s_sej_020036_BAB IV

46
47 BAB IV PERANAN PADEPOKAN MUNGGUL PAWENANG DALAM MELESTARIKAN KESENIAN TRADISIONAL WAYANG GOLEK PURWA Bab ini merupakan interpretasi dari fakta-fakta yang terkumpul tentang keberadaan kesenian tradisional wayang golek purwa. Fakta-fakta ini diperoleh melalui sumber lisan (oral history) dengan menggunakan teknik wawancara serta berbagai sumber tertulis seperti buku, arsip, maupun karya tulis ilmiah. Pembahasan bab ini dikembangkan menjadi tiga sub pokok bahasan, yaitu pertama, perkembangan kesenian wayang golek purwa di Kota Bandung pada tahun 1980-1995. Kedua, memaparkan latar belakang munculnya Padepokan Munggul Pawenang. Ketiga, sikap dan pemikran Dede Amung Sutarya terhadap Dunia Padalangan. Keempat, upaya yang dilakukan oleh Padepokan Munggul Pawenang untuk mempertahankan esensi nilai dari sebuah pertunjukan wayang golek khususnya wayang golek purwa. 4.1. Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa di Kota Bandung. 4.1.1. Sejarah Masuknya Wayang Golek ke Priangan. Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang

Transcript of s_sej_020036_BAB IV

47

BAB IV

PERANAN PADEPOKAN MUNGGUL PAWENANG DALAM

MELESTARIKAN KESENIAN TRADISIONAL WAYANG GOLEK

PURWA

Bab ini merupakan interpretasi dari fakta-fakta yang terkumpul tentang

keberadaan kesenian tradisional wayang golek purwa. Fakta-fakta ini diperoleh

melalui sumber lisan (oral history) dengan menggunakan teknik wawancara serta

berbagai sumber tertulis seperti buku, arsip, maupun karya tulis ilmiah.

Pembahasan bab ini dikembangkan menjadi tiga sub pokok bahasan, yaitu

pertama, perkembangan kesenian wayang golek purwa di Kota Bandung pada

tahun 1980-1995. Kedua, memaparkan latar belakang munculnya Padepokan

Munggul Pawenang. Ketiga, sikap dan pemikran Dede Amung Sutarya terhadap

Dunia Padalangan. Keempat, upaya yang dilakukan oleh Padepokan Munggul

Pawenang untuk mempertahankan esensi nilai dari sebuah pertunjukan wayang

golek khususnya wayang golek purwa.

4.1. Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa di Kota Bandung.

4.1.1. Sejarah Masuknya Wayang Golek ke Priangan.

Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada

keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak

dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan

perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan

bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang

48

kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan

dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan

Kudus membuat bangun wayang purwo sejumlah 70 buah dengan cerita Menak

yang diiringi gamelan Salendro, pertunjukkannya dilakukan pada siang hari.

Wayang ini tidak memerlukan kelir, bentuknya menyerupai boneka yang terbuat

dari kayu bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Oleh karena itu,

disebut sebagai wayang golek. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang memiliki

anggapan bahwa seni pedalangan atau pewayangan di Pasundan berasal dari Jawa

Tengah. Hal ini didasarkan pada kejadian sejarah bahwa orang Sunda pernah

mendapat pengaruh dari Mataram. Terlebih masih adanya bukti-bukti yang

menguatkan, diantaranya dalam pola raut (keuretan) muka wayang dan mahkota

(hiasan dikepala) yang menyontek dari wayang kulit purwa. Kakawen atau suluk

masih menggunakan bahasa kawi dan Jawa, begitu pula dengan alur ceritera

mengikuti pola ceritera pujangga Jawa (Sutarya, wawancara, 27/12/2007).

Jadi tidak dapat dipungkiri lagi bahwa seni padalangan atau pawayangan

di Priangan datangnya dari Jawa Tengah, yang melewati Tegal dan Cirebon. Akan

tetapi, walaupun seni pedalangan dan pewayangan berasal dari Jawa Tengah tidak

semua pola pagelaran dalam pertunjukan wayang meniru wayang kulit purwa.

Karena, oleh seniman-seniman Sunda pola pagelaran wayang tersebut diolah dan

diserasikan dengan selera masyarakat Sunda, sehingga terjadi perbedaan antara

wayang golek purwa di Jawa Barat dengan wayang kulit di Jawa Tengah. Dengan

kata lain dalam pagelaran wayng golek purwa, kita memiliki sejak atau ciri khas

sendiri (Soepandi, 1988:23).

49

Dari beberapa sumber yang diperoleh penulis mengenai sejarah masuknya

wayang ke Priangan dijelaskan bahwa sekitar tahun 1244 M wayang telah masuk

ke Jawa Barat dibawa oleh Prabu Surya Amiluhur. Bahkan, Brandes berpenapat

sebelum datangnya pengaruh hindu para karuhun kita telah mengenal wayang.

Namun, dari pendapat-pendapat diatas kurang disertai oleh bukti-bukti yang

menguatkan kebenarannya.

Daerah Sunda yang pertama kali tersentuh oleh wayang golek yang

diciptakan Sunan Kudus adalah daerah Cirebon dengan nama Wayang Cepak

yang mulai dikenal di abad ke 16 pada zaman Panembahan Ratu (cicit Sunan

Gunung Jati). Setelah itu kemudian tersebar ke berbagai daerah terutama setelah

adanya jalan Pos yang dibuat antara tahun 1808 sampai 1811 maka

perkembangannya lebih jauh masuk ke daerah priangan. Hal ini, sejalan dengan

penjelasan Salmun, Ismunandar (1988) mengemukakan :

Mulai dari sinilah (Cirebon) wayang tersebar keseluruh penjuru. Pada waktu Priangan berada dalam pengaruh Mataram, wayang golek banyak disenangi oleh masyarakat Priyangan. Setelah terdapat jalan pos, yaitu tahun 1808-1811, maka ikatan keluarga lebih mudah dan wayang golek dari Cirebon makin jauh masuk ke wilayah Priyangan serta dalang-dalang makin bertambah banyak. Mulai saat itulah wayang golek disenangi oleh masyarakat Sunda

Gunardjo (1989), menjelaskan lebih jauh tentang munculnya wayang

golek purwa di Priangan :

Wayang golek purwa sunda baru dikenal di Priyangan pada awal abad ke-19. perkenalan masyarakat Sunda dengan pertunjukan golek dimungkinkan dengan dibukanya jalan raya Daendles yang menembus daerah isolasi darah-daerah Priyangan yang bergunung-gunung dengan daerah pantai

50

Dari keterangan di atas wayang golek purwa mulai dikenal dan

berkembang di Priangan pada abad ke-19 dengan dibukanya jalan raya Daendels

yang menembus daerah pedalaman. Atas dasar penelitian yang dilakukan oleh

Wiryanapura mengenai asal-usul dalang, didapatkan informasi mengenai sejarah

masuknya wayang ke Jawa Barat. Dijelaskan, pada masa jabatan bupati Bandung

Indradireja atau Adipati Wiranata Koesoemah II tahun 1794-1829 mendatangkan

dalang asal Tegal bernama Ki Dipa Permana yang bertugas menjadi dalang lebet

atau dalang tetap di Kabupaten. Selain mendalang Ki Dipa Permana juga

menurunkan keahliannya pada Ki Gubyar yang menyebarkan wayang di

Purwakarta dan Ki Klungsung yang menjadi guru dalang-dalang di Garut. Jadi,

dapat dikatakan bahwa Ki Dipa Permana merupakan leluhur para dalang

Pasundan atau Jawa Barat (Soepandi, 1988:33).

Setelah Adipati Wiranata Koesoemah II lengser dan digantikan oleh

Dalem Karang Anyar atau Adipati Wiranata Koesoemah III tahun 1829-1846,

beliau memanggil dua dalang asal tegal, yaitu Ki Darman dan Ki Surasungsing.

Kedua dalang tersebut mendapatkan tugas yang berbeda, dimana Ki Darman

ditugaskan untuk mencoba membuat wayang dari bahan kayu atau wayang golek

purwa dan kemudian menetap di Cibiru, sedangkan Ki Surasungsing membuat

gambelan sebagai pengiring jalannya pertunjukan wayang dan kemudian beliau

menetap di Cimahi. Sampai dengan sekarang Cibiru telah menjai sentral atau

kiblat dalam pembuatan wayang golek purwa dan sering disebut gaya Cibiruan,

disamping Jelekong sebagai pelopor pembaharuan bentuk wayang beserta

perubahan bentuk penyajiannya.

51

Pada awalnya bentuk wayang golek purwa yang dibuat oleh Ki Darman

masih berbentuk gepeng dimana pola rautnya masih meniru pada wayang kulit,

hal tersebut dilaterbelakangi oleh pengalaman Ki Darman sebagai juru wayang

kulit (pembuat wayang kulit). Keturunan Ki Darman kemudian melanjutkan

keahliannya sebagai pembuat wayang golek dan dalang, diantaranya Ki Arsip,

dalang Takrim (anak Ki Arsip). Pada awalnya pagelaran wayang golek purwa di

priangan dibawakan dalam bahasa Jawa, baru setelah Adipati Wiranata Kusumah

IV berkuasa, beliau memerintahkan seorang dalang asal Tegal yang bernama

Mama Anting untuk mendalang dengan menggunakan bahasa Sunda, namun

kakawennya tetap menggunakan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wayang golek purwa di

priangan muncul dan berkembang pertmakalinya di daerah Cibiru. Dari sinilah,

wayang golek mulai menyebar ke berbagai pelosok wilayah Jawa Barat. Sampai

saat ini di Priangan terdapat dua dinasti yang tetap eksis dalam mempertahankan

kesenian tradisonal masyarakat Sunda, yaitu Dinasti Sutarya (sejak kaler) dan

Dinasti Sunarya (sejak kidul). Kedua dinasti ini, hidup dan berkembang

mempengaruhi warna dan bentuk pertunjukan wayang golek daerah-daerah

lainnya di Jawa Barat.

4.1.2. Pasang Surut Pertunjukan Wayang Golek Purwa di Bandung

Pertunjukan Wayang di Jawa Barat pada kenyatannya mengalami pasang

surut dalam dinamika perubahan dan perkembangannya. Adapun kurun waktu

yang akan dipaparkan pada studi ini berkisar tahun 1950-an sampai 1980.

52

Dalam perjalannya seni pertunjukan wayang golek purwa lambat laun

mengalami perubahan dan perkembangan di tengah masyarakat sejalan dengan

kemajuan zaman. Perubahan yang terjadi dalam pertunjukan wayang golek pun

harus diterima oleh pemilik wayang tersebut baik yang bertolak dari tradisi atau

modern sama sekali. Untuk mengetahui sejauh mana perubahan tersebut, akan

penulis paparkan sebagai berikut.

