REFARAT REVISI

70
BAB I PENDAHULUAN Beberapa masalah pediatri dapat ditangani dengan pembedahan diantaranya trauma, tumor, masalah-masalah gastrointestinal (misalnya perdarahan, anomali traktus gastrointestinal, peritonitis, ikterus obstruktif), distres pernapasan (misalnya yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas, anomali diafragma), malformasi kongenital (misalnya defek dinding abdomen, malformasi anorektal), dan gangguan endokrin (misalnya hiperparatiroidisme primer, disorder of sex development). 1 Beberapa masalah di atas juga merupakan kelainan bawaan / kelainan kongenital, yaitu kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik; contohnya anensefalus, labiopalatoskisis, atresia esofagus, atresia bilier, omfalokel, penyakit Hirschprung, malformasi anorektal, disorder of sex development, tetralogy of Fallot, defek septum ventrikel, dan duktus arteriosus paten. 2 1

Transcript of REFARAT REVISI

BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa masalah pediatri dapat ditangani dengan

pembedahan diantaranya trauma, tumor, masalah-masalah

gastrointestinal (misalnya perdarahan, anomali traktus

gastrointestinal, peritonitis, ikterus obstruktif),

distres pernapasan (misalnya yang disebabkan oleh

obstruksi jalan napas atas, anomali diafragma),

malformasi kongenital (misalnya defek dinding abdomen,

malformasi anorektal), dan gangguan endokrin (misalnya

hiperparatiroidisme primer, disorder of sex development).1

Beberapa masalah di atas juga merupakan kelainan

bawaan / kelainan kongenital, yaitu kelainan yang sudah

ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor

genetik maupun non genetik; contohnya anensefalus,

labiopalatoskisis, atresia esofagus, atresia bilier,

omfalokel, penyakit Hirschprung, malformasi anorektal,

disorder of sex development, tetralogy of Fallot, defek

septum ventrikel, dan duktus arteriosus paten.2

1

Pada refarat ini akan dibahas mengenai 2 dari

beberapa masalah pediatri yaitu disorder of sex development

(DSD) dan malformasi anorektal (atresia ani).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT (DSD)

A. Definisi

Perkembangan normal sistem reproduksi terjadi

melalui dua fase yaitu fase determinasi dan fase

diferensiasi. Fase determinasi merupakan fase penentuan

jenis gonad yang dipengaruhi oleh faktor kromosom dan

faktor gonad; sedangkan fase diferensiasi dipengaruhi

oleh faktor hormonal. Jika terjadi gangguan pada salah2

satu dari kedua fase tersebut, maka sistem reproduksi

tidak akan berkembang sempurna. Hal ini kini dikenal

sebagai disorders of sex development (DSD). Istilah DSD

muncul dari pertemuan Lawson Wilkins Paediatric Endocrine Society

(LWPES) dan the European Society for Paediatric Endocrinology

(ESPE), untuk menggantikan terminologi lama yaitu

‘interseks’ atau ‘hermafrodit’.3,4

Terdapat beberapa terminologi lama yang sudah tidak

dipakai lagi, dan digantikan dengan istilah baru, yang

dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Terminologi yang lama dan yang baru sehubungan dengan kasus DSD3,5

Terminologi lama Terminologi baruInterseks DSD

Male pseudohermaphrodite, undervirilized male,

atau undermasculinization of XY male46,XY DSD

Female pseudohermaphrodite, overvirilized of XX

female, atau masculinization of XX female46,XX DSD

True hermaphrodite DSD ovotestikulerXX male atau XX sex reversal 46,XX DSD testikuler

XY sex reversal atau XY female46,XY disgenesis gonad

komplit

DSD merupakan kelainan bawaan dimana terjadi

ketidakselarasan kromosom, perkembangan gonad dan

3

anatomi jenis kelamin, sehingga perkembangan sistem

reproduksi atipikal atau menyimpang.3-5

B. Perkembangan sistim reproduksi

Perkembangan genitalia terjadi pada masa gestasi 6-

14 minggu. Meskipun jenis kelamin embrio ditentukan

secara genetik pada waktu fertilisasi, tetapi gonad

tidak memperoleh karakteristik morfologi pria atau

wanita sampai usia gestasi 6 minggu. Jadi, sampai

dengan masa gestasi 6 minggu, gonad primordial bersifat

indiferen atau bipotensial (mampu untuk berkembang ke

dua arah yang mungkin yaitu menjadi testis atau menjadi

ovarium). Hingga usia 6 minggu masa gestasi, embrio

juga memiliki sepasang duktus Mulleri (duktus

mesonephros), sepasang duktus Wolffi (duktus

paramesonephros) dan bakal genitalia eksterna maupun

interna yang indiferen.3

Sekresi hormon androgen mulai terjadi pada masa

gestasi 7-8 minggu setelah testis terbentuk. Puncak

sekresi testosteron terjadi antara masa gestasi 14-164

minggu. Hormon androgen selanjutnya akan menyempurnakan

proses diferensiasi genitalia interna dan eksterna.3

a. Fase determinasi

Fase ini merupakan langkah awal perkembangan

sistim reproduksi. Setiap gangguan pada fase ini

sangat potensial untuk menyebabkan DSD disgenesis

gonad.3

Kromosom

Laki-laki memiliki kromosom 46,XY sedangkan

wanita 46,XX. Kromosom XY atau XX ditentukan

saat fertilisasi. Pada usia gestasi dini, gonad

yang terbentuk bersifat indiferen atau

bipotensial, baik pada embrio XY atau XX. Dalam

penelitian Jost dkk, disimpulkan bahwa

testislah yang berperan dalam diferensiasi

genitalia interna maupun eksterna; dan sejak

percobaan ini, upaya untuk mencari faktor

penentu testis (testis-determining factor / TDF)

berlangsung. Keberadaan faktor penentu testis

ini kemudian berhasil dilokalisir oleh Sinclair5

dkk tahun 1990, yang dikenal sebagai gen SRY

(sex-determining region on the Y chromosome), pada

lengan pendek kromosom Y (kromosom Yp11.31).

Pada ketiadaan gen SRY, maka gonad akan

berkembang menjadi ovarium; sebaliknya dengan

adanya gen SRY maka gonad bipotensial akan

berkembang menjadi testis.3,6

Gen SRY juga mengatur steroidogenesis factor 1 atau

SF1 (dalam hal ini upregulation) yang bekerja

melalui faktor transkripsi, SOX9, untuk

menginduksi diferensiasi dari sel-sel Leydig

dan Sertoli. SOX9 juga mempengaruhi gen yang

memproduksi MIS untuk regresi duktus Mulleri

(akan dijelaskan selanjutnya). Telah diketahui

pula pada diferensiasi seksual wanita (yang

akan dijelaskan selanjutnya), terdapat gen

spesifik yang menginduksi perkembangan ovarium,

yaitu DAX1, yang menghambat SOX9 dan berlokasi

pada lengan pendek kromosom X dan bekerja

dengan mengatur aktivitas SF1 (dalam hal ini6

downregulation), yang mencegah diferensiasi dari

sel Sertoli dan sel Leydig. Diketahui pula

bahwa faktor pertumbuhan yang disekresikan

yaitu WNT4 berkontribusi dalam diferensiasi

ovarium.7,8

Gonad

Cikal bakal dari gonad adalah tonjolan

urogenital (urogenital ridge). Tonjolan urogenital

ini berkembang dari mesoderm, dan terdiri dari

pronephros, mesonephros, dan metanephros, yang

akan berkembang menjadi gonad, ginjal dan

adrenal. Tonjolan gonad (gonadal / genital ridge)

terbentuk pada sisi ventromedial mesonephros

pada masa gestasi 10 hari. Gonad primordium ini

terdiri dari mesenkim mesonephros, sel epitel

serta sel-sel germinal. Sel-sel germinal tidak

muncul pada tonjolan gonad sampai usia

kehamilan 6 minggu. Sel-sel germinal primordial

pertama kali muncul pada tahap awal gestasi, di

antara sel endoderm di dinding yolk sac, dekat7

alantois (Gambar 1a). Sel-sel germinal

primordial ini bermigrasi dengan gerakan

ameboid sepanjang bagian dorsal mesenterium

hindgut dan tiba pada gonad primitif pada awal

minggu ke-5 dan menginvasi tonjolan gonad pada

minggu ke-6 masa gestasi (Gambar 1b). Jika sel-

sel germinal primordial gagal mencapai tonjolan

gonad, maka gonad tidak akan berkembang. Karena

itu, sel-sel germinal primordial memiliki

pengaruh induktif pada perkembangan gonad ke

arah ovarium atau testis. Pada stadium ini,

gonad bersifat indiferen atau bipotensial.3,8

Sebelum dan selama sel-sel germinal primordial

tiba, epitel tonjolan gonad berproliferasi, dan

sel-sel epitel memasuki mesenkim yang

mendasari. Disini, sel-sel epitel membentuk

sejumlah korda yang berbentuk ireguler, yaitu

korda seks primitif (primitive sex cords), yang

mampu berdiferensiasi antara gonad pria dan

wanita (Gambar 2).8

8

Gambar 1. (a) Embrio usia 3 minggu, menunjukkan sel-sel germinal

primordial pada dinding yolk sac dekat dengan alantois; (b)

