BAB IV MAKNA SIMBOLIK SAWER PANGANTEN DALAM ...

21
47 BAB IV MAKNA SIMBOLIK SAWER PANGANTEN DALAM PERKAWINAN ADAT SUNDA A. Konsep Budaya dan Simbol Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah (bentuk jamak dari buddhi, yang berarti akal atau budi), jadi kebudayaan berarti hal yang berkaitan dengan akal. Wujud kebudayaan yang berupa ide, norma, dan aturan itu tidak terlepas satu sama lainnya, berkaitan menjadi satu sistem ialah sistem budaya, atau cultural system, yang biasa disebut adat istiadat. Adapun wujud kebudayaan yang berupa aktifitas dan tindakan berpola manusia dalam masyarakat ialah sistem sosial yang terdiri dari aktifitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan menurut pola tertentu berdasarkan tata kelakuan. 67 Pada tahun tujuh puluhan, muncul James P. spradley (1972) dan Clifford Geertz (1973) yang mengemukakan dua konsep budaya yang berbeda, walaupun kedua konsep itu masih terfokus pada inti budaya yang kurang memperhatikan posisi para pelaku atau pendukung kebudayaan. Menurut Spradley kebudayaan ialah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang terdiri dari perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan melakukan interpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta tindakan 67 Judistira K. Garna, Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan,Bandung: Lembaga Penelitian Unpad, 2008, hal. 8

Transcript of BAB IV MAKNA SIMBOLIK SAWER PANGANTEN DALAM ...

47

BAB IV

MAKNA SIMBOLIK SAWER PANGANTEN DALAM PERKAWINAN

ADAT SUNDA

A. Konsep Budaya dan Simbol

Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta,

buddhayah (bentuk jamak dari buddhi, yang berarti akal atau budi), jadi

kebudayaan berarti hal yang berkaitan dengan akal. Wujud kebudayaan yang

berupa ide, norma, dan aturan itu tidak terlepas satu sama lainnya, berkaitan

menjadi satu sistem ialah sistem budaya, atau cultural system, yang biasa

disebut adat istiadat. Adapun wujud kebudayaan yang berupa aktifitas dan

tindakan berpola manusia dalam masyarakat ialah sistem sosial yang terdiri

dari aktifitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan menurut pola

tertentu berdasarkan tata kelakuan.67

Pada tahun tujuh puluhan, muncul James P. spradley (1972) dan Clifford

Geertz (1973) yang mengemukakan dua konsep budaya yang berbeda,

walaupun kedua konsep itu masih terfokus pada inti budaya yang kurang

memperhatikan posisi para pelaku atau pendukung kebudayaan. Menurut

Spradley kebudayaan ialah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia

sebagai makhluk sosial, yang terdiri dari perangkat model-model pengetahuan

yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan melakukan

interpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta tindakan

67

Judistira K. Garna, Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan,Bandung:

Lembaga Penelitian Unpad, 2008, hal. 8

48

yang diperlukan. Adapun kebudayaan menurut Geertz ialah pola-pola arti

yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis, yang

dengan bantuan mana manusia melakukan komunikasi, melestarikan dan

mengembangkan pengetahuan serta sikap terhadap hidup.

konsep kebudayaan berarti suatu pola makna-makna yang diteruskan

secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-

konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang

dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan

pengetahuan mereka tentang kehidupan serta sikap-sikap terhadap kehidupan.

Simbol secara etimologis berasal dari kata Yunani “sym-ballaein” yang

berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan

suatu ide.68

Adapula yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau

ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.69

Biasanya simbol

terjadi berdasarkan metonimi, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi

atau yang menjadi atributnya dan metafora, yaitu pemaknaan kata atau

ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.