Sekitar tahun 1950-an ke belakang, pertunjukan wayang masih sangat

subur terbukti dengan seringnya dilaksanakan pertunjukan wayang golek, atau

banyaknya peluang pementasan wayang di tengah masyarakat dalam perhelatan

dan sebagainya. Pertunjukan wayang golek pada tahun 1950-an masih mendapat

tempat dihati masyarakat. Peranan wayang untuk kepentingan kehidupan

dianggap sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat (Sutarya, wawancara,

27/12/2007).

Pada tahun 1960-an peranan pertunjukan wayang golek purwa sedikit

mengalami penurunan dibandingkan tahun 1950-an. Adapun faktor penyebabnya

adalah menurunnya frekwensi pertunjukan wayang golek purwa. Hal ini akibat

dari sikap dalang yang kurang meningkatkan mutu garapan sajian, karena

minimnya pengetahuan dan keteramplilan dalang itu sendiri, serta kurangnya

berlatih. Selain itu, faktor kurangnya ilmu yang diberikan atau diwariskan oleh

generasi sebelumnya baik mengenai kepiawaian olah garapan pewayangannya,

wawasan mengenai kompleksitas seni yang digelutinya, termasuk sempitnya

wawasan terhadap seni yang lain. Oleh sebab itu mereka mulai berani pentas

walaupun mereka belum dikatakan siap karena didorong oleh kebutuhan dirinya

53

maupun masyarakat sebagai penonton. Mereka terpaksa tampil seadanya dengan

pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang sangat kurang. Penenton

disuguhi pertunjukan yang kurang berbobot dan pada akhirnya kebiasaan

menikmati pementasan seperti ini mempengaruji apresiasi penonton.

Kemerosotan wayang golek purwa pada tahun 1960-an disebabkan oleh

faktor lain, yaitu dengan munculnya pesinden-pesinden dari kumpulan kiliningan

Sunda di Jakarta asuhan R. Toteng Johari. Perkumpulan kiliningan yang mengisi

acara rutin stiap minggu di gedung arca Jakarta. Dengan memanfaatkan media

informasi itu pesinden akhirnya banyak dikenal masyarakat, diantaranya: Upit

Sarimanah yang berasal dari Wanayasa Purwakarta dan Titim Patimah dari Jalan

Cagak Subang. Ditengah masyarakat kliningan pesinden Upit Sarimanah dan

Titim Fatimah menjadi pesinden idola dengan penampilannya yang khas dalam

membawakan lagu-lagu dan mengekspresikan lagu lewat alunan suara merdu,

keras dan kadang kala lembut volume suaranya. Disamping itu didukung pula

dengan gerakan-gerakan tangan dan gerakan tubuh diatas panggung (Yoyoh,

wawancara, 08/05/2009).

Dengan munculnya pesinden Upit Sarimanah dan Titim Fatimah, timbul

animo masyarakat didalam wayang golek purwa. Penanggap yang didorong oleh

masyarakat meminta supaya tempat duduk pesinden agak tinggi dari tempat

duduk dalang, dengan memakai level, bangku atau kursi (Madtayuda, wawancara,

27/12/2007).

Pengaruh dari meningkatnya fungsi sinden pada pertunjukan wayang

golek purwa itu, lambat laun peran pertunjukan wayangnya menjadi terlupakan

54

karena perhatian masyarakat atau penonton bukan lagi terhadap sajian pertunjukan

wayang golek melainkan terhadap kecantikan pesinden, kelembutan dan

kelincahan gerakannya. Jadi kenyatannya bukan wayang golek yang diiringi

sinden (disindenan) tetapi sinden yang diwayangi. Dengan kata lain, bukan sinden

sebagai pendukung wayang, tetapi wayang sebagi pendukung sinden (Sutarya,

wawancara, 01/03/2008).

Peranan dalang dalam pertunjukan wayang golek semakin pudar, bahkan

semakin rusak dan semerawut. Disamping penyajian lakon yang tersendat-sendat,

bahkan sering pula terjadi waktu pertunjukan wayang habis tersita oleh lagu-lagu

pesinden atas permintaan para penonton. Struktur lakon atau alur ceritera tidak

utuh lagi, dimana dalam pementasannya tidak lagi mementingkan adanya

pementasan awal, tengah dan akhir ceritera. Pada akhirnya makna, esensi dan

pesan lakon itu terputus tidak sampai ke penonton.

Menginjak tahun 1960-an pertunjukan wayang golek purwa di Jawa Barat

khusunya di kota Bandung semakin merosot dan menurun bahkan kurang diminati

oleh masyarakat karena pengaruh-pengaruh kesenian lain. Kondisi ini ditegasan

oleh Lubis (2003:324), dalam kehidupan sosial budaya tahun 1960-an terjadi

perubahan dikalangan generasi muda pribumi yaitu mulai berpalingnya kepada

jenis-jenis musik pop, seperti pop Barat, Indonesia, Sunda dan juga rock n roll,

akibatnya jenis musik tradisional Sunda, seperti tembang sunda, kecapi suling dan

cianjuran keudukannya semakin tergeser. Pengaruh tersebut dibawa oleh

masuknya kebudayaan asing ke Indonesia tak terkecuali di Jawa Barat. Budaya

55

asing itu masuk melalui mereka yang datang dari luar negeri, siaran RRI, radio

amatir dan siaran radio luar negeri.

Menginjak tahun 1975-an pengaruh dari seni lain, yaitu kiliningan,

ronggeng dan bajidoran dari daerah Subang dan Karawang mulai banyak

mempengaruhi pertunjukan wayang golek. Seni kiliningan yang menampilkan

beberapa sinden berduduk sejejer diatas panggung sudah menjadi kelaziman.

Sekitar awal tahun 1980-an pengaruh kesenian lain yaitu seni baru waktu

itu adalah jaipongan. Kesenian ini sangat digemari oleh semua lapisan masyarakat

Jawa Barat khususnya Bandung. Munculnya seni jaipongan sangat besar

pengaruhnya terhadap sajian pertunjukan wayang golek purwa. Pribadi dalang itu

sendiri membuka dan menerima kehadiran jaipongan, yang pada akhirnya terjadi

kolaborasi yang harmonis antara seni jaipongan dimana intro-intro gending

jaipongan sering digunakan dalam lagu-lagu tradisi seperti pada tatalu, badaya

dan lagu-lagu lainnya.

Begitulah yang terjadi dalam pasang surut pertunjukan wayang golek

purwa di Jawa Barat pada kurun waktu antara tahun 1950-an sampai pada tahun

1980-an. Secara terbuka dan realistis memang itulah kenyataannya yang

mengakibatkan mundur dan merosotnya nilai-nilai seni pedalangan dan

pewayangan.

Pada tahun 1980-an merupakan titik balik kejayaan wayang golek purwa

di bandung, hal ini dikarenakan adanya pelopor pembaharuan sajian kedua dinasti

dimana dari dinasti sunarya dipelopori oleh dalang Asep Sunandar Sunarya

sedangkan dari dinasti Sutarya dipelopori oleh Dede Amung Sutarya. Keduanya

56

merupakan dalang yang memiliki besik dan motivasi tinggi terhap wayang golek,

terbukti dari hasil kerja kerasnya wayang telah diakui oleh dunia internasional

khusunya oleh UNESCO sebagai salah satu kesenian adiluhung. Pertunjukan

wayang pada tahun 1980 sampai sekarang telah masuk dalam tatanam masyarakat

kelas menengah atas, bukan hanya tontonan masyarakat kelas bawah. Terbukti,

pada tahun 1980-an sampai 1995 wayang golek telah masuk ke Hotel-hotel

berbintang, mengisi acara-acara pemerintahan seperti (milangkala) ulang tahun

kota bandung bahkan pementasan wayang di Universitas-universitas ternama

dikota Bandung (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

4.2. Latar Belakang Munculnya Padepokan Munggul Pawenang

4.2.1. Profil Dede Amung Sutarya

Wayang adalah dunianya sejak kecil, Bukan saja dia dilahirkan dalam

lingkungan budaya yang menjadikan wayang adalah tradisi, tetapi sekaligus juga

dia merasakan kehidupan sebagai seorang dalang wayang golek puwa. Saat ini, di

samping menjadi dalang wayang golek purwa Dede Amung Sutarya juga sebagai

ketua umum Yayasan Padalangan di Jawa Barat.

Beliau merupakan salah seorang Sunda yang akan merasa sangat

kehilangan, jika kesenian wayang golek purwa musnah ditelan kemajuan

peradaban yang percepatannya sangat tinggi. Karena itulah, hingga urusan yang

kecil-kecil tentang wayang golek purwa sangat dia perhatikan. Siapa lagi yang

akan bangga kalau wayang golek akan tetap langgeng. Kemudian siapa pula yang

akan kehilangan apabila wayang golek musnah. Sekarang ini, sudah mulai banyak

57

kesenian tradisi kita yang malah dipelajari oleh orang asing, sementara kita sendiri

tidak pernah ambil peduli (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Dede Amung Sutarya merupakan salah seorang dalang dari dinasti

Sutarya. Beliau dilahirkan dari keluarga seniman, ayahnya I. Biharna merupakan

seniman Sunda yang sangat andal dan ibunya adalah Epon Permasih. Dede

Amung Sutarya dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1954. Belaui adalah anak ke-3

dari tiga bersaudara. Anak pertama, yaitu Amung Sutarya, kedua Ai dan ketiga

Dede Amung Sutarya. Beliau belajar mendalang pada kakanya yang dianggap

sebagai guru sekaligus ayahnya yaitu Amung Sutarya. Sejak kecil beliau tinggal

bersama kakanya dan tertarik dengan kemampuan teknik mendalang disamping

materi yang dimilikinya (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Ketertarikannya terhadap wayang khususnya sebagai seorang dalang telah

mengorbankan pendidikan formalnya. Dalam pandangan Dede Amung Sutarya

pendidikan itu sendiri dapat diperoleh dengan cara mengetahui dan memahami

karakter dari setiap tokoh wayang, jadi tidak semua pendidikan didapat dibangku

sekolah.

Jiwa seni yang mengalir dalam tubuhnya telah mendorongnya untuk maju

nenjadi salah seorang dalang muda yang kreatif dalam mempertahankan

keberadaan kesenian tradisional wayang golek purwa ditengah gempuran budaya

Barat yang mulai masuk dan berkembang ditengah-tengah masyarakat kota

Bandung pada tahun 1980-an hingga sekarang ini.

