PROPOSAL PANTOMIM REVISI

37
PENGGUNAAN SENI PANTOMIM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGARANG PADA ANAK TUNARUNGU DI SLBN TARUNA MANDIRI KABUPATEN KUNINGAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Luar Biasa Oleh : INDRA SABARUDIN ROBERT 1004928 JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

Transcript of PROPOSAL PANTOMIM REVISI

PENGGUNAAN SENI PANTOMIM UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN MENGARANG PADA ANAK TUNARUNGU

DI SLBN TARUNA MANDIRI KABUPATEN KUNINGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dariSyarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Luar Biasa

Oleh :

INDRA SABARUDIN ROBERT

1004928

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

A. JUDUL

PENGGUNAAN SENI PANTOMIM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

MENGARANG PADA ANAK TUNARUNGU DI SLBN TARUNA MANDIRI

KABUPATEN KUNINGAN

B. LATAR BELAKANG

Anak tunarungu memilki intelegensi potensial

yang beragam, ada yang memiliki intelegensi dibawah

rata-rata, rata-rata, bahkan mungkin diatas rata-

rata, namun mereka kurang mampu dalam mengembangkan

fungsi intelegensinya. Hal tersebut disebabkan

karena terhambatnya perkembangan bahasa dan

bicaranya yang merupakan dampak langsung dari

gangguan fungsi auditori atau ketunarunguan yang

dialaminya.

Modalitas utama dalam meningkatkan kemampuan

berkomunikasi pada anak tunarungu baik lisan maupun

tulisan, adalah bahasa. “Kualitas keterampilan

berbahasa seseorang bergantung pada kuantitas dan

kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya

kosakata yang kita miliki, semakin besar pula

kemungkinan kita terampil berbahasa”. (Tarigan,

2011:2).

Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, salah satu

kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah

mengarang. Karangan mungkin menyajikan fakta (berupa

benda, kejadian, gejala, sifat atau ciri sesuatu,

dan sebagainya), pendapat/sikap dan tanggapan,

imajinasi, ramalan, dan sebagainya. (Sabarti

Akhaidah, 1995:46).

Agar siswa dapat mengarang dengan baik,

diperlukan penguasaan kosakata, tata bahasa dan cara

penulisan. Kemampuan menulis merupakan kemampuan

yang kompleks, yang menuntut sejumlah pengetahuan

dan keterampilan. Untuk menulis sebuah karangan

sederhana pun, secara teknis dituntut memenuhi

persyaratan dasar yang diantaranya; pemilihan topik,

mengembangkan gagasan, menyajikan dalam kalimat dan

paragraf yang tersusun secara logis. (Sabarti

Akhaidah, 1995:2).

Hal ini bertolak belakang dengan siswa tunarungu

yang memiliki hambatan dalam berbahasa dan

berkomunikasi. Akibat dari terhambatnya bahasa dan

komunikasi, maka akan berpengaruh pada perkembangan

kognitif dan intelektualnya. Mereka akan menjadi

miskin dalam bahasa karena mengalami hambatan dalam

proses pengelolaan bahasa. Inilah yang menjadi anak

tunarungu mengalami permasalahan dalam mengarang.

Kosakata yang dimiliki anak tunarungu masih

terbatas, makna kata dalam ungkapan anak masih

kurang tepat penggunaannya dan susunan kalimat masih

terbolak-balik. Kalimat satu dengan yang lainnya

kurang berkaitan dan tidak runtut, dalam penulisan

pun masih mengabaikan ejaan yang disempurnakan.

Anak tunarungu lebih mengutamakan aspek-aspek

lain untuk mengatasi hambatan pendengarannya melalui

penglihatannya dalam menerima informasi ataupun pada

saat mempelajari sesuatu. Aspek visual merupakan

komponen utama pada anak tunarungu dalam menerima

informasi. Dengan menciptakan suasana yang berkesan

bagi penglihatannya, diharapkan tujuan dari

pembelajaran dan informasi yang disampaikan dapat

diserap dan tercapai sesuai target.

Banyak interaksi dan komunikasi yang terjadi

dalam masyarakat yang berwujud non verbal.

