Gagasan Inti & Kritik Teori-teori Sosiologi: Fungsionalisme-Struktural, Interaksi-Simbolik dan...

20
GAGASAN INTI DAN KRITIK DARI TEORI-TEORI: FUNGSIONALISME- STRUKTURAL, INTERAKSI-SIMBOLIK, DAN PERTUKARAN SOSIAL Disusun untuk memenuhi tugas Sejarah Pemikiran Sosiologi II Reyhan Aznar 13/347808/SP/25685 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

Transcript of Gagasan Inti & Kritik Teori-teori Sosiologi: Fungsionalisme-Struktural, Interaksi-Simbolik dan...

GAGASAN INTI DAN KRITIK DARI TEORI-TEORI: FUNGSIONALISME-

STRUKTURAL, INTERAKSI-SIMBOLIK, DAN PERTUKARAN SOSIAL

Disusun untuk memenuhi tugas Sejarah Pemikiran Sosiologi II

Reyhan Aznar

13/347808/SP/25685

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2

A. TEORI FUNGSIONALISME-STRUKTURAL

A.1. Gagasan Inti

Tokoh sentral teori ini bernama Talcott Parsons. Teori ini dikemukakan pula oleh para

sosiolog lainnya seperti Robert K. Merton (murid Talcott Parsons), Kingsley Davis dan

Moore. Teori yang muncul pada tahun 1940-an ini mempunyai gagasan bahwa masyarakat

dianggap sebagai sebuah sistem kompleks yang terdiri dari berbagai sub sistem dan mereka

saling berhubungan, ketergantungan, dan kerjasama satu sama lain demi terciptanya suatu

keseimbangan dan kebutuhannya terpenuhi serta memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku yang telah disepakati oleh masyarakat agar tercipta ketertiban dan keteraturan sosial.

Masyarakat cenderung menuju kepada suatu keadaan seimbang atau equilibrium. Bila terjadi

perubahan dalam sistem tersebut, maka akan terjadi keguncangan dan dapat mengganggu

keseimbangan tapi itu berlangsung sementara saja dan selanjutnya akan muncul

keseimbangan baru. Banyak aliran teori struktural fungsional dari para ahli Sosiologi dan

berikut sedikit dipaparkan:

A.1.I. Talcott Parsons dan AGIL

Parsons mengemukakan persyaratan mutlak dalam seluruh sistem, yaitu empat

imperatif fungsional bagi sistem tindakan dengan skema AGIL-nya yang terkenal: Adaptasi

[A (Adaptation)], pencapaian tujuan [G (Goal Attainment)], integrasi [I (Integration)], dan

pemeliharaan pola [L (Latency)]. Agar dapat bertahan hidup, sistem harus menjalankan

keempat fungsi ini:

1. Adaptasi: Sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia

harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan dengan kebutuhan-

kebutuhannya jika mereka ingin bertahan hidup.

2. Pencapaian tujuan: Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan

utamanya.

3. Integrasi: Sistem harus mengoordinasi antar bagian yang menjadi komponennya.

Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A, G,

L).

4. Pemeliharaan pola: Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui

motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan

motivasi tersebut. Struktur-struktur menyediakan perawatan dan merevitalisasi

motivasi individu untuk menunjukkan peran mereka berdasarkan harapan sosial.

3

Parsons membuat skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level sistem

teoretisnya. Cara Parsons menggunakan AGIL adalah:

Organisme behavioral adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi

dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar dan juga merupakan sumber energi bagi

seluruh sistem untuk adaptasi dan transfomasi dari sistem dalam hubungan ke lingkungannya.

Sistem kepribadian menjalankan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan

sistem dan memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya. Komponen dasar

kepribadian adalah “kebutuhan-disposisi”, merupakan dorongan yang terbentuk dalam setting

sosial. Kebutuhan-disposisi memaksa aktor menerima atau menolak objek yang ada di dalam

lingkungan atau berupaya menemukan objek-objek baru jika objek yang ada tidak cukup

memenuhi kebutuhan-disposisi. Sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengontrol

bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia menempatkan kompleks status-peran sebagai

suatu unit terdasar dari sistem yang merupakan komponen struktural sistem sosial. Status

merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan

aktor dalam suatu posisi. Akhirnya, sub kebudayaan menjalankan fungsi latensi dengan

membekali norma dan nilai-nilai yang memotivasi kepada aktor untuk bertindak.

Kebudayaan sebagai kekuatan utama mengikat berbagai elemen dunia sosial, dalam hal ini,

sistem tindakan.

L I

A G

Struktur Sistem Tindakan Umum

A.1.II. Robert Merton dan Tiga Postulat Dasar Fungsional

Robert K. Merton terkenal dengan tiga postulat dasar analisis fungsional. Yang

pertama adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini menyatakan bahwa

seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat

secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat.

Sistem Kultural Sistem Sosial

Organisme Behavioral Sistem Kepribadian

4

Postulat kedua adalah postulat fungsionalisme universal. Semua bentuk dan struktur

sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan

apa yang kita temukan di dunia nyata. Tidak setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakinan,

dan lain sebagainya memiliki fungsi positif.

Yang ketiga adalah postulat indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh

aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan

bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa

seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat.

Dari sudut pandang tersebut, Merton menjelaskan bahwa analisis struktural-

fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kebudayaan.

Ia menyatakan bahwa objek apa pun yang dapat dianlisis secara struktural-fungsional harus

“merepresentasikan unsur-unsur standar (yaitu yang terpola dan berulang).” (Merton,

1949/1968: 104).

