Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi

95

Transcript of Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi

ISSN: 2252-5254

Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Vol. 11, No. 1, Juni 2017

Editor In Chief Siti Ikramatoun, M.Si Managing Editor Firdaus Mirza Nusuary, MA Editorial Board Bukhari, MHSc. (UNSYIAH), Khairulyadi, MHSc. (UNSYIAH), Prof. Bahrein T. Sugihen. (UNSYIAH), Dr. Nirzalin, M.Si. (UNIMAL), Dr. Mahmudin. (UIN AR-RANIRY), T. Syarifuddin, M.Si. (UNIDA), Drs. Zulfan, M.Si. (UNSYIAH), Suci Fajarni, MA (UIN AR-RANIRY) Layouter Khairul Amin Alamat Redaksi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala Jln. Tgk. Tanoh Abee, Darussalam Banda Aceh Telp. (0651) 7555267, Fax (0651) 7555270 E-mail: Sosiologiusk@gmailcom

Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala yang memuat berbagai pendekatan yang berlandaskan pada isu sosial kemasyarakatan secara lokal, nasional maupun internasional melalui karya tulis ilmiah. Redaksi juga menerima tulisan seputar dinamika sosial masyarakat baik yang bersifat teoritis, kritis, reflektif, dan berbagai ide-ide yang menyangkut dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal 15 halaman A4 Spasi 1, dilengkapi dengan abstrak (bahasa inggris), catatan kaki dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan nama lengkap serta asal universitas. Tulisan dikirim ke email:[email protected].

ISSN: 2252-5254

Jurnal Sosiologi

Media Pemikiran Dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

DAFTAR ISI

Daftar Isi Pengantar Redaksi Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Alamsyah Taher ................................................................................. 1

Gerakan Kelompok KB Pria “PERKASA” Rudy Kurniawan ............................................................................... 23

Kemitraan sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Program CSR Batik Cap Pewarna Alami di PT. Semen Gresik Pabrik Tuban

Beti Nur Hayati & Suparjan ............................................................. 43

Phenomenology of Digital Culture In The Educational Area: an epistemological review

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin ...................................... 51

Waste Management Based on Women’s Empowerment in Air Lintang Sub District, Muara Enim

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan .......................... 67

Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

Bukhari ............................................................................................... 76

PENGANTAR REDAKSI

Sosiologi, yang dikenal dengan ilmu pengetahuan

berparadigma ganda, meletakkan bidang kajiannya pada relasi sosial

dalam masyarakat. Lalu lintas hubungan sosial masyarakat yang

tidak pernah statis, melahirkan banyak kajian dalam keilmuan

Sosiologi. Banyaknya penelitian-penelitian sosial melahirkan

perkembangan pengetahuan yang tidak terbendung. Jurnal Sosiologi

USK edisi Juni 2017 mengangkat tema tentang “perkembangan dan

pemberdayaan masyarakat” untuk melihat berbagai perkembangan

masyarakat di era milenial ini dan diikuti dengan pengembangan

kemampuan masyarakat melalui pemberdayaan.

Artikel pertama dimulai dengan tulisan Alamsyah Taher

tentang perkembangan penelitian geografi manusia. Geografi selama

ini dimaknai sebagai ilmu tentang ruang secara fisik, namun

pergeseran paradigma telah melahirkan sudut pandang baru bahwa

geografi merupakan ilmu tentang ruang manusia. Artikel kedua berisi

tentang perkembangan mindset masyarakat tentang penggunaan alat

kontrasepsi pada pria. Penelitian Rudy Kurniawan ini menunjukkan

bahwa kampanye penggunaan vasektomi yang dilakukan oleh

gerakan kelompok KB pria “perkasa” telah mengubah persepsi pria

tentang penggunaan vasektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada peningkatan peningkatan calon peserta KB Pria yang mau

menggunakan vasektomi setiap tahunnya.

Artikel ketiga memuat pemberdayaan masyarakat Tuban

melalui program batik cap pearna alami oleh CSR PT. Semen Gresik.

Beti Nur Hayati dan Suparjan membidik kerjasama yang dilakukan

oleh Koalisi Perempuan Ronggolawe dengan PT. Semen Gresik dalam

memberdayakan perempuan yang semula tidak bisa membuat batik

cap menjadi memiliki keterampilan batik cap. Relasi kemitraan

lembaga swadaya masyarakat dan perusahaan menjadi salah satu

strategi dalam pemberdayaan masyarakat.

Artikel keempat yang ditulis oleh Muna Yastuti Madrah dan

Ahmad Muflihin mengkaji fenomena teknologi digital dalam dunia

pendidikan melalui sudut pandang fenomenologi. Teknologi digital

telah memungkinkan dunia untuk ditempatkan dalam sistem,

jaringan, dan koneksi yang memaksa manusia modern untuk tetap

selaras. Artikel kelima tentang pemberdayaan perempuan melalui

pengelolaan limbah di Muara Enim yang ditulis oleh Eva Lidya,

Diana Dewi Sartika, dan Gita Isyanawulan. Ada tiga indikator yang

digunakan untuk menggambarkan pemberdayaan perempuan di

Muara Enim yaitu capacity building, cultural change, structural

adjustment. Model pemberdayaan ini membidik perubahan

masyarakat secara keseluruhan sehingga dapat digunakan ditempat

yang lain.

Terakhir, artikel yang ditulis oleh Bukhari, MHSc., dengan

judul Pedagang Kaki Lima dan Jaringan Sosial menutup edisi dengan

tema perkembangan dan pemberdayaan masyarakat ini. Bukhari

dengan analisa Sosiologinya memetakan jaringan dan perkumpulan

pedagang kaki lima merupakan manifestasi dari hubungan saling

ketergantungan antar pedagang kaki lima. Keberadaan jairngan

pedagang kaki lima ini memberikan kesempatan bagi orang-orang

miskin untuk bersaing dalam berdagang, sebagai bentuk usaha untuk

keluar dari kemiskinan. Perkembangan masyarakat modern yang

semakin beragam dapat melahirkan marjinalisasi terhadap orang-

orang yang tidak memiliki modal untuk bersaing dalam dunia

modern. Sehingga dalam hal ini, pemberdayaan masyarakat

merupakan salah satu cara untuk “merangkul” kelompok-kelompok

masyarakat marjinal dari keterpurukan.

Banda Aceh, Juni 2017 Hormat Kami, Ttd.

Redaksi

JURNAL

SOSIOLOGI USK

Media Pemikiran & Aplikasi

Alamsyah Taher| 1 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Dr. Alamsyah Taher, M,Si Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Unsyiah

Abstract

The scope of the current geography study has been intersected, even integrated with other disciplines. This change is not only in the study material, but also has reached the paradigm level. Geography is no longer understood as the science of physical space. Geography is the science of physical runag and the science of human space. Traditional geography studies have shifted to issues not only dominated by physical issues and masculinity alone. Differences in phenomena in the field of geography has enabled the study of geography is more advanced and qualified in answering the contents. Starting from a variety of differences, geography is known as a study that examines the imbalance of a region (spatial enevennes).

Keywords: Geography, Study, Human

Pendahuluan

Geografi sebagai disiplin ilmiah telah sejak lama dipaparkan oleh Immanuel Kant (1724 - 1804). Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari fakta – fakta dalam ruang. Sebagai suatu disiplin ilmiah, para ahli geografi memandang adanya tiga elemen penciri utama, pertama, Geografi adalah ilmu pengetauhan bumi (earth science) dengan mengaji permukaan bumi sebagai lingkungan hidup manusia. Pengertian lingkungan hidup manusia adalah suatu lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia dan lingkungan tempat manusia dapat mengubah dan membangunnya. Kedua, Geografi memperhatikan unsur-unsur utama seperti jarak, unsur interaksi, unsur gerakan, dan unsur penyebaran dalam melakukan analisis. (Bintarto & Hadisumarno, 1987).

Defenisi Geografi dari waktu ke waktu telah mengalami perkembangan. Hartshorne (1959) Memberikan defenisi Geography is concerned to provide an accurate, orderly, and rational description of the fariable character of the earth surface. Ackerman (1963) menjelaskan “ the

2 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

goal of Geography is nothing less than an understanding of the vast, interacting system comprising all humanity and its natural envirotment on the surface of the earth. Menurut Ad Hoc Committee on Georaphy (1965), Geography seeks to explain how the subsystems of the physical earth in relation to physical features and to other men. Taaffe (1970) menjelaskan Geography is concerned with giving man an orderly description of his world, as the study of spatial organization expressed as patterns and process. Yeates (1968) berpandangan bahwa Georaphy as a science concerned with the rational development, and location of various characteristic of the surface of the earth. Sementara itu, Haggett (1965) memberikan pengertian yang lebih kamprehensif tentang Geografi. “It is relevant to note that Geography enquires in recent years concern mainly with; (a) the ecological system and (b) the spatial system. The first relates man to his environment while the second deal with lingkages between regions in a complex interchange of flows. In both systems,movemenst and contacts are of fundamental importance.

Pertanyaannya adalah dimana sesungguhnya disiplin ilmu Geografi Manusia, apakah Geografi Manusia itu eksis, dan bagaimana kondisi Geografi Manusia saat ini, berkembangkah atau lenyap di telan bumi. Tulisan ini bermaksud mengurai metode penelitian Geografi Manusia dengan fokus perhatian pada: (1) Linkungan dan Perkembangan Penelitian Geografi Manusia; (2) Perbedaan membuat Geografi Manusia Dinamis; (3) Hermoni Kuantitatif dan Kualitatif; dan (4) Pemanfaatan statistik dalam studi Geografi Manusia.

Perkembangan Bidang Kajian Geografi Manusia

“physical and human geography are two great branches of the discipline, but environmental geography is emerging as a link between the two”

“The National Geography Society in the 1980s poposed a useful five-theme framework for geography; focused on the concepts of location, interaction between humans and the envirotment, regions, place, and movement”

“Maps are used to portray the distinctive character of place; their relationship to environmental issues; the movements of people, goods, and ideas;and regions of various types”

(De Blij & Murphy, 1999:3)

Petikan pertama dan kedua di atas menyadarkan kepada kita bahwa ilmu Geografi terus berkembang seiring berjalannya waktu

Alamsyah Taher| 3 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

dengan tidak dapat dibedakan hanya geografi fisik dan dan geografi manusia, tetapi sebagai ilmu dinamis yang berinteraksi dengan ilmu lain. Lebih lanjut disebut bahwa Geografi yang awalnya adalah studi tentang letak/lokasi (study of place) telah berkembang menjadi studi yang analisisnya didahului oleh variable lokasi. Ini berarti lokasi bahwa lokasi hanyalah digunakan sebagai awal untuk menganalisis apa yang terjadi pada jaman dahulu, saat ini, dan masa yang akan dating. Termasuk didalamnya adalah bagaimana lokasi yang satu berhubungan dengan lokasi yang lain. Perkembangan ilmu Geografi tidak saja terjadi pada ranah materi yang dikaji, tetapi cara pandang para ahli geografi pada tingkat para digma ilmu dan hubungan dengan disiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini, bidang kajian Geografi manusia telah merambah, berintegrasi, dan bersinergi dengan berbagai disiplin ilmu yang lain (Agnew et al., 1999; Castee et al., 2005). Masalahnya apakah kajian yang telah banyak merambah pada disiplin ilmu lain tersebut masih dapat dibilang sebagai bidang ilmu Geografi. Lebih jauh lagi, geografi sosial dewasa ini telah banyak berintegrasi dengan ilmu lain, apakah petikan ketiga tentang pentingnya peta masih dapat dipertahankan. Untuk menjawabnya tentu saja tidak mudah, diperlukan kajian hati-hati dengan melihat kompleksitas masalah seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh manusia telah menjadi pemercepatan perubahan paradigm dalam studi Geografi Manusia. Paragdima Geografi tradisional memandang geografi adalah ilmu yang mempelajari ruang, disubut juga dengan ilmu tentang ruang, ilmu tentang proses keruangan, dan ilmu tentang fenomena keruangan secara umum. Geugrafi selanjutnya dikenal dengan ilmu tentang permukaan bumi (the science of earth’s surface) (Sauer, 1925). Pradigma baru geografi, terutama Geografi Manusia, berpendapat bahwa geografi tidak hanya didefinisikan sebagai ilmu tentang ruang, tetapi sebagai ilmu yang selalu mendengan dan perhatian pada epistimologi modern yang menaruh perhatian pada aktifitas manusia (Zierhofer, 2004; Andrei, 2006).

Pendekan baru pada kajian geografi sosial tidak membatasi konsep ruang sebagai bentang lahan tetapi telah jauh merambah pada ruang sosial, ruang masyarakat, ruang keluarga, ruang individu, bahkan ruang tentang tubuh mansui (Rose,1993; McKittrick and Peake, 2005). Geografi manusia tidak lagi membatasi pada hal-hal

4 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

yang kasat mata secara keruangan, telah mencoba memahami ruang manusia secara detail, mencari jawaban dengan mempertanyakan, melakukan konfirmasi ketika terdapat elemen – elemen baru penyusun. Ahli geografi memulai pengamatan dengan pertanyaan mengapa dapat terjadi, dapatkah penjelasan matematis dan statistik mengurai, apakah ada kaitannya dengan lingkup persoalan, budaya, relasi sosial, publik dalam arti luas (Cox, 1999). Perbedaan perpsektif tentang ruang ilmiah yang kemudian oleh banyak pakar dijadikan dalih eksistensi peta dalam kajian geografi manusia, termasuk terhadap perpaduan antara geografi manusia dengan geografi fisik (Harley, 1999; Hickey & Lawson, 2005) (lihat Tabel 1).

Berbicara perpaduan Geografi fisik dan geografi manusia adalah dua sisi dari sekeping mata uang, dua hal yang berbeda tetapi dalam satu kesatuan. Seperti diungkap oleh Cox (1999) perbedaan perspektik selalu dilandasi oleh dominasi geografi fisik pada aspek alamiah (nature) sementara geografi manusia lebih berbicara pada aspek yang mudah berubah (culture). Geografi fisik dipandang sebagai ilmu yang berpaham obyektif karena banyak didasarkan oleh prilaku manusia (Subjectivist appoaches). Pertanyaannya adalah apakah ketika manusia telah berbudaya tidak akan menginjak tanah sebagai sesuatu yang alami, atau tanah sebagai sesuatu yang alami akan tetap alami ketika budaya manusia berubah. Tepat disebutkan bahwa manusia bermukimdi bumi dan bumi sebagai tempat tinggal manusia akan terus seiring sejalan dengan peradaban manusia. Dengan perkataan yang lain, geografi fisik dan manusia tidak dapat dipisahkan secara dualistik, tetapi sebagai dua hal yang selalu sinergis dan terintegrasi satu sama lain (Proctor, 1998). Lebih lanjut disebutkan bahwa jika geografi selalu berkutat pada diskursus yang mengarah kepada paradosk anta geografi fisik dengan geografi manusia ini sama artinya dengan membiarkan geografi terperangkap pada lingkaran debat yang tidak berujung pangkal. Atas dasar itu, berkembanglah bidang kajian perpaduan antara geografi fisik dengan geografi manusia (lihat Tabel 1).

Dalam perspektif geografi manusia, kajian tentang ruang saat ini sedikit banyak telah terpengaruh oleh adanya modernisasi dan globalisasi. Konsep ruang yang selama ini dihayati oleh paradigm geografi tradisonal, bahwa ruang adalah ruang fisik sebagai material pada muka bumi, telah berubah menjadi kesadaran wilayah (regional consciousness) yang dibentuk oleh aktifitas manusia. Dalam hal ini

Alamsyah Taher| 5 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

ruang adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia termasuk diri manusia itu sendiri. Ruang manusia telah membebaskan pemikiran manusia sampai pada tingkat epistimologi geografi modern dalam memaknai ruang muka bumi (Morikawa, 2002).

Perbedaan membuat Geografi Manusia Dinamis

Pepatah mengatakan perbedaan adalah persaman yang tertunda. Perbedaan ini yang membuat hidup dinamis dan penuh makna. Ada banyak cara untuk mendekati konsep perbedaan. Para ahli geografi memahami perbedaan melalui fenomena sosial seperti ras, perbedaan kelas, gender, dan seksualitas. Hasilnya adalah bermunculan ahli geografi pada isu – isu spesifik seperti aliran geografi kesejarahan (geografi colonial dan geografi pasca-kolonial), patriarkhalgeografi, feminis geografi, geografi geografi kulit putih, geografi kulit hitam, geografi lintas budaya, dan sebagainya). Sayangnya, hubunagan antara indicator-indikator sosial dengan aliran geografi bersifat dialektikal. Ini berarti masing-masing aliran berbeda yang ditentukan oleh dinamika sosial bidang kajian yang ditekuni. Selain perbedaan dari sisi isu, perbedaan juga terjadi sebagai akibat variasi tingkat analisis, apakah fenomena sosial tersebut dianalisi, apakah fenomena sosial tersebut dianalisis pada tingkat individu, rumah tangga, atau sosial (Scott, 1988).

Tabel 1. Bidang Kajian Geografi

Human Geography Physical

Geography

Mixed Human and Physical Geography

Other

Cultural Geography

Economic Geography

- Employment

- Location theory

- Manufacturing

- Marketing

- Retailing

- Services

- Trade

Gender Studies

Runal geography

- Rural economy

- Rural planning

Soil

Climatology

- Aplied climatology

- Climate change

- Microclimatology

- Synoptic climatology

Ecology

Quarternary

envirotment

- Archeology

Agricultural

Geography

- Agricultural policy - Agricultural systems Development studies - Agrarian - Urban planning - Policy studies Regional Geography Resources Geography - Energy - Fishing and forestry - Mineral resources - Water resources Planning - Economic - Environmental

Applied geography

Education and geography

Theoretical geography

Geography thought

- History

- Methodology

- Philosophy

6 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

- Rural population

Industrial Geography

- Location

- Organisation

- Regional development

- Technological change

Medical Geography

Urban Geography

- Urban economy

- Urban housing

- Urban morphologi

- Urban politics

- Urban population

- Urban renewal

- Urban retailing

- Urban sociology

- Urban theory, models, systems.

Political Geography

- Electoral geography

- Geopoliticd

- Population

- Geography

- Demografy

- Population change

- Population migration

Recreational

Geography

- Leisure

- Sport

- Tourism

Historical Geography

- Countryside

- Industry

- Landform evolution

- Paleocology

- Sediments

Hydrology

- Aplied

- Run off

- Water Quality

Meteorologhy

Geomorfologhy

- Aplied geomorfologhy

- Arid

- Coastal

- Fluvial

- Glacial

- Karst

- Slopes

- Weathering

Biogeogrphy

- Vegetation Studies

- Zoogeography

- Regional - Urban planning Hazards Environmental Studies - Conservation -Environmental change - Mineral resources -Environmental impact assessment -Environmental menagemant -Environmental quality Environmental system

Quantitative

methods

- Computers

- Mathemataical techniques

- Statistical techniques

Geography

Information

System (GIS)

- Certography

- Image analisys

- Photogramme try

- Remote sensing

Alamsyah Taher| 7 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

- Population

- Towns

Social Geography

- Enthnicity

- Social theory

- Socio-economic status

Transport geography

Sumber: Kitchin & Tate, 2000; De Blij & Murphy, 1999.

Feminis geografi berpendapat bahawa dominasi wujid kajian geografi selama ini terjadi karena pakar geografi melakukan analisis dengan paradigm maskulinis. Disebutkan bahwa cara pandang ini terus berkembang hingga tahun 1970-an, dengan mengesampingkan studi dan aktivitas perempuan (study of women and women’s activities). Biasa kajian ini terjadi berkepanjangan dengan mengesampingkan isu seksualitas sampai akhir tahun 1980-an, bahkan mengesampingkan isu non-human sampai tahun 1990 (Rose, 1993).

Bahkan David Delaney (2002) mengilustrasikan geografi sebagai perusahaan kulit putih, merupakan kerajaan dan music barat, dominasi oleh bingkai kehidupan Amerika.Pendapat tersebut didukung 90 persen darianggota departemen geografi di Amerika adalah orang kulit putih, begitu pula yang terjadi di Inggris, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan Eropa (Puildo 2002).

Pakar feminis geografi lain seperti Donna Haraway (1991) menyebutkan bahwa supremasi “maskulitas dan kulit putih” dalam disiplin geografi dapat melemahkan pada apa yang oleh disebut sebagai “situated knowledges”. Menurutnya bahawa ilmu pengetahuan bersifat local, khusus dan melekat, dan merumuskan sebuah cara utama agar perbedaan dapat dipahami. Itulah sebab ruang dan tempat mempunyai kaitan yang erat dengan ras, gender, perbedaan klas, seksualitas dan sebagainya. Hal lain yang juga kurang mendukung perkembangan adalah semua pemahaman geografi terkait dengan lokasi. Padahal, perbedaan tidak selalu mengaju pada lokasi , tetapi dapat berujud materi kajian, dapat juga berupa tempat didalam dan sekitar lokasi pengetahuan. (stituated knowledges).

Banyak konsep pokok dalam studi geografi manusia yang bermunculan demi mengkaji tentang perbedaan. Konsep-konsep tersebut antara lain konsep nature-culture, konsep human spesies, konsep uneven development, konsep the body, dan konsep tentang ras,

8 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

gender dan seksualitas sebagai hasil dari kunstruksi sosial. Dua konsep pokok yang akhir-akhir ini dibicarakan adalah konsep nature-culture dan konsep the body, walaupun saat ini masih dipertanyakan apakah kedua konsep tersebut adalah konsep geografi atau bukan (Castree et al.,2005).

Konsep nature-culture dari beberapa studi yang dilakukan cendrung dibedakan, dalam arti dikaji sendiri-sendiri dan terpisah. Beberpa ahli geografi lain mengkritik bahwa kajian tentang konsep nature-culture tidak dapat dilakukan sendir-sendiri, tetapi harus dilakukan secara padu. David Herley (2000) menjelaskan bahwa diskusi terhadap “species bing” harus dikaitkan dengan “human nature”, dari pada hanya berbicara tentang human differences. Ini berarti bahwa analisis terhadap human beings tidak dapat dipisahkan dari konsep nature.

