Tesis Bab IV
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Tesis Bab IV
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hukum dan Urgensi Moralitas
Sebelum membahas lebih lanjut bagian ini, pertanyaan
pertama adalah mengapa hukum membutuhkan moralitas?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar mengenai
hakekat hukum. Hukum hanya disebut hukum kalau di
dalamnya mengandung aspek keadilan dan moralitas. Tanpa
keadilan dan moralitas hukum tidak layak disebut hukum.
Menurut Hans Kelsen hukum adalah bagian dari moral.
Tentang hal itu Hans Kelsen (1978:72) menegaskan bahwa:
Jika dikatakan bahwa hukum, menurut sifatnya,memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral; makakita dapat menegaskan dengan pernyataan ini bahwahukum berlaku dalam lingkup moral, bahwa tatanan hukummerupakan bagian dari tatanan moral, bahwa hukumadalah moral dan karenanya, berdasarkan sifatnya, iaadil.
Dengan demikian jelas bahwa, menurut Hans Kelsen
hukum yang mengandung tatanan moral itu dalam dirinya
sendiri mesti bersifat adil. Hukum dan penegakan hukum
mesti berlaku adil karena mengandung muatan moral di
61
dalamnya. Karena itu, hukum dan moralitas tampaknya
memiliki keterkaitan yang tidak bisa diabaikan (Andre
Ata Ujan, 2009:153).
Hukum yang adil dan mengandung muatan moral juga
membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral tinggi.
Menurut Beja, (selaku Kabagbinopsnal Polda DIY) moral
aparat penegak hukum sangat penting agar hukum tetap
superior dalam sebuah negara hukum (Beja, Wawancara,
27/09/2013). Oleh karena itu, menurut Beja, sebaik apa
pun hukum kalau tidak dijalankan oleh aparat yang
bermoral tinggi tidak akan berguna dalam upaya untuk
mencapai tujuan-tujuan hukum.
Pada abad pertengahan praktek hukum di Inggris
memberikan penekanan sangat kuat pada yurisprudensi
analitis (analytical jurisprudence). Namun selain menekankan
yuriprudensi analitis, hukum di Inggris pada abad
pertengahan tetap memberi perhatian terhadap apa yang
disebut yurisprudensi etis, atau disebut normative
jurisprudence. Adanya yurisprudensi etis dalam konsep hukum
memperlihatkan bahwa hukum tidak hanya dilihat dan
diterima sebagaimana adanya, melainkan harus dikritik
62
untuk memperlihatkan dimensi seharusnya dari norma hukum
yaitu upaya untuk mencapai tujuan hukum yakni memenuhi
rasa keadilan (Andre Ata Ujan, 2009:154). Oleh karena
itu, moralitas urgen dibutuhkan dalam hukum dan
penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan.
Urgensi moralitas adalah istilah yang dipakai untuk
menunjukkan bahwa aspek moral sangat mendesak
dibutuhkan. Pertanyaannya mengapa moralitas urgen atau
mendesak dibutuhkan? Pertanyaan ini terkait dengan
kelekatan antara aspek moral dengan manusia itu sendiri.
Menurut Sutedjo, selaku hakim penitera pada pengadilan
negeri Yogyakarta (Sutedja, wawancara 12/09/2013),
“moral itu paling diutamakan dan nomor satu dalam
penegakan hukum”. Menurut Sutedja tanpa moral aparat
yang baik hukum akan inferior dan berada pada titik yang
memalukan. Moral aparat yang baik membuat hukum superior
dan kredibel (sutedja, wawancara 12/09/2013). Moral
selalu terkait dengan aspek manusiawi, karena hanya
manusia yang bisa membuat distingsi antara yang baik
dan buruk (jahat). Kemampuan akal budi dan hati nurani
memampukan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak
63
berbuat jahat dan yang tidak adil serta merugikan hak-
hak orang lain.
Hanya manusia saja disebut sebagai makhluk bermoral
karena manusia tahu membedakan apa yang baik dan apa
yang tidak baik. Manusia yang tidak bisa membedakan yang
baik dan jahat disebut manusia tidak baik dan bahkan
tidak beradab (kecuali bayi dan anak-anak dalam usia
tertentu yang belum memiliki kemampuan tersebut). Namun
manusia tidak merasa cukup hanya mengetahui dan
membedakan yang baik dan tidak baik. Manusia dalam
hidupnya selalu berusaha melampaui dirinya. Manusia
ingin memperoleh level-level baru dalam pengetahuan,
tingkatan baru dalam kebudayaan dan kebaikan hidup.
Transendensi diri manusia merupakan suatu gerakan khas
dan eksklusif manusia dengannya ia secara terus menerus
melampaui dirinya, melampaui adanya dengan segala
sesuatu yang ia inginkan dan miliki (Konrad Kebung,
2006:182-183). Sebagai makhluk rasional yang berusaha
melampaui level yang ada manusia selalu berupaya
menjelaskan secara rasional semua temuan dalam hidupnya,
termasuk upaya untuk menjelaskan aspek moralitas.
64
Sebagai makhluk berakal budi, manusia terus berupaya
menjelaskan secara rasional mengapa sesuatu itu mesti
dikatakan baik, dan apakah kebaikan itu juga diakui oleh
orang lain, sehingga tidak menjadi kebaikan subjektif
yang berlaku untuk diri sendiri. Manusia senantiasa
berusaha agar konsep kebaikan tersebut menjadi objektif,
berlaku universal, dan diakui atau diterima oleh publik
pada umumnya. Mempertanyakan moralitas berarti manusia
sedang menyelami aspek metafisis dari moralitas.
Moralitas merupakan diskusi yang manusiawi karena
manusia dalam pergumulan sejarah peradabannya selalu
mengarahkan diri pada kebaikan agar disebut sebagai
manusia beradab. Sebagai makhluk rasional, manusia
berupaya merefleksikan kebaikan sebagai bagian yang
mesti ada dan melekat dalam diri manusia. Moralitas
tidak saja melekat dalam diri manusia tetapi aspek moral
tersebut mesti sanggup ditunjukkan manusia dalam setiap
tugas dan profesinya, entah sebagai pejabat negara atau
sebagai petani sederhana, entah sebagai dosen, guru,
atau dokter maupun sebagai ahli hukum dan aparat penegak
hukum. Aspek moral melekat dalam diri manusia dan
65
membuat manusia tampak lebih manusiawi dan tahu
menghargai dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Sebagai manusia yang bermartabat, aparat penegak
hukum memiliki aspek moralitas. Aspek moral melekat
dalam diri dan kehidupan aparat penegak hukum.
Melekatnya aspek moral tersebut menegaskan bahwa hukum
tidak cukup sempurna untuk mengatur semua hal yang
berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan dalam
masyarakat. Hukum membutuhkan aparat penegak hukum yang
bermoral agar bisa superior dan memenuhi rasa keadilan
bagi semua pihak. Aparat penegak hukum, ibarat pengemudi
yang menjalankan kendaraan bernama hukum. Agar kendaraan
tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
yang diinginkan oleh semua pihak maka seorang pengemudi
membutuhkan kondisi kendaraan yang baik dan lingkungan,
jalan yang layak untuk dilalui kendaraan tersebut
(Antonius Triyogo Whisnu, wawancara, 12/09/2013).
Demikian juga, aparat yang bermoral membutuhkan struktur
hukum, budaya hukum dan substansi hukum yang baik agar
bisa menegakkan hukum yang minimal memenuhi rasa
keadilan semua pihak. Selain itu, lingkup penegak hukum
66
juga mesti mendukung bagi bertumbuh dan berkembangnya
moralitas aparat yang baik agar mampu mempertahankan
diri sebagai aparat penegak hukum yang baik dan
bermoral tinggi. Namun, tidak dapat disangkal adanya
keterbatasan dasariah yang terkandung dalam hukum
karena dibuat oleh otoritas berwenang yaitu manusia yang
terbatas secara kodrati, juga keterbatasan masyarakat
untuk menyelami dan menyadari manfaat adanya hukum dalam
mengatur tertib hidup bersama.
Hukum positif adalah hukum buatan manusia yang
direpresentasikan oleh pejabat berwenang. Para pejabat
ini adalah manusia terbatas yang tidak sanggup membuat
sebuah hukum sempurna yang mampu mengatur seluruh
dimensi kehidupan manusia alam sekitar. Hukum hanya
sanggup mengatur hal-hal yang dirasa perlu dan mendesak
bagi kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Hukum
positif, betapa pun lengkapnya, tetap saja terbatas.