Komunikasi non verbal adalah penyampaian arti atau

pesan tanpa kata-kata yang tercermin pada bahasa

tubuh dan intonasi verbal. Bahasa tubuh digunakan

pada saat kata-kata tidak dapat mewakili perasaan

atau situasi yang ada sehingga bahasa tubuh menjadi

penting untuk dipelajari. (Saleem Hardja Sumarna,

2013:33).

Bahasa tubuh dapat diapresiasikan kedalam bentuk

seni melalui pantomim. Rendra memberikan pengertian

pantomim sebagai penggambaran semua kegiatan manusia

yang hanya dengan gerak semata sampai sedetil-

detilnya. Pantomime sebuah seni bercerita dengan

gerak semata. Maka penguasaan seni gerak sangat

mutlak diperlukan, malahan dalam perkembangan dewasa

ini pantomime itu bisa dipakai tidak hanya bercerita

tetapi juga berekpresi secara liris ataupun abstrak

(Rendra,1984:46).

Menurut R. J. Broadbent dalam bukunya A History

of Pantomime (2004:1), mengemukakan bahwa :

In observing "That all the world's a stage, and the men and women merely players," Shakespeare doubtless included in the generic term "players," Pantomimists as well: Inasmuch as this, that when, and wherever a character is portrayed, or represented, be it in real life or on the stage—"Nature's looking-glass," and the world in miniature—the words that the individual or the character speaks, are accompanied with gesture and motion, or, in other words, Pantomime, when "The action is suited to the word, the word to the action."

Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa

Pantomime adalah suatu seni untuk menciptakan

kembali dunia dengan gerak dan posisi tubuh.

Pantomime mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi

ada, seorang  pemain pantomime akan bermain dengan

dirinya sendiri dan disekitarnya tidak ada apa-apa

dan tidak ada siapa-siapa.

Sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan

anak tunarungu dalam menuangkan pengetahuan, ide-ide

dan gagasannya secara tertulis yaitu melalui

pemanfaatan fungsi penglihatan dengan menggunakan

pantomim. Penulis memiliki anggapan bahwa pantomim

merupakan salah satu media yang dapat digunakan

untuk melatih siswa tunarungu dalam meningkatkan

kemampuan mengarang, yaitu menuangkan sebuah

kesatuan cerita utuh dengan sistematis ke dalam

bentuk tulisan. Dari penggunaan pantomim ini pula

diharapkan siswa tunarungu mendapatkan penambahan

kosakata baru.

Dengan demikian, pantomim merupakan salah satu

komunikasi non verbal. Setiap gerakan pantomim

memiliki makna dan arti sebuah cerita sehingga bisa

dirangkai menjadi sebuah karangan.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Banyak permasalahan yang dapat diidentifikasi

dalam meningkatkan kemampuan mengarang pada anak

tunarungu, dari banyaknya permasalahan yang ada,

peneliti melakukan identifikasi masalah. Adapun

indentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Minat dan motivasi belajar siswa.

2. Media yang digunakan dalam pembelajaran mengarang

sederhana.

3. Kesalahan anak tunarungu dalam mempersepsikan

potongan gambar cerita.

D. BATASAN MASALAH

Untuk menghindari kemungkinan terlalu luasnya

permasalahan, peneliti ingin membatasi pada karangan

sederhana dengan tema kegiatan sehari-hari.

Berkaitan dengan pernyataan diatas peneliti akan

membatasi pada masalah-masalah :

1. Kemampuan mengarang sebelum menggunakan pantomim.

2. Kemampuan mengarang sesudah menggunakan pantomim.

E. RUMUSAN MASALAH

Penelitian ini bertolak dari permasalahan

sebagai berikut :

”Apakah penggunaan pantomim dapat meningkatkan

kemampuan mengarang sederhana pada anak tunarungu

kelas V SDLB-B di SLBN Taruna Mandiri Kabupaten

Kuningan?”

Dengan demikian, sub rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara

kemampuan mengarang sederhana sebelum menggunakan

pantomim dan setelah menggunakan pantomim?

