Tesis Bab IV

65
60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hukum dan Urgensi Moralitas Sebelum membahas lebih lanjut bagian ini, pertanyaan pertama adalah mengapa hukum membutuhkan moralitas? Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar mengenai hakekat hukum. Hukum hanya disebut hukum kalau di dalamnya mengandung aspek keadilan dan moralitas. Tanpa keadilan dan moralitas hukum tidak layak disebut hukum. Menurut Hans Kelsen hukum adalah bagian dari moral. Tentang hal itu Hans Kelsen (1978:72) menegaskan bahwa: Jika dikatakan bahwa hukum, menurut sifatnya, memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral; maka kita dapat menegaskan dengan pernyataan ini bahwa hukum berlaku dalam lingkup moral, bahwa tatanan hukum merupakan bagian dari tatanan moral, bahwa hukum adalah moral dan karenanya, berdasarkan sifatnya, ia adil. Dengan demikian jelas bahwa, menurut Hans Kelsen hukum yang mengandung tatanan moral itu dalam dirinya sendiri mesti bersifat adil. Hukum dan penegakan hukum mesti berlaku adil karena mengandung muatan moral di

Transcript of Tesis Bab IV

60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hukum dan Urgensi Moralitas

Sebelum membahas lebih lanjut bagian ini, pertanyaan

pertama adalah mengapa hukum membutuhkan moralitas?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar mengenai

hakekat hukum. Hukum hanya disebut hukum kalau di

dalamnya mengandung aspek keadilan dan moralitas. Tanpa

keadilan dan moralitas hukum tidak layak disebut hukum.

Menurut Hans Kelsen hukum adalah bagian dari moral.

Tentang hal itu Hans Kelsen (1978:72) menegaskan bahwa:

Jika dikatakan bahwa hukum, menurut sifatnya,memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral; makakita dapat menegaskan dengan pernyataan ini bahwahukum berlaku dalam lingkup moral, bahwa tatanan hukummerupakan bagian dari tatanan moral, bahwa hukumadalah moral dan karenanya, berdasarkan sifatnya, iaadil.

Dengan demikian jelas bahwa, menurut Hans Kelsen

hukum yang mengandung tatanan moral itu dalam dirinya

sendiri mesti bersifat adil. Hukum dan penegakan hukum

mesti berlaku adil karena mengandung muatan moral di

61

dalamnya. Karena itu, hukum dan moralitas tampaknya

memiliki keterkaitan yang tidak bisa diabaikan (Andre

Ata Ujan, 2009:153).

Hukum yang adil dan mengandung muatan moral juga

membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral tinggi.

Menurut Beja, (selaku Kabagbinopsnal Polda DIY) moral

aparat penegak hukum sangat penting agar hukum tetap

superior dalam sebuah negara hukum (Beja, Wawancara,

27/09/2013). Oleh karena itu, menurut Beja, sebaik apa

pun hukum kalau tidak dijalankan oleh aparat yang

bermoral tinggi tidak akan berguna dalam upaya untuk

mencapai tujuan-tujuan hukum.

Pada abad pertengahan praktek hukum di Inggris

memberikan penekanan sangat kuat pada yurisprudensi

analitis (analytical jurisprudence). Namun selain menekankan

yuriprudensi analitis, hukum di Inggris pada abad

pertengahan tetap memberi perhatian terhadap apa yang

disebut yurisprudensi etis, atau disebut normative

jurisprudence. Adanya yurisprudensi etis dalam konsep hukum

memperlihatkan bahwa hukum tidak hanya dilihat dan

diterima sebagaimana adanya, melainkan harus dikritik

62

untuk memperlihatkan dimensi seharusnya dari norma hukum

yaitu upaya untuk mencapai tujuan hukum yakni memenuhi

rasa keadilan (Andre Ata Ujan, 2009:154). Oleh karena

itu, moralitas urgen dibutuhkan dalam hukum dan

penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan.

Urgensi moralitas adalah istilah yang dipakai untuk

menunjukkan bahwa aspek moral sangat mendesak

dibutuhkan. Pertanyaannya mengapa moralitas urgen atau

mendesak dibutuhkan? Pertanyaan ini terkait dengan

kelekatan antara aspek moral dengan manusia itu sendiri.

Menurut Sutedjo, selaku hakim penitera pada pengadilan

negeri Yogyakarta (Sutedja, wawancara 12/09/2013),

“moral itu paling diutamakan dan nomor satu dalam

penegakan hukum”. Menurut Sutedja tanpa moral aparat

yang baik hukum akan inferior dan berada pada titik yang

memalukan. Moral aparat yang baik membuat hukum superior

dan kredibel (sutedja, wawancara 12/09/2013). Moral

selalu terkait dengan aspek manusiawi, karena hanya

manusia yang bisa membuat distingsi antara yang baik

dan buruk (jahat). Kemampuan akal budi dan hati nurani

memampukan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak

63

berbuat jahat dan yang tidak adil serta merugikan hak-

hak orang lain.

Hanya manusia saja disebut sebagai makhluk bermoral

karena manusia tahu membedakan apa yang baik dan apa

yang tidak baik. Manusia yang tidak bisa membedakan yang

baik dan jahat disebut manusia tidak baik dan bahkan

tidak beradab (kecuali bayi dan anak-anak dalam usia

tertentu yang belum memiliki kemampuan tersebut). Namun

manusia tidak merasa cukup hanya mengetahui dan

membedakan yang baik dan tidak baik. Manusia dalam

hidupnya selalu berusaha melampaui dirinya. Manusia

ingin memperoleh level-level baru dalam pengetahuan,

tingkatan baru dalam kebudayaan dan kebaikan hidup.

Transendensi diri manusia merupakan suatu gerakan khas

dan eksklusif manusia dengannya ia secara terus menerus

melampaui dirinya, melampaui adanya dengan segala

sesuatu yang ia inginkan dan miliki (Konrad Kebung,

2006:182-183). Sebagai makhluk rasional yang berusaha

melampaui level yang ada manusia selalu berupaya

menjelaskan secara rasional semua temuan dalam hidupnya,

termasuk upaya untuk menjelaskan aspek moralitas.

64

Sebagai makhluk berakal budi, manusia terus berupaya

menjelaskan secara rasional mengapa sesuatu itu mesti

dikatakan baik, dan apakah kebaikan itu juga diakui oleh

orang lain, sehingga tidak menjadi kebaikan subjektif

yang berlaku untuk diri sendiri. Manusia senantiasa

berusaha agar konsep kebaikan tersebut menjadi objektif,

berlaku universal, dan diakui atau diterima oleh publik

pada umumnya. Mempertanyakan moralitas berarti manusia

sedang menyelami aspek metafisis dari moralitas.

Moralitas merupakan diskusi yang manusiawi karena

manusia dalam pergumulan sejarah peradabannya selalu

mengarahkan diri pada kebaikan agar disebut sebagai

manusia beradab. Sebagai makhluk rasional, manusia

berupaya merefleksikan kebaikan sebagai bagian yang

mesti ada dan melekat dalam diri manusia. Moralitas

tidak saja melekat dalam diri manusia tetapi aspek moral

tersebut mesti sanggup ditunjukkan manusia dalam setiap

tugas dan profesinya, entah sebagai pejabat negara atau

sebagai petani sederhana, entah sebagai dosen, guru,

atau dokter maupun sebagai ahli hukum dan aparat penegak

hukum. Aspek moral melekat dalam diri manusia dan

65

membuat manusia tampak lebih manusiawi dan tahu

menghargai dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Sebagai manusia yang bermartabat, aparat penegak

hukum memiliki aspek moralitas. Aspek moral melekat

dalam diri dan kehidupan aparat penegak hukum.

Melekatnya aspek moral tersebut menegaskan bahwa hukum

tidak cukup sempurna untuk mengatur semua hal yang

berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan dalam

masyarakat. Hukum membutuhkan aparat penegak hukum yang

bermoral agar bisa superior dan memenuhi rasa keadilan

bagi semua pihak. Aparat penegak hukum, ibarat pengemudi

yang menjalankan kendaraan bernama hukum. Agar kendaraan

tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan

yang diinginkan oleh semua pihak maka seorang pengemudi

membutuhkan kondisi kendaraan yang baik dan lingkungan,

jalan yang layak untuk dilalui kendaraan tersebut

(Antonius Triyogo Whisnu, wawancara, 12/09/2013).

Demikian juga, aparat yang bermoral membutuhkan struktur

hukum, budaya hukum dan substansi hukum yang baik agar

bisa menegakkan hukum yang minimal memenuhi rasa

keadilan semua pihak. Selain itu, lingkup penegak hukum

66

juga mesti mendukung bagi bertumbuh dan berkembangnya

moralitas aparat yang baik agar mampu mempertahankan

diri sebagai aparat penegak hukum yang baik dan

bermoral tinggi. Namun, tidak dapat disangkal adanya

keterbatasan dasariah yang terkandung dalam hukum

karena dibuat oleh otoritas berwenang yaitu manusia yang

terbatas secara kodrati, juga keterbatasan masyarakat

untuk menyelami dan menyadari manfaat adanya hukum dalam

mengatur tertib hidup bersama.