Menurut Erwin Goodenough, simbol adalah barang atau pola yang

apapun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia,

melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah

dalam bentuk yang diberikan itu. Simbol membedakan antara bahasa yang

bersifat denotatif, yaitu tepat, ilmiah, harfiah, dan bahasa yang bersifat

68

B. Rahmanto Dick Hartoko dan, Kamus Istilah Sastra, Yogyakarta, Kanisius, 1998,

hal. 133 69

Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta, Hanindita Graha

Widya, 2000, hal. 10

49

konotatif, yaitu berasosiasi, tidak persis tepat, memungkinkan beragam

penafsiran. Simbol memiliki makna dan nilainya sendiri. Fungsi simbol ialah

merangsang daya imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan

relasi.70

Titik sentral kebudayaan Geertz terletak pada simbol, bagaimana

manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui

dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian

diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai, simbol merupakan acuan

wawasan, memberi petunjuk bagaimana warga budaya tertentu menjalani

hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial.71

Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-

istilah rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata-kata

yang terucapkan, sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh

seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau

suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem

simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang dapat kita

rasakan atau kita alami.

Geertz memfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang

menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai

permasalahan hidupnya. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang

diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol, dan menjadi suatu

konsep yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya

70

Dillistone,FW , The Power of Symbols, Yogyakarta; Kanisius, 2002, hal. 19

71 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 1992, hal. 49

50

manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan

mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.72

Oleh karena itu, upacara pe rk awinan yang penuh dengan simbol ini

ada aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga masyarakat pendukungnya.

Aturan ini tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan suatu masyarakat

secara turun temurun, dengan perannya yang dapat melestarikan ketertiban

hidup dalam masyarakat. Biasanya kepatuhan setiap anggota masyarakat

terhadap aturan dalam upacara perkawinan disertai dengan keseganan atau

ketakutan mereka terhadap sanksi yang bersifat sakral magis.

B. Upacara Sawer Pengantin

Sawer pengantin merupakan bagian dari urutan adat-istiadat perkawinan

Sunda. Pelaksanaan sawer biasanya dilakukan di halaman rumah, sebab

bagian halaman rumah ini sering disebut dengan istilah “panyaweran”,73

artinya tempat yang biasa terkena air hujan yang terbawa hembusan angin.

Karakter halaman rumah yang semacam inilah yang memunculkan istilah

sawer yang berasal dari kata awer, yang mempunyai arti “air jatuh

menciprat”. maka pelaksanaanya pun yang dilakukan oleh juru sawer seperti

itu misalnya kalau pengertiannya sebagai air jatuh memercik, sesuai dengan

pelaku juru sawer menciprat-cipratkan atau menabur-naburkan perlengkapan

benda-benda sawer ke arah pengantin yang melambangkan bahwa kedua

pengantin tidak boleh segan-segan memberikan bantuan/harta kekayaan

kepada sanak saudara dan orang lain, dan bila di kemudian hari hidup senang,

72

Ibid, hal. 3 73

Yus Rusyana, Bagbagan Puisi Sawer Sunda, Bandung: Projek penelitian pantun dan

Forklore sunda, 1971, hal 1

51

mulia dan berbahagia haruslah senang menolog dan membantu sesama

dengan sedekah.

Dalam sawer, kedua mempelai duduk di kursi yang diletakkan di depan

rumah mempelai perempuan (panyaweran). Didampingi oleh seorang

pemegang payung, sedangkan juru sawer atau panyawer berdiri di depan

pengantin, biasanya perempuan. Sawer merupakan pepatah atau nasihat bagi

pengantin, yang bertujuan agar rumah tangga bahagia, yang dilantunkan

melalui tembang atau pupuh, seperti; asmarandana, Dangdanggula, Kinanti,

dan Sinom dengan menggunakan lagu kidung, yang diakhiri dengan

nyawerkeun beras bercampur irisan kunyit, uang receh, permen, dan daun

sirih yang kesemuanya perlambang/kias yang mengandung makna.74

Dalam tembang sawer, bahasa yang digunakan pada umumnya adalah

bahasa yang lugas, magis dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai adalah

bahasa halus dan sedang, serta berbentuk pupuh dan puisi bebas yang banyak

menggunakan kata-kata pilihan. Isi teks tembang sawer umumnya mengenai

nasihat, yang tersusun menjadi tiga bagian, yaitu pembukaan, inti dan

penutup. Pada bagian pembukaan biasanya berisi permohonan maaf kepada

Tuhan, dewa, nabi, wali, leluhur dan hadirin, untuk melaksanakan sawer.

