakah itu Confessions

of, yang merupakan pengakuan dari para pemimpin dan

birokrat korup yang mengabaikan kepentingan warga

negaranya dan melayani kepentingan korporasi-kapitalisme.

Atau Confessions of, yang merupakan pengakuan dari para

ustadz/kiyai yang menjadikan agama Islam sebagai alat

legitimasi kepentingan kapitalisme, liberalisme, dan

10

sekularisme. Atau siapapun yang selama ini melakukan

”pembodohan terselubung” yang terus-menerus

mengetengahkan Islam hanya sebatas dimensi moral dan

spiritual semata, tanpa pernah melakukan pencerdasan dan

penyadaran terhadap aspek politik-ideologi Islam.

Mampukah ikhwal ini kita mulai ? Tentu saja bukan soal

mampu dan tidak mampu. Akan tetapi, adakah niatan kita

(Baca: political will) untuk mengembangkan gebrakan kesadaran

revolusioner ala John Perkins ?

Pragmatisme. Dalam konteks ini, perkenankan saya

mengambil dua pandangan representatif dalam deru debu

pragmatism pasca reformasi. Pertama, Saiful Mujani

menyayangkan dan bahkan amat terkesan menyesalkan atas

perilaku rasional pemilih, tidak diikuti atau disertai

dengan perilaku rasional politisi daerah. Karena

menurutnya, para calon kepala daerah pada umumnya

mengeluarkan biaya sangat besar untuk melakukan serangan

fajar serta membagi-bagikan uang atau barang kepada calon

pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Maka

amat mudah diterka bahwa ketika menang, kandidat akan

mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah

mereka keluarkan plus labanya. Pasalnya, mungkinkah gaji

seorang gubernur, bupati, atau walikota mencapai miliaran

rupiah dalam lima tahun, sehingga modal pilkada dan

11

labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu korupsi

adalah satu-satunya cara mengembalikan modal tersebut

Kedua, Karni Ilyas terkesan lebih rinci mengekspos

ongkos pengorbanan para kandidat dimaksud, yakni sejak

awal dalam upaya pencarian dukungan partai yang terkesan

berbelit-belit, karena tidak diatur dalam undang-undang,

sampai pada biaya kampanye dan upah saksi di TPS.

Menurutnya, bagi bupati rata-rata harus menyediakan Rp

300 juta-Rp 500 juta. Sementara untuk calon gubernur

disinyalir 10 kali lipat. Kalau misalnya biaya saksi

pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu untuk

sekadar uang makan dua orang saksi. Sudah pasti, kalau

sebuah kabupaten terdapat sebanyak 800-1000 TPS, maka si

calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80

juta - Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10

untuk calon gubernur.

Memang betul, sebagaimana juga ditandaskan oleh

kedua pengamat tersebut bahwa betapa.sulit dibayangkan

kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak

berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk

duduk dikursi itu. Lebih celaka lagi - kata Karni Ilyas -

kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para

kontraktor atau supplier daerah. Sudahlah, yang pasti,

tiada orang yang dibiarkan tidak bertanggung jawab. Tak

12

pelak lagi, di Mahkamah Ilhiah nanti, takkan berfungsi

kelincahan, kelicikan dan kelihaian kita sekalian

KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF EKOPOL

Secara substantif, pandangan atas kemiskinan yang

berkembang di Indonesia tampak dalam dua bentuk “school of

thought”, yakni dalam pandangan pakar dan LSM serta dalam

pandangan pejabat. Bagi kaum pakar dan kalangan aktivis

LSM bahwa kemiskinan terjadi sebagai akibat dari campur

tangan yang terlalu luas dari negara terhadap kehidupan

masyarakat, terutama pada masyarakat perdesaan.

Menurutnya, orang miskin mampu membangun diri mereka

sendiri, jika pemerintah mau memberi kebebasan untuk

mengatur diri mereka sendiri. Sementara dalam lensa

pandang pejabat bahwa kemiskinan itu bersumber dari

masalah budaya, sehingga orang menjadi miskin karena

faktor etos kerja yang lemah, tidak memiliki jiwa

wiraswasta dan berpendidikan rendah.