Konsep narure-culture membedakan feminism dan maskulin., rasional dan tidak rasional, baik dan buruk, alamiah dan budaya. Ahli geografi sampai tahun 1990 tidak memfokuskan kajia pada konsep the body, begitu juga dengan dengan konsep seksualitas dan gender. Mereka beragumentasi bahwa isi seksualitas terkain dengan displin ilmu biologi, dan bukan bidang kajian geografi. Namun demikian, sejumlah geografiwan mutakhir menaruh perhatian terhadap isi-isi yang terkait dengan konsep the body. Dijelaskan bahwa konsep the body tidak hanya mempelajari identitas individu, tetapi terkait juga dengan tempat, lokasi, dan ruang dari individu berada. Hal ini di dukung oleh pakar feminist Judith Butler (1990) dan Nail Smith (1993) melalui penjelasan bahwa konsep the bodytidak lah berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari proses komunitas, regional, nasional, dan global.

Membangun Kemesraan Metode Kuantitatif dan Kualitatif

Tujuan dari penelitian ilmia adalah menjawab pertanyaan atau masalah penelitian dengan berbagai tata cara ilmiah secara terstruktur dan terencana. Peneliti dalam hal ini mendekati masalah dengan metode, prosedur, dan pendekatan yang berbeda satu sama lain. Metode penelitian dapat diartikan sebagai rancang bangun penelitian, berupa rencana dan struktur penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan peneliti (Kerlinger, 1986).

Alamsyah Taher| 9 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Leedy (1980) menjelaskan metode penelitian adalah kerangka operasional terhadap fakta sehingga lebih mudah untuk dipahami maknanya. Disebut bahwa metode penelitian mencakup tiga aspek mendasar, yakni terkait dengan populasi, objek, dan analisis. Ini berarti metode penelitian adalah rancang bangun penelitian yang tersusun oleh tiga pilar dasar saling terkait satu sama lain yaitu pilar populasi, pilar objek, dan pilar analisis (lihat bagan 1). Terkait dengan cara mendekati objek penelitian dapat memilih apakah menggunakan survey, studi eksperimen, atau studi sejarah. Untuk cara analisis, peneliti dapat menggunakan metode kuantitatif, metode kualitatif , atau gabungan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Sementara itu, terkait dengan populasi yang hendak diteliti, peneliti dapat menggunakan sensus, sampling, atau studi kasus.

Sebagai suatu rancangan bangun yang terintegrasi satu sama lain, sudah semestinya jika diharuskan adanya kesesuaian anatara pilar populasi, pilar objek, dan pilar analisis. Sebagai contoh, tidak mungkin seseorang peneliti melakukan analisis kuantitatif apabila obyeknya studi sejarah dan pilar populasinya studi kasus. Ini juga berarti bahwa pilar populasi, pilar objek, dan pilar analisis tidak boleh digunakan secara tumpeng tindih.

Perlu diketahui bahawa dalam ranah filsafah ilmu pengetahuan perkembangan metode penelitian merupakan tururnan dari paradigama besar memayungi. Peneliti berparadigma positivis cendrung menggunakan metode kunatitatif dan uji hipotesis dalam menjawab permasalahan peneliti. Sementara itu, peneliti berparadigma konstruktivis akan memilih metode kualitatif dalam memahami realitas sosial (Ragin, 1994; ihalauw, 2004; Slim, 2006). Seperti telah diketahui bahwa paradigm adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang bertindak. Philips (1974) menjelaskan bahwa paradigma adalah seperangkat asumsi baik yang tersurat maupun yang tersirat sebagai dasar gagasan ilmiah. Dalam konteks ilmu pengetahuan, paradigma adalah suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mengapstraksikan realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu (Kuhn, 1974; Wallace, 1971). Dengan demikian dapat disampaikan bahwa perbedaan metode penelitian bukan lah membedakan kebenaran, tetapi perbedaan asumsi untuk menjawab realitas.

10 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Realitas sendiri adalah kata yang sarat akan interpretasi. Itulah makanya, makna realitas sangat ditentukan oleh cara pandang penafsir, dan tentu saja terkait dengan paradigama yang melekat dalam diri penafsir. Tsunami yang terjadi di Banda Aceh adalah sebuah realitas, Gempa di Bantul adalah realitas, begitu juga dengan lumpur Lapindo. Kemiskinan adalah realitas, pengangguran adalah realitas, dan masih banyak lagi realitas dalam kehidupan manusia.Dua contoh besar tentang realitas tersebut Nampak sama nyata beda, dalam arti ada realitas yang bersifat alamiah karena terjadi karena proses alam dan ada realitas yang bersifat sosial karena terjadi proses hubungan antarmanusia. Pemisahan secara jelas realitas tersebut melahirkan du acara pandang “dualistik” yaitu positivis dan konstruktivis, alamiah (nature) dan kualitatif (Hardiman, 2003; Newman & Benz, 1998).

Geografi Manusia sebagai salah satu ilmu pengetahuan juga tidak lepas dari diskursus metode penelitian apa yang tepat digunakan untuk mengungkapkan realitas sosial. Pada tingkat paradigm, utamanya tataran ontologis dan epistemologis, metode kuantitatif yang berakar dari paradigma positivis jelas berbeda dengan metode kuntitatif dengan perspektif konstruktivis (lihat Tabel 2). Walaupun demikian tidak begitu halnya pada tataran operasional, ternyata perpaduan antara dua metode penelitian tersebut berjalan cukup harmonis (Brannen, 2005). Selain itu, Kompleksitas pendekatan dalam studi Geografi Manusia saat ini tidak terlepas dari sejarah panjang cara mendekati realitas (lihat Tabel 3). Sejarah geografi mencatat betapa perjalanan diskursus cara pandang dalam mendekati relaitas adalah sangat panjang mulai dari geografi tradisional kemudian revolusi kuantitatif kemudian post-kunatitatif sampai pada munculnya telaah geografi kritis (critical geography) dengan metode kompleks yang tidak lagi mempedulikan apakah berparadigma kuantitatif atau kualitatif (Peet, 1975; Hervey, 1984; Johnston, 1986;Kitchin& Tate, 2000). Tidak berlebihan apabila diungkap bahwa studi Geografi Manusia berkembang begitu pesat dengan sebab tidak terpaku pada pembedaan metode penelitian yang bersifat dualistik.

Pemanfaatan Statistik dalam Studi Geografi Manusia

Segera setelah terjadi revolusi kuantitatif, para ilmuan geografi memasukkan statistik dan perhitungan matematis dalam mendukung berbagai analisis (Hagget, 1965; Haynes et al., 1984; Odland, 1988; Morrill et al., 1988). Tahap berikutnya, ststistik banyak digunakan

Alamsyah Taher| 11 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

oleh para geograf berparadigma positivis dalam menguji dan mendukung hipotesis yang diungkap. Berikut ini adalah beberapa statistik pokok relevan dengan bersumber dari Blalock (1960); Kerlinger (1992); Sceaffer (1996); Bluman (2001) dan Branen, 2005).

Tabel 2 Pebedaan Metode Kuantitatif dan Kualitatif dalam Studi

Geografi Manusia

Apek pembeda

Kuantitatif Kualitatif

Paradigma Dimensi ontologis

Positivis Realisme, kebenaran

bersifat universal

konstruktifis Kebenaran bersifat

ganda, setiap individu memiliki

kebenaran

Dimensi Epistimologis

Ada jarak dengan obyek

Menyatu dengan obyek

Perspektif Etic, perspektif orang luar

Emic, perspektif orang dalam

Validitas realibilitas

Obyektif, kenyataan itu tunggal

Subyektif, kenyataan itu banyak

Generalisasi Universal Konstekstual

Jenis data Angka, numeric Kata-kata, penejelasan, gambar

Alat pencakupan Dan

Unit kajian

Teknologi, kuisioner

Makro, luas

Peneliti sendiri, wawancara mendalam

Mikro, kasus

Proses penalaran Deduktif Induktif

Tujuan kajian Penjelasan, prediksi Makna, Pemehaman Sumber: Leedy, 1980; Newman& Benz, 1998; Kitchin& Tate, 2000

Tabel 3 Pendekatan dalam Penelitian Geografi Manusia

Tipe

Ilmu

Paham,

Pemikiran

Deskripsi Contoh

Studi

Metode

Utama

Empirical

-Analytical (technical,

Empiricism Pemahaman empiris percaya

Kemiskinan adalah fakta yang harus

Presentasi fakta-fakta

12 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

work, material production)

bahwa fakta harus diungkapkan dengan penjelasan teoritis. Ilmu pengetahuan bersumber dari obyek nyata

diungkapkan dan diinterpretasikan dan terukur seperti indeks kemiskinan, indeks kualitas rumah, dll

yang dialami

Positivism Paham Positivis mengungkapkan bahwa prediksi dan penjelasan perilaku manusia dapat dilakukan secara kasual melalui hokum sebab akibat. Prediksi dan penjelasan tersebut dapat dilakukan dengan baik jika data diperoleh secara hati-hati dan obyektif.

Kemiskinan dijelaskan melalui pembuktian hipotesis. Pembuktian tersebut didahuli dengan pencakupan dan pengetesan data kemiskinan secara ilmiah

Survey kuesioner, pembuktian statistik.

Hisyorical Behaviour Paham Kemiskinan Survey

Alamsyah Taher| 13 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

hermeunetic (practical, language, communication)

alism behaviouralis mengakui bahwa setiap tindakan didahului oleh proses informasi kognitif yang ada pada tiap-tiap individu. Prilaku manusia secara keruangan adalah wujud dari kemampuan manusia untuk mengingat, memproses dan mengevaluasi informasi.

dijelaskan melalui hipotesis ilmiah terkait perilaku pembuatan kepuasan penduduk miskin. Sebagai contoh, uji statistic yang menjelaskan apakah orang menjadi miskin karena adanya harga diri yang rendah. Jika ya, apakah rrndahnya harga diri ini terkait dengan prilaku mencari pekerjaan.

kueisioner, pembuktian statistic

Phenomen ology

Paham fenomenologi menolak prinsip kuantitas yang disampaikan oleh paham positivis dan

Untuk memahami kemiskinan maka perlu disusun kembali dunia oran miskin. Ini berarti bahwa kemiskinan harus dipahami dari cara

Wawancara mendalam ednografi.

14 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

behavioralis. Disebutkan kebenaran adalah milik tiap-tiap individu sehingga ilmuan lebih fokus pada pemahaman dari pada penjelasan. Tujuan paham fenomenologi adalah mengendalikan pemahaman untuk mengkaji prilaku individu tampa harus berdasarkan teori-teori tertentu.

pandang orang miskin itu sendiri terhadap kemiskinan.

Existentialism

Paham eksistensial menyatakan bahwa realitas sosial tercipta melalui kebebasan tindakan manusia dalam membuat

Kemisnikan dipahami melalui upaya memperoleh cara pandang bagaimana orang miskin menyadari, memaknai arti, dan berinteraksi dalam kemiskinan. Ini dilakukan

Wawancara mendalam, etnografi, observasi partisipatif.

Alamsyah Taher| 15 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

perubahan. Paham fenomenologi lebih menekankan pada arti, seangkan paham eksistensial lebih menekankan pada nilai. Paham eksistensial menitik beratkan pada bagaimana individu bertindak dan memaknai nilai tindakan tersebut.

melalui wawancara bagaimana mereka memutuskan berapa banyak uang yang dibelanjakan untuk berbagai kebutuhan.

Idealisim Paham idealis menganggap bahwa fakta sosial tidak aka nada tanpa observasi dan representasi individu. Berbeda dengan paham eksistensiali

Kemiskinan dipahami melalui upaya memperoleh cara pandang bagaimana orang miskin berpikir tentang kemiskinan dan dunia tempat mereka hidup Ini dilakukan melalui wawancara apa yang dirasakan

Wawancara mendalam etnografi

16 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

s yang menekankan realitas ada dengan sendirinya karena memang ada, paham idealis memandang bahwa realitas itu ada karena konstruksi pemikiran manusia.

dengan kemiskinan, mengapa mereka berpikir bahwa,merekamiskin, dan bagaimana mereka mereka melihat diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat lain.

Pragmatism Paham pragmatis menganjurkan dari pada memfokuskan kajian pada sisi individu, perhatian harus lebih ditekankan pada sosial masyarakat dan interaksi anatar-individu dalam masyarakat. Paham pragmatis menganggap bahwa kebenaran

Kemiskinan dimengerti melalui observasi bagaimana individu dimasyarakat saling berinteraksi sehingga menghasilkan kondisi-kondisi tertentu. Sebagai contoh, penduduk miskin tetap miskin karena mereka berada pada siklus kehidupan kriminal, Pendidikan rendah, merasa rendah diri, dan

Alamsyah Taher| 17 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

itu berasal dari perilaku kehidupan sosial masyarakat, bukan dari pengetahuan. Oleh karenanya, pengetahuan harus bersumber dari esensi dasar berbagai kepercayaan dan sikap yang membentuk masyarakat.

sebagainya.

Critical (emancipatory, power relations, of domination and constraint)

Historical materialism

Paham marxis menyatakan bahwa modus produksi capital telah melahirkan kompleksitas kelas dalam masyarakat sosial

Kemiskinan terjadi karena penduduk miskin dieksploitasi oleh kaum kapitalis

Dialectics; observasi, interpretasi data sekunder.

Realism Paham realis bermaksud mengungkapkan

Kemiskinan dapat dikaji melalui akar masalah dan mekanisme

Gabungan kualitatif dan kuntitati

18 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

mekanisme dan struktur sosial dalam masyarakat. Paha realis ingin mencapai penyebab dari perubahan, apa yang membuat sesuatu terjadi,dana pa yang berpengaruh terhadap agen pengubah.

yang menyebabkan orang menjadi miskin

f

Feminist criticues

Feminis menganggap bahwa fenomena dan masalah sosial terjadi karena dominansi laki-laki terhadap perempuan. Diperlukan negosiasi kembali terhadap peran dan struktur yang saat ini eksis.

Kemiskinan dapat diatasi dengan melakukan emansipasi dan pemberdayaan

Gabungan kualitatif dan kuantitatif.

Sumber: Kitchin & Tate, 2000.

Alamsyah Taher| 19 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Statistik merupakan ilmu dalam kegiatan penelitian untuk mengumpulkan, mengorganisir, meringkaskan, menganalisa dan menarik kesimpulan dari rata-rata. Data adalah nilai-nilai (pengukuran-pengukuran atau observasi-observasi) sehingga variable-variabelnya dapat dinilai. Statistik secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu statistic deskriptif dan statistik inferensial.

1. Statistik deskriptif adalah koleksi, organisasi, peringkasan, dan presentasi, atas data-data.

2. Statistic inferensial adalah statistik yang menggunakan inferensi-inferensi dari sample dan populasi. Statistik inferensial biasanya digunakan untuk uji hipotesis berdasarkan probabilitas dari sebuah peristiwa yang terjadi.

Para pakar geografi dengan paham positivis percaya bahwa populasi yang terdiri dari semua subyek dapat dikaji dengan cara mempelajari sebagian saja dari populasi yaitu sampel. Melalui sampel ini dapat ditentukan hubungan-hubungan diantara variable. Hasil dari uji statistic tersebut selanjutnya digunakan untuk penjelasan dan prediksi masa depan. Agar penjelasan dan prediksi dapat dilakukan dengan baik, maka data harus diambil sesuai dengan kondisi populasi Hal ini hanya dapat dilakukan jika sampel yang diambil adalah valid reliabel menggambarkan populasi. Untuk tujuan tersebut, beberapa teknik sampling yang sering digunakan adalah sampling random, sampling sistematis sampling stratifikasi, dan sampling kluster. Data yang diperoleh dari sampling tersebut selanjutnya dapat dianalisis secara statistik baik deskriptif maupun inferensial. Contoh statistic deskriptif yang sering digunakan adalah angka rata-rata, nilai tengah, persentase, dan rasio. Sementara itu, uji t-test, korelasi, dan regresi berganda adalah jenis statistic inferensial yang banyak dipakai. Penutup

Ruang lingkup kajian geografi saat ini telah mengalami persinggungan, bahkan terintegrasi dengan disiplin ilmu lain. Perubahan ini tidak saja pada materi kajian, tetapi juga telah sampai pada level paradigm. Geografi tidak lagi dimaknai sebagai ilmu tentang ruang secara fisik. Geografi adalah ilmu tentang runag secara fisik dan ilmu tentang ruang manusia. Kajian geografi tradisional telah bergeser pada isu-isu yang tidak hanya di dominasi oleh isu fisik dan maskulitas semata. Perbedaan fenomena di bidang geografi telah memungkinkan studi geografi lebih maju dan mumpuni dalam

20 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

menjawab isi yang ada. Berawal dari berbagai perbedaan, geografi dikenal sebagai studi yang mengkaji ketidak seimbangan suatu wilayah (spatial enevennes).

Seiring dengan perjalanan waktu kajian geografi manusia terus berkembang, mengalami perubahan dari geografi berpaham positivis menuju geografi berpaham kritis seperti marxis dan feminis. Isu telah bergeser dari isu maskulin menuju kajian yang berkaitan dengan isu gender. Konsep nature-culture dan konsep the body yang sampai akhir tahun 1990 tidak banyak disentuh, saat ini menjadi bidang kajian yang mengemuka dibidang geografi. Berapa pakar geografi dengan paham feminis telah membuka wacana betapa konsep the body tidaklah berdiri sendiri melekat dalam tubuh individu, tetapi merupakan bagian proses komunis, regional, rasional, dan bahkan global.

Daftar Pustaka Agen, Jhon; David N. Livingstone; Alisdair Rogers. 1999. Human

Geography: An Essential Anthology,(Eds), Oxford: Balckwell Publisher Ltd

Babbie, Earl, 2001. The Practice of Sosial Research, Belmont: Wadsworth. Bintarto, R dan Hadisumarno, Surastopo. 1987. Metode Analisis

Geografi, Jakarata Barat: LP3ES Blalock, Hubert M., 1960. Social Statistics, London: McGraw-Hill Book Company Bluman, Allan GI, 2001. Elementary Statistics, London: A Step by

Approach, London: The McGraw-Hill Company Butler, J. 1990, Gender Trouble, Routledga, London Bungin, Burhan. 2007. Metode Pnelititian Kuantitatif: Aktualisasi

Metodologis ke Arah ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Castree, Noel; Alisdair Rogers; Douglas Sherman. 2005. Questioning Geography: Fundamental Debates. (Eds), Oxford: Blackwell Publisher Ltd.

De Blij, H.J. & Alexander B. Murphy. 1998. Human Geography: Cultur, Society, and Space, New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.

Delaney, D. 2002. “The Space that race Makes”, The Professional Geographer,

Alamsyah Taher| 21 Babak Baru Metode Penelitian Geografi Manusia

Denzim, Norman K. and Lincoln, yvonna S. 1994. Handbook of Qualitative Reserach,Thousand Oaks, California: Sage Publication Inc.

De Vaus, David, 2002. Analyzing Soscial Science Data: 50 Key Problems in Data Analysis, London: Sage Publications Ltd

Gilmore, R.W. (2002), “Fatal counplings of power and difference: notes on racism and geography”. The Professional Geographer,

Haraway, D.J. (1991), Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature, Rountledge, New York and London

Hardiman, F Budi. 2003. Melampaui positivism dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Harley, J.B. 1999. “Deconstructing The Map”, in Jhon Agnew, David N. Livingstone; Alisdair Rogers (eds), Human Geography: An Essential Anthology, Oxford: Blackwell Publisher Ltd.

Hagget, peter. 1965. Locational Analysis in human Geography, London: Edward Arnold Publisher Ltd

________. 1970. Locational Analysis in Human Geography, London: Edward Arnold Publisher Ltd

________. 1972. Geography: A Modern Synthesis, London: Harper and Row.

Hartshorne, R. 1959. Perspective on the Nature of geography, Chicago: Rand McNally

Harvey, D. 1984. “On the History and Present Condition of Geography: An Historical Materialist Manifesto”, The Professional geographer

_________. 2000, Spaces of Hope, Blackwell, Oxford Haynes, Kingsley E; A.Stewart; Fotheringham. 1984. Gravity and

Spatial Interaction Models, Newbury Park, California: Sage Publication.

Hickey, Maureen & Vicky Lawson. 2005. “Beyond Science ? Human Geogrphy, Interpretation and Criptique”, in Noel Castree; Alisdair Rogers; Douglas Sherman (eds) ., Questioning Geography: Fundamental Debates, Oxford: Blackwell Publisher Ltd

Ihalauw, John. J.O.I., 2004. Bangunan Teori, Salatiga Wacana University Press

Johston, R.J. 1986. Philosophy and Human Geography: An Introduction to Contemporary Approaches, London: Edward Arnold Publisher Ltd.

22 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Kerlinger, Fred N., 1992. Asas-Asas Penelitian Behavioural, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kitchin Rob and Nicholas J. Tate. 2000. Conducting Research in Human Geography: Theory, Methodology, and Practice, United Kingdom: Pearson Education Limited.

Kuhn, Thomas. 1974. The Structure of Scientific Revolution, Chocago: The University of Chicago Press.

Leedy, Paul D. 1980. Practical Reseach: Planning and Design, New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Morikawa, H. 2002. “Reconsidering the Space Concept in Human Geography: With Special Reference to German-Speaking Countries ”, in Geographical Sciences,

Morril, Richard; Garry L.Gaile; Grant Ian Thall. 1988. Spatial Diffusion, Newbury Park, California: Sage Publication.

