Jurnal Sosiologi Pendidikan Louis Althusser

31
SUMBANGAN TEORI LOUIS ALTHUSSER TERHADAP SOSIOLOGI PENDIDIKAN (Ideologi, Negara dan Pendidikan) Oleh: Tria Septi Wulandari Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5, Malang 65145 Abstrak: Althusser merupakan pembaca pemikiran Marxisme, yang dilakukannya adalah menerima apa yang menurutnya tepat dan mengkritisi apa yang menurut Marx tidak tepat untuknya. Marx yang mengungkapkan bahwa semua permasalahan social bertumpu pada masalah ekonomi. Ternyata ia mempunyai pandangan lain tentang hal itu, dia berpikir bahwa bukan ekonomi yang memegang kendali tersebut. Althusser beranggapan bahwa ideology adalah penggerak dari segala aspek kehidupan ini ‘tak ada sesuatupun di luar ideologi’. Konsep yang diajukan oleh Althusser adalah State Apparatus (SA) dan Ideological State Apparatus (ISA), interpelasi, Tesis 1: ideologi merepresentasikan relasi individu yang imajiner pada kondisi-kondisi nyata dari eksistensinya, Tesis 2: ideologi memiliki eksistensi material, dll. Dalam karyanya, Althusser menguraikan tentang bagaimana ekonomi mempengaruhi posisi individu dalam masyarakat serta ideologinya. Kata Kunci: Marxisme, Ideologi, Ekonomi SEKILAS TENTANG LOUIS ALTHUSSER Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada tahun 1918 dan meninggal di Paris pada tahun 1990. Studi filsafat diperolehnya di École Normale Supérieure di Paris, dimana ia kemudian menjadi profesor filsafat. Ia juga merupakan intelektual yang bergabung 1

Transcript of Jurnal Sosiologi Pendidikan Louis Althusser

SUMBANGAN TEORI LOUIS ALTHUSSERTERHADAP SOSIOLOGI PENDIDIKAN

(Ideologi, Negara dan Pendidikan)Oleh:

Tria Septi WulandariFakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

Jl. Semarang 5, Malang 65145

Abstrak: Althusser merupakan pembaca pemikiranMarxisme, yang dilakukannya adalah menerima apa yangmenurutnya tepat dan mengkritisi apa yang menurut Marxtidak tepat untuknya. Marx yang mengungkapkan bahwasemua permasalahan social bertumpu pada masalahekonomi. Ternyata ia mempunyai pandangan lain tentanghal itu, dia berpikir bahwa bukan ekonomi yangmemegang kendali tersebut. Althusser beranggapan bahwaideology adalah penggerak dari segala aspek kehidupanini ‘tak ada sesuatupun di luar ideologi’. Konsep yangdiajukan oleh Althusser adalah State Apparatus (SA)dan Ideological State Apparatus (ISA), interpelasi,Tesis 1: ideologi merepresentasikan relasi individuyang imajiner pada kondisi-kondisi nyata darieksistensinya, Tesis 2: ideologi memiliki eksistensimaterial, dll. Dalam karyanya, Althusser menguraikantentang bagaimana ekonomi mempengaruhi posisi individudalam masyarakat serta ideologinya.Kata Kunci: Marxisme, Ideologi, Ekonomi

SEKILAS TENTANG LOUIS ALTHUSSER

Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di

Algeria pada tahun 1918 dan meninggal di Paris pada tahun

1990. Studi filsafat diperolehnya di École Normale

Supérieure di Paris, dimana ia kemudian menjadi profesor

filsafat. Ia juga merupakan intelektual yang bergabung

1

dengan Partai Komunis Perancis. Argumen-argumennya

kebanyakan adalah tanggapan terhadap serangan-serangan yang

ditujukan pada dasar-dasar ideologi partai itu. Termasuk

diantaranya empirisme yang mempengaruhi tradisi sosiologi

dan ekonomi Marxis, serta ancaman dari orientasi humanitik

dan sosial demokrat yang dipandangnya sebagai sebuah

ancaman yang mulai mereduksi kemurnian orientasi partai-

partai komunis Eropa. Jadi, Louis Althusser dalam hal itu

dapat dikategorikan sebagai seorang filsuf Marxis yang

lebih ortodoks, karena mencoba mempertahankan dasar-dasar

pemikiran Marx dan melihatnya sebagai sebuah ilmu

pengetahuan tentang masyarakat yang harus mengikuti dasar-

dasar ilmiah. Pada tahun 1980 ia membunuh istrinya Helene

Rytmann dan mengakibatkan ia dikirim untuk menjalani

rehabilitasi mental di pusat rehabilitasi selama 3 tahun.

Semasa hidupnya, ia lebih dikenal sebagai seorang

teorisi dan kritikus marxis. Louis Althusser adalah seorang

filsuf beraliran Marxis yang paling berpengaruh pada dekade

1960-an dan 1970-an. Karyanya yang berjudul "Untuk Marx"

(dalam bahasa Perancis Pour Marx) dan "Membaca Modal"

(dalam bahasa Perancis Lire le Capital) membuat Althusser

menjadi terkenal di kalangan intelektual Perancis dan

menarik perhatian pembaca di luar negeri. Terjemahan dalam

bahasa Inggris atas kedua karya tersebut pada tahun 1969

dan 1970, mendorong berkembangnya pemikiran Marxis di

tempat-tempat yang memakai bahasa Inggris selama tahun

1970-an.

2

Sumbangan Louis Althusser

Salah satu kontribusi Althusser yang paling dikenal

adalah pembabakannya atas pemikiran Marx ke dalam tahap

“Marx muda” dan “Marx matang”. Sesungguhnya pembabakan yang

dibuat Althusser tidaklah sesederhana dikotomi di muka.

Namun, sebelum melihat detail pembabakan itu, kita mesti

memeriksa terlebih dahulu prinsip pembabakan itu sendiri.

Bagi Althusser, prinsip pembabakan ini terletak dalam

sebuah pertanyaan krusial: Apa problemnya? Dengan kata

lain, apabila Marx menawarkan kepada kita sebuah gugus

pengetahuan yang baru, lantas apa problem yang hendak

dijawab olehnya, sebuah problem yang secara spesifik

dipermasalahkannya (dan tidak dipermasalahkan oleh para

pemikir sebelumnya)? Bagi Althusser, pendirian sebuah gugus

pengetahuan yang baru mengandaikan adanya cara mengajukan

pertanyaan yang baru pula, atau kerangka problem yang

sepenuhnya berbeda dari kerangka problem yang diusung oleh

gugus pengetahuan yang lama. Agar teori Marx dapat

dikatakan sebuah teori yang baru, maka kita harus dapat

membuktikan kebaruan itu melalui investigasi tentang apakah

problem spesifik yang dipersoalkan oleh Marx. Dalam

kerangka inilah Althusser berbicara tentang “patahan

epistemologis” (coupure epistémologique) — sebuah kategori

yang dipinjamnya dari filsuf epistemologi, Gaston

Bachelard.1 Patahan epistemologis atau patahan pengetahuan

1 Lih. Louis Althusser, For Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster (London:Verso), 1997 (aslinya: 1965), hlm. 32.