Adanya keterbatasan natural (bersifat alamiah) tersebut
membuat manusia tidak akan pernah menciptakan hukum yang
sempurna. Bahkan hukum positif cenderung reaktif karena
diciptakan setelah berbagai pengalaman dan penderitaan
67
dialami manusia. Banyak kasus yang terjadi tidak dapat
ditangani karena hukum positif yang ada tidak dapat
dijadikan pegangan sebagai kepastian hukum untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi umat
manusia. Dengan pertimbangan seperti ini adanya
moralitas yang berfungsi mengontrol manusia dari dalam
dirinya sendiri akan sangat bermanfaat dan urgen
dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dan keterbatasan
hukum positif tersebut (William H. Shaw, Business Ethics,
1999:7-8, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan,
2009:156).
B. MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM SEBAGAI PENOPANG
SUPERIORITAS HUKUM
Menurut hasil penelitian penulis melalui wawancara
di sejumlah lembaga penegak hukum, umumnya aparat
penegak hukum selaku narasumber setuju bahwa moralitas
aparat penegak hukum menjadi penopang superioritas
hukum. Menurut Sutedja (wawancara, 12/09/2013), aparat
penegak hukum (hakim) yang baik dalam penegakan hukum
selalu menegakkan hukum berdasarkan aturan atau hukum
68
yang berlaku dan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Hal itu berarti bahwa hakim
dalam menegakkan hukum selalu mengikuti peraturan
perundangan-undangan, kode etik dan moral yang benar.
Dengan demikian, sebagai corong undang-undang hakim akan
membuat hukum semakin superior. Menurut Sutedja, “aparat
penegak hukum yang bermoral baik akan memperhatikan
undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”. Hukum yang superior, pertama-tama
mesti ditegakan oleh aparat yang tegas dan memiliki
integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, aspek
moralitas itu penting dan utama dalam penegakan hukum.
Pertanyaannya, mengapa banyak terjadi penyimpangan
dalam penegakan hukum oleh aparat (oleh hakim,
misalnya)? Menurut Sutedja, penyimpangan penegakan hukum
oleh aparat yang menyebabkan hukum menjadi inferior
merupakan kasus yang terjadi ketika aparat penegak hukum
menyalahgunakan wewenang (Sutedja, wawancara
12/09/2013). Penyalahgunaan wewenang tersebut terkait
sangat erat dengan aspek ketegasan dan integritas aparat
untuk mengutamakan kepentingan keadilan dan kebenaran di
69
atas kepentingan pribadi dan pertimbangan keuntungan
ekonomis apa pun. Seorang aparat penegak hukum yang
bermoral akan selalu mempertimbangkan secara matang dan
bertanggungjawab sebelum menentukan suatu keputusan.
Setiap keputusan yang diambil adalah keputusan yang
bermoral.
Menurut Krisna Pramono, seorang jaksa penuntut umum
dan jaksa intelijen pada kejaksaan negeri Yogyakarta
(wawancara, 12/09/2013), moralitas aparat yang baik
membuat hukum akan semakin superior dan dapat dipercapa
oleh para pencari keadilan. Namun menurut Krisna, dalam
kaitannya dengan penuntut umum, seorang jaksa menuntut
suatu perkara berdasarkan hasil konsultasi dengan
atasan. Hal itu berarti bahwa kalau atasan bermoral
baik, maka tuntutan akan semakin baik. Namun kalau
atasan bermoral kurang baik, maka tuntutan akan jauh
dari rasa keadilan. Menurut Krisna, Jaksa dalam
melakukan tuntutan selalu berdasarkan undang-undang dan
kode etik profesi sebagai moralitas kolektif. Jaksa
dapat saja mengabaikan moral dan pertimbangan individual
dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai
70
penuntut umum karena keputusannya selalu didasarkan
pada konsultasi dengan atasan. Namun dalam Undang-undang
kejaksaan tidak disebutkan tentang prosedur penuntutan
yang didasarkan pada konsultasi dengan atasan jaksa. Hal
itu berarti bahwa jaksa secara umum dalam melaksanakan
tugas tuntutan sudah menyimpang dari peraturan
perundang-undangan, karena tidak ada independensi dari
jaksa penuntut umum yang memimiliki kewenangan untuk
menuntut. Jaksa penuntut umum selalu mendengarkan apa
yang dikatakan sang atasan dalam melakukan tugas
tuntutan. Menurut Krisna, moralitas jaksa penuntut umum
selalu dibatasi oleh undang-undang dan perintah atasan
dalam melakukan tugas tuntutan. Dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa ayat (3)
“Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan
berdasarkan alat bukti yang sah”. Sedang dalam ayat (4)
ditegaskan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan
hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan,
kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan
71
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup
dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan
dan martabat profesinya”. Tidak ditemukan aturan yang
menegaskan bahwa jaksa harus menuntut berdasarkan
komando atau perintah atasan. Hal tersebut dapat
diuraikan bahwa dalam tugas penuntutan tersebut seorang
jaksa melanggar peraturan perundang-undangan karena
menuntut berdasarkan perintah atau komando atasan.
Padahal menurut Krisna sebenarnya dalam suatu tugas dan
tanggung jawab tuntutan, seorang penuntut umum harus
bebas dari tekanan mana pun. Seorang jaksa penuntut umum
harus bebas dalam melakukan tugas tuntutan berdasarkan
moral kolektif (kode etik) dan juga pertimbangan moral
individu. Kedua moralitas tersebut mesti dipadukan dan
integral dalam upaya penegakan hukum yang adil dan
bermoral (Krisna Pramono, wawancara 12/09/2013).
Menurut Beja, SH (Kabagbinopsal Polda DIY) moral
aparat yang tinggi tentu akan membuat hukum semakin
superior. Dalam tataran teoretis, hukum di Indonesia
tetap superior karena Indonesia merupakan negara hukum.
Namun dalam tataran praktis, hukum di Indonesia
72
inferior, karena masih ada banyak kepentingan termasuk
kepentingan politik yang mempengaruhi pembuatan hukum di
lembaga legislatif. Adanya dominasi partai pemenang
pemilu, misalnya, membuat produk hukum dilandasi oleh
semangat partai yang bersangkutan (Beja, wawancara,
27/09.2013). Namun menurut Beja, walaupun produk hukum
tersebut tidak sempurna atau terbatas, tetapi jika
dijalankan oleh aparat penegak hukum yang bermoral
tinggi, maka hukum akan tetap superior dan hukum akan
tetap ditegakkan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum.
Menurut Anastasia Ririn Tri Setyaningrum (wawancara,
12/09/2013) hukum di Indonesia hingga saat ini masih
superior. Namun jika aparat penegak hukum selalu memilih
untuk mengesampingkan hukum dalam menyelesaikan setiap
perkara hukum yang terjadi, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa masyarakat tidak percaya pada hukum
sebagai sarana yang bisa mengayomi, melindungi dan
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal itu
berarti bahwa agar hukum tetap superior dan kredibel,
maka aparat penegak hukum mesti tetap mengandalkan hukum
dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam
73
penegakan hukum. Masyarakat tidak mungkin mengandalkan
hukum kalau aparatnya tidak berpegang pada kekuatan
hukum untuk menegakan hukum dan tidak mengupayakan
keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Karena itu,
prosedur penegakan hukum yang murni dan konsisten akan
sangat menentukan ke mana arah penegakan hukum dan
superioritas hukum di Indonesia akan bermuara.
Aparat hukum mesti memiliki tanggungjawab dan
mengutamakan para pencari keadilan dalam penegakan
hukum. Dalam Pasal 3 huruf (b) Kode Etik Advokat
Indonesia, ditegaskan bahwa “Advokat dalam melakukan
tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan
materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum,
kebenaran, dan keadilan”. Hal itu berarti bahwa Advokat
mengutamakan kepentingan hukum dan keadilan dalam
memperjuangkan hak-hak kliennya, selain imbalan materi
yang merupakan konsekuensi langsung dari pembelaan
tersebut. Sementara itu, dalam Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditegaskan bahwa
Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus tetap
berpegang teguh pada itikad baik untuk kepentingan
74
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Itikad baik
dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas profesinya demi
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela
kliennya. Hal tersebut berarti bahwa aparat penegak
hukum mengutamakan penekannya pada konsep etika
heteronom. Menurut Emanuel Levinas (seperti diuraikan
pada bagian landasan teori), etika heteronom selalu
mengutaman tanggungjawab pada pihak lain. Yang lain itu
dilihat sebagai ‘wajah’ yang menuntut pertanggungjawaban
kita. Di sini, penegak hukum melihat yang lain (orang
lain) sebagai bagian yang menuntut
pertanggungjawabannya. Penegak hukum harus
bertanggungjawab atas nilai keadilan yang dituntut oleh
pihak-pihak dalam penegakan hukum.