Jalan migrasi sel-sel germinal primordial ke tonjolan

genital.8

Jika embrio secara genetik adalah laki-laki,

sel-sel germinal primordial membawa kompleks

kromosom seks XY. Di bawah pengaruh gen SRY

pada kromosom Y, maka primitive sex cords

melanjutkan proliferasi dan masuk lebih dalam

ke medula untuk membentuk testis atau medullary9

Gambar 2.Potongan melintang

melalui regio

lumbalis dari embrio

usia 6 minggu

menunjukkan gonad

indiferen dengan

korda seksual

cords (Gambar 3). Selama perkembangan

selanjutnya, sebuah lapisan padat jaringan ikat

fibrosa, yaitu tunika albuginea, memisahkan

korda testis dari epitel permukaan. Sel-sel

epitel permukaan ini kemudian berproliferasi

dan berdiferensiasi menjadi sel-sel Sertoli.

Ini terjadi pada usia gestasi 6 minggu. Sel-sel

interstitial Leydig berasal dari mesenkim

original dari gonadal ridge, yang mulai

berkembang secara singkat setelah diferensiasi

dari korda testis. Minggu ke-8 gestasi, sel-sel

Leydig mulai memproduksi testosteron dan testis

menjadi mampu untuk mempengaruhi diferensiasi

seksual dari genital interna dan eksterna.3,8

10

Gambar 3.Potongan

melintang melalui

testis pada minggu

ke-8 menunjukkan

Pada embrio wanita dengan kompleks kromosom sex

XX dan tidak ada kromosom Y, korda seksual

primitif berpisah menjadi kelompok-kelompok sel

ireguler. Kelompok-kelompok ini memuat kelompok

sel germinal primitif, yang menempati bagian

medula dari ovarium. Kemudian, mereka hilang

dan digantikan oleh stroma vaskuler yang

membentuk medula ovarium. Epitel permukaan

gonad wanita, tidak seperti gonad pria,

melanjutkan diri berproliferasi. Pada minggu

ke-7, epitel permukaan berkembang menjadi

cortical cords, yang memasuki mesenkim yang

mendasari (Gambar 4).8

11

Gambar 4.Potongan melintang ovarium pada minggu ke-7

menunjukkan degenerasi dari medullary cords dan

pembentukan cortical cords.8

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa jenis

kelamin genetik dari embrio ditentukan pada waktu

fertilisasi, tergantung dari apakah sperma

membawa kromosom X atau kromosom Y. Pada embrio

dengan konfigurasi kromosom seks XX, medullary cords

dari gonad menjadi surut, dan generasi kedua dari

cortical cords berkembang (Gambar 4). Pada embrio

dengan kompleks kromosom seks XY, medullary cords

berkembang menjadi korda testis dan cortical cords

gagal berkembang (Gambar 3).8

b. Fase diferensiasi

Fase diferensiasi genital interna dan eksterna

bergantung pada faktor hormonal (Gambar 5). Hormon

androgen yang disekresikan oleh testis, pada awalnya

diatur oleh human chorionic gonadotropin (hCG) yang

berasal dari plasenta, yang mencapai kadar puncak

pada usia gestasi 8-12 minggu. Pada minggu ke-15

masa gestasi, pengaturan sekresi testosteron ini

mulai diambil alih oleh jaras hipotalamus-hipofisis12

janin dengan gonadotropinnya (dalam hal ini adalah

luteinizing hormone / LH), dan dipertahankan pada kadar

yang lebih rendah di usia kehamilan lanjut. Sekresi

gonadotropin ini akan berkurang hingga menjelang

akhir gestasi.3

Gambar 5. Skema peran hormon pada perkembangan normal

sistim reproduksi3

Genital interna

13

Perkembangan genital interna merupakan efek

parakrin dari gonad ipsilateral. Parakrin

merupakan tipe fungsi hormon dimana hormon

disintesis dan dilepaskan dari sel-sel endokrin

dan terikat pada reseptornya di sel-sel dekat

sel-sel endokrin tersebut dan mempengaruhi

fungsinya. Ketika tidak ada jaringan testis,

janin (fetus) secara morfologi, mulai dan

menyelesaikan perkembangan genital interna dan

perkembangan fenotip eksterna sebagai wanita.

Ketika ada jaringan testis, ada 2 substansi

yang diproduksi yang penting untuk perkembangan

genital interna pria dan fenotipe eksterna

pria, yaitu testosteron dan Mullerian-inhibiting

substance (MIS) atau Mullerian-inhibiting factor (MIF)

atau Anti-Mullerian hormone (AMH).3,9

Proses diferensiasi genital interna terjadi

sejak minggu ke-6 masa gestasi. Pada janin

pria, diferensiasi genital interna berlangsung

dengan terbentuknya sel Sertoli yang14

menghasilkan MIS. MIS menekan perkembangan

duktus Mulleri; sedangkan testosteron yang

dihasilkan sel-sel Leydig menstimulasi

perkembangan duktus Wolffi untuk membentuk

genital interna yaitu vas deferens, vesikula

seminalis dan epididimis. Apabila tidak ada

testis, maka duktus Wolffi akan regresi dan

duktus Mulleri akan berkembang menjadi genital

interna wanita yaitu tuba Fallopi, uterus dan

⅓ proksimal vagina. Selain itu, duktus Mulleri

di bawah pengaruh estrogen membentuk tuba

Fallopi, uterus dan ⅓ proksimal vagina.3,8,9

Dapat dilihat pada Gambar 6.

15

Genital eksterna

Sebelum terjadi diferensiasi genital eksterna,

maka baik janin laki-laki maupun perempuan

memiliki struktur embrional genital eksterna

yang indiferen / bipotensial yaitu sinus

urogenitalis, genital tubercle, genital fold, dan genital

swelling (Gambar 7). Ada tidaknya testosteron

yang dikonversi menjadi 5-DHT

(dihidrotestosteron) oleh enzim 5-α reduktase,

mempengaruhi berkembangnya struktur embrional

tersebut. Perkembangan struktur embrional

genital eksterna dapat dilihat pada tabel 2.3,9

Tabel 2. Perkembangan struktur embrional genital eksterna3

Struktur

embrionalPria Wanita

Sinus

urogenitalisProstat*

Vagina ⅔

inferior

16

Gambar 6. Diferensiasi

genital interna3

Genital tubercle Penis* Klitoris

Genital foldUretra dan

phallus*Labia minor

Genital swelling Skrotum* Labia mayor*dipengaruhi oleh testosteron

Gambar 7. Diferensiasi genital eksterna3

Antara minggu 9-12 masa gestasi, genital

eksterna janin pria akan mengalami virilisasi

(perkembangan sifat seks sekunder pria) melalui

17

DHT. DHT akan menyebabkan fusi lipatan

labioskrotal sehingga terbentuk skrotum. DHT

akan menyempurnakan bentuk anatomi genital

eksterna antara minggu 12-14 masa gestasi.

Apabila lipatan labioskrotal tidak mengalami

fusi pada akhir minggu ke-12, maka testosteron

akan tetap menyebabkan pertumbuhan phallus

tanpa menyempurnakan fusi yang gagal tersebut.