Hukum positif adalah hukum buatan manusia yang

direpresentasikan oleh pejabat berwenang. Para pejabat

ini adalah manusia terbatas yang tidak sanggup membuat

sebuah hukum sempurna yang mampu mengatur seluruh

dimensi kehidupan manusia alam sekitar. Hukum hanya

sanggup mengatur hal-hal yang dirasa perlu dan mendesak

bagi kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Hukum

positif, betapa pun lengkapnya, tetap saja terbatas.

Adanya keterbatasan natural (bersifat alamiah) tersebut

membuat manusia tidak akan pernah menciptakan hukum yang

sempurna. Bahkan hukum positif cenderung reaktif karena

diciptakan setelah berbagai pengalaman dan penderitaan

67

dialami manusia. Banyak kasus yang terjadi tidak dapat

ditangani karena hukum positif yang ada tidak dapat

dijadikan pegangan sebagai kepastian hukum untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi umat

manusia. Dengan pertimbangan seperti ini adanya

moralitas yang berfungsi mengontrol manusia dari dalam

dirinya sendiri akan sangat bermanfaat dan urgen

dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dan keterbatasan

hukum positif tersebut (William H. Shaw, Business Ethics,

1999:7-8, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan,

2009:156).

B. MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM SEBAGAI PENOPANG

SUPERIORITAS HUKUM

Menurut hasil penelitian penulis melalui wawancara

di sejumlah lembaga penegak hukum, umumnya aparat

penegak hukum selaku narasumber setuju bahwa moralitas

aparat penegak hukum menjadi penopang superioritas

hukum. Menurut Sutedja (wawancara, 12/09/2013), aparat

penegak hukum (hakim) yang baik dalam penegakan hukum

selalu menegakkan hukum berdasarkan aturan atau hukum

68

yang berlaku dan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Hal itu berarti bahwa hakim

dalam menegakkan hukum selalu mengikuti peraturan

perundangan-undangan, kode etik dan moral yang benar.

Dengan demikian, sebagai corong undang-undang hakim akan

membuat hukum semakin superior. Menurut Sutedja, “aparat

penegak hukum yang bermoral baik akan memperhatikan

undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat”. Hukum yang superior, pertama-tama

mesti ditegakan oleh aparat yang tegas dan memiliki

integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, aspek

moralitas itu penting dan utama dalam penegakan hukum.

Pertanyaannya, mengapa banyak terjadi penyimpangan

dalam penegakan hukum oleh aparat (oleh hakim,

misalnya)? Menurut Sutedja, penyimpangan penegakan hukum

oleh aparat yang menyebabkan hukum menjadi inferior

merupakan kasus yang terjadi ketika aparat penegak hukum

menyalahgunakan wewenang (Sutedja, wawancara

12/09/2013). Penyalahgunaan wewenang tersebut terkait

sangat erat dengan aspek ketegasan dan integritas aparat

untuk mengutamakan kepentingan keadilan dan kebenaran di

69

atas kepentingan pribadi dan pertimbangan keuntungan

ekonomis apa pun. Seorang aparat penegak hukum yang

bermoral akan selalu mempertimbangkan secara matang dan

bertanggungjawab sebelum menentukan suatu keputusan.

Setiap keputusan yang diambil adalah keputusan yang

bermoral.

Menurut Krisna Pramono, seorang jaksa penuntut umum

dan jaksa intelijen pada kejaksaan negeri Yogyakarta

(wawancara, 12/09/2013), moralitas aparat yang baik

membuat hukum akan semakin superior dan dapat dipercapa

oleh para pencari keadilan. Namun menurut Krisna, dalam

kaitannya dengan penuntut umum, seorang jaksa menuntut

suatu perkara berdasarkan hasil konsultasi dengan

atasan. Hal itu berarti bahwa kalau atasan bermoral

baik, maka tuntutan akan semakin baik. Namun kalau

atasan bermoral kurang baik, maka tuntutan akan jauh

dari rasa keadilan. Menurut Krisna, Jaksa dalam

melakukan tuntutan selalu berdasarkan undang-undang dan

kode etik profesi sebagai moralitas kolektif. Jaksa

dapat saja mengabaikan moral dan pertimbangan individual

dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai

70

penuntut umum karena keputusannya selalu didasarkan

pada konsultasi dengan atasan. Namun dalam Undang-undang

kejaksaan tidak disebutkan tentang prosedur penuntutan

yang didasarkan pada konsultasi dengan atasan jaksa. Hal

itu berarti bahwa jaksa secara umum dalam melaksanakan

tugas tuntutan sudah menyimpang dari peraturan

perundang-undangan, karena tidak ada independensi dari

jaksa penuntut umum yang memimiliki kewenangan untuk

menuntut. Jaksa penuntut umum selalu mendengarkan apa

yang dikatakan sang atasan dalam melakukan tugas

tuntutan. Menurut Krisna, moralitas jaksa penuntut umum

selalu dibatasi oleh undang-undang dan perintah atasan

dalam melakukan tugas tuntutan. Dalam Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa ayat (3)

“Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan

berdasarkan alat bukti yang sah”. Sedang dalam ayat (4)

ditegaskan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan

hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan,

kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan

71

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup

dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan

dan martabat profesinya”. Tidak ditemukan aturan yang

menegaskan bahwa jaksa harus menuntut berdasarkan

komando atau perintah atasan. Hal tersebut dapat

diuraikan bahwa dalam tugas penuntutan tersebut seorang

jaksa melanggar peraturan perundang-undangan karena

menuntut berdasarkan perintah atau komando atasan.

Padahal menurut Krisna sebenarnya dalam suatu tugas dan

tanggung jawab tuntutan, seorang penuntut umum harus

bebas dari tekanan mana pun. Seorang jaksa penuntut umum

harus bebas dalam melakukan tugas tuntutan berdasarkan

moral kolektif (kode etik) dan juga pertimbangan moral

individu. Kedua moralitas tersebut mesti dipadukan dan

integral dalam upaya penegakan hukum yang adil dan

bermoral (Krisna Pramono, wawancara 12/09/2013).

Menurut Beja, SH (Kabagbinopsal Polda DIY) moral

aparat yang tinggi tentu akan membuat hukum semakin

superior. Dalam tataran teoretis, hukum di Indonesia

tetap superior karena Indonesia merupakan negara hukum.

Namun dalam tataran praktis, hukum di Indonesia

72

inferior, karena masih ada banyak kepentingan termasuk

kepentingan politik yang mempengaruhi pembuatan hukum di

lembaga legislatif. Adanya dominasi partai pemenang

pemilu, misalnya, membuat produk hukum dilandasi oleh

semangat partai yang bersangkutan (Beja, wawancara,

27/09.2013). Namun menurut Beja, walaupun produk hukum

tersebut tidak sempurna atau terbatas, tetapi jika

dijalankan oleh aparat penegak hukum yang bermoral

tinggi, maka hukum akan tetap superior dan hukum akan

tetap ditegakkan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum.

Menurut Anastasia Ririn Tri Setyaningrum (wawancara,

12/09/2013) hukum di Indonesia hingga saat ini masih

superior. Namun jika aparat penegak hukum selalu memilih

untuk mengesampingkan hukum dalam menyelesaikan setiap

perkara hukum yang terjadi, maka tidak tertutup

kemungkinan bahwa masyarakat tidak percaya pada hukum

sebagai sarana yang bisa mengayomi, melindungi dan

memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal itu

berarti bahwa agar hukum tetap superior dan kredibel,

maka aparat penegak hukum mesti tetap mengandalkan hukum

dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam

73

penegakan hukum. Masyarakat tidak mungkin mengandalkan

hukum kalau aparatnya tidak berpegang pada kekuatan

hukum untuk menegakan hukum dan tidak mengupayakan

keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Karena itu,

prosedur penegakan hukum yang murni dan konsisten akan

sangat menentukan ke mana arah penegakan hukum dan

superioritas hukum di Indonesia akan bermuara.