Bagian inti berisi nasihat-nasihat, dan contoh-contoh kehidupan berumah

tangga, dan bagian penutup berupa doa bagi mempelai, keluarga dan hadirin

74

Elis Suryani, Ragam Pesona Budaya Sunda, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hal. 110-111

52

agar mendapat keselamatan dan rahmat Tuhan. Adapun tembang sawer yang

dibawakan pada umumnya tidak diiringi musik.75

Berikut ini potongan dari salah satu syair yang sering disampaikan dalam

pembukaan tembang sawer;

Agung-agung pangapunten

Ka panganten nu saranten

Arimankeun ku maranten

Pitutur munel teu kinten

Maafkan yang sebesar-besarnya

Kepada kedua mempelai yang manis-manis

Yakinilah oleh anda berdua

Nasihat-nasihat yang sangat berguna...76

Satu bait tembang sawer diatas adalah bagian pembukaan yang ditandai

dengan permohonan maaf kepada mempelai dan umumnya kepada semua

orang yang hadir dalam prosesi tersebut. Permohonan maaf adalah salah satu

karakter yang mewakili kerendahan hati dan kehati-hatian sang penutur

tembang sebelum memberikan nasihat kepada kedua mempelai. Setelah

memohon maaf, sang penutur tembang atau juru sawer mengarahkan objek

nasihat yang akan disampaikannya, yakni kepada kedua mempelai melalui

75

Wawancara dengan Bu Jojoh, Juru Sawer di Desa Cipicung, 20 Mei 2014 pukul. 14.00

WIB, di rumahnya 76

Aep Saepudin, Makna Filosofis Tembang Sawer Dalam Upacara Perkawinan Adat

Sunda; Skripsi; Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hal. 5

53

kalimat “Ka panganten nu saranten”. Kalimat ini merupakan pola bahasa

yang santun dalam bahasa Sunda.

Kemudian pada baris ketiga, juru sawer menyampaikan kepada kedua

mempelai agar memperhatikan nasihat-nasihat yang akan segera

disampaikannya melalui kalimat “arimanken ku maranten”. Yang dimaksud

iman disini adalah yakin dan percaya, agar kedua mempelai yakin dan

percaya, karena ketika yakin dan percaya pasti akan melakukan apapun yang

diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Baris selanjutnya menjelaskan

bahwa nasihat yang akan disampaikan memiliki manfaat yang sangat berguna

bagi kedua mempelai.77

Dengan demikian tembang sawer merupakan salah satu bentuk simbolisasi

dari wujud kebudayaan masyarakat Sunda dengan keseluruhan filosofi

hidupnya yang diwariskan secara turun temurun sehingga menjadi adat-

istiadat yang dalam beberapa hal, dapat dianggap sakral. Meskipun bahasa

yang digunakan dalam tembang sawer tidak seluruhnya bersifat simbolik.

Namun secara umum bahasa-bahasa ini tetap mengandung makna simbolik

yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda secara umum yang

kemudian disampaikan kepada mempelai.

77

Ibid, hal. 6

54

C. Makna Simbol Sawer Panganten

1. Beras

Kebudayaan digambarkan Geertz, sebagai sebuah pola makna-

makna atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengan

simbol tersebut masyarakat menjalani pengetahuan tentang kehidupan

dan mengekspresikan kesadaran masyarakat melalui simbol-simbol.

Karena dalam satu kebudayaan terdapat bermacam-macam sikap dan

kesadaran dan juga bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda-beda.