Pada trimester ketiga kehamilan, testis akan

turun (desensus) ke skrotum.3

Untuk perkembangan penis, terjadi dalam fase

intra- dan ekstrauterin, dan dipengaruhi oleh

testosteron. Pada fase intrauterin, terjadi

fase pembentukan (formative phase) dan fase

pertumbuhan (linear growth phase). Fase pembentukan

terjadi pada trimester pertama kehamilan

(antara 8-14 minggu). Fase pertumbuhan terjadi

pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan

berlanjut sampai usia pubertas. Pada keadaan

normal, panjangnya penis pada akhir trimester18

pertama adalah 3,5 mm, identik panjangnya

dengan klitoris. Gangguan hormonal pada fase

pembentukan akan mengakibatkan ukuran penis

yang kecil, dengan hipospadia. Dalam keadaan

normal, pada fase kedua intrauterin, panjang

penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga

pada saat lahir panjangnya adalah 35 mm.3

C. Epidemiologi

DSD merupakan keadaan yang relatif jarang ditemukan.

Insidensnya diperkirakan 1:4500 sampai 1:5500, atau

bervariasi sesuai dengan etiologi. Penyebab tersering

adalah hiperplasia adrenal kongenital (HAK) ditemukan

pada 50% bayi baru lahir dengan DSD; mixed gonadal disease

(MGD) diperkirakan merupakan penyebab tersering kedua

dengan insidens 1:10000. Hal ini sama pula dengan yang

terjadi di Amerika Serikat dimana HAK merupakan

penyebab tersering genital ambigu pada bayi baru lahir,

dan MGD merupakan penyebab kedua dari DSD. Analisis

dari skrining bayi di seluruh dunia bahwa dari 6,5 juta

19

bayi baru lahir ditemukan insidens HAK adalah 1:15.000

kelahiran hidup. Dengan teknologi terkini, hanya 50%

kasus 46,XY DSD yang dapat diketahui penyebabnya dan

hanya 20% kasus DSD secara keseluruhan yang dapat

didiagnosis secara molekuler.3-5,9,10

D. Etiologi

Etiologi DSD sangat luas, dapat dilihat pada tabel

3.

Tabel 3. Klasifikasi etiologi DSD3,5,6,10

Kromosom

seks DSD

46,XX DSD 46,XY DSD

- 45,XO

(sindrom

Turner dan

varian

mosaic)

- 47,XXY

(sindrom

Klinefelte

r dan

varian)

- 45,XO/

46,XY

(MDG,

ovotestiku

- Paparan androgen

berlebih yaitu dari

janin atau fetoplasenta

(misalnya karena

defisiensi P450 c21,

defisiensi P450 c11,

hiperplasia adrenal

kongenital / HAK,

defisiensi aromatase,

mutasi gen reseptor

glukokortikoid) dan

dari ibu (misalnya

karena obat-obat

androgenik, tumor

- Defek perkembangan testis

Disgenesis gonad komplit

(Swyer syndrome)

Disgenesis gonad parsial

(mutasi WT1 / Denys Drash

syndrome, SOX9, SF1)

DSD ovotestikuler

Sebab lain yang tidak

diketahui

- Defisiensi hormon

testikuler (misalnya karena

hipoplasia / aplasia sel-

sel Leydig, mutasi reseptor

LH, HAK, defisiensi enzim

20

ler DSD)

- 46,XX/

46,XY

(chimeric,

ovotestiku

ler DSD)

virilisasi)

- Gangguan perkembangan

ovarium (misalnya

disgenesis gonad XX,

DSD ovotestikuler)

- Sebab yang tidak dapat

ditentukan (berhubungan

dengan defek traktus

genitourinarius dan

gastrointestinal)

5-α reduktase, Smith-Lemli-

Opitz syndrome)

- Defek kerja androgen

(misalnya defek reseptor

androgen, sindrom

insensitivitas androgen

komplit dan parsial)

a. 46,XX DSD (bayi atau anak yang mengalami

virilisasi)

Sebagian besar kasus kategori ini ditandai dengan

adanya gonad berupa ovarium disertai genital interna

wanita. Genital eksterna mengalami maskulinisasi

karena pengaruh androgen. Sumber androgen

intrauterin seperti yang terdapat dalam tabel 3 di

atas yaitu dari janin, plasenta dan dari ibu.

Pengaruhnya bervariasi, dari klitoromegali ringan

sampai dengan fusi sempurna labia dengan bergesernya

sinus urogenitalis sebagai lubang uretra ke arah

21

ujung distal dari phallus yang membesar. Gonad pada

kelompok ini tidak akan teraba.3

Penyebab tersering adalah HAK. HAK merupakan

keadaan yang diturunkan secara autosomal resesif

dimana terdapat defek enzim pada salah satu dari

proses steroidogenesis adrenal sehingga terjadi

akumulasi steroid proksimal. Akumulasi steroid

proksimal pada akhirnya dikonversi menjadi androgen

yang mengakibatkan terjadinya virilisasi.3

Penyebab lain yang mungkin adalah pajanan

terhadap androgen eksogen, misalnya dari konsumsi

androgen atau progestin ibu, atau tumor ibu yang

menghasilkan androgen (tetapi hal ini jarang).

Selain itu, defisiensi enzim aromatase plasenta juga

dapat menyebabkan virilisasi pada janin (dan pada

ibu), karena enzim aromatase berfungsi untuk

mengubah testosteron menjadi estradiol pada unit

fetoplasenta, dan defisiensi enzim ini berakibat

meningkatnya kadar testosteron pada plasenta dan

janin.3

22

b. 46,XY DSD (bayi atau anak yang mengalami

undervirilisation)

Penyebab tersering kategori ini adalah sindrom

insensitivitas androgen (SIA), yang merupakan

keadaan yang diturunkan secara resesif X-linked

karena resistensi perifer (sel target) terhadap

kerja androgen akibat mutasi gen reseptor androgen.

SIA terbagi menjadi SIA komplit (SIAK) dan SIA

parsial (SIAP). Pada SIAK fenotip adalah perempuan

sempurna, sedangkan pada SIAP terjadi genital ambigu

yang bervariasi. Sebagian besar penderita SIAK akan

terdiagnosis pada masa pubertas atau setelahnya

karena keluhan amenore. Pada SIA, kadar testosteron

normal dengan genital interna tetap laki-laki.

Karena diturunkan secara X-linked, maka riwayat

keluarga sangat penting.3

Defisiensi enzim 5-α reduktase merupakan penyebab

lain kategori ini, yang diturunkan secara autosomal23

resesif, sehingga mengakibatkan gangguan konversi

testosteron menjadi DHT. Defisiensi DHT menyebabkan

virilisasi genital eksterna tidak sempurna.3

Bayi atau anak yang termasuk dalam kategori ini

memiliki phallus kecil, hipospadia posterior,

skrotum bifidum yang terbentuk tidak sempurna dengan

atau tanpa kriptorkismus.3

c. 46,XX DSD testikuler dan DSD ovotestikuler

Manifestasi klinis XX male dapat dikategorikan

sebagai DSD testikuler dengan fenotip lelaki normal,

DSD testikuler dengan genital ambigu dan DSD

ovotestikuler. Berdasarkan ada tidaknya unsur SRY

maka diklasifikasikan sebagai DSD testikuler Y (+)

dan DSD testikuler Y (-). Sebagian besar yang Y (+)

memiliki genital eksterna normal dan steril,

sedangkan pada Y (-) genital tampak ambigu dan

steril. Penelitian aspek molekuler pada kasus-kasus

DSD testikuler ini memperlihatkan bahwa pada 80%

kasus terjadi akibat translokasi Y-X, dan terjadi24

kecenderungan menginaktifkan kromosom X yang

mengandung Y. Sumber fenotip pria pada DSD

testikuler ini diperkirakan berasal dari: 1)

translokasi sekuens Y, termasuk gen SRY ke kromosom

X atau kromosom autosom; 2) mutasi yang belum

diketahui pada gen X-linked atau autosom yang

terlibat pada jalur pembentukan testis; 3) mosaicsm

kromosom Y yang kriptik.3

Gonad pada bayi atau anak dengan 46,XX DSD

testikuler adalah testis. Ciri utama dari tipe ini

adalah genital eksterna yang tidak berkembang

sempurna disertai testis yang kecil (mikrotestis).