Aparat hukum mesti memiliki tanggungjawab dan

mengutamakan para pencari keadilan dalam penegakan

hukum. Dalam Pasal 3 huruf (b) Kode Etik Advokat

Indonesia, ditegaskan bahwa “Advokat dalam melakukan

tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan

materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum,

kebenaran, dan keadilan”. Hal itu berarti bahwa Advokat

mengutamakan kepentingan hukum dan keadilan dalam

memperjuangkan hak-hak kliennya, selain imbalan materi

yang merupakan konsekuensi langsung dari pembelaan

tersebut. Sementara itu, dalam Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditegaskan bahwa

Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus tetap

berpegang teguh pada itikad baik untuk kepentingan

74

pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Itikad baik

dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas profesinya demi

tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela

kliennya. Hal tersebut berarti bahwa aparat penegak

hukum mengutamakan penekannya pada konsep etika

heteronom. Menurut Emanuel Levinas (seperti diuraikan

pada bagian landasan teori), etika heteronom selalu

mengutaman tanggungjawab pada pihak lain. Yang lain itu

dilihat sebagai ‘wajah’ yang menuntut pertanggungjawaban

kita. Di sini, penegak hukum melihat yang lain (orang

lain) sebagai bagian yang menuntut

pertanggungjawabannya. Penegak hukum harus

bertanggungjawab atas nilai keadilan yang dituntut oleh

pihak-pihak dalam penegakan hukum.

Mempertanggungjawabkan tanggung jawab orang lain berarti

aparat penegak hukum ingin menegakkan hukum sesuai

dengan apa yang mesti menjadi tanggung jawabnya, juga

bertanggung jawab atas hak-hak hukum yang menjadi bagian

dari kliennya. Dengan demikian, penegak hukum, seperti

Advokat dalam melaksanakan tugas profesinya selalu

berupaya untuk menegakkan hukum dan memenuhi rasa

75

keadilan yang sedang dituntut oleh para pihak pencari

keadilan.

C. MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI

KEADILAN

Berbicara tentang moralitas berarti berbicara

tentang struktur dasar yang membentuk manusia. Sebagai

agen moral manusia dibentuk oleh lingkungan (dunia

kehidupan) secara internal dan eksternal. Hal itu

berarti bahwa, manusia dibentuk oleh faktor bawaan (diri

sendiri) dan faktor dari luar dirinya (lingkungan). Ada

moralitas individual dan moralitas kolektif. Moral

individu terbentuk oleh faktor bawaan dan watak

(karakter) individu manusia. Sedangkan moralitas

kolektif dibentuk oleh lingkungan, entah lingkungan

keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan

wawancara dengan beberapa aparat penegak hukum diperoleh

informasi dari narasumber bahwa secara individu penegak

hukum mesti memiliki moralitas secara individual yang

baik. Moralitas individual tersebut diharapkan akan

menjadi secercah harapan yang menerangi (menjadi

76

penerang) kegelapan moralitas kolektif, kalau sebelumnya

moralitas kolektif (kode etik profesi) sangat

memprihatinkan karena tidak dipatuhi dan ditaati oleh

aparat penegak hukum (Anastasia Ririn Tri Setyaningrum,

wawancara 12/09/2013).

Moral kolektif digerakkan oleh kode etik aparat

penegak hukum. Aparat penegak hukum yang bermoral dan

berkomitmen untuk mempertahankan moralitas tersebut

mesti tetap konsisten dengan keyakinan pada moral

pribadi. Ketegasan dan konsistensi pada moralitas

pribadi tersebut membuat aparat penegak hukum

bersangkutan tetap tegar dan konsisten mengahadapi

moralitas kolektif (kode etik) yang sering kali tidak

dipatuhi dan tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.

Ada semacam kesepakatan internal untuk mengabaikan kode

etik dan menciptakan ‘moral kolektif’ yang menyimpang

dari kode etik profesi. Hal itu berarti bahwa, manusia

yang baik mesti terlebih dahulu terbentuk oleh

lingkungan internal dan eksternal yang baik. Namun

pemikiran ideal tersebut tidak terlepas dari kondisi

konkret akan banyaknya aparat penegak hukum yang tidak

77

mampu merealisasikan moral yang baik sehingga berlaku

menyimpang dari moralitas, entah secara individu maupun

secara kolektif.

Menguatnya potensi konflik akibat keterbatasan

natural, di satu pihak, dan keterbatasan hukum positif,

di lain pihak, membuat moral sebagai isi minimum dari

hukum semakin relevan dan urgen. Keterbatasan natural

tersebut mendorong pentingnya memberi tempat pada nilai

moral yang berfungsi mengendalikan individu secara

internal agar mengejar kepentingannya di tengah sumber

daya yang terbatas secara bertanggung jawab. Karena itu

kode etik profesi aparat penegak hukum sangat dibutuhkan

untuk mengatur dan memberikan batasan pertanggungjawaban

profesi. Namun, kode etik sebagai moral kolektif tidak

cukup baik kalau tidak dijalankan oleh individu aparat

penegak hukum yang secara personal bermoral baik. Dengan

demikian perpaduan antara moral individual dan moral

kolektif (kode etik) sangat urgen dibutuhkan dalam

penegakan hukum yang adil dan bermoral.

1. Moralitas dan Kode Etik Profesi Polisi

78

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,

pada Pasal 4 mengatur tentang ruang lingkup Kode Etik

Profesi Polri yakni huruf (a) tentang etika

kenegaraan. Etika Kenegaraan adalah sikap moral

Anggota Polri terhadap Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan

kebhinekatunggalikaan. Dalam Pasal 5 diuraikan bahwa

etika kenegaraan memuat pedoman berperilaku anggota

Polri dalam hubungan dengan: (1). tegaknya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (2). Pancasila;

(3). Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; dan (4). kebhinekatunggalikaan.

Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,

huruf (b) diuraikan tentang etika kelembagaan. Etika

Kelembagaan adalah sikap moral Anggota Polri

terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan

79

patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin

dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat

dan kehormatannya sesuai dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya. Pada

Pasal 5 ditegaskan bahwa Etika Kelembagaan memuat

pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan

dengan: (1). Tribrata sebagai pedoman hidup; (2).

Catur Prasetya sebagai pedoman kerja; (3).

sumpah/janji Anggota Polri; dan (4). sumpah/janji

jabatan.

Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,

huruf (c) ditegaskan tentang etika kemasyarakatan.

Etika kemasyarakatan adalah sikap moral Anggota

Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta

melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat

dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya

Indonesia. Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika

kemasyarakatan memuat pedoman berperilaku Anggota

80

Polri dalam hubungan dengan: (1). pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); (2).

penegakan hukum; (3). pelindung, pengayom, dan

pelayan masyarakat; dan (4). kearifan lokal, antara

lain gotong royong, kesetiakawanan, dan toleransi.

Pada Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

huruf (d) diuraikan tentang etika kepribadian. Etika

kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan

Anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan,

ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika kepribadian

memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam

hubungan: (1). kehidupan beragama; (2). kepatuhan

dan ketaatan terhadap hukum; dan (3). sopan santun

dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,

berbangsa,dan bernegara.

Dari ruang lingkup Kode Etik Profesi Polri

tersebut tampak jelas bahwa Polisi sebagai aparat

81

penegak hukum harus mengabdikan diri kepada Negara,

kepada institusi Kepolisian, kepada masyarakat,

dengan kekuatan dan kemampuan kepribadian yang baik

dan bermoral (etika kepribadian). Menurut Beja

(wawancara, 27/09/2012) seorang penegak hukum

(Polisi) mesti memiliki moralitas individual yang

baik agar bisa mengabdi dengan baik pula kepada

negara, institusi kepolisian, dan kepada masyarakat.

Tanpa memiliki moralitas yang baik, sulit

mengharapkan kepada aparat penegak hukum (polisi)

dapat melakukan tugas pengabdian dengan baik. Jadi

menurut Beja, moral individu dan moral kolektif

(dalam kode etik) mesti berjalan beriringan agar

aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dengan baik dan mencapai tujuan-

tujuan hukum yang diinginkan oleh semua pihak,

termasuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak.

2. Moralitas dan Kode Etik Profesi Hakim

Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik

Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012

dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode

82

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Pasal 4 ditegaskan

mengenai kewajiban dan larangan bagi Hakim yang

dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim, yaitu: (a) berperilaku adil;

(b) berperilaku jujur; (c) berperilaku arif dan

bijaksana; (d) bersikap mandiri; (e) berintegritas

tinggi; (f) bertanggung jawab; (g) menjunjung tinggi

harga diri (h) berdisiplin tinggi; (i) berperilaku

rendah hati; dan (j) bersikap profesional. Berikut

ini, penulis akan menguraikan beberapa hal penting

dari kode etik tersebut yang berkaitan dengan

kepentingan tesis.

a. Berperilaku adil. Dalam Pasal 5 Peraturan Bersama

Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial

Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang

Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim, dijelaskan bahwa berperilaku adil berarti:

Menempatkan sesuatu pada tempatnya danmemberikan yang menjadi haknya yang didasarkanpada suatu prinsip bahwa semua orang sama

kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,tuntutan yang paling mendasar dari keadilanadalah memberikan perlakuan dan memberikan

kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap

83

setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yangmelaksanakan tugas atau profesi di bidang

peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus

selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Dengan demikian adil berarti tidak

diskriminatif dalam penegakan hukum (equality before the

law). Semua warga negara mesti diperlakukan sama di

hadapan hukum tidak membeda-bedakan. Setiap orang

mesti diberikan porsi yang sama dan seimbang dalam

hal penegakan hukum. Memberikan keistimewaan terhadap

orang tertentu berarti mencoreng dan melukai

superioritas hukum. Hal tersebut seperti ditegaskan

John Rawls dalam prinsip keadilannya bahwa “setiap

orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan yang

sama yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang” (John Rawls, 1995:72). Hal itu

berarti bahwa setiap orang diberikan hak yang sama

dan kebebasan yang sama untuk diperlakukan secara

adil di hadapan peraturan dalam proses penegakan

hukum. Tidak ada upaya dari aparat penegak hukum

untuk menekan hak seseorang sementara membiarkan

84

orang lain bebas di hadapan hukum. Karena itu bagi

John Rawls, sebuah lembaga yang adil adalah lembaga

yang otoritasnya berlaku netral dan tidak dipengaruhi

oleh pertimbangan-pertimbangan personal, moneter dan

pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak

bersesuaian.