58

4.2.2. Latar Belakang dan Tujuan Didirikannya Padepokan Munggul

Pawenang

Padepokan Munggul Pawenang didirikan pada tahun 1966 oleh Dalang

Dede Amung Sutarya di Jl. Padasuka No. 287 Bandung Jawa Barat. Penamaan

padepokan munggul pawenang ini mengambil dari salah satu daerah dalam kisah

pawayangan, yaitu tempat tinggalnya tokoh Bima atau pandawa kedua yakni

Munggul Pawenang.

Dari hasil wawancara dengan dalang Dede Amung Sutarya, penamaan

padepokan tersebut tidak lepas dari pesan atau amanah ibunya. Ibu Epon Permasih

memberikan amanah jika anaknya (Dede Amung Sutarya) mendirikan padepokan

wayang golek ia harus menamakannya padepokan Munggul Pawenang. Hal ini,

dilatar belakangi oleh kesamaan kisah kelahiran Bima dengan Dede Amung

Sutarya. Dede Amung Sutarya dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan masih

terbungsus oleh selaput ketuban sama dengan kisah kelahiran Bima tokoh

Pandawa kedua dalam pawayangan.

Dede Amung Sutarya memulai karirnya sebagai dalang sejak kanak-

kanak. Ketika berusia 9 tahun dan masih duduk dibangku kelas lima SD beliau

sudah mulai aktif membantu pertunjukan kakanya, yaitu dalang Amung Sutarya

dalam setiap pementasan wayang golek purwa. Hal itu menyebabkan pendidikan

formalnya terbengkalai, dan mulai tahun 1966 Dede Amung Sutarya aktif sebagai

dalang wayang golek purwa dengan group Munggul Pawenang.

Pengalaman-pengalaman beliau selama nenjalani profesinya sebagai

dalang wayang golek purwa adalah pentas diseluruh daerah Jawa Barat dab

59

mengadakan pertunjukan diluar negeri seperti di Australia dalam rangka

mengikuti Festival Boneka Sedunia pada tahun 1992. Prestasi yang diraih oleh

beliau adalah juara umum Binojakrama pada tahun 1980, juara I Festival Boneka

Sedunia di Australia bersama Ki Anom Soeroso dari Tegal. Pada saat ini beliau

aktif sebagai ketua Yayasan Padalangan Pusat Jawa Barat, selain itu beliau

merupakan tokoh budayawan Sunda yang mempertahankan eksistensi budaya

Sunda di era globalisasi. Kecintaan terhadap wayang golek bagi beliau sudah

menjadi jalan hidupnya hingga sekarang ini.

4.3. Sikap dan Pemikiran Dede Amung Sutarya Terhadap Dunia

Pedalangan

4.3.1. Panca Bakti dan Tangkal Rahayu Ningrat

Kaluhungan seni padalangan khususna wayang golek anu sumebar hirup

di Tatar Sunda, salilana kudu tetep nanjeur, dijaga tur dimumule, sok sanajan

dina kaayaan kumaha oge, ieu sakabeh mangrupa tanggung jawab dalang anu

migawena. (keadiluhungan seni padalangan khususnya seni wayang golek yag

tumbuh dan berkembang di tatar Pasundan Jawa Barat harus tetap terjaga dan

terpelihara sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun, dan itu semua tergantung

kepada dalang sebagai pelakunya). (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Pernyataan tersebut merupakan wasiat langsung dari Dede Amung Sutarya

yang ditujukan kepada para dalang khususnya pada putra Dede Amung Sutarya

sebagai generasi penerusnya dari dinasti Sutarya. Dede Amung Sutarya dalam

mendidik dan menerapkan ilmu padalangan kepada putra dan para muridnya

60

selalu diingatkan bahwa hakikat tugas seorang dalang bukan hanya semata-mata

menghibur dan menghasilkan uang saja, melainkan dalang harus memberikan

penerangan dan pendidikan moral serta spiritual kepada masyarakat.

Keadiluhungan seni wayang golek, pada hakekatnya harus dapat

memberikan dan menciptakan dimensi memayu hayuning jalma yang artinya

meningkatkan kesadaran tentang makna dan martabat hidup manusia. Memayu

hayuning praja yang artinya meningkatkan arti kehidupan bermasyarakat dan

bernegara dan memayu hayuning bawana artinya menjaga dan meningkatkan

makna kata kehidupan didunia yang lebih baik.

Kunci poko dan esensi tugas dalang adalah harus menegakan panca bakti,

yang artinya lima bakti (pengabdian), yaitu:

1. Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Berbakti kepada orang tua

3. Berbakti kepada guru

4. Berbakti kepada sesama

5. Berbakti kepada pemerintah dan negara.

Sebagai orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, tentunya tidak

hanya cukup dengan hanya tekun beribadah saja, tetapi harus disertai dengan

berbudi kepada kedua orang tua yang telah mendidik, memelihara dan

membesarkan hingga dewasa. Pendidikan pekerti yang tujuannya untuk

menanamkan kepribadian seseorang yang baik, tidak cukup dengan melalui

pendidikan formal dibangku sekolah saja, tetapi dengan pertunjukan wayang pun

bisa berlangsung melalui filterisasi dalang yaitu, Silib, Sindir, Siloka, Simbul dan

61

Sasmita yang menurut paham tradisi padalangan Sunda disebut Panca Curiga

atau Panca S.

Tindak lanjut setelah manusia berbakti terhadap Tuhan, berbakti terhadap

orang tua, dan berbakti kepada guru, maka manusia harus dapat berbakti kepada

sesama sebagai manipestasi kehidupan bermasyarakat melalui pergaulan dengan

sesama anggota masyarakat. Misi tersebut dalam pertunjukan wayang harus

tersajikan melalui lakon yang dibawakan oleh dalang, sehingga penonton merasa

terbekali sebagai suatu ajaran moral dan etika dalam masyarakat.

Untuk lebih menyempurnakan keempat azas kehidupan diatas, maka

manusia dituntut untuk mampu berbakti kepada pemerintah dan negara sebagai

tempat tinggal pada status kewarganegaraan yang sah. Manusia membutuhkan

ketenangan dan kenyamanaan dalam melaksanakan peribadatannya, manusia

membutuhkan perlindungan jaminan keamanan bagi pribadi dan keluarganya,

manusia membutuhkan sarana belajar (sekolah) yang aman dan nyaman, manusia

memerlukan ketentraman dalam hidup bermasyarakat, bertetangga dan bernegara,

sehingga kesemuanya memerlukan adaya pemerintahan yang bersih dan

berwibawa. Apabila mausia sudah berbakti kepada pemerintah dan negara maka

kelima azas (Panca Bakti) dapat berjalan dengan lancar dan sempurna, sehingga

tercapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Kelima azas inilah merupakan roh dari pertunjukan wayang, yang oleh

dalang-dalang keturunan dinasti Sutarya sangat dijungjung tinggi terlebih oleh

Dede Amung Sutarya.

62

Adapun Tangkal Rahayu Ningrat menurut Dede Amung Sutarya adalah

sebagai wujud dari implementasi manusia agar mencintai lingkungan alam sekitar

tempat berlangsungnya kehidupan. Tangkal Rahayu Ningrat berasal dari bahasa

Sunda yang artinya pohon kehidupan yang dapat memberikan air kehidupan bagi

makhluk hidup di jagat raya pramudiata. Apabila manusia telah mengamalkan

panca bakti dengan baik, maka dengan sendirinya akan dapat menjaga dan

melestarikan Tangkal Rahayu Ningrat.

4.3.2. Dalang Harus Jembar Manah (Bersifat Terbuka)

Kekreatoran Dede Amung Sutarya sebagai dalang kondang, secara prinsipil

dalam jiwa kehidupan berkeseniannya, ia menganut konsep “kudu miindung ka

waktu mibapa ka zaman” yang artinya seorang seniman dalang harus mengikuti

perubahan waktu dan perkembangan zaman. Konsep inilah yang mendasari sikap

dan mentalitas Dede Amung Sutarya dalam mensikapi erkembangan zaman

melalui berbagai bentuk kreatipitas didalam lingkup seni wayang golek purwa

sebagai dunianya.

Keberadaan Dede Amung Sutarya yang dibesarkan dilingkungan dunia

tradisi dalam kesenimannya menjadikan lebih respek terhadap berbagai tantangan

yang mengitarinya. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa kedudukan seni

wayang golek sebagai kesenian tradisional, maka dipandang sebagai suatu seni

yag memiliki nilai tinggi serta potensial untuk dikembangkan, sehingga mampu

sejajar dengan seni-seni modern dalam era persaingan global. Dede Amung

63

Sutarya berprinsif bahwa wayang golek adalah dunia saya, dan saya harus bisa

hidup dengan wayang golek dengan menjadi dalang yang berhasil.

Tradisi bukan harus ditinggalkan bahkan ditakuti, tetapi tradisi harus

disajikan sebagai sumber inspirasi untuk lebih dikembangkan, sehingga seni

tardisi tetap terjaga dan terpelihara, mampu hidup sejajar dengan perkembangan

zaman. Dengan bertolak dari pernyataan tersebut, maka Dede Amung Sutarya

lebih leluasa bersikap dan berkarya melalui bentuk-bentuk kreativitas dengan

tetap menjungjung tinggi etika dan norma padalangan dalam persfektif kreativitas

berkesenian.

Dengan berbekal kejembaran jiwanya yang terbuka, Dede Amung Sutarya

menerima kritik dan tanggapan yang datang dari masyarakat dijadikan sebagai

guru yang akan membawa hikmah terhadap perjalanan karirnya sebagai dalang.

Dede Amung Sutarya menampakan diri sebagai sosok yang harus belajar, tidak

merasa sudah cukup dalam berkarya, selamanya ingin mencari dan menemukan

yang baru sepanjang tidak bertentangan dengan etika dan norma-norma yang

berlaku.

4.4. Upaya Padepokan Munggul Pawenang dalam Mempertahankan Nilai

Pertunjukan Wayang Golek Purwa.

4.4.1. Problema Melestarikan dan Pengembangan Wayang Golek Purwa

Dewasa ini perkembangan dunia pewayangan menimbulkan penilaian

yang beragam. Sebagaian ada yang menilai bahwa pergelaran wayang golek

semakin marak. Banyak perubahan yang dialami selama beberapa puluh tahun

64

terakhir ini. Kreatifitas para seniman pedalangan baik sebagai dalang maupun

sebagai seniman karawitan telah menunjukkan kemampuannya membawa

perkembangan baru dalam garapan seni pedalangan. Sebaliknya ada sebagian

kelompok yang menilai bahwa seni pedalangan sekarang telah mandeg, kreatifitas

para seniman pedalangan tidak berkembang dan bahkan mengalami kemerosotan

mutu seni yang sangat drastis (Sumitra, wawancara, 28/12/2007).