Selain itu pada sebagian besar kasus, akan mengalami

kegagalan untuk menjalani fase pubertas dengan

rambut dada dan aksila yang jarang disertai

distribusi rambut pubis seperti perempuan.3

DSD ovotestikuler, yang dulu disebut true

hermaphrodite, merupakan keadaan ditemukannya

jaringan testis dan ovarium nomal, tanpa memandang

kariotipenya. Gonad biasanya berupa ovarium-testis25

atau ovarium-ovotestis. Genotipe tersering adalah

46,XX walaupun dapat pula ditemukan 46,XY atau

mosaik. Kariotipe yang paling sering dilaporkan pada

DSD ovotestikuler adalah 46XX, 46XY, 46XX/46XY,

45X/46XY. Gonad, genital interna dan eksterna

didapatkan asimetri. Sisi mana yang mengalami

virilisasi dan sisi mana yang mengalami feminisasi

bergantung gonad yang dominan pada sisi ipsilateral.

Fenotipenya sangat bervariasi dari perempuan hingga

laki-laki normal bergantung pada fungsi sel-sel

Leydig, namun sebagian besar kasus memperlihatkan

adanya virilisasi.3

d. DSD kromosom seks

Penyebab tersering kategori ini adalah MGD.

Seperti pada keadaan DSD ovotestikuler, pada

kategori ini ditemukan pula gambaran asimetris. Pada

individu 46,XY testis yang disgenetik walaupun masih

dapat mensekresikan testosteron, produksi MIS

biasanya rendah atau tidak ada sehingga organ-organ26

derivat duktus Mulleri seringkali ditemukan.

Sebagian besar kasus memiliki fenotip genital

interna testis atau ovotestis unilateral disertai

streak gonad (gonad pita) kontralateral, struktur

duktus Mulleri yang persisten pada sisi homolateral

dengan gonad yang disgenetik, dan berbagai tingkat

undervirilisation pada genital eksterna. Secara

histologis, pada streak gonad terdiri dari stroma

ovarium tanpa oosit.3

e. Disgenesis gonad

Disgenesis gonad dapat bersifat komplit / total

dan parsial / mixed. Dikatakan total apabila kedua

gonad adalah streak gonad, dikatakan parsial bila

ditemukan gonad (testis atau ovotestis) pada satu

sisi disertai gonad pita pada sisi kontralateral.

Secara klinis, individu dengan disgenesis gonad akan

memperlihatkan gejala hipogonadisme.3

f. DSD disgenesis gonad komplit

27

Disgenesis gonad total jarang ditemukan pada masa

neonatus karena fenotipenya adalah perempuan tanpa

genital ambigu. Pada kasus dengan kariotipe 46,XY

(sindrom Swyer) terjadi sex reversal sehingga

fenotipenya adalah perempuan. Klinis terlihat

sebagai perempuan dengan tinggi badan normal,

pubertas terlambat, amenore primer, sexual infantilism

(tidak ada perkembangan tanda-tanda seks sekunder,

hipoplasia uterus) dan streak gonad bilateral.3

E. Manifestasi klinis

Genital ambigu merupakan salah satu gejala klinis

yang memberikan indikasi adanya DSD, walaupun tidak

semua DSD akan bermanifestasi klinis genital ambigu,

sebagai contoh pada DSD kromosom seks yang disebabkan

oleh sindrom Turner (kariotipe 45,XO) dan sindrom

Klinefelter (kariotipe 47,XXY) yang memiliki gambaran

klinis anak perempuan. Genital ambigu adalah penampilan

atau fenotip genital eksterna yang tidak khas sehingga

ragu menggolongkan sebagai laki-laki atau perempuan.28

Manifestasi DSD sebagian besar terjadi pada masa

neonatus dan bayi dengan keluhan utama:3

Genital ambigu pada neonatus. Ditemukan pada

beberapa klasifikasi DSD seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Testis tidak teraba pada bayi ‘laki-laki’

Penonjolan di daerah inguinal pada bayi

‘perempuan’

Hipospadia berat

Klitoromegali

Gambar 8. Gambaran genital eksterna yang atipikal.

Gambaran ini ditemukan pada kasus (a) DSD29

F

ovotestikuler; (b)-(e) HAK; (f) Insensitivitas

androgen parsial.6

Manifestasi lambat dapat terjadi setelah masa

neonatus, baik pada anak maupun remaja dengan keluhan

utama:3,5

Virilisasi saat pubertas pada anak ‘perempuan’

Pubertas terlambat pada anak perempuan

Amenore primer

Hernia inguinalis pada anak perempuan

Ginekomastia pada anak laki-laki

Infertilitas pada laki-laki

F. Diagnosis

Penentuan jenis kelamin pada bayi yang lahir dengan

genital ambigu sebaiknya tidak segera dilakukan, hingga

pemeriksaan lengkap telah dilakukan. Diagnosis DSD

dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.3,4

a. Anamnesis

30

Riwayat pranatal: ibu mengkonsumsi obat-obat

steroid, diagnosis antenatal adanya androgen

producing tumor, dan virilisasi ibu selama

kehamilan (defisiensi aromatase).3,4

Riwayat keluarga: riwayat serupa dalam keluarga

untuk beberapa kelainan DSD yang diturunkan

(misalnya sindrom insensitivitas androgen

secara X-linked, defisiensi 5-α reduktase

secara autosomal resesif, dan HAK secara

autosomal resesif), riwayat kematian perinatal

yang tidak jelas (misalnya akibat muntah-

muntah, dengan atau tanpa genital ambigu

merupakan petunjuk yang mengarah ke HAK),

riwayat infertilitas (dapat memberi petunjuk

adanya DSD pada SIAK).3,4

Riwayat penyakit: mulai timbulnya,

progresivitas, riwayat gagal tumbuh dan

pubertas, riwayat penyakit dahulu atau operasi

yang pernah dijalani.3

b. Pemeriksaan fisik31

Keadaan umum: Perlu diteliti keadaan umum

penderita seperti gagal tumbuh, retardasi

mental, mikrosefal. Penampilan fisik yang

dismorfik dengan genital ambigu cukup sering

ditemukan seperti pada sindrom Smith-Lemli-

Opitz. Sindrom Turner dengan perawakan pendek,

low posterior hairline, web neck, dan limfedema

merupakan tanda yang khas ditemui. Perlu

dicatat bahwa tampilan genital eksterna pada

DSD tidak selamanya adalah genital ambigu.3

Genital eksterna

Gonad. Pemeriksaannya merupakan langkah

strategis dalam diagnosis DSD. Gonad yang

teraba menandakan adanya gen SRY,

perkembangan testis dan regresi duktus

Mulleri ipsilateral. Tiga keadaan klinis yang

mungkin ditemukan yaitu:3

(1) Kedua gonad teraba dan simetris, artinya

bayi tersebut kemungkinan besar laki-laki

yang tidak mengalami virilisasi adekuat32

dan struktur duktus Mullerinya regresi.

Diagnosis bandingnya: produksi testosteron

inadekuat, defek reseptor androgen,

defisiensi 5-α reduktase. DSD

ovotestikuler merupakan pengecualian

dimana ditemukan ovotestis bilateral yang

simetris.3

(2) Asimetri gonad dengan hanya teraba 1

gonad, yang menandakan bahwa paling tidak,

ada 1 testis; yang satunya mungkin

ovarium, ovotestis, atau streak gonad. Bila

ditemukan perlu dipikirkan: DSD

ovotestikuler atau MGD.3

(3) Tidak teraba gonad. Pada kondisi ini

kondisi gonad dan duktus tidak diketahui.

Petunjuk tambahan mungkin dapat dilakukan

lebih teliti untuk mengetahui apakah

cincin inguinal terbuka atau tidak. Bila

terbuka, menandakan kemungkinan testis

yang tidak turun, sedangkan bila tertutup33

dapat dihubungkan dengan adanya ovarium

atau testis yang sangat displastik dengan

produksi testosteron yang sangat minimal.