Mempertanggungjawabkan tanggung jawab orang lain berarti
aparat penegak hukum ingin menegakkan hukum sesuai
dengan apa yang mesti menjadi tanggung jawabnya, juga
bertanggung jawab atas hak-hak hukum yang menjadi bagian
dari kliennya. Dengan demikian, penegak hukum, seperti
Advokat dalam melaksanakan tugas profesinya selalu
berupaya untuk menegakkan hukum dan memenuhi rasa
75
keadilan yang sedang dituntut oleh para pihak pencari
keadilan.
C. MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI
KEADILAN
Berbicara tentang moralitas berarti berbicara
tentang struktur dasar yang membentuk manusia. Sebagai
agen moral manusia dibentuk oleh lingkungan (dunia
kehidupan) secara internal dan eksternal. Hal itu
berarti bahwa, manusia dibentuk oleh faktor bawaan (diri
sendiri) dan faktor dari luar dirinya (lingkungan). Ada
moralitas individual dan moralitas kolektif. Moral
individu terbentuk oleh faktor bawaan dan watak
(karakter) individu manusia. Sedangkan moralitas
kolektif dibentuk oleh lingkungan, entah lingkungan
keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan
wawancara dengan beberapa aparat penegak hukum diperoleh
informasi dari narasumber bahwa secara individu penegak
hukum mesti memiliki moralitas secara individual yang
baik. Moralitas individual tersebut diharapkan akan
menjadi secercah harapan yang menerangi (menjadi
76
penerang) kegelapan moralitas kolektif, kalau sebelumnya
moralitas kolektif (kode etik profesi) sangat
memprihatinkan karena tidak dipatuhi dan ditaati oleh
aparat penegak hukum (Anastasia Ririn Tri Setyaningrum,
wawancara 12/09/2013).
Moral kolektif digerakkan oleh kode etik aparat
penegak hukum. Aparat penegak hukum yang bermoral dan
berkomitmen untuk mempertahankan moralitas tersebut
mesti tetap konsisten dengan keyakinan pada moral
pribadi. Ketegasan dan konsistensi pada moralitas
pribadi tersebut membuat aparat penegak hukum
bersangkutan tetap tegar dan konsisten mengahadapi
moralitas kolektif (kode etik) yang sering kali tidak
dipatuhi dan tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.
Ada semacam kesepakatan internal untuk mengabaikan kode
etik dan menciptakan ‘moral kolektif’ yang menyimpang
dari kode etik profesi. Hal itu berarti bahwa, manusia
yang baik mesti terlebih dahulu terbentuk oleh
lingkungan internal dan eksternal yang baik. Namun
pemikiran ideal tersebut tidak terlepas dari kondisi
konkret akan banyaknya aparat penegak hukum yang tidak
77
mampu merealisasikan moral yang baik sehingga berlaku
menyimpang dari moralitas, entah secara individu maupun
secara kolektif.
Menguatnya potensi konflik akibat keterbatasan
natural, di satu pihak, dan keterbatasan hukum positif,
di lain pihak, membuat moral sebagai isi minimum dari
hukum semakin relevan dan urgen. Keterbatasan natural
tersebut mendorong pentingnya memberi tempat pada nilai
moral yang berfungsi mengendalikan individu secara
internal agar mengejar kepentingannya di tengah sumber
daya yang terbatas secara bertanggung jawab. Karena itu
kode etik profesi aparat penegak hukum sangat dibutuhkan
untuk mengatur dan memberikan batasan pertanggungjawaban
profesi. Namun, kode etik sebagai moral kolektif tidak
cukup baik kalau tidak dijalankan oleh individu aparat
penegak hukum yang secara personal bermoral baik. Dengan
demikian perpaduan antara moral individual dan moral
kolektif (kode etik) sangat urgen dibutuhkan dalam
penegakan hukum yang adil dan bermoral.
1. Moralitas dan Kode Etik Profesi Polisi
78
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pada Pasal 4 mengatur tentang ruang lingkup Kode Etik
Profesi Polri yakni huruf (a) tentang etika
kenegaraan. Etika Kenegaraan adalah sikap moral
Anggota Polri terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan
kebhinekatunggalikaan. Dalam Pasal 5 diuraikan bahwa
etika kenegaraan memuat pedoman berperilaku anggota
Polri dalam hubungan dengan: (1). tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (2). Pancasila;
(3). Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan (4). kebhinekatunggalikaan.
Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
huruf (b) diuraikan tentang etika kelembagaan. Etika
Kelembagaan adalah sikap moral Anggota Polri
terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan
79
patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin
dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat
dan kehormatannya sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya. Pada
Pasal 5 ditegaskan bahwa Etika Kelembagaan memuat
pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan
dengan: (1). Tribrata sebagai pedoman hidup; (2).
Catur Prasetya sebagai pedoman kerja; (3).
sumpah/janji Anggota Polri; dan (4). sumpah/janji
jabatan.
Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
huruf (c) ditegaskan tentang etika kemasyarakatan.
Etika kemasyarakatan adalah sikap moral Anggota
Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat
dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya
Indonesia. Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika
kemasyarakatan memuat pedoman berperilaku Anggota
80
Polri dalam hubungan dengan: (1). pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); (2).
penegakan hukum; (3). pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat; dan (4). kearifan lokal, antara
lain gotong royong, kesetiakawanan, dan toleransi.
Pada Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
huruf (d) diuraikan tentang etika kepribadian. Etika
kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan
Anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan,
ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika kepribadian
memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam
hubungan: (1). kehidupan beragama; (2). kepatuhan
dan ketaatan terhadap hukum; dan (3). sopan santun
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa,dan bernegara.
Dari ruang lingkup Kode Etik Profesi Polri
tersebut tampak jelas bahwa Polisi sebagai aparat
81
penegak hukum harus mengabdikan diri kepada Negara,
kepada institusi Kepolisian, kepada masyarakat,
dengan kekuatan dan kemampuan kepribadian yang baik
dan bermoral (etika kepribadian). Menurut Beja
(wawancara, 27/09/2012) seorang penegak hukum
(Polisi) mesti memiliki moralitas individual yang
baik agar bisa mengabdi dengan baik pula kepada
negara, institusi kepolisian, dan kepada masyarakat.
Tanpa memiliki moralitas yang baik, sulit
mengharapkan kepada aparat penegak hukum (polisi)
dapat melakukan tugas pengabdian dengan baik. Jadi
menurut Beja, moral individu dan moral kolektif
(dalam kode etik) mesti berjalan beriringan agar
aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dengan baik dan mencapai tujuan-
tujuan hukum yang diinginkan oleh semua pihak,
termasuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak.
2. Moralitas dan Kode Etik Profesi Hakim
Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012
dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode
82
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Pasal 4 ditegaskan
mengenai kewajiban dan larangan bagi Hakim yang
dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, yaitu: (a) berperilaku adil;
(b) berperilaku jujur; (c) berperilaku arif dan
bijaksana; (d) bersikap mandiri; (e) berintegritas
tinggi; (f) bertanggung jawab; (g) menjunjung tinggi
harga diri (h) berdisiplin tinggi; (i) berperilaku
rendah hati; dan (j) bersikap profesional. Berikut
ini, penulis akan menguraikan beberapa hal penting
dari kode etik tersebut yang berkaitan dengan
kepentingan tesis.
a. Berperilaku adil. Dalam Pasal 5 Peraturan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, dijelaskan bahwa berperilaku adil berarti:
Menempatkan sesuatu pada tempatnya danmemberikan yang menjadi haknya yang didasarkanpada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,tuntutan yang paling mendasar dari keadilanadalah memberikan perlakuan dan memberikan
kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap
83
setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yangmelaksanakan tugas atau profesi di bidang
peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus
selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
Dengan demikian adil berarti tidak
diskriminatif dalam penegakan hukum (equality before the
law). Semua warga negara mesti diperlakukan sama di
hadapan hukum tidak membeda-bedakan. Setiap orang
mesti diberikan porsi yang sama dan seimbang dalam
hal penegakan hukum. Memberikan keistimewaan terhadap
orang tertentu berarti mencoreng dan melukai
superioritas hukum. Hal tersebut seperti ditegaskan
John Rawls dalam prinsip keadilannya bahwa “setiap
orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan yang
sama yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang” (John Rawls, 1995:72). Hal itu
berarti bahwa setiap orang diberikan hak yang sama
dan kebebasan yang sama untuk diperlakukan secara
adil di hadapan peraturan dalam proses penegakan
hukum. Tidak ada upaya dari aparat penegak hukum
untuk menekan hak seseorang sementara membiarkan
84
orang lain bebas di hadapan hukum. Karena itu bagi
John Rawls, sebuah lembaga yang adil adalah lembaga
yang otoritasnya berlaku netral dan tidak dipengaruhi
oleh pertimbangan-pertimbangan personal, moneter dan
pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak
bersesuaian.