Newman, Isadore & Carolyn R. Benz. 1998. Qualititive – Quantitative Reseach Methodology, Carbondale: Southern Illionis University Press

Odland, Jhon. 1988. Spatial Autocorrelation, Newbury Park, California: Sage Publication

Peet, J.R. 1975. “Inequality and Poverty: A Marxist Geographic Theory”, in Annals of Association of American Geographers,

Phillips, Bernard S., 1971. Social Reseach: Strategy and Tactics, New York: MacMillan

Rudy Kurniawa | 23 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

Rudy Kurniawan, S.Th.I., M.Si

Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya

Email: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis gerakan Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan penggunakan vasektomi kepada kaum pria dan bagaimana gerakan tersebut dapat menimbulkan kesadaran kaum pria untuk ikut ber-KB menggunakan vasektomi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk mengungkapkan gerakan sosial kelompok KB Pria “Perkasa” dalam mengkampanyekan vasektomi di Kota Prabumulih. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan informan kunci (key informan) dan informan ditentukan secara purposive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan gerakan kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria bersifat informal. Gerakan yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria telah mengubah mindset kaum pria agar menggunakan vasektomi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan calon peserta KB Pria yang mau menggunakan vasektomi setiap tahunnya.

Kata Kunci: Gerakan kelompok, Kelompok KB Pria, Vasektomi

Pendahuluan

Keluarga Berencana atau yang lebih dikenal dengan istilah KB merupakan suatu program pemerintah dan bahkan program dunia untuk menekan angka kelahiran. Selama ini, orang beranggapan bahwa KB hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan saja. Sehingga kebanyakan kaum pria tidak mau ikut ber-KB. Walaupun ikut, mereka menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom. Namun seiring dengan perkembangan zaman maka KB tidak hanya diperuntukan untuk kaum perempuan, akan tetapi berlaku juga untuk kau laki-laki. Alat kontrasepsi yang digunakannya pun tidak

24 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

hanya kondom, ada alat kontrasepsi lainnya yaitu yang berupa vasektomi.

Menurut data dari BKBPPPA Kota Prabumulih tahun 2015, peserta KB pria yang menggunakan alat kontrasepsi vasektomi atau Metode operasi pria (MOP) tiap tahunnya tidak lebih dari 25 orang dari 20 orang yang ditargetkan. Namun, menurut BKBPPA Kota Prabumulih target yang dicapai tersebut merupakan suatu upaya yang dapat dikatakan berhasil. Keberhasilan tercapainya target tersebut karena menggunakan motivator KB. Motivator ini bukan berasal dari petugas penyuluh lapangan (PPL) keleuarga berencana yang dimiliki oleh pihak BKBPPPA Kota Prabumulih, akan tetapi motivatornya adalah dari peserta KB pria itu sendiri. Motivator KB pria yang telah lama menjadi peserta KB pria dan mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi direkrut untuk menjadi motor penggerak dalam mengkampanyekan program KB pria di Kota Prabumulih.

Saat ini, pria yang menjadi akseptor KB yang menggunakan alat kotrasepsi vasektomi atau MOP membuat sebuah wadah atau kelompok yang dinamakan kelompok “PERKASA”. Kelompok “PERKASA” ini terbentuk dari inisiatif seorang peserta KB pria yang sudah lama menjadi motivator KB Pria di Kota Prabumulih khususnya di Kecamatan Tanjung Raman Kota Prabumulih. Kelompok “PERKASA” ini merupakan sebuah kelompok KB pria yang menjadi penggerak untuk mengkampanyekan program KB kepada kaum laki-laki atau suami untuk ikut ber-KB. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok “PERKASA” ini mempunyai tujuan untuk mengubah mindset kaum lelaki bahwa KB tidak hanya untuk istri atau wanita akan tetapi KB juga diperuntukkan untuk para suami atau kaum bapak.

Terbentuknya kelompok “PERKASA” yang diketuai oleh Bapak Jono pada mulanya untuk menaungi seluruh akseptor KB pria yang menggunakan vasektomi saja. Lambat laun, kelompok ini juga ingin berbagi pengalaman dengan para calon-calon peserta KB yang ingin mengetahui jika menggunakan vasektomi. Selama ini, para suami atau bapak-bapak beranggapan bahwa jika ikut ber-KB atau menggunakan vasektomo mereka tidak akan menjadi „perkasa‟ lagi atau dapat mengurangi keperkasaan mereka ketika berhubungan dengan istri mereka. Bahkan ada yang mengatakan jika memasang vasektomi alat vitalnya tidak akan berdiri lebih sempurna dari sebelum menggunakannya. Pernyataan-pernyataan inilah yang harus

Rudy Kurniawa | 25 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

diluruskan oleh kelompok “PERKASA” bahwa apa yang mereka takutkan tidaklah seperti mereka bayangkan.

Gerakan kelompok “PERKASA” merupakan sebuah gerakan sosial yang lebih mengajak kepada para suami untuk melakukan atau ikut ber-KB yaitu menggunakan vasektomi. Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Ciri lain Gerakan Sosial ialah penggunaan cara yang berbeda diluar institusi yang ada (Kamanto Sunarto, 2004: 199). Maran (2001: 65) juga mengatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya yang kurang lebih keras dan teroganisir yang dilakukan oleh orang-orang yang realtif besar jumlahnya, entah untuk menimbulkan perubahan, entah untuk menentangnya.

Seperti halnya yang dilakukan oleh gerakan sosial kelompok “PERKASA” dalam melakukan kegiatan-kegiatan kampanye KB mereka kepada para bapak-bapak atau suami, tentunya gerakan yang mereka lakukan tidak mungkin tanpa ada tujuan yang jelas. Rasa sayang kepada istri-istri jika istri ikut ber-KB tidak ada kecocokan dalam menggunaan alat kontrasepsi KB. Faktor ekonomi keluarga yang tidak tercukupi karena mempunyai anak yang banyak sehingga serba kekurangan. Kedua faktor, dari beberapa faktor yang ada, itulah yang membuat mereka untuk melakukan suatu gerakan untuk mengajak para suami atau bapak-bapak untuk ikut ber-KB.

Kajian mengenai gerakan sosial telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Sri Roviana (2014) yang meneliti masalah “Gerakan Perempuan Nahdhatul Ulama dalam Transformasi Pendidikan Politik”. Suharko (2006) yang meneliti mengenai “Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani”. Syamsul Arifin (2008) yang mengkaji “Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial Tawaran Teoritik Kajian Fundamentalisme Agama”. Sita Aripurnami (2013) penelitiannya berjudul “Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia”. Gerakan sosial yang dikemukakan para ahli tersebut cenderung mendeskripsikan gerakan sosial dalam perspektif gender, gerakan perempuan, gerakan politik, gerakan petani maupun gerakan keagamaan.

Penelitian gerakan sosial yang dilakukan oleh peneliti ini lebih kepada gerakan sosial yang dilakukan oleh sebuah komunitas peserta KB pria. Gerakan sosial yang dilakukan oleh Kelompok “PERKASA”

26 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

pada dasarnya ingin melakukan sebuah perubahan pada kaum pria khususnya para suami untuk ikut menjadi peserta KB pria dengan menggunakan alat kontrasepsi vasektomi. Dengan adanya gerakan yang dilakukan kelompok “PERKASA” ini diharapkan dapat membantu pemerintah Kota Prabumulih khususnya dinas BKBPPPA dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria.

Gerakan Sosial merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Dalam konsep ini terkandung ide bahwa orang-orang berintervensi dalam proses perubahan sosial. Daripada menanggapi secara pasif aliran hidup atau aspek-aspeknya yang bermasalah, mereka berusaha mengubah jalan sejarah. Dari signifikansi yang sama, mereka melakukan aktivitas bersama. Orang-orang secara sadar melakukan aktivitas bersama dengan suatu kepekaan akan berpartisipasi dalam suatu usaha bersama. Dengan demikian, gerakan-gerakan sosial merupakan wahana yang memungkinkan manusia secara kolektif mempengaruhi perjalan peristiwa-peristiwa manusia melalui organisasi formal (Sztompka, 2010: 325).

Di kalangan sosiolog, terdapat dua pandangan yang berbeda mengapa suatu gerakan sosial terbentuk. Maran (2001: 78) menjelaskan bahwa menurut pandangan pertama, gerakan sosial disebabkan oleh kesengsaraan, terutama karena masalah sosial dan kesukaran ekonomis. Cara pandang ini disebut pendekatan konflik. Namun, argumen pertama ini dianggap tidak menyakinkan oleh penganut pandangan kedua. Menurut mereka kesengsaraan, problem-problem sosial, dan kesukaran ekonomis itu terdapat di berbagai lingkungan masyarakat. Pun penindasan serta penderitaan terdapat di berbagai belahan dunia dalam sepanjang sejarah umat manusia. Namum gerakan-gerakan sosial relatif jarang terjadi. Para sosiolog penganut pandangan kedua menjelaskan bahwa penyebab gerakan-gerakan sosial adalah faktor pengorganisasian sumber daya. Sistem mobilisasi sumber daya yang timpang menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan sosial. Cara pandangan kedua ini disebut pendekatan mobilisasi sumber daya.

Zald dan Berger seperti yang disitir oleh Sztompka (2010: 326) bahwa gerakan sosial merupakan wujud kesukaan untuk berubah dikalangan anggota masyarakat atau upaya kolektif khusus untuk menyatakan keluhan dan ketidakpuasan dan atau mendorong atau

Rudy Kurniawa | 27 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

menghambat perubahan. Tindakan kolektif yang kurang lebih teroganisir, bertujuan perubahan sosial atau lebih tetapnya kelompok individu secara bersama bertujuan mengungkapkan perasaan tak puas secara kolektif di depan umum dan mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tidak memuaskan itu (Eyerman & Jamison, 1991: 43). Hal senada juga dikatakan oleh Wood dan Jakcson (1982: 3) bahwa gerakan sosial juga sebagai upaya kelompok tak konvensional untuk menciptakan atau menentang perubahan atau lebih rinci, kelompok nonkonvensional yang mempunyai derajat organisasi formal berbeda-beda dan yang berupaya menciptakan atau mencengah tipe perubahan radikal atau reformis.

Gerakan sosial atau disebut juga dengan aksi sosial (social action) merupakan suatu tindakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang atau masyarakat yang ingin mengatasi masalah sosial yang mereka hadapi disekitar tempat tinggal mereka. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Philip Kotler (dalam Rahmat, 2005: 82) tindakan kolektif yang dilakukan oleh orang atau suatu kelompok untuk mengurangi atau mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Philip Kotler menggambarkan unsur-unsur sosial dan aksi sosial dengan „Lima C‟ (cause) atau Jalaluddin Rahmat menyebutnya „Lima S‟, yaitu:

1. Sebab (cause). Upaya atau tujuan sosial – yang dipercayai oleh pelaku perubahan – dapat memberikan jawaban pada problem sosial.

2. Sang pelaku perubahan (change agency). Organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial.

3. Sasaran perubahan (change target). Individu, kelompok, atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan.

4. Saluran (channel). Media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan.

5. Strategi perubahan. Teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.

Dalam studi Gerakan Sosial Baru (New Social Movements) terdapat dua teori dominan yang saling “bertentangan”, yaitu the Resource Mobilization Theory (RMT) dan the Identity-Oriented Theory

28 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

(IOT). Penelitian mengenai gerakan sosial kelompok “PERKASA” dalam mengkampanyekan vasektomi ini menggunakan teori Mobilisasi Sumberdaya (the Resource Mobilisation Theory). Teori Mobilisasi Sumberdaya merupakan kerangka teoritik yang cukup dominan dalam menganalisis gerakan sosial dan tindakan kolektif (Buechler, 1995: 441). Menurut Cohen (dalam Singh, 2010), para teoritisi mobilisasi sumberdaya (resource mobilization) mengawali tesis mereka dengan penolakan atas perhatian terhadap peran dari perasaan (feelings) dan ketidakpuasan (grievances), serta penggunaan kategori psikologi dalam memahami Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Senada dengan Cohen, Zurcher dan Snow dalam Klandermans (1984) menyatakan bahwa Resource Mobilization Theory (RMT) adalah merupakan reaksi atas pandangan tradisional dari teori-teori psikologi sosial tentang gerakan sosial. Para teoritisi psikologi sosial umumnya mengkaji partisipasi orang-orang dalam suatu gerakan sosial atas dasar sifat-sifat kepribadian (personality traits), marginalisasi dan keterasingan (marginality and alienation), serta ketidakpuasan dan ideology (grievances and ideology), dan ketegangan sosial.

Asumsi dasar paradigma mobilisasi sumber daya adalah bahwa gerakan kontemporer mensyaratkan sebentuk komunikasi dan organisasi yang canggih, ketimbang terompet dan tambur dari gerakan “lama”. Menurut Singh (2010) GSB adalah sebuah sistem mobilisasi yang terorganisir secara rasional. Resource Mobilization Theory (RMT), memfokuskan perhatiannya kepada proses-proses sosial yang memungkinkan muncul dan berhasilnya suatu gerakan. Resource Mobilization Theory lebih banyak memberikan perhatian terhadap factor-faktor ekonomi dan politik daripada Mass Society Theory atau Relative Deprivation Theory, serta kurang memberikan perhatian terhadap sifat-sifat psikologis dari anggota gerakan. Teori ini juga dibangun tidak didasarkan atas asumsi bahwa terdapat motivasi individu ketika bergabung dalam suatu gerakan, dan adanya keterasingan individu (individual alienation) adalah dianggap tidak relevan (kurang tepat). Resource Mobilization Theory berasumsi bahwa dalam suatu masyarakat dimana muncul ketidakpuasan maka cukup memungkinkan untuk memunculkan sebuah gerakan sosial. Faktor organisasi dan kepemimpinan merupakan faktor yang dapat mendorong atau menghambat suatu gerakan sosial (social movements). Menurut Oberschall dalam Locher (2002), istilah mobilisasi

Rudy Kurniawa | 29 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

(mobilization) mengacu kepada proses pembentukan kerumunan, kelompok, asosiasi, dan organisasi untuk mencapai suatu tujuan kolektif.

Menurut Halebsky dalam Pichardo (1988), teori mobilisasi sumberdaya menyamakan antara perilaku gerakan sosial (social movemen behavior) dengan perilaku politik (political behavior). Secara umum model ini berpandangan bahwa keberadaan struktur pemerintah menentukan akses kelompok terhadap sumberdaya masyarakat. Perkembangan gerakan sosial dipandang sebagai produk dari kekuatan-kekuatan lingkungan (environmental forces) baik bersifat internal maupun eksternal terhadap gerakan. Faktor-faktor internal meliputi: kepemimpinan (leadership), tingkat ketersediaan sumberdaya (level of available resources), ukuran kelompok (group size), dan tingkat dari organisasi internal (degree of internal organization). Sedangkan faktok-faktor eksternal meliputi: tingkat represi dari masyarakat (the level of societal repression), tingkat simpatisan eksternal (extent of external sympathizers), serta jumlah dan kekuatan kelompok politik (number and strength of polity groups).

Menurut Pichardo (1988), interaksi dari berbagai faktor tersebut disebut sebagai faktor penentu atas perkembangan dan perilaku dari suatu gerakan sosial. Atas dasar berbagai kajian tentang basis rasionalitas partisipasi dalam tindakan kolektif, kemudian Pihcardo (1988) melihat bahwa terdapat tiga elemen dasar dalam teori mobilisasi sumberdaya tentang proses terjadinya suatu gerakan sosial, yakni: sumberdaya (resources), motivasi (motivation), dan lingkungan politik (political environment). Menurut Canel dalam Triwibowo (2006), pendekatan RMT memusatkan analisisnya pada seperangkat proses kontekstual (keputusan mengenai pengelolaan sumberdaya, dinamika organisasi, serta perubahan politik) yang memampukan gerakan sosial untuk mengoptimalkan potensi-potensi struktural yang dimiliki guna mencapai tujuannya. Pendekatan ini menganalisis bagaimana para aktor gerakan sosial mengembangkan strategi dan berinteraksi dengan lingkungannya untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Munculnya gerakan sosial dan capaian dari aktivisme mereka dipandang sebagai hasil dari proses yang terbuka dan dipengaruhi oleh serangkaian taktik, strategi dan keputusan tertentu yang dipilih oleh para aktor dalam konteks relasi kuasa dan interaksi konfliktual yang ada.

30 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan gerakan sosial

yang dilakukan oleh kelompok “PERKASA” dalam mengkampanyekan vasketomi kepada pria. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Seperti yang dikemukakan oleh Creswel (1998: 37) bahwa studi kasus merupakan penelitian suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, prose, institusi, atau kelompk sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci (key informan). Informan ditentukan secara purposif dengan menentukan siapa-siapa saja yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian (Bungin, 2011). Informan kunci penelitian ditentukan dengan kriteria mereka terlibat dalam melakukan gerakan mengkampanyekan alat kontrasepsi vasektomi kepada kaum pria.

Penentuan informn dalam penelitian ini digunakan secara purposif yang ditetapkan secara sengaja dengan kriteria tertentu, informan dalam penelitian ini adalah pendiri kelompok KB Pri “PERKASA”, anggota kelompok KB Pri “PERKASA”, dan calon peserta KB pria.

Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksanaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber adalah memandingkan dan mengecek (cross check) balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987 dalam Moleong, 2011).

Teknik analisis data yang dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) pengorganisasian dan pengaturan data; (2) Membaca dan memahami keseluruhan data yang diperoleh; (3) kategorisasi data, yaitu menganalisis secara rinci data dan informasi yang ada; (4) menentukan deskripsi atau gambaran umum; (5)

Rudy Kurniawa | 31 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

merepresentasikan gambaran umum ke dalam narasi kualitatif untuk mengungkapkan temuan analisis; dan (6) interpretasi data

Hasil Dan Pembahasan Kelompok KB Pria “Perkasa”

Penggunaan penyuluh lapangan (PLKB) dalam memasarkan produk KB pria yang berupa MOP sampai saat ini ternyata belum begitu efektif. Sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan atau tidak sesuai dengan realisasinya. Hal ini dikarenakan PLKB BKBPPPA Kota Prabumulih belum bekerja secara maksimal. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para PLKB tersebut seperti minimnya fasilitas yang diberikan untuk melakukan penyuluhan, honor yang kecil (akibat dari anggaran hanya 5% untuk kampanye), dan kurangnya penguasaan teknik konseling. Oleh karena itu, BKBPPPA Kota Prabumulih mengubah strategi pemasaran KB pria ini dengan menggunakan motivator. Motivator tersebut diharapakan dapat meningkatkan jumlah peserta KB pria dalam menggunakan MOP. Motivator yang direkrut oleh BKBPPPA Kota Prabumulih berasal dari peserta KB pria itu sendiri. Mereka adalah peserta KB pria yang telah lama menjadi akseptor dan mempunyai keinginan kuat untuk membatu dalam memasarkan KB pria kepada masyarakat disekitarnya.

Agar pelaksanaan kampanye alat kontrasepsi pria (MOP) ini dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dapat lebih maksimal, maka dibentuklah sebuah kelompok KB Pria yang kemudian diberi nama Kelompok KB Pria Perkasa. Kelompok KB Pria Perkasa ini terbentuk pada tahun 2009. Namun, menurut informasi yang diterima, keberadaan Kelompok KB Pria Perkasa belum diketahui oleh masyarakat karena gerakan untuk mengkampanyekan MOP belum berjalan dengan baik. Sempat terjadi kevakuman dalam pelaksanaanya. Sehingga belum membuahkan hasil yang maksimal.

Pada tahun 2012, seorang bidan bernama Novi yang sekarang bertugas di Puskesmas Prabumulih Barat meminta kepada seorang anggota Kelompok KB Pria Perkasa untuk menjadi ketua yang bernama Bapak Jono. Awal kepemimpinannya, Kelompok KB Pria Perkasa masih beranggotakan 12 (dua belas) orang dan mereka adalah anggota yang tetap bertahan sejak berdirinya kelompok ini. Bapak Jono sendiri bergabung dengan Kelompok KB Pria Perkasa ini pada tahun 2010 setelah beliau melakukan operasi vasektomi pada tahun 2001.

32 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Penunjukkan Bapak Jono sebagai ketua Kelompok KB Pria Perkasa pada tahun 2012 oleh bidan Novi, yang pada saat itu bidan Novi masih penyuluh KB di wilayah Kecamatan Prabumulih Selatan, bukanlah tanpa alasan. Bidan Novi menunjuk Bapak Jono sebagai ketua Kelompok KB Pria Perkasa karena Bapak Jono mempunyai latar pendidikan yang lebih baik dari anggota lainnya, jika diundang rapat dalam sosialisasi KB Pria selalu hadir, pandai berkomunikasi dengan baik dihadapan orang banyak, sebagai ketua RW, dan sebagai tokoh agama yang suka mengisi khutbah Jumat di masjid di wilayah Kecamatan Prabumulih Selatan. Latar belakang yang dimiliki oleh Bapak Jono diharapkan dapat memberikan angin segar bagi perkembangan Kelompok KB Pria Perkasa ini. Untuk memperkuat penunjukkan Bapak Jono sebagai ketua Kelompok KB Pria Perkasa di wilayah Kelurahan Tanjung Raman Kota Prabumulih, diterbitkanlah surat keputusan pembentukan Kelompok KB Pria Perkasa dan pengurusnya oleh Camat Prabumulih Selatan Kota Prabumulih. Terbukti dengan kehadiran Kelompok KB Pria Perkasa yang diketuai oleh Bapak Jono saat ini dapat membantu BKBPPPA Kota Prabumulih dalam meningkatkan peserta KB Pria setiap tahun sesuai dari target yang harapkan. Karena Kota Prabumulih adalah salah satu percontohan dalam pemasaran KB Pria MOP.

Kegiatan Kelompok KB Pria Perkasa

Visi dan Misi sebuah organisasi tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak dilanjutkan dengan program kerja atau kegiatan kelompok tersebut. Begitu halnya dengan Kelompok KB Pria Perkasa di Kota Prabumulih, kegiatan yang dilakukan pun diharapkan dapat memberikan angin segar dalam membatu BKKBN Kota Prabumulih dalam mengkampanyekan MOP kepada kaum pria. Untuk saat ini, kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa yaitu pertemuan atau rapat anggota kelompok, ekonomi produktif, KIR penyuluhan, dan pelatihan KB.