3

adalah kondisi yang disyaratkan oleh kemunculan setiap

pengetahuan baru. Suatu pengetahuan dikatakan baru apabila

ia berhasil merumuskan problemnya sendiri terlepas dari

perumusan problem oleh pengetahuan sebelumnya. Begitu

problem yang hendak dijawab berubah, maka terjadilah

patahan epistemologis. Inilah yang akan kita saksikan dalam

pembabakan Althusser atas tahap pemikiran Marx.

Althusser memang membagi sejarah pemikiran Marx ke

dalam dua periode utama: periode “ideologis” pra-1845 dan

periode “saintifik” pasca-1845.2 Kita perlu mengklarifikasi

arti term-term yang dipakai Althusser itu. Term “ideologi”

mengacu pada superstruktur yang dibicarakan Marx dalam

pandangan materialisnya tentang sejarah. Term ini digunakan

Althusser untuk menunjukkan periode ketika Marx masih

berkubang dalam medan problematik Idealisme Jerman yang

menjadi konteks sejarahnya. Dengan kata lain, dalam periode

ini pemikiran Marx masih bercampur dengan ideologi pada

masa itu. Term “saintifik” digunakan Althusser untuk

menunjukkan periode ketika Marx telah berhasil merumuskan

problem spesifiknya sendiri lepas dari horizon problematik

Idealisme Jerman yang ideologis. Dengan kata lain, periode

saintifik ini adalah masa di mana Marx telah berhasil

merumuskan sains tentang sejarah atau materialisme historis

yang menyatakan bahwa bukan ideologi (ide, agama, norma,

dst.) yang menentukan sejarah melainkan kontradiksi pada

modus produksi.

2 Ibid., hlm. 34.4

Pentahapan ini lalu dirinci ke dalam empat tahap.

Berikut adalah bentuk skematik dari empat tahap tersebut:3

1. 1840-1844 atau Karya Awal

Dalam periode ini Althusser mengelompokkan semua karya

Marx sejak Disertasi Doktoralnya tentang Epikuros sampai

Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1844 (atau Manuskrip Paris)

dan Keluarga Suci. Althusser juga membagi periode “Karya

Awal” ini ke dalam dua tahap:

- Tahap “humanisme liberal-rasionalis” yang tampak dalam

artikel-artikel Marx dalam Die Rheinische Zeitung

(sampai dengan tahun 1842). Konteksnya adalah kritik

terhadap sensor pemerintah despotik Prusia, hukum

feodal Rhein dan kebebasan pers. Althusser merumuskan

pandangan Marx dalam periode ini: “Hanya esensi

manusia lah yang menciptakan sejarah, dan esensi ini

adalah kebebasan dan rasio.”4 Oleh karena penekanan

pada kebebasan dan rasio inilah Althusser

mendeskripsikan juga periode ini sebagai periode

“Kantio-Fichtean”—sebab masih kental dengan nuansa

filsafat Immanuel Kant dan Fichte. Seruan filsafat,

sebagaimana dinyatakan Marx, adalah: “Filsafat

menuntut agar Negara menjadi Negara kodrat manusia

[the State of human nature].”5 Jadi sifatnya masih sebatas

3 Ibid., hlm. 35.4 Ibid., hlm. 223-224.5 Pernyataan Marx dalam Rheinische Zeitung tanggal 14 Juli 1842, sebagaimana dikutip dalam ibid., hlm. 224.

5

“seruan moril” atau kritik yang berbasis pada sentimen

kemanusiaan.

- Tahap “humanisme komunalis-rasionalis” yang tampak

dalam tulisan-tulisan Marx antara tahun 1842-1845.

Althusser mengartikan periode ini sebagai periode

“Feuerbachian” oleh sebab Marx berkutat dalam medan

problematik Feuerbach. Ini nampak dalam pengertian

baru Marx tentang esensi manusia, kini tak lagi

sebagai kebebasan dan rasio, melainkan sebagai

“makhluk komunal” (Gemeinwesen) dan sejarah adalah

sejarah alienasi esensi komunal ini sebuah sejarah

yang akan ditebus oleh revolusi komunis, yakni

komunisme sebagai realisasi esensi diri manusia

sebagai makhluk komunal.6 Medan problematik ini

dikatakan bersifat Feuerbachian karena Feuerbach lah

yang melihat esensi manusia pada dimensi organis-

komunalnya: manusia sebagai species (Gattung), sebagai

totalitas eksistensi individual.7 Komunisme Feuerbach,

dengan demikian, lebih menyerupai “komunisme” jemaat

Kristen purba yang tersusun oleh komunitas-komunitas

kecil yang mendasarkan diri pada prinsip cinta kasih

dan persaudaraan.8 Marx, tentu saja, tidak menerima

mentah-mentah elaborasi nostalgis-romantik Feuerbach

ini. Namun medan problematiknya masih serupa. Upaya

Marx selanjutnya, adalah menggeser medan problematik

6 Ibid., hlm. 226.7 Louis Althusser, On Feuerbach dalam The Humanist Controversy, op.cit., hlm. 142.8 Lih. Ibid., hlm. 148.

6

ini: problemnya bukan lagi realisasi esensi manusia,

realisasi species manusia, yang mana sejarah nampak

sebagai sejarah penebusan umat manusia, melainkan

sesuatu yang akan menjadi ciri spesifik teori Marx.

2. 1845 atau Karya Patahan9

Periode patahan ini mencakup dua karya, yakni Tesis-

Tesis tentang Feuerbach dan Ideologi Jerman. Dalam kedua

karya inilah, menurut Althusser, Marx mengajukan medan

problematik yang baru, yang berbeda dari yang dirumuskan

oleh para pemikir sebelumnya. Pergeseran medan problematik

ini terwujud dalam pergeseran dari titik pijak humanis ke

titik pijak “anti-humanis”. Ini terlihat, misalnya, dalam

Tesis VI tentang Feuerbach:

Feuerbach mengubah esensi agama menjadi esensi

manusia. Namun esensi manusia bukanlah abstraksi yang

inheren dalam setiap individu. Sejatinya, ia adalah

kumpulan relasi sosial [ensemble of social relations].