Namun demikian, menurut Lukman Soetrisno (1995)

bahwa kedua pandangan tersebut masih merupakan kategori

pandangan dari luar. Keduanya belum berupaya memahami

inti dari masalah kemiskinan dari pandangan kelompok

miskin itu sendiri. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi

di masa Orde Baru, sehingga pengetahuan lokal (local

13

knowledge) dimaksud C. Geertz beserta kearifan-kearifan

sosial sebagai mutiara orang-orang terdahulu mengalami

degradasi secara fundamental.

Pada tingkat unit analisis, menurut Yeremias T.

Keban (1995) terdapat 4 (empat) kerangka teori yang

berpengaruh. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai produk

kegagalan individu dan sikap yang menghambat niat untuk

memperbaiki nasib. Perspektif ini diambil dari perkiraan

banfield.

Kedua, kemiskinan merupakan akibat dari adanya

kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan tersebut meliputi

sistem kepercayaan fatalistik, kurang mampu mengandalkan

diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu

menunda kenikmatan, atau gagal dalam merencanakan masa

depan dan kurang mampu mengandalkan peluang-peluang yang

ada. Prespektif ini didasarkan atas karya Oscar Lewis.

Ketiga, kemiskinan merupakan akibat dari kurang

tersedianya kesempatan (lack of opportunity) untuk maju, dan

seseorang menjadi miskin karena kurang memiliki

keterampilan atau pendidikan tertentu. Pemikiran tersebut

didasarkan atas karya Campbell dan Burkhead.

Keempat, kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang

Karl Marx, yakni kemiskinan merupakan akibat dari ulah

kaum kapitalis dalam masyarakat melalui proses

14

eksploitasi. Perspektif mana yang diduga sesuai dengan

kondisi obyektif warga masyarakat kita ???

Perspektif pertama dan kedua cenderung digolongkan

kedalam kelompok konservatif karena selalu

mengkambinghitamkan kaum miskin sebagai sumber

kemiskinan. Kedua pandangan ini diklasifikasi ke dalam

paradigma “kulturalis”. Perspektif ketiga dianggap sebagai

pencerminan dari aliran liberal karena mereka melihat

bahwa kemiskinan berasal dari ketidak mampuan struktur

yang ada dalam masyarakat. Sementara pandangan keempat

berusaha memojokkan kaum kapitalis sebagai penyebab

kemiskinan ini, sehingga disebut sebagai aliran radikal.

Kedua pandangan terakhir ini dikelompokkan ke dalam

paradigma “strukturalis”.

NEGARA DAN STRUKTUR EKOPOL YANG TIDAK ADIL

Dalam konteks kepemilikan tanah atau lahan

pertanian dan perkebunan, seolah kita tidak asing lagi

dengan konsep petani yang “kenyang tanah dan petani yang

lapar tanah”, yang mengarah pada ketimpangan struktur

pemilikan dan penguasaan tanah yang tidak seimbang.

Akibatnya, secara khusus bagi mereka yang kategori

“tunakisma” tersebut cenderung bergantung (dependent) dan

bahkan terkesan menjadi budak kepada mereka yang diklaim

15

sebagai pelaku “eksploitasi kapitalisme agraris” (Scott, 1984,

Rajagukguk, 1995, Darman, 1996; Tjondronegoro, 1999).

Tampaknya, eksploitasi agraris dari kaum

kapitalistik yang tampak lebih sistemik di dalam berbagai

aspek kehidupan sosial, terlihat dalam konstalasi

hubungan antara negara dan masyarakat, terutama yang

selama ini berlangsung di dunia ketiga. Paling tidak, hal

ini dapat ditelusuri melalui tiga teori, yakni, teori

ketergantungan, strukturalis semi otonom dan neo klasik

(Salman, 1996).

Pertama, teori ketergantungan mempersepsikan bahwa

Negara ketiga tidak lebih dari perpanjangan tangan atau

kelas komparador kapitalisme internasional, yang melalui

kekuasaan ekonomi negara berkembang di kontrol dan

diarahkan agar mengambil kebijakan pembangunan yang

sesuai dengan keinginan kapitalis internasional, sehingga

kalau negara berkembang ingin lebih mandiri menentukan

kebijakan pembangunannya, ketergantungan tersebut

seyogyanya diputuskan.

Kedua, teori strukturalis semi otonom mempersepsikan

negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom, dimana

negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik

antara berbagai kelompok kepentingan sehingga dengan

16

demikian pembangunan (oleh negara) dapat dipandang

sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi

konflik yang terjadi terutama antara kapital asing,

kapital domestic, dan laipisan bawah masyarakat.