Pertemuan kelompok KB Pria Perkasa yang dilakukan selama ini ada tiga pertemuan atau rapat dan semuanya dilakukan setiap bulannya. Pertama¸ pertemuan pengurus Kelompok KB Pria Perkasa yang diadakan setiap bulan. Pertemuan pengurus ini dilakukan setiap bulan ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi antar pengurus Kelompok KB Pria Perkasa Kelurahan Tanjung Raman. Pengurus Kelompok KB Pria Perkasa Kelurahan Tanjung Raman mayoritas

Rudy Kurniawa | 33 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

bekerja sebagai petani karet. Sehingga sebagaian besar kegiatan mereka dihabiskan untuk mengurus kebun karet mereka yang letaknya tidak dekat dari rumah mereka. Namun, walaupun pengurus Kelompok KB Pria Perkasa kelurahan Tanjung Raman ini sibuk mereka masih sempat untuk berkumpul setiap bulannya. Pertemuan yang diadakan setiap bulan ini diadakan secara bergantian di rumah pengurus Kelompok KB Pria Perkasa Kelurahan Tanjung Raman. Masalah yang dibahas dalam pertemuan ini adalah saling memberikan semangat kepada antar anggota agar tetap menjadi peserta KB pria. Karena ada salah satu anggota kelompok KB Pria mengundurkan diri dari keanggotaan dan bahkan dia tidak lagi ber-KB menggunakan vasektomi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari luar yang mempengaruhi dirinya yaitu adanya pernyataan bahwa ber-KB itu hukumnya haram dan dilarang agama. Pertemuan ini juga merupakan sebagai tali silaturahmi dan membahas apa-apa saja yang telah dicapai dalam memotivasi calon peserta KB Pria serta kendala yang dihadapi. Para anggota Kelompok KB Pria Perkasa semuanya membahas kegiatan mereka pada saat melakukan kampanye pada masyarakat khususnya kaum pria.

Kedua, pertemuan kelompok setiap bulan. Pertemuan kelompok ini adalah pertemuan kelompok yang ada di Kota Prabumulih. Pertemuan Kelompok KB Pria ini tentunya difasilitasi oleh BKBPPPA Kota Prabumulih. Pertemuan ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi, juga untuk bertukar informasi antar kelompok KB Pria. Dengan diadakan pertemuan ini diharapkan terjalinnya kerjasama yang baik antar kelompok KB pria.

Ketiga, pengajian yang diadakan dua kali dalam seminggu. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa Kecamatan Prabumulih Selatan ini adalah dengan mengadakan pengajian baik pengajian bapak-bapak maupun pengajian ibu-ibu. Setiap kali diadakan pengajian, maka disana jugalah kegiatan memotivasi kepada calon peserta KB pria dilakukan.

Kelompok KB Pria Perkasa tidak hanya melakukan kampanye KB Pria, namun ada kegiatan lain yang dapat mendukung perekonomian keluarga mereka. Kegiatan tersebut adalah kegiatan ekonomi produktif. Ada 3 (tiga) kegiatan dalam ekonomi produktif yang dilakukan Kelompok KB Pria Perkasa ini, yaitu kegiatan peternakan, pertanian, dan pertukangan. Kegiatan peternakan yaitu dengan memelihara kambing. Kegiatan pertanian dengan melakukan

34 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

pembibitan karet. Kegiatan pertukangan yaitu pembuatan kusen, pintu dan jendela. Kegiatan ekonomi produktif ini diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga.

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa ini adalah dengan mengikuti pelatihan tentang pentingnya KB Pria (vasektomi). Kegiatan ini dilakukan oleh BKBPPPA Kota Prabumulih dengan melibatkan semua anggota Kelompok KB Pria Perkasa. Hal ini bertujuan agar para peserta yang hadir dapat bertanya langsung kepada peserta KB pria bagaimana manfaatnya kalau ber-KB vasektomi baik dari segi kesehatan maupun ekonomi. Kehadiran peserta KB pria lestari ini tentunya akan lebih meyakinkan para calon peserta KB pria bahwa meggunakan vasektomi tidaklah mengganggu kesehatan terutama alat vital kelakiannya.

Kampanye Vasektomi yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa

Dinamika internal gerakan sosial dalam penelitian ini dibatasi pada proses mobilisasi dalam paradigma mobilisasi sumber daya. Dalam paradigma ini, elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah organisasi-organisasi gerakan; bukan individu-individu. Penelitian yang dilakukan dalam kerangka paradigma mobilisasi sumber daya sering kali terdiri dari studi mengenai organisasi gerakan tertentu. Mobilisasi merupakan proses dimana sebuah kelompok melakukan kendali kolektif atas sumber daya yang dibutuhkan untuk tindakan kolektif (Jenkins dalam Singh, 2010). Tindakan kolektif yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa merupakan suatu tindakan yang merupaya untuk mengajak kaum pria agar ikut ber-KB menggunakan vasektomi.

Penggunaan strategi yang tepat yaitu dengan melibatkan kelompok KB Pria Perkasa melalui gerakannya dalam memasarkan atau mengkampanyekan vasektomi kepada pria ternyata lebih efektif. Hal ini dikarenakan para anggota kelompok KB pria Perkasa merupakan contoh langsung dan bukti nyata bahwa penggunaan KB vasektomi bagi pria aman dan tidak mengganggu kesehatan.

Gerakan yang dilakukan oleh kelompok KB Pria Perkasa merupakan gerakan kelompok yang membantu dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria. Suatu gerakan tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya suatu aksi agar tujuan dari kelompok tersebut tercapai. Begitu juga dengan gerakan yang

Rudy Kurniawa | 35 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

dilakukan oleh kelompok KB Pria Perkasa tentunya juga mempunyai aksi atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang menjadi targetnya. Gerakan kelompok KB Pria Perkasa ini tidak hanya terjadi begitu saja seperti membalik telapak tangan dan langsung berhasil. Namun, gerakan yang dilakukan oleh Kelomok KB Pria Perkasa ini tentunya melalui proses dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria.

Proses gerakan kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria ini bersifat informal. Hal ini seperti yang dikemukan informan bahwa proses mengajak kaum pria atau bapak-bapak agar mau bergabung menjadi peserta KB Pria dan menggunakan vasekotomi dilakuan secara tidak formal. Artinya bahwa dalam mengkampanyekan vasektomi, kelompok KB Pria Perkasa ini tidak mendatangi kantor-kantor instansi swasta atau pemerintah, dari pintu ke pintu, atau dengan sengaja mengundang kaum pria pada tempat tertentu kemudian mensosialisasikannya, namun kelompok KB Pria Perkasa mengkampanyekannya lebih bersifat pendekatan persuasi dan pada situasi yang santai.

Pada saat masyarakat melakukan kegiatan menimbang karet, yaitu hasil dari perkebunan karet warga dan dilakukan setiap satu minggu sekali, banyak kaum pria atau bapak-bapak datang di lokasi penjualan karet. Pada saat itulah anggota kelompok KB Pria Perkasa melakukan tugasnya untuk mengkampanyekan vasektomi kepada mereka yang hadir pada saat itu. Biasanya dimulai dengan obrolan-obrolan biasa seperti membahas masalah keluarga, biaya anak sekolah yang mahal, kebutuhan keluarga yang banyak sedangkan harga karet murah, dan masalah pinjaman mereka dengan bank maupun rentenir. Pada saat obrolan ringan dan santai inilah anggota kelompok KB Pria Perkasa mulai memasukan atau menyinggung mengenai KB. Mereka mencoba untuk menyarankan agar ikut ber-KB saja. Apalagi kebanyakan dari warga dusun, ibu-ibunya tidak ikut ber-KB juga sehingga rentan mereka hamil padahal anak mereka sudah banyak. Dengan ikut KB pria tidak perlu lagi cemas istri akan hamil karena telah steril. Tidak perlu takut bahwa kalau menggunakan vasektomi tidak akan mengganggu kesehatan tubuh termasuk kejantanannya. Aksi yang dilakukan oleh anggota Kelompok KB Pria tidak hanya berhenti walaupun terkadang ada juga warga yang menghina atau mencibir mereka kalau

36 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

menggunakan vasektomi maka hubungan suami istri tidak akan terganggu.

Kegiatan kampanye kelompok Pria Perkasa tidak hanya dilakukan pada saat penimbangan karet saja, mereka juga melakukannya pada saat kegiatan gotong royong yang dilakukan di kampung, ketika datang ke tempat hajatan, dan menyampaikan khutbah Jum‟at. Gotong royong yang diadakan setiap satu minggu sekali merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh anggota Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada semua warga yang ikut bergotong royong. Sambil bergotong royong membersihkan desa, anggota Kelompok KB Pria Perkasa bercerita mengenai manfaat ikut KB MOP atau vasektomi. Tidak ada ruginya kalau ikut KB pria apalagi kalau istri tidak cocok menggunakan KB yang ada.

Ketika diundang pada acara hajatan pun anggota Kelompok KB Pria Perkasa tidak malu-malu menyampaikan kepada kaum pria untuk masuk KB. Hal disampaikan jika mereka secara tiba-tiba didaulat untuk memberikan kata sambutan yang mewakili tamu undangan atau sebagai ketua panitianya. Mereka menggunakan kesempatan tersebut dengan menyinggung kalau punya anak cukup dua saja dan lebih baik ikut ber-KB. Mereka menjelaskan juga ber-KB tidak harus ibu atau wanita saja, kaum bapak pun dapat ikut ber-KB. Dengan ber-KB maka kesejahteraan keluarg akan lebih diperhatikan karena cukup memiliki dua anak saja atau maksimal tiga orang anak. Tentunya, ketika menyampaikan pesan-pesan mengenai KB pria mereka melakukannya dengan memberikan contoh yang ada dan dengan bahasa yang mudah dan enak dimengerti oleh audien.

Anggota kelompok KB Pria Perkasa terkadang suka memberikan khutbah Jum‟at di masjid. Kesempatan ini pun tidak dilepaskan begitu saja oleh mereka. Pada saat mereka mendapatkan tugas sebagai khotib Jum‟at mereka sudah mempersiapkan bahan khutbah dengan tema KB. Mereka mencari dalil yang tepat mengenai alasan mengapa harus ber-KB. Alasan yang diungkapkan tentunya adalah demi kesejahteraan keluarga, jika banyak anak dan ekonomi keluarga sangat tidak memungkinkan maka akan membuat anak menjadi terlantar baik dari sisi pendidikan maupun kesehatannya. Dengan memberikan dalil-dalil yang menyakinkan berharap jamaah Jumat menyadari dan mau ikut ber-KB. Hal ini seperti yang dilakukan oleh ketua kelompok KB Pria Perkasa bahwa dirinya dan

Rudy Kurniawa | 37 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

anggota lainnya pernah memberikan khutbah Jum‟at dan memberikan materi khutbah tentang KB. Masih banyak masyarakat khususnya kaum pria yang menganggap bahwa KB itu haram termasuk KB vasektomi. Mereka berpendapat bahwa memotong salah satu bagian tubuh kita tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Jika mereka menggunakan vasektomi maka akan ada bagian dari alat vital mereka yang dipotong. Hal inilah yang membuat masyarakat masih ragu untuk ikut menggunakan vasektomi. Pada saat pelaksanaan shalat Jumat inilah, maka pesan ikut ber-KB disisipkan dalam isi khutbah yang telah dirancang sebelumnya.

Gerakan kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampayekan vasektomi kepada kaum bapak atau pria tidak hanya dilakukan oleh anggotanya saja. Namun, gerakan mereka tersebut didukung oleh istri-istri mereka. Istri para anggota kelompok KB Pria Perkasa tersebut tidak hanya memberikan support atau semangat kepada suaminya agar tetap ber-KB menggunakan vasektomi. Para istri anggota Kelompok KB Pria Perkasa juga ikut mengkampanyekan vasektomi kepada para istri calon peserta KB pria. Istri anggota kelompok KB Pria Perkasa berusaha memberikan saran dan nasehat kepada mereka agar suami mereka mau ikut ber-KB. Bahkan menyarankan agar suami saja yang ikut ber-KB sedangkan istri tidak perlu ber-KB. Hal ini dilakukan demi kesehatan istri. Keikutsertaan istri dari anggota Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan KB Pria merupakan suatu terobosan yang sangat bagus. Karena pendekatan yang dilakukan pun beragam melalui pendekatan persuasif.

Gerakan yang dilakukan oleh kelompok KB Pria Perkasa ini merupakan suatu gerakan yang memanfaatkan atau memberdayakan sumber daya yang dimiliki oleh kelompok KB Pria. Adanya mobilisasi sumber daya yang dimiliki tentunya akan membantu terlaksananya aksi dalam gerakan yang dilakukan oleh kelompok KB Pria Perkasa. Hal ini senada apa yang diutarakan oleh Waterman dalam Pichardo (1988), bahwa mobilisasi sumber daya dalam suatu gerakan sosial dikarenakan adanya rasionalitas dari perilaku gerakan sosial itu sendiri. Begitu juga apa yang dikemukakan Fireman dan Gamson seperti yang dikutip oleh Pichardo (1988), esensi dari mobilisasi sumber daya adalah upaya untuk mencari basis rasionalitas tentang bentuk dan partisipasi dalam suatu gerakan sosial. Hal ini terbukti seperti dilakukan oleh kelompok KB Pria

38 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Perkasa dalam mengakampanyekan produk KB untuk pria yaitu vasektomi atau MOP.

Kesadaran Kaum Pria ber-KB Vasktomi melalui Gerakan Kelompok KB Pria Perkasa

Gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan yaitu membuat suatu perubahan termasuk perubahan pada masyarakat. Gerakan sosial merupakan agen perubahan sosial namun disisi lain gerakan sosial merupakan bagian dari masyarakat yang juga mengalami perubahan. Sebagian besar perubahan yang dihasilkan oleh gerakan sosial adalah perubahan dalam gerakan sosial itu sendiri termasuk anggota masyarakat. Gerakan sosial mengubah masyarakat dalam proses mengubah dirinya sendiri untuk mengubah masyarakat secara lebih efektif. Perubahan didalam gerakan dan perubahan oleh gerakan, berlangsung bergandengan dan saling bergantung. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Sztompka (2004) bahwa perubahan sosial dan kemajuan tergantung pada tindakan manusia melalui gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau suatu kelompok.

Gerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok KB Pria Perkasa Kota Prabumulih merupakan salah satu gerakan yang menuju pada suatu perubahan yaitu perubahan mindset atau pola pikir kaum pria. Perubahan mindset yang dimaksud adalah kaum pria lebih memahami dan mengerti mengenai KB pria khususnya penggunaan vasektomi. Mengubah pola pikir atau mindset kaum pria untuk ikut dan menggunakan vasektomi bukanlah perkara yang mudah. Banyak faktor yang masih mempengaruhi pikiran mereka sehingga mereka tidak mau atau enggan untuk ber-KB.

Kurniawan (2015) juga mengatakan bahwa motivator KB pria dalam mengkampanyekan alat kontrasepsi KB pria tidaklah mudah. Mereka melakukannya dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat persuasif yang disertai dengan bukti-bukti yang nyata yaitu motivator itu sendiri sebagai contoh pengguna alat kontrasepsi vasektomi. Penggunaan vasektomi tidaklah merugikan bagi kesehatan tubuh dan tidak mempengaruhi seksualitas mereka. Dengan menjadi peserta KB pria tidak khawatir terjadi “kebobolan” pada saat bersenggama dengan istri.

Pola pikir yang menganggap bahwa KB itu hanya itu kaum perempuan saja. Rendahnya pengetahuan kaum pria mengenai KB yang menyebabkan mereka berpikir bahwa KB itu khusus untuk

Rudy Kurniawa | 39 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

perempuan saja dan pria tidak perlu ber-KB. Cara pandang inilah membuat kaum Pria tidak tertarik untuk ber-KB. Kurangnya sosialisasi yang mengenai penggunaan KB pada pria yang membuat kaum pria tidak memahami bahwa KB diperuntukkan untuk kaum pria.

Islam melarang manusia memotong salah satu organ tubuhnya dan ber-KB itu haram hukumnya. Bagi muslim yang taat maka mereka akan memahami bahwa memotong bagian tubuh dengan sengaja dilarang oleh agama. Vasektomi atau MOP merupakan salah satu produk KB khusus pria yang mana metode yang dilakukan pada KB ini adalah dengan memotong atau mengikat saluran cairan sperma. Metode memotong inilah yang dianggap sebagai sesuatu diharamkan oleh agama Islam. Masyarakat yang memahami hal ini maka mereka ada yang lebih senang menggunakan KB alami KB kalender atau yang ber-KB istrinya.

Alasan lain yang membuat kaum pria masih ragu untuk ikut ber-KB pria karena adanya anggapan bahwa ketika mereka menggunakan vasektomi maka akan mempengaruhi gairah seks mereka. Adanya penurunan seksualitas inilah yang tentunya membuat kaum pria masih ragu bahkan takut untuk ber-KB. Pandangan dan anggapan inilah yang harus diluruskan dan hal ini hanya bisa dijelaskan oleh peserta KB pria yang telah merasakan penggunaan vasektomi dan bagaimana dampaknya pada kesehatan mereka khususnya kesehatan seksualitas mereka.

Berbagai alasan yang dikemukakan di atas menunjukkan kurangnya pemahaman dan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa pria tidak boleh ikut ber-KB. Hal ini tentunya disebabkan kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh pihak BKBPPPA Kota Prabumulih mengenai penggunaan vasekotomi atau MOP. Akibatnya, kaum pria menganggap bahwa KB adalah hal yang tabu bagi mereka.

Setelah terbentuknya kelompok KB Pria Perkasa sebagai mitra dari BKBPPPA Kota Prabumulih dalam mengkampanyekan vasektomi kepada masyarakat merupakan suatu angin segar yang dapat membawa sebuah perubahan yaitu perubahan mindset atau cara pandang masyarakat dalam memahami KB untuk pria. Melalui pendekatan persuasif, calon peserta KB pria mulai mengerti dan memahami bagaimana manfaat jika mereka menggunakan vasektomi.

40 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Tentunya, proses mengubah mindset masyarakat khususnya kaum pria tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, membutuhkan waktu yang relatif lama karena masyarakat harus benar-benar yakin bahwa langkah mereka menjadi aseptor KB vasektomi adalah pilihan mereka tanpa adanya paksaan.

Bahkan, ada seorang calon KB pria yang usianya masih relatif muda sekita 28 tahun setelah mendengarkan saran dan ajakan dari anggota kelompok KB Pria Perkasa ketika mensosialisasikan vasektomi kepada masyarakat calon aseptor tertarik untuk masuk dan menjadi peserta KB pria. Namun, pihak anggota kelompok KB Pria Perkasa menolaknya karena orang tersebut masih terlalu muda dan masih kemungkinan besar ingin menambah anak. Oleh karena itu, penggunaan vasektomi sebenarnya harus benar-benar matang tanpa unsur paksaan. Mereka ikut ber-KB vasektomi karena dasar keinginan sendiri, faktor ekonomi, atau karena kesehatan sang istri sehingga mereka bersedia untuk menjadi anggota peserta KB Pria.

Berikut Alur gerakan Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi.

Respon Positif

Menanyakan Kembali

Alkon MOP/ Vasektomi

Gerakan Kelompok KB Pria Perkasa

Calon Peserta KB Pria

Pengecekan Terhadap Pengalaman peserta

KB alkon MOP

Pengujian Terhadap

Kebenaran MOP

Respon Negatif

PENUNDAAN PEMAKAIAN MOP

Menggunakan Alkon MOP

Sumber: Kurniawan 2015, diolah kembali

Rudy Kurniawa | 41 Gerakan Kelompok KB Pria “Perkasa”

Penutup

Berdasarkan dari pembahasan di atas mengenai gerakan kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi dapat disimpulkan bahawa pelaksanaan gerakan kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria ini bersifat informal. Hal ini seperti yang dikemukan informan bahwa proses mengajak kaum pria atau bapak-bapak agar mau bergabung menjadi peserta KB Pria dan menggunakan vasekotomi dilakuan secara tidak formal. Artinya bahwa dalam mengkampanyekan vasektomi, kelompok KB Pria Perkasa ini tidak mendatangi kantor-kantor instansi swasta atau pemerintah, dari pintu ke pintu, atau dengan sengaja mengundang kaum pria pada tempat tertentu kemudian mensosialisasikannya, namun kelompok KB Pria Perkasa mengkampanyekannya lebih bersifat pendekatan persuasi dan pada situasi yang santai. Pada saat masyarakat melakukan kegiatan menimbang karet, yaitu hasil dari perkebunan karet warga dan dilakukan setiap satu minggu sekali, banyak kaum pria atau bapak-bapak datang di lokasi penjualan karet. Pada saat itulah anggota kelompok KB Pria Perkasa melakukan tugasnya untuk mengkampanyekan vasektomi kepada mereka yang hadir pada saat itu. Biasanya dimulai dengan obrolan-obrolan biasa seperti membahas masalah keluarga, biaya anak sekolah yang mahal, kebutuhan keluarga yang banyak sedangkan harga karet murah, dan masalah pinjaman mereka dengan bank maupun rentenir.

Gerakan yang dilakukan oleh Kelompok KB Pria Perkasa dalam mengkampanyekan vasektomi kepada kaum pria telah mengubah mindset kaum pria walaupun membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar untuk menyakinkan mereka agar menggunakan vaaektomi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan calon peserta KB Pria yang mau menggunakan vasektomi.

Daftar Pustaka BKKBN, 2002, Panduan Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan

Reproduksi Berwawasan Gender, Jakarta. BKKBN, 2003, Bunga Rampai: Bahan Pembelajaran Pelatihan

Pengarusutamaan Gender Dalam Program Pembangunan Nasional, Jakarta.

Buechler, Steven M. New, 1995, Social Movement Theories Source: The Sociological Quarterly, Vol. 36, No. 3 (Summer, 1995), Pp.