F. TUJUAN PENELITIAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana penggunaan pantomim dalam meningkatkan

kemampuan mengarang siswa tunarungu tingkat dasar

kelas V SDLB B SLBN Taruna Mandiri Kabupaten

Kuningan.

2. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Secara umum penelitian ini memberikan

sumbangan kepada dunia pendidikan dalam

pengajaran bahasa Indonesia terutama dalam

meningkatkan kemampuan mengarang serta

berperan sebagai umpan balik dalam

peningkatkan mutu pendidikan.

b. Manfaat praktis

1. Bagi Siswa

Meningkatkan minat dan motivasi belajar

siswa sehingga dapat meningkatkan hasil

belajar siswa dalam mengarang dengan

penggunaan seni pantomim.

2. Bagi Lembaga Sekolah

Sebagai masukan bagi lembaga sekolah untuk

meningkatkan pemanfaatan media pembelajaran

dalam proses belajar mengajar khususnya

pantomim dalam pembelajaran bahasa Indonesia

khususnya mengarang.

3. Bagi guru

Sebagai masukan bagi guru untuk meningkatkan

media pembelajaran yang unik dan menarik

dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

4. Bagi peneliti

Pengalaman yang berharga untuk melaksanakan

tugas dimasa yang akan datang

G. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala

sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik

kesimpulannya, Sugiyono (2009:38)

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua

variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

adalah kemampuan mengarang sederhana dengan tema

kegiatan sehari-hari sedangkan variabel bebas adalah

pantomim. Variabel bebas adalah variabel yang

menjadi sebab timbul dan berubahnya variabel

terikat.

Definisi Operasional Variabel

1. Pantomim

Istilah pantomime berasal dari bahasa Yunani

yang artinya serba isyarat. Berarti secara

etimologis, pertunjukan pantomime yang dikenal

sampai sekarang itu adalah sebuah pertunjukan

yang tidak menggunakan bahasa verbal. Pertunjukan

itu bahkan bisa sepenuhnya tanpa suara apa-apa.

Jelasnya, pantomime adalah pertunjukan bisu

( Bakdi Sumanto,1992:1).

Dalam Grolier Academik Encylopedia dituliskan

bahwa pantomim ialah suatu cerita, suatu tema,

yang diceritakan atau dikembangkan melalui gerak

tubuh dan wajah yang ekspresif (A.Adjib

Hamzah,1985:51). Kemudian Charles Aubert

memberikan pengertian pantomim adalah seni

pertunjukan yang diuangkapkan malalui ciri-ciri

dasarnya yakni ketika orang melakukan gerak

isyarat atau secara umum berbahasa bisu (1970:3).

Pantomime adalah suatu bentuk seni yang

menggabungkan unsur musik, kelenturan tubuh dan

ekspresi mimik dengan kadar yang sama kuatnya

yang diolah menjadi satu kesatuan yang saling

menunjang sehingga menghasilkan suatu cerita yang

dapat dipahami oleh penontonnya. Atau definisi

lainnya adalah bahwa Pantomime adalah suatu seni

untuk menciptakan kembali dunia dengan gerak dan

posisi tubuh. Pantomime mengadakan sesuatu yang

tidak ada menjadi ada, seorang  pemain pantomime

akan bermain dengan dirinya sendiri dan

disekitarnya tidak ada apa-apa dan tidak ada

siapa-siapa kecuali penonton dan ia harus membuat

penonton “melihat” apa yang tidak terlihat

dipanggung.

Karena itu seorang pemain Pantomime dituntut

untuk memiliki kelenturan tubuh, kepercayaan diri

dan daya imajinasi yang baik.

Unsur-unsur pembentuk sebuah cerita dalam

Pantomime adalah :

Mimik : Seorang pemain pantomime sangat

mengandalkan ekspresi mimik dalam menerangkan

suatu keadaan seperti sedih, marah, kecewa,

gembira, bingung, dll.

Gerak : Gerak tubuh bertugas menciptakan

sesuatu yang tidak ada menjadi ada, seperti

memegang gelas, memegang pisau, memegang kaca,

berjalan, berlari, naik tangga, dll.