Untuk memperbaiki kelemahan serius pada fungsionalisme struktural awal ini,

Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat

memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem sosial, mereka pun dapat

mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain tersebut.

Merton juga mengembangkan gagasan tentang nonfungsi, yang ia definisikan sebagai

konsekuensi yang tidak relevan bagi sistem tersebut. Termasuk di dalamnya adalah bentuk-

bentuk sosial yang “masih bertahan” sejak masa awal sejarah. Meskipun bentuk-bentuk

tersebut mungkin mengandung konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada efek

signifikan yang mereka berikan pada masyarakat sekarang.

A.2. Kritik

Teori fungsionalis-Struktural mempunyai banyak kelemahan. Pertama, penganut teori

ini cenderung memaksakan pada tingkatan di mana masyarakat bersifat harmonis dan stabil

sehingga bisa berjalan dengan baik. Padahal, dalam suatu masyarakat pasti pernah mengalami

kejadian yang berkontradiksi dan akhirnya memicu konflik. Dalam konflik ini, masyarakat

menjadi terpecah dan akan menimbulkan guncangan dalam sistem. Bisa saja sistem yang

dulu terbentuk akhirnya hilang sama sekali. Fungsionalis yang berlebihan pada keharmonisan

mengabaikan peristiwa di mana konflik merupakan keniscayaan dari kebanyakan masyarakat.

Kedua, teori ini terlalu kaku dalam melihat perubahan terutama yang berasal dari luar.

Teori ini hanya berfokus pada segala sesuatu yang bersifat stabil saja. Padahal, kehidupan

5

dan masyarakat itu sendiri berjalan dinamis di mana pasti memerlukan suatu perubahan yang

akan membawa ke arah positif atau negatif.

Ketiga, dengan terlalu melebih-lebihkan harmonisasi dan meremehkan konflik sosial,

fungsionalis cenderung mengarah kepada bias konservatif dalam mengkaji kehidupan sosial;

yakni mereka cenderung perlunya mempertahankan segala pengaturan yang ada dalam

sebuah masyarakat. Mereka menerima perubahan sebagai sesuatu yang konstan dan tidak

memerlukan ‘penjelasan’. Perubahan dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat.

Perubahan yang bermanfaat bagi sistem diterima dan perubahan lain yang tidak berguna

ditolak mentah-mentah.

6

B. TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

B.1. Gagasan Inti

Interaksi simbolik merupakan salah satu teori yang penting dalam pemahaman

interpretatif. Gagasan perspektif ini adalah kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi

dan berkaitan erat dengan kemampuan manusia untuk menciptakan dan memanipulasi

simbol-simbol. Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada perundingan terbuka

mengenai definisi situasi (the definition of situation) bersamaan mengenai arti-arti bersama.

Teori yang sudah masuk ke dalam teori sosiologi modern ini dikemukakan oleh George

Herbert Mead mengenai perbuatan dan diri serta Erving Goffman tentang dramaturginya

yang terkenal.

B.1.I. George H. Mead: Perbuatan dan Diri

Mead memandang perbuatan sebagai “unit paling inti” dalam teorinya (1982:27).

Dalam menganalisis perbuatan, Mead memusatkan perhatiannya pada stimulus dan respons.

Mead mengidentifikai empat tahap dasar yang terkait satu sama lain dalam setiap perbuatan.

Impuls, melibatkan stimulus individu langsung dan reaksi aktor terhadap stimulasi tersebut

untuk berbuat sesuatu serta lingkungan sekitar aktor. Contohnya adalah rasa lapar. Aktor

dapat merespons secara langsung dan tanpa perlu berpikir terhadap impuls namun aktor

cenderung berpikir tentang respons yang sesuai (misal, makan sekarang atau nanti). Dalam

memikirkan respons tersebut, aktor tidak hanya mempertimbangkan situasi sekarang, namun

juga pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap akibat-akibat dari perbuatan tersebut di

masa depan.

Rasa lapar bisa datang dari kondisi batin aktor atau kehadiran makanan di dalam

lingkungan. Orang yang lapar harus menemukan cara untuk memuaskan impuls dalam

lingkungan tempat makanan tidak dapat langsung tersedia ataupun tidak dalam jumlah cukup.

Impuls bisa terkait dengan masalah di dalam lingkungan (yaitu makanan yang tidak langsung

tersedia) yang harus diatasi oleh aktor. Walaupun rasa lapar bisa datang dari individu namun

biasanya terkait dengan keberadaan masalah di dalam lingkungan (misalnya, kurangnya

bahan makanan).

Persepsi. Aktor mencari dan bereaksi terhadap stimulus yang terkait dengan impuls,

dalam hal ini adalah rasa lapar dan berbagai cara yang ada untuk memuaskannya. Orang

memiliki kemampuan mengindra stimulus melalui penciuman, perasa, dan lain sebagainya.

Persepsi melibatkan stimulus yang datang, maupun citra mental yang mereka ciptakan. Orang

7

tidak sekedar merespons secara langsung stimulus eksternal, namun berpikir melalui

bayangan secara mental (mental imagery). Biasanya orang berhadapan dengan beragam

stimulus berbeda, dan mereka memiliki kemampuan untuk memilih mana yang akan diambil

dan mana yang akan diabaikan.