42 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

441-464 Published By: Blackwell Publishing On Behalf Of The Midwest Sociological Society Stable Url: http://www.jstor.org/stable/4120774. diakses tanggal 12 Januari 2016

Creswell, John W, 2010, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Klandermans, Bert, (1984), Mobilization and Participation: Social-Psychological Expansions of Resource Mobilization Theory. AmericanSociological Review, Vol.49, No. 5 (Oct. 984). Diakses tanggal 11 Januari 2016.

Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller, 2007, Manajemen Pemasaran Edisi 12. Indonesia: PT Index

Kurniawan, Rudy, 2015, Strategi Pemasaran Sosial BKBPPPA Kota Prabumulih dalam Mengkampanyekan Program KB (alkon MOP) Kepada Kaum Laki-Laki. Unsri: Laporan Sateks.

Maran, Rafael Raga, 2001, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta

Moleong, J. L, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Pichardo, Nelson A, 1997, New Social Movement „A Critical Review.‟ Annual Review Sociology, Vol. 23.

Rahmat, Jalaludin, 2001, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau manusia Besar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Singh, Rajendra, 2010, Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book. Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia. Sztompka, P, 2004, Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media. Jurnal: Roviana, Sri, “Gerakan Perempuan Nahdhatul Ulama dalam

Transformasi Pendidikan Politik”, Dalam Jurnal Pendidikan Islam: Volume III, Nomor 2, Desember 2014.

Sita Aripurnami, penelitiannya berjudul “Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia”. Dalam Jurnal Afirmasi.Volume 02. Januari 2013.

Suharko, “Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. ISSN 1410-4946. Volume 10, Nomor 1, Juli 2006.

Syamsul Arifin, “Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial Tawaran Teoritik Kajian Fundamentalisme Agama”. Jurnal Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008

Beti Nur Hayati & Suparjan | 43

Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT. Semen Gersik Pabrik Tuban

Kemitraan sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Program CSR Batik Cap Pewarna Alami di PT.

Semen Gresik Pabrik Tuban

Beti Nur Hayati, S.Sos. & Drs. Suparjan, M.Si.

Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Email : [email protected] & [email protected]

Abstract The purpose of this study was to describe the benefits

obtained by the beneficiaries of the community empowerment “batik cap pewarna alami” CSR PT. Semen Gresik Tuban plant using partnerships as a strategy in the implementation. This study used qualitative research methods. Data was collected by interview and observation on program beneficiaries, NGOs, and the company PT. Semen Gresik Tuban plant. Results from this study is a community empowerment program batik natural dye is a CSR program PT. Semen Gresik Tuban plant in partnership with the Koalisi Perempuan Ronggolawe provides the benefits of increasing the capacity of the members of the program can not make “batik cap pewarna alami” become skilled in “batik cap”. In addition to improving knowledge about design of “batik” and also provide additional equipment as capital to produce “batik cap pewarna alami”.

Keywords : Partnerships, Community Empowerment, Corporate Social Responsibility, PT. Semen Gresik Tuban Plant

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan manfaat yang diperoleh penerima manfaat dari program pemberdayaan masyarakat batik cap pewarna alami CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban dengan menggunakan kemitraan sebagai strategi dalam pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi pada penerima program, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak perusahaan PT. Semen Gresik pabrik Tuban. Hasil dari penelitian ini adalah program pemberdayaan masyarakat batik cap pewarna alami yang merupakan program CSR PT. Semen

44 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Gresik pabrik Tuban yang bermitra dengan Koalisi Perempuan Ronggolawe memberikan manfaat berupa meningkatkan kapasitas anggota program dari yang semula tidak bisa membuat batik cap menjadi memiliki ketrampilan membatik cap. Selain itu juga meningkatkan pengetahuan mengenai motif batik dan juga memberikan tambahan peralatan sebagai modal untuk memproduksi batik cap pewarna alami.

Kata kunci : Kemitraan, Pemberdayaan Masyarakat, CSR, PT. Semen Gresik Pabrik Tuban

Pendahuluan

Perusahaan merupakan entitas yang keberadaannya tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya. Aktivitas perusahaan dalam kegiatan produksi-nya membawa berbagai dampak baik di lingkungan maupun masyarakat-nya. Keberadaan perusahaan di satu sisi membawa dampak positif. Misalnya dengan adanya perusahaan di tengah masyarakat menaikkan perputaran ekonomi sebab dapat membuka lapangan pekerjaan baik secara formal maupun informal. Namun disisi lain adanya aktivitas perusahaan juga membawa dampak negatif bagi masyarakat, misalnya lingkungan yang rusak.

Corporate Social Responsibility muncul sebagai tuntutan terhadap perusahaan sebagai akibat dari adanya dampak negatif yang ditimbulkan bagi masyarakat dan lingkungan. Penerapan kegiatan CSR mengacu pada 3 prinsip yang dikembangkan oleh Elkington yang lebih dikenal dengan prinsip triple bottom lines yaitu People, Planet, Profit . Konsepnya selain menghasilkan laba bagi para shareholder-nya juga harus memper-hatikan kepentingan para stakeholder-nya serta lingkungan sekitarnya. Salah satu stakeholder perusahaan adalah masyarakat di sekitarnya. Salah satunya adalah dengan peduli dengan masalah sosial yang dihadapi masyarakat sekitar.

Masalah kemiskinan masih men-jadi masalah utama yang dihadapi negara berkembang, begitu juga di Indonesia. Angka kemiskinan di Indonesia relatif tinggi. Pada tahun 2017 bulan Maret menurut data BPS angka kemiskinan mencapai 27,77 juta orang atau sekitar 10,64% . Pemerin-tah mendorong keterlibatan berbagai sektor untuk mengatasinya. Hal tersebut terlihat dari munculnya produk kebijakan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Peraturan

Beti Nur Hayati & Suparjan | 45

Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT. Semen Gersik Pabrik Tuban

tersebut diantaranya melalui UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana Keputusan Menteri BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). PKBL terdiri program perkuatan usaha kecil melalui pemberian pinjaman dana bergulir dan pendampingan (disebut Program Kemitraan), serta program pember-dayaan kondisi sosial masyarakat sekitar (disebut Program Bina Ling-kungan), dengan dana kegiatan yang bersumber dari laba BUMN. Tujuan dari adanya peraturan tersebut ialah untuk mendorong sektor swasta untuk lebih peduli terhadap masalah sosial, utamanya di daerah sekitar perusahaan. Sehingga saat ini pengalokasian dana CSR di dorong untuk digunanakan dalam kegiatan yang bersifat pemberdayaan, bukan hanya sekedar charity.

PT. Semen Gresik pabrik Tuban merupakan salah satu BUMN yang lokasinya berada di Kabupaten Tuban. Sebagai perusahaan BUMN, sejak tahun 2012 manajemen PT. Semen Gresik menyalurkan dana CSR kepada 26 desa di 3 Kecamatan di Tuban yang masuk dalam kategori ring satu perusahaan. Dana perusahaan yang dialokasikan untuk CSR cukup besar. Pada tahun 2016 PT. Semen Gresik Tuban menyalurkan dana CSR sebesar 7,25 Milyar. PT. Semen Gresik Tuban mengalokasikan dana sebanyak 250 juta per desa.

Terdapat berbagai program dalam implementasi CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban. Pada program pember-dayaannya, PT. Semen Gresik pabrik Tuban melakukan dengan sistem kemitraan. Salah satunya pada program batik cap pewarna alami. Pada tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengenai kemitraan sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat dengan menjelaskan proses imple-mentasi program kemitraan serta manfaat yang diperoleh anggota dalam program batik cap pewarna alami.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Gaji dan Desa Karanglo, yaitu desa yang menjadi sasaran program pemberdayaan batik cap pewarna alami CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara penerima manfaat program, LSM pendamping, serta pihak perusahaan PT. Semen Gresik pabrik Tuban.

46 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Sementara data sekunder didapatkan dari literatur yang berhubungan dengan kemitraan dalam program pemberdayaan masyarakat serta dokumen perusahaan mengenai program batik cap pewarna alami. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara pada masyarakat penerima manfaat program, LSM pendamping, serta pihak perusahaan PT. Semen Gresik pabrik Tuban. Teknik analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Program pemberdayaan batik cap pewarna alami merupakan salah satu program CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban yang dilakukan pada tahun 2016. Program tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 sampai bulan Desember 2016. Sasaran program tersebut adalah perempuan dari Desa Gaji dan Desa Karanglo yang meru-pakan daerah ring 1 perusahaan. Jumlah peserta program adalah 20 orang, masing-masing 10 dari Desa Gaji dan 10 dari Desa Karanglo.

Pelaksanaan program terse-but PT. Semen Gresik pabrik Tuban bermitra dengan salah satu lembaga swadaya masyarakat di Tuban yaitu Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR). Koalisi Perempuan Ronggolawe merupa-kan salah satu LSM di Tuban yang berkonsentrasi terhadap isu perem-puan dan anak. Sehingga PT. Semen Gresik menunjuknya seba-gai mitra dalam program pember-dayaan batik cap pewarna alami. Selain itu, LSM Koalisi Perempuan Ronggolawe juga telah berpenga-laman melakukan pelatihan pro-gram membatik di beberapa desa di Kecamatan Kerek.

Kemitraan adalah strategi yang diciptakan untuk melibatkan pihak lain dalam bentuk partisipasi yang berdasarkan prinsip mutual benefit gains (Wong, Fearon and Philip, 2007). Pengertian lain menjelaskan bahwa Kemitraan adalah kolaborasi strategis antara bisnis dan organisasi non profit dimana risiko, sumber daya dan keterampilan dibagi dalam program-program yang menguntungkan masing-masing partner serta masyarakat . Artinya kemitraan dilakukan antara 2 pihak atau lebih untuk mendapatkan keuntungan pada masing-masing pihak yang bermitra. PT. Semen Gresik pabrik Tuban sebagai salah satu BUMN di dorong untuk melakukan CSR di area sekitar perusahaan. salah satunya dengan pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Perusahaan sebagai suatu entitas yang memiliki potensi sumber daya

Beti Nur Hayati & Suparjan | 47

Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT. Semen Gersik Pabrik Tuban

keuangan. Namun perusahaan memiliki keterbatasan kapasitas penge-tahuan dan tenaga untuk menger-jakan sebuah program pember-dayaan sendiri. Untuk itu diperlukan pihak lain yang dianggap berkompeten di bidang-nya untuk membantu perusahaan mewu-judkan tujuannya. Sementara pihak Koalisi Perempuan Ronggolawe, meru-pakan lembaga swadaya masya-rakat yang memiliki visi dan misi untuk memberdayakan masyarakat. Koalisi Perempuan Ronggolawe memiliki sumber daya berupa tenaga yang berkompetensi di bidang batik. Sementara masyarakat sekitar perusa-haan memiliki potensi di bidang batik. Hal tersebut dikarenakan Kecamatan Kerek, tempat pabrik Semen Gresik pabrik Tuban dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Tuban. Berdasarkan potensi yang dimiliki masing-masing pihak, dila-kukan proses kemitraan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Sehingga muncul program pember-dayaan batik cap pewarna alami yang dilakukan di Desa Gaji dan Desa Karanglo. Pada kemitraan ini, PT. Semen Gresik pabrik Tuban berperan sebagai penyedia dana bagi seluruh kegiatan program pemberdayaan batik cap pewarna alami. Sementara pihak Koalisi Perempuan Ronggolawe adalah sebagai pelaksana kegiatan.

Berdasarkan teori sosiologi, kemitraan dalam program peberdayaan batik cap pewarna alami dapat dianalisis menggunakan teori pertukaran. Pada teori pertukaran, seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika hal tersebut dianggap menguntungkan, dapat memberi imbalan. Menurut Ritzer, Teori Homans ini berangkat dari asumsi ekonomi dasar (pilihan rasional), yaitu individu memberi apa dan mendapatkan apa, apakah menguntungkan atau tidak . Berda-sarkan hal tersebut, terdapat kesamaan antara teori pilihan rasional oleh Homans dengan konsep kemitraan. Kemitraan terbentuk pada dasarnya atas dasar saling menguntngkan antar 2 pihak atau lebih yang bermitra. Jika salah satu pihak darinya tidak mendapat keuntungan, biasanya kemitraan tidak akan terbentuk.

Pada program batik cap pewarna alami, kemitraan terbentuk karena masing-masing pihak saling diuntung-kan. Sesuai dengan teori pertukaran, terbentuknya kemitraan tersebut juga karena ada tujaun yang ingin dicapai. Hal tersebut bisa terlihat dari tujuan diadakannya program batik cap pewarna alami. Tujuan diadakannya program batik cap pewarna alami adalah pertama, memberikan pemaha-man, pengetahuan, dan keahlian dalam proses produksi

48 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

batik cap pewarna alami. Kedua adalah mendorong peningkatan produksi batik cap pewarna alami yang dapat dihasilkan oleh peserta pelatihan . Tujuan tersebut telah disepakati antara PT. Semen Gresik pabrik Tuban dengan Koalisi Perempuan Ronggolawe dalam bentuk perjanjian kerjasama. Sementara masyarakat angota program, berdasar-kan hasil wawancara tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan kapasitas sehingga dapat menambah penghasilan.

Program pemberdayaan batik cap pewarna alami dimulai dengan assesment dan wawancara peserta. Adanya assesment tersebut dilakukan oleh pihak Kolaisi Perempuan Ronggo-lawe terhadap calon peserta. Tujuannya untuk mengetahui komitmen calon peserta dalam mengikuti program. Setelah terpilih 20 anggota, tahap selanjutnya adalah kegiatan Forum Group Discussion (FGD). Pada FGD ini dilakukan proses penentuan jadwal pelatihan program serta penjelasan alur kegiatan. Tahap ke tiga adalah opening program yang dihadiri pejabat daerah, anggota program, perwakilan PT. Semen Gresik pabrik Tuban, serta pihak LSM Koalisi Perempuan Ronggolawe.

Tahap selanjutnya dilakukan studi banding peserta program ke sentra pengrajin batik cap. Tujuannya untuk meningkatkan motivasi peserta. Selan-jutnya dilakukan pelatihan batik cap pewarna alami oleh pelatih yang ditunjuk dari Koalisi Perempuan Ronggolawe dan dilanjutkan dengan pendampingan kepada peserta program. Pelaksanaan pendampingan dilakukan di masing-masing rumah peserta hingga periode program berakhir. Selama proses pendampingan, peserta juga diberi pelatihan pemasaran secara online.

Program batik cap pewarna alami merupakan salah satu program pemberdayaan. Pemberdayaan juga dimaknai sebagai proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistyani, 2004: 77). Pada program batik cap pewarna alami CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban terdapat proses pemberian daya dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang berdaya. Pada kasus ini pihak yang memiliki daya adalah perusahaan PT. Semen Gresik pabrik Tuban. Daya yang dimiliki berupa sumber daya finansial berupa dana yang dapat digunakan untuk mengem-bangkan kapasitas. Pihak LSM

Beti Nur Hayati & Suparjan | 49

Kemitraan Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Program CSR Batik Cap Pewarna Alami Di PT. Semen Gersik Pabrik Tuban

Koalisi Perempuan Ronggolawe disini juga berperan sebagai pihak yang memiliki daya yaitu berupa sumber daya manusia yang memiliki kepasitas di bidang ketrampilan membatik cap.

PT. Semen Gresik pabrik Tuban dan LSM Koalisi Perempuan Ronggolawe bermitra untuk mening-katkan kapasitas masyarakat yang semula tidak bisa membuat batik cap pewarna alami menjadi memiliki kemampuan membuat batik cap pewarna alami. Bentuknya melalui pelatihan, pendampingan, serta bantuan alat dan bahan produksi. Berdasarkan hasil wawancara kepada 8 anggota peserta program batik cap pewarna alami, diperoleh data :

1. Peserta memperoleh keterampilan baru berupa batik cap pewarna alami. Sebelum adanya program pemberdayaan batik cap pewarna alami CSR PT. Semen Gresik pabrik Tuban, peserta pelatihan belum bisa membatik cap pewarna alami. Peserta hanya bisa batik tulis saja.

2. Program batik cap pewarna alami memberikan pengalaman baru bagi peserta karena di dalam program tersebut terdapat study banding yang membuat peserta lebih mengenal jenis motif dan teknik membatik

3. Adanya bantuan alat dan bahan dapat dijadikan modal produksi membuat batik cap

4. Kendala dalam program batik cap pewarna alami adalah masih sulitnya pemasaran hasil produksi batik cap sehingga belum memberikan dampak peningkatan penghasilan.

Kesimpulan

Model pembangunan saat ini telah bergeser dari singel actor menjadi multi actor. Artinya pemerintah buka satu-satunya aktor yang bertanggung jawab dalam pembangunan. Namun juga melibatkan berbagai aktor lain termasuk sektor swasta. Salah satu wujudnya dengan mendorong program CSR dari yang bersifat karikatif menjadi bersifat pember-dayaan. Pada upaya pemberdayaan masyarakat seringkali perusahaan melakukannya dengan sistem kemitraan. Kemitraan diambil sebagai salah satu strategi pember-dayaan dapat memberikan hasil yang maksimal karena kemitraan merupakan strategi mengkolaborasikan dari 2 sumber daya atau lebih untuk tujuan yang sama. Kemitraan dalam sebuah pember-dayaan

50 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

dapat berhasil ketika aktor yang bermitra sama-sama memiliki sumber daya yang diunggulkan serta memiliki tujuan yang sama.

Namun yang perlu diperhatikan dalam sebuah program pmberdayaan adalah keberlanjutan. Mengingat dalam sebuah kemitraan terjalin atas hubungan antar beberapa aktor, pertanyaan selanjutnya apakah kepentingan para aktor yang terlibat dalam sebuah kemitraan tersebut mempengaruhi keberlan-jutan program. Hal tersebut tentu perlu penelitian lebih lanjut.

Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 2017. Presentase Penduduk Miskin Maret 2017.

https://www.bps.go.id/ diakses pada 24 November 2017 K. Wong C, Fearon G. Philip, (2007), Understanding egovernment and

egovernance: stakeholders, partnerships and CSR, Interna-tional Journal of Quality & Reliability Management, Vol. 24 Iss 9 pp. 927 943

Niveen Labib Eid Anton Robert Sabella, (2014), A Fresh Approach to Corporate Social Responsibility (CSR): Partner-ships Between Businesses and Non-Profit Sectors, Corporate Governance, Vol. 14 Iss 3 pp. 352 – 362

PT. Semen Gresik pabrik Tuban. 2017. Laporan Evaluasi Program Batik Cap Pewarna Alami. PT. Semen Gresik pabrik Tuban

Ritzer, dan Goodman J. Douglas, .2009. Teori Sosiologi, dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana

Suharto, Edi. 2009. Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR. Bandung: Alfabeta

Sulistyani, A. T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media.

Sunartiningsih, A (Ed). 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Muthohar. 2017. Inilah Pro-gram Unggulan CSR Semen Gresik tahun 2017.

http://beritajatim.com diakses pada 24 November 2017

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 51 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

Phenomenology of Digital Culture in The Educational Area: an epistemological review

Muna Yastuti Madrah

Dosen Prodi Sejarah dan Kebudayan Islam, Fakultas Agama Islam UNISSULA

[email protected]

Ahmad Muflihin Dosen Prodi Tarbiyah, Fakultas Agama Islam, UNISSULA

[email protected]

Abstrak Teknologi digital telah membawa budaya baru ke kehidupan

manusia. Salah satu budaya yang terbentuk oleh teknologi digital adalah cyberculture. Sebuah dunia baru yang lahir dari teknologi digital, ruang yang dipenuhi dengan manusia yang saling terhubung satu sama lain. Teknologi digital telah memungkinkan dunia untuk dimampatkan dalam sistem, jaringan, dan koneksi yang memaksa manusia modern untuk tetap selaras, ini termasuk juga dalam dunia pendidikan. Bagaimana fenomenologi melihat budaya digital dalam pendidikan? Artikel ini mencoba untuk memberikan gambaran umum tentang epistemologi budaya digital dalam perspektif fenomenologis. Mengapa fenomenologi? Fenomenologi sebagai pendekatan dapat memenuhi fungsi penting dalam penelitian teknologi. Fenomenologi memberikan teori dan filosofi dasar dengan metodologi dan metode yang konsisten; Selain itu, fenomenologi memberikan panduan yang jelas seperti bagaimana menentukan sumber informasi, pengumpulan data, analisis, dan validasi. Secara umum, ini memperkuat dasar penelitian kualitatif di bidang pendidikan dan teknologi. Artikel ini menginisiasi upaya untuk lebih mengeksplorasi studi budaya dan teknologi khususnya di bidang pendidikan. Penelitian tentang teknologi pendidikan akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan penggunaan pendekatan kualitatif, yang akan sangat berguna untuk mengeksplorasi fenomena dan perkembangannya dan memperkaya temuan.

Kata kunci: Budaya Digital, Fenomenologi, Epistemologi, Pendidikan

52 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Introduction

Digital technology has brought a new culture to human life. One of the cultures formed by digital technology is cyberculture. The emergent “new world” was born from the digital technology, a "new space" filled with the passing of connected human beings to one another. Digital technology has enabled the world to be compressed in systems, networks, and connections that compel modern humans to keep aligned, this is including the world of education.

The virtual world is built on hardware connections and is controlled by digital technology-software. This virtual world also has complex and complicated problems, since the connections built are not only based on physical interaction but are also connected by data networks and images mediated through screen computers or tabs, pods, pads and similar devices.

The author wants to take the educational world as an example to see the phenomenon of digital culture. In general, people still believe that education is a means to achieve a better civilization. In addition, the real world of education has a far-reaching leap (in terms of learning tools), learning processes and learning patterns or, if possible, a large-scale migration from the analog world to digitizing education.

In this era, digital technology is seen as a bridge to the "unfamiliarity" of educational services. Not only on the availability of online classroom "spaces", affordability, availability of a "system" and other development at a lower cost. This technology has "forced" some community groups to adapt and acculturate with digital culture.