Ketiga, teori neo klasik memandang negara sebagai

pengambil keputusan ekonomi politik yang selalu bersandar

pada pertimbangan dan pilihan mekanisme pasar yang

rasional, dimana kebijakan ekonomi diputuskan berdasarkan

pengaruh faktor teknologi, penduduk, pasar dan pemenuhan

kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga prilaku negara

dianggap berkisar pada pendayagunaan ekonomi nasional

untuk memenuhi tuntutan pasar dan kesejahteraan

masyarakat.

Tampaknya, teori structural semi otonom menjadi lebih

relevan dalam melihat hubungan negara dan petani di era

Orde Baru, karena: (1) teori ini memperlihatkan latar

belakang historis hubungan negara dan masyarakat; (2)

teori ini memberi tempat bagi konflik dalam eksistensi

negara dimana negara memperkuat kekuasaannya melalui

peranan menengahi konflik antar berbagai kelompok. (3)

teori ini memperhatikan secara mendalam hubungan dinamis

saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.

17

Peranan Negara dalam dinamika masyarakat petani pada

Orde Baru setidaknya dapat di lihat dalam tiga model

politik pembangunan yang diterapkan dalam kerangka

pengintegrasian kawasan pedesaan kedalam negara.

Pertama, dalam format “pembangunan politik” Orde Baru

menempuh kebijakan “masa mengambang” dimana massa

pedesaan diputuskan hubungannya secara permanen dengan

Partai Politik sehingga praktis sesudah itu massa petani

kehilangan kekuatan politiknya. Kebijakan ini didasari

pengalaman masa pemerintahan orde lama dimana kontrol

negara terhadap masyarakat tani begitu lemah sehingga

massa petani menjadi ajang pertarungan pengaruh dan

dukungan bagi Partai Politik seperti PNI, Masyumi, NU,

dan PKI, Dengan mengasingkan pedesaan dari dunia politik,

Orde Baru dapat menjamin stabilitas politik dan melalui

kontrol dan mobilisasi politik dari bawah yang

dipercayakan kepada aparat negara ditingkat desa.

Kedua, dalam pembangunan pertanian Orde Baru telah

menjalankan Revolusi Hijau melalui adopsi inovasi

teknologi (pupuk sintesis, bibit unggul, dan aplikasi

pestisida) yang ditunjang oleh inovasi kelembagaan

(perkreditan, perkoperasian, kelompok tani dan

Perkumpulan Petani Pemakai Air-P3A) dan perangkat fisik

(irigasi dan jalan tani), dengan target utama pada

18

pencapaian dan pelestarian swasembada beras demi

stabilitas sosial, ekonomi dan politik.

Ketiga, dalam pembangunan desa, negara telah

mengalirkan sejumlah proyek ke pedesaan guna perbaikan

infrastruktur fisik pedesaan (jalan, jembatan, gedung

sekolah, puskesmas, kantor aparat desa dan sebagainya),

atau proyek lainnya seperti “Pengembangan Kawasan

Terpadu” (PKT) dan “Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan

fokus pada pengentasan kemiskinan.

MEMAHAMI KRISIS DARI SISI EKOPOL

Apa tidak lucu menyoal proses penanggulangan

kemiskinan yang menggeliat di tengah eskalasi drama

pemiskinan yang kini aktor-aktrisnya mulai ditelanjangi

di ruang pesakitan Tipikor ? Betapa tidak, bantuan ke-

haribaan “warga komunitas miskin” tertumpah bagai air bah

ke bumi persada. Namun “drama pemiskinan” di lembaga

legislatif, eksekutif, yudikatif dan BUMN, bersenandung

sejak Orba hingga sukses gemilang meraih “prestise negara

terkorup”.

Jika demikian, bukankah ketika kita

menumbuhkembangkan bedah kemiskinan serta upaya-upaya

penanggulangan dengan gaya khas gonta-ganti paradigma dan

19

metodologis, adalah bagian integral dari “geliat

sandiwara” yang tampak signifikan dengan “eskalasi drama

pemiskinan dimaksud ???

Betapa sulit dipungkiri. Pasalnya, ketika kuping

telinga mulai mengiang dan lensa pandang terasa pedas,

karena geliat drama dan sandiwara dana siluman sekaliber

BLBI yang tidak jelas jantrungnya, dana raksasa BI yang

memuncrak kiri-kanan, serta kewajiban royalti pengusaha

batu bara yang contra-productive. Tak pelak lagi, soal

gratifikasi yang mulai mendamprak pejabat/mantan pejabat.