Feuerbach, yang tak masuk ke dalam kritisisme atas

esensi riil ini, kemudan terpaksa:

9 Penempatan tahun 1845 sebagai tahun patahan dalam sejarah pemikiranMarx adalah kontribusi spesifik Althusser untuk wacana periodisasipemikiran Marx. Althusser sendiri menyadari kebaruan kontribusinyaini, sebagaimana nampak dalam perbandingannya dengan Lucio Collettidan Galvano Della Volpe, dua orang Marxis besar dari Italia, yangmenempatkan patahan itu “terlalu dini”, yakni pada tahun 1843 yangditandai dengan tulisan Marx, Pengantar menuju Kritik atas Filsafat Hukum Hegel.Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 37-38.

7

a. Mengabstraksikan dari proses historis dan menetapkan

sentimen religius sebagai sesuatu yang ada dengan

sendirinya dan mempostulatkan suatu individu manusia yang

abstrak, terisolasi.

b. Esensi hanya dipahami sebagai ‘Gattung’, sebagai

generalitas internal yang bodoh yang secara

alamimempersatukan banyak individu.10

Artinya, Marx mulai mengkritik visi komunal-spekulatif

Feuerbach dengan menggeser medan problematiknya dari

problem realisasi esensi manusia (humanisme) ke problem

relasi sosial. Selanjutnya, dalam Ideologi Jerman, problem

relasi sosial ini diolah dengan memecahnya ke dalam konsep-

konsep yang khas Marxis: konsep formasi sosial, kekuatan

produktif, relasi produsi, superstrukur, ideologi dan

sebagainya.11

3. 1845-1857 atau Karya Transisional

Dalam periode ini tercakup karya-karya berikut:

Kemiskinan Filsafat, Kerja Upahan dan Kapital, Manifesto

Partai Komunis, artikel-artikel dalam Neue Rheinische

Zeitung, Sambutan Komite Sentral kepada Liga Komunis,

Perjuangan Kelas di Prancis, Brumaire Kedelapanbelas Louis

Bonaparte dan terakhir Grundrisse. Apabila dalam periode

sebelumnya, rumusan Marx atas medan problematik yang khas

Marxis masih bersifat negatif—dalam arti, diwujudkan masih

10 Karl Marx, Early Writings diterjemahkan oleh Rodney Livingstone danGregor Benton (London: Penguin), hlm. 423.11 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 227.

8

dalam batas kritik atas pandangan sebelumnya—maka dalam

periode ini, bagi Althusser, Marx mulai mengkonstruksi

secara positif medan problematiknya sendiri. Mulai tahap

inilah “patahan epistemologis” itu dinyatakan secara

positif: tidak lagi sebagai kritik melainkan sebagai

bangunan teoretik. Menurut Althusser, patahan ini menjadi

positif dalam pendirian “dua disiplin teoretik yang berbeda

namun berkelindan”,12 yakni materialisme historis dan

materialisme dialektis.

4. 1857-1883 atau Karya Matang

Tahap terakhir ini mencakup karya-karya seperti

Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi-Politik, Kapital I-III

beserta berbagai draf dan revisinya, Upah, Harga dan Laba,

Perang Saudara di Prancis, Kritik atas Program Gotha dan

seterusnya. Pada tahap ini, konsepsi utuh tentang

materialisme historis dan materialisme dialektis tampil

menggantikan keseluruhan sisa ideologi borjuis (humanisme).

Artikulasi paling utuh dari konsepsi ini adalah Kapital.

Jika hendak diringkaskan, keseluruhan periodisasi yang

distruktur oleh patahan epistemologis ini dapat diterangkan

dalam dua aspek:13

a. Transisi dari ideologi tentang sejarah (sejarah sebagai

horizon penebusan esensi manusia) menuju sains sejarah

12 Ibid., hlm. 33.13 Louis Althusser, The Humanist Controversy, op.cit., hlm. 231.

9

(materialisme historis—sejarah yang ditentukan, pada pokok

terakhir oleh kontradiksi pada modus produksi).

b. Transisi dari “idealisme rasionalis Neo-Hegelian” (Hegel

yang dibaca dalam kerangka Kantian), melalui “materialisme

humanis Feuerbach” (1842), lantas ke “empirisisme

historisis” dalam Ideologi Jerman (1845-1846), dan akhirnya

(mulai 1857), ke filsafat yang baru secara radikal, yakni

materialisme dialektis.

A. Absolut dan Relatif

Pemikiran Althusser bertumpu pada sisi nyata kehidupan

manusia dengan mengabaikan metafisika. Metafisika hanya

dianggap sebagai candu, sama seperti Marx, yang lalu ingin

membenarkan segalanya dan menjawab semua pertanyaan.

Althusser pun tidak sepenuhnya setuju pada Marx. Jika Marx

menyatakan bahwa sisi ekonomi adalah suatu determinisme

dalam struktur dasar, Althusser menyanggahnya dengan

mengatakan bahwa struktur dasar itu tidak terlalu

memengaruhi supra struktur.14 Althusser tidak sepenuhnya

menyanggah Marx karena ia berangkat dari pemikiran Marx,

namun ia berpandangan bahwa aspek ekonomi hanyalah sekedar

relatif dalam dunia supra struktur. Tatanan kehidupan

dipengaruhi oleh suatu aspek perantara yang mengatasi kedua

struktur tersebut. Dengan demikian, Althusser menolak

determinisme ekonomi pula seperti digagas Marx.

14 Hans Bertens dan Joseph Natoli (ed.), 2002, Postmodernism: The Key Figures, Blackwell Pub:Oxford, hal. 11.

10

Aspek perantara yang relatif tersebut adalah ideologi.

Aspek perantara ini bukan berarti berada di tengah-tengah,

namun ia lebih pada penunjukan diri di dalam basis dan

supra struktur.15 Dalam hal ini, Althusser menyatakan

ideologi dalam interpretasi atas gagasan ekonomi yang nyata

dipergunakan untuk kepentingan manusia. Ideologi ini sudah

penuh dengan tafsir sepihak dari manusia yang secara

otomatis juga berdampak pada dunia kedua struktur di atas.