Penilaian yang beragam itu kiranya akan menjadi agak jelas bila kita

mengadakan studi perbandingan antara kondisi dan situasi seni pedalangan

dewasa ini dengan seni pedalangan pada kurun waktu sebelum masa

kemerdekaan. Sebelum merdeka tiap daerah mengembangkan keseniannya sendiri

sesuai dengan sistem nilai budaya etnisnya masing-masing, termasuk wayang dan

semi pedalangannya. Pada masa ini seni pedalangan terutama yang tumbuh dan

berkembang di lingkungan masyarakat penikmatnya sudah mencapai kemapanan

dengan kaidah-kaidah yang ketat dan mantap. Namun seperti halnya setiap unsur

kebudayaan, seni pedalangan selalu mengalami perubahan berkat kreatifitas para

seniman yang dapat timbul setiap saat dan merupakan inovasi dalam penggarapan

wayang golek dan seni pedalangan.

Bagi seniman berkarya dalam seni adalah sebagai pengabdian jiwanya

terhadap seni secara total dan sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan

jiwanya dengan Sang Maha Pencipta. Seni sebagai ungkapan rasa keindahan

dalam pandangan para seniman wayang tiada lain hanya bersumber pada sang

Maha Pencipta. Dengan sikap dan pandangan hidup seperti itu terciptalah karya

seni yang bermutu tinggi dan yang kemudian dikenal sebagai seni klasik atau seni

65

adiluhung. Dalam seni pedalangan pun tercapai suatu kemapanan dengan kaidah-

kaidah yang amat ketat untuk menjamin mutu seninya. Seni pedalangan pada

masa itu dirasakan kuat berakar pada kebudayaan etnisnya sesuai dengan citarasa

pendukungnya. Pengertian citarasa tidak hanya terbatas pada nilai estetis saja,

tetapi meliputi nilai kehidupan tradisi, filsafat dan pandangan hidup serta

ungkapan budaya masyarakatnya.

Penguasaan dalang di bidang seni pedalangan yang meliputi berbagai

unsur seperti apa yang telah ditegaskan dalam tetekon padalangan Jawa Barat,

telah dipolakan sebagai tradisi yang mapan dan diperkokoh oleh tuntunan harapan

estetis masyarakat penontonnya. Jadi baik dalang maupun penonton terikat pada

konvensi-konvensi dan idiom-idiom seni pedalangan yang dianggap sudah mapan

sebagai seni klasik dan adiluhung. Wayang dalam pandangan masyarakat Jawa

Barat menjadi semacam mitos, bukan saja dianggap sebagai karya seni tetapi di

dalamnya terkandung juga daya magis yang perlu disikapi dengan penuh hati-hati.

Merombak pakem pedalangan klasik dianggap dapat membawa akibat buruk yang

bersifat gaib (Soepandi, dkk. 1988:17).

Setelah negara kita merdeka tahun 1945 timbulah pergolakan yang cukup

drastis dalam kehidupan seni budaya, termasuk dunia seni pewayangan dan seni

pedalangan. Perubahan sisitem nilai budaya masyarakat Jawa Barat khususnya

Bandung mengakibatkan perubahan citarasa dalam kehidupan masyarakat

termasuk pertumbuhan dan perkembangan keseniannya. Timbulnya kesadaran

nasional membawa akibat bagi kehidupan seni budaya etnis. Dunia kehidupan

yang semula utuh bulat dengan sistem nilai budaya yang mapan menjadi goyah.

66

Norma-norma kehidupan sosial budaya masyarakat mengalami pergeseran dan

berkembang norma-norma baru sesuai dengan tuntutan zaman.

Sementara itu pengaruh unsur-unsur kebudayaan luar semakin gencar

melanda masyarakat Indonesia yang berakibat berubahnya tata nilai yang semula

telah mencapai kemapanan. Kegelisahan timbul di kalangan para seniman tua

sebagai pendukung seni pedalangan klasik tradisional. Di lain pihak mitos adanya

seni adiluhung yang mengandung unsur kesakralan lambat laun semakin menipis,

terutama di kalangan seniman muda atau dalang-dalang era tahun 80-an. Kaidah-

kaidah dan idiom seni pedalangan klasik adiluhung mengandung unsur feodalisme

dan banyak unsur-unsur kesakralan yang sudah tidak sesuai dengan

perkembangan jaman. Namun di lain pihak diakuinya bahwa dalam seni klasik

adiluhung itu terkandung mutu seni yang sangat tinggi (Sutarya, wawancara,

08/05/2009).

Dengan perubahan sikap itu maka terbukalah hasrat di kalangan seniman

muda untuk mengembangkan kreativitas yang baru dengan memanfaatkan seni

pedalangan klasik sebagai sumber inspirasi dan bahan garapannya yang baru.

Wayang dan seni pedalangan menjadi lahan garapan yang terbuka lebar, tinggal

tergantung pada kepekaan rasa seni dan daya kreativitas para penggarapnya. Seni

pedalangan yang didukung oleh seperangkat unsur teatrikal yang serba artistik

mulai menjadi bahan garapan para seniman angkatan baru yang merasa tidak

harus terikat secara ketat pada kaidah-kaidah seni pedalangan lama. Dalam

kenyataannya di satu pihak kepekaan rasa estetisnya tetap terjaga sehingga unsur

seni pedalangan yang dirasakan cukup tinggi mutunya tetap dijaga kelestariannya,

67

namun dilain pihak terjadi pendangkalan mutu seni karena penggarapnya kurang

mendalami makna estetis-filosofis dari unsur-unsur seni pedalangan yang

digarapnya. Istilah pelestarian mengandung pengertian mempertahankan dan tetap

mentradisikan unsur-unsur seni yang lama.

Sekalipun demikian dalam upaya pelestarian itu disadari pula bahwa bila

tidah melahirkan kreatifitas baru seni pedalangan akan kehilangan daya pesonanya

di kalangan para pendukungnya. Dengan demikian pelestarian setiap seni

menuntut kreativitas para senimannya sehingga terjadi perkembangan yang

hasilnya mengandung unsur tradisi dan sekaligus juga inovasi. Hasil kreativitas

yang berupa garapan seni pedalangan yang bercorak baru dan memukau penonton

itupun pada saatnya juga akan dirasakan membosankan dan menuntut kreativitas

lain yang lebih marak dan segar (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Melestarikan seni pedalangan klasik adiluhung tanpa upaya

pengembangan ternyata tidak dapat menjamin daya pesona penonton, sebab hal

itu berkaitan erat dengan tingkat apresiasi dan citarasa masyarakat penontonnya.

Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pelestarian wayang golek purwa

yang semata-mata mempertahankan unsur-unsur klasik tradisional tanpa disertai

pengembangan yang berupa hasil kreatifitas yang memadai justru akan

membekukan seni pedalangan itu sendiri.

Banyak dalang profesional yang tanggap akan situasi demikian itu dan

bagi yang merasa tidak mampu mengembangkan daya kreativatasnya sendiri

maka cara yang ditempuh adalah mencontoh dalang-dalang yang dianggap

berhasil. Hanya saja seringkali yang dicontoh adalah hal-hal yang justru yang

68

bersifat hiburan semata-mata, sedangkan hal-hal yang baik dan bermutu seni tidak

ditekuninya. Akibatnya, seni pedalangan mengalami kemerosotan dan semakin

lama semakin parah. Pertimbangan komersial sering menyeret para dalang untuk

mempergelarkan wayang asal ramai, lucu dan mendapat sambutan meriah dari

penonton, tetapi sayangnya sering mengorbankan nilai-nilai estetis dari seni

pedalangan itu sendiri (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Bila dicermati dengan seksama sebenarnya tiap unsur teatrikal pergelaran

wayang merupakan lahan untuk digarap secara kreatif. Talah banyak eksperimen

yang dilakukan, terutama dikalangan lembaga pendidikan seni dan yang memiliki

jurusan pedalangan. Hasilnya yang nyata antara lain berupa garapan pakeliran

padat. Dalam garapan itu semua unsur pendukung pergelaran mendapat perhatian

secara optimal. Dan penjelajahan di bidang seni pedalangan ini juga memberikan

dampak positif bagi pengembangan seni pedalangan pada umumnya. Namun

karena karya tersebut merupakan hal yang baru dan penggarapannya pun kadang-

kadang terlampau drastis maka masyarakat penonton yang sudah akrap dengan

seni pedalangan gaya lama kurang dapat memberikan apresiasi terhadap garapan

baru itu.

Ratusan bentuk lakon yang menunggu sentuhan kreatif para dalang masa

kini untuk dapat lebih menyentuh rasa etis dan estetis penonton, sehingga fungsi

pergelaran wayang golek purwa sebagai suatu karya seni benar-benar dapat

memenuhi kebutuhan penonton, akan kenikmatan dan kemanfaatan. Kenikmatan

dapat dicapai dengan penyajian garapan seninya, meliputi seni gerak (sabetan),

seni rupa (indahnya wayang golek dan penatahan panggung), seni suara (sulukan,

69

tembang, gending-gending, sindennya dan lainya), seni drama (plot penyajian

lakon), seni sastra (indahnya bahasa pedalangan, meliputi dialog dan narasi), dan

masih banyak lagi unsur-unsur lainnya yang menampilkan garapan estetis.

Kemanfaatan dapat dicapai dengan menerima pesan-pesan yang sarat dengan

nilai-nilai etis dan moral, serta mengundang perenungan dalam upaya

pengembangan kepribadian seseorang.

Dewasa ini banyak keluhan yang terlontar, terutama di kalangan pencinta

wayang golek purwa yang memiliki daya apresiatif dalam seni pedalangan, baik

sebagai warga masyarakat biasa maupun sebagai seniman, pembina, pejabat,

cendikiawan dll. Keluhan itu timbul setelah menyaksikan pergelaran wayang

masa kini yang cenderung mengutamakan segi hiburannya semata-mata atas

pertimbangan komersial. Berbagai cara telah ditempuh agar pergelaran wayang

tidak ditinggalkan oleh penonton (Madtayuda, wawancara, 27/12/2007).

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat menengah dan bawah yang

dirasakan cukup berat menjadi salah satu faktor untuk mencari hiburan santai dan

ringan, padahal kegemaran penonton wayang telah berkembang menjadi tuntutan

untuk dipenuhi. Akibatnya dengan tataran apresiasi yang kurang memadai itu

tuntunan rasa estetis terhadap pergelaran wayang menjadi sangat lemah.