Menurut Rawls salah satu ketidakadilan lembaga
hukum adalah kegagalan para hakim dan otoritas lain
untuk mematuhi aturan-aturan yang sesuai atau
interpretasi-interpretasinya dalam mengambil
keputusan (John Rawls, 1995:70). Bagi Rawl dalam hal
penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan harus
ada kriteria atau standard independen untuk
memutuskan hasil mana yang adil dan sebuah prosedur
dijamin mengarah kepada keadilan (John Rawls,
1995:101). Dengan demikian aparat penegak hukum sudah
memiliki konsep keadilan berdasarkan hukum dan juga
berdasarkan nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat untuk menentukan sebuah keputusan hukum
yang adil bagi para pihak.
85
b. Berperilaku Jujur. Menurut Pasal 6 Peraturan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, berperilaku jujur berarti:
Dapat dan berani menyatakan bahwa yang benaradalah benar dan yang salah adalah salah.Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yangkuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yanghak dan yang batil (buruk). Dengan demikian, akanterwujud sikap pribadi yang tidak berpihakterhadap setiap orang baik dalam persidangan
maupun di luar persidangan.
Uraian tersebut bermakna bahwa berperilaku
jujur berkaitan sangat erat dengan membedakan secara
tegas antara yang benar dan yang tidak benar. Aparat
penegak hukum yang jujur akan membentuk dirinya
menjadi pribadi yang kuat, yang tahu membedakan hak-
hak orang lain dan tahu membedakan yang baik dan yang
jahat, tidak berpihak dan tidak kompromistis terhadap
kejahatan. Orang yang jujur selalu berlaku tegas dan
fair.
Menurut Franz Magnis-Suseso, bersikap jujur
berarti bersikap adanya, bersikap berdasarkan apa
86
yang muncul dari dalam diri sebagai diri kita
sendiri, sesuai dengan keyakinan kita. Jujur berarti
tidak menyebunyikan wajah kita yang sebenarnya, atau
tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan-
harapan dan keinginan orang lain. Dalam sikap dan
tindakannya, manusia diharapkan untuk tanggap
(respon) terhadap kebutuhan orang lain, kepentingan
dan hak orang lain yang berhadapan dengan kita. Kita
tidak bersikap egois belaka. Manusia seharusnya
bersikap berkorban demi kepentingan orang lain. Namun
hal itu kita lakukan bukan sekedar untuk menyesuaikan
diri dengan kepentingan dan harapan orang lain,
melainkan sebagai diri kita sendiri dengan sikap
moral yang otonom bahwa berkorban untuk orang lain
itu baik (Franz Magnis-Suseno, 1987:142). Dengan
demikian, seorang penegak hukum yang baik dan
berperiku jujur berarti seorang penegak hukum yang
sadar dan tahu bahwa berperilaku jujur itu baik dalam
dirinya sendiri. Berperilaku jujur bukan karena
memenuhi harapan-harapan orang lain, tetapi karena
berperilaku jujur dalam dirinya sendiri baik adanya.
87
Dalam etika deontologis, Emannuel Kant menegaskan
bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan
tidak bergantung dari apakah ketaatan atas norma
tersebut membawa hasil yang menguntungkan atau tidak.
Misalnya, norma moral ‘jangan berbohong’ atau
‘bertindaklah secara adil’ tidak perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu apakah menguntungkan
atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu
dan di mana saja harus ditaati entah apa pun
akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia
sebagai manusia rasional (Imannuel Kant seperti
dikutip dalam J. Sudarminta, 2013:136). Bagi Kant,
hukum moral selalu mengarahkan manusia pada kebaikan.
Karena itu manusia mesti melakukan perintah moral
sebab perintah moral tersebut baik dan adil dalam
dirinya sendiri. Dengan demikian aparat penegak hukum
juga wajib berperilaku jujur karena perintah moral
tersebut baik dalam dirinya sendiri dan bukan
berperilaku jujur untuk memenuhi harapan-harapan
orang lain atau demi kepentingan yang menguntungkan
individu dan kelompok tertentu.
88
c. Berperilaku arif dan bijaksana. Menurut Pasal 7
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku arif dan
bijaksana berarti:
Mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yanghidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum,norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupunkesusilaan dengan memperhatikan situasi dankondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkanakibat dari tindakannya. Perilaku yang arif danbijaksana mendorong terbentuknya pribadi yangberwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yangtinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Kebijaksanaan dan kearifan aparat penegak hukum
dalam menegakkan hukum mengandaikan jangkauan wawasan
dan pengetahuan yang luas dan berakar pada norma-
norma keagamaan, kebiasaan dan kesusilaan. Bijaksana
dan arif berarti sikap yang selalu didasarkan
pertimbangan yang matang dan hati-hati untuk
menentukan suatu pilihan dan memutuskan suatu
perkara. Orang yang bijaksana juga selalu membuka
diri dan berdialog dengan orang lain untuk menentukan
sikap dan pilihan, serta memutuskan secara tepat
89
suatu persoalan sehingga memenuhi rasa keadilan bagi
semua pihak.
d. Berintegritas tinggi. Dalam Pasal 9, Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, angka (1)
berintegritas tinggi di maknai sebagai “memiliki
sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan
tak tergoyahkan; angka (2) integritas tinggi pada
hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh
berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang
berlaku dalam melaksanakan tugas; angka (3)
integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang berani menolak godaan dan segala bentuk
intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik
untuk mencapai tujuan terbaik.
e. Berperilaku bertanggungjawab. Dalam pasal 10
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia
90
dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bertanggungjawab
berarti “kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya
segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya,
serta memiliki keberanian untuk menanggung segala
akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya
tersebut”.
f. Profesional. Dalam Pasal 14 Peraturan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, profesional berarti “suatu sikap moral yang
dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang
dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan
wawasan luas.
Manusia (aparat penegak hukum) dalam
keterbatasan, ketidakmampuan dan ketidaksempurnaannya
tersebut membutuhkan sarana-sarana pembantu yang
membantu dia, agar dapat berkembang menjadi aparat
91
yang bermoral. Sarana pendukung tersebut antara lain:
pertama, struktur hukum yang baik. Kedua, lingkungan
kerja yang mendukung. Ketiga, sistem penegakan hukum yang
tidak memberi peluang bagi penyimpangan dalam
penegakan hukum. Keempat, kehidupan ekonomi aparat
penegak hukum diperhatikan dan dijamin.
3. Moralitas dan Kode Etik Profesi Advokat
Dalam Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia,
huruf (a) ditegaskan bahwa:
Advokat dapat menolak untuk memberikan nasihatdan bantuan hukum kepada setiap orang yangmemerlukan jasa hukum dan/atau bantuan hukumdengan pertimbangan tidak sesuai dengankeahliannya dan bertentangan dengan hatinuraninya, tetapi tidak menolak dengan alasankarena perbedaan suku, agama, kepercayaan,keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik, dankedudukan sosialnya.
Substansi Pasal 3 tersebut hendak menegaskan
kejujuran seorang Advokat untuk mengakui dan
menyadari kemampuan dan juga ketidakmampuannya.
Advokat akan mengatakan kemampuannya untuk menangani
suatu perkara yang benar-benar sesuai dengan latar
92
belakang pengetahuan dan kesanggupan untuk
menyelesaikan perkara tersebut sampai tuntas sesuai
dengan peraturan dan hukum yang berlaku untuk
memenuhi keadilan para pencari keadilan (baca:
Kliennya). Hal tersebut sesuai dengan teori etika
heteronom Emannuel Levinas (pada landasan teori)
bahwa seseorang mesti bertanggung jawab atas tanggung
jawab orang lain, khususnya bagi mereka yang tidak
mampu mempertanggungjawabkan hak-haknya. Di sini
tugas para Advokat adalah melindungi hak-hak hukum
para kliennya, menjelaskan bahwa setiap orang
sekalipun bersalah, tetap mempunyai hak-hak hukum. Di
lain pihak seorang Advokat juga mengakui keterbatasan
dan kesanggupannya kalau perkara tersebut di luar
jangkauan kemampuanya atau sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani. Sikap seorang Advokat yang
bermoral adalah mengatakan dengan tegas sesuatu
sebagai benar atau salah. Advokat tidak dibenarkan
untuk menggunakan keahliannya demi mendapatkan
keuntungan secara ekonomis walaupun perkara hukum
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hati nurani
93
dan moral. Oleh karena itu sikap jujur dan terbuka
seorang advokat sangat dibutuhkan agar hukum bisa
benar-benar ditegakkan secara adil. Seorang Advokat
juga tidak dibenarkan untuk melakukan diskriminasi
dalam upaya pembelaan hak-hak hukum para kliennya.