Simbol-simbol kebudayaan itu mempengaruhi kehidupan sosial sebagai

hubungan satu arah, yang dengan demikian simbol kebudayaan memberi

informasi, pengaruh, dan membentuk kebudayaan.78

Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan,

merangsang daya imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan

relasi. Menurut penggunaan Geerts sendiri, “kebudayaan “ berarti suatu

pola makna yang ditularkan secara historis, yang digambarkan oleh

simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam

bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk

menyampaikan, mengabdikan dan mengembangkan pengetahuan serta

sikap-sikap terhadap kehidupan.79

Beras adalah bagian bulir padi (gabah) yang telah dipisahkan dari

sekam (Jawa merang) secara anatomi disebut 'palea' (bagian yang

ditutupi) dan 'lemma' (bagian yang menutupi). Pada tahap memproses

78

Judistira K. Garna, Op. Cit, hal. 11 79

Dillistone, Op. Cit, hal. 115

55

hasil panen padi, gabah akan ditumbuk di dalam lesung atau digiling

sehingga bagian luarnya (kulit gabah) akan terlepas dari isinya. Bagian

isi inilah yang disebut beras. Dan untuk warna beras itu sendiri biasanya

dibagi ke dalam beberapa farian, beras putih, beras merah, beras ungu,

dan beras hitam. Beras merupakan bahan mentah dari nasi, dan salah satu

dari Sembilan bahan pokok penting di beberapa Negara, terutama Asia.80

Secara makna simbol, beras melambangkan kesejahteraan,

khususnya pada masyarakat Sunda. Hal ini dikarenakan sistem

masyarakat Sunda yang bergantung pada makanan pokok yang berasal

dari beras. Dan kemudian simbol ini biasanya dipakai untuk syarat bagi

pengantin yang hendak menikah, karena simbol ini mewakili kecukupan

bekal pangan bagi kedua mempelai dan harus saling memahami satu

sama lain.81

Hal ini disebutkan dalam potongan syair yang disampaikan

oleh juru sawer;

Bisi tacan pada harti

Anu kurenan teh pasti

Nimuna lulus tarapati

Kudu sili beuli ati..

Jika belum sama mengerti

Suami istri itu pasti

Dapat hidup tenang sesuai

80

Di ambil dari http//www.Indaharitonangfakultaspertanianunpad.blogspot.com

/2013/05/pengertian-beras.html?m=1, Rabu, 26 November 2014 81

Wawancara dengan Bu Jojoh, Juru sawer di Desa Cipicung, 20 Mei 2014, Pukul 14.00

WIB di rumahnya

56

Harus saling mengambil hati..82

Tembang sawer diatas merupakan suatu nasihat, bahwa dalam

rumah tangga bisa baik jika suami dan istri saling memahami. Suami

harus memahami tabiat wanita secara umum, bahwa wanita berbeda

dengan laki-laki. Maka janganlah mengukur wanita seperti laki-laki.

Hendaknya sang suami menjaga apa-apa yang menjadi ketidaksukaan

istrinya, begitupun sebaliknya. Maka harus saling memahami bahwa

masing-masing penuh dengan kekurangan.

2. Kunyit

Dalam paparan Karl Rahner tentang proses simbolisasi ini, kata

kuncinya ialah “ungkapan”, pencurahan diri sendiri ke dalam yang lain”.

Sehingga atas dasar penafsiran simbolisasi ini, selanjutnya

mengembangkan suatu sistem kristologi yang komprehensif. Baginya,

amat penting bahwa simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai sesuatu

yang terpisah dari hal yang disimbolkannya, yang berdiri dihadapannya,

menunjuk kepadanya, mengilustrasikannya. Sebaliknya, suatu objek,

suatu diri menjadi terungkap dalam simbol dan dengan demikian menjadi

hadir dalam simbol. Simbol sejati merupakan kehadiran nyata. Simbol

tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan

segera, sebab simbol yang sejati dipersatukan dengan hal yang

82

Thomas wiyasa bratawidjaja, Op. Cit, hal. 69

57

disimbolkan, karena hal yang disimbolkan membentuk simbol sebagai

realisasi dirinya sendiri.83

kunyit adalah salah satu jenis tanaman yang banyak memiliki

manfaat, di antaranya sebagai bumbu masak. Tanaman ini telah dikenal

sejak lama di Indonesia dan penggunaannya cukup banyak dalam

kehidupan sehari-hari, mempunyai rasa yang pahit, agak pedas, baunya

khas aromatik, rimpang berwarna kuning kejingga-jinggaan. Warna

kuning merupakan lambang dari emas, yang mana emas mempunyai nilai

yang sangat berharga. Jadi, Melalui simbolisasi ini, keluarga mempelai

berharap agar rumah tangga calon pengantin saling menghargai satu

sama lainnya.84

Simbol yang terdapat dalam kunyit, mengajarkan bahwa dalam

keluarga, sangat penting menumbuhkan sifat saling menghargai. Seorang

istri harus menghargai suami, suami menghargai istri, anak-anak

menghargai orangtuanya, dan sebaliknya orangtua juga menghargai

pendapat anak-anaknya. Maka faktor utama dalam sebuah keluarga yaitu

dengan adanya komunikasi, karena tanpa komunikasi, kita tidak dapat

mengetahui apa saja yang sudah terjadi. Dengan menjalin komunikasi,

orangtua bisa mengetahui apa yang diinginkan anak untuk masa

depannya. Selain itu, dalam sebuah keluarga harus saling menasehati,

menasehati mempelai wanita untuk mengabdikan diri kepada suami

secara tulus ikhlas sepenuh hati sehingga hidupnya harmonis.