Adegan yang menjadi harapan rekreatif oleh penonton terbatas pada unsur

lawakannya. Untuk melayani selera penonton seperti itu maka adegan-adegan

banyolan atau humor yang dirasakan rekreatif dijadikan sebagai pusat perhatian

para dalang untuk menggarapnya secara optimal. Upaya ini samapi melibatkan

para tokoh-tokoh pelawak dalam adegan-adegan tersebut meskipun harus

70

menyimpang dari bingkai pakelirannya atau dengan kata lain telah keluar dari

tetekon padalangan. Tidak dapat dipungkiri penggunaan bahasa dalam

pertunjukan wayang golek oleh generasi muda sering menyerempet ke hal-hal

pornografi, walaupun hal itu didasari oleh karakteristik orang Sunda yang sering

disebut cawokah. Dengan cara demikian tujuan komersial dari pergelaran wayang

dapat tercapai bahkan sering sangat sukses.

Dalam hal ini dalang sering dihadapkan pada suatu dilema. Sebagai

seniman yang mengutamakan pertimbangan estetis seni pedalangan rasanya

tuntutan selera penonton sedemikian itu menjadi beban mental yang cukup berat.

Tetapi di lain pihak pertimbangan komersial sering menipiskan pertimbangan

yang pertama. Apalagi jika diingat bahwa dalang harus mampu memenuhi

keinginan dan harapan si penanggap, terutama panitia penyelenggaranya (Sutarya,

wawancara, 08/05/2009).

Cara-cara memukau penonton seperti itu kiranya hanya merupakan suatu

mode sesaat. Pada saat tertentu penonton akan merasa jenuh dan mengharapkan

rekreasi baru dalam pergelaran wayang. Sayangnya kreatifitas para dalang itu

mengarah pada selera penonton yang masih kurang memadai tataran apresiasi

seninya. Maka jika hal ini dibiarkan berlarut-larut seni pedalangan semakin lama

akan kehilangan nilai-nilai etis dan estetisnya. Dan hal ini telah menimbulkan

kepribadian yang sangat mendalam di kalangan para pembina seni pedalangan

baik perorangan maupun kelembagaan, Pemerintah atau swasta.

Dukungan media masa dalam pembenahan seni pedalangan yang etis dan

estetis sangat dibutuhkan, mengingat bahwa seni pedalangan merupakan salah

71

satu sarana pendidikan budi pekerti yang cukup ampuh terutama bagi anak-anak

sebelum dewasa. Namun pada umumnya media masa kurang cukup memaparkan

kritik-kritik yang dapat turut mengembangkan seni pedalangan secara sehat.

Kritikus di bidang seni pedalangan masih sangat terbatas, dan bila ada dianggap

kurang cukup berwibawa untuk membawa perubahan-perubahan sikap dikalangan

para dalang masa kini dan kurang mampu mengembangkan dan meningkatkan

apresiasi seni masyarakat (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Penelitian tentang kehidupan seni pedalangan yang penulis dapatkan

masih sangat terbatas. Bukan saja dari segi keseniannya tetapi yang lebih penting

adalah sistem nilai budaya masyarakat pendukungnya, sebab lahirnya unsur

kebudayaan dalam kehidupan masyarakat berpangkal pada sistem budayanya.

Perubahan sistem nilai budaya yang dialami masyarakat pada zaman modern dan

dalam era globalisasi dewasa ini cukup besar. Penelitian di bidang kesenian tidak

dapat dipisahkan dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, meliputi sistem ekonomi,

sistem teknologi, sistem organisasi sosial, sistem religi, sistem pengetahuan dan

bahasa. Telaah wayang dan seni pedalangan secara holistik diharapkan dapat

menjawab problema-problema yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini.

Setelah membandingkan dua kondisi dan situasi seni pedalangan berikut

sikap dalang dan masyarakat penontonnya dari dua kurun waktu yang berbeda

maka dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni pedalangan dewasa ini dan

masa depan perlu dicermati problema-problema apa yang menjadi hambatan bagi

upaya tersebut.

72

Problema yang sangat meresahkan para pecinta wayang golek purwa

adalah penggarapan pakeliran yang menyimpang dari nilai-nilai etik dan moral.

Penyebabnya bersumber dari hasrat para dalang yang merasa kawatir akan

kehilangan penontonnya, dan hal ini akan mematikan sumber mata pencariannya.

Pada awalnya garapan yang mengutamakan segi hiburan itu mendapat sambutan

meriah sehingga dari segi komersial dianggap sukses. Namun kesuksesan itu

mengakibatkan baik dalang maupun penontonnya menjadi kecanduan dan meluas

bagaikan wabah yang menjangkiti para dalang-dalang muda lainnya (Sutarya,

wawancara, 08/05/2009).

Dewasa ini situasi seni pedalangan yang kejangkitan wabah itu tampak

semakin parah. Pergelaran wayang golek purwa yang semula merupakan seni

klasik adiluhung kemudian tak ada bedanya dengan tontonan kemasan seperti

sandiwara, ludruk, lenong, srimulat dan lainnya. Tuntutan dan harapan penonton

sewaktu menonton pertunjukan lambat laun dibebankan pada pergelaran wayang

golek sehingga para dalang dengani pertimbangan komersial berupaya

memenuhinya walaupun sebenarnya mereka tahu bahwa hal itu menyimpang dan

keluar dari tetekon padalangan.

Kondisi dan situasi pergelaran wayang yang semakin parah itu sangat sulit

untuk ditanggulanginya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh padepokan munggul

pawenang diantaranya melalui seminar, sarasehan, dan forum-forum diskusi,

bahkan sampai pada penyusunan kode etik yang diselenggarakan oleh Yayasan

Padalangan.

73

4.4.2. Struktur Penyajian dalam pertunjukan Wayang Golek Purwa

Wayang golek sebagai bentuk teater tradisional, pada dasarnya memiliki

pola tersendiri kaitannya dengan alur lakon yang dibawakan, dan itu lazim disebut

pola pangadegan. Pola pangadegan dalam model teater tradisional tersebut, tidak

berorientasi kepada tokoh, melainkan kepada tempat. Maka pola pangadegan itu

pun merupakan siklus: keraton - luar keraton - keraton. Pola inilah yang dalam

pertunjukan wayang golek selalu digunakan oleh para dalang, dengan gaya dan

cara pengungkapannya yang berbeda (Saini KM, 2001:16).

Kraton adalah lambang kosmos yang stabil, dimana raja sebagai pusat

kosmos secara mantap berada ditempatnya dan berada dalam hubungan hierarchis

yang harmonis dengan bagian-bagian kosmos lainnya. Kemantapan ini

memancarkan pengaruhnya kesegala arah dan memungkinkan daerah-daerah yang

berada di wilayah kerajaan berbeda didalam kemantapan pula, yaitu keadilan,

kemakmuran, keamanan dan ketertiban.

Kemantapan dan harmoni ini diguncangkan dan terancam ketika datang

berita adanya gerakan pengacau atau agresi penyerangan. Maka mulailah bagian

pola yang kedua (luar keraton) yang penuh dengan ketidak pastian, bahaya,

percobaan, pengorbanan dan sebagainya. Melalui perjuangan, ancaman dan

guncangan tersebut dapat diselesaikan ndan akhirnya kosmos kembali stabil

memasuki adegan keraton sebagai periode terakhir. Dengan demikian, pola

pangadegan dengan menggunakan parameter siklus kosmos dalam lakon

pawayangan adalah merupakan struktur umum dan golbal sebagai alur ceritra

berdasarkan orientasi tempat.

74

Bertolak dari pola global tersebut, Dede Amung Sutarya mencoba

mengembangkan kembali melalui gaya pertunjukannya sendiri, melalui pla-pola

pembabakan yang sudah dibakukan dan berlaku untuk setiap lakon yang

dipertunjukan. Pola yang dimaksudkan adalah berupa pola suatu metode

tersendiri, untuk memenuhi selera penonton dari berbagai tempat yang beragam.

Keadaan ini bagi Dede Amung Sutarya merupakan suatu tantangan sekaligus

sebagi momen yang baik untuk dimanfaatkan. Menurut pemikirannya, selera

penonton dari setiap daerah harus terpenuhi dengan cara mengangkat isu hangat

yang sedang terjadi di tempat bersangkutan, sehingga aspirasinya merasa

tersalurkan melalui dialog suatu tokoh wayang atau pada bedrip (adegan) tertentu.

Metode yang dianggap praktis oleh Dede Amung Sutarya yaitu dengan

cara mencoba memancing emosi penonton melalui materi aspek problematika

yang beragam dan kondusif, seperti membahas tentang ajaran ahlak (tauhid),

politik atau kritik kepada pemerintah dan oknum, guyonan dan isu umum yang

sedang mencuat. Cara seperti ini dilakukan pada adegan pertama, di saat-saat

penonton menikmati kesan pertama dari pertunjukan. Setelah itu, maka selera atau

keinginan emsi penonton dapat terbaca aspek mana yang mendapat perhatian atau

respon, sehingga dalang Dede Amung Sutarya terus mengikuti dan membawanya

ke arah yang lebih larut dan kmunikatif antar dalang dengan penonton. Metode

inilah yang menjadi tolak ukur membawa emosi penontn agar larut dalam esensi

pertunjukan wayang golek (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Menurut pandangan Dede Amung Sutarya sebagai dalang wayang golek

purwa, pada prinsipnya penonton wayang golek terbagi menjadi tiga kelompok,

75

yaitu penonton yang hanya mementingkan unsur hiburan saja, penonton yang

memperhatikan keutuhan pertunjukan termasuk artistik, kekompakan pangrawit,

sabet wayang, kualitas suara sinden dan ketiga adalah kelompok penonton yang

mampu menghayati isi dan makna ceritra yang dibawakan, biasanya kelmpok

penonton ini tidak mementingkan melihat langsung, tetapi memilih tempat yang

aman dan tentram agar bisa konsentrasi dalam menghayati isi lakon. Ketiga

kelompok inilah yang oleh Dede Amung Sutarya dijadikan sebagai suatu bahan

pertimbangan penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pertunjukan

wayang golek purwa yang dibawakan.

Metode lain yang dipergunakan oleh Dede Amung Sutarya dalam hal

mengikat penonton agar tidak cepat meninggalkan tontonannya adalah dengan

teknik penangguhan atau menyisakan permasalahan dari tiap-tiap babak agar

timbul rasa penasaran penonton. Sehingga dengan setia mengikuti babak

selanjutnya meskipun diselingi oleh lagu-lagu dari sinden, hal ini juga

dimanpaatkan oleh dalang untuk beristirahat sejenak. Hal-hal seperti inilah yang

membedakan Dede Amung Sutarya dengan dalang-dalang lainnya dalam suatu

pertunjukan wayang golek purwa, metode-metode semacam ini oleh dalang-

dalang lain tidak diterapkannya sehingga mereka tidak memiliki formulasi

pertunjukan yang baku dan mandiri.