Pemeriksaan rektal dengan menggunakan jari

kelingking akan mudah neraba serviks dan

mengkonfirmasi adanya uterus. Diagnosis

bandingnya: 46XX DSD, 46XY disgenesis

gonad, ovotestikuler DSD.3

Phallus. Pada bayi baru lahir, panjang penis

normal adalah 3,5 ± 0,7 cm. Panjang phallus <

2,0 cm dianggap sebagai mikropenis, dan pada

bayi perempuan bila panjang klitoris > 1 cm

dianggap sebagai klitoromegali. Mikropenis

merupakan ukuran penis < - 2,5 SD untuk

usianya, tanpa disertai kelainan struktural

penis lainnya (hipospadia), yang diukur

ketika penis telah diregang maksimal tanpa

ereksi.3

Orifisium uretra. Bila orifisium uretra dan

introitus vagina jelas terpisah, menandakan34

46,XX. Bila hanya terdapat 1 lubang genital

eksterna, selain kemungkinan 46,XY DSD dapat

juga merupakan sinus urogenital perempuan

yang mengalami virilisasi.3

Rasio anogenital, yang merupakan jarak antara

anus dengan posterior fourchette dibagi dengan

jarak antara anus dengan dasar phallus /

klitoris, Rasio > 0,5 menandakan adanya

virilisasi; dan pada laki-laki yang mengalami

virilisasi sempurna, rasionya adalah 1.3

Stadium Prader, yang menunjukkan berat

ringannya virilisasi, terbagi menjadi 6

stadium yaitu: Prader 0 (genital perempuan

normal); Prader 1 (phallus membesar /

hipertrofi klitoris saja sedangkan genital

eksterna lain normal fenotipe perempuan);

Prader 2 (phallus membesar / hipertrofi

klitoris dengan lubang uretra dan vagina yang

terpisah secara nyata); Prader 3 (phallus

membesar / hipertrofi klitoris dengan 135

lubang sinus urogenital); Prader 4 (phallus

membesar dengan hipospadia); Prader 5

(genital laki-laki normal).3,4

Gambar 9. Stadium Prader untuk genital ambigu.4

c. Pemeriksaan penunjang

Analisis kromosom. Merupakan pemeriksaan lini

pertama yang perlu dilakukan dengan kariotipe

dan flourescence in-situ hybridisation (FISH) dengan

probe DNA khusus kromosom X dan Y, dengan atau

tanpa pemeriksaan gen SRY. Lamanya hasil

pemeriksaan (3 minggu) merupakan hambatan utama

dalam percepatan langkah diagnosis. FISH dapat

mengatasi hal ini karena hanya membutuhkan 2-3

hari, namun harus dilakukan kariotyping untuk

36

mengetahui secara pasti ada tidaknya kelainan

struktural kromosom.3,4

Pencitraan. Dilakukan untuk visualiasi genital

interna, dapat merupakan genitogram dan/atau

ultrasonografi (USG), serta CT-scan atau MRI

bila diperlukan. USG juga dapat membantu

memvisualisasi ada tidaknya testis di regio

inguinal dan ada tidaknya hiperplasia

adrenal.3,4

Pemeriksaan hormonal. Merupakan langkah

strategis berikutnya ketika menghadapi pasien

dengan DSD. Pemeriksaan awal yang paling sering

dianjurkan adalah pemeriksaan kadar

testosteron, LH, FSH dan 17-OH progesteron.

Kadar LH dan FSH meningkat pada disgenesis

gonad atau defek reseptor LH. Pemeriksaan

hormonal ini dapat dipandu oleh teraba tidaknya

gonad. Pada gonad yang tidak teraba, dimana

sangat besar kemungkinan adalah suatu 46,XX

DSD, maka hormon yang diperiksa adalah kadar37

17-OH progesteron serum setelah usia 48 jam.

Bila normal, perlu diperiksa 11-deoksikortisol

dan 11-deoksikortikosteron untuk mendeteksi ada

tidaknya defisiensi 11-β-hidroksilase yang

merupakan kasus HAK tersering kedua. Pada gonad

yang teraba, maka kemungkinan besar adalah

suatu 46,XY DSD, dan yang perlu diperiksa

adalah kadar testosteron dan DHT. Bila rasio

testosteron : DHT tinggi, ini mengarah pada

defisiensi 5-α reduktase.3,4

Pemeriksaan molekuler genetik, dimana analisis

mutasi sangat membantu menegakkan diagnosis DSD

akibat HAK maupun DSD lainnya (misal pada

duplikasi DAX-1, WNT4).3

Pemeriksaan profil steroid pada urin, dengan

menggunakan gas chromatography assay untuk

menentukan secara tepat etiologi HAK.3

d. Diagnosis prenatal

USG dan MRI prenatal dapat pula mendiagnosis DSD,

namun hal ini diperumit dengan resolusi USG dan38

keahlian dari radiografer; juga memiliki

keterbatasan dalam diagnosis DSD misalnya pada janin

46,XX yang mengalami virilisasi berat dengan

tampilan genital eksterna berupa laki-laki (contoh

pada defisiensi enzim 21 hidroksilase) yang sulit

dibedakan dengan janin 46,XY normal; juga pada janin

46,XY yang mengalami virilisasi tidak lengkap akan

tampak genital eksterna perempuan (misal pada

sindrom insensitivitas androgen) dan sulit dibedakan

dengan janin 46,XX normal.11

Normalnya, pada usia kehamilan di atas 12 minggu,

jenis kelamin janin telah dapat diketahui; usia ini

merupakan usia dimana genital eksterna janin telah

berkembang sempurna. Abnormalitas yang dapat

ditemukan dari USG pada janin dengan kecurigaan

virilisasi tidak lengkap yaitu adanya struktur

phalus abnormal (tidak ada, pendek, atau bentuk

abnormal), skrotum (bifida atau tidak ada) dan

testis yang tidak turun pada kehamilan lanjut.

Abnormalitas yang dapat ditemukan dari USG pada39

janin dengan kecurigaan virilisasi berat genital

eksterna perempuan yaitu adanya struktur phalus yang

membesar dan labia yang abnormal, dengan uterus yang

dapat diidentifikasi.11

Selain USG dan MRI, dapat pula dilakukan prosedur

invasif untuk penentuan kromosom seks, misalnya

dengan chorionic villus sampling, amniosentesis dan

kordosentesis; namun prosedur ini membawa risiko

terjadinya keguguran atau persalinan prematur

(bergantung dari usia kehamilan sewaktu dilakukan

prosedur ini).11

G. Tatalaksana

Tujuan tatalaksana kasus DSD adalah: 1) untuk

menjamin semaksimal mungkin fertilitas / reproduksi; 2)

untuk menjamin semaksimal mungkin fungsi seksual; 3)

untuk menjamin kesesuaian hasil akhir fenotip dan

psikososial dengan jenis kelamin yang ditentukan.3

Untuk itu, setiap kasus DSD idealnya dievaluasi /

dirujuk ke dokter spesialis endokrin anak dan40

pendekatan dilakukan secara multidisipliner (yaitu

terdiri dari tim ahli di bidang endokrinologi anak,

bedah urologi / plastik anak, obstetri ginekologi,

radiologi, etik, psikiatri, patologi anatomi dan ahli

agama). Tim ahli bekerja sama dengan keluarga mengambil

keputusan terbaik untuk tatalaksana pasien. Perubahan

jenis kelamin dilakukan oleh pengadilan atas

rekomendasi tim medis. Jadi, perawatan optimal untuk

bayi / anak dengan DSD membutuhkan tim multidispliner

yang berpengalaman yang biasa ditemukan di pusat

pelayanan kesehatan tersier.3-5

a. Penentuan gender

Biasanya, untuk menentukan jenis kelamin seorang

anak diperlukan minimal 7 sifat, yaitu 5 sifat

organik dan 2 sifat psikologis. Ketujuh sifat itu

adalah:12

Susunan kromosom: XX pada perempuan dan XY pada

laki-laki.

Jenis gonad: ovarium pada perempuan dan testis

pada laki-laki.41

Morfologi genitalia eksterna

Morfologi genitalia interna

Hormon seks

Pengasuhan (the sex of rearing): cara anak

dibesarkan oleh orangtuanya akan menentukan

penampilan dalam kehidupan kelak. Ini merupakan

faktor psikologis. Bila seseorang sejak lahir

dibesarkan sebagai perempuan maka perilakunya

akan seperti perempuan. Inilah yang dilihat

oleh masyarakat.

Peranan dan orientasi (gender role and orientation):

yang dimaksudkan disini ialah apa yang

diperbuat atau dinyatakan oleh seseorang untuk

mewujudkan dirinya sebagai seorang perempuan

atau seorang lelaki. Yang perlu diperhatikan

ialah: kelakuan, pilihan permainan, minat,

khayalan, percakapan, impian, kebiasaan

erotisme, dan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan yang kadang-kadang menentukan.