Semua orang memiliki kesamaan kedudukan di hadapan
hukum. Jadi, semua orang memiliki hak yang sama untuk
dibela dan dilindungi hak-hak hukumnya.
Selain itu, pada Pasal 3 huruf (b) Kode Etik
advokat Indonesia juga dijelaskan bahwa “Advokat
dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata
untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih
mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan”.
Hal itu berarti bahwa hal yang paling diprioritaskan
dalam upaya pembelaan yang dilakukan Advokat adalah
supaya nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam hukum
sungguh-sungguh ditegakkan. Karena itu segala praktek
yang berkaitan dengan ‘jual beli perkara’ atau mafia
peradilan sangat tidak dibenarkan dan bahkan
merendahkan keluhuran tugas dan tanggung jawab
seorang Advokat. Bukan materi yang menjadi tujuan
94
utama pembelaannya tetapi lebih karena tegaknya
kebenaran dan keadilan agar hukum tetap superior.
4. Moralitas dan Kode Etik Profesi Jaksa
Dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode
Perilaku Jaksa diuraikan bahwa dalam melaksanakan
tugas profesi, Jaksa wajib:
a). Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-
undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Hal
itu berarti bahwa seorang jaksa tidak boleh
bertindak di luar aturan hukum yang berlaku.
Tindakan penuntutan yang dilakukan jaksa berkaitan
dengan kasus tertentu yang berada di luar aturan
hukum akan dinilai tidak bermoral dan menyalahi
kode etik perilaku jaksa. Karena itu tidak
dibenarkan adanya hasil tuntutan jaksa yang
didasarkan pada hasil konsultasi dengan atasan.
Hal itu dapat berbahaya, karena jaksa penuntut
umum dapat saja terjebak pada moral atasan yang
tidak baik, dan meninggalkan komitmen moralitas
95
dan komitmen individual seorang jaksa untuk
menuntut secara benar dan adil seperti diuraikan
oleh Krisna Pramono selaku intelijen Kejaksaan
Negeri Yogyakarta (wawancara, 12/09/2013).
b). Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya
ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Prinsip biaya ringan dapat mempermudah para pencari
keadilan yang terbatas secara ekonomis. Sedangkan
prinsip cepat dan sederhana membantu para pihak
pencari keadilan agar tidak terlalu bertele-tele
terlibat dalam prosedur hukum. Prinsip tersebut
juga bermaksud agar para pencari keadilan tetap
semangat dan berkomitmen untuk mengikuti prosedur
hukum yang berlaku. Karena kalau prosedur hukum
terlalu kompleks dan berbelit-belit akan
menciptakan peluang bagi para pencari keadilan
untuk mencari cara mudah dan sederhana
menyelesaikan kasus hukum bahkan melalui tindakan
penyuapan atau penyogokan. Dengan demikian prosedur
hukum tidak akan diikuti dan upaya untuk mencapai
keadilan sulit terpenuhi.
96
c). Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang
sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Jaksa
mesti memiliki keyakinan untuk menuntut perkara
secara benar dan adil karena memiliki pengetahuan
dan wawasan yang luas serta memiliki integritas
moral yang tinggi untuk mencapai keadilan dan
kebenaran.
d). Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan
/ancaman opini publik secara langsung atau tidak
langsung. Jaksa yang memiliki integritas moral akan
menuntut suatu perkara secara mandiri tanpa
dipengaruhi oleh tekanan dan ancaman apa pun.
Dengan demikian pengaruh apa pun tidak akan sanggup
mempengaruhi tuntutan oleh jaksa terhadap suatu
perkara agar nilai keadilan bisa diwujudkan.
e). Bertindak secara obyektif dan tidak memihak.
Seorang jaksa harus berlaku objektif terhadap suatu
perkara berdasarkan bukti-bukti hukum yang otentik
dan meyakinkan dalam suatu penuntutan. Sikap
objektif dan tidak memihak ini mengandaikan sikap
97
dasar dan ketegasan moral seorang jaksa untuk tetap
berpihak dan memperjuangkan keadilan para pihak.
f). Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang
dimiliki oleh tersangka /terdakwa maupun korban.
g). Membangun dan memelihara hubungan fungsional
antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan sistem
peradilan pidana terpadu.
h). Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang
mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau
finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara
langsung atau tidak langsung. Hal tersebut
dilakukan untuk menghindari penuntutan yang tidak
adil terhadap perkara hukum tertentu.
i). Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang
seharusnya dirahasiakan.
j). Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat
sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
k). Menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan
hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam
98
peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak
Asasi Manusia yang diterima secara universal.
l). Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.
Setiap kritik yang konstruktif tentu akan menambah
pengetahuan dan wawasan jaksa dalam penegakan hukum
agar tetap mengutamakan keadilan dan kebenaran.
Selain itu kritik juga menjadi sarana kontrol
sosial entah secara internal maupun eksternal agar
jaksa sebagai penegak hukum senantiasa bersikap baik,
setia, dan konsisten menjalankan tugas profesinya.
m). Bertanggung jawab secara internal dan
berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
n). Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik
sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi
masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.
D. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI APARAT PENEGAK HUKUM DALAM
MEMPERBAIKI MORALITAS SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KEADILAN
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mencatat
beberapa hal yang menjadi kendala yang dihadapi dalam
penegakan hukum:
99
1. Pencari keadilan tidak mau repot. Menurut Sutedjo
(wawancara/12/09/2013) kasus tersebut sering terjadi
pada masalah penertiban lalu lintas. Banyak pelanggar
lalu lintas yang tidak mau repot dan langsung
membayar uang pada saat pelanggarannya diketahui
aparat, dan tidak mau mengikuti sidang sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Hal tersebut sebenarnya
menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum
masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku. Di samping
kesadaran hukum masyarakat yang relatif rendah, juga
terdapat ketidaktegasan aparat penegak hukum yang
memanfaatkan situasi tersebut. Kalau aparat penegak
hukum (polisi) tegas dalam menegakkan hukum, maka hal
itu sebenarnya menjadi suatu pendidikan hukum yang
sangat baik bagi masyarakat, agar mereka menyadari
pelanggarannya. Dengan membayar sejumlah uang,
masyarakat merasa bahwa hukum mudah dibeli dengan
uang, sehingga setiap pelanggaran yang dilakukan
mudah diselesaikan dengan uang. Hal tersebut
menyebabkan hukum menjadi tidak superior, mudah
100
disogok dan dibuat sewenang-wenang oleh orang-orang
yang memiliki banyak uang. Karena itu, pencari
keadilan dan penegak hukum mesti mengikuti prosedur
hukum yang sungguh-sungguh agar hukum tetap superior
dan upaya mencapai keadilan bisa tercapai.
2. Mafia Hukum
Para mafia hukum ini umumnya berasal dari sarjana
hukum yang memahami hukum dengan baik. Aparat penegak
hukum juga tidak terlepas dari praktek yang disebut
‘perdagangan perkara’. Menurut Anastasia Ririn Tri
Setyaningrum (wawancara 12/09/2013) suatu praktek
jual beli perkara terjadi ketika untuk “suatu
tuntutan dan putusan” aparat penegak hukum menarik
suatu harga tertentu. Akibatnya, pihak yang membayar
akan dimenangkan, dengan memanipulasi pasal-pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perkara tersebut.
3. Ketidaktegasan Aparat Penegak Hukum
Menurut Anastasia Ririn Try Setyaningrum,
ketika menghadapi orang-orang yang memiliki jabatan
dan kekuasaan, aparat penegak hukum tidak berani
101
bersikap tegas. Tidak jarang pula aparat penegak
hukum harus mencari pasal-pasal yang bisa meringankan
pejabat tersebut, bahkan kalau dipenjarakan para
pejabat umumnya diberi fasilitas yang lebih baik
dibanding orang biasa. Dalam kasus tersebut, hukum
tampak diskriminatif. Hal itu tampak kontraktif
dengan penegasan yang tertuang dalam Pasal 5 huruf
(a) dan pasal 7 huruf (a) Undang-undang Nomor 40
Tahun 2008, tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras Dan
Etnis. Dalam Pasal 5 huruf (a) ditegaskan bahwa
“perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di
dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup
bebas dari diskriminasi ras dan etnis”. Sedangkan
Pasal 7 huruf (a) ditegaskan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah wajib:
Memberikan perlindungan yang efektif kepadasetiap warga negara yang mengalamitindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum
terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Karena itu tindakan diskriminasi secara hukum
tidak dibenarkan. Setiap warga negara mesti
102
mendapatkan proses peradilan yang adil sesuai dengan
prosedur hukum tanpa membeda-bedakan latar belakang
ras dan etnis. Tugas dan keharusan tersebut mesti
disadari oleh seluruh warga negara dan juga
ditegaskan pemerintah yang direpresentasikan dalam
lembaga-lembaga penegak hukum.