Menurut Rawls salah satu ketidakadilan lembaga

hukum adalah kegagalan para hakim dan otoritas lain

untuk mematuhi aturan-aturan yang sesuai atau

interpretasi-interpretasinya dalam mengambil

keputusan (John Rawls, 1995:70). Bagi Rawl dalam hal

penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan harus

ada kriteria atau standard independen untuk

memutuskan hasil mana yang adil dan sebuah prosedur

dijamin mengarah kepada keadilan (John Rawls,

1995:101). Dengan demikian aparat penegak hukum sudah

memiliki konsep keadilan berdasarkan hukum dan juga

berdasarkan nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat untuk menentukan sebuah keputusan hukum

yang adil bagi para pihak.

85

b. Berperilaku Jujur. Menurut Pasal 6 Peraturan Bersama

Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial

Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang

Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim, berperilaku jujur berarti:

Dapat dan berani menyatakan bahwa yang benaradalah benar dan yang salah adalah salah.Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yangkuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yanghak dan yang batil (buruk). Dengan demikian, akanterwujud sikap pribadi yang tidak berpihakterhadap setiap orang baik dalam persidangan

maupun di luar persidangan.

Uraian tersebut bermakna bahwa berperilaku

jujur berkaitan sangat erat dengan membedakan secara

tegas antara yang benar dan yang tidak benar. Aparat

penegak hukum yang jujur akan membentuk dirinya

menjadi pribadi yang kuat, yang tahu membedakan hak-

hak orang lain dan tahu membedakan yang baik dan yang

jahat, tidak berpihak dan tidak kompromistis terhadap

kejahatan. Orang yang jujur selalu berlaku tegas dan

fair.

Menurut Franz Magnis-Suseso, bersikap jujur

berarti bersikap adanya, bersikap berdasarkan apa

86

yang muncul dari dalam diri sebagai diri kita

sendiri, sesuai dengan keyakinan kita. Jujur berarti

tidak menyebunyikan wajah kita yang sebenarnya, atau

tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan-

harapan dan keinginan orang lain. Dalam sikap dan

tindakannya, manusia diharapkan untuk tanggap

(respon) terhadap kebutuhan orang lain, kepentingan

dan hak orang lain yang berhadapan dengan kita. Kita

tidak bersikap egois belaka. Manusia seharusnya

bersikap berkorban demi kepentingan orang lain. Namun

hal itu kita lakukan bukan sekedar untuk menyesuaikan

diri dengan kepentingan dan harapan orang lain,

melainkan sebagai diri kita sendiri dengan sikap

moral yang otonom bahwa berkorban untuk orang lain

itu baik (Franz Magnis-Suseno, 1987:142). Dengan

demikian, seorang penegak hukum yang baik dan

berperiku jujur berarti seorang penegak hukum yang

sadar dan tahu bahwa berperilaku jujur itu baik dalam

dirinya sendiri. Berperilaku jujur bukan karena

memenuhi harapan-harapan orang lain, tetapi karena

berperilaku jujur dalam dirinya sendiri baik adanya.

87

Dalam etika deontologis, Emannuel Kant menegaskan

bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan

tidak bergantung dari apakah ketaatan atas norma

tersebut membawa hasil yang menguntungkan atau tidak.

Misalnya, norma moral ‘jangan berbohong’ atau

‘bertindaklah secara adil’ tidak perlu

dipertimbangkan terlebih dahulu apakah menguntungkan

atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu

dan di mana saja harus ditaati entah apa pun

akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia

sebagai manusia rasional (Imannuel Kant seperti

dikutip dalam J. Sudarminta, 2013:136). Bagi Kant,

hukum moral selalu mengarahkan manusia pada kebaikan.

Karena itu manusia mesti melakukan perintah moral

sebab perintah moral tersebut baik dan adil dalam

dirinya sendiri. Dengan demikian aparat penegak hukum

juga wajib berperilaku jujur karena perintah moral

tersebut baik dalam dirinya sendiri dan bukan

berperilaku jujur untuk memenuhi harapan-harapan

orang lain atau demi kepentingan yang menguntungkan

individu dan kelompok tertentu.

88

c. Berperilaku arif dan bijaksana. Menurut Pasal 7

Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia

dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan

02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku arif dan

bijaksana berarti:

Mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yanghidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum,norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupunkesusilaan dengan memperhatikan situasi dankondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkanakibat dari tindakannya. Perilaku yang arif danbijaksana mendorong terbentuknya pribadi yangberwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yangtinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.

Kebijaksanaan dan kearifan aparat penegak hukum

dalam menegakkan hukum mengandaikan jangkauan wawasan

dan pengetahuan yang luas dan berakar pada norma-

norma keagamaan, kebiasaan dan kesusilaan. Bijaksana

dan arif berarti sikap yang selalu didasarkan

pertimbangan yang matang dan hati-hati untuk

menentukan suatu pilihan dan memutuskan suatu

perkara. Orang yang bijaksana juga selalu membuka

diri dan berdialog dengan orang lain untuk menentukan

sikap dan pilihan, serta memutuskan secara tepat

89

suatu persoalan sehingga memenuhi rasa keadilan bagi

semua pihak.

d. Berintegritas tinggi. Dalam Pasal 9, Peraturan

Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi

Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan

02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, angka (1)

berintegritas tinggi di maknai sebagai “memiliki

sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan

tak tergoyahkan; angka (2) integritas tinggi pada

hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh

berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang

berlaku dalam melaksanakan tugas; angka (3)

integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi

yang berani menolak godaan dan segala bentuk

intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani

untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu

berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik

untuk mencapai tujuan terbaik.

e. Berperilaku bertanggungjawab. Dalam pasal 10

Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia

90

dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan

02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bertanggungjawab

berarti “kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya

segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya,

serta memiliki keberanian untuk menanggung segala

akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya

tersebut”.

f. Profesional. Dalam Pasal 14 Peraturan Bersama

Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial

Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang

Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim, profesional berarti “suatu sikap moral yang

dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang

dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh

keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan

wawasan luas.

Manusia (aparat penegak hukum) dalam

keterbatasan, ketidakmampuan dan ketidaksempurnaannya

tersebut membutuhkan sarana-sarana pembantu yang

membantu dia, agar dapat berkembang menjadi aparat

91

yang bermoral. Sarana pendukung tersebut antara lain:

pertama, struktur hukum yang baik. Kedua, lingkungan

kerja yang mendukung. Ketiga, sistem penegakan hukum yang

tidak memberi peluang bagi penyimpangan dalam

penegakan hukum. Keempat, kehidupan ekonomi aparat

penegak hukum diperhatikan dan dijamin.

3. Moralitas dan Kode Etik Profesi Advokat

Dalam Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia,

huruf (a) ditegaskan bahwa:

Advokat dapat menolak untuk memberikan nasihatdan bantuan hukum kepada setiap orang yangmemerlukan jasa hukum dan/atau bantuan hukumdengan pertimbangan tidak sesuai dengankeahliannya dan bertentangan dengan hatinuraninya, tetapi tidak menolak dengan alasankarena perbedaan suku, agama, kepercayaan,keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik, dankedudukan sosialnya.

Substansi Pasal 3 tersebut hendak menegaskan

kejujuran seorang Advokat untuk mengakui dan

menyadari kemampuan dan juga ketidakmampuannya.