42

Untuk pasien DSD, penentuan jenis kelamin

sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah

evaluasi diagnostik secara menyeluruh. Beberapa

faktor yang mempengaruhi penentuan gender meliputi

kariotipe, diagnosis, fenotip genital, pilihan

operasi, kebutuhan terapi substitusi seumur hidup,

potensi fertilitas dan fungsi seksual, risiko

keganasan, pandangan keluarga, dan nilai-nilai

budaya masyarakat setempat.3

Untuk pasien 46,XX yang mengalami virilisasi

dengan HAK, tumbuh sebagai perempuan. Kira-kira 60%

pasien dengan defisiensi enzim 5-α reduktase yang

mana adalah perempuan sewaktu bayi dan mengalami

virilisasi saat pubertas, hidup sebagai laki-laki.

Untuk pasien DSD ovotestikuler, harus

mempertimbangkan potensi fertilitas berdasarkan

derajat diferensiasi gonad dan perkembangan genital.

Untuk pasien dengan MDG, faktor yang harus

dipertimbangkan adalah paparan androgen prenatal,

fungsi testis, struktur phalus dan lokasi gonad.10

43

b. Tatalaksana medis

Terapi sulih hormon, tujuannya bukan hanya

untuk memulai dan menjaga perkembangan tanda

seks sekunder, tetapi juga untuk perkembangan

psikososial. Pasien DSD yang perlu terapi

hormon adalah mereka dengan hipogonad atau

kegagalan gonad primer. Pada perempuan

digunakan estrogen, etinil estradiol; dan pada

laki-laki digunakan testosteron, untuk

menginduksi pubertas.3,4,10

Untuk HAK, diberikan hidrokortison 15-20

mg/m2/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari;

atau fludrokortison 25-50 µg/hari.4

c. Tatalaksana bedah

Tujuannya antara lain untuk diagnosis

(laparoskopi / laparotomi eksplorasi untuk melihat

struktur genital interna), juga untuk konstruksi

genital sesuai jenis kelamin (misalnya koreksi atau

pengangkatan testis bila ukuran phallus kecil, untuk

mengecilkan ukuran klitoris pada bayi yang akan44

dibesarkan sebagai perempuan), mencegah obstruksi

urin dan infeksi, serta memberikan fungsi seksual

dan reproduksi dewasa yang baik. Namun waktu dan

indikasi pembedahan pada kasus DSD ditentukan oleh

tim ahli multidisipliner, karena sangat tergantung

pada tiap kasus yang dihadapi.3,4,10

d. Tatalaksana psikososial

Melibatkan psikolog / psikiater, dan hal ini

sangat penting sebagai bagian dari evaluasi klinis

rutin dan manajemen. Hal ini ditunjukan untuk

skrining dan menolong keluarga yang berisiko

mengalami maladaptasi dengan kondisi medis pasien

dengan DSD.10

H. Prognosis

Prognosis bervariasi dari baik sampai buruk;

dipengaruhi oleh kemampuan dan komitmen orang tua untuk

mendukung anak dengan DSD, kepribadian pasien dan

kemampuan untuk menerima kondisi mereka, kualitas

pengobatan dan pembedahan, serta dukungan orang-orang

45

sekitar. Faktor-faktor ini dapat ditingkatkan dengan

teknik pembedahan terbaru dan lebih banyak dukungan

psikologis yang terlatih. Prinsip dasarnya adalah fakta

dalam kasus kompleks seperti ini, semua faktor tidak

dapat menjadi ideal, terutama yang berhubungan dengan

potensi fertilitas dan tanggung jawab seksual,

sedangkan dengan dukungan keluarga dan orang-orang yang

disayangi maka kualitas hidup dapat memuaskan dan

produktif.13

46

ATRESIA ANI / ANUS IMPERFORATA

A. Definisi

Atresia ani, disebut pula anus imperforata merupakan

keadaan tidak adanya pembukaan dimana anus seharusnya

berada. Anus imperforata merupakan bagian dari

malformasi anorektal, yang merupakan defek berspektrum

luas mengenai defek perkembangan bagian terbawah

traktus intestinal dan urogenital. Defek bervariasi

dari yang sangat kecil dan mudah ditangani dengan

prognosis fungsional yang baik, sampai defek yang

kompleks, sulit ditangani, biasanya berhubungan dengan47

anomali lainnya, dan memiliki prognosis fungsional yang

buruk.14,15

B. Epidemiologi

Malformasi anorektal merupakan anomali kongenital

yang terjadi pada kira-kira 1 dari 5000 kelahiran

hidup. Tidak ada laporan mengenai predileksi ras dan

jenis kelamin. Kebanyakan anak dengan malformasi

anorektal teridentifikasi selama pemeriksaan fisik

rutin bayi baru lahir. Malformasi yang hampir tidak

terlihat (subtle malformation) misalkan pada anak dengan

fistula perineal, dapat terlihat normal, sampai

beberapa bulan atau beberapa tahun anak tersebut datang

dengan keluhan konstipasi atau infeksi saluran

kemih.14,15

C. Patofisiologi

Normalnya, akibat perlipatan sefalokaudal dan

lateral dari embrio, maka bagian dari endoderm-lined

kavitas yolk sac bergabung ke embrio untuk membentuk

48

primitive gut. Perkembangan dari primitive gut dan derivatnya

yaitu: pharygeal gut yang penting untuk perkembangan

kepala dan leher; foregut yang akan berkembang menjadi

esofagus, gaster, duodenum, hepar dan kantung empedu,

pankreas; midgut dimulai dari kaudal hepar dan meluas

ke perhubungan 2/3 kanan dan 1/3 kiri kolon

transversum; hindgut membentuk 1/3 distal kolon

transversum, kolon descendens, kolon sigmoid, rektum,

dan bagian superior dari kanalis analis. Endoderm dari

hindgut juga membentuk lapisan dalam dari vesika

urinaria dan uretra.8

Untuk malformasi anorektal, embriogenesisnya masih

belum jelas. Gangguan pada perkembangan struktur

anorektal pada berbagai tingkatan menyebabkan

terjadinya beragam anomali, mulai dari stenosis anus,

ruptur membran anal inkomplit, atau agenesis anus,

sampai kegagalan proctodeum untuk invaginasi. Pada

atresia ani, defek terjadi karena kurangnya

rekanalisasi bagian bawah kanalis analis.14

49

D. Etiologi

Etiologi malformasi anorektal masih belum jelas dan

tampaknya multifaktorial. Namun dipercaya bahwa faktor

genetik yang berperan. Pada awal tahun 1950-an,

diketahui bahwa ada peningkatan risiko saudara kandung

pasien dengan malformasi anorektal untuk lahir pula

dengan malformasi, yaitu 1:100, dibandingkan dengan

1:5000 pada populasi umum. Selain itu, secara khusus,

mutasi pada gen spesifik yang mengkode faktor

transkripsi telah dilaporkan pada pasien yang memiliki

sindrom yang diturunkan secara autosomal dominan. Juga

telah ditemukan bahwa tidak hanya terjadi peningkatan

insidens malformasi anorektal pada pasien trisomi 21

(sindrom Down), tetapi 95% pasien dengan trisomi 21 dan

malformasi anorektal memiliki anus imperforata tanpa

fistula, dibandingkan dengan 5% dari seluruh pasien

malformasi anorektal. Berdasarkan bukti ini, terlihat

bahwa mutasi beragam gen yang berbeda dapat menyebabkan

malformasi anorektal, atau dapat dikatakan bahwa

50

etiologi dari malformasi anorektal bersifat

multigenik.15

E. Klasifikasi

Klasifikasi malformasi anorektal non-syndromic dapat

dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi malformasi anorektal non-syndromic15

Pria

Fistula recto-perineal

Fistula recto-uretra-bulbar

Fistula recto-uretra-

prostat

Anus imperforata tanpa

fistula

Defek yang kompleks dan

tidak lazim

Wanita

Fistula recto-perineal

Fistula recto-vestibuler

Kloaka dengan channel pendek

(< 3 cm)

Kloaka dengan channel

panjang (> 3 cm)

Anus imperforata tanpa

fistula

Defek kompleks dan tidak

lazim

Ekstrofi kloaka, menutup

ekstra kloaka

Kloaka posterior

Atresia rektum

Berhubungan dengan massa

presakrum51

Anus imperforata dapat dibagi pula menjadi lesi

letak rendah (low lesion) dimana rektum telah turun

melalui kompleks sfingter (sekelompok masa serat otot

yang mengelilingi anorektal dan merupakan kombinasi

dari muskulus puborektalis, levator ani, sfingter

interna dan eksterna); dan lesi letak tinggi (high lesion)

dimana rektum belum turun melalui kompleks sfingter.6

Dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Anus imperforata pada laki-laki (a). Lesi letak rendah;

(b) Lesi letak tinggi.6

F. Manifestasi klinis

52

Kebanyakan bayi dengan anus imperforata dirujuk

karena tidak memiliki pembukaan anus yang dapat

diidentifikasi pada pemeriksaan bayi baru lahir, atau

karena gagal mengeluarkan mekonium. Dapat pula

ditemukan anomali lain seperti anomali genitourinaria,

anomali vertebra, anomali gastrointestinal, defek

jantung dan sindrom Down (yang biasa ditemukan pada

bayi laki-laki dengan anus imperforata tanpa fistula).