Digital technology has enabled the classrooms to be "built" in cyberspace. Teacher and student interaction does not have to be face-to-face anymore. "Presence" and "space" are no longer objects in a material form or at least "presence" and "space is no longer understood as such. It can be said that there is no side of modern life that is not touched by the leap of information technology.

Understanding people and or society in the digital age, not only understand individuals or groups of individuals as human beings but as technologically interconnected and connected individuals. Do those who follow on the structures built by this technology, are immediately referred to a digital society?

Martin (Martin WJ, 1995) in the Global information society still questioning whether ICT technology will adopt social patterns in

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 53 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

society or vice versa that society must adapt its social patterns to fit the technology?

Times have spawned "net" generations who are born in the world of digitization. Children born after 1980 are called digital natives (Palfrey & Gasser, 2008). They were born when the technology is already there and is being developed. These digital generations have many names, Y generation, net-generation, generation @, or whatever they are tech-savvy generation and capable of using other learning approaches than the previous generation (von der Heiden, Fleischer, Richert, & Jeschke, 2011).

While previous generations who were "forced" to adapt rapidly to this change are referred to the term of digital immigrants, these “immigrant” must inevitably follow the rhythm of digital natives, in order to remain capable of being a role model. One-way presuppositions in determining the relationship between technology and the role of teachers or institutions - technological change forces educational institutions to address new populations of learners, and if in the context of teacher education considered as digital immigrants really want to reach digital natives, they have to be able to transform (Barnes, Marateo, & Ferris, 2007)

However, categorizing the digital natives and digital immigrant also seems less precise. It put us in the terminology of binary opposition. As an example, if " the native" is assumed as the future, and the immigrant is the past, putting both on the subordinate structure (Bayne & Ross, 2007), structurally inherent structure that teachers are slow, obsolete and dependent on analog (print) technology.

This article tries to look at the phenomenon of digitalization, how the culture of information and communication technology (digital culture) is a part of everyday culture.

To understand how digital culture is becoming a part of our daily life, it is important to know the individual's experience in using and or interacting with technology. Since, experienced with mediated devices are substantially different from direct interaction (Jonassen, 1984). Thus, the result of a phenomenon or perception of consciousness is also different.

For example, The teachers, having experience using technology, in general, is a phenomenon different from traditional forms of teaching and learning. It is a necessity or a need for experience with media and

54 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

technology in depth to understand how digital culture is built into the learning and teaching process.

How does phenomenology see digital culture in education? This

article attempts to provide an overview of the epistemology of digital

culture in a phenomenological perspective.

IT Literacy (Should We?)

Information and communication technologies, in general, have seen as factors that influencing globalization processes or as components that shape contemporary society formation (Brown, 2009). The academic study of digital and educational technology today presents many opportunities for further exploration in the pedagogic, social and cultural dynamics fields inherent in the culture of education. It is still very rare to pay attention to the characteristics of the technology itself.

Digital technology is seen as a solution for communication that is constrained by distance. This technology enables the production and distribution of information as well as digital artifacts in the form of text, graphics, sound, and video. These artifacts move from one place to another where the shape may be fixed or it may not. The meaning of any information and re-reading may be different. Brown provides an example for example in the education system in the UK, displaying the work of students is one way to celebrate the achievement of individual students and will be very different when applied to other classes in Indonesia. This contextualization is a transformation as a practice that is picked from one network of meaning, or culture, and substituted in another.

There is a very strong reason to believe that digital technology will have a lengthy impact as the printing press affected learning and literacy. However, technology cannot change the learning process and literacy through itself but it is related to other economic and social factors.

As the example above, the literary changes took place several centuries and occurred not only because of the invention of the printing press but also because of Protestant reform and the industrial revolution. Castells (Castells, 1996), stated that this digital transition may be faster than the printing press transformation process, but will not happen instantaneously as well.

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 55 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

We see some symptoms in the first literacy process related to what is needed by students to learn in digital classrooms (virtual class). The role of some organizations and perhaps individuals per person are being replaced by a set of information systems.

Information technology literacy (IT literacy) refers to the ability to define what information is needed, knowing where that information is? place it efficiently, access it again, criticize and access it legally and ethically (Kennedy, Cavanaugh, & Dawson, 2013). The reality for digital natives, they are born where "the world" has provided access to this technology. Castells explained that the ability to transform information into knowledge using new technology can be considered an important factor contributing to wealth and power at both the individual and national levels (Castells, 1996). However, a qualitative study of Margaryan et al., suggests that there is no evidence that the current generations adopt and follow technological trends radically. The attitude of the students is more influenced by the methods used by teachers (Margaryan, Littlejohn, & Vojt, 2011).

Complementing Margaryan's research, Chaves, et al (Chaves, Maia Filho, & Melo, 2016) argued that the educational approaches should demonstrate a commitment to cultural conservation, which is aligned with the advancement of knowledge, professional training, and social justice. Thereby, placing "teaching" in the position of being a mediator in conservation and production of knowledge. It can happen through appreciation, personal meetings, face-to-face, confronting and resolving conflicts. It is a healthy environment if students and teachers are experiencing the classroom as a space of cultural exchange. A learning experience that bound the sensitivity of humanity.

Categorizing cross-generational status using the concept of digital immigrant and digital natives (Palfrey & Gasser, 2008) is problematic. By placing two groups in binary opposition, it will create a discourse that places the teacher's position as "difficult to change" and forced to change to remain competitive and to be able to continue to work professionally. On the other hand, teachers in terms of age are considered old enough to adapt to technology and are forced to adopt new methods of learning that place themselves as subjects to technology in order to stay in their professional positions (Bayne & Ross, 2007). As an example shown in table 1.

56 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Tabel1. Immigrants and natives in the binary opposition

Teacher Student

Slow Speed

Old Young

Past Future

Logical, slow to decide Multitasking

Textual Image

Serious Playful

Want to know (before) Want to know (next)

Analog Digital

Knowledge Action

Isolated Always connected

This discourse becomes a paradox that gives deep meaning to

the personality and in positioning the generation. Immigrants, however, cannot be a native or at least can never match the natives. Changing the media environment (in this case the learning environment) impacts on how we are shaped as subjects either as students or teachers. Each generation basically requires educators to rethink projects and goals of education for the conventional or virtual education.

Simplifying the categories of teachers and students as immigrant and native will have an impact on the teacher, student, and technology relationships. Wang et al offer an option to see the relationship between immigrant and native more as a continuum relationship than a rigid dichotomy between the two. The concept of the continuum has seen as a digital fluency, that is the ability to formulate knowledge and produce information to express them creatively and precisely in a digital environment. Wang et al. (Wang, Myers, & Sundaram, 2013) proposed a tentative conceptual model of digital fluency, outlining the factors that have direct and indirect impacts on the digital fluency of demographic characteristics, organizational factors, psychological factors, social influences, behavioral intent and actual use of digital technology.

The use of digital technology has blurred the classic differences between producers and consumers. Sociologists would need to move their research agenda into the new arena as well as deepen the

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 57 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

understanding of the way circulars of cultural objects (or now, electronic files) and contribute to cultural production processes. The question of how people use new technology for cultural work and what role these practices play in everyday life is increasingly important to learn creativity in everyday actions. Similarly, the question of the balance of power and control in the cultural field, which, though dominated by a small number of conglomerates but whose reach is as wide as the network itself, is almost unlimited. “Digi Culture”

The world of knowledge "is used by people in daily life, on special occasions, or in solving problems and giving meaning to the world around them. Culture, in this context, is studied since the birth of man, then unconsciously people make their model of impersonation itself, expressed it in their own "language". This is not a one-time process but very flexible and ever-changing. A long life process and strongly influenced by the individual's life experiences. The culture then becomes the essence of creating a "sense of belonging" and human identity.

When people come into contact with the new elements, it will affect the patterns that have been formed within and modify the knowledge that already owned. For example, the presence of new technology will require changes and adjustments of relationships from various disciplines and their impacts in everyday life both for individuals and society. The technological revolution will result from a cultural revolution, for example in the invention of the steam engine and the printing press (Mariella Combi, 2016).

Technology, in this case, does not mean just a set of devices, tools or furniture. Technology is the relationship between humans, tools, and knowledge. Culture as a building of communication actions. Communication that individuals or groups can use to represent themselves to the world through norms and values.

Technology has a very wide impact on society, culture, and way of life. For the examples, the printing press changed the mass communication culture- Mc. Luhan 1962, Clock mechanics formed capitalist and mode of production - Mumford 1943 Iron ax change the relations of Aboriginal people in Australia. Similarly in the world of education, the use of computers for writing has changed the way of writing -Bangert-Drowns 1993, Web 2.0 Technology introduces new ways of teaching and learning by offering ways of producing and

58 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

sharing information via the Internet -Lie Et al 2008; Maddux et al 2008; Stevenson and Liu 2010 (Cilesiz, 2011).

It is important to know the experience of individuals in using and/or interacting with technology, since experience with mediated devices will be different from direct interaction, and therefore the outcome of a phenomenon or perception of consciousness is also different (Jonassen, 1984). For example having experience using technology, in general, is a phenomenon different from traditional forms of teaching and learning.

It seems that using individual experience approaches in educational and technological research is still rare, although conceptually and methodologies of increased utilization in using this approach will also enhance the research contributions in technology and education while contributing to the diversity of methodologies in educational technology research.

The study of educational technology has contributed to our understanding of the technological relationships and teaching and learning process. At the same time a discussion of how technology impacts the communities and individuals that are currently being studied. This need is reinforced by a review of this field and a challenge for further research. For example, we need to improve our knowledge of new teaching experience and technology and how this experience influences in teaching practice and how students learn (Thompson, 2005) or technology services in education (Roblyer & Knezek, 2003). Furthermore, research on educational technology will benefit from the increased use of qualitative approaches, which will be very useful for exploring phenomena and their development and enriching the findings.

Phenomenology as an approach can fulfill important functions in technology research through (1) phenomenology allows us to study of experience with technology in depth comprehensively (2) phenomenology provides a framework for the research agenda about experiencing using technology (3) phenomenology provides basic theory and philosophy with consistent methodology and methods (4) phenomenology provides clear guidance such as how to determine the source of information, data collection, analysis, and validation. (5) In general, it strengthens the basis of qualitative research in the field of education and technology (Cilesiz, 2011).

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 59 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

However, so far phenomenology has not been offered as a research methodology in research in the field of educational technology. Cilesiz offers a research agenda that focuses on technological experience as well as philosophical groundwork, methodology and how to apply it in a study using Husserl's view of offering two concepts about the experience:

1. Capture the objects, thoughts or emotions through the five senses and mind

2. participate or engage in activities (objects), concoct (leading) knowledge and skills - this concept shows the relationship between experience and education.

The Phenomenology of Technology

In order to see how the relationship between individuals and technology, this article attempts to look at using the phenomenological approach developed by Martin Heidegger (1889-1976) student of Husserl's. Heidegger made technology a central point in his philosophy and considered technology as an ontological problem. Heidegger tries to reveal the essence of technology so that we can establish relationships freely. Technology according to Heidegger is not just a tool, but is a way to express themselves from reality, if we provide opportunities then the other space of technology will open itself to us (Heidegger, 1977).

Tracing the thoughts of Heidegger, we will not escape his work Sein und Zeit. Heidegger's great work uses Husserl's phenomenology to investigate the structure of human existence. According to Heidegger, classical epistemology is dishonest to the existing reality. We do not observe the world from a distance, because of we, ourselves are an inseparable part of the world, even our existence cannot be understood except in certain "world". If we reflected more deeply, the ultimate mystery is not really knowledge, but about existence. So according to Heidegger, the way to discuss existence is through a phenomenological analysis of what we realize when we realize our existence. Heidegger argues that it may be that we are longing for the basis of metaphysics as the basis of our lives, unfortunately, according to Heidegger there is no guarantee that this foundation really exists objectively, if the foundation is true does not exist, our life may, in fact, be meaningless (absurd), and even if meaningful then it is the meaning that we make ourselves. It is not the

60 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

amount of information that comes in our head that is essential to direct our lives in a fundamental way, but according to Heidegger how to understand the depth of the problem for our existence(Hardiman, 2016).

In this increasingly sophisticated age, the debate between whether a "digitized" object is seen only as a tool of humanity or a part of a human being?

This can be explained, for example, the function of computers has changed from computing to information and communication processes. Computers have become indispensable tools in various social and economic interactions in the contemporary world. As a result of the expansion of computerized trends, we have been producing exchanges and using many "digital text" in everyday life.

For example, when I wrote the manuscript of this article using a computer that has with the software of Microsoft word program, I may put digital photographs, putting them in a draft script means I'm creating a digital text. When I was tired I left my article, then I opened a virtual Pokemon go game, I had to catch strange virtual animals scattered around my neighborhood, where the environment was real. Roads, trees, houses, power poles have all been digitized in a virtual map.

We come to the fundamental question of whether my article or the animals I capture in the Pokemon go game exists. Since I am writing on an article (my script exists), I am collecting a point from the number of virtual animals I have captured. Is it true that these things are not things because they have no material basis? not real, not in a place and time that is objectively determined?

Although the existence of a digital object is not a physical existence (matter, being), it has many characteristics as possessed by objects (physical) such as substance, extension, and other real things. Phenomenology needs to see the emergence of digital communication technology. The relevance of phenomenology and the digitization of information becomes apparent, as we realize that the development of new technology (computerization) is centered on the phenomenological emphasis of intersubjunction between “Dasein”- “becoming exist" in the world-as-is the concept of Heidegger, the interpersonal relationship of concepts and bodily signification of Arendt-Husserl and the relationship between the thing (thing) and human, the composition of tools and others (Kim, 2001). Knowledge of Phenomenology and technological philosophy may not fully take

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 61 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

into account the characteristics of the "thing" we call "digital" because the ontological character of "digital" has not been explored much. These features cannot be explained by the classical phenomenology of Husserl, because of the unique characteristics of computerization and the digitization of information in the late 20th century. The early concept of phenomenology is a concept or method or means of investigation. phenomenology does not question the characteristics of "what" as the object of philosophical research but rather the "how" of the study.

Kim (2016) tried to explain the relevance and limitation of phenomenology in seeing digital "beings" by looking at 3 points: (1) digital presence is something new, because "digital" has many features and can be used as tools, (2) digital existence is not an object because it does not relate to space and time, it can last forever, or disappears quickly and can appear in several places at the same time (3) through a computer network that enables Dasein to communicate their life experience in the format of "digital being" - Dasein can connect to others, interact and live in the "world" - through the "web" Dasein can be with others and be in the world.

Kim refers that this so-called digital being has two functions. First, the informative function of providing sensory data, sound, image and the second function is an executing function that contains tools and handiness, - This execution function is often referred to as a computer program and a set of computer programs referred to as software.

For more details, digital is not a physical object, but nevertheless, it has some features that resemble a material object. Digital has a certain degree of endurance, sustainability and extension that Husserl calls the "unity of circumstances" and universal passive pregivenness and which Heidegger understands as "the real thing" and selfsameness (Hardiman, 2016). For example, in a 3D game of 3-dimensional golf, we can manage how to see the ball, measure the visibility (basically the ball, the golf course, the stick we imagine to be so-selfsameness) as physical objects. When the "we swing" stick to hit the golf ball, it will sound as if the stick "really" hit the ball. To swing the stick we need to play the mouse hold the mouse for a moment, and release it as if playing the hand and arm motion as like we play golf. Digital existence has a certain endurance that allows us to use it continuously as our treatment of physical objects. Digital existence also has degrees of continuity, color, surface texture, light effects etc.

62 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

This digital being not only exist on a particular computer program, it also exists on a computer network and in cyberspace, apparently all available in the current World Wide Web.

In addition to its ability to "be" (resemble) objects, there are other reasons why we can incorporate digital into "quasi" objects (quasi-like) -the body-and the presence of digital "being" is not necessarily a sign. In other words, digital existence is not only a sign or symbol for other things but it also exists for itself. Referring to the three types of Heidegger representations, the digital presence is closer to the "bodily presence".

Digital technology allows virtually everything, because of it capable to produce objects from human perception. However, this digital being can not also be properly named as part of 3 types of Heidegger representations of "bodily presence" - "empty intending" and perception of the picture (perception from an image).

Heidegger's explanation of Bodily Presence is when we see the tree in front of us, the tree is its form, the tree represents itself. On the contrary, the concept of "empty intending" refers to the situation in which we talk about the "tree" imagining it, or even hallucinating the tree without it being present before us. In this case, the tree is present in the conversation and the imagination does not actually exist. The third concept of Heidegger is "perception of a picture" - the perception of the image which Heidegger refers to the semiotic representation. According to the theory of semiotics, that sign (sign) must have a material base, because the sign must be felt by the body. Heidegger clearly gives an example eg a postcard is an object such as a tree, table, chair etc. But the postcard here is not just an object - unlike natural objects, an image exists for the existence of other objects. For example, the image of a tree present in the electronic postcard and sent by email is a "picture" that shows a picture, or in my observation see a picture (tree) through the picture (postcard) (Kim, 2016).

However, not all digital beings are "picture things". For example, balls and sticks on virtual golf performances, in contrast to landscape photos in certain areas, we do not see another image (representation) of the ball through the golf ball. We play not with "signs" but we play with the ball itself. In other words when we hit the ball on a virtual golf game we are not hitting (thinking is hitting) another golf ball in real life. The same thing we find in virtual games in programs or apps that use graphic user interface.

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 63 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

It quite different when the United States soldiers controlled long-range missiles at computer-generated bay wars, what appeared on a computer screen was a "picture thing" or a sign representing a real state. Or when we are on an airplane and watching on the screen in front of us the current position of the aircraft, is a sign that represents the real state. When we write a script using a computer, what we see on a computer screen is our script, not a representation of our script. In short, some of the digital products can be called a "picture thing" (he represents other objects out there, but digital beings can also enter in "bodily presence" and empty intending.

Characteristics of the computer as a "tool" is different from other tools because the composition of the device depends on the program owned. By borrowing the terminology Heidegger can be said that the computer is a tool to work (Werkzeug) through the "software" in it that will determine the ability (handiness) (Zuhandenheit). In other words, we actually work not using a computer but using digital. We use computers to be able to use "digital" instead of the other way around, without a digital device, the computer is just a device without meaning. The function of the computer is not determined by the physical appearance of the computer but is determined by programs or software consisting of codes that can be read, understood and executed by the computer.

Conclusion

From a study of literature that has been done, there was a little research with phenomenology approach in research related to education and technology. The research that has been done, among others, is the first experience using the computer, the in-depth findings explain the structural aspects of first-use computer experience including, feelings, involvement, self-awareness, and attitude (Howard, 2006). Another study conducted by Cilesiz's (Cilesiz, 2009) examines how adolescents experience using computers in an informal education environment that describes the essential essence and implications for adolescent development and formal education policy. The author proposes the existence of further research for example in terms of how the experience of teachers in each stage/process of adopting technology so that the teaching culture will contribute in the theory of technology integration.

64 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Phenomenology provides space for the study of culture and technology.

Research on effective technology integration practices is also a study that has not been much explored. This article initiates the study of phenomenology in the digital realm. For example, by selecting teachers who have successfully integrated with technology and researching their students, the life experience of effective technology integration can help identify the meaning of experience that is an effective practice of the opinions of teachers and students themselves. References

Barnes, K., Marateo, R. C., & Ferris, S. P. (2007). Teaching and Learning with the Net Generation. Innovate: Journal of Online Education, 3(4). https://doi.org/10.1111/j.1467-8535.2009.00994_2.x

Bayne, S., & Ross, J. (2007). The “digital native” and “digital immigrant”: a dangerous opposition. Annual Conference of the Society for Research into Higher Education, 1–6. https://doi.org/10.1111/j.1574-695X.1996.tb00232.x

Brown, A. (2009). Digital Technology and Education : Context , Pedagogy and Social Relations, 1159–1172.

Castells, M. (1996). The rise of the network society: volume i: the information age: economy, society, and culture. Recherche (Vol. 61). https://doi.org/10.2307/1252090

Chaves, H. V., Maia Filho, O. N., & Melo, A. S. E. de. (2016). Education in Times Net Generation: How Digital Immigrants Can Teach Digital Natives. Holos, 2, 347. https://doi.org/10.15628/holos.2016.3611

Cilesiz, S. (2009). Educational Computer Use in Leisure Contexts: A Phenomenological Study of Adolescents‟ Experiences at Internet Caf?s. American Educational Research Journal, 46(l), 232–274. https://doi.org/10.3102/0002831208323938

Cilesiz, S. (2011). A phenomenological approach to experiences with technology: Current state, promise, and future directions for research. Educational Technology Research and Development, 59(4), 487–510. https://doi.org/10.1007/s11423-010-9173-2

Hardiman, F. B. (2016). Heidegger dan mistik keseharian (3 Februari). Jakarta: KPG.

Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other

Muna Yastuti Madrah & Ahmad Muflihin | 65 Fenomenology Of Digital Culrute In The Educational Area; An Epistemological Review

Essays. Technology and values: Essential readings. https://doi.org/10.1007/BF01252376

Howard, D. C. (2006). Human‐computer interactions: a phenomenological examination of the adult first‐time computer experience. International Jurnal of Qualitative Studies in Education, 7(1), 33–49.

Jonassen, D. H. (1984). The mediation of experience and educational technology: A philosophical analysis. Educational Communication & Technology, 32(3), 153–167. https://doi.org/10.1007/BF02768832

Kennedy, K., Cavanaugh, C., & Dawson, K. (2013). Preservice Teachers‟ Experience in a Virtual School. American Journal of Distance Education, 27(1), 56–67. https://doi.org/10.1080/08923647.2013.756757

Kim, J. (2001). Phenomenology of Digital-Being. Human Studies, 24, 87–111. https://doi.org/10.1023/A:1010763028785

Kim, J. (2016). Phenomenology of Digital-Being Author ( s ): Joohan Kim Source : Human Studies , Vol . 24 , No . 1 / 2 , Intertexts : Philosophy , Literature and the Human Sciences in Korea ( 2001 ), pp . 87-111 Published by : Springer Stable URL : http://www.jstor.org/s, 24(1), 87–111.