Dalam hal ini, ideologilah yang membentuk struktur itu

sendiri. Manusia sebagai makhluk yang reflektif tidak

mencerna ide secara langsung, namun melalui tafsir-tafsir

yang dibentuk dan sekaligus membentuk manusia. Pada sisi

inilah kondisi sosial tersusun dalam struktur tafsir

melalui tingkatan-tingkatan otonom sosial budaya dengan

berpusat pada ekonomi.16 Tafsir ini secara jelas dalam

totalitas kehidupan legal formal dinyatakan sistematis

dalam sistem negara. Sistem negara adalah suatu sistem

publik yang mengatur hidup bermasyarakat. Sistem ini

dibentuk melalui ide akan adanya keluarga, pendidikan,

agama, serta kepentingan bersama. Bukan hanya bersifat

vertikal dari keluarga mengarah pada negara atau

sebaliknya, dalam hal ini ideologi membuat sistem negara

menjadi sistem yang kompleks yang sekaligus menjadikan

segala aspek manusia terhubung.

15 Louis Althusser, 2001, Lenin and Philosophy and other essays, Monthly Review Press:New York, hal. 91.16 John Lechte, 2001, Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Kanisius:Yogyakarta, hal. 66.

11

Althusser membedakan dua konsep tentang ideologi;

Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State

Apparatus (ISA).17 RSA lebih menunjuk pada aktor-aktor yang

berperan penting menginterpretasikan sekaligus

mengaplikasikan ideologi antar sesama manusia. Pada aspek

ini, Althusser memandang RSA sebagai pemilik kuasa represif

untuk dengan tegas menerapkannya pada setiap warga negara.

ISA mengarah pada ideologi itu sendiri yang masuk ke dalam

setiap kehidupan manusia. Ideologi ini terangkum dalam

aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik,

komunikasi, serta moralitas.18 Pada sisi ini, Althusser

menekankan sisi produksi dan reproduksi material dalam

ideologi. Produksi tidak mungkin ada tanpa reproduksi

karena proses pembentukan memerlukan sesuatu untuk

dibentuk. Hubungan antar manusia menjadi basis penting

dalam ideologi, bukan hanya sekedar pemilik modal dan

buruh, melainkan juga antara pemilik kuasa ideologis dan

sasaran ideologis itu sendiri. Setiap ada proses produksi

ideologis, maka disitu pula ada reproduksi ideologis yang

digunakan untuk melanggengkan ideologi itu sendiri. Dengan

demikian, bukan hanya sikap antar manusia yang menjadi

fokus dari ideologi, melainkan juga tatanan sosial yang

terus-menerus membentuk ulang ideologi itu. Althusser

menyebutnya sebagai overdeterminasi guna mengatasi

ketunggalan esensi ekonomi dalam ideologi.19 Proses17 Louis Althusser, 2010, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Ctudies, Jalasutra: Jakarta, hal. 19.18 Bertens, Op. Cit., hal. 197.19 Lechte, Loc. Cit., hal. 70.

12

produksi dan reproduksi memang berasal dari aspek ekonomi,

namun dalam perkembangannya, ideologi menjadi suatu esensi

otonom yang bukan hanya merengkuh sisi ekonomi, namun juga

sosial budaya. Proses ekonomi ini memang tidak langsung

terungkap dalam ideologi atau kesadaran, melainkan muncul

sebagai akibatnya dalam bentuk realitas sosial akan

gagasan-gagasan.

Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga, anak tentu

diwajibkan untuk patuh kepada orang tua. Hal ini bukan

hanya sekedar sisi ekonomi, misalnya karena orang tua

memberikan sangu kepada anak lalu anak harus menurutinya.

Demikian pula dengan keinginan orang tua kepada anak supaya

bisa memberi uang yang banyak kepada mereka. Para pemikir

humanis dan historis mengandalkan aspek cinta kasih dalam

hubungan ini, bahwa karena anak telah dilahirkan dan

dirawat oleh orang tua maka anak sudah seharusnya mematuhi

perintah orang tua. Jika demikian, maka seharusnya semua

perlakuan anak kepada orang tua ataupun sebaliknya adalah

seragam dengan keluarga yang lainnya, namun mengapa ada

anak yang tidak patuh kepada orang tua atau ada orang tua

yang sampai tega membunuh darah dagingnya sendiri? Ataupun

juga jika hubungan ini dilandaskan atas cinta kasih, lalu

mengapa didikan orang tua ada yang berhasil dan tidak?

Melalui penjelasan Althusser, kasus ini bukan dalam

pandangan humanis dan historis, melainkan dengan kacamata

ideologis. Dalam mendidik anak, orang tua menerapkan13

ideologinya kepadanya. Ia secara tidak langsung dipaksa

untuk meniru apa yang diperbuat orang tuanya baik secara

langsung maupun tidak. Dalam hal ini, pengalaman berperan

penting dalam sisi ideologis. Bisa saja orang tua itu tidak

tahu cara mendidik anak yang tepat karena ia dulu juga

diperlakukan tidak tepat oleh orang tuanya. Selain itu,

bisa saja ada faktor eksternal ideologi lain yang

menginterupsi internalisasi orang tua kepada anak, misalnya

saja pergaulan dengan teman dan lingkungan sekitar.

Pendidikan anak oleh orang tua ini bukan hanya dalam sisi

keluarga secara eksklusif saja, namun juga dibentuk oleh

nilai-nilai lain misalnya agama dan komunikasi. Seorang

anak biasanya menganut agama yang sama dengan orang tuanya

karena orang tua secara tidak langsung menginternalisasikan

nilai agama kepada anaknya. Mungkin saja orang tua itu

tidak memaksakan suatu agama kepada anaknya, namun proses

internalisasi ideologis yang terus menerus tidak disadari

menjadi faktor pendorong anak itu untuk memeluk agama yang

sama dengan orang tuanya.

B. Kesadaran Palsu dan Ketidaksadaran

Dalam ideologi, sangat sulit untuk membedakan apakah

aktor ideologis itu berperan dalam proses produksi dan

reproduksi dalam kerangka kesadaran palsu atau

ketidaksadaran. Meskipun demikian, kedua hal tersebut

sangat berhubungan dan dapat ditelusuri lebih lanjut.