Advokat akan mengatakan kemampuannya untuk menangani

suatu perkara yang benar-benar sesuai dengan latar

92

belakang pengetahuan dan kesanggupan untuk

menyelesaikan perkara tersebut sampai tuntas sesuai

dengan peraturan dan hukum yang berlaku untuk

memenuhi keadilan para pencari keadilan (baca:

Kliennya). Hal tersebut sesuai dengan teori etika

heteronom Emannuel Levinas (pada landasan teori)

bahwa seseorang mesti bertanggung jawab atas tanggung

jawab orang lain, khususnya bagi mereka yang tidak

mampu mempertanggungjawabkan hak-haknya. Di sini

tugas para Advokat adalah melindungi hak-hak hukum

para kliennya, menjelaskan bahwa setiap orang

sekalipun bersalah, tetap mempunyai hak-hak hukum. Di

lain pihak seorang Advokat juga mengakui keterbatasan

dan kesanggupannya kalau perkara tersebut di luar

jangkauan kemampuanya atau sesuatu yang bertentangan

dengan hati nurani. Sikap seorang Advokat yang

bermoral adalah mengatakan dengan tegas sesuatu

sebagai benar atau salah. Advokat tidak dibenarkan

untuk menggunakan keahliannya demi mendapatkan

keuntungan secara ekonomis walaupun perkara hukum

tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hati nurani

93

dan moral. Oleh karena itu sikap jujur dan terbuka

seorang advokat sangat dibutuhkan agar hukum bisa

benar-benar ditegakkan secara adil. Seorang Advokat

juga tidak dibenarkan untuk melakukan diskriminasi

dalam upaya pembelaan hak-hak hukum para kliennya.

Semua orang memiliki kesamaan kedudukan di hadapan

hukum. Jadi, semua orang memiliki hak yang sama untuk

dibela dan dilindungi hak-hak hukumnya.

Selain itu, pada Pasal 3 huruf (b) Kode Etik

advokat Indonesia juga dijelaskan bahwa “Advokat

dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata

untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih

mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan”.

Hal itu berarti bahwa hal yang paling diprioritaskan

dalam upaya pembelaan yang dilakukan Advokat adalah

supaya nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam hukum

sungguh-sungguh ditegakkan. Karena itu segala praktek

yang berkaitan dengan ‘jual beli perkara’ atau mafia

peradilan sangat tidak dibenarkan dan bahkan

merendahkan keluhuran tugas dan tanggung jawab

seorang Advokat. Bukan materi yang menjadi tujuan

94

utama pembelaannya tetapi lebih karena tegaknya

kebenaran dan keadilan agar hukum tetap superior.

4. Moralitas dan Kode Etik Profesi Jaksa

Dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode

Perilaku Jaksa diuraikan bahwa dalam melaksanakan

tugas profesi, Jaksa wajib:

a). Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-

undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Hal

itu berarti bahwa seorang jaksa tidak boleh

bertindak di luar aturan hukum yang berlaku.

Tindakan penuntutan yang dilakukan jaksa berkaitan

dengan kasus tertentu yang berada di luar aturan

hukum akan dinilai tidak bermoral dan menyalahi

kode etik perilaku jaksa. Karena itu tidak

dibenarkan adanya hasil tuntutan jaksa yang

didasarkan pada hasil konsultasi dengan atasan.

Hal itu dapat berbahaya, karena jaksa penuntut

umum dapat saja terjebak pada moral atasan yang

tidak baik, dan meninggalkan komitmen moralitas

95

dan komitmen individual seorang jaksa untuk

menuntut secara benar dan adil seperti diuraikan

oleh Krisna Pramono selaku intelijen Kejaksaan

Negeri Yogyakarta (wawancara, 12/09/2013).

b). Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya

ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Prinsip biaya ringan dapat mempermudah para pencari

keadilan yang terbatas secara ekonomis. Sedangkan

prinsip cepat dan sederhana membantu para pihak

pencari keadilan agar tidak terlalu bertele-tele

terlibat dalam prosedur hukum. Prinsip tersebut

juga bermaksud agar para pencari keadilan tetap

semangat dan berkomitmen untuk mengikuti prosedur

hukum yang berlaku. Karena kalau prosedur hukum

terlalu kompleks dan berbelit-belit akan

menciptakan peluang bagi para pencari keadilan

untuk mencari cara mudah dan sederhana

menyelesaikan kasus hukum bahkan melalui tindakan

penyuapan atau penyogokan. Dengan demikian prosedur

hukum tidak akan diikuti dan upaya untuk mencapai

keadilan sulit terpenuhi.

96

c). Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang

sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Jaksa

mesti memiliki keyakinan untuk menuntut perkara

secara benar dan adil karena memiliki pengetahuan

dan wawasan yang luas serta memiliki integritas

moral yang tinggi untuk mencapai keadilan dan

kebenaran.

d). Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan

/ancaman opini publik secara langsung atau tidak

langsung. Jaksa yang memiliki integritas moral akan

menuntut suatu perkara secara mandiri tanpa

dipengaruhi oleh tekanan dan ancaman apa pun.

Dengan demikian pengaruh apa pun tidak akan sanggup

mempengaruhi tuntutan oleh jaksa terhadap suatu

perkara agar nilai keadilan bisa diwujudkan.

e). Bertindak secara obyektif dan tidak memihak.

Seorang jaksa harus berlaku objektif terhadap suatu

perkara berdasarkan bukti-bukti hukum yang otentik

dan meyakinkan dalam suatu penuntutan. Sikap

objektif dan tidak memihak ini mengandaikan sikap

97

dasar dan ketegasan moral seorang jaksa untuk tetap

berpihak dan memperjuangkan keadilan para pihak.

f). Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang

dimiliki oleh tersangka /terdakwa maupun korban.

g). Membangun dan memelihara hubungan fungsional

antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan sistem

peradilan pidana terpadu.

h). Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang

mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,

mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau

finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara

langsung atau tidak langsung. Hal tersebut

dilakukan untuk menghindari penuntutan yang tidak

adil terhadap perkara hukum tertentu.

i). Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang

seharusnya dirahasiakan.

j). Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat

sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan

perundang-undangan.

k). Menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan

hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam

98

peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak

Asasi Manusia yang diterima secara universal.

l). Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.

Setiap kritik yang konstruktif tentu akan menambah

pengetahuan dan wawasan jaksa dalam penegakan hukum

agar tetap mengutamakan keadilan dan kebenaran.

Selain itu kritik juga menjadi sarana kontrol

sosial entah secara internal maupun eksternal agar

jaksa sebagai penegak hukum senantiasa bersikap baik,

setia, dan konsisten menjalankan tugas profesinya.

m). Bertanggung jawab secara internal dan

berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

n). Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik

sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi

masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.

D. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI APARAT PENEGAK HUKUM DALAM

MEMPERBAIKI MORALITAS SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KEADILAN

Berdasarkan hasil penelitian, penulis mencatat

beberapa hal yang menjadi kendala yang dihadapi dalam

penegakan hukum:

99

1. Pencari keadilan tidak mau repot. Menurut Sutedjo

(wawancara/12/09/2013) kasus tersebut sering terjadi

pada masalah penertiban lalu lintas. Banyak pelanggar

lalu lintas yang tidak mau repot dan langsung

membayar uang pada saat pelanggarannya diketahui

aparat, dan tidak mau mengikuti sidang sesuai dengan

prosedur yang berlaku. Hal tersebut sebenarnya

menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum

masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum sesuai

dengan prosedur hukum yang berlaku. Di samping

kesadaran hukum masyarakat yang relatif rendah, juga

terdapat ketidaktegasan aparat penegak hukum yang

memanfaatkan situasi tersebut. Kalau aparat penegak

hukum (polisi) tegas dalam menegakkan hukum, maka hal

itu sebenarnya menjadi suatu pendidikan hukum yang

sangat baik bagi masyarakat, agar mereka menyadari

pelanggarannya. Dengan membayar sejumlah uang,

masyarakat merasa bahwa hukum mudah dibeli dengan

uang, sehingga setiap pelanggaran yang dilakukan

mudah diselesaikan dengan uang. Hal tersebut

menyebabkan hukum menjadi tidak superior, mudah

100

disogok dan dibuat sewenang-wenang oleh orang-orang

yang memiliki banyak uang. Karena itu, pencari

keadilan dan penegak hukum mesti mengikuti prosedur

hukum yang sungguh-sungguh agar hukum tetap superior

dan upaya mencapai keadilan bisa tercapai.

2. Mafia Hukum

Para mafia hukum ini umumnya berasal dari sarjana

hukum yang memahami hukum dengan baik. Aparat penegak

hukum juga tidak terlepas dari praktek yang disebut

‘perdagangan perkara’. Menurut Anastasia Ririn Tri

Setyaningrum (wawancara 12/09/2013) suatu praktek

jual beli perkara terjadi ketika untuk “suatu

tuntutan dan putusan” aparat penegak hukum menarik

suatu harga tertentu. Akibatnya, pihak yang membayar

akan dimenangkan, dengan memanipulasi pasal-pasal

dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan perkara tersebut.