Manipulasi. Begitu impuls mewujudkan dirinya dan objek telah dipersepsi, tahap

selanjutnya adalah manipulasi objek atau mengambil tindakan dalam kaitannya dengan objek

tersebut. Selain keunggulan mentalnya, orang memiliki keunggulan lain di atas binatang yang

lebih rendah. Orang memiliki tangan yang memungkinkan melakukan manipulasi terhadap

objek jauh lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang yang lebih

rendah. Manusia yang lapar melihat jamur, namun sebelum memakannya, ia cenderung

memetik dulu, mencicipinya, dan mungkin mengeceknya di buku panduan untuk mengetahui

apakah jamur tersebut dapat dimakan atau tidak. Sebaliknya, binatang yang lebih rendah,

cenderung memakan jamur tersebut tanpa menimbang-nimbang dan mencicipinya. Jeda yang

diperoleh dari menimbang-nimbang objek objek tersebut memungkinkan manusia

merenungkan berbagai respons. Ketika berpikir apakah akan memakan jamur tersebut atau

tidak, masa lalu dan masa depan dilibatkan. Orang dapat berpikir tentang pengalaman di

masa lalu, yaitu ketika mereka makan jamur kemudian jatuh sakit, dan mungkin mereka

berpikir tentang sakit yang mungkin muncul di masa-masa yang akan datanf atau bahkan

kematian. Manipulasi jamur menjadi semacam metode eksperimental di mana aktor mencoba

berpikir dengan cara menguji beberapa hipotesis tentang apa yang akan terjadi jika jamur itu

dikonsumsi.

Konsumasi. Merupakan pengambilan tindakan yang akan memuaskan impuls awal.

Berdasarkan pertimbangan sadar ini, aktor dapat memutuskan untuk makan jamur (atau tidak)

Manusia dan binatang cenderung tidak memakan jamur yang buruk karena kemampuannya

memanipulasi jamur dan berpikir (serta membaca) dampak dari makan jamur tersebut.

Binatang pasti melakukan coba-coba, namun ini adalah metode yang tidak efisien

dibandingkan kemampuan manusia berpikir melalui tindakan-tindakan mereka. Dalam situasi

ini, coba-coba adalah cara berbahaya dan binatang lebih rentan terhadap kematian karena

makan jamur beracun ketimbang manusia.

Mead juga mengemukakan konsep diri yang terkenal. Diri adalah kemampuan

seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek. Diri tumbuh melalui perkembangan serta

melalui aktivitas dan relasi sosial. Bagi Mead, mustahil diri bisa lahir di tempat yang tidak

tersedia pengalaman sosial. Namun, bila diri sudah berkembang, dia bisa bertahan tanpa

adanya kontak sosial. Mekanisme perkembangan diri adalah refleksivitas (kemampuan untuk

8

meletakkan diri kita secara bawah sadar di tempat orang lain serta bertindak sebagaimana

mereka bertindak). Akibatnya, orang mampu mengkaji dirinya sendiri sebagaimana orang

lain mengkaji dia. Diri juga membiarkan orang mengambil bagian dalam percakapan mereka

dengan orang lain. Jadi, orang sadar akan apa yang dikatakan orang lain dan mampu

memantau apa yang tengah dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya.

Agar memiliki diri, individu harus mampu “berada di luar dirinya” sehingga mereka

dapat mengevaluasi diri mereka sendiri, dan menjadikannya sebagai objek bagi diri mereka

sendiri. Caranya, orang meletakkan dirinya pada arena pengalaman yang sama sebagimana

mereka meletakkan orang lain. Setiap orang adalah bagian dari situasi tersebut dan orang

harus mempertimbangkan apakah mereka mampu bertindak secara rasional pada situasi

tertentu. Setelah dilakukan, mereka berusaha mengkaji dirinya secara objektif, dan tanpa

emosi. Namun, orang tidak dapat mengalami dirinya secara langsung. Mereka hanya dapat

melakukannya secara tidak langsung dengan meletakkan diri mereka pada posisi orang lain

dan melihat diri mereka dari sudut pandang tersebut. Sudut pandang orang dalam melihat

dirinya bisa dari perspektif individu atau kelompok sosial secara keseluruhan.

Mead melacak asal usul diri melalui dua tahap dalam perkembangan masa kanak-

kanak.

1. Tahap Bermain (Play Stage). Pada tahap ini, anak-anak belajar memikirkan sikap

orang lain terhadap dirinya. Hasilnya adalah anak belajar menjadi subjek

sekaligus objek dan mulai mampu membangun diri. Namun, ini adalah diri yang

terbatas karena anak hanya dapat memainkan peran orang lain yang jelas. Ana-

anak bisa saja memainkan peran sebagai “mama” dan “papa” dan dalam proses ini

mereka mengembangkan kemampuan untuk mengevaluasi diri mereka sendiri

sebagaimana orang tua mereka dan orang lain. Namun, mereka tidak memiliki

pemahaman-diri yang lebih umum dan tertata dan tidak memiliki kepribadian

kokoh.

2. Tahap Permainan (Game Stage) diperlukan jika seseorang ingin mengembangkan

diri secara utuh. Dalam tahap permainan, anak harus mengambil peran orang lain

yang terlibat di dalam permainan tersebut. Peran-peran berbeda ini harus memiliki

hubungan pasti satu sama lain. Pada tahap permainan, mulai muncul pemahaman-

diri yang tertata dan kepribadian yang kokoh mulai muncul. Anak-anak mulai

mampu berfungsi dalam kelompok terorganisasi dan mampu menemukan apa

yang akan mereka lakukan dalam kelompok yang spesifik.