4.4.3. Bentuk-bentuk kereativitas yang diutamakan

Kekeratoran Dede Amung Sutarya dalam menekuni bidangnya sebagai

dalang sangat didasari oleh bakat dan intelegensi yang dimilikinya. Intelegensi

merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam

76

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini

terdapat kemampuan-kemampuan yang spesifik. Kemampuan-kemampuan yang

spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan

tercapainya pengetahuan dan kecakapan atau keterampilan tertentu setelah melalui

suatu latihan, maka inilah yang disebut bakat (aptitude). Salah satu definisi yang

dikemukakan oleh David Weshler bahwa intelegensi adalah kemempuan uantuk

bertindak secara terarah, berpikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya

secara efektif (Irwanto, 1989:166).

Kretifitas merupakan fenomena sosial budaya disamping sebagai

fenomena psikologi, keduanya memiliki hubungan yang erat. Kreativitas

mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui

kreativitas yang dimilikinya, manusia memberikan bobot dan makna terhadap

kehidupannya. S.C.U. Munandar berpendapat bahwa, kretivitas merupakan

kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan orsinilitas dalam

berpikir serta kemampuan untuk elaborasi (mengembangkan, memperkaya dan

merinci) suatu gagasan (Soepardi, 1994:22).

Kaitanya dengan pernyataan-pernyataan diatas, maka proses kreatif

seorang dalang dapat berlangsung terkondisikan dengan adanya dorongan dan

pengaruh lingkungan tempat dimana ia tinggal. Pengaruh faktor lingkungan dan

faktor bawaan (garis keturunan), keduanya sangat mentukan seseorang bisa

menjadi kreatif dan berjiwa inovatif. Termasuk sosok Dede Amung Sutarya yang

memiliki bakat seni seperti saudara-saudaranya, namun daya kreatif yang mereka

miliki berbeda dan tingkatannya. Faktor ekternal (personal experience) dan faktor

77

internal (personality characterristic) dapat mempengaruhi daya kreativitas

seseorang. Kreativitas seniman dapat diamati melalui simbol imajinatif yang

dihadirkan lewat karyanya, simbol balam karya seni mereupakan “bahasa” pribadi

yang difungsikan seniman untuk berkomunikasi dengan penikmatnya (Narawati,

1998:80).

Melalui kepekaan daya imajinatif, inovatif, analisis dan interpretasinya

yang kuat, maka Dede Amung Sutarya mencoba mengolah enam aspek atau

elemen dasar teater tradisi (seni padalangan) sebagai wujud kreativitas

kekaryaannya. Ke enam aspek tersebut adalah sebagai berikut:

A. Aspek Sabet (Garapan Wayang)

Salah satu unsur garapan dalang selama pertunjukan berlangsung adalah

sabetan atau lebih dikenal garap wayang, meliputi tarian atau ibingan dan perang

wayang. unsur ini sangat penting untuk menunjukan seseorang dalang sudah

mahir dan layak pentas sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Sabetan

dianggap penting, sebab pertunjukan wayang golek adalah pertunjukan yang

memvisualisasikan gerak wayang, artinya wayang golek (boneka kayu) harus

berekting (action) dengan penuh penjiwaan (ekspresif) sesuai tokoh wayang yang

bersangkutan. Apabila dalang tidak mampu menampilkan gerak atau sabetan

wayang dengan penuh keluwesan dan penjiwaan, maka visi pertunjukan melalui

lakon yang dibawakan tidak akan sampai kepada penonton (tidak komiunikatif).

Dengan demikian penonton tidak akan mendapatkan kesan estetis yang

berarti. Sedangkan kesan pertama si penonton terhadap pertunjukan wayang

golek purwa adalah melihat garap wayangnya (sabetan), oleh karena itu dalang

78

harus berusaha menarik rasa simpatis melalui garap atau tarian wayang. Menurut

pengakuan Dede Amung Sutarya prihal penguasaan atau skill dalam memainkan

wayang, bahwa apabila seseorang dalang ingin lebih menjiawi gerakan atau

sabetan wayang yang dimainkannya, maka dalang tersebut akan lebih baik apa

bila mengusai ilmu bela diri tertentu seperti penca silat, karate, gulat dan ilmu-

ilmu bela diri lainnya disamping pengalmannya.

Apabila menengok kebelakang mengenai gaya sabetan wayang golek diera

tahun 1960-an (masa keemasan dalang Amung Sutarya dari dinasti Sutarya),

maka terasa jauh sekali perbedaannya dengan bentuk garap sabet wayang golek

saat ini. Hal ini sangat wajar, sebab saat itu peradaban tuntutan masyarakatnyapun

berbeda dengan zaman teknologi saat ini. Dalang-dalang dahulu kebanyakan agak

mengabaikan sajian sabet wayang, biasanya mereka cenderung lebih

mengutamakan unsur ceritra atau laokon dengan penekanan pada antawacana,

kakawen dan filosofis lakon. Kondisi seperti itu, bagi selera kehidupan

masyarakat modern kiranya sudah sangat tidak sesuai lagi, dalam arti perlu

adanya aspek-aspek penting lainnya yang diharapakan oleh masyarakat, yaitu

wayang sebagai sarana hiburan dengan tanpa mengurangi nilai dan fungsi wayang

yang seutuhnya.

Bagi Dede Amung Sutarya, hal tersebut dipandang sebagai suatu

tantangan yang harus dijawab dengan melalui karya nyata serta didasari niatan

yang baik, agar seni padalangan (wayang golek) dapat tetap sejajar berdampingan

dengan derasnya arus perkembangan dunia iptek. Dalam hal ini Dede Amung

Sutarya selalu berpikir bagai mana nasib wayang golek purwa kedepan, maka

79

salah satunya adalah harus terus meningkatkan kualitas sabetan atau garap

wayang disesuaikan dengan selera yang sedang berlangsung.

Gaya sabetan yang berhasil dikembangkan beliau melalui penampilannya

adalah gerakan wayang dilempar sambil memutar dengan tempo kecepatan yang

tinggi dan sangat cepat, membuat penonton tercengang. Pada adegan tersebut

sangat terlihat ketangkasan dalang dengan teknik keterampilan yang memadai,

disamping itu terlihat pula kekompakan antara gerakan reflek dalang dengan

respon gerakan juru catrik yang berusaha menangkap kembali wayang yang

dilemparkan pada waktu yang tepat pula.

B. Aspek Cerita atau Lakon Wayang

Aspek lain yang harus diperdalam oleh dalang adalah unsur penguasaan

lakon termasuk kekuatan tapsirnya. Seorang dalang dalam membawakan lakon

atau ceritanya, maka secara cermat dan matang dalang harus menyiapkan berbagai

persiapan termasuk kesiapan mental dan kekuatan spiritual yang dimiliki dalang

bersangkutan.

Sumber lakon dalam pewayangan pada prinsipnya sudah tersirat melalui

pakem yang berlaku, seperti Babon Mahabharata, Ramayana dan Babad Lokapala

yang ketiganya merupakan lakon galur. Pakem dalam cerita atau lakon wayang

yang terpenting adalah aspek pancakaki wayang atau silsilah wayang, ini harus

tetap dijungjung tinggi oleh dalang.

Bentuk lakon yang lebih memungkinkan peluang dikembangkan sebagai

sumber kreativitas adalah bentuk lakon sempalan atau carangan. Perlu

80

dikemukakan bahwa bentuk lakon atau cerita dalam pewayangan terbagi tiga,

yaitu lokon galur, sempalan dan carangan. Kelompok bentuk cerita galur adalah

lakon yang bersumber secara utuh kepada babon Ramayana, Mahabharata dan

Babad Lokapala. Sedangkan kelompok bentuk lakon sempalan adalah lakon yang

didalamnya mengambil sebagian dari sumber pokok (galur), artinya lakon

tersebut sudah tidak utuh sepenuhnya bersumber pada cerita pokok, bagian

lainnya merupakan cerita tambahan (pengembangan). Adapun kelompok bentuk

lakon carangan adalah lakon yang sudah lepas sama sekali dari sumber cerita

poko, namun nama-nama tokoh tertentu yang dianggap perlu, tetap mengambil

dari sumber cerita pokok (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Bentuk lakon sempalan dan carangan secara kontekstual bisa dikondisikan

dengan isu-isu hangat yang sedang terjadi, misalnya tentang isu politik, ekonomi

dan sebagainya. Dede Amung Sutarya menanfaatkan peluang tersebut yakni

dengan mengembangkan dan mengemas kembali dengan mencoba menyusun

lakon-lakon baru yang dikondisikan dengan perkembangan zaman terutama selera

atau animo masyarakat sebagai penonton pertunjukan wayang golek.

Salah satu upaya untuk mensiasati penonton agar tidak menimbulkan

kesan monoton dan penuh keingintahuan terhadap jalannya ceritera, maka Dede

Amung Sutarya berupaya menyuguhkan bentuk lakon carangan yang penuh

dengan kandungan nilai yang hakiki, sehingga penonton tercengang dan

penasaran, mau dibagaimanakan arah lakon tersebut. Keadaan seperti itu, terbukti

ketika Dede Amung Sutarya pertama kali menampilkan lakon baru hasil

karangannya, yaitu lakon Cepot Debat. Dimana, inti lakon tersebut menampilkan

81

sosok Astrajingga atau Cepot (Jawa disebut Bagong) yang notabene sebagai tokoh

panakawan atau pengabdi setia terhadap para petinggi negara Amarta (Pandawa),

sehingga keehariannya selalu taat terhadap pemerintah dan atasannya. Namun

pada cerita ini, tokoh Cepot atau Astrajingga tiba-tiba dengan jantannya ia

berterus terang meminta sesuatu terhadap sang raja Darmakusumah, yang

sebenarnya tidak berhak memintanya. Melihat ulah dari Cepot tersebut maka para

petinggi kerajaan terkejut sekali dan sangat marah akan permintaan cepot tersebut,

sehingga dengan cara kasar dan geram Cepot diberi pelajaran untuk

mempertanggung jawabkan kelancangannya itu.