Margaryan, A., Littlejohn, A., & Vojt, G. (2011). Are digital natives a myth or reality? University students‟ use of digital technologies. Computers & Education, 56(2), 429–440. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2010.09.004

Mariella Combi. (2016). Cultures and Technology: An Analysisis of Some of The Changes in Progress- Digital, Global, and Local Culture. In Cultural Heritage in a Changin World (pp. 3–15).

Martin WJ. (1995). The Information Society. Vermont USA: Aslib Gower. Palfrey, J., & Gasser, U. (2008). Born Digital: Understanding the First

Generation of Digital Natives. Hedgehog Review, 198(2008), 288. https://doi.org/10.1097/NMD.0b013e3181cc549e

Roblyer, M. D., & Knezek, G. A. (2003). New millennium research for educational technology: A call for a national research agenda. Journal of Research on Technology in Education, 36(1), 60–71. Retrieved from http://coe.nevada.edu/nstrudler/RoblyerKnezek.pdf

Thompson, A. D. (2005). Scientifically Based Research: Establishing a Research Agenda For The Technology in Teacher Education Community. Journal of Research on Technology in Education

66 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

(International Society for Technology in Education), 37(4), 331–337. Retrieved from http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true%7B&%7Ddb=bth%7B&%7DAN=18566790%7B&%7Dsite=ehost-live

von der Heiden, B., Fleischer, S., Richert, A., & Jeschke, S. (2011). Theory of digital natives in the light of current and future E-learning concepts. International Journal of Emerging Technologies in Learning, 6(2), 37–41. https://doi.org/10.3991/ijet.v6i2.1555

Wang, Q., Myers, M. D., & Sundaram, D. (2013). Digital natives and digital immigrants: Towards a model of digital fluency. Business and Information Systems Engineering, 5(6), 409–419. https://doi.org/10.1007/s12599-013-0296-y

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan | 67 Waste Management Based On Women’s Empowerment In Air Lintang Sub District, Muara Enim

Waste Management Based on Women’s Empowerment in

Air Lintang Sub District, Muara Enim

Eva Lidya1, Diana Dewi Sartika1, Gita Isyanawulan1

1Lecturer. Social and Political Faculty. Sriwijaya University,

Inderalaya, South Sumatera Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

This research is intended to describe waste management based on women’s empowerment in Air Lintang Sub District, Muara Enim Regency. It is a qualitative research. The techniques of collecting the data are in-depth interview, observation and documentation. Data analysis is conducted through reduction, data display and conclusion. The research of this study showed that there were three main aspects in general; they are a) Capacity Building, b) Cultural Change, and c) Structural adjustment. The form of capacity building are waste management and improvement of management skills. While, the cultural change, that is to change the mindset of disgusting garbage into high economic value. Structural adjustment is about the policy aspect that support the waste management based on women’s empowerment. The three aspects included on waste management based on women’s empowerment in Air Lintang Sub District. This description can be used as a model for waste management in other areas.

Keywords : waste management, women’s empowerment

Introduction Waste is a material residue largely not used anymore. Garbage

is a problem because it generates increasing quantities. The trash problem is also more complicated because the management is not done well, especially in urban areas. Trash itself is divided into two types, namely organic and inorganic waste. According to Law No. 18 of 2008, two types of waste needs to be managed well, to avoid the negative impact, which will result in the environment and public health.

Besides aware of its presence in environmental damage. There are rare anyway, began to improve the set of human and concerned with the environment, including in the area of waste management. Currently in Lintang Water District, Muara Enim waste management activities are conducted with the participation of the community,

68 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

especially women. This activity is driven by a woman who also serves as Lurah Air latitude. Various events and activities to tackle litter in the region has been conducted. In fact, this region received several awards related to waste management. Therefore, this event is focused on exploring it. As well as finding alternative models for waste management based on the empowerment of women. Methods

Research is a qualitative study, and descriptive. Data from this study is extracted from key informant implementing waste management activities based on the empowerment of women in the Village Air latitude, Muara Enim. As additional data, also unearthed data from women participating in waste management in the Village Air latitude. Meanwhile, data collection techniques in this study conducted in-depth interviews, direct observation, and documentation, (Creswell, 2003; Denzin, 2009). Result and Discussion Based on details collection and interviews, obtained a description of the prototype related to women's empowerment in line with the concepts put forward by Sara H. Longwee who developed gender analysis technique known as "Women empowerment framework". This method is based on the importance of development for women, as well as how to deal with gender issues as an obstacle to women's empowerment in an effort to meet the specific needs of women and achieving gender equality (Muttalib, 1993). The empowerment of women include three things: (1) Capacity Building meaningful build the capacity of women, (2) cultural change is a cultural change in favor of women, (3) structural adjustment structural adjustment is pro-women. Empowerment efforts directed solid achievement welfare of society through gender equality. Capacity Building

Based programs that have been conducted in the Village Air Lintang seen that the main and fundamental aspects of female empowerment that has been done related to the management of waste bank is dealing with capacity building, through a variety of programs that have been made or prepared.

Some programs that have been done related to waste management based on the empowerment of women are divided into

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan | 69 Waste Management Based On Women’s Empowerment In Air Lintang Sub District, Muara Enim

two categories: first, related to the management of waste management; and secondly, related to the improvement of skills in terms of managing waste into economically valuable handicrafts through training.

Matters related to the management of waste management which starts from household garbage collection process to be the craft that has high economic value. Waste management process is better known as the Garbage Bank. Bank of garbage is the place to accommodate, sort and distribute waste to the waste treatment facility to another or to those in need. The main key lies in sorting or separation of trash by type and condition. Similarly, conventional banks, trash bank also has managerial system and society are our customers and saving money in the form of garbage.

The existence of bank waste into alternative solutions in dealing with the problem of garbage, especially household waste. Bank of garbage It aims to vastly improve the economic level of society, especially for women or mothers of households can be used to help meet the needs of everyday life.

The way to manage solid waste management, among others: first, the public independently of depositing trash Trash disaggregated Bank. Although not all residents want to sort their own waste, sometimes janitor / bank clerk garbage pick up trash from the houses of citizens and also sort them. The officer is the formation of citizens who voluntarily participate in this activity. Second, after the trash is collected and disaggregated by type, trash is weighed and assessed to rupiah. For example, the current price is for a plastic bottle around Rp 2,700 / kg, tin Rp 2,000 / kg and white papers Rp 1,000 / kg. After the waste has a value in rupiah, the money is not paid directly, but rather are recorded in the book Trash customer-owned Savings Bank.

In addition, the waste management process based on the type of garbage. For organic waste composting is done by machine or manually. Assigned to conduct composting is the father of Muhidin as directors of the Bank Trash and also aided by other citizens. In addition, the PKK also keen to foster its residents to make compost in their homes. Then the inorganic waste is processed into handicrafts, such as bags, towels, a vase, and others.

In addition, the Bank in the Village Waste Water Lintang also introduced a system of pay raskin with trash. The way that the poor can sell their garbage to the garbage bank clerk. Then the waste is

70 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

sorted and weighted based on the type of waste and also rated into rupiah. The money is then deposited by the waste bank manager to the village to make up for Raskin. Then the village clerk to deposit money into the account Bulog Lahat through BRI and report to the local government. Raskin is sent from Bulog Lahat and then distributed to people.

In addition to waste management and waste management process, residents also get a variety of skill-related training. Residents of this training is usually mothers who are members of the PKK cadres. Garbage is processed into this craft is inorganic and difficult to process. As for which is included in the inorganic waste and can be processed into handicrafts such as bottles, rags, paper / cardboard, and others. The results of these preparations may include folders, decorative lamps, vases, and others. In addition, the results of waste management in the form of methane gas and it can be traded in the form of gas cylinders, and can be used for cooking. Various training was organized by BLH (Environment Agency) is very concerned about the dangers of junk. In addition, residents also never received training from Jogja that teach sewing and flower arranging.

Cultural Change

Cultural change can be accomplished in a way to make changes to the mindset / mindset / paradigm / perspective of society, especially in relation to the trash. During this disgusting rubbish is considered waste. But now the trash can be managed and processed so that its existence no longer be something that is disgusting. Even manage waste can yield benefits that could be developed into a business and have high economic value. To change the public mindset about the garbage is not easy. One way is by empowering women to participate in the process of waste management into a high economic value, preceded by attending various training and extension that aims to change the mindset, which then can change a person's behavior (cultural change).

In addition, the first residents in the Village Air latitude throwing garbage in the river and there is also a burn. However, after the formation of waste banks, no longer citizens who throw garbage in the river or burn. Initially change the mindset of people about garbage quite difficult. They "underestimated" the bank officer who took the rubbish bins at people's homes. However, after the waste can be processed into goods that can be used and can be sold, slowly

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan | 71 Waste Management Based On Women’s Empowerment In Air Lintang Sub District, Muara Enim

changing the mindset of people, and many of them are involved in waste management activities to be voluntary.

Structural Adjusment

Policies that specifically involve women in the process of waste management has yet been found. Existing policies related to the management of household waste and household-like waste contained in Regulation No. 81 Year 2012 and Law No. 18, 2008. However, as the foundation of formation of garbage bank, Head Air latitude issued Decree No. 05 Year 2015 on the Establishment of Waste Bank contain Youth Village Water Carnival Latitude Muara Enim Regency of Muara Enim, the contents of the management structure, organizational structure and working procedures, motto, vision and mission as well as the logo. When viewed from a variety of existing regulations, that the central government has supported their household waste, so that people are required to reduce and manage waste by providing a waste sorting facility. It is also supported by local governments who issued a call about crafts utilization of waste management in the activities organized by the institutions within the Muara Enim city government.

The decree issued by Air latitude Lurah an own initiative in order to waste management (Waste Bank) have a solid foundation, particularly with regard to the implementation of the Waste Bank. Although Air Lintang Village residents have not received assistance from the local government, but there are several agencies and companies that support the activities of waste banks and voluntarily provide assistance in the form of funds, moral support, and others. One of the agencies that often provide assistance in the form of training, namely the Environment Agency (BLH). In addition to training, BLH also often order the craft that comes from recycling bins to residents. BLH addition, other agencies often give more attention to this activity are Dispora, with routine ordering a craft every activity organized Diaspora. The companies who've donated funds that the Company (PT) Bukit Asam. But the help is not routinely accepted, because residents must submit grant proposals to the PT Bukit Asam and it takes a long time.

72 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Constraints and opportunities in the community empowerment process for other.

Obstacles and barriers perceived by the citizens of the Village Air latitude primarily related regarding women's empowerment activities is derived from both internal and external. The obstacles or barriers, among others:

a. Lack of awareness of citizens, especially women about the process of waste disposal. Although the activities of the waste bank long enough to do, but there are still some people who throw garbage in rivers small and there were burnt.

b. In connection with the busyness of each of the members of the Bank Trash. This is because the female members have different kesibukkan, especially for housewives, which prioritizes family and considers this activity just only by product.

c. In connection with the marketing of a product that has not been smooth. During this time, craft-making process of recycling is done if there are orders from agencies or if any "event" or activities undertaken by the regional government.

d. Limited raw materials. During this time the residents take raw materials such as garbage from the Village Air latitude alone. But over time the raw material in the form of waste that is not sufficient, especially if there is an order in large quantities.

e. Limited availability of personnel and vehicles garbage in garbage collection. Currently owned garbage worker amounted to only 5 people. First garbage worker works only voluntary, but at this time they have earned wages. Such compensation is derived from voluntary contributions of citizens aiming for the operational expenses or to buy gasoline. Currently the wages for garbage worker ranges from Rp 1.5 million, 00 per month and has had a uniform. Whereas vehicles currently amount to 5 motorcycles, in accordance with the number of officers garbage. However, considering the number of homes to be visited to take out the trash, the number of officers to be especially lacking. Given every day they have mengelili 200-300 home to take their garbage. This led it takes a very long time, sometimes they finish its work until afternoon.

In addition to constraints or inhibiting factors, there are also a contributing factor in the empowerment of women through waste management, among others:

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan | 73 Waste Management Based On Women’s Empowerment In Air Lintang Sub District, Muara Enim

a. Their spirit and desire of each member in carrying out waste management activities. This is evident from the frequent awarded both at local and national levels with regard to waste management.

b. Their awareness of the community and the support of the family in terms of waste management. This is evident from the seriousness of the residents, especially for mothers who are members of the PKK to process waste into handicrafts. This is not out of support for the husbands to perform these activities.

c. The availability of facilities and infrastructure that support waste management activities. This is evident from going to the construction of landfills (TPA) that is located just behind the village office Air latitude. In addition to functioning as a landfill, there also taken place, separating the waste will be composted.

Based on the description of the constraints and supporting factors that exist, it can be concluded that the opportunities for women's empowerment activities in the area of waste management through the Bank Trash, will possibly become an example for citizens who are in other areas. This is evident from some of the awards obtained and the existing environment in the Village Air Lintang looks clean and beautiful.

Conclussion

Prototype empowerment of women formulated in this study refers to what has been submitted by Sara H Longwee, which includes three aspects: a) Capacity Building, namely the existence of a number of programs related to waste management, namely the management of solid waste management and improvement of skills in terms of waste management become economically valuable handicrafts through training, b) Cultural change is change the public mindset regarding crap, from the disgusting things that could be developed into a business and have a high economic value, and c) Structural adjustment of PP RI No. 81 of 2012 on the management of household waste and household-like waste, Law No. 18 of 2008 on waste management, Decree No. 05, 2015 issued by the Chief Air Latitude on the Establishment of Waste Bank Carnival Youth Village Air Latitude Muara Enim Regency of Muara Enim, the contents of the board of

74 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

management, organizational structure and working procedures, motto, vision and mission as well as the logo, and the appeal issued by the local government on the utilization of the waste management industry in the activities organized by the institutions in the Muara Enim government.

In addition there is also a limiting factor contributing factor in women's empowerment activities in waste management. Factors inhibiting or significant constraints are related to the marketing of products and capital. This is because the garbage in the form of processed products marketed on the craft items only when there are activities organized agencies around Muara Enim regency alone. In addition, capital is required mainly to buy raw materials originating from outside Muara Enim. When viewed from a supporting factor, which plays an important role in the smooth operation of this empowerment is the support of family, especially her husband, many members of which are the PKK and has a family.

References

Abadi, Ronny Setiawan. (2013). Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Domestik di Kampung Menoreh, Kelurahan Sampangan, Semarang, dalam Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Volume 9 (1), Maret 2013.

Arista, Erlangga dan Wijaya, Holi Bina. (2014). Partisipasi Masyarakat Dalam k,yhbmPengelolaan Daur Ulang Sampah Di Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang dalam Jurnal Teknik PWK, Volume 3, No. 3, 2014.

Bogdan, Robert dan Taylor J Steven. (2005). Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Creswell, Jhon W. (2003). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches 2nd Edition. London dan New Delhi: Sage Publication.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (1994). Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications.

Dwiyatmo, Kus. (2007). Pencemaran Lingkungan dan Penanganannya. Yogyakarta : PT. Citra Aji Parama.

Lidya, Eva dan Sartika, Diana Dewi. (2015). Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Songket Ramah Lingkungan di Kampoeng

Eva Lidya, Diana Dewi Sartika, Gita Isyanawulan | 75 Waste Management Based On Women’s Empowerment In Air Lintang Sub District, Muara Enim

BNI. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unsri, sudah dipublikasikan.

Miles, Mathew B dan Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI Press.

Sartika, Diana Dewi dkk. (2015). Kearifan Lokal Pengelolaan Air di Wilayah Pasang Surut, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unsri, sudah dipublikasikan.

Sudarwanto, Al Sentot. (2010). Peran Strategis Perempuan Dalam Pengelolaan Limbah Padat Bernilai Ekonomi dalam Jurnal EKOSAINS, Volume 2, No. 1, tahun 2010.

Sulistiyorini, Nur Rahmawati. (2015). Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah di Lingkungan Margaluyu, Kelurahan Cicurug, dalam Share, Social Work Journal, Volume 5, No.1, 2015.

Utami, Beta Dwi dkk. (2008). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Komunitas : Teladan dari Dua Komunitas di Sleman dan Jakarta Selatan, dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, Volume 2, No. 1.

76 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

Bukhari, MHSc Dosen Program Studi Sosiologi

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstract This paper examines how social work takes place along with other people who like to behave similarly to the existing business people in peunayong market environment. This study uses a qualitative approach, with this approach the data produced by the descriptive of the word spoken and written, and the behavior that can be observed from the person being studied. The results of the analysis show that the network and collectivity of street vendors is a manifestation of the interdependence of fellow street vendors / marketers and it is embedded in the concept of entrepreneurship itself. The existence of an adequate and orderly network will make the poor able to create opportunities and compete to get out of poverty.

Keywords: Street Vendors, Network, Collectivity

Pendahuluan

Keberadaan pedagang kaki lima bukan merupakan hal baru. Keberadaan mereka telah dianggap sebagai bentuk diversifikasi terhadap perluasan lapangan kerja terutama bagi penduduk daerah perkotaan dan menjadi mekanisme pasar dalam melakukan pemerataan pendapatan. Dalam aspek lain, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) juga menghadirkan sejumlah dampak negatif terutama ketika dikaitkan dengan pentaan dan keindahan kota. Banda Aceh sebagai ibukota propinsi yang coba terus berbenah juga merupakan ladang bagi PKL terutama dengan berkembangnya sentra-sentra perdagangan baik yang telah lama ada maupun yang baru dibangun. Ditambah dengan kemunculan kawasan-kawasan baru setelah pembukaan jalan-jalan utama yang baru seperti jalan Batoh, Pango dan peremajaan pusat-pusat pertokoan telah berkontribusi terhadap secara tidak langsung memberikan peluang baru bagi PKL dalam menekuni usaha PKL nya.

Bukhari | 77 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

Meskipun keberadaan PKL sering dikaitkan dengan determinan-determinan sosial seperti pendapatan rendah, pekerjaan tidak tetap, pendidikan tidak memadai, kemampuan berorganisasi yang rendah dan unsur-unsur ketidak pastian, ternyata PKL tidak luput dari hukum persaingan bisnis, solidaritas sosial, jaringan sosial sesama mereka. Hubungan sosial antar PKL dan pengguna pasar lainnya memberikan makna tersendiri bagi terbentunya jaringan sosial, intensitas hubungan sosial yang terjadi antara PKL dengan pembeli, sesama PKL, pengguna pasar dan instansi pasar membentuk hubungan yang terstruktur. Damsar menyebutkan bahwa struktur tersebut dalam sosiologi ekonomi disebut sebagai “keterlekatan” didalam suatu jaringan sosial yang didalamnya terdapat norma dan kepercayaan, kepercayaan tidak muncul secara tiba-tiba atau seketika tetapi hadir dari proses hubungan antar individu atau kelompok dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama (Damsar, 2002: 34). Lebih lanjut, dinamika sosial yang terjadi pada PKL akan mempengaruhi struktur didalam pasar secara luas.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam tulisan ini akan mengkaji tentang bagaimana pola jaringan sosial yang terjadi sesama pedagang kaki lima, pedagang kakilima dengan pengguna pasar lainnya serta bagaimana pengaruh jaringan sosial tersebut terhadap perilaku berdagang PKL yang ada di ada di kawasan pasar peunayong.

Kerangka Teori

Teori Jaringan yang dirumuskan oleh Mark Granovetter (dalam George Ritzer, 2007) menjabarkan kaitan tindakan sebagai sesuatu “yang melekat” pada “hubungan pribadi dan struktur yang kongkrit atau “jaringan” dari hubungan-hubungan semacam itu yang mendasari kaitan mengenai gagasan bahwa „aktor‟ (individu atau kolektif) dapat memiliki akses berlainan pada sumber-sumber daya yang bernilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya dalah sistem yang tersturktur cendrung terstratifikasi, dengan beberapa komponen yang saling bergantung. Selanjutnya Ganovetter membedakan „ikantan kuat‟ dengan „ikatan lemah‟. Ikatan kuat semisal individu dengan teman-teman dekat sementara ikatan lemah individu dengan kenalannya. Ikatan lemah kemudian menjadi penting perannya karena bisa menjadi jembatan antara dua kelompok dengan ikatan internal yang kuat.

78 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Teori jaringan dibangun atas prisip-prinsip sebagai berikut:

a. Ikatan antar actor biasanya bersifat simetris baik isi maupun intensitasnya

b. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam kontek struktur dan jaringan yang lebih besar

c. Penstrukturan ikatan sosial mengarah pada berbagai jaringan yang tidak acak

d. Keberadaan kelompok mengarah pada fakta bahwa mungkin saja terdapat kaitan saling silang antar kelompok antar individu

e. Terdapat ikatan sometris antar elemen dalam suatu sistem, yang akibatnya adalah bahwa sumber daya yang berlainan terdistribusikan secara berlainan. Akhirnya, ketimpangan distribusi sumber daya yang langka melahirkan kolaborasi dan kompetisi.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pendekatan ini data yang dihasilkan secara deskiptif dari kata lisan maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang yang diteliti. Alasan menggunakan kualitatif karena, pertama peneliti akan berinteraksi langsung dengan informan agar memperoleh informasi yang akurat. Kedua, observasi dan wawancara terhadap informan dalam bentuk Tanya jawab yang mendalam agar informan bias dan leluasa mengunkapkan pengalaman, persepsi dan pemikiran mereka. Ketiga, penelitian ini bersifat alamiah (natural setting).

Untuk itu, penelitian ini lebih bersifat kontektual dan kasuistik,

yang berlaku pada tempat dan waktu tertentu. Karenanya tidak dikenal sampel. Adapun subjek penelitian ini adalah pedangan kaki lima yang ada di kawasan pasar peunayong. Objek penelitian yaitu secara umum jaringan sosial yang terjadi di pasar peunayong. Pengumpulan data akan dilakukan dengan mengunakan teknik observasi tertutup atau bersifat tidak berpartisipasi namun menjelaskan maksud dari observasi yang akan dilakukan. Catatan lapangan adalah catatan tertulis yaitu catatan peneliti tentang semua kegiatan yang terjadi tanpa melibatkan diri dalam kegiatan yang dilakukan subjet. Wawancara akan dilakukan terhadap BLUD UPTD pasar, satpol PP pemilik toko dan pihat yang terkait.