9

3. Orang lain pada umumnya (Generalized Others) adalah sikap seluruh komunitas,

Kemampuan untuk memikirkan peran orang lain pada umumnya sangat mendasar

bagi diri: “baru ketika seseorang memasang sikap sebagaimana yang ada dalam

kelompok sosial tempat ia berada guna menyikapi aktivitas sosial yang

terorganisasi secara kooperatif atau serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh

kelompok tersebut, barulah ia berkembang menjadi diri seutuhnya “ (Mead,

1934/1962: 155)

“I” dan “Me” merupakan konsep Mead yang juga mempunyai arti penting dalam

interaksi-simbolik. “I” adalah respons langsung individu terhadap individu yang lain. Dia

tidak dapat dikalkulasi dan merupakan aspek kreatif diri. Orang tidak tahu dengan baik

tindakan yang akan dilakukan “I”: “Baik dirinya maupun orang lain sama-sama tidak

mengetahui apa respons yang akan diberikan. Dia bisa memberikan respons tepat maupun

keliru. Orang-orang tidak pernah sepenuhnya menyadari “I”, dan melaluinya mereka

mengejutkan diri dengan tindakan aktor sendiri. Orang-orang baru mengenal “I” setelah ada

tindakan yang dilakukan. Jadi, orang-orang hanya mengenal “I” di dalam ingatan. Mead lebih

menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I” adalah sumber utama kebaruan dalam

proses sosial. Kedua, Mead percaya bahwa di dalam “”I”-lah nilai terpenting kita berada.

Ketiga, “I” membentuk hal yang dicari-cari setiap manusia – realisasi diri. “I’”

memungkinkan individu mengembangkan “kepribadian yang ajeg”. Akhirnya Mead melihat

proses evolusi dalam sejarah di mana orang yang berada di dalam masyarakat primitif lebih

didominasi oleh “me” sementara pada masyarakat modern terdapat komponen yang leih

besar.

“Me” adalah pengadopsian orang lain pada umumnya. Berbeda dengan “I”, orang

sadar akan “me”; “me” melibatkan tanggung jawab secara sadar. Mead juga melihat “I” dan

“me” secara pragmatis. Me memungkinkan individu hidup nyaman dengan dunia sosial,

sementara “I” membuka kemungkinan bagi perubahan dalam masyarakat. “I” dan “me”

adalah bagian dari seluruh proses sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat

berfungsi lebih efektif.

B.1.II. Teori Interaksi Simbolik Erving Goffman

Karya penting yang membahas diri adalah buku Presentation of Self in Everyday Life

(1959) yang ditulis oleh Erving Goffman. Konsep Goffman tentang diri banyak meminjam

gagasan Mead, khususnya tentang ketegangan antara “I”, diri yang spontan dengan “me”,

10

hambatan sosial di dalam diri. Untuk menjaga citra-diri yang stabil, orang tampil untuk

audien sosial mereka. Akibat dari minatnya pada pertunjukan ini, Goffman memusatkan

perhatiannya pada dramaturgi, atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serangkaian

pertunjukan dramatis yang serupa dengan yang ditampilkan di atas panggung.

Goffman memahami diri bukan sebagai milik aktor namun sebagai produk interaksi

dramatis antara aktor dengan audien. Diri “adalah efek dramatis yang muncul . . . dari

skenario yang ditampilkan” (Goffman, 1959: 253). “Karena diri adalah produk interaksi

dramatis, ia rentan mengalami gangguan selama pertunjukan” (Misztal, 2001). Goffman

menunjukkan bahwa kebanyakan pertunjukan sukses dilakukan dan hasilnya adalah bahwa

dalam situasi biasa, diri yang utuh ditentukan oleh pementas, dan diri “terlihat” memancar

dari pementas.

Goffman berpendapat bahwa ketika individu berinteraksi, mereka ingin memberikan

pemahaman tertentu tentang diri yang akan diterima oleh orang lain. Namun, bahkan ketika

menampilkan diri mereka, para aktor sadar bahwa audien dapat mengganggu pertunjukan

mereka. Oleh karena itu aktor menyesuaikan diri dengan kontrol audien dengan harapan agar

pemahaman tentang diri yang mereka sajikan di hadapan audien akan cukup kuat bagi audien

untuk mendefinisikan aktor sesuai yang dikehendaki sang aktor. Aktor pun berharap ini akan

menyebabkan audien bertindak sukarela sebagaimana yang dikehendaki sang aktor. Goffman

menyebut ini sebagai “manajemen kesan”. Manajemen kesan diarahkan untuk melindungi

diri dari tindakan-tindakan yang tidak terduga, seperti gerak yang tidak sengaja dilakukan,

tindakan memalukan, maupun tindakan-tindakan yang sengaja dilakukan, seperti membuat

skenario.

Mengikuti analogi teatrikal ini, Goffman berbicara tentang panggung depan. Depan

adalah bagian dari pertunjukan yang secara umum berfungsi untuk mendefinisikan situasi

bagi mereka yang memerhatikan pertunjukan tersebut. Di panggung depan, Goffman

membedakan antara setting dengan muka personal. Setting berupa tampilan fisik yang

biasanya harus ada jika aktor tampil. Tanpa itu, aktor biasanya tidak dapat tampil. Sebagai

contoh, ahli bedah biasanya memerlukan ruang operasi. Muka personal terdiri dari berbagai

perlengkapan ekspresi yang diidentikkan audien dengan pementas dan diharapakan agar

dibawa serta dalam setting tersebut. Contohnya ahli bedah akan memakai pakaian dokter.

Goffman membagi lagi muka personal menjadi tampilan dan tingkah laku. Tampilan

berupa pernik-pernik yang mengatakan kepada kita status sosial pementas (misal baju dokter

bedah). Tingkah laku mengatakan kepada audien peran yang diharapkan untuk dimainkan

pementas dalam situasi tersebut (misal penggunaan gerak fisik dan sikap).