3. Ketidaktegasan Aparat Penegak Hukum

Menurut Anastasia Ririn Try Setyaningrum,

ketika menghadapi orang-orang yang memiliki jabatan

dan kekuasaan, aparat penegak hukum tidak berani

101

bersikap tegas. Tidak jarang pula aparat penegak

hukum harus mencari pasal-pasal yang bisa meringankan

pejabat tersebut, bahkan kalau dipenjarakan para

pejabat umumnya diberi fasilitas yang lebih baik

dibanding orang biasa. Dalam kasus tersebut, hukum

tampak diskriminatif. Hal itu tampak kontraktif

dengan penegasan yang tertuang dalam Pasal 5 huruf

(a) dan pasal 7 huruf (a) Undang-undang Nomor 40

Tahun 2008, tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras Dan

Etnis. Dalam Pasal 5 huruf (a) ditegaskan bahwa

“perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di

dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup

bebas dari diskriminasi ras dan etnis”. Sedangkan

Pasal 7 huruf (a) ditegaskan bahwa pemerintah dan

pemerintah daerah wajib:

Memberikan perlindungan yang efektif kepadasetiap warga negara yang mengalamitindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum

terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Karena itu tindakan diskriminasi secara hukum

tidak dibenarkan. Setiap warga negara mesti

102

mendapatkan proses peradilan yang adil sesuai dengan

prosedur hukum tanpa membeda-bedakan latar belakang

ras dan etnis. Tugas dan keharusan tersebut mesti

disadari oleh seluruh warga negara dan juga

ditegaskan pemerintah yang direpresentasikan dalam

lembaga-lembaga penegak hukum.

4. Sistem dan prosedur Rekrutmen

Menurut Mahendra Sony Indriyo (wawancara

12/09/2013), sistem rekrutmen dan prosedur yang tidak

fair membuat aparat penegak hukum yang direkrut tidak

sesuai dengan kriteria seorang penegak hukum yang

kredibel dan bermoral. Karena itu, sistem rekrutmen

harus diperbaiki agar aparat penegak hukum yang

direkrut melalui sistem yang baik menjadi aparat

penegak hukum yang bermoral tinggi sehingga upaya-

upaya untuk mencapai keadilan hukum minimal bisa

diwujudkan.

Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan

hukum adalah prosedur yang benar dan adil dan

menjamin hasil akhir yang benar dan adil pula. Hasil

dari kesepakatan harus dilihat sebagai fair atau adil

103

karena ada semacam posisi yang sejati (yang baik dan

benar secara natural) yang bisa menjamin suatu

situasi yang adil bagi semua pihak (John Rawls,

seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan, 2001:42). Oleh

karena itu, dalam kaitan dengan sistem rekrutman

maka, seorang aparat penegak hukum mesti direkrut

dengan prosedur dan sistem yang berlaku agar penegak

hukum yang lulus seleksi benar-benar sesuai dengan

kemampuan, kualitas dan kredibilitasnya sebagi aparat

penegak hukum yang memiliki integritas moral. Aparat

penegak hukum yang telah direkrut melalui prosedur

dan sistem yang baik dan benar diharapkan dapat

menegakkan hukum dengan baik, benar, dan bermoral

dalam upaya mencapai keadilan hukum.

E. UPAYA-UPAYA MEMPERBAIKI MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM

Menurut penelitian yang dilakukan penulis di

sejumlah kantor penegakan hukum di wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta, aparat penegak hukum umumnya

berpendapat bahwa peningkatan moralitas aparat penegak

hukum mesti dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut:

104

1. Memberikan ceramah-ceramah keagamaan. Ceramah

keagamaan tersebut tentu mesti diberikan oleh para

tokoh agama yang memiliki moralitas baik sehingga

menjadi panutan banyak orang. Karena itu, ceramah

keagamaan tersebut lebih layak diberikan oleh para

pemimpin agama memiliki sikap, keteladanan, dan

moralitas yang kredibel sebagai contoh yang baik bagi

banyak orang termasuk bagi aparat penegak hukum.

Dengan demikian, ceramah-ceramah yang disampaikan

merupakan penegasan (afirmasi) dari sikap dan

moralitas seorang penceramah yang baik yang menjadi

teladan bagi semua pihak termasuk aparat penegak

hukum.

2. Memperbanyak keterampilan hukum. Hal tersebut

bermaksud bahwa dengan memiliki keterampilan hukum

yang semakin baik, kemampuan untuk menginterpretasi

semakin ditingkatkan dan diperkaya maka, aparat

penegak hukum dapat menerapkan pemahaman yang baik

dan benar tersebut dalam proses penegakan hukum,

sehingga upaya mencapai keadilan dapat terwujud.

105

3. Penegak hukum mesti berwawasan inter-disipliner.

Penegak hukum yang berwawasan luas akan dengan mudah

memutuskan suatu perkara (Beja, wawancara,

27/09/2013). Hal tersebut berarti bahwa seorang

aparat penegak hukum mesti membekali diri dengan

banyak ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu

humaniora yang memampukan aparat penegak hukum dapat

mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang

matang, bijaksana, dan bertanggungjawab karena

dilandasi keluasan pengetahuan dan wawasan.

4. Perbaikan sistem hukum. Sistem hukum yang semakin

baik akan memudahkan para pencari keadilan dan aparat

penegak hukum semakin efektif dan efisien dalam

menegakkan hukum dengan prosedur yang lebih mudah dan

dengan biaya yang ringan. Dengan prosedur yang lebih

sederhana dan biaya yang ringan, sistem hukum

tersebut akan turut mambantu dan mempermudah

masyarakat pencari keadilan untuk mengikuti prosedur

hukum dengan sungguh-sungguh. Selain itu, perbaikan

sistem hukum dilakukan untuk menghindari praktek-

praktek hukum yang menguntungkan pihak tertentu dan

106

merugikan pihak lain, seperti yang terjadi dalam

praktek jual beli perkara atau mafia peradilan.

5. Lingkungan penegakan hukum yang mendukung. Suasana

lembaga penegak hukum harus kondusif sehingga

memungkinkan setiap aparat penegak hukum dapat

menjalankan tugas dengan baik dan benar. Kondisi yang

baik dalam instansi atau lembaga penegak hukum juga

dapat membuat setiap aparat penegak hukum dapat

bertumbuh dengan baik dalam aspek moralitas, sehingga

dapat menegakkan hukum yang baik dan benar serta

mengarah pada nilai-nilai keadilan yang dikehendaki

semua pihak.

6. Keteladan secara individu dan kolektif. Secara

individu setiap aparat penegak hukum mesti menjadi

pribadi yang baik sehingga dapat menjadi panutan yang

baik bagi setiap orang dalam ruang lingkup aparat

penegak hukum. Selain itu, secara kolektif atau

bersama-sama lembaga penegak hukum tersebut mesti

menunjukkan sikap (teladan) yang baik dan benar bagi

masyarakat agar menjadi lembaga yang kehadirannya

kredibel serta diterima oleh masyarakat.

107

7. Perbaikan sistem rekrutmen. Sistem rekrutmen

diharapkan dapat berjalan dengan baik dan objektif

agar setiap pribadi yang sudah melalui prosedur

rekrutmen yang baik dan benar tersebut dapat menjadi

aparat penegak hukum yang baik pula dalam menegakkan

hukum dan keadilan.

8. Gaji yang cukup bagi aparat penegak hukum. Persoalan

ekonomis menjadi hal yang sangat serius dan mendesak

untuk diperhatikan. Hal itu terkait dengan aparat

penegak hukum yang memiliki gaji sangat terbatas

untuk kebutuhan keluarga dan pemenuhan kebutuhan

ekonomis lainnya. Dengan keterbatasan ekonomi dan

jaminan hidup yang terbatas, mereka dapat saja dengan

mudah menerima uang suap sebagai ‘tambahan gaji’

untuk memenuhi kebutuhan harian. Hal tersebut memang

tidak mutlak benar sebab banyak aparat penegak hukum

dengan gaji mencukupi juga tetap melakukan praktek

suap-menyuap. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa

urgensitas kebutuhan ekonomi tersebut telah

meruntuhkan keteguhan moral, sehingga aparat penegak

108

hukum dapat melakukan praktek yang menyimpang dari

praktek penegakan hukum yang adil dan benar.

9. Kontrol dari pimpinan sebagai kontrol internal dan

kontrol sosial dari masyarakat sebagai kontrol

eksternal (Sutedjo, Wawancara 12/09/2013). Dalam

membantu aparat penegak hukum tetap berpegang pada

nilai-nilai kebaikan atau moralitas, dibutuhkan

kontrol yang berasal dari pimpinan lembaga penegak

hukum. Hal itu hanya berlaku kalau pemimpin memiliki

integritas moral yang baik dan menjadi teladan bagi

semua orang di lingkungan lembaga penegak hukum.

Selain itu, kontrol dan sikap kritis dari masyarakat

sangat dibutuhkan agar aparat penegak hukum dapat

menjalankan tugas sesuai tugas dan kewajibannya.

Artinya kontrol sosial masyarakat membantu aparat

penegak hukum untuk tidak menyimpang dari tugas dan

tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum yang

bermoral baik dan berlaku adil dalam penegakan hukum.