83

Dillistone, Op. Cit, hal. 135 84

Wawancara dengan Bu Tuti, Penata Rias di Desa Cipicung, 22 Mei 2014, pukul 10.00

WIB di kediamannya

58

3. Daun Sirih

Menurut Suzanne K. Langer, simbol adalah ide-ide yang

melambangkan suatu maksud tertentu yang berupa bahasa (pantun, syair,

pribahasa). Hal ini sesuai dengan yang sering digunakan dalam acara

sawer pada upacara perkawinan adat Sunda. Disebutkan pula bahwa

dalam suatu upacara anggota masyarakat menghayati, menegaskan, dan

menjunjung tinggi nilai-nilai tertentu melalui media kata-kata, perbuatan,

dan lambang-lambang benda.85

Sirih adalah jenis tanaman yang banyak digunakan oleh

masyarakat Sunda, baik itu untuk di makan atau pun digunakan sebagai

simbol adat budaya. Misalnya untuk acara perkawinan. Dalam buku

upacara perkawinan adat Sunda, Thomas Wiyasa Bratawidjaja

mendefinisikan sirih kedalam lima macam. Pertama, sirih yang dalam

bahasa Sunda disebut seureuh, yang artinya sindir yang dalam bahasa

Sunda adalah reureuh, maksudnya berhenti nafsunya atau habis

nafsunya, kegunaan sirih ini biasanya tidak terlepas maupun terpisahkan

dalam adat istiadat Sunda. Maka dalam upacara perkawinan, sirih

memiliki makna kerinduan seorang pria maupun wanita yang sedang

dilanda asmara dan kemudian akan berakhir setelah terlaksana

perkawinannya, lebih jauh lagi sirih ini memiliki makna agar kedua

mempelai dapat seia sekata dalam menjalani bahtera rumah tangga.

Kedua, kapur Sirih (berwarna putih) yang mempunyai arti

85

Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten dalam Upacara

Perkawinan Adat Sunda Kontemporer, Skripsi; Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2012, hal. 94

59

melambangkan sifat dari perempuan, yang artinya suci dan menerima.

Ketiga, gambir (berwarna merah) melambangkan sifat berani seorang

pria terhadap tanggung jawabnya. Keempat, Pinang (jika dimakan akan

menjadi pening), melambangkan peningnya si gadis yang rindu kepada

seorang pria yang dicintainya. Kelima, tembakau (jika dimakan atau

dibuat rokok atau susur akan menimbulkan rasa pusing kepala) hal ini

melambangkan pusingnya seorang pria karena mabuk cinta dengan gadis

yang dicintainya.86

Makna daun sirih dalam kehidupan budaya dan tradisi masyarakat

Sunda pada acara sawer dilambangkan sebagai keterpaduan antara suami

istri, yang mana dalam kehidupan rumah tangga harus seia sekata, jangan

ada yang ego, yang mau menang sendiri, tetapi harus sabeungkeutan

(satu ikatan), satu pendirian, satu kemauan, satu tujuan untuk mencapai

apa yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan tembang sawer yang

dilantunkan oleh juru sawer kepada pengantin;

Tineung ulah pasalia

Sing sapagodos waluya

Lamunna pa-kira-kira

Nya lindeuk pasea tea

Cinta jangan berselisih

Seia-sekata agar selamat

86

Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Op. Cit, hal. 17

60

Jika banyak pertentangan

Mudah datang pertengkaran..87

Sudah menjadi fitrah manusia harus saling mencintai dengan

sesamanya. Baik dengan sesama jenis, maupun dengan lawan jenisnya.