Ideologi melihat individu dan tatanan sosial dalam kerangka

subjek sekaligus objek. Tidak seperti pandangan subjek14

terhadap objek menurut Sartre, ideologi memandang individu

sebagai objek untuk menjadi subjek.20 Hal ini dikarenakan

proses produksi dan reproduksi yang selalu berjalan

sekaligus. Ketika individu menerapkan suatu ideologi kepada

yang lain, ia pasti telah menginternalisasi ideologi dari

yang lain sebelumnya. Dalam hal ini, ideologi membangkitkan

individu untuk menjadi subjek dengan sekaligus

mengobjekkannya layaknya barang produksi dan reproduksi.21

Kesadaran subjek dalam subjektivitas pun dipertanyakan

demikian pula dengan objektivitas. Subjek mungkin saja

sadar dengan apa yang dilakukannya adalah dalam tatanan

ideologis, namun itu adalah kesadaran palsu karena ia tidak

sadar telah masuk dalam tatanan ideologis itu sendiri

dengan menjadi objek. Tidak ada yang dominan maupun tidak

dominan karena ideologi telah masuk sekaligus keluar dari

individu.

Ide tentang kesadaran dari para eksistensialis menjadi

dipertanyakan karena baik le regard menurut Sartre dan cinta

kasih menurut Marcel adalah ideologi itu sendiri. Sartre

sangat terpengaruh oleh kondisi keluarga dan lingkungannya

yang mengabaikan dirinya sehingga ia menganggap orang lain

sebagai neraka bagi dirinya. Demikian pula dengan Marcel,

bahwa meskipun cinta kasih itu ada dalam setiap diri

manusia, namun ia tidak dapat mengelak bahwa pemikirannya

sangat dipengaruhi oleh konteks agama Katolik. Sartre dan

20 Lechte, Op. Cit., hal. 71.21 Fredric Jameson, 1991, Posmodernism Or, The Cultural Logic of Late Capitalism, London:Verso, hal. 403.

15

Marcel mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah menemukan

realitas dirinya sendiri. Pada kenyataannya, realitas diri

adalah kompleksitas berbagai tatanan ideologis yang

membentuknya. Manusia tidak akan mungkin menemukan dirinya

sendiri secara utuh karena ia pasti dibentuk dan sekaligus

membentuk perbuatan individu lain. Bahkan jika ia menolak

suatu ideologi, ia pun akan memunculkan suatu ideologi baru

yang terlihat dalam proses reproduksi.

Ideologi, menurut Althusser, adalah representasi

imajiner antara individu dan kondisi nyata.22 Representasi

ini adalah materi inderawi ataupun bukan yang membentuk

dasar pengambilan keputusan seseorang. Pada sisi ini,

manusia telah kehilangan eksistensinya karena ia secara

tidak sadar (ataupun sadar secara palsu) telah

menginternalisasi ideologi di dalam dirinya. Kalaupun

manusia sadar dalam mengambil keputusannya yang didasarkan

atas tatanan ideologis lalu menelusurinya, ia pun akan

menemukan bahwa titik awalnya juga adalah ideologi. Maka

bisa dikatakan ia sebenarnya tidak sadar didalam

pengambilan keputusannya karena ia sudah dikuasai oleh

ideologi. Dari sisi negara, hal ini pun sama karena pada

dasarnya negara adalah represif menurut Althusser. Sikap

represif negara itulah yang melanggengkan proses

internalisasi ideologi ke masyarakat. Karena negara

dianggap sebagai representasi publik dalam sebuah konsensus

imajiner, individu pun harus patuh akan tindakan negara.

22 Althusser, Op. Cit., hal. 52.16

Pada titik inilah RSA juga mencerminkan ISA, bahwa ada

keterkaitan erat antara tindakan represif dan ideologi

represif itu sendiri. Adanya kepatuhan dari warge negara ke

negara bukan semata-mata demi kepentingan publik, namun

lebih kepada doktrin ideologis yang pelan-pelan dan secara

terus menerus disuntikkan oleh negara.

Althusser menekankan pemikirannya dalam sisi esensial

subjek dengan mengesampingkan eksistensi individu dengan

bertumpu pada representasi ideologi. Jika eksistensialisme

menekankan subjek sebagai eksistensi, maka Althusser

menyatakan material sebagai eksistensi ideologi.23 Struktur

ideologi inilah yang setiap saat manusia bicarakan, yang

baik secara langsung atau tidak terinternalisasi ke dalam

diri manusia. Proses internalisasi ini disebut oleh

Althusser sebagai interpelasi melalui bahasa dan citra.24

Interpelasi ini sangat erat dengan kekuasaan, bukan saja

dalam negara, namun juga dalam setiap diri individu. Setiap

individu dalam masyarakat telah mengalami praktek sosial

yang secara otomatis melibatkan dirinya di dalam struktur

tersebut. Proses interpelasi ini tidak dapat dihindari

dalam masyarakat, bahkan ketika manusia berpikir akan

dirinya sendiri karena individu adalah cerminan dari

komunitas sosial yang membentuknya secara ideologis.

Kontroversi Kurikulum Pendidikan 2013 adalah contoh

tepat tentang adanya sisi ideologis dalam tata negara.

23 Althusser, Op. Cit., hal. 42.24 Jameson, Op. Cit., hal. 345.

17

Sebagai representasi negara, Mendikbud tentunya mempunyai

kuasa untuk menerapkan kurikulum baru. Secara represif, ia

melakukannya dalam kapasitas aparat negara melalui ideologi

kurikulum tersebut. Pendidikan memang ranah publik, namun

dengan keberadaan ideologi, hal ini dipengaruhi sekaligus

memengaruhi sisi privat. Hal ini dikarenakan pendidikan

juga menyangkut sistem sosial budaya di masyarakat yang

dengan jelas menyentuh ranah individu pelajar. Dalam kasus

ini, sikap represif negara sangat terlihat dengan berdalih

pada pembentukan sistem pendidikan yang lebih baik.

Interpelasi yang dilakukan kepada tatanan legislatif dan

masyarakat pun telah dilakukan, namun itu bukan berarti ada

perubahan pada rencana kurikulum tersebut. Hal yang terjadi

adalah komunikasi sepihak yang dilakukan hanya untuk

menyebarluaskan informasi tentang keberadaan rencana

kurikulum baru dan bukan diskusi tentang ideologi yang akan

diterapkan. Ide yang dianut pemerintah adalah mewujudkan

pendidikan yang lebih baik lalu ditafsirkan ke dalam

ideologi bentuk kurikulum yang baru. Ideologi ini

diterapkan secara represif dengan anggapan bahwa rakyat

harus percaya pada pemerintah bahwa ia akan membawa

pendidikan di negeri ini ke arah yang lebih baik.