Berbagai anomali yang berhubungan dapat dilihat pada

tabel 5.1,6

Tabel 5. Berbagai anomali yang berhubungan dengan malformasi anorektal6

GenitourinariaVertebra Kardiovaskula

r

Gastrointestinal

Refluks

vesikoureter

Agenesis renal

Displasia renal

Duplikasi

ureter

Kriptorkidismus

Hipospadia

Massa

presakral:

Meningokel

Lipoma

Teratoma

Tetralogy of Fallot

Defek septum

ventrikel

Transposisi

arteri besar

Fistula

trakeoesofageal

Atresia duodenal

Malrotasi

Penyakit

Hirschsprung

53

Gambar 10. Anus

imperforata

Uterus bikonuat

Septum vagina

Pada bayi laki-laki dengan lesi letak rendah,

biasanya ada noda mekonium pada perineum sepanjang

medium raphe. Bayi perempuan dengan lesi letak rendah

memiliki berbagai tanda, dari anus yang hanya terletak

anterior dari perineum sampai ke fourchette fistula yang

membuka pada mukosa lembab dari introitus, distal

terhadap hymen. Lesi letak tinggi pada bayi laki-laki

tidak memiliki pembukaan kutaneus atau fistula yang

tampak, tetapi biasanya memiliki fistula ke traktus

urinarius, baik ke uretra maupun ke vesika urinaria.

Meskipun jarang terjadi fistula rektovaginalis, pada

bayi perempuan, lesi letak tinggi biasanya berupa

anomali kloaka (Gambar 11), yang mana rektum, vagina

dan uretra sama-sama membuka pada satu saluran dengan

panjang yang bervariasi.6

54

G. Diagnosis

1. Anamnesis

Riwayat keluarga dengan sindrom atau malformasi

juga penting. Riwayat USG prenatal biasanya normal,

namun USG prenatal dapat pula mendiagnosis anus

imperforata. Dalam suatu penelitian di Norwegia,

dari 69 kasus anus imperforata pada tahun 1987 -

2004, hanya 11 kasus yang murni anus imperforata

terdiagnosis, yaitu dengan adanya dilatasi rektum

atau bagian bawah dari anus, juga melalui temuan

berupa massa abdominopelvik atau klasifikasi

intraluminal dan dilatasi usus. Usia kehamilan

sewaktu terdiagnosis rata-rata 18 + 4 minggu.14,16

2. Pemeriksaan fisik55

Gambar 11. Anus

imperforata pada

bayi perempuan

Selama pemeriksaan fisik, harus difokuskan pada

daerah abdomen, genital, rektum dan vertebra bagian

bawah. Bayi baru lahir dengan anus imperforata

biasanya dapat diidentifikasi pada pemeriksaan fisik

pertama kali. Evaluasi lanjutan dilakukan bila tidak

ditemukan orifisium anal pada posisi yang tepat.

Posisi anus normal pada perineum kira-kira rasionya

0,5 antara koksigeus dan skrotum atau introitus

vagina. Malformasi pada bayi baru lahir yang

terlewati biasanya akan ditemukan dalam 24 jam

ketika bayi tersebut mengalami distensi abdomen dan

gagal mengeluarkan mekonium.6,14

Lesi letak rendah pada bayi laki-laki dapat

ditemukan fistula rektoperineal (kutaneus) dapat

berjalan anterior sepanjang median raphe melewati

skrotum dan kadang turun melalui penis. Traktus ini

biasanya tipis, dengan rektum normal hanya beberapa

milimeter tingginya dari kulit. Anomali

ekstraintestinal dapat terlihat pada < 10% pasien

dengan fistula rektoperineal. Pada bayi perempuan,56

lesi letak rendah memasuki vestibulum atau fourchette

(mukosa lembab di luar hymen tetap masih di dalam

introitus vagina). Bila ada fistula rektoperineal,

maka ketika pemeriksaan perineum didapatkan

pembukaan kecil, mekonium, atau mukus.6,14

Pada anus imperforata letak tinggi, perineum pada

bayi laki-laki terlihat datar. Dapat pula terlihat

mekonium yang melewati penis / uretra (fistula

rektouretra, merupakan yang paling sering pada bayi

laki-laki), dimana bila fistula letak tinggi akan

memasuki uretra pars prostatika atau bahkan vesika

urinaria. Pada fistula rektoprostat, skrotum bisa

bifida dan lengkung anus berada dekat skrotum. Pada

kasus seperti ini dimana tidak ditemukan adanya

pembukaan (lubang) pada perineum, bayi harus

diobservasi selama 24 jam. Pada bayi perempuan

dengan anus imperforata letak tinggi, terdapat

fistula rektovaginal, namun jarang, kebanyakan

fistula ke vestibulum di luar orifisium hymen. Labia

harus dipisahkan untuk mencari fistula vestibuler.57

Bila tidak ada fistula yang terlihat dan bayi hanya

memiliki 1 pembukaan di antara labia, maka bayi

dikatakan memiliki kloaka persisten. Kloaka

persisten didefinisikan sebagai defek dimana rektum,

vagina dan uretra semuanya bertemu dan bersatu

membentuk satu saluran. Lesi letak tinggi juga dapat

terjadi pada atresia rektum, yang merupakan defek

yang jarang, terjadi hanya pada 1% anomali

anorektal. Fitur unik dari atresia rektum bahwa

defek ini mengenai pasien dengan kanalis analis dan

anus yang normal. Defek ini biasanya ditemukan

ketika hendak memeriksa temperatur rektal. Obstruksi

ada pada sekitar 2 cm di atas kulit.6

3. Pemeriksaan penunjang

Urinalisis

Jika pasien memiliki fistula perineal atau

rektourinarius, mekonium mungkin tidak terlihat

dalam urin sebelum 16-24 jam setelah kelahiran.

Hal ini dikarenakan otot sfingter volunter yang58

mengelilingi bagian distal dari usus pada kasus

fistula perineal atau rektourinarius harus

‘diatasi’ dengan tekanan intrausus yang tinggi

sebelum mekonium terlihat dalam urin. Adanya

mekonium dalam urin merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolostomi protektif.6

Radiologi

Pada kelahiran, usus belum distensi, sehingga

evaluasi radiologi tidak dapat dipercaya pada

16-24 jam pertama kehidupan. Kadang, beberapa

tanda klinis yang telah dijelaskan sebelumnya

tidak muncul setelah 24 jam observasi, maka

evaluasi radiologi terindikasikan.6

Pemeriksaan radiologi pasien dengan anus

imperforata antara lain: 1) cross table lateral film

dengan pasien dalam posisi pronasi diambil

dalam 16-24 jam kehidupan, penting untuk

menentukan posisi kantung rektum (Gambar 12);

2) USG abdomen, untuk mengevaluasi adanya

anomali urologi dan pada kasus anomali kloaka,59

vagina yang distensi (hidrokolpos) dapat

diidentifikasi; 3) foto polos vertebra dapat

menunjukkan anomali spinal seperti spina bifida

dan anomali sakrum seperti hemivertebra sakrum;

4) kolostografi distal setelah kolostomi untuk

menunjukkan hubungan rekto-urinarius dan untuk

menentukan tinggi rektum yang sebenarnya.6,15

H. Tatalaksana

Pasien dengan anus imperforata tidak boleh diberi

makan (atau minum) dan harus menerima hidrasi

intravena. Jika dicurigai adanya fistula ke traktus

urinarius, maka dapat diberikan antibiotik berspektrum

60

Gambar 12. Foto rontgen

(X-ray) cross table

lateral film dengan

bayi dalam

luas, meskipun antibiotik untuk bakteri anaerob belum

diperlukan dalam 48 jam pertama kehidupan.14

Penanganan lebih awal untuk bayi baru lahir dengan

malformasi anorektal sangat penting, dan ada 2

pertanyaan yang harus dijawab dalam 24-48 jam pertama

kehidupan. Yang pertama, adakah anomali yang

berhubungan yang mengancam nyawa dan harus diatasi

segera? Yang kedua, apakah bayi harus menjalani

prosedur primer tanpa kolostomi protektif, ataukah

kolostomi protektif dan perbaikan definitif nantinya?