Tetapi sangat tiadak disangka Cepot dengan tenang ia menerima semua

tindakan kasar dari atasannya, hanya tidak seorangpun yang bisa mengalahkan

Cepot yang secara tiba-tiba menjadi sakti mandraguna. Semuanya merasa tidak

mampu, yang pada akhirnya para petinggi negara Amarta meminta pertolongan

kepada Hyang Parmesti Jagatnata (Batara Guru), untuk menaklukan Cepot dari

ulahnya yang spektakuler. Ternyata para Dewa pun tidak berdaya menandingi

keperkasaan Cepot. Klimaks dari cerita Cepot Debat ini, adalah berakhir pada

adegan tumaritis tempat Lurah Semar Badranaya berkumpul sekeluarga.

Inti dari asegan tersebut, Semar bertanya pada kedua putranya, sedang

pergi kemana anak sulungnya Cepot saat ini dimana yang ada pada saat itu yaitu,

Dawala (Petruk) dan Gareng disertai Dewi Setiaragen. Dari semuanya yang ada

tidak mengetahui keberadaan Cepot, namun secara tiba-tiba dikejutkan dengan

sura yang datang dari belakang rumah saat diperiksa ternyata cepot baru saja jatuh

dari bangku setelah tertidur dan bermimpi di siang bolong. Semua merasa kaget,

82

kemudian Cepot menceritakan mimpinya secara spektakuler dengan semua

kesaktiannya menjadikan para juragan-juragannya termasuk dewa sekalipun tidak

bisa berkutik demikian salah satu kecerdikan Dede Amung Sutarya dalam

membuat lakon, untuk menjebak penonton agar penasaran sampai pertunjukan

tuntas.

Diantara banyaknya lakon-lakon yang biasa beliau pentaskan, ada salah

satu lakon yang dianggap terbaik berdasarkan kepuasan Dede Amung Sutarya

yaitu lakon Kumbakarna Gugur. Lakon tersebut serat dengan ajaran moral dan

spiritual yang dalam, sehingga penonton dapat menghayati dan menapsirkannya

dalam realita kehidupan di masyarakat.

Adapun tokoh wayang yang menjadi idolanya adalah Bima dan Gatotkaca

sebagai sosok kesatria yang jujur, tegas dan pemberani. Tokoh Bima menurut

Dede Amung Sutarya adalah tokoh wayang yang bisa lebih dijiwai

(diekspresikan) ketika dimainkan terutama saat adegan perang, untuk

menonjolkan karakter Bima yang perkasa dengan postur tubuh yang memadai.

Sedangkan tokoh wayang yang disukai untuk wayang ibing (wayang menari)

adalah tokoh wayang satria karakter ladak (satria tegak, gagah) seperti Bambang

Arayana. Tokoh lain yang beliau sukai dalam tariannya adalah tokoh wayang

ponggawa lungguh (ponggawa dengan karakter halus) yaitu Gatotkaca (Sutarya,

wawancara, 08/05/2009).

83

C. Aspek bahasa dan sastra pedalangan

Bahasa merupakan sarana yang vital sebagai alat komunikasi seseorang

untuk mengungkapkan maksud tertentu sehingga terjalin komunikasi kedua belah

arah. Begitu pula bahasa dalam pertunjukan wayang golek purwa sangat vital

yang dapat menjadikan pertunjukan komunikatif antara dalang dengan penonton

dan dalang dengan wiyaganya (pengrawit).

Pramasastra, Amardibasa dan Pramakawi adalah tiga aspek garapan

dalang yang termasuk dari 12 Tetekon Padalangan Sunda, dan ketiga aspek

tersebut memiliki hubungan yang erat. Parmasastra dimaksudkan habwa seorang

dalang harus menguasai kaidah-kaidah sastra padalangan yang mencangkup

pembendaharaan bahasa sumber. Amardibasa diartikan bahwa seorang dalang

harus pasih menggunakan bahasa pokok (bahasa Sunda) termasuk penggunaan

undak-usuk basa (tahapan-tahapan penempatan bahasa). Adapun Pramakawi

artinya seorang dalang harus menguasai bahasa Kawi sebagai sumber sastra

padalangan disamping bahasa pokok, yaitu bahasa Sunda (Soepandi, 1988:23).

Ketiga aspek diatas disajikan oleh dalang dalam bentuk antawacana,

nyandra, murwa dan kakawen. Antawacana adalah dialog masing-masing tokoh

wayang, nyandra adalah prolog dalang yang bersifat menerangkan maksud

tertentu dan murwa adalah prolog dalang yang bersifat mempertegas karakter

wayang juga mempertegas suasana pada adegan. Unsur-unaur sastra inilah yang

dianggap esensial dalam pertunjukan wayang golek purwa, sekaligus sebagai

indikator kredibilitas seseorang dalang dalam mengemban tugasnya.

84

Ki dalang Dede Amung Sutarya memiliki gaya tersendiri dalam

menyajikan unsur-unsur terebut, terutama dalam sajian kakwen yang cenderung

memasukan warna suluk pakeliran Jawa. Begitu pula dalam penyajian dialog-

dialog wayang, Dede Amung Sutarya banyak memasukan bahasa-bahasa trend

yang diangkat dari isu-isu hangat serta bahasa-bahasa ilmiah yang dikondisikan.

Kelompok bahasa-bahasa tersebut biasanya diucapkan oleh wayang-wayang

tertentu, agar tidak terlalu bertentangan dengan unsur pakem padalangan.

Salah satu contoh bentuk kakwen yang diambil dari sedon pakeliran Jawa,

kemudian oleh Dede Amung Sutarya diperbaharui dan disesuaikan dengan logat

atau cengkok Sunda, antara lain sebagai berikut;

hanjrah ingkang puspitaning arum kasliring sami ranambrih kasliring sami ranambih sekar gadung kongas gandane, kongas gandane mawe laras rena ing dria Melalui kreativitasnya dalam mengolah sajian kakawen tersebut,

berpengaruh terhadap gaya pertunjukan dalang-dalang lainnya terutama dalang

pemula. Banyak orang berpendapat, bahwa kakawen yang dibawakan oleh dalang

Dede banyak nada sumbangnya, tetapi dari sumbangnya itu banyak pula orang

yang menggandruminya.

Disamping itu Dede memiliki gaya dalam kakawen, juga ia memiliki gaya

murwa (disajikan dalam nyanyian dalang) tersendiri seperti tercantum dibawah

ini:

Dalang : Pundika bubuka panggung rep ngadek purwa sinenggih Wiyaga : Treeeet..... teretet deui hayu batur digawe babarengan Dalang : Purwa mendra-mendra winuwulan Ya sosoroting gantinang pamutus ing cinarita

85

Wiraswara : Sing alakur Wiyaga : Sing jalujur Wiraswara : Sing ariceus Wiyaga : Sing rancingeus Wiraswara : Hirup kumbuh Wiyaga : Sauyunan Wiraswara : Gotong royong Wiyaga : Babarengan Dalang : Tedak saking pundi pundados tandaning cinarita Yakungkung gebang siwa lan tunggal Wiraswara : Ela ela ela ela Wiyaga : Ela ela sama ela Wiraswara : Laksa-laksanakeun Wiyaga : Keluarga Berencana Dalang : Den ayu kaden ayu-ayu Pada tetes tumaretes ingkang tinaretesan Asta, gangga, wira, tanu, kalawan patra Wiraswara : Cimuncang kabanjasari Wiyaga : Kacamatan panumbangan Wiraswara : Ya batur urang ngahiji Wiyaga : Laksanakeun pangwangunan Wiraswara : Pangwangunan Dalang : Asta iku tangan, gangga iku banyu, wira wong lineuwih Tanu mangsi, patra hartosningpun kalam Gung talagung walane aksara jawi sawidak perkawis Binuncang kang tigang dasa Inggih eka kalawan dasa Eka iku sawiji, dasa iku sapuluh, iki jasane para wali Dalang : Salapan ka sapuluh, tunggal wali Kang luhur elmu jembar panalar, sugih pangarti Binekas lan wijaksana weruh sadurung winarah Wiyaga : Masing cararincing, masing-masing cararincing Yu, batur rempung jukung sauyunan Singtaat kana program pamarentah

Dilanjutkan dengan penyajian Nyandra dalam bentuk prolog dalang

sebagai berikut;

Menggah hipun sawiji-wijine aksara kalih dasa, inggih hanacarka datasawala, padajanyanya lan maga batanga. Hananing sikep lanpinterna parapujangga, lajeng aksara kalih dasa iku dipun pecah maring madhapapa. Hanacara tumibaing wetan, datasawala tumubaing kidul, padajayany tumi baling kulon lan magapatanga tumubaing ngalor. Sadina, tutug sadina, sawengi tutug sawengi

86

ngawilang nagri apajang lan apunjung, apajang ikunagara jembar kacapone, apunjung iku nagara dawur wibawane. Lan wonten memada yopasir wukir lohjenawi, pasir iku samudra ukir gunung loh jenawi murwa sarwa ingkang sandang lampangan. Dasar nagara gede ogore padang jagate lan duwur kukuse adoh kakoncarane. Malih kejabi pundika ingkar dadia tuturuning catur bubuka carita, boten wonten kejabi negara... (nama negara dalam lakon). Nagara sampun kaceluk kakandang ewu, kaloka kajanapria, kajamparing angin-angin, kakoncara manca nagara. Demikian penyajian murwa dan nyandra yang dibawakan dalang Dede

sekaligus menjadi ciri khasnya, sebagai dalang dari dinasti Sunarya.

D. Aspek Karawitan atau Musik Pengiring Wayang

Krawitan atau gending iringan wayang merupakan aspek penting untuk

diolah sebagai bagian dari kreativitas. Aspek karawitan merupakan salah satu

sarana untuk menyampaikan rasa estetis kepada penonton, melalui sajian

musikalis dalam mempertegas suasana adegan yang sedang berlangsung.

Dalang harus menyadari sepenuhnya tentang fungsi gamelan terhadap

pertunjukan itu sendiri dan yang terpenting lagi dalang harus memiliki kepekaan

rasa musikalitas terhadap lagu-lagu dan gending-gending yang dibawakan

(amardawalagu). Dengan demikian antara dalang dengan gending atau lagu

pengiring akan komunikatif, teutama peranan dalang akan lebih didukung oleh

kehadiran gending oleh lagu-lagu tersebut. Kebijakan dan ketegasan dalang dalam

mengatur dan membagi jatah waktu, sangatlah penting diterapkan oleh dalang.

Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi agar pertunjukan tidak monoton

yang diakibatkan terlalu banyak menyajikan lagu-lagu kepesindenan(Sutarya,

wawancara, 08/05/2009).