Musik : Musik dalam hal ini sangat mendukung

guna menciptakan atmosfer situasi yang terjadi

sehingga penonton juga dapat larut dalam

situasi itu seperti situasi seram, situasi

bahagia, situasi sedih, dll. Karena berkaitan

dengan musik maka seorang pemain pantomime

juga harus mampu menguasai tempo dalam sebuah

irama sehingga ia dapat menyesuaikan gerak

tubuhnya dengan tempo lagu/irama yang saat itu

terdengar. Hal ini sangat penting agar

penonton tidak merasakan kejanggalan karena

apa yang dilihat tidak sesuai dengan apa yang

didengar. Contohnya, musik dalam keadaan sedih

mungkin dipilih yang temponya pelan, dalam

keadaan tergesa-gesa mungkin temponya cepat,

dll.

Rendra memberikan pengertian pantomim sebagai

penggambaran semua kegiatan manusia yang hanya

dengan gerak semata sampai sedetil-detilnya.

Pantomime  sebuah seni bercerita dengan gerak

semata. Maka penguasaan seni gerak sangat mutlak

diperlukan, malahan dalam perkembangan dewasa ini

pantomime itu bisa dipakai tidak hanya bercerita

tetapi juga berekpresi secara liris ataupun

abstrak (Rendra,1984:46).

2. Mengarang

Mengarang adalah membuat cerita secara

tertulis atau tidak tertulis yang menggambarkan

mengenai suatu hal atau keadaan sehingga pembaca

seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan

hal tersebut. Manfaat dalam mengarang untuk

mengasah bakat dan latihan kreativitas, berpikir

dan bertindak konseptual, mengasah imajinasi,

sarana curhat (melalui diary atau surat).

Mengarang dapat mengungkapkan ide, perasaan,

pendapat dan pengalamannya.

Adolf Heuken (2008:10), berpendapat bahwa

mengarang merupakan pengungkapan buah pikiran,

ditulis secara sistematis dan isinya menarik

untuk dibaca. Hasil tulisan yang diperoleh dari

pengungkapan gagasan yang ada di pikiran, dan

ditulis secara baik dan benar akan menjadi suatu

karya dapat dinikmati oleh pembaca. Pengungkapan

buah pikiran tersebut erat kaitannya dengan

kemampuan kerja otak.

H. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

a. Deskripsi Teori

1. Pengertian Anak Tunarungu

Menurut Hallahan dan Kauffman (1982 : 234)

memberikan batasan tentang tunarungu di tinjau

dari kehilangan kemampuan mendengarnya, bahwa :

Hearing impairment. A genetic term indicating a hearingdisabiliti that range insevety from milk to profound in includisthe subsets deaf and hard of hearing. Deaf person in one whoshearing disability precludes successful processing of linguisticinformation though audio, with or without a haering aid, hasresidual hearing sufficient to enable sucxessful processing oflinguistic information thoght audition.

Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna

runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan

bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan

pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak

dapat menangkap berbagai perangsang, terutama

indra pendengaran.

Kemudian Donald F Moores menjelaskan

pengertian tuna rungu dalam bukunya Education

the deaf (Psychology principles and practices) Hougtoh

Miflin Company, Boston (1981: 3) sebagai

berikut:

A deaf person is one whose hearing is disabled to exten (usually70 dB ISO grather ) that precluds the understanding of speechthrough the earlone without or with the use of hearing aid. Ahard of hearing person is one whose hearing is disabled to anexten ( usually 35 to 69 dB ISO ) That makes difficult but dosenot preclude the understanding of speech through the earalone with  out our with a hearing aid.

Permanarian S dan Hernawati.T dalam

Ortopedagogik anak Tunarungu (1995:27),

mengemukakan bahwa :

Seseorang yang mengalami kekurangan ataukehilangan kemampuan mendengar baik sebagianatau seluruhnya yang diakibatnya karena tidakberfungsinya sebagian atau seluruh alatpendengaran, sehingga ia tidak dapatmenggunakan alat pendengarannya dalam kehidupansehari-hari yang membawa dampak terhadapkehidupannya yang kompleks.