4. Sistem dan prosedur Rekrutmen
Menurut Mahendra Sony Indriyo (wawancara
12/09/2013), sistem rekrutmen dan prosedur yang tidak
fair membuat aparat penegak hukum yang direkrut tidak
sesuai dengan kriteria seorang penegak hukum yang
kredibel dan bermoral. Karena itu, sistem rekrutmen
harus diperbaiki agar aparat penegak hukum yang
direkrut melalui sistem yang baik menjadi aparat
penegak hukum yang bermoral tinggi sehingga upaya-
upaya untuk mencapai keadilan hukum minimal bisa
diwujudkan.
Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan
hukum adalah prosedur yang benar dan adil dan
menjamin hasil akhir yang benar dan adil pula. Hasil
dari kesepakatan harus dilihat sebagai fair atau adil
103
karena ada semacam posisi yang sejati (yang baik dan
benar secara natural) yang bisa menjamin suatu
situasi yang adil bagi semua pihak (John Rawls,
seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan, 2001:42). Oleh
karena itu, dalam kaitan dengan sistem rekrutman
maka, seorang aparat penegak hukum mesti direkrut
dengan prosedur dan sistem yang berlaku agar penegak
hukum yang lulus seleksi benar-benar sesuai dengan
kemampuan, kualitas dan kredibilitasnya sebagi aparat
penegak hukum yang memiliki integritas moral. Aparat
penegak hukum yang telah direkrut melalui prosedur
dan sistem yang baik dan benar diharapkan dapat
menegakkan hukum dengan baik, benar, dan bermoral
dalam upaya mencapai keadilan hukum.
E. UPAYA-UPAYA MEMPERBAIKI MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM
Menurut penelitian yang dilakukan penulis di
sejumlah kantor penegakan hukum di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, aparat penegak hukum umumnya
berpendapat bahwa peningkatan moralitas aparat penegak
hukum mesti dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut:
104
1. Memberikan ceramah-ceramah keagamaan. Ceramah
keagamaan tersebut tentu mesti diberikan oleh para
tokoh agama yang memiliki moralitas baik sehingga
menjadi panutan banyak orang. Karena itu, ceramah
keagamaan tersebut lebih layak diberikan oleh para
pemimpin agama memiliki sikap, keteladanan, dan
moralitas yang kredibel sebagai contoh yang baik bagi
banyak orang termasuk bagi aparat penegak hukum.
Dengan demikian, ceramah-ceramah yang disampaikan
merupakan penegasan (afirmasi) dari sikap dan
moralitas seorang penceramah yang baik yang menjadi
teladan bagi semua pihak termasuk aparat penegak
hukum.
2. Memperbanyak keterampilan hukum. Hal tersebut
bermaksud bahwa dengan memiliki keterampilan hukum
yang semakin baik, kemampuan untuk menginterpretasi
semakin ditingkatkan dan diperkaya maka, aparat
penegak hukum dapat menerapkan pemahaman yang baik
dan benar tersebut dalam proses penegakan hukum,
sehingga upaya mencapai keadilan dapat terwujud.
105
3. Penegak hukum mesti berwawasan inter-disipliner.
Penegak hukum yang berwawasan luas akan dengan mudah
memutuskan suatu perkara (Beja, wawancara,
27/09/2013). Hal tersebut berarti bahwa seorang
aparat penegak hukum mesti membekali diri dengan
banyak ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu
humaniora yang memampukan aparat penegak hukum dapat
mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang
matang, bijaksana, dan bertanggungjawab karena
dilandasi keluasan pengetahuan dan wawasan.
4. Perbaikan sistem hukum. Sistem hukum yang semakin
baik akan memudahkan para pencari keadilan dan aparat
penegak hukum semakin efektif dan efisien dalam
menegakkan hukum dengan prosedur yang lebih mudah dan
dengan biaya yang ringan. Dengan prosedur yang lebih
sederhana dan biaya yang ringan, sistem hukum
tersebut akan turut mambantu dan mempermudah
masyarakat pencari keadilan untuk mengikuti prosedur
hukum dengan sungguh-sungguh. Selain itu, perbaikan
sistem hukum dilakukan untuk menghindari praktek-
praktek hukum yang menguntungkan pihak tertentu dan
106
merugikan pihak lain, seperti yang terjadi dalam
praktek jual beli perkara atau mafia peradilan.
5. Lingkungan penegakan hukum yang mendukung. Suasana
lembaga penegak hukum harus kondusif sehingga
memungkinkan setiap aparat penegak hukum dapat
menjalankan tugas dengan baik dan benar. Kondisi yang
baik dalam instansi atau lembaga penegak hukum juga
dapat membuat setiap aparat penegak hukum dapat
bertumbuh dengan baik dalam aspek moralitas, sehingga
dapat menegakkan hukum yang baik dan benar serta
mengarah pada nilai-nilai keadilan yang dikehendaki
semua pihak.
6. Keteladan secara individu dan kolektif. Secara
individu setiap aparat penegak hukum mesti menjadi
pribadi yang baik sehingga dapat menjadi panutan yang
baik bagi setiap orang dalam ruang lingkup aparat
penegak hukum. Selain itu, secara kolektif atau
bersama-sama lembaga penegak hukum tersebut mesti
menunjukkan sikap (teladan) yang baik dan benar bagi
masyarakat agar menjadi lembaga yang kehadirannya
kredibel serta diterima oleh masyarakat.
107
7. Perbaikan sistem rekrutmen. Sistem rekrutmen
diharapkan dapat berjalan dengan baik dan objektif
agar setiap pribadi yang sudah melalui prosedur
rekrutmen yang baik dan benar tersebut dapat menjadi
aparat penegak hukum yang baik pula dalam menegakkan
hukum dan keadilan.
8. Gaji yang cukup bagi aparat penegak hukum. Persoalan
ekonomis menjadi hal yang sangat serius dan mendesak
untuk diperhatikan. Hal itu terkait dengan aparat
penegak hukum yang memiliki gaji sangat terbatas
untuk kebutuhan keluarga dan pemenuhan kebutuhan
ekonomis lainnya. Dengan keterbatasan ekonomi dan
jaminan hidup yang terbatas, mereka dapat saja dengan
mudah menerima uang suap sebagai ‘tambahan gaji’
untuk memenuhi kebutuhan harian. Hal tersebut memang
tidak mutlak benar sebab banyak aparat penegak hukum
dengan gaji mencukupi juga tetap melakukan praktek
suap-menyuap. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa
urgensitas kebutuhan ekonomi tersebut telah
meruntuhkan keteguhan moral, sehingga aparat penegak
108
hukum dapat melakukan praktek yang menyimpang dari
praktek penegakan hukum yang adil dan benar.
9. Kontrol dari pimpinan sebagai kontrol internal dan
kontrol sosial dari masyarakat sebagai kontrol
eksternal (Sutedjo, Wawancara 12/09/2013). Dalam
membantu aparat penegak hukum tetap berpegang pada
nilai-nilai kebaikan atau moralitas, dibutuhkan
kontrol yang berasal dari pimpinan lembaga penegak
hukum. Hal itu hanya berlaku kalau pemimpin memiliki
integritas moral yang baik dan menjadi teladan bagi
semua orang di lingkungan lembaga penegak hukum.
Selain itu, kontrol dan sikap kritis dari masyarakat
sangat dibutuhkan agar aparat penegak hukum dapat
menjalankan tugas sesuai tugas dan kewajibannya.
Artinya kontrol sosial masyarakat membantu aparat
penegak hukum untuk tidak menyimpang dari tugas dan
tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum yang
bermoral baik dan berlaku adil dalam penegakan hukum.