Permasalahan kurikulum ini adalah tentang sisi praktis

yang sangat ditonjolkan oleh pemerintah. Pemerintah

mengatakan bahwa mata ajaran sudah seharusnya ditujukan

18

untuk mengatasi gap antara lulusan dan pasar tenaga

kerja.25 Pemerintah menyiratkan gagasan bahwa Indonesia

harus mampu beradaptasi dengan perekonomian global yang

semakin praktis. Dengan berbasis kompetensi, siswa memang

akan dibawa pada pengembangan diri, namun jika tanpa

pengembangan karakter, itu hanya akan membentuk mereka

menjadi manusia yang konsumtif. Mereka akan menjadi pelahap

segalanya tanpa ada nilai yang membatasi mereka. Kurikulum

ini jelas adalah fokus pemerintah pada pembangunan

infrastruktur. Dengan membangun pelajar menuju pada

kesiapan di bidang pekerjaan praktis, maka hal ini sejalan

dengan program pemerintah yang mengandalkan investasi dalam

pembangunan. Padahal jika dianalisis lebih lanjut, analogi

investasi adalah seperti bangunan yang besar namun dibangun

di atas konstruksi yang lemah. Sistem ekonominya pun adalah

mengambang yang sangat bergantung pada fluktuasi pasar.

Jika hal ini tidak diimbangi dengan pembangunan karakter,

maka dampaknya sudah dapat dilihat dengan contohnya korupsi

dan penyelewengan otoritas dimana-mana. Selain itu, sistem

yang dikembangkan dalam kurikulum ini adalah mandiri dengan

salah satu penekanannya pada entrepeneurship. Hal ini bagus

karena mampu membuka lapangan kerja bagi yang lain ketika

sudah lulus, namun hal ini tidak begitu saja dapat

menyentuh pembangunan di bidang sosial budaya. Hidup bukan

hanya tentang mencari kerja demi uang saja, namun ada sisi

25 Anon, 2013, SBY: Kurikulum Tentukan  Mutu Pendidikan, (online) dalam http://news.okezone.com/read/2013/04/02/373/785031/sby-kurikulum-tentukan-mutu-pendidikan, diakses 17 Juni 2013.

19

sosial yang harus diperhatikan. Fokus kurikulum tersebut

untuk menambah jam dalam mata ajaran agama juga menjadi hal

yang dipertanyakan.26 Agama memang bagus untuk mengawal

moral siswa, namun di sisi lain, dampak ideologis penerapan

hal ini begitu besar. Indonesia saat ini penuh dengan

pertentangan antar agama terutama yang mayoritas dan

minoritas. Bayangkan saja bila sejak kecil seorang anak

terlalu banyak diajarkan tentang agama dan bukan konteks

kesetiakawanan sosial, maka mereka akan dengan mudah

menerapkan stereotype kepada yang lain. Mereka menganggap

diri mereka sukses dengan memiliki uang dan berbakti pada

agamanya saja, namun bisa dengan mudah mengabaikan orang

lain yang berbeda agama dan miskin. Akibatnya, manusia

hanya akan hidup setengah-setengah, menganggap bahwa hanya

dengan memberikan sumbangan dalam ketetapan agama dianggap

sudah cukup. Belum lagi ditambah dengan perbedaan ras,

suku, budaya, dan lain-lain. Mereka bisa saja menjadi

mandiri, namun juga dengan mudah melupakan orang lain.

Kurikulum ini hanya akan banyak mengajarkan siswa tentang

know-how dan bukan know-what apalagi know-why. Pendidikan

akan semakin dibawa ke ranah ideologi yang praktikal dengan

perlahan-lahan meninggalkan kemampuan manusia untuk

berpikir kritis. Sisi kritis yang dikembangkan adalah bukan

mengembangkan diri mencari kebenaran, namun kritis dalam

26 Anon, 2013, Kontra dan Pro Kurikulum 2013, (online) dalam http://www.radaronline.co.id/berita/read/24155/2013/Kontra-dan-Pro-Kurikulum-2013, diakses 17 Juni 2013.

20

menekuni suatu bidang saja. Akibatnya, nilai etis pun akan

semakin tergerus oleh kurikulum yang semacam ini.

C. Ideologi, Kesadaran Manusia, dan Kapitalisme

Althusser memang mengatakan bahwa bukan eknomi saja

yang menjadi titik penting dari dunia struktur dan supra

struktur. Pada perkembangannya saat ini, banyak hal yang

lalu dikaitkan erat dengan ekonomi. Banyak orang yang tidak

menyadari ini dan baru memahaminya ketika mereka depresi,

bahkan banyak pula yang malah menenggelamkan diri dalam

kenikmatan dunia tanpa menyadari siapa mereka. Kemunculan

ideologi tidak sepenuhnya membunuh eksistensialisme sebagai

dasar subjektif kesadaran manusia. Ideologi memang bergerak

dalam tatanan ketidaksadaran yang menidakkan kesadaran.

Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa manusia

harus tunduk pada ideologi saja. Ia harus tahu dan berpikir

tentang apa yang ada dibalik setiap hal karena tidak ada

hal yang hadir begitu saja tanpa ada tujuannya. Kita

mungkin tidak bisa lepas dari ideologi, namun berpikir

tentang adanya ideologi adalah jalan keluar bagi

pembentukan diri yang lebih baik. Dunia sedang penuh dengan

modernitas akan segala hal yang instan tanpa memikirkan

efek samping dari hal tersebut. Tugas manusia berziarah di

bumi ini bukan menenggelamkan diri di dalamnya, namun

melampauinya dengan mulai bertanya tentang segalanya.

Ide posmodernisme memang penuh dengan kritik mendasar

tentang kehidupan. Ia sekaligus menolak filsafat yang

21

terlalu spekulatif dan tidak menyentuh kehidupan praktis.

Para posmodernis lebih mengarahkan kritiknya sebagai solusi

atas disorientasi itu sendiri.27 Meskipun demikian, itu

tidaklah cukup dalam mengatasi problem kehidupan. Manusia

perlu terus mencari diri sendiri. Kendati manusia tahu ia

tidak bisa lepas dari ideologi, namun ia harus terus

menemukan ideologi akan kebenaran. Hal ini penting supaya

ide akan kebenaran juga akan terus dicari. Jadi bukan hanya

sekedar tafsir atas kebenaran saja, namun tafsir itu mesti

terus ditelusuri untuk terus memaknai kehidupan secara

reflektif baik secara individual maupun dalam tatanan

sosial di masyarakat.

Tesis Althusser Tentang Ideologi

Althusser punya dua tesis tentang ideologi. Tesis

pertamanya mengatakan bahwa ideologi itu adalah

representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan

kondisi eksistensi nyatanya. Yang direpresentasikan disitu

bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual,

tetapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan

dimana mereka hidup didalamnya.

Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan

yang membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai

eksistensi spiritual, tetapi juga eksistensi material. Jadi

bisa dikatakan bahwa aparatus ideologis negara adalah

27 I. Bambang Sugiharto, 1996, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius:Yogyakarta, hal. 29.

22

realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis

dalam wujud aparatus.

Eksistensi tersebut bersifat material. Eksistensi

material menurut Althusser ini bisa dijelaskan sebagai

berikut: kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang

terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk

material yang secara natural akan diikuti oleh orang

tersebut. Misalnya jika kita percaya kepada Tuhan dan

termasuk penganut agama tertentu, maka kita akan pergi ke

gereja untuk mengikuti misa, pergi ke masjid untuk

sembahyang lima waktu. Atau kalau kita percaya keadilan,

maka kita akan tunduk pada aturan hukum, menyatakan protes,

atau bahkan ikut ambil bagian dalam demonstrasi, jika

ketidakadilan menimpa kita.

Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari

kesanggupannya untuk melibatkan kelas subordinat dalam

praktik, hingga dapat menuntun mereka pada identitas

konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang

melibatkan diri mereka dengan ideologi tersebut, yang

jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan sosial politis

mereka sendiri (2004 : xi). Lebih lanjut doi mengatakan

ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial,

bukan sekadar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu

kelas terhadap kelas sosial lainnya. Fakta bahwa segenap

kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak

berarti bahwa praktik itu sendiri tidak melayani

kepentingan kelas dominan. Yang dimaksud oleh Althusser23

adalah bahwa ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan

apa yang diberikan oleh Marx, karena ideologi bekerja dari

dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam

menginskripsikan cara berpikir dan cara hidup tertentu pada

segenap kelas.

Ideologi menurut Althusser telah menjerat dan

melingkupi manusia sejak kali pertama manusia dilahirkan.

Ideologi menjerat dengan menggunakan pendekatan analisis

psikologis gaya Lacan seperti yang dipaparkan oleh Bagus

Takwin, ia menjelaskan bahwa semua itu dilakukan dengan

menumbuhkan harapan. Seorang calon bayi yang bakal

terlahir, sejak dalam kandungan sudah dibebani dengan

harapan-harapan ibu bapaknya. Dia sudah dipersiapkan

menjadi pelengkap struktur keluarga, berperan sebagai anak

yang akan menyandang nama ayahnya, dan dipersiapkan untuk

menjalankan tugas-tugas yang dikandung perannya (2004 :

xiii – xix). Inilah awal beroperasinya sebuah ideologi

dalam kehidupan manusia. Takwin menjelaskan bahwa Althusser

menggunakan dua pendekatan untuk menjabarkan bagaimana

ideologi memanggil dan menempatkan individu sebagai subjek.

a)    Pertama, pendekatan psikoanalisis Freudian yang

ditafsirkan oleh Jacques Lacan yang menunjukkan bahwa

individu selalu telah menjadi subjek, bahkan sebelum lahir.

Menurut Lacan sebelum kelahirannya, seorang anak selalu

telah diangkat di dalam dan oleh konfigurasi ideologi

keluarga yang khusus, yang “diharapkan” telah dipahami

bersama. Dari sinilah Althusser meminjam paham Freud.24

Menurut paham psikoanalisis asumsi dasar kehidupan manusia

adalah adanya insting hidup yang mendorong individu untuk

mempertahankan hidupanya dan menjaga kelangsungan

spesiesnya. Insting inilah yang menjadi dasar mengapa orang

tua ingin anaknya kelak menjadi sosok yang berguna,

berhasil dalam hidup, bahkan melebihi keberhasilan orang

tuanya. Muncullah harapan-harapan itu ! Fakta menunjukkan

bahwa keunggulan manusia dari makhluk hidup lainnya adalah

kualitas psikologisnya yang jauh di atas rata-rata makhluk

hidup lain. Kualitas psikologis itu memungkinkan manusia

untuk bertahan hidup dan melanggengkan spesiesnya lalu

dipolakan dalam kebudayaan dan peradaban, menjelma struktur

yang kemudian membentuk individu-individu baru sebagai

subjek penerus spesies manusia.

b)    Pendekatan kedua bersandar sepenuhnya pada ide

materialisme Marx. Takdir manusia yang tidak bisa hidup

sendirian dalam mengarungi kehidupan memunculkan dua pola

dasar pilihan perilaku : bermusuhan atau berteman.

Kebutuhan bagi individu untuk berkelompok menimbulkan

kebutuhan kelompok untuk memelihara kepentingan setiap

anggotanya. Lahirlah upaya setiap individu untuk bersatu

dalam kelompok demi menjaga tetap eksisnya usaha pemenuhan

kebutuhan. Wujud konkret semua itu adalah produksi. Usaha

itu terus dilakukan dan setiap usaha yang dianggap baik

bagi produksi dipertahankan, dibakukan, dan diwariskan

kepada generasi penerus (direproduksi). Selain reproduksi

itu menciptakan sumber daya manusia dalam wujud tenaga

25

kerja yang terampil guna menghasilkan sumberdaya pemenuh

kebutuhan, juga ada reproduksi kesiapsediaan dan kepatuhan.

Reproduksi inilah yang sejalan dengan ide Antonio Gramsci

tentang hegemoni. Althusser mengatakan bahwa segala bentuk

institusi semacam sekolah, tentara, bahkan institusi

keagamaan berperan melanggengkan kebutuhan reproduksi

kepatuhan tersebut. Dalam penjelasan Althusser, semua agen

produksi, eksploitasi dan represi, termasuk para

‘profesional dari ideologi’, dengan cara sedemikian rupa

harus ikut bergerak seirama dalam ideologi yang mendukung

produksi agar dapat menjalankan tugasnya dengan ‘teliti’

dan ‘berguna’ bagi reproduksi produksi. Berbagai pihak

dalam masyarakat terlibat dalam proses reproduksi dan

produksi dalam relasi produksi yang terus dipertahankan dan

dikembangkan (2004 : xxii – xxiv).

Dari dua pendekatan itu sampailah kita pada kesimpulan

Althusser tentang ideologi. Menurutnya manusia itu

sebenarnya memiliki karakter dasar sebagai manusia

ideologi. Dengan tegas Althusser mengatakan “ dalam posisi

ini, sama saja bila dikatakan bahwa tidak ada sesuatu

apapun yang berada di luar ideologi (bagi dirinya sendiri),

atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu apapun yang

tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas).”