Dari beberapa pengertian diatas dapat di

simpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang

mengalami hambatan dalam mendengar  yang di

sebabkan karena tidak berfungsinya sebagian

atau keseluruhan  alat pendengaran sehingga

anak memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus

agar dapat mengembangkan bahasa serta potensi

yang dimiliki anak seoptimal mungkin.

Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa

anak tuna rungu adalah anak yang mengalami

kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar

yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak

berfungsinya indra pendengaran sehingga

mengalami hambatan dalam perkembanganya. Dengan

demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan

secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir

batin yang layak.

2. Faktor Penyebab Tunarungu

Menurut saat terjadinya, ketunarunguan dapat

digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a) Masa Pre Natal

Masa pre natal tuna rungu dapat disebabkan

oleh :

1) Faktor Hereditas (keturunan)

Yaitu anak yang menderita tuna rungu karena

diantara keluarganya, terutama ayah dan

ibunya atau kakek neneknya penderita

tunarungu, jadi kecacatan atau tuna rungu

itu berasal dari keluarganya.

2) Pada waktu ibu mengandung

Menderita suatu penyakit, misalnya penyakit

campak, cacar air,

malaria, sehingga penyakit itu berpengaruh

pada anak yang

dikandungnya dan dapat menganggu pendengaran

anak.

3) Terjadinya kerancuan pada janin karena

pengaruh obat

Ketika ibu mengandung, kemudian ibu meminum

obat terlalu keras misalnya dalam jumlah

besar.

b) Masa Natal

Ketunarunguan pada masa natal atau saat

kelahiran bayi, ini disebabkan oleh beberapa

faktor antara lain : karena proses kalahiran

ini mengalami kesuburan sehingga memerlukan

alat pertolongan dengan menggunakan tangan,

yang memungkinkan mengenai otak besar dan

dalam otak itu terdapat banyak saraf, salah

satunya adalah otak saraf pendengaran, yang

mengakibatkan anak menjadi kurang

pendengarannya.

c) Masa Past Natal

Adalah masa past natal ini dapat disebabkan

oleh beberapa faktor

antara lain :

1) Karena penyakit : anak menderita panas

yang sangat dan terlalu tinggi akibatnya

dapat melemahkan saraf pendengarannya.

2) Otetis medis yang kronis.

3) Cairan otetis medis yang kurang

menyebabkan kehilangan pendengaran secara

kondusif (tuli kondusif).

Dari berbagai pendapat di atas peneliti

menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya

tuna rungu wicara yaitu pre natal (keturunan),

natal (bawaan dari pihak ibu), post natal

(otitis media).

3. Klasifikasi Ketunarunguan

Menurut Hallahan dan Kauffman klasifikasi

ketunarunguan berdasarkan tingkat kehilangan

pendengaran di bagi kedalam dua kelompok besar

yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of

hearing).

Menurut pendapat dari Moores dalam Mohammad

Efendi (2006:32) adalah sebagai berikut :

1. Ketunarunguan sebelum lahir ( prenatal )

a) Hereditas atau keturunan.

b) Cacar jerman atau rubella.

c) Taxoemia.

2.   Ketunarunguan saat lahir ( neonatal )

a) Lahir premature

b) Rhesus faktor 

c) Tang verlossing.

3.    Ketunarunguan setelah lahir ( posnatal )

a) Penyakit meningitis

b) Infeksi.

c) Otitis media kronis.

Efendi (2006:63), menyatakan bahwa

klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan

menjadi 3 sebagai berikut :

1.   Tunarungu Konduktif

Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi

karena beberapa organ yang berfungsi sebagai

penghantar suara di telinga bagian luar,

seperti liang telinga, selaput gendang, serta

ketiga tulang pendengaran ( malleus , incus,

dan stapes ) yang terdapat di telinga bagian

dalam dan dinding-dinding labirin mengalami

gangguan. Penyebab yang menghalangi masuknya

getaran suara ke organ penghantar antara lain

karena tersumbatnya liang telinga oleh kotoran

telinga, kemasukan benda-benda asing, pecah,

dan berlubang pada selaput gendang telinga dan

ketiga tulang pendengaran dapat menyebabkan

hilangnya daya hantar organ tersebut. Gangguan

yang terjadi pada organ penghantar suara

jarang sekali melebihi rentangan antara 60-70

db dari pemeriksaan audiometer.