10. Pelatihan-pelatihan yang sifatnya meningkatkan

profesionalitas. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat

berupa in service training yaitu suatu pendidikan bagi

109

aparat penegak hukum untuk mempertinggi mutu

pelaksaan pekerjaan atau tugas-tugas khusus. Selain

itu, meningkatkan kemampuan teknis akademis, misalnya

kemampuan menganalisis masalah hukum dalam

masyarakat, meningkatkan kepekaan akan masalah

keadilan dan masalah sosial lainnya, dan meningkatkan

kemampuan untuk menggunakan hukum sebagai sarana

untuk memecahkan masalah konkret secara bijaksana

berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Konkretnya,

pelatihan kemampuan dan keterampilan penyidik seperti

polisi, misalnya, untuk menyelidiki dan menyidik

kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia maya

(cyber crime).

11. Menyamakan visi dan misi dari instansi penegak hukum

(pengadilan). Visi dan misi yang disamakan tersebut

lebih terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan

upaya untuk mencapai keadilan hukum. Artinya,

prosedur pemeriksaan perkara, misalnya, harus

objektif dan sungguh-sungguh sehingga hasil akhir

yang diharapkan dapat terwujud karena aparat penegak

hukum sudah melalui prosedur yang baik dan benar.

110

Menurut Fence M. Wantu (2011:174-195) ada

sejumlah upaya untuk meningkatkan profesionalitas dan

moralitas aparat penegak hukum antara lain:

1. Pengangkatan aparat penegak hukum

a) Intelektualitas. Kemampuan tersebut berkaitan

dengan kesanggupan aparat penegak hukum

memahami dan menginterpretasikan hukum dengan

baik dan benar karena keluasan wawasan dan

pengetahuan hukum. Kemampuan tersebut juga

memampukan aparat penegak hukum untuk

memutuskan perkara yang memenuhi rasa keadilan

bagi semua pihak.

b) Integritas. Kemampuan ini berkaitan dengan

kesanggupan aparat penegak hukum untuk tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai yang berakar

dalam kepribadian aparat dan keyakinan diri

yang teguh untuk memutuskan suatu perkara hukum

secara adil dan bertanggung jawab.

c) Pendidikan, penataran, rapat-rapat berkala, dan

diklat.

111

d) Langkah-langkah efisiensi dan efektifitas

kelas-kelas diklat.

2. Pendidikan aparat penegak hukum

a) Model pendidikan dan pelatihan. Harus ada model

pendidikan dan latihan terencana yang dibuat

lembaga penegak hukum bersangkutan yang efektif

untuk meningkatkan profesionalitas dan

moralitas aparat penegak hukum.

b) Pengetahuan akan penemuan hukum, teori hukum

dan filsafat hukum.

3. Penguasaan terhadap ilmu hukum

a) Mengakses, menggunakan serta mengolah informasi

secara tepat dan rasional.

b) Berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik

secara lisan maupun tulisan).

c) Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-

masalah hukum dalam rangka pengambilan

keputusan hukum yang tepat.

4. Moral aparat penegak hukum

Aparat penegak hukum dituntut untuk

mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai

112

moralitas umum (Fence M.Wantu, 2011:188) yang

terdiri atas:

a) Nilai-nilai kemanusiaan (humanity), dalam arti

menghormati keluhuran martabat kemanusiaan;

b) Nilai-nilai keadilan (justice), yakni dorongan

untuk selalu memberikan kepada orang apa yang

menjadi haknya;

c) Nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, dalam arti

bahwa upaya mewujudkan keadilan dalam

masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk

memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas

situasi dan rasa keadilan individual dan

kolektif masyarakat;

d) Nilai-nilai kejujuran, dalam arti selalu

terdorong untuk memelihara kejujuran dan

menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang

curang;

e) Keharusan untuk memiliki kualitas keahlian

dalam keilmuan yang tinggi dalam disiplin ilmu

hukum pada para pengembannya;

113

f) Nilai-nilai pelayanan dan kepentingan publik,

yakni bahwa dalam pengembanan profesi hukum

telah melekat semangat keberpihakan pada hak-

hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan

dengan memegang teguh nilai keadilan,

kejujuran, kredibilitas profesi dan keilmuan.

5. Kesejahteraan aparat penegak hukum. Aspek

kesejahteraan aparat penegak hukum harus

diperhatikan secara serius agar mereka dapat

menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-undang

dan kode etik profesi.

Selain itu upaya untuk melahirkan aparat penegak

hukum yang memiliki integritas moral mesti dimulai sejak

dini. Pembentukan moralitas aparat penegak hukum yang

baik dan berlaku adil mesti dimulai sejak manusia hidup,

bertumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan yang

baik. Seorang pribadi yang baik, lahir dan terbentuk

dalam suatu atmosfir keluarga yang selalu mengajarkan

dan menanamkan nilai-nilai moral yang baik. Menurut

Rawls, dalam sebuah keluarga yang baik moralitas seorang

anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik pula.

114

Orang tua harus menjadi conroh bagi moralitas yang

mereka ajarkan kepada anak-anak mereka, juga menjelaskan

prinsip-prinsip yang mendasari moralitas tersebut (John

Rawls, 1995:606). Berawal dari keluarga yang baik akan

terbentuk seorang pribadi yang baik dalam perkembangan

selanjutnya ketika dia memasuki dunia pendidikan dan

dunia kerja. Lembaga pendidikan, seperti lembaga

pendidikan hukum juga memberikan peluang yang

memungkinkan seorang aparat penegak hukum akan

berkembang dengan baik secara moral, asalkan para

pendidikan juga menjadi contoh yang baik bagi para

peserta didik. Menurut Rawls, keteladanan moral bisa

dicapai kalau orang-orang yang dalam berbagai cara

dikagumi (seperti para pendidik) dan yang dalam taraf

lebih tinggi karena otoritasnya, menunjukkan cita-cita

moral yang sesuai dengan posisi atau jabatan mereka

(John Rawls, 1995:613). Hal itu berarti bahwa para

pendidik sudah menunjukkan keahlian, kecakapan, dan

kebajikan yang mengundang keinginan orang lain untuk

mengikuti teladannya. Di sini keteladanan moral seorang

penegak hukum menjadi kekuatan yang turut mempengaruhi

115

superioritas hukum dan juga sebagai upaya untuk mencapai

keadilan.

Sistem pendidikan juga mesti membuat para akademisi

hukum merasa dididik secara jujur tanpa ada penyimpangan

dan penyelewengan. Selain itu dalam menghadapi profesi

hukum, sistem hukum yang baik, sistem penegakan hukum

yang baik, dengan moral kolektif yang kredibel akan

memungkin setiap aparat penegak hukum akan menegakkan

hukum secara baik (bermoral) dan memenuhi rasa keadilan

semua pihak (Antonius Wisnu, wawancara 12/09/2013). Kita

tidak dapat mengharapkan penegakan hukum yang adil,

kalau penegakan hukum tidak terbentuk secara baik dalam

proses pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga

pendidikan hukum, lingkungan masyarakat dan lingkungan

penegakan hukum. Karena itu, struktur sosial masyarakat

sebagai basis moral harus ditata dengan baik, agar

individu-individu seperti karakter individu aparat

penegak hukum (yang oleh John Rawls disebut agen moral)

dapat berkembang menjadi pribadi yang baik dalam

menjalankan tugas penegakan hukum. Kekuatan kebaikan

(kekuatan moral) dapat menjadi modal dalam menentukan

116

penilaian moral dan penegakan hukum yang bermoral dan

adil. Pada prinsipnya, pribadi yang baik akan memberi

pengaruh positif dalam pelaksanaan tugas profesinya dan

hal itu akan tampak juga dari hasil kerjanya. Seorang

pribadi yang bermoral baik akan tampak dari karakter,

perbuatan dan keputusan-keputusannya (Anastasia Ririn

Tri setyaningrum, wawancara 12/09/2013). Menurut

Anastasia Ririn, dalam sebuah struktur penegakan hukum,

moralitas tidak terlepas dari keteladanan seorang

pemimpin. Seorang atasan atau pemimpin yang baik dengan

teladan yang baik akan memberikan dampak positif bagi

orang-orang yang dipimpinnya. Moralitas individual

sangat penting bagi moralitas kolektif dalam sebuah

lembaga penegak hukum. Moral individu akan memberikan

pengaruh positif bagi lingkungan kerja sehingga

mempengaruhi moral kolektif. Karena itu, aparat penegak

hukum mesti ditanamkan sejak dini moralitas baik yang

melekat pada dirinya, agar tidak goyah dan mudah dibawah

arus dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermoral

dalam melaksanakan profesi hukum.