Jadi manusia telah dan akan terus terbenam dalam ideologi,

sejak sebelum jadi bayi hingga mati.

Kesimpulan

26

Dari pandangan-pandangan dan kritik-kritik Althusser

maka dapat diidentifikasi permasalahan-permahasalahan

maupun fenomena sosial yang ada. Misalnya pengaruh kekuatan

ekonomi dan politik dalam kehidupan bangsa bahkan

pengaruhnya secara global yakni mengeasi dan mengendalikan

proses-proses yang ada didunia. Dalam pergaulan antar

bangsa, kekuatan politik dan ekonomi memegang peranan

penting dalam pengambilan keputusan-keputusan maupun

langkah-langkah yang ditempuh dalam urusan-urusan yang

melibatkan banyak orang atau berdampak gobal. Selain itu

pandangan Althusser mengenai ideologi juga menjadi sebuah

pemahaman baru tentang ideologi manusia. Althusser melihat

ideologi sebagai suatu bagian kelengkapan anusia yang ada

sejak ia dilahirkan sehingga selama manusia hidup, maka

ideologi yang dianutnyapun akan hidup.

Contoh paling nyata adalah bagaimana marxisme,

komunisme dan atheisme yang masih ada dan terus dibicarakan

bahkan dipraktekkan di banyak negara. Hal ini menunjukkan

bahwa meskipun bagi sebagian orang pandangan sosialis

merupakan suatu ancaman terhadap kemerdekaan, namun banyak

pula yang beranggapan bahwa pandangan sosialis merupakan

pandangan yang terbaik dalam membangun suatu negara ataupun

komunitas. Pada masa perang dingin, Amerika dan blok barat

yang berhaluan kapitalisme liberal mengalahkan uni soviet

dan blok timur yang beraliran sosialis. Meskipun uni soviet

bubar namun paham sosialis tetap dianut oleh negara-negara

pecahan uni soviet tersebut. Meskipun para pemimpin blok

27

timur telah mati, ideologi yang dicetuskan oleh mereka

tetap masih dianut oleh para penerus mereka. Hal inilah

yang oleh Althusser dikatakan bahwa, ideologi tetap ada

selama manusia hidup.

Konsep Althusser mengenai aparatus juga terlihat di

masa kini dengan adanya berbagai alat kelengkapan suatu

negara yang memiliki aparan penegakan hukum, pengadilan

serta pembinaan ideologis seperti gereja, pura, wihara dan

lain-lain. Pandangannya mengenai penggunaan metode

represif oleh aparatus negara juga merupakan pandangan yang

hingga kini masih dapat dilihat. Seperti upaya pembubaran

demonstrasi dengan menggunakan kekuatan bersenjata serta

tindakan represif dari aparat dengan membubarkan paksa

kerumunan massa serta melakukan penahanan terhadap tokoh-

tokoh yan dianggap bertanggungjawab atas terjadinya

kerumunan massa tersebut. Konsepnya mengenai tindakan

represif ini dapat dijadikan suatu dasar dalam pembuatan

kebijakan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta

aturan yang membatasi tindakan represif yang boleh

dilakukan oleh aparatus negara dan aparatus ideologi

negara.

Konsep Althusser mengenai ideologi menjadi dasar

pembinaan ideologi oleh negara-negara di dunia. Althusser

memang merupakan ahli yang banyak berkutat di bidang

ekonomi, politik dan ideologis, sehingga tidak heran jika

banyak tulisannya yang berhubungan dengan politik, ekonomi

dan ideologis serta kritiknya tentang tokoh-tokoh serta28

teori-teori yang ada dari ketiga perspektif ilmu

pengetahuan tersebut. Kritiknya mengenai basis dan

superstruktur ditentang keras oleh para penganut marxis

tradisional karena mereka menganggap bahwa marxisme

merupakan suatu doktrin yang justru akan membawa manusia

menuju kebebasan kemanusiaan dalam lingkup dunia sosialis.

Mereka menganggap bahwa kapitalisme justru menyebabkan

manusia berada dalam keadaan yang terbelenggu sehingga

perlu untuk dibebaskan. Konsepnya mengenai ideologi yang

diyakininya tak akan mati menjadi dasar pertimbangan untuk

melarang disosialisasikannya doktrin-doktrin yang

bertentangan dengan dasar negara atau bertentangan dengan

hak asasi manusia. Karena setiap manusia berhak untuk

menentukan pilihannya sendiri tanpa adanya paksaan dari

siapapun juga selama pilihannya tidak menyebabkan kerugian

bagi orang lain atau merusak tatanan ideologis yang ada.

29

Daftar Pustaka

———————, 2010, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies,(terj.) Jalasutra: Jakarta

——-, 2013, SBY: Kurikulum Tentukan Mutu Pendidikan, (online) dalam (http://news.okezone.com/read/2013/04/02/373/785031/sby-kurikulum-tentukan-mutu-pendidikan), diakses 17 Januari 2015

_____. 2012. Ideologi Dan Praktek Kebudayaan. (Online), (http://www.anekamakalah.com/2012/03/ideologi-dan-praktek-kebudayaan.html), diakses 13 Januari 2015.

Althusser, Louis, 2001, Lenin and Philosophy and other essays, Monthly Review Press:New York

Anon, 2013, Kontra dan Pro Kurikulum 2013, (online) dalam (http://www.radaronline.co.id/berita/read/24155/2013/Kontra-dan-Pro-Kurikulum-2013), diakses 17 Januari 2015

Bertens, Hans dan Joseph Natoli (ed.), 2002, Postmodernism:The Key Figures, Blackwell Pub:Oxford

Damsar.2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Prenada

Media.

Felagonna, Utche P.2006.Tentang Louis Althusser: Catatan Awal Investigasi (Online), (http://tomixpribadi.blogspot.com/2006/11/tentang-louis-althusser-catatan-awal.html1), diakses 14 Januari 2015.

FX Widyatmoko, 2009, Louis Althusser, Sekilas, (online) dalam (http://dgi-indonesia.com/louis- althusser-sekilas/), diakses 17 Januari 2015

30

Jameson, Fredric, 1991, Posmodernism Or, The Cultural Logicof Late Capitalism, London:Verso

Lechte, John, 2001, Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Kanisius:Yogyakarta

Lewis, William, 2009, Louis Althusser, (online) dalam (http://plato.stanford.edu/entries/althusser/#TheIde), diakses 17 Januari 2015

Maliki, Zainuddin. 2008. “Sosiologi Pendidikan”. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sugiharto, I. Bambang, 1996, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius:Yogyakarta

31