Untuk bayi yang lahir dengan kloaka, dokter bedah harus

menentukan apakan ada dilatasi vagina dan apakah harus

didrainase, juga menentukan apakah pengalihan berkemih

dibutuhkan. Manuver ini ditujukan untuk mencegah sepsis

atau asidosis metabolik. Keputusan untuk melakukan

anoplasti pada periode neonatus atau untuk menunda

perbaikan dan untuk melakukan kolostomi didasarkan pada

pemeriksaan fisik bayi, tampilan perineum dan berbagai

perubahan yang terjadi dalam 24 jam pertama

kehidupan.15

61

Distensi abdomen tidak muncul dalam beberapa jam

pertama kehidupan dan distensi ini dibutuhkan untuk

mendorong mekonium keluar lewat fistula rektoperineal

atau fistula rektouretra. Hal ini dikarenakan bagian

paling distal dari rektum pada bayi-bayi ini

dikelilingi oleh struktur otot volunter yang mirip

terowongan, yang menjaga bagian rektum tersebut kolaps

dan kosong. Tekanan intraabdomen harus cukup tinggi

untuk ‘mengatasi’ tonus otot yang mengelilingi rektum.

Karena itu, keputusan untuk melakukan kolostomi ataukah

anoplasti harus menunggu 16-24 jam ini, ketika dokter

bedah mengawasi bukti klinis mengenai anomali anorektal

yang ada pada bayi.15

Pada inspeksi bokong, bila ditemukan perineum atau

dasar yang rata, merupakan bukti kurangnya lipatan

garis tengah gluteal, dan tidak adanya lekukan anal

mengindikasikan bahwa pasien memiliki sangat sedikit

otot pada perineum. Penemuan ini berhubungan dengan

malformasi letak tinggi dan karenanya harus dilakukan

kolostomi. Tanda pada perineum yang ditemukan pada62

pasien dengan malformasi letak rendah antara lain

adanya mekonium pada perineum, adanya tonjolan kulit

pada lekukan anal yang merupakan tempat lewatnya feses,

dan membran anus.15

Untuk bayi laki-laki dengan fistula rektoperineal

tidak membutuhkan kolostomi. Bayi-bayi tersebut dapat

menjalani anoplasti posterior sagital sedangkan bayi

dengan fistula rektourinarius harus menjalani pemisahan

feses dengan kolostomi. Untuk bayi perempuan dengan

fistula rektovestibuler, dilakukan kolostomi. Kadang

fistula pada bayi perempuan cukup besar untuk

dekompresi traktus gastrointestinal, dan dapat

didilatasi untuk memfasilitasi drainase feses sampai

usia bayi lebih tua dan dapat dilakukan perbaikan

definitif. Perbaikan definitif meliputi pendekatan

posterior sagital. Hal yang paling sulit dari operasi

ini adalah pemisahan rektum dan vagina yang membagi

dinding yang sama. Bayi perempuan dengan fistula

rektoperineal dilakukan anoplasti neonatus.15

63

Untuk bayi perempuan dengan kloaka, jika salurannya

< 3 cm, dapat dilakukan pendekatan posterior sagital.

Jika salurannya > 3 cm, makan biasanya dibutuhkan

laparotomi, dimana kadang vagina dan traktus urinarius

harus dipisahkan dan uretra harus direkonstruksi.15

I. Outcome dan Prognosis

Hal yang perlu diperhatikan setelah operasi adalah

konstipasi dan kontinensia. Konstipasi merupakan hal

yang harus dicegah setelah operasi, terutama pada

pasien perempuan dengan fistula rektoperineal atau

rektovestibular dan untuk pasien laki-laki dengan

fistula rektoperineal dan anus imperforata tanpa

fistula. Untuk mencapai kontinensia, dapat dilakukan

dengan pergerakan usus.15

Semua pasien dengan malformasi anorektal tanpa

komorbiditas yang mengancam nyawa memiliki prognosis

baik.14

64

65

BAB III

KESIMPULAN

1. DSD dan atresia ani merupakan kelainan bawaan yang

dapat ditemukan pada 1 dari 5000 dan 1 dari 4500 –

5500 kelahiran hidup.

2. Etiologi DSD beragam, dan dapat diklasifikasikan

menjadi DSD kromosom seks, 46,XX DSD dan 46,XY DSD;

sedangkan untuk atresia ani diduga multifaktorial.

3. DSD dan atresia ani dapat didiagnosis melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang, serta dapat didiagnosis sebelum kelahiran

(prenatal).

4. Tatalaksana DSD membutuhkan tim multidispliner,

sedangkan kasus atresia ani bergantung pada jenis

anomalinya dan terapi suportif berupa hidrasi dan

nutrisi intravena dan antibiotik spektrum luas.

66

Daftar Pustaka

1. Arensman RM, Bambini DA, Almons PS. Pediatric

surgery. Texas: Landes Bioscience; 2000.

2. Ikatan dokter anak Indonesia UKK Perinatologi. Buku

ajar neonatologi. Jakarta: IDAI; 2010.

3. Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB, editor. Buku

ajar endokrinologi. Jakarta: IDAI; 2010.

4. Ikatan dokter anak Indonesia. Pedoman pelayanan

medis IDAI edisi II. Jakarta: IDAI; 2011.

5. Lee PA, Houk CP, Ahmed F, Hughes IA. Consensus

statement on management of intersex disorders.

Pediatrics 2006;118;e488 DOI: 10.1542/peds.2006-0738.

67

6. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.

Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Washington

DC: Saunders Elsivier; 2007.

7. Paranton H. Embriologi sistem alat-alat urogenital.

Dalam: Buku Ilmu Kandungan, edisi ke-3. Jakarta: PT

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hal.39-43.

8. Sadler TW. Langman’s medical embryology, 10th ed.

USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

9. Hutcheson J, Cendron M. Ambigous genitalia and

intersexuality. [internet]. 2012 Jan 11 [cited 2014

July 02];[7 screens]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1015520-

overview#showall

10. Nabhan ZM, Lee PA. Disorder of sex development.

Curr Opin Obstet Gynecol 19:440–445. © 2007

Lippincott Williams & Wilkins.

11. Chitayat D, Glanc P. Diagnostic approach in

prenatally detected genital abnormalities.

Ultrasound Obstet Gynecol 2010; 35: 637–646.

68

12. Siregar CD. Pendekatan diagnostik interseksualitas

pada anak. Cermin Dunia Kedokteran No. 126, 2000.

hal.32.

13. Lee PA, Houk CP. Long-term outcome and adjusment

among patients with DSD born with testicular

differentiation and masculinized external genitalia

[abstract]. Pediatr Endocrinol Rev 2012

Nov;10(1):140-51.

14. Rosen NG, Cuffari C. [internet]. Pediatric

imperforate anus. 2012 Nov 13 [cited 2014 June 29];

[5 screens]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/929904-

overview

15. Levitt MA, Pena A. Anorectal malformations.

Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33

doi:10.1186/1750-1172-2-33.

16. Brantberg A, Blaas HGK, Haugen SE, Isaksen CV,

Eiknes SH. Imperforate anus: a relatively common

anomaly rarely diagnosed prenatally. Ultrasound

Obstet Gynecol 2006; 28: 904–910.69

70