10. Pelatihan-pelatihan yang sifatnya meningkatkan
profesionalitas. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat
berupa in service training yaitu suatu pendidikan bagi
109
aparat penegak hukum untuk mempertinggi mutu
pelaksaan pekerjaan atau tugas-tugas khusus. Selain
itu, meningkatkan kemampuan teknis akademis, misalnya
kemampuan menganalisis masalah hukum dalam
masyarakat, meningkatkan kepekaan akan masalah
keadilan dan masalah sosial lainnya, dan meningkatkan
kemampuan untuk menggunakan hukum sebagai sarana
untuk memecahkan masalah konkret secara bijaksana
berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Konkretnya,
pelatihan kemampuan dan keterampilan penyidik seperti
polisi, misalnya, untuk menyelidiki dan menyidik
kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia maya
(cyber crime).
11. Menyamakan visi dan misi dari instansi penegak hukum
(pengadilan). Visi dan misi yang disamakan tersebut
lebih terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan
upaya untuk mencapai keadilan hukum. Artinya,
prosedur pemeriksaan perkara, misalnya, harus
objektif dan sungguh-sungguh sehingga hasil akhir
yang diharapkan dapat terwujud karena aparat penegak
hukum sudah melalui prosedur yang baik dan benar.
110
Menurut Fence M. Wantu (2011:174-195) ada
sejumlah upaya untuk meningkatkan profesionalitas dan
moralitas aparat penegak hukum antara lain:
1. Pengangkatan aparat penegak hukum
a) Intelektualitas. Kemampuan tersebut berkaitan
dengan kesanggupan aparat penegak hukum
memahami dan menginterpretasikan hukum dengan
baik dan benar karena keluasan wawasan dan
pengetahuan hukum. Kemampuan tersebut juga
memampukan aparat penegak hukum untuk
memutuskan perkara yang memenuhi rasa keadilan
bagi semua pihak.
b) Integritas. Kemampuan ini berkaitan dengan
kesanggupan aparat penegak hukum untuk tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai yang berakar
dalam kepribadian aparat dan keyakinan diri
yang teguh untuk memutuskan suatu perkara hukum
secara adil dan bertanggung jawab.
c) Pendidikan, penataran, rapat-rapat berkala, dan
diklat.
111
d) Langkah-langkah efisiensi dan efektifitas
kelas-kelas diklat.
2. Pendidikan aparat penegak hukum
a) Model pendidikan dan pelatihan. Harus ada model
pendidikan dan latihan terencana yang dibuat
lembaga penegak hukum bersangkutan yang efektif
untuk meningkatkan profesionalitas dan
moralitas aparat penegak hukum.
b) Pengetahuan akan penemuan hukum, teori hukum
dan filsafat hukum.
3. Penguasaan terhadap ilmu hukum
a) Mengakses, menggunakan serta mengolah informasi
secara tepat dan rasional.
b) Berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik
secara lisan maupun tulisan).
c) Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-
masalah hukum dalam rangka pengambilan
keputusan hukum yang tepat.
4. Moral aparat penegak hukum
Aparat penegak hukum dituntut untuk
mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
112
moralitas umum (Fence M.Wantu, 2011:188) yang
terdiri atas:
a) Nilai-nilai kemanusiaan (humanity), dalam arti
menghormati keluhuran martabat kemanusiaan;
b) Nilai-nilai keadilan (justice), yakni dorongan
untuk selalu memberikan kepada orang apa yang
menjadi haknya;
c) Nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, dalam arti
bahwa upaya mewujudkan keadilan dalam
masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk
memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas
situasi dan rasa keadilan individual dan
kolektif masyarakat;
d) Nilai-nilai kejujuran, dalam arti selalu
terdorong untuk memelihara kejujuran dan
menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang
curang;
e) Keharusan untuk memiliki kualitas keahlian
dalam keilmuan yang tinggi dalam disiplin ilmu
hukum pada para pengembannya;
113
f) Nilai-nilai pelayanan dan kepentingan publik,
yakni bahwa dalam pengembanan profesi hukum
telah melekat semangat keberpihakan pada hak-
hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan
dengan memegang teguh nilai keadilan,
kejujuran, kredibilitas profesi dan keilmuan.
5. Kesejahteraan aparat penegak hukum. Aspek
kesejahteraan aparat penegak hukum harus
diperhatikan secara serius agar mereka dapat
menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-undang
dan kode etik profesi.
Selain itu upaya untuk melahirkan aparat penegak
hukum yang memiliki integritas moral mesti dimulai sejak
dini. Pembentukan moralitas aparat penegak hukum yang
baik dan berlaku adil mesti dimulai sejak manusia hidup,
bertumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan yang
baik. Seorang pribadi yang baik, lahir dan terbentuk
dalam suatu atmosfir keluarga yang selalu mengajarkan
dan menanamkan nilai-nilai moral yang baik. Menurut
Rawls, dalam sebuah keluarga yang baik moralitas seorang
anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik pula.
114
Orang tua harus menjadi conroh bagi moralitas yang
mereka ajarkan kepada anak-anak mereka, juga menjelaskan
prinsip-prinsip yang mendasari moralitas tersebut (John
Rawls, 1995:606). Berawal dari keluarga yang baik akan
terbentuk seorang pribadi yang baik dalam perkembangan
selanjutnya ketika dia memasuki dunia pendidikan dan
dunia kerja. Lembaga pendidikan, seperti lembaga
pendidikan hukum juga memberikan peluang yang
memungkinkan seorang aparat penegak hukum akan
berkembang dengan baik secara moral, asalkan para
pendidikan juga menjadi contoh yang baik bagi para
peserta didik. Menurut Rawls, keteladanan moral bisa
dicapai kalau orang-orang yang dalam berbagai cara
dikagumi (seperti para pendidik) dan yang dalam taraf
lebih tinggi karena otoritasnya, menunjukkan cita-cita
moral yang sesuai dengan posisi atau jabatan mereka
(John Rawls, 1995:613). Hal itu berarti bahwa para
pendidik sudah menunjukkan keahlian, kecakapan, dan
kebajikan yang mengundang keinginan orang lain untuk
mengikuti teladannya. Di sini keteladanan moral seorang
penegak hukum menjadi kekuatan yang turut mempengaruhi
115
superioritas hukum dan juga sebagai upaya untuk mencapai
keadilan.
Sistem pendidikan juga mesti membuat para akademisi
hukum merasa dididik secara jujur tanpa ada penyimpangan
dan penyelewengan. Selain itu dalam menghadapi profesi
hukum, sistem hukum yang baik, sistem penegakan hukum
yang baik, dengan moral kolektif yang kredibel akan
memungkin setiap aparat penegak hukum akan menegakkan
hukum secara baik (bermoral) dan memenuhi rasa keadilan
semua pihak (Antonius Wisnu, wawancara 12/09/2013). Kita
tidak dapat mengharapkan penegakan hukum yang adil,
kalau penegakan hukum tidak terbentuk secara baik dalam
proses pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan hukum, lingkungan masyarakat dan lingkungan
penegakan hukum. Karena itu, struktur sosial masyarakat
sebagai basis moral harus ditata dengan baik, agar
individu-individu seperti karakter individu aparat
penegak hukum (yang oleh John Rawls disebut agen moral)
dapat berkembang menjadi pribadi yang baik dalam
menjalankan tugas penegakan hukum. Kekuatan kebaikan
(kekuatan moral) dapat menjadi modal dalam menentukan
116
penilaian moral dan penegakan hukum yang bermoral dan
adil. Pada prinsipnya, pribadi yang baik akan memberi
pengaruh positif dalam pelaksanaan tugas profesinya dan
hal itu akan tampak juga dari hasil kerjanya. Seorang
pribadi yang bermoral baik akan tampak dari karakter,
perbuatan dan keputusan-keputusannya (Anastasia Ririn
Tri setyaningrum, wawancara 12/09/2013). Menurut
Anastasia Ririn, dalam sebuah struktur penegakan hukum,
moralitas tidak terlepas dari keteladanan seorang
pemimpin. Seorang atasan atau pemimpin yang baik dengan
teladan yang baik akan memberikan dampak positif bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Moralitas individual
sangat penting bagi moralitas kolektif dalam sebuah
lembaga penegak hukum. Moral individu akan memberikan
pengaruh positif bagi lingkungan kerja sehingga
mempengaruhi moral kolektif. Karena itu, aparat penegak
hukum mesti ditanamkan sejak dini moralitas baik yang
melekat pada dirinya, agar tidak goyah dan mudah dibawah
arus dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermoral
dalam melaksanakan profesi hukum.