Dengan sesama jenis saling mencintai itu bukan kebutuhan biologis,

melainkan mencintai dalam hubungan hidup. Misalnya tidak bisa

manusia hidup tanpa orang lain. Karena sudah menjadi fitrah manusia

berhubungan atau bersosialisasi dengan manusia lain, Karena manusia

saling membutuhkan satu sama lain. Maka dalam sawer perkawinan,

diajarkan bahwa kita harus saling memberi, saling menasehati, saling

membantu, saling bertukar pikiran, dan sebagainya. Itu pertanda saling

mencintai antar sesama.

Sedangkan cinta-mencintai dengan lawan jenis tidak sama dengan

mencintai sesama jenis. Dalam hal ini mencintai yang berhubungan

dengan kebutuhan nilai biologis (wanita dan laki-laki). Secara naluri

manusia menyadari bahwa tanpa terpenuhi kebutuhan biologis itu,

hidupnya tidak sempurna. Maka dalam membangun suatu rumah tangga

kedua belah pihak harus saling mencintai, saling menyayangi, saling

membela, saling menghargai, bila terjadi percekcokan salah satu harus

mengalah dan bila terjadi kemurungan pihak yang satu, pihak yang

satunya lagi harus dapat menghiburnya.

87

Ibid, hal. 69

61

4. Permen

Bernard Lonergan, mendefinisikan sebuah simbol adalah gambaran

dari suatu objek nyata atau khayal yang menggugah perasaan atau

digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan dengan objek,

satu sama lain, dan dengan subjek. Simbol mendahului setiap penafsiran

atau penjelasan. Melalui simbol budi dan tubuh, budi dan hati, hati dan

tubuh berkomunikasi. Akan tetapi, komunikasi seperti itu tidak mudah

ditafsirkan, sebab sebuah simbol yang sejati mempunyai banyak sekali

makna yang mungkin. Simbol dapat mengungkapkan ketegangan,

pertentangan, perjuangan bahkan kontradiksi.88

Dalam acara sawer perkawinan adat Sunda, permen adalah simbol

dari sesuatu yang manis, sebab pada umumnya permen memiliki rasa

manis. Simbol ini melambangkan bahwa sepahit apapun proses

kehidupan yang dijalani dalam hidup berumah tangga harus selalu

diselesaikan dengan cara yang manis, semanis rasa permen. Dan permen

juga merupakan simbol harapan agar rumah tangga harus selalu manis

dan harmonis guna menggapai kebahagiaan.89

Karena kebahagiaan

adalah keinginan yang terpuaskan, dan disadari memiliki sesuatu yang

baik. Jadi, kebahagiaan merupakan suatu keadaan pikiran atau perasaan

yang ditandai dengan kecukupuan hingga kesenangan, cinta, kepuasan,

kenikmatan, atau kegembiraan yang intens.

88

Dillistone, Op. Cit, hal. 137 89

Wawancara dengan Bapak H. Ukari, Tokoh masyarakat Desa Cipicung, 10 agustus

2014 pukul 10.00 WIB di kediamannya.

62

Pada pementasan acara sawer yang disampaikan melalui lagu-lagu

yang bermotif tembang, tampaknya telah terjadi semacam komunikasi

batin antara juru sawer dengan pengantin, yaitu melalui rumpaka-

rumpaka (syair) lagu yang berisi nasihat-nasihat serta petunjuk dalam

berumah tangga. Setiap manusia yang membangun bahtera rumah

tangga, tentunya menginginkan keluarga harmonis yang didalamnya

mengisyaratkan hubungan timbal balik untuk saling mengasihi dan

menyayangi. Keluarga harmonis ialah persekutuan hidup yang dijalin

dengan selaras, damai, saling mencintai dan menyayangi yang ditandai

oleh keharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, ayah dengan anak,

serta ibu dengan anak. Maka dalam rumah tangga, harus mempunyai

perhatian dan menghargai semua keluarga.