117

Profesi hukum merupakan suatu profesi yang menuntut

pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral

itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari

perbuatan luhur. Upaya untuk memperbaiki moral aparat

penegak hukum menurut Frans Magnis Suseno (1987:142-

150), mesti memenuhi lima kriteria moral sebagai

berikut:

1. Kejujuran. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpakejujuran maka profesional hukum mengingkari misiprofesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik,penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalamkejujuran yaitu sikap terbuka dan sikap wajar;

2. Autentik. Artinya menghayati dan menunjukkan dirisesuai dengan keasliannya, kepribadian yangsebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antaralain: (a) tidak menyalahgunakan wewenang; (b) tidakmelakukan perbuatan yang merendahkan martabat; (c)mendahulukan kepentingan klien; (d) beraniberinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana;(e) tidak mengisolasi diri dari pergaulan;

3. Bertanggung jawab. Artinya (a) kesediaan untukmelakukan sebaik-baiknya tugas apa saja yang termasuklingkup profesinya; (b) bertindak secaraproporsional;

4. Kemandirian moral. Artinya tidak mudah terpengaruhatau tidak mudah mengikuti pandangan moralyang terjadi di sekitarnya, melainkanmembentuk penilaian sendiri;

5. Keberanian moral. Artinya ada kesetiaan terhadapsuatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untukmenanggung resiko konflik.

Dalam Laporan Akhir Standar Disiplin Hukum

Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional

118

Republik Indonesia (KHN RI) tahun 2003 seperti

dikutip oleh Fence M. Wantu (2011:33-35), terdapat 12

(duabelas) asas-asas atau prinsip-prinsip moralitas

profesi aparat penegak hukum. Asas atau prinsip

moralitas tersebut yakni sebagai berikut:

1. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk senantiasa menjalankan profesinya denganintegritas yang tinggi dan untuk menegakkan sertamelaksanakan keadilan;

2. Seorang pengemban profesi hukum akan selalumenjalankan profesinya dengan penuh rasapengabdian kepada masyarakat berdasarkankejujuran, keterbukaan, dan kepatutan;

3. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk menangani persoalan-persoalan hukumberdasarkan kompetensinya, dan melaksanakansetiap jasa hukum demi kepentingan klien ataupihak lain;

4. Semua pengemban profesi hukum harussenantiasa memberikan jasa hukum, melaksanakankeahlian hukumnya, dengan penuh kehati-hatian,efisien, dan cara yang beradab, demi tingkatkualitas pelayanan yang diharapkan dari seorang

pengemban profesi hukum, dan menghindari diridari perilaku atau tindakan yang tidak pantasatau tidak sesuai standar profesional;

5. Seorang pengemban profesi hukum harusmelaksanakan profesinya dengan penuh kejujurandan keterbukaan, serta berupaya untuk mencegahpraktek hukum yang tidak sah;

6. Seorang pengemban profesi hukum harus memeliharadan menjaga kepercayaan dan rahasia yangmenyangkut urusan dan kepentingan dari klien ataupihak pencari keadilan yang mempercayakankepentingan atau urusan itu kepadanya;

7. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasamembuat keputusan-keputusan profesional yang bebas

119

demi kepentingan klien atau pencari keadilan danmenghindari benturan kepentingan (conflict of interest);

8. Seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajibanuntuk tidak berupaya memperoleh bisnis pelayananjasa hukum;

9. Seorang pengemban profesi hukum harus mewakili danmengupayakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak yangdirepresentasikannya dengan semaksimal mungkindalam batasan-batasan hukum yang berlaku;

10. Seorang pengemban profesi hukum harus berupayadan mendukung setiap upaya untuk memajukan danmengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan;

11. Setiap pengemban profesi hukum harus selaluikut menghormati dan mengawasi pelaksaan tugaspengembanan profesi hukum, baik oleh pengembanprofesi hukum yang memiliki bidang kerja yang samaatau yang berbeda, demi mempertahankan integritasdan kehormatan profesi hukum pada umumnya.

12. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk senantiasa menghormati dan mentaati setiapkeputusan atau tindakan indisipliner yangdimaksudkan untuk menegakkan prinsip-prinsip moralumum dan kode etik profesi yang berlakuterhadapnya.

D. UPAYA-UPAYA MENCAPAI KEADILAN

Konsep keadilan yang dimaksud adalah keadilan hukum.

Dalam konsepsi hukum di Indonesia keadilan tidak terlepas

dari keadilan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Dalam

pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 diuraikan

bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal

120

tersebut mengandung dan mencerminkan jiwa Pancasila. Jiwa

Pancasila tersebut terkandung dalam hakekatnya yang

menyangkut “keadilan hukum” bagi seluruh rakyat Indonesia,

dengan tidak ada kecualinya (Abdullah Sani, 1977:71).

Oleh karena itu dalam pasal tersebut terkandung makna

“Rule of Law”, yang harus ditekankan dalam sebuah negara

hukum atau negara yang berdasarkan atas hukum

(Rechtsstaat).

Keadilan hukum berdasarkan pancasila tersebut harus

diperlakukan secara sama terhadap seluruh rakyat

Indonesia dengan tidak ada kecualinya dan tidak mengenal

ras dan diskriminasi. Hukum diperlakukan sama dan

bersifat universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu

berarti bahwa, tidak ada perlakuan yang istimewa terhadap

pejabat negara atau keluarga pejabat negara yang terbukti

secara sah dan meyakinkan melanggar hukum. Semua warga

negara Indonesia harus diperlakukan secara sama dan adil

di hadapan hukum dengan tidak ada yang dikecualikan. Hal

tersebut ditegaskan juga dalam Pasal 7 Deklarasi

Universal Hak-Hak Asasi Manusia bahwa “Semua orang

bersamaan kedudukannya di depan hukum, dan berhak

121

mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada

kekecualiaannya”. Dalam Pasal 3 angka (2) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia ditegaskan

bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat

kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Konsep keadilan tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep

keadilan yang digagaskan oleh Jhon Rawls. Konsep keadilan

Jhon Raws mengutamakan konsep keadilan prosedural murni.

Artinya, setiap orang yang mencari dan mengendaki

keadilan juga aparat penegak hukum mesti mengetahui hasil

akhir dari pencariannya dan mengikuti prosedur penegakan

hukum secara murni dan sungguh-sungguh. Dengan demikian,

agar penegak hukum hendak menegakkan hukum secara

sungguh-sungguh dan adil, dia mesti mengikuti semua

prosedur hukum tersebut tanpa memiliki prasangka atau

kepentingan apapun. Aparat penegak hukum harus mengikuti

prosedur hukum dengan murni dan sungguh-sungguh sambil

tetap menggali dan memperhatikan nilai-nilai keadilan

yang hidup dalam masyarakat.

122

Menurut Aristoteles, keadilan terbagi dalam dua

bagian, yaitu keadilan distributiva dan keadilan

commutativa (Abdullah Sani, 1977:72). “Keadilan

distributiva adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-

tiap orang jatah menurut jasanya”. Sedangkan keadilan

commutativa adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-

tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-

jasa perorangan” (Van Apeldoorn, seperti dikutip dalam

Abdullah Sani, 1997:72). Menurut Abdullah Sani, keadilan

hukum identik dengan keadilan distributiva di mana setiap

orang diberikan hak-haknya seturut jasa-jasa atau

perbuatan-perbuatannya. Hal itu berarti bahwa, setiap

orang yang sudah memberikan jasanya kepada negara akan

diperlakukan secara berbeda dihadapan hukum daripada

orang yang belum memberikan jasanya kepada negara. Dengan

demikian, pendapat tersebut kontradiktif dengan konsep

‘persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara’.

Hemat penulis, keadilan hukum adalah keadilan berdasarkan

prosedur murni hukum tersebut, seperti dikatakan John

Rawls dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan

yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Prosedur

123

murni dimaksudkan bahwa, setiap aparat penegak hukum,

mengikuti secara serius dan sungguh-sungguh prosedur

hukum dalam upaya penegakan hukum tanpa memiliki

kepentingan apa pun yang membuat penegakan hukum

menyimpang dari kandungan nilai keadilan. Prosedur murni

penegakan hukum mesti dipatuhi oleh aparat penegak hukum

berdasarkan Undang-undang dan kode etik profesi yang

berlaku, dan ditopang oleh integritas moral aparat yang

baik sehingga penegakan hukum dapat memenuhi rasa

keadilan semua pihak. Keadilan yang hendak dicapai adalah

keadilan berdasarkan hukum yaitu peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan penerapannya dalam penegakan

hukum oleh aparat penegak hukum serta keadilan yang

merujuk pada nilai-nilai keadilan yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat.

Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan hukum

adalah prosedur yang benar dan adil dan menjamin hasil

akhir yang benar dan adil pula. Hasil dari kesepakatan

harus dilihat sebagai fair atau adil karena ada semacam

posisi yang sejati (yang baik dan benar secara natural)

yang bisa menjamin suatu situasi yang adil bagi semua

124

pihak (John Rawls, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan,

2001:42). Hal itu mengandaikan bahwa prosedur dan sistem

penegakan hukum sudah ditata dengan baik. Struktur yang

baik dan adil akan mengarahkan dan mendukung proses

penegakan hukum yang adil dan bermoral.