2.   Tunarungu Perspektif.

Ketunarunguan tipe perspektif disebabkan

terganggunya organ-organ pendengaran yang

terjadi di belahan telinga bagian dalam.

Telinga bagian dalam memiliki fungsi sebagai

alat persepsi dari getaran suara yang

dihantarkan oleh organ pendengaran di belahan

telinga luar dan tengah. Ketunarunguan tipe

ini terjadi apabila getaran suara yang

diterima oleh telinga bagian dalam yang

mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang

elektris, tidak dapat diteruskan ke pusat

pendengaran otak. Oleh karena itu , tunarungu

jenis ini disebut tunarungu saraf yaitu saraf

yang mempersepsi bunyi atau suara.

3.   Tunarungu Campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini

sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada

telinga yang sama rangkaian organ-organ

telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan

penerima rangsangan suara mengalami gangguan,

sehingga yang tampak pada telinga tersebut

telah terjadi campuran antara ketunarunguan

konduktif dan perspektif.

4. Perkembangan kognitif Anak Tunarungu

Pada umumnya intelegensi anak tunarungu

secara potensial sama dengan anak pada umumnya

tetapi secara fungsional perkembangannya

dipengaruhi oleh tingkat kemampuan

berbahasanya, keterbatasan informasi, dan

kiranya daya abstraksi anak. Akibat

ketunarunguannya menghambat proses pencapaian

pengetahuan yang lebih luas. Dengan demikian,

perkembangan intelegensi secara fungsional

mengalami hambatan. Perkembangan kognitif anak

tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan

bahasa, sehingga hambatan pada bahasa, akan

menghambat perkembangan intelegensi anak

tunarungu.

Kerendahan tingkat intelegensi anak

tunarungu bukan berasal dari hambatan

intelektualnya yang rendah, melainkan karena

secara umum intelegensinya tidak mendapat

kesempatan untuk berkembang. Tidak semua aspek

intelegensi anak tunarungu terhambat, yang

terhambat hanyalah perkembangan yang bersifat

verbal. Aspek intelegensi yang bersumber pada

penglihatan dan motorik tidak banyak mengalami

hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat.

Ada beberapa ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa

kemampuan kognitif sangat erat hubungannya

dengan bahasa. Sebaliknya ada pula yang

berpendapat bahwa anak tunarungu tidak harus

lebih rendah taraf intelegensinya dibandingkan

anak pada umunya.

Perkembangan kognitif anak idealnya sesuai

dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.

Seperti yang ada dalam teori yang dikemukakan

oleh Jean Piaget yang dikutip dalam Djaali

(2006:68) yaitu :

‘Perkembangan kognitif mempunyai empat aspek,yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangansusunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungantimbal balik antara orgnisme dengan dunianya;3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruhyang diperoleh dalam hubungannya denganlingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaituadanya kemampuan atau system mengatur dalamdiri organisme agar dia selalu mempaumempertahankan keseimbangan dan penyesuaiandiri terhadap lingkungannya.’

5. Mengarang

Mengarang adalah bentuk tulisan yang

mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang

dalam satu kesatuan tema yang utuh. Karangan

dapat pula diartikan dengan rangkaian hasil

pemikiran atau ungkapan perasaan ke dalam bentuk

tulisan yang teratur. Hasil karangan dapat berupa

tulisan cerita, artikel, buah pena, ciptaan atau

gubahan (lagu, musik, dan nyanyian).

Dalam mengarang kita harus membuat kerangka

karangan terlebih dahulu. Kerangka karangan

adalah susunan rencana kerja karangan berupa

garis besar yang akan dikembangkan menjadi sebuah

karangan. Manfaat kerangka karangan adalah:

1. Memudahkan penyusunan karangan sehingga

karangan menjadi lebih sistematis.

2. Memudahkan penempatan karangan antara bagian

karangan yang penting dengan yang tidak

penting.