5. Uang Logam

Tema sentral Cassirer adalah bentuk-bentuk simbolis. Cassirer

mengatakan; manusia hidup dalam alam semesta simbolis. Bahasa, mite,

kesenian, dan agama adalah bagian-bagian alam semesta itu. Semuanya

itu merupakan pelbagai benang yang membentuk jaring simbolis,

jaringan kusut berliku-liku mengenai pengalaman manusia. Segenap

kemajuan manusia dalam berfikir dan berpengalaman, memperluas serta

memperkuat jaringan ini dari pada berurusan dengan barang-barang itu

sendiri, manusia boleh dikatakan senantiasa berbicara dengan dirinya

sendiri. Ia telah sedemikian melingkupi dirinya sendiri dengan bentuk-

bentuk bahasa, gambar-gambar seni, simbol-simbol mistis, atau

63

upacara-upacara keagamaan sehingga ia tidak dapat melihat atau

mengeahui apa pun kecuali dengan pengantaraan medium buatan ini.“90

Metode Cassirer tentang kehidupan manusia terkenal dengan

metode baru yaitu adaptasi terhadap lingkungan, berdasarkan dengan

sistem simbolik. Hal ini secara langsung sama dengan metode Mead,

yang juga “bahasa, dongeng, seni dan agama” adalah bagian dari respon

manusia terhadap alam.91

Dalam semua pengembangan budaya, manusia

tergantung diatas kepribadian simbolik. Dalam metode ini, Cassirer

membedakan antara tanda dan simbol, bahwasannya simbol tidak dapat

mengurangi signal. Signal dan simbol memiliki dua perbedaan dalam

bahasa. Signal adalah bagian fisik dunia, sedangkan simbol adalah bagian

dari dunia manusia dalam makna. Signal adalah operator, sedangkan

simbol adalah sebagai alat petunjuk.92

Uang merupakan alat tukar yang pada umumnya dipakai oleh

masyarakat untuk lalu lintas perekonomian. Dalam upacara perkawinan,

uang logam justru dapat menjadi syarat dalam upacara sawer. Namun,

tidak hanya uang logam yang digunakan, melainkan uang kertas, karena

keduanya sama-sama mempunyai nilai harga yang berguna bagi manusia.

Dengan adanya uang dalam upacara sawer, jelas hal inilah yang dapat

meramaikan suasana, karena upacara sawer paling dinanti-nantikan dan

sangat disukai anak-anak yang hadir, yang pada umumnya mereka adalah

anak-anak dari pihak sanak saudara sendiri dan dari para tamu undangan.

90

Dillistone, Op. Cit, hal. 122 91

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, Bandung : PT Remaja Posdakarya, 2006, hal. 250 92

Ibid, hal. 251,.

64

Mereka semua saling berebut uang, melompat sana-sini dengan perasaan

senang dan gembira. Jadi, uang dalam upacara sawer, melambangkan

simbol dari harta atau kekayaan yang menyiratkan makna bahwa

kekayaan merupakan bekal dalam menjalani kehidupan didunia untuk

menyiapkan bekal di alam akhirat nanti.93

6. Payung

Paul Ricoeur, mendefinisikan simbol sebagai setiap struktur makna

dimana suatu arti yang langsung, primer, harfiah menunjukkan, sebagai

tambahan, arti lain yang tidak langsung, sekunder dan figurative serta

yang dapat dipahami hanya melalui arti yang pertama. Berdasarkan

definisi ini, Ricoeur mendefinisikan penafsiran sebagai pekerjaan pikiran

berupa menyingkapkan makna yang tersembunyi dalam arti yang

tampak, menyibak tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam arti

harfiah. Dengan demikian, simbol dan penafsiran menjadi konsep-konsep

yang korelatif.

Menurut pandangan Ricoeur, kewajiban terbesar penafsir adalah

melampaui yang harfiah untuk menerangi makna-makna yang

tersembunyi, makna-makna sekunder, makna-makna yang diperkaya,

makna-makna yang secara tepat disebut simbolis. Dengan menemukan

makna simbolislah diri sendiri terbuka kepada tingkat atau dimensi baru

93

Wawancara dengan Bu Jojoh, Juru sawer di Desa Cipicung, 20 Mei 2014, Pukul 14.00

WIB di rumahnya

65

eksistensi. Menafsirkan simbol-simbol, menelaah makna simbolis berarti

membawa diri ke dalam hidup yang lebih tinggi dan penuh.94

Payung adalah sebuah alat yang melindungi tubuh kita dari

guyuran air hujan. Dari segi rangka, bentuk payung memiliki sebuah

gagang (tiang) ditengah yang ukurannya lebih besar. Kemudian terdapat

beberapa gagang penyangga kecil-kecil yang berada di atasnya serta

terdapat kain yang menyelubungi payung. Payung mempunyai fungsi

penting bagi sebagian aktivitas manusia; melindungi manusia dari terik

matahari, payung juga menjadi pelindung di saat hujan. Selain itu,

payung juga mempunyai makna konotatif yang berarti pelindung atau

penjaga seperti terlihat dalam peribahasa yang menyebutkan „sedia

payung sebelum hujan‟. Dalam peribahasa ini, payung dimaknai

pelindung yang harus disiapkan sebelum terjadi hal-hal buruk.