11

Pandangan menarik Goffman ada pada ranah interaksinya. Ia berargumen bahwa

karena orang mencoba menyajikan gambaran ideal atas dirinya sendiri dalam panggung

depan, mereka merasa harus menyembunyikan berbagai hal dalam pertunjukan yang mereka

lakukan. Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan rahasia (misal minum

alkohol) yang telah jadi kebiasaan sejak sebelum pertunjukan atau di masa lalu (misal

kecanduan narkoba) yang tidak cocok dengan pertunjukan mereka. Kedua, aktor mungkin

ingin menyembunyikan kekeliruan yang mereka lakukan dalam persiapan pertunjukan

maupun langkah yang telah mereka ambil untuk membetulkan kesalahan-kesalahan tersebut.

Ketiga, aktor mungkin menganggap hanya perlu menunjukkan produk akhir dan

menyembunyikan proses produksinya. Keempat, pada pertunjukan tertentu, aktor mungkin

harus membiarkan turunnya standar-standar lain. Akhirnya, mungkin aktor menganggap

perlu menyembunyikan cercaan, hinaan, atau perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa agar

pertunjukan terus berlangsung, Pada umumnya, aktor berkepentingan untuk

menyembunyikan fakta-fakta tersebut dari audien mereka.

Unit analisis dasar Goffman bukanlah individu, namun tim. Tim adalah sekumpulan

individu yang bekerja sama dalam mementaskan satu rutinitas yang sama. Setiap anggota

bergantung pada anggota yang lain, karena semuanya dapat mengganggu pertunjukan dan

semua sadar bahwa mereka tengah berakting. Goffman menyimpulkan bahwa tim adalah

semacam “masyarakat rahasia”.

Goffman juga mendiskusikan panggung belakang. Belakang adalah tempat fakta yang

tertekan di panggung depan atau di berbagai tindakan informal dapat terlihat. Pementas

sepenuhnya berharap agar tidak ada anggota audien mereka yang hadir di belakang

panggung. Lebih jauh, mereka terlibat dalam berbagai macam manajemen kesan untuk

memastikannya. Pertunjukan cenderung sulit dilakukan ketika aktor tidak mampu mencegah

audien masuk ke panggung belakang. Juga terdapat wilayah ketiga, wilayah sisa, yaitu sisi

luar, yang bukan depan atau belakang.

Tidak ada wilayah yang selalu berada di salah satu ketiga ranah tersebut. Namun,

wilayah tertentu dapat mencakup ketiga ranah pada waktu yang berlainan. Kantor profesor

adalah panggung depan ketika mahasiswa berkunjung, dan menjadi panggung belakang

ketika mahasiswa pergi, dan sisi luar ketika perofesor tersebut tengah berada pada

pertandingan basket di universitas.

Goffman tertarik pada sejauh mana individu memainkan peran tertentu. Menurut

pandangannya, karena banyaknya peran, tidak banyak orang yang terlibat sepenuhnya dengan

peran tertentu. Jarak peran membicarakan sejauh mana individu memisahkan dirinya dari

12

peran yang mereka mainkan dan juga merupakan fungsi dari status sosial seseorang. Orang-

orang pada status sosial yang tinggi sering kali mewujudkan jarak peran dengan alasan

berbeda dengan orang-orang yang berada pada posisi status rendah. Contoh, tingginya status

ahli bedah dapat mewujudkan jarak peran dalam ruang operasi untuk meredakan ketegangan

antar anggota tim operasi. Orang-orang yang berada pada posisi status rendah biasanya

memasang sikap yang lebih defensif dalam memamerkan jarak peran.

B.2. Kritik

Interaksi-Simbolik mempunyai kelemahan-kelemahan. Pertama, interaksionis terlalu

memperhatikan pada kehidupan sehari-hari dan pembentukan sosial dari diri, namun mereka

hampir (atau bahkan) mengabaikan struktur sosial sama sekali. Padahal, struktur sosial

mempunyai arti penting bagi hadirnya individu yang ada beserta tim. Kedua, interaksi

simbolik mengabaikan faktor-faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, dan niat.

Interaksionis malah hanya memusatkan pada simbol, tindakan, dan interaksi semata sehingga

tidak bisa terlalu mendalam perhatian para penganut ini terhadap segala tindakan yang

dilakukan oleh aktor.

Ketiga, teori ini hanya memfokuskan pada kehidupan manusia sehari-hari tanpa

melihat hal-hal yang membuat atau melatarbelakangi suatu tindakan itu terjadi dan akhirnya

dilakukan.

13

C. TEORI PERTUKARAN SOSIAL

C.1. Gagasan Inti

Teori pertukaran sosial, di mana akarnya berupa behaviorisme yang lebih dikenal

dalam ilmu psikologi, muncul pada tahun 1960-an sebagai teori sosial untuk menantang teori

fungsionalisme. Para ahli yang memfokuskan pada pandangan ini di antaranya George

Homans dan Peter Blau. Mereka mencurahkan perhatian pada hubungan antara efek perilaku

aktor pada lingkungan dan dampaknya pada perilaku aktor selanjutnya. Mereka juga melihat

bahwa individu akan bertindak untuk mendapat imbalan dan menghindari hukuman. Ketika

tindakan mereka dihargai, individu akan mengulanginya dalam situasi yang sama. Namun,

bila tindakan mereka menimbulkan reaksi negatif maka mereka tidak akan mengulanginya.

Ini mendorong kepada pandangan dari tingkah laku manusia dengan istilah biaya dan manfaat

dan indvidu rasional yang dapat menghitung konsekuensi dari aksi mereka sebelum

mengambilnya.