3. Menghindari timbulnya pengulangan bahasa.

4. Membantu pengumpulan data dan sumber-sumber

yang diperlukan.

Karangan memiliki berbagai macam, menurut

jenisnya karangan dibedakan menjadi:

1. Karangan deskripsi adalah karangan yang

menggambarkan suatu objek dengan tujuan agar

pembaca dapat merasakan seolah-olah melihat

sendiri objek yang digambarkan. Umumnya

karangan deskripsi merupakan cerita tentang

keadaan suatu objek.

2. Karangan eksposisi adalah karangan yang

memaparkan sejumlah pengetahuan atau informasi

dengan tujuan agar pembaca mendapat informasi

dan pengetahuan dengan sejelas-jelasnya.

Umumnya karangan eksposisi mengemukakan data

dan fakta yang meyakinkan.

3. Karangan narasi adalah karangan yang

menceritakan suatu peristiwa atau kejadian

dengan tujuan agar pembaca seolah-olah

mengalami kejadian yang diceritakan itu.

Umumnya karangan narasi berupa tahapan-tahapan

suatu peristiwa.

4. Karangan persuasi adalah karangan yang

bertujuan untuk mempengaruhi pembaca.

5. Karangan ilmiah adalah karangan yang membahasa

masalah-masalah yang berkaitan dengan disiplin

ilmu tertentu. Ragam bahasa yang digunakan

bersifat teknis, yang hanya dapat dipahami

oleh masyarakat tertentu yang sesuai dengan

bidangnya.

6. Karangan ilmiah populer adalah karangan yang

membahas masalah-masalah keilmuan. Karangan

ilmiah menggunakan ragam bahasa yang dipahami

oleh masyarakat umum.

7. Karangan khas adalah karangan yang melukiskan

suatu pernyataan dengan lebih terperinci

sehingga yang dilaporkan dapat tergambar dalam

imajinasi pembaca.

Mengarang bukan sesuatu hal yang sulit.

Langkah-langkah dalam menulis karangan meliputi:

1. Menentukan tema,

Tema adalah kesatuan ide yang melatari dan

menjiwai suatu karangan. Tema dapat pula

diartikan inti/ ide pokok  karangan. Menentukan

tema harus mempertimbangkan pengembangannya.

Sebagai acuan dan referensi penentuan tema

dapat berkaitan dengan berbagai pengalaman

kehidupan, seperti kehidupan romansa, tragedi,

religius atau dapat pula mengembangkan

berdasarkan pengetahuan dan wawasan yang

diketahui dengan berbagai sumber selama tidak

menjiplak.

2. Membuat kerangka karangan,

Jika tema sudah ditentukan, kemudian

kembangkan dalam beberapa bagian pokok sebagai

kerangka karangan. Selanjutnya, jadikan

kerangka karangan sebagai acuan untuk

mengembangkan menjadi sebuah karangan penuh.

6. Pantomim

Istilah pantomime ini berasal dari bahasa

Yunani yang berarti serba isyarat. Maksudnya,

secara etimologis, pertunjukan pantomime yang

dikenali sekarang adalah sebuah pertunjukan

yang tidak menggunakan bahasa verbal.

Pertunjukan atau persembahan itu sepenuhnya

tanpa suara apa-apa. Hanya mimik muka dan aksi

yang besar saja yang menyampaikan maksud.

Jelasnya, pantomime adalah satu pertunjukan

bisu ( Bakdi Sumanto,1992:1).

Pengertian sederhana pantomim, adalah suatu

gerak lakuan dengan menggunakan badan, anggota

badan, dan wajah sebagai alat ekspresi untuk

mengungkapkan pikiran dan perasaan. (Pramana

Padmodamarya,1990:77).