117
Profesi hukum merupakan suatu profesi yang menuntut
pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral
itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur. Upaya untuk memperbaiki moral aparat
penegak hukum menurut Frans Magnis Suseno (1987:142-
150), mesti memenuhi lima kriteria moral sebagai
berikut:
1. Kejujuran. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpakejujuran maka profesional hukum mengingkari misiprofesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik,penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalamkejujuran yaitu sikap terbuka dan sikap wajar;
2. Autentik. Artinya menghayati dan menunjukkan dirisesuai dengan keasliannya, kepribadian yangsebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antaralain: (a) tidak menyalahgunakan wewenang; (b) tidakmelakukan perbuatan yang merendahkan martabat; (c)mendahulukan kepentingan klien; (d) beraniberinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana;(e) tidak mengisolasi diri dari pergaulan;
3. Bertanggung jawab. Artinya (a) kesediaan untukmelakukan sebaik-baiknya tugas apa saja yang termasuklingkup profesinya; (b) bertindak secaraproporsional;
4. Kemandirian moral. Artinya tidak mudah terpengaruhatau tidak mudah mengikuti pandangan moralyang terjadi di sekitarnya, melainkanmembentuk penilaian sendiri;
5. Keberanian moral. Artinya ada kesetiaan terhadapsuatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untukmenanggung resiko konflik.
Dalam Laporan Akhir Standar Disiplin Hukum
Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional
118
Republik Indonesia (KHN RI) tahun 2003 seperti
dikutip oleh Fence M. Wantu (2011:33-35), terdapat 12
(duabelas) asas-asas atau prinsip-prinsip moralitas
profesi aparat penegak hukum. Asas atau prinsip
moralitas tersebut yakni sebagai berikut:
1. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk senantiasa menjalankan profesinya denganintegritas yang tinggi dan untuk menegakkan sertamelaksanakan keadilan;
2. Seorang pengemban profesi hukum akan selalumenjalankan profesinya dengan penuh rasapengabdian kepada masyarakat berdasarkankejujuran, keterbukaan, dan kepatutan;
3. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk menangani persoalan-persoalan hukumberdasarkan kompetensinya, dan melaksanakansetiap jasa hukum demi kepentingan klien ataupihak lain;
4. Semua pengemban profesi hukum harussenantiasa memberikan jasa hukum, melaksanakankeahlian hukumnya, dengan penuh kehati-hatian,efisien, dan cara yang beradab, demi tingkatkualitas pelayanan yang diharapkan dari seorang
pengemban profesi hukum, dan menghindari diridari perilaku atau tindakan yang tidak pantasatau tidak sesuai standar profesional;
5. Seorang pengemban profesi hukum harusmelaksanakan profesinya dengan penuh kejujurandan keterbukaan, serta berupaya untuk mencegahpraktek hukum yang tidak sah;
6. Seorang pengemban profesi hukum harus memeliharadan menjaga kepercayaan dan rahasia yangmenyangkut urusan dan kepentingan dari klien ataupihak pencari keadilan yang mempercayakankepentingan atau urusan itu kepadanya;
7. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasamembuat keputusan-keputusan profesional yang bebas
119
demi kepentingan klien atau pencari keadilan danmenghindari benturan kepentingan (conflict of interest);
8. Seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajibanuntuk tidak berupaya memperoleh bisnis pelayananjasa hukum;
9. Seorang pengemban profesi hukum harus mewakili danmengupayakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak yangdirepresentasikannya dengan semaksimal mungkindalam batasan-batasan hukum yang berlaku;
10. Seorang pengemban profesi hukum harus berupayadan mendukung setiap upaya untuk memajukan danmengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan;
11. Setiap pengemban profesi hukum harus selaluikut menghormati dan mengawasi pelaksaan tugaspengembanan profesi hukum, baik oleh pengembanprofesi hukum yang memiliki bidang kerja yang samaatau yang berbeda, demi mempertahankan integritasdan kehormatan profesi hukum pada umumnya.
12. Seorang pengemban profesi hukum berkewajibanuntuk senantiasa menghormati dan mentaati setiapkeputusan atau tindakan indisipliner yangdimaksudkan untuk menegakkan prinsip-prinsip moralumum dan kode etik profesi yang berlakuterhadapnya.
D. UPAYA-UPAYA MENCAPAI KEADILAN
Konsep keadilan yang dimaksud adalah keadilan hukum.
Dalam konsepsi hukum di Indonesia keadilan tidak terlepas
dari keadilan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Dalam
pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 diuraikan
bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal
120
tersebut mengandung dan mencerminkan jiwa Pancasila. Jiwa
Pancasila tersebut terkandung dalam hakekatnya yang
menyangkut “keadilan hukum” bagi seluruh rakyat Indonesia,
dengan tidak ada kecualinya (Abdullah Sani, 1977:71).
Oleh karena itu dalam pasal tersebut terkandung makna
“Rule of Law”, yang harus ditekankan dalam sebuah negara
hukum atau negara yang berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat).
Keadilan hukum berdasarkan pancasila tersebut harus
diperlakukan secara sama terhadap seluruh rakyat
Indonesia dengan tidak ada kecualinya dan tidak mengenal
ras dan diskriminasi. Hukum diperlakukan sama dan
bersifat universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu
berarti bahwa, tidak ada perlakuan yang istimewa terhadap
pejabat negara atau keluarga pejabat negara yang terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar hukum. Semua warga
negara Indonesia harus diperlakukan secara sama dan adil
di hadapan hukum dengan tidak ada yang dikecualikan. Hal
tersebut ditegaskan juga dalam Pasal 7 Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia bahwa “Semua orang
bersamaan kedudukannya di depan hukum, dan berhak
121
mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada
kekecualiaannya”. Dalam Pasal 3 angka (2) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia ditegaskan
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Konsep keadilan tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep
keadilan yang digagaskan oleh Jhon Rawls. Konsep keadilan
Jhon Raws mengutamakan konsep keadilan prosedural murni.
Artinya, setiap orang yang mencari dan mengendaki
keadilan juga aparat penegak hukum mesti mengetahui hasil
akhir dari pencariannya dan mengikuti prosedur penegakan
hukum secara murni dan sungguh-sungguh. Dengan demikian,
agar penegak hukum hendak menegakkan hukum secara
sungguh-sungguh dan adil, dia mesti mengikuti semua
prosedur hukum tersebut tanpa memiliki prasangka atau
kepentingan apapun. Aparat penegak hukum harus mengikuti
prosedur hukum dengan murni dan sungguh-sungguh sambil
tetap menggali dan memperhatikan nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
122
Menurut Aristoteles, keadilan terbagi dalam dua
bagian, yaitu keadilan distributiva dan keadilan
commutativa (Abdullah Sani, 1977:72). “Keadilan
distributiva adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-
tiap orang jatah menurut jasanya”. Sedangkan keadilan
commutativa adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-
tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-
jasa perorangan” (Van Apeldoorn, seperti dikutip dalam
Abdullah Sani, 1997:72). Menurut Abdullah Sani, keadilan
hukum identik dengan keadilan distributiva di mana setiap
orang diberikan hak-haknya seturut jasa-jasa atau
perbuatan-perbuatannya. Hal itu berarti bahwa, setiap
orang yang sudah memberikan jasanya kepada negara akan
diperlakukan secara berbeda dihadapan hukum daripada
orang yang belum memberikan jasanya kepada negara. Dengan
demikian, pendapat tersebut kontradiktif dengan konsep
‘persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara’.
Hemat penulis, keadilan hukum adalah keadilan berdasarkan
prosedur murni hukum tersebut, seperti dikatakan John
Rawls dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Prosedur
123
murni dimaksudkan bahwa, setiap aparat penegak hukum,
mengikuti secara serius dan sungguh-sungguh prosedur
hukum dalam upaya penegakan hukum tanpa memiliki
kepentingan apa pun yang membuat penegakan hukum
menyimpang dari kandungan nilai keadilan. Prosedur murni
penegakan hukum mesti dipatuhi oleh aparat penegak hukum
berdasarkan Undang-undang dan kode etik profesi yang
berlaku, dan ditopang oleh integritas moral aparat yang
baik sehingga penegakan hukum dapat memenuhi rasa
keadilan semua pihak. Keadilan yang hendak dicapai adalah
keadilan berdasarkan hukum yaitu peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan penerapannya dalam penegakan
hukum oleh aparat penegak hukum serta keadilan yang
merujuk pada nilai-nilai keadilan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan hukum
adalah prosedur yang benar dan adil dan menjamin hasil
akhir yang benar dan adil pula. Hasil dari kesepakatan
harus dilihat sebagai fair atau adil karena ada semacam
posisi yang sejati (yang baik dan benar secara natural)
yang bisa menjamin suatu situasi yang adil bagi semua