C.1.I Teori Pertukaran George Homans

Menurut Homans, teori ini “memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas,

termilai ataupun tidak, dan kurang lebih menguntungkan atau mahal, bagi sekurang-

kurangnya dua orang” (1961: 13). Homans mencontohkan perkembangan mesin berbahan

bakar dalam industri tekstil, dan selanjutnya Revolusi Industri, melalui prinsip-prinsip

psikologi bahwa orang cenderung bertindak sedemikian rupa untuk meningkatkan imbalan

mereka. Dalam teori ini, ia berusaha menjelaskan perilaku sosial dasar berdasarkan imbalan

dan biaya.

Dalam karya teoretisnya, Homans membatasi dirinya pada interaksi sosial sehari-hari.

Berikut adalah contoh yang digunakan Homans untuk memaparkan jenis hubungan

pertukaran yang menarik perhatiannya:

Bayangkanlah bila ada dua orang melakukan kerja administrasi di suatu

kantor. Menurut aturan kantor, setiap orang harus melakukan kerjanya

sendiri, jika perlu bantuan, ia harus mengonsultasikannya dengan penyelia.

Salah seorang dari mereka, sebut saja si Anu, tidak begitu terampil

mengerjakan tugasnya dan mungkin akan bekerja lebih baik dan lebih cepat

jika ia terus dibantu. Terlepas dari itu semua ia enggan berbicara dengan

penyekia, karena mengakui ketidakmampuannya bisa jadi akan

membahayakan peluangnya untuk promosi. Justru ia menemui orang lain,

14

yang akan kita sebut dengan si Lain, dan meminta bantuan darinya. Si Lain

lebih berpengalaman bekerja daripada si Anu; ia dapat melakukan kerjanya

dengan baik dan cepat dan tidak meluangkan waktu sedikit pun, dan ia

punya alasan untuk berandai-andai bahwa penyelia tidak akan menuju ke

tempatnya untuk mencari-cari pelanggaran aturan. Si Lain membantu si

Anu dan sebagai imbalannya si Anu mengucapkan terima kasih dan memuji

si Lain. Kedua orang tersebut bertukar bantuan dan pujian.

(Homans, 1961: 31-32)

Memusatkan perhatiannya pada situasi semacam ini, Homans mengembangkan

beberapa proposisi.

Proposisi Sukses

Jika makin sering tindakan apa pun yang dilakukan orang memperoleh

imbalan, makin besar pula kecenderungan orang itu mengulangi tindakan

tersebut.

(Homans, 1974: 16)

Menurut contoh si Anu-si Lain dalam situasi kerja di kantor, proposisi ini berarti bahwa

orang lebih cenderung meminta nasihat orang lain jika di masa lalu ia diberi imbalan berupa

nasihat berguna. Selain itu, semakin sering seseorang menerima nasihat berguna di masa lalu,

semakin sering ia akan meminta nasihat. Serupa dengan itu, orang lain akan lebih berniat

memberi nasihat dan memberikannya lebih sering lagi jika di masa sebelumnya ia sering

diberi imbalan pujian.

Homans mencatat beberapa hal terkait dengan proposisi ini. Pertama, meskipun

imbalan yang sering dilakukan akan mendorong peningkatan frekuensi tindakan, situasi

timbal balik ini tidak mungkin berlangsung tanpa batas. Kadang individu sama sekali tidak

dapat berbuat seperti itu. Kedua, semakin pendek interval antara perilaku dan imbalan,

semakin besar kecenderungan seseorang mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, lamanya

interval antara perilaku dan imbalan memperkecil kecenderungan mengulang perilaku

tersebut. Ketiga, imbalan secara tidak teratur cenderung menyebabkan berulangnya perilaku

ketimbang imbalan teratur. Imbalan yang diberikan secara teratur mengakibatkan rasa bosan

dan muak, sementara imbalan pada interval tidak teratur (sebagaimana dalam perjudian)

cenderung menimbulkan berulangnya perilaku.

15

Proposisi Stimulus

Jika di masa lalu terjadinya stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus,

adalah situasi di mana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka

semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu itu, semakin

besar kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama, atau

yang serupa.

(Homans, 1974: 23)

Jika di masa lalu, si Anu dan si Lalu menganggap memberi dan menerima nasihat adalah

sesuatu yang menyenangkan, mereka cenderung melakukan tindakan sama dalam situasi

yang sama di masa yang akan datang. Homans tertarik pada proses generalisasi, yaitu

kecenderungan untuk memperbanyak perilaku pada situasi serupa. Jika stimulus krusial

terjadi terlalu lama sebelum perilaku dijalankan, stimulus itu tidak benar-benar merangsang

perilaku tersebut. Bisa jadi seorang aktor menjadi terlalu sensitif terhadap rangsangan,

khususnya jika itu semua sangat bernilai bagi mereka. Sebaliknya, aktor dapat merespons

rangsangan2 yang tidak relevan, paling tidak sampai situasinya dibenahi oleh kegagalan-

kegagalan berulang. Semua itu dipengaruhi oleh kewaspadaan individu atau perhatian mereka

terhadap rangsangan.

Proposisi Nilai

Semakin bernilai hasil tindakan bagi seseorang, semakin cenderung ia

melakukan tindakan serupa.

(Homans, 1974: 25)

Jika imbalan yang ditawarkan satu sama lain dianggap bernilai, aktor lebih cenderung

menjalankan perilaku yang diinginkan daripada perilaku yang imbalannya tidak bernilai. Di

sini, Homans mengenalkan imbalan dan hukuman. Imbalan adalah tindakan yang bernilai

posisif; meningkatnya imbalan lebih cenderung melahirkan perilaku yang diinginkan.