Pantomim dapat dikelompokkan kedalam :

1. Pantomim kelompok

2. Pantomim berpasangan

3. Pantomim perorangan

4. Pantomim disertai emosi

Dalam Grolier Academik Encylopedia

ditruliskan bahwa pantomim ialah suatu cerita,

suatu tema, yang diceritakan atau dikembangkan

melalui gerak tubuh dan wajah yang ekspresif

(A.Adjib Hamzah,1985:51). Kemudian Charles

Aubert memberikan pengertian pantomim adalah

seni pertunjukan yang diuangkapkan malalui

ciri-ciri dasarnya yakni ketika orang melakukan

gerak isyarat atau secara umum berbahasa bisu

(1970:3).

Aristoteles dalam Poetics memberikan

pengertian pantomim dengan ciri-ciri dasarnya

lahir dari aktivitas manusia karena gerak

menirukan yang tidak mendasarkan pada rhytm

secara dominan. Maka seni gerakan tubuh ini

wujud sebagai suatu gerakan isyarat, sehingga

seni pertunjukannya disebut pantomime

Richard Levin (1960:131). Lebih lanjut

Aristoteles menuliskan bahwa istilah pantomim

sudah ada sejak lama dari masa Mesir Kuno dan

India, jauh sebelum dikenali di Yunani. Ini

artinya seni pertunjukan pantomim umurnya sudah

tua, mengingat apa yang dikatakan Aristoteles

dalam Poetics ditulis 500 tahun sebelum Masehi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka

pantomim dapat dipahami sebagai suatu seni

pertunjukan tersendiri, disamping pantomim

dapat pula dipahami sebagai disiplin ilmu yang

harus dilakukan oleh calon aktor. Jika dipahami

sebagai bagian latihan keaktoran maka pantomim

merupakan salah satu kajian yang sangat

diperlukan seorang aktor. Pantomim merupakan

salah satu cara yang bakal mengantar seseorang

menjadi pemeran berkualitas.

b. Penelitian yang relevan

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Heny

Setyowati (2011) yang melakukan penelitian

tentang penggunaan media video pantomim dalam

pembelajaran menulis pada mata kuliah aufsatz I

jurusan sastra Jerman Universitas Negeri Malang.

c. Kerangka Pemikiran

Tunarungu adalah individu yang memiliki

hambatan dalam mengolah informasi yang diperoleh

melalui auditory karena kerusakan yang terjadi

pada organ mendengarnya. Sehingga mereka

mengoptimalkan aspek visualnya untuk mengolah

berbagai informasi yang mereka peroleh dari

lingkungan.

Di Indonesia mengarang merupakan mata pelajaran

bahasa Indonesia yang wajib dipelajari oleh

setiap siswa sekolah dasar, tidak terkecuali

untuk siswa tunarungu di tingkat SDLB. Pada

umumnya untuk anak-anak normal yang secara fisik

tidak mengalami gangguan, mengarang masih sering

dianggap pelajaran yang sulit. Apalagi untuk anak

tunarungu yang sudah jelas mengalami kerusakan

pada organ mendengarnya dan otomatis memiliki

hambatan dalam mengolah informasi yang diterima

melalui auditori. Akibatnya anak tunarungu akan

mengalami kesulitan dalam mengarang yang menuntut

pemahaman abstrak seperti halnya pada pelajaran

bahasa Indonesia.

Mengarang diajarkan agar anak mampu menuangkan

segala pikiran, pengalaman, pesan, perasaan,

gagasan, pendapat, imajinasi dalam bentuk bahasa

tulisan dengan benar.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu ada

suatu upaya untuk meningkatkan keterampilan anak

tunarungu dalam menuangkan pengetahuan, ide-ide,

dan gagasannya secara tertulis (Argiasri Mustika,

2009). Anak tunarungu yang memanfaatkan fungsi

penglihatan yang disebut insan visual, diharapkan

mampu membuat karangan melalui pantomim. Penulis

beranggapan bahwa pantomim merupakan salah satu

media yang dapat digunakan untuk melatih anak

tunarungu dalam meningkatkan kemampuan menulis,

yaitu menuangkan sebuah kesatuan cerita sederhana

dengan sistematis kedalam bentuk tulisan.

MengarangAnak

Tunarungu

KemampuanVisual

Kondisi Awal(Sebelum

menggunakanPantomim)

PrestasibelajarBahasa

Indonesia

Penggunaan

Pantomim

KondisiAkhir

(