Bukhari | 79 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

PKL

Konsumen

Keluarga

Kawan

Toko Grosir

Organisasi PKL (P4A)

Pemasok Barang

Pemerintah/Polisi PP

Bank/Lebaga

keuangan komersil

Peminjam uang/

modal

Teknik analisis data dilakukan melalui tiga tahapan atau alur

yaitu; (1) reduksi (2) penyajian (3) penarikan kesimpulan. Pada tahap pertama, peneliti membaca, mengkaji dan menelusuri data yang telah dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara. Pada tahap kedua, mencatat dan memilih data yang dikumpulkan sesuai dengan tema yang diaangkat. Tahap ketiga, mengambil kesimpulan dari penyajian data yang dilakukan pada tahap sebelumya. Hasil dan Pembahasan

Melalui studi di lapangan yang peneliti lakukan, peneliti mengidentifikasi sekitar Sembilan titik kunci yang mencirikan ekonomi PKL di Peunayong. Kesembilan titik kunci tersebut adalah konsumen, keluarga, kawan sejawat, pedangang grosir, pensuplai barang, pemerintah/ polisi pamong praja, bank/lembaga keuangan dan peminjam uang/modal.

Ilustrasi1: Ekonomi PKL Peunayong dan Sistem Pertukaran

80 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Ilustrasi 1 memperlihatkan system transaksi dan struktur ekonomi di pasar peunayong. Hungungan antar titik dalam struktur pasar berbeda levelnya dalam aspek kekuatan hubungan (strength), garis penghubung yang lebih tebal menunjukkan keuatan hubungan yang terjadi dibandingkan dengan garis penghubung yang lebih tipis.

Hubungan dengan KonSumen dan Kompetisi sesama PKL

Dalam tata kawasan kota peunayong yang tidak terputus, terdapat pembagian bagian kota dengan jenis usaha yang berbeda. Konsentrasi PKL terjadi di pasar sayur, buah yaitu sepanjang jalan Kartini, A. Yani dan Daud Syah dan sebagian jalan Khairil Anwar. Intensitas PKL juga mudah terlihat di Jalan Hasan Krueng Kale yaitu didepan pasar ikan, pasar ayam dan daging. Dengan akses yang berbeda bagi setiap tempat konsentrasi PKL, untuk mendapatkan konsumen merupakan tantangan tersendiri bagi PKL. Sebagai kawasan urban, peunayong dipenuhi oleh berbagai tipe konsumen yaitu: penduduk lokal, mahasiswa, pekerja pendatang dan konsumen khusus dikarenakan kedekatan dengan tempat seperti hotel, pemberhentian bus kota. Pemilihan tempat membeli bagi konsumen yang mengunjungi peunayong dan kemampuan ekonomi pembeli sangat beragam. Pedagang mempunyai kluster pembali yang berbeda dibandingkan dengan pedangang lainnya. Misalnya pedangang X dengan jenis sayuran yang sama dengan pedangan Y mengaku mempunyai pembeli yang berbeda, pembeli pedangang X banyak dari kalangan local yang menetap di peunayong sementara pedangan Y banyak dibeli oleh pembeli dari kalangan pendatang yang menetap sekitar kawasan diluar peunayong.

Apa yang menjelaskan pengaturan tersebut diatas? Analisa terhadap pertukaran yang melekat (embedded exchange) menjawab petanyaan diatas. Dengan analisa tesebut, kami membantah penemuan oleh Geertz 1963; 1978) tehadap ekonomi bazaar (bazaar economy) dimana dia berpendapat bahwa tujuan (PKL/bazaar dibandingkan dengan sector formal) adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin pembeli atau kosumen untuk sesaat. Pejual bazaar hanya berusaha mendapatkan pembeli kecil dan pembelian dalam jumlah banyak tanpa pernah punya usaha untuk membangun klien atau membangun bisnis yang punya prospek pertumbuhan (1963:35). Greerzt berpendapat bahwa prinsip pemasran hanya berlaku terhadap sector formal semata. Namun sebaliknya kita menemukan

Bukhari | 81 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

bahwa pelaku PKL selalu mencoba menemukan cara untuk membangun hungan yang kuat dengan konsumen dan untuk tujuan jangka panjang. Temuan empiris kami menunujukkan pedagang PKL menyadari sepenuhnya dan laba yang lebih didapat dari kemampuan memberikan kemudahan bagi pembeli terutama berkaitan dengan harga dangangan. Menjaga kejujuran dalam negosiasi harga merupakan prinsip yang selalu pegang oleh PKL. Tidak jarang penjual meluangkan waktu untuk meladeni pembicaraan dengan kosumen kadang diwaktu-waktu padat pembeli. Mekanisme ini dimana pemamfaatan kesempatan dengan mengandalkan pengetahuan karakter yang mendalam terhadap pembeli (Weber, 1978) merupakan strategi dalam masyarakat tradisional dalam mengendalikan persaingan. Hubungan pedangang dengan konsumen mesti ditempatkan dalam kondisi dimana pembeli dengan mudah bisa berpindah menjadi konsumen kepada pedagang lainnya. Karenanya kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pembeli dengan mekanisme harga dan hubungan lebih mendalam menjadi ciri penting dalam aktifitas ekonomi. Selama observasi yang kami lakukan, kita sering menemukan penjual memberikan jenis barang lain yang tidak diminta, ini jelas memperlihatkan pentingnya kebangunan hubungan dengan pedagang dan pembeli.

Peran Keluarga dalam Menjaga Keberlangsungan Usaha

Keluarga merupakan tulang punggung PKL. Pendapatan keluarga sangat tergantung dari hasil penjualan, oleh karena itu kami menemukan hubungan antara kedai dan pola kerja keluarga dalam beragam rupa. Keluarga dapat berperan sebagai pensuplai tenaga kerja, sumber pengatahuan baru dan penguatan secara keseluruhan. Untuk menilai peran keluarga, maka harus dilihat dalam konteks PKL peunayong sebagai sistem pemenuhan lapangan kerja kepada keluarga. Dalam hal ketidak mampuan pedagang untuk membayar pekerja, maka keluarga menjadi pilihan yang paling efektif. Keluarga juga mempengaruhi jam kerja juga juga aktifitas dagang, salah seorang penjual mengatakan ia akan menutup jualannya jika ada acara keluarga di kampungnya atau jika anggota keluarganya sakit juga akan mempengaruhi jam kerja. Dalam kasus penjual yang mempunyai anggota keluarganya sebagai pembantu dalam aktifitas dagangannya, maka kejadian emergensi dalam keluarga tidak mempengaruhi buka-tutup usahanya. Jadi kekuatan dukungan

82 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

keluarga mempengaruhi jalannya usaha PKL. Keberadaan anggota keluraga sebagai PKL meskipun dengan jenis dagangan yang lain juga mempengaruhi, terbentuknya jaringan keluarga terutama dalam pemilihan tempat, suplai barang dan informasi-informasi penting lain member kelebihan kekuatan dalam menjaga keberlangsungan usaha.

Peunayong sebagai Pusat Sirkulasi Hubungan Perkawanan

Temuan dari obrservasi kami bahwa semua pedagang yang menjadi sumber informasi mengaku bahwa mereka bergantung kepada kawan saat mereka membutuhkan uang/modal. Menurut mereka modal dari kawan adalah pilihan sangat atraktif dimana tidak adanya bunga yang dibebankan. Keadaan ini dilatari oleh hubungan timbal balik (reciprocal) dimana transaksi keuangan tanpa melibatkan bunga. Hubungan timbal-balik ini selalu menjadi opsi pertama bukan hanya dalam bentuk pinjam uang juga berbagi informasi penting tentang pasar. Jadi kawan menjadi salah satu sumber informasi termasuk dalam membangun hubungan dengan pensuplai barang juga dalam pemilihan tempat dan jenis dagangan. Banyak pedagang yang menjadi sumber informasi mengaku mereka awalnya juga memelih peunayong karena ajakan kawan. Pola ini lebih kentara bagi pedagang yang datang dari luar Banda Aceh/Aceh Besar atau bahkan bagi mereka yang datang dari luar Aceh. Meminjam uang di bank atau lembaga keuagan lainnya bisanya dijadikan alternatif terakhir, karena hubungan lemah terjadi dengan lembaga tersebut dengan mengikuti prosedur formal.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa tengkulak/rentenir merepakan pilihan yang terburuk untuk dijadikan sebagai sumber mendapatkan modal. Sehingga resiko tidak adanya kawan atau tidak dapat meminjam dari bank adalah sangat tinggi. Selama observasi lapangan yang kami lakukan, kami menemukan kasus dimana kawan membantu PKL dalam menentukan harga jualan sesuai dengan keadaan pasar yang berubah. Nampak bahwa kawan juga menentukan dalam menentukan strategi. Pentingnya keberadaan kawan juga menentukan laku-tidaknya jualan atau eksistensi PKL itu sediri secara keseluruhan. Kedatangan mereka untuk membeli, membawa kawan lain atau sekedar memberitahukan kepada orang memperlihatkan sentralitas dari peran kawan. Labih jauh lagi, kedatangan atau tidak hadirnya mereka ketempat itu sendiri mengidikasikan tempat tersebut sebagai tempat umum dan setaip

Bukhari | 83 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

orang tau hanya mereka yang akan menjadi pembeli ditempat tersebut. Kaedaan ini memberikan keuntungan (power of recognition) kepada pedagang tersebuat dalam pengabsahan tempat dan konsumen kepada pedangan lain, penduduk local. Cara penempatan diri yang tidak formal dilakukan dengan cara membentuk jaringan perkwanan sekitar tempat berdagang. Jaringan perkawanan ini berperan sebagai pelindung yang tersembunyi dari pesaing maupun pemerintah.

Kolaborasi/Kerjasama Sesama Pelaku PKL

Kerjasama sesama kompetitior adalah strategi lumrah untuk mengurangi saling ketergantungan. Pesaing boleh saja bergabung dalam satu usaha melalui joint ventures, saling bertukar teknologi, pemasaran dan pengaturan distribusi dll. Melalu strategi tersebut, tujuannya biasanya “untuk mendapatkan keuntungan secara tidak fair dan menggangu mekanisme pasar” (Lauman 1978:467). Tidak ada pengecualian terhadap PKL, hasil observasi menunjukkan PKL membentuk asosiasi atau organisasi dengan tujuan utama melawan gangguan dari pemerintah dan memperjuangkan hak-hak mereka. PKL dalam kawasan Banda Aceh tergabung dibawah Persatuan Persaudaraan Pedagang Pasar Aceh (P4A). Menarik untuk diperhatikan adalah kami menemukan bagaimana organisasi ini memperjuangkan hak PKL kepada pemerintah. P4A adalah badan yang terstruktur yang mewadahi pedagang yang mendapat izin usaha. Fungsi utama organisasi ini adalah sebagai penghubung. Fungsi ini meliputi berbagai aspek seperti mendapatkan izin usaha dari pemerintah, tawar-menawar dengan pemerintah secara koletif, kompensasi atau bantuan jika terjadi musibah, akses untuk mendapat kredit.

Dalam berbagai kasus yang disbutkan sebelumnya, peran politik dari organisasi terlihat jelas. Dengan P4A sebagai wadah atau patron, mediasi dengan pemerintah juga tergantung kapasitas PKL peunayong itu sendiri. Salah satau dari PKL menjelaskan kepada kami bahwa negosiasi dengan pemerintah dalam hal kenaikan pungutan pajak telah berhasil dilakukan dalam menekan pajak yang lebih bersahabat dengan pendapatan PKL. Keberhasilan negosiasi seperti ini dengan menggunakan proxy asosiasi lokal PKL peunayong memberikan akses terhadap koridor kekuasan di pemerintahan. Selanjutnya asosiasi ini juga mengakomodir posisi formal organisasi

84 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

seperti ketua asosiasi yang legal secara hukum yang berprofesi sebagai PKL. Kesempatan menduduki posisi formal seperti ini memberikan implikasi penting buat PKL, karenanya mencapai posisi teratas dikalangan PKL menjadi penting bagi individual PKL. Dinamika politik internal PKL menjadi penting untuk diperhatikan dalam memahami jaringan yang terbentuk dan dampaknya terhadap perilaku.

Peran lainnya dari organisasi ini adalah memberi perlindung kepada PKL dari ancaman eksternal. Ancaman pengusuran oleh pihak berwenang biasanya berbentuk pungutan liar (pungli) maupun pungli dari „preman‟ bahkan polisi marupakan isu yang selalu menekutkan pihak PKL. Anjaria (2006) dengan tepat mengatakan bahwa pedagang jalanan (street Vendors) lebih takut kepada pemerintah yang cendrung predator daripada negara yang menjunjung hukum. Dalam kontek ini, bermamfaat untuk mengulas penemuan oleh Cross (1998), dimana memperlihatkan keadaan di Mexico bahwa PKL yang beradaptasi dengan kebijakan pemerintah meperlihatkan kesuksesan. Sebalikanya terdapat juga di kalangan PKL yang tidak tergabung dalam asosisasi pedagang tersebut. Hasil dari wawancara, salah satu pelaku PKL yang usahanya relatif besar di Jalan Kartini dengan beberapa karyawan mengatakan tidak berniat dan tidak tertarik unutuk bergabung dengan asosiasi, “saya tidak membutuhkan pertolongan dari asosiasi, saya mempunyai orang yang menjadi penghubung dan menolong saya untuk berurusan dengan pemerintah. Bahkan informan tersebut juga menceritakan bagaimana dia mengahalau polisi pamong praja ketika terjadi operasi penertiban.

Pasokan Bahan Baku/Barang Dagangan

Pasokan bahan baku atau barang dagangan di peunayong terbagi kedalam dua katagori hubungan: pasokan dalam grosiran dan pasokan dalam jumlah kecil. Dalam interview terungkap bahwa pelaku PKL menempatkan pasokan grosir sebagai imput yang paling menentukan dalam bisnis mereka. Pasokan grosiran terutama bagi PKL yang yang menjual sayuran dan buah-buahan dan juga makanan yang melakukan dagangan pada malah hari. Toko-toko grosir yang banyak terdapat Peunayong merupakan sumber pasokan barang kepada PKL. Sehingga hungungan kedua jenis pedagang ini dapat digambarkan sebagai hubungan kuat (strength ties). Meskipun

Bukhari | 85 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

hubungan antara PKL dengan pedagang grosiran terlihat seperti hubungan kotrak biasa, namun pada dasarnya membentuk jaringan yang komplek. Interaksi bisnis-ke-binis membentuk jaringan 3 atau empat pedagang dan grosir. Hubungan ini belum lagi termasuk pemilik- pemilik toko yang mengantungkan suplai barang dagangan dari sirkulasi jaringan ini. Jelas hubungan transaksi yang terjadi tiap harinya memberikan laba kepada kedua belah pihak.

Hubungan PKL-Grosir juga dicirikan oleh sistem pembayaran baik langsung maupun tidak langsung. Banyak PKL diuntungkan oleh sistem pembayaran yang flexible yang diberikan pihak grosir. Untuk barang yang capat rusak seperti sayuran hijau dan buah yang tersedia local, pengantaran barang terjadi tiap harinnya bahkan kadang-kadang penjual bisa meminta barang dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Keadaan ini memberikan iklim bagi terbentuknya hungan yang dekat dan kuat antara pemasok dan penjual. Banyak juga pasokan barang melibatkan anggota keluarga atau baying yang dijual adalah dihasilkan oleh anggota keluarga penjual PKL.

Kesimpulan

Penelitian ini memperlihatkan pentingnya hubungan antar pelaku PKL. Titik pelaku pasar seperti konsumen, keluarga dan pelaku PKL secara luas di Peunayong, kawan, pedagang grosiran, pemasok semua berperan dalam memberikan dukungan. Peran mendukung (supportive) terjadi dalam kerangka jaringan melekat (embedded relation). Hubungan dengan pihak lain seperti tengkulak/rentenir/peminjam uang, bank/lembaga komersil, pemerintah/polisi PP/penarik pajak berbentuk hubugan seadanya. Peran dari orgnisasi/badan seperti P4A mempunyai pengaruh langsung terhadap keberlangsungan PKL (biasanya dalam mewadahi penyelesaian konflik).

Analisis terhadap link atau hubungan yang terjadi antar titik yang menentukan sistem ekonomi peunayong memperlihatkan bagaimana pelaku PKL di Peunayong tidak hanya sebagai actor/pelaku ekonomi yang bersifat atomistic. Mereka merupak unit “nano Unit” yang menciptakan proses jual beli yang bersifat microcosm informal yang banyak bertebaran dalam masyarakat. Jaringan microcosms dapat membantu kita dalam memahami cara PKL mengoperasikan fungsinya dan bagaimana informality terbentuk.

86 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Jaringan yang terjadi antar institusi pasar (berdasarkan kompetisi) dan hirarkhi (Grannovetter, 1985). Argumentasi tersebut menjadi lebih kuat ketika dikaitkan dengan kontek kompetisi tidak sempurna dan peran identitas individu di pasar. Identitas individu actor (pelaku pasar) adalah penyebab sekaligus akibat dari afiliasi kepada kelompok, jaringan sosial dan perilaku moral yang melekap dengan kelompok dan jaringan.

Politik Identitas ini sudah terbukti dalam kasus ekonomi informal, yang difungsikan dalam kerangka jaringan, yang kemudian menentukan tingkat akses terhadap mekanisme yang formal. Ketidak pastian yang terjadi pada PKL merupakan bentuk atau fungsi dari jaringan itu sendiri. PKL sangat menyadari bahwa kehilangan link-link penting bisa berakibat terhadap kehilangan pekerjaan. Dalam kontek tersebut menjadi penting untuk melihat pentingya pelaku PKL secara kolektif dalam membentuk asosiasi atau bergabung kedalam asosiasi seperti P4A. Kolektifitas tersebut sebagai manifestasi atau pelembagaan akan saling ketergantungan sesame pelaku PKL/pasar. Dari analisi jaringan yang kita lakukan nampak bahwa fungsi tersebut melekat (embedded) didalam konsep entrepreneurship itu sendiri. Dari analisis di atas jelas bahwa keberadaan jaringan yang memadai dan tertata, orang-orang miskin mampu menciptakan peluang dan bersaing untuk keluar dari kemiskinan. Kesimpulan ini mempunyai implikasi penting terhadap pengambil kebijakan terutama berkaitan dengan menciptakan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan menampung dan memajukan sector informal.

Bukhari | 87 Pedagang Kaki Lima (PKL) Dan Jaringan Sosial: Suatu Analisis Sosiologi

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto, Ruddy. 2007. Jaringan Sosial Dalam Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anjaria, J. S. (2006) “Street hawkers and public space in Mumbai,” Economic and Political Weekly, May 27 pp. 2140-46. Baker, W. E. & Faulkner, R. R. (1993) “The social organization of conspiracy: Illegal networks in the heavy electrical equipment industry” in American Sociological Review. 58(6) pp.837-60.

Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. 2003. Ananlisis Data Penelitian Deskriptif (Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikatif). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi (Edisi Revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

lson, D. (2004). Social policy and macroeconomic performance: Integrating "the economic" and "the social". In T. Mkandawire (Ed.), Social policy in a development context. London: Palgrave.

Geertz, C. (1963) Peddlers and princes: social change and economic modernization in twoIndonesian towns. Chicago: University of Chicago Press.

Geertz, C. (1978) The Bazaar economy: information and search in peasant marketing. In American Economic Review 68(2) pp. 28-32.

Granovetter, M. (1985) Economic action and social structure: The problem of embeddeness. In American Journal of Sociology 91 (3). pp.481-510.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Moderen (Jilid 2). Jakarta: PT Gramedia.

Karafir. 2007. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

88 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017

Manning, Cris dan Tadjuddin Noer Effendi. 19985. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal Perkotaan. Jakarta: PT Gramedia.

Mustafa, Ali Achsan. 2008. Model Transformasi Sosial Sektor Informal (Sejarah, Teori dan Praktis Pedagang Kaki Lima). Malang: INSPIRE.

Mustafa, Ali Achsan. 2008. (Transpormasi Sosial Masyarakat Marginal Mengukuhkan Eksistensi Pedagang Kaki Lima Dalam Pusaran Modernitas). Malang: INSPIRE.

Nove Cahayani Z, Ruth.2012. Kondisi Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima Yang Beroperasi di Jalan Prof. Dr. M. Yamin (Studi di Kelurahan Akcaya Kecamatan Pontianak Selatan). Jurnal Ilmu Sosiatri FISIP Universitas Tanjungpura, Vol 1 no (1). Hal 1-30.

Purba, Jonny. 2005. Pengololaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi (Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoderen) edisi terbaru. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Scott, J. (1991) Social Network Analysis. London: Sage Publications.

Usman, Sunyoto. 2006. Pembangunan dan Pemberdayaan masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Weber, M. (1978) Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press.

Volume 11, Nomor 1, Juni 2017ISSN: 2252-5254

Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala yang memuat berbagai pendekatan yang berlandaskan pada isu -isu sosial kemasyarakatan lokal, nasional maupun internasional melalui karya tulis ilmiah. Redaksi juga menerima tulisan seputar dinamika sosial masyarakat baik yang bersifat teoritis, kritis, reflektif, dan berbagai ide - ide yang menyangkut dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal 15 halaman atau 4000-5000 kata, paper A4 Spasi 1, dilengkapi dengan abstrak (bahasa inggris), footnote/bodynote dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan dilengkapi dengan abstrak (bahasa inggris), footnote/bodynote dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan nama lengkap serta asal universitas. Tulisan dikirim ke email:[email protected] atau via online submissiondi http://jurnal.unsyiah.ac.id/JSU/about/submissions#onlineSubmissions. Jurna terbit dua edisi dalam satu tahun (Juni & Desember) dalam bentuk cetak dan OJS di http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JSU.

9772252525006