Entah dana siluman apalagi yang kelak menggelegar dan

entah siapa lagi yang bakal terkerangkeng pasca Jaksa

Urip, sehingga nuansa dramatisme kian transparan dan

sandiwara penanggulangan kemiskinan kian sulit

terbantahkan ?

Dalam konteks ini, belum cukupkah gelegar drama

kasus dana siluman tersebut dapat menyadarkan semua

pelaku kemiskinan mulai dari lembah birokrasi yang

bersenjatakan TKPKD hingga pada tataran LSM dengan

berbagai paradigmanya ? Mengapa kita, baik dari kalangan

pemerhati dan pengamat maupun pelaku (TKPKD/P2KP/NUSSP,

dan LSM), masih kepingin bersandiwara menyoal akar

penyebab kemiskinan dalam perspektif kultural ?

20

Mengapa lensa pandang dan kuping telinga kita

terkesan kabur dan tuli dengan duit siluman yang

terhambur di tangan-tangan jahil kaum elite itu? Bukankah

akibat dari “degelan-degelan politik” yang bernafsu

mengumbar hiper-tontonan dengan biaya mahal, adalah

penyebab utama bangsa dan negara tercinta ini berkubang

kemiskinan plus berutang dollar ?

Mungkin demikianlah lucuisme kini saudaraku, karena

kita tetap saja menggeliat menyoal kemiskinan, tanpa

kepingin dipusingkan dengan ikhwal drama pemiskinan yang

nota bene “berwajah malaikat”. “Tau aja lho” - kata sang

kritikus di tempat belanja: “memangnya penjual sayur atau

penjual ikan yang menyebabkan bangsa dan negara tercinta

bernasib malang, suram dan buram?”

Adalah kian marak, ketika analogi drama dan teater dari

Goffman sang ahli sosiologi kontemporer kita coba pinjam

pisaunya untuk membedah proses interaksi sosial yang

mampu menghipnotis penonton. Dan mungkin saja kepala kita

tergeleng-geleng ketika kerangka konseptual ini

direfleksikan ke arena birokrasi dan parlement, dll.

Pasti dech…, di balik interaksi itu akan ditemukan

segumpal kesadaran virtual di lorong-lorong psedou-liberalis,

psedou-demokrasi, dan psedou-welfare.

21

EPILOG

Capek khan, kalau kita terus disuguhi dengan

perdebatan sengit, dan kapan berakhirnya serta apa

manfaatnya ? Apa yang harus dilakukan oleh sebuah bangsa

yang dikitari dengan hutan belantara keterpasungan,

sehingga mampu keluar dari lingkaran setan kehidupan

masyarakat kontemporer ? Ya, menurut guru bangsa Cak Nur

perlu ditumbuhkan “Psychologikal striking force”, supaya bisa

mengemuka ide-ide cerdas dan segar.

Jika demikian, dalam bentuk apa gerangan kekuatan

pamungkas psikologis dimaksud, sehingga kelak menjelmah

pikiran kolektif yang segar dan mencerahkan serta sepakat

untuk menguburkan tindak-tanduk brutalisme dengan berbagai

problematikanya ? Pasalnya, amat sangat dibutuhkan model

pencerahan yang kelak mampu menetralisir virus dan

bakteri akal bulus serta berbagai bentuk kejumudan

lainnya. Namun dalam bentuk apa gerangan ?

Apakah sejenis gerakan-gerakan SiPILIS, agama

beraliran sesat, politik dan ekonomi beraliran sesat dan

para musuh bebuyutannya, ataukah sebuah bengkel ala ESQ

power Ary Ginanjar Agustian yang mampu menghidupkan

“mayat berjalan” yang kebetulan jumlahnya cukup banyak

malang melintang di republik tercinta ini ?

22

Akhirnya, dalam upaya minimalisasi timbulnya

pergolakan dan keresahan, maka amat perlu dinetralisis

berbagai kontradiksi dan ketimpangan serta kesenjangan

ekonomi antara lain melalui politik pemerataan, keadilan

sosial, keseimbangan, dan keterpaduan pembangunan ekonomi

dengan pembangunan di bidang sosial-politik dan

kebudayaan. Demikian pula kesenjangan pertumbuhan ekonomi

antar sektor dan antar daerah perlu dijaga secara

konsisten.

23