Keberadaan payung dalam upacara sawer, mengajarkan untuk

selalu cermat dan bijak dalam memperhitungkan hal-hal terburuk yang

kemungkinan terjadi dan solusi untuk mencegahnya. Payung sebagai

pelindung agar bersikap hati-hati serta waspada terhadap berbagai

godaan. Selain itu, sebagai suami harus dapat menjadi pelindung bagi

istri dan anak-anaknya kelak.95

Petuah yang disampaikan dalam upacara sawer mengandung

makna bagi setiap pengantin yang mau menuju mahligai rumah tangga.

Didalamnya diajarkan bagaimana tugas seorang istri terhadap suami,

94

Dillistone, Op. Cit, hal. 130 95

Wawancara dengan Bu Jojoh, Juru sawer di Desa Cipicung, 20 Mei 2014, Pukul 14.00

WIB di rumahnya

66

tugas suami terhadap istri, bagaimana kewajiban suami dan istri, dan

harus dapat menjalankan roda rumah tangga. Wanita diibaratkan sebagai

kemudinya yang mengemudikan rumah tangga, dan suami berikhtiar

mencari rejeki untuk menafkahi istri. Laki-laki harus menjadi patoknya

dan wanita menjadi talinya. Selain itu dalam penaburan bahan sawer juga

tidak hanya membuang secara percuma, namun seolah-olah

melemparkan harta kekayaan yang harus dipunyai oleh kedua mempelai

pengantin setelah nanti berumah tangga dan sebagai petunjuk agar rumah

tangga setelah mulia dan berbahagia serta berkecukupan bekal, janganlah

sekali-kali menjadi orang yang tamak, melainkan harus suka menolong

dan memberi sedekah kepada siapa saja yang membutuhkan.

Dalam jurnal yang di tulis oleh Cepi Irawan, Upacara nyawer tidak

terlepas dari kelengkapan yang dulunya hanyalah menggunakan beras,

kunyit, sirih, dan uang logam, yang disimpan dalam satu wadah, namun

pada masa sekarang ada tambahan untuk perlengkapannya yaitu di

tambah dengan permen sebagai pelengkap.96

Dalam hal ini, terdapat

perbedaan dengan bu Jojoh sebagai juru sawer, yang mana beliau

berpendapat bahwa dulu menggunakan gula-gula, namun karena

sekarang sudah modern dan serba instan, gula-gula tersebut digantikan

dengan permen. Tetapi hal ini tergantung dengan juru sawer yang

membawakan, karena tidak wajib dan hanya sebagai siloka.97

96

Cepi Irawan, Op. Cit, hal. 93 97

Wawancara dengan Bu Jojoh, Juru sawer di Desa Cipicung, 20 Mei 2014, Pukul 14.00

WIB di rumahnya

67

Sedangkan menurut Ki Nana, berpendapat bahwa benda yang

pokok dan utama itu hanyalah beras, sedangkan yang lainnya hanyalah

sebagai pelengkap dan hiburan untuk meramaikan suasana. Karena beras

merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia yang berasal

dari padi atau biji-bijian yang kalau di tanam akan menghasilkan uang

sebagai bekal hidup berpisah dengan orang tua. Menurutnya,

Perlengkapan-perlengkapan yang sebagai tambahan selain beras,

tentunya mengandung simbol-simbol yang diciptakan si seniman dengan

bahasanya sendiri yang sangat spesifik. Simbol-simbol seni semata-mata

tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti saja, tetapi lebih

kepada suatu pesan untuk diresapkan.98

98

Wawancara dengan Ki Nana Kusmayana, Seniman di Ciamis, 15 Februari 2014, Pukul

17.00 WIB.