Hukuman adalah tindakan yang bernilai negatif; meningkatnya hukuman berarti aktor

cenderung menampilkan perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Ia menganggap hukuman

sebagai cara yang tidak memadai untuk menggiring orang mengubah perilaku mereka, karena

orang bisa bereaksi terhadap hukuman dengan cara yang tidak diinginkan. Lebih disukai jika

kita tidak memberi imbalan bagi perilaku yang tidak diinginkan; pada akhirnya perilaku

tersebut akan hilang. Imbalan jelas lebih dipilih, namun mungkin saja persediaanya terbatas.

Ia menjelaskan bahwa teorinya bukanlah teori hedonis,; imbalan bisa bersifat materialistis

(misalnya, uang) atau altruistik (membantu orang lain).

16

Proposisi Kelebihan-kekurangan

Jika menjelang saat tertentu, orang makin sering menerima imbalan

tertentu, maka makin kurang bernilai imbalan yang selanjutnya diberikan

kepadanya.

(Homans, 1974: 29)

Di kantor si Anu dan si Lain mungkin saling memberi imbalan begitu seringnya karena telah

memberi dan menerima nasihat, sehingga imbalan mulai tidak bernilai baginya. Dalam hal ini

waktu adalah sesuatu yang krusial; orang cenderung kurang puas jika imbalan-imbalan

tertentu diterima setelah berselang begitu lama.

Dalam hal ini, Homans mendefinisikan 2 konsep lainnya: ongkos dan keuntungan. Ongkos

perilaku didefinisikan sebagai imbalan yang hilang dalam alur tindakan alternatif yang

tengah berlangsung. Keuntungan dalam pertukaran sosial dipandang sebagai jumlah imbalan

yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Proposisi Agresi-pujian

Proposisi A: Ketika tindakan seseorang tidak mendapatkan imbalan yang

diharapkan, atau menerima hukuman yang tidak ia harapakan, ia akan

marah; ia menjadi cenderung berperilaku agresif ,dan akibat perilaku

tersebut menjadi lebih bernilai untuknya.

(Homans, 1974: 37)

Pada kasus di atas, jika si Anu tidak memperoleh nasihat yang ia harpkan dan si Lain tidak

mendapatkan pujian yang diharapkannya, keduanya cenderung marah. Proposisi A tentang

agresi-pujian hanya merujuk pada emosi negatif, sementara proposisi B lebih banyak

berbicara tentang emosi positif:

Proposisi B: ketika tindakan seseorang menerima imbalan yang

diharapkannya, khususnya imbalan yang lebih besar dari yang

diharapkannyam atau tidak mendapatkan hukuman yang diharapkannya, ia

akan senang; ia lebih cenderung berperilaku menyenangkan, dan hasil dari

tindakan ini lebih bernilai baginya.

(Homans, 1974: 39)

Contoh di kantor, ketika si Anu mendapat nasihat yang diharapkannya dan si Lain

memperoleh pujian yang diharapkannya, keduanya senang dan cenderung memberi dan

menerima. Nasihat dan pujian lebih berharga bagi keduanya.

17

Proporsi Rasionalitas

Ketika memilih tindakan alternatif, seseorang akan memilih tindakan,

sebagaimana dipersepsikannya kala itu, yang jika nilai hasilnya (V)

dikalikan probabilitas keberhasilan (p) adalah lebih besar.

(Homans, 1974: 43)

Proposisi ini menunjukkan pengaruh teori pilihan rasional pendekatan Homans. Dalam

bahasa ekonomi, aktor yang bertindak menurut proposisi rasionalitas tentang memaksimalkan

keuntungannya.

Pada dasarnya, orang mempelajari dan melakukan kalkulasi atas berbagai tindakan

alternatif yang tersedia baginya. Mereka membandingkan jumlah imbalan yang dihubungkan

dengan setiap tindakan. Mereka pun mengalkulasikan kecenderungan bahwa mereka benar-

benar akan menerima imbalan. Imbalan yang bernilai tinggi akan hilang nilainya jika aktor

menganggap bahwa itu semua cenderung tidak akan mereka peroleh. Sebaliknya, imbalan

yang bernilai lebih rendah akan mengalami pertambahan nilai jika semua itu dipandang

sangat mungkin diperoleh. Jadi, timbul interaksi antara nilai imbalan dengan kecenderungan

diperolehnya imbalan. Imbalan yang paling diinginkan adalah imbalan yang sangat bernilai

dan sangat mungkin tercapai. Imbalan yang paling tidak diinginkan adalah imbalan yang

paling tidak bernilai dan cenderung tidak mungkin diperoleh.

C.1.II. Teori Pertukaran Peter Blau

Blau memusatkan perhatiannya pada proses pertukaran yang mengarahkan perilaku

manusia dan mendasari hubungan antar individu maupun antar kelompok. Blau ingin

melampaui pokok bahasan Homans tentang bentuk-bentuk dasar kehidupan sosial dan masuk

ke dalam analisis struktur kompleks. Hasilnya, Blau memaparkan urutan empat tahap mulai

dari pertukaran antar pribadi, struktur sosial sampai dengan perubahan sosial:

Tahap 1: Transaksi pertukaran pribadi antar orang melahirkan..

Tahap 2: Diferensiasi status dan kekuasaan, yang menyebabkan ...

Tahap 3: Legitimasi dan organisasi, yang menumbuhkan benih-benih...

Tahap 4: Oposisi dan perubahan

Menurut Blau, orang tertarik satu sama lain karena berbagai alasan yang mendorong

mereka membangun hubungan. Ketika ikatan terbangun, imbalan yang mereka berikan satu

sama lain, yaitu memelihara dan memperkuat ikatan. Situasi sebaliknya pun mungkin terjadi:

dengan imbalan yang memadai, hubungan akan melemah atau putus. Dua jenis imbalan yang

18

diberikan menurut Blau: imbalan intrinsik berupa hal-hal yang tak berwujud (cinta, kasih

sayang) dan imbalan ekstrinsik berupa hal-hal yang berwujud (uang, kerja fisik).

Blau akhirnya melampaui bentuk perilaku dasar Homans dengan membahas struktur

sosial kompleks, dimulai dengan memperluas teorinya pada level fakta sosial. Ia mencatat

bahwa interaksi sosial mula-mula hadir dalam kelompok sosial. Orang tertarik pada suatu

kelompok ketika mereka mereasa bahwa hubungan tersebut menawarkan lebih banyak

imbalan dibandingkan dengan kelompok lain. Karena mereka tertarik pada kelompok

tersebut, mereka ingin diterima. Agar diterima, mereka harus menawarkan imbalan kepada

anggota kelompok. Hal ini antara lain memberikan kesan pada anggota kelompok dengan

menunjukkan pada mereka bahwa berasosiasi dengan orang-orang baru akan menjadi sesuatu

yang menyenangkan. Hubungan dengan anggota kelompok akan semakin solid ketika

pendatang baru mendapatkan kesan yang baik dari kelompok tersebut-yaitu jika anggotanya

menerima imbalan sebagaimana yang diharapkannya. Upaya para pendatang baru untuk

memberikan kesan pada anggota kelompok umumnya menyebabkan kohesi kelompok,

namun kompetisi dan, akhirnya, diferensiasi sosial dapat terjadi ketika semakin banyak orang

yang secara aktif berusaha memberikan kesan satu sama lain dengan kemampuan mereka

untuk memberikan imbalan.

Bagi Blau, mekanisme yang memerantarai struktur sosial kompleks adalah norma dan

nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Awalnya memandang pada norma sosial, Blau

berargumen bahwa mereka mengganti pertukaran tidak langsung dengan pertukaran

langsung. Satu anggota menerima norma kelompok dan mendapatkan pujian atas sikap

menerima tersebut dan mendapatkan pujian karena fakta bahwa sikap menerima tersebut

memberikan sumbangsih bagi terpeliharanya serta stabilitas kelompok. Dengan kata lain,

kelompok terlibat dalam hubungan pertukaran dengan individu. Ini bertolak belakang dengan

pandangan Homans yang lebih sederhana, yang memusatkan perhatian pada pertukaran antar

pribadi. Blau memberikan contoh pertukaran antara individu dengan kelompok yang

menggantikan pertukaran antar individu:

Staf rendah tidak membantu pegawai yang lebih tinggi dalam kerja mereka

demi imbalan yang akan diterima dari mereka, namun memberikan bantuan

tersebut adalah kewajiban resmi anggota staf, dan atas dijalankannya

kewajiban-kewajiban tersebut mereka mendapatkan imbalan finansial dari

perusahaan.

(Blau, 1964: 260)

19

C.2. Kritik

Teori pertukaran sosial tidak terlepas dari kritik-kritik. Pertama, teori ini hanya

mendasarkan perilaku manusia pada hal-hal ekonomi saja. Teori ini mengabaikan faktor-

faktor dari dalam manusianya, seperti biaya, keinginan, dan minat. Kedua, teori ini hanya

seperti menekankan bahwa tujuan manusia berinteraksi semata-mata hanya untuk

mendapatkan keuntungan satu sama lain.

Ketiga, Blau dalam karyanya walaupun cakupannya mulai meluas kepada masyarakat,

namun ia salah menafsirkannya. Langkah yang salah ketika sebenarnya fokus pada

pertukaran adalah antar individu (bertatap muka), namun diperluas hingga masyarakat.

Keempat, perilaku manusia dalam teori ini hanya ingin memberi dan menerima imbalan

semata (prinsip ekonomi: untung dan rugi). Maka dari itu, perasaan saling mengasihi satu

sama lain hilang seiring dengan pikiran-pikiran rasional sehingga mengabaikan unsur

perasaan.

20

DAFTAR PUSTAKA

Blau, Peter, 1964, Exchange and Power in Social Life, New York: Wiley.

Davis, Kingsley, dan Wilbert Moore, 1945, Some Principles of Stratification, American

Sociological Review 10, pp. 242-249.

Farganis, James, 2000, Readings In Social Theory: The Classic Tradition to Post-

Modernism, Third Edition, The McGraw-Hill Higher Education.

Goffman, Erving, 1959, Presentation of Self in Everyday Life, New York: Anchor.

Homans, George C., 1961, Social Behavior: Its Elementary Forms, New York: Harcourt,

Brace and World.

_________________, 1974, Social Behavior: Its Elementary Forms, Edisi Revisi, New

York: Harcourt Brace Jovanovich.

Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, 1992, Sosiologi, edisi 6, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mead, George Herbert, 1934/1962, Mind, Self, and Society: From the Standpoint of A

Social Behaviorist, Chicago: University of Chicago Press.

__________________, 1982, The Individual and the Social Self: Unpublished Work of

George Herbert Mead, Chicago: University of Chicago Press.

Merton, Robert K., 1949/1968, Manifest and Latent Function, New York: Free Press.

Misztal, B., 2001, Normality and Trust in Goffman’s Theory of Interaction Order,

Sociological Theory 19, pp. 312-324.

Poloma, Margaret M, 1979, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.

Purwanto, 2007, Sosiologi untuk Pemula, Yogyakarta: Media Wacana.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2013, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi

Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Sanderson, Stephen K., 1993, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas

Sosial, Jakarta: CV. Rajawali Pers.