87

Menyadari akan pentingnya peranan gamelan atau musik pengiring berupa

gending-gending dan lagu-lagu dalam pertunjukan wayang, maka Dede Amung

Sutarya mensisati dengan cara membuat gamelan selap atau bisa disebut

gamelan multi nada. Dinamakan gamelan multi nada atau masyarakat tradisi

mengistilahkn gamelan selap artinya, dalam satu perangkat gamelan terdapat

beberapa macam laras dan surupan yang seluruhnya berjumlah 7 laras dan

beberapa surupan. Kini rombongan Munggul Pawenang telah memiliki gending

sendiri sebagai ciri khas (trade mark) yang berupa gending-gending intro

(pembuka) dalam lagu-lagu tertentu seperti lagu; Bendrong, Waled dan gending-

gending kemasan dalam sajian Tataluan (Oman, wawancara, 08/05/2008).

Disamping menyajikan lagu-lagu tradisi yang biasa dipergunakan dalam

pertunjukan wayag golek pada umumnya, Munggul Pawenang telah mencoba

memasukan lagu-lagu wanda anyar (kreasi baru) yang sedang trend di

masyarakat. Lagu-lagu tersebut biasanya berasal dari kawih-kaih degung dan

kacapian yang biasa dibawakan oleh penembang-penembang kawakan seperti;

Iyus Wiradirja, Barman Sahyana, Ida Widyawati, Euis Komariah dan lain-

lain(Yoyoh, wawancara, 08/05/2009).

Jenis lagu-lagu yang diangkat diatas, diaransir kembali oleh Padepokan

Munggul Pawenang dengan motif-motif tabuhan yang mengutamakan ritmis-

melodis sehingga lagu tersebut lebih segar dan dinamis, terlebih disajikan dengan

tehnik tabu yang nerjik ekspresif. Biasanya sajian lagu-lagu tersebut ditempatkan

disaat sela-sela antara pergantian babak atau adegan, dimana pada saat itu dalang

beristirahat sejenak untuk mempersiapakan menuju pada adegan berikutnya.

88

Kekompakan atau keterpaduan rombongan seni wayang golek puwa Munggul

Pawenang, sangat didukung oleh persnil-personil pengrawit yang berkualitas

dibidangnya masing-masing. Terutama yang sangat mendukung peranannya

adalah adanya pesinden kawakan Hj. Yoyoh yang memiliki warna suara dan

senggol (cengkok) tersendri, juga didukung oleh wirasuara (pesinden pria) yang

cukup kondang yaitu bapak Eye dan pemain kendang berbakat bapak Oman.

Faktor lainnya yang dianggap mendukung adalah ditunjang oleh sarana peralatan

gamelan yang memadai terutama dengan gamelan selap (gamelan multi nada)

yang terbuat dari jenis logam perunggu kwalitas tinggi buatan Solo Jawa Tengah.

Keadaan hal-hal seperti itulah yang menjadikan rombongan Munggul Pawenang

pimpinan dalang Dede Amung Sutarya lebih menonjol diantara rombongan-

rombongan seni wayang golek lainnya.

E. Aspek Bojegan (banyolan)

Seiring dengan proses percepatan globalisasi yang merambah kepada

berbagai sapek kehidupan, maka sikap dan selera masyarakat pun mengalami

perubahan yang drastis sebagai konsekwensi logis dari evolusi budaya dengan

berbagai dampak problematikanya. Peradaban budaya yang kini sedang memasuki

tatanan masyarakat industri, membawa pengaruh besar terhadap laju

perkembangan seni pertunjukan tradisional yang harus mengimbangi serta

mengkondusifkan dengan selera masyarakat pendukungnya.

Menyadari sepenuhnya terhadap keadaan tatanan masyarakat yang begitu

kompleks, maka Dede Amung Sutarya sebagai seniman praktis seni pedalangan

89

wayang golek purwa berupaya untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat

sebagai penonton, agar pertunjukannya dapat diterima dan terjangkau oleh

masyarakat luas. Terlebih dihadapkan dengan budaya masyarakat perkotaan yang

berifat plural, dimana berbagai tata nilai berdampingan, bersaing bahkan

berbenturan satu sama lainnya maka Dede Amung Sutarya sebagai dalang sangat

memperhatikannya, bagaimana cara dan strategi yang harus dijalankan saat

pertunjukan berlangsung. Salah satu kiat dan strateginya adalah dalang Dede

dalam pertunjukannya selalu menghadirkan bojegab (lawakan) yang menarik dan

kontekstual dengan keadaan yang sedang terjadi atau terkait dengan isu hangat.

Dalam pertujukan wayang golek unsur banyolan atau humor adalah

termasuk kepada salah satu dari 12 tetekon padalangan. Lebih jelasnya ke 12

Tetekon padalangan tersebut adalah: Tutug, Enges, Sabet, Banyol, Antawacana,

Renggep, Kawi Raja, Prama Kawi, Prama Sastra, Amardi Basa, Amardawalagu

dan Awi Carita (Soepandi, 1988:17).

Pada penyajiannya banyolan atau humor yan dilakukan oleh dalang terbagi

kedalam dua bentuk, yaitu humor sabet dan humor antawacana (dialog). Humor

sabet adalah bentuk humor yang berupa gerak atau sabet wayang. Sedangkan

humor antawacana adalah bentuk humor yang berupa dialog wayang. Kedua

bentuk humor ini oleh dalang Dede digarap secara matang sehingga menghasilkan

sajian-sajian humor yang menarik. Bentuk-bentuk banyolan yang disjikan oleh

dalang Dede Amung Sutarya, pada prinsipnya merupakan pola ersendiri, sehingga

dari panggung satu ke panggung lainnya selalu ada banyolan yang serupa, tetapi

penonton tidak merasa bosan bahkan banyolan tersebut selalu dinanti. Disamping

90

menyajikan banyolan yang telah terpola, juga selalu menyajikan banyolan yang

spontanitas berlangsung saat itu. Bentuk banyolan seperti ini akan lebih nampak,

sebab yang ikut tertawa tidak hanya penonton tetapi para pengrawitnya ikut

tertawa larut didalamnya, bahan tidak jarang Dede Amung Sutarya sendiri iku

tertawa terbawa emosi yang terjadi (Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Secara khusus dalang Dede Amung Sutarya selalu memunculkan banyolan

yang sifatnya intern, artinya banyolan tersebut hanya dituukan kepada sekitar

pengrawitnya saja, sehingga penonton tidak memahaminya dan yang tertawa

(respon) hanya seputar pengrawit. Banyolan seperti ini sengaja dibuat sebagai

upaya agar para pangrawit tidak mengantuk karena kelelahan terlalu banyak petas.

Topik yang diangkat dalam banyolan khusus tersebut, diambil dari seputar

kejadian-kejadian kecil yang terjadi di kalangan pengrawit, bahkan terkadang

menyudutkan salah seorang pengrawit yang biasana mempunyai sifat yang unik

dari pengrawit lainnya.

Dari keseluruhan bentuk-bentuk banyolan tersebut, secara penyajiannya

tidak ditampikan pada adegan khusus yang terpisah, melainkan selalu muncul

disela-sela tiap bedrip atau adegan. Dengan demikian alur lakon selalu dibumbui

oleh humor-humor segar yang dikondisikan dengan suasana arti adegan tersebut.

Keberhasilan menyajikan humor-humor tersebut pada dasarnya didukung

oleh kelengkapan dan kesempurnaan bentuk-bentuk wayang inovasinya yang

dirancang secara khusus hasil karyanya sendiri degan ragam karakter humoristis.

Bentuk-bentuk wayang kreasi yang dimilikinya sangat lebih memungkinkan untuk

terciptanya bentuk-bentuk humor yang baru dan berpariasi.

91

Bentuk-bentuk gerak humor yang biasa Dede Amung Sutarya tampilkan

memiliki ciri tersendiri, yaitu banyak menampilkan gerakan-gerakan yang cepat

(stakato) tetapi luwes. Gerakan-gerakan tersebut terinsfirasi oleh film-filem

kartun seperti Micky Mouse, Tom & Jerry dan tokoh-tokoh kartun yang lainnya.

Sedangkan untuk bentuk humor dialog, Dede Amung sutarya lebih mengandalkan

kualitas warna suara yang dimilikinya, yang oleh dalang lain susah ditirunya.

Potensi-potensi semacam itulah yang lebih mendukung Dede Amung Sutarya

mahir dalam menyajikan sabetan dan banyolan dengan gaya tersendiri.

F. Aspek Wayang Sebagai Media Pokok

Selain kedua aspek diatas, juga Dede Amung Sutarya melalui daya inovasi

yang kuat, ia berhasil menciptakan bentuk-bentuk wayang baru (bukan wayang

pokok) dengan menggunakan teknik yang praktis seperti wayang yang bisa

menjulurkan lidahnya, wayang bisa bergoyang dan wayang bentuk lainnya

(Sutarya, wawancara, 08/05/2009).

Bentuk karya penciptaan lainnya yang cukup mengundang perhatian

umum, diantaranya jamparing atau perlengkapan memanah, sehingga apabila

salah satu tokoh satria akan memainkan panah senjatanya, maka tokoh tersebut

selalu dilengkapi dengan peralatan yang lengkap dengan teknik gerak yang

memukau mirip gerakan manusia yang akan memanah.

Menyadari akan pentingnya keutuhan (unity) totalitas pertunjukan

terutama wayang sebagai media pokoknya, maka Dede Amung Sutarya

mengganggap penampilan bentuk tokoh wayang harus dimunculkan terutama

92

busana, asisoris, ketegasan warna cat sesuai dengan karakter tokoh yang

bersangkutan dan bentuk kukirannya.

Dengan demikian apabila hal-hal tersebut sudah terpenuhi maka wayang

ketika masuk pentas akan lebih nampak penampilannya, terlebih dimainkan

dengan menggunakan teknik sabetan yang memukau. Salah satu hasil upaya

pengembangannya dalam memunculkan bentuk pakaian wayang padepokan

munggul pawenang menggunakan kain dodot yang dilengkapi dengan pernak-

pernik warna mas pada setiap wayang tokoh atau wayang pokok. Pada umumnya

dalang-dalang lain apalagi pada generasi sebelum Dede Amung Sutarya tidak

menggunakan kain dodot dalam busana wayang, namun setelah muncul karya

Dede maka dalang-dalang lain berusaha menirunya (Sutarya, wawancara,

08/05/2009).

Melalui bentuk-bentuk kreativitas yang dihasilkan Dede Amung Sutarya

sebagaimana telah diuraikan diatas, maka pada akhirnya masyarakat mengakuinya

bahwa kreativitas dalang Dede Amung Sutarya telah memberikan kontribusi yang

berarti teradap laju perkembangan seni padalangan wayang golek purwa di Tatar

Pasundan (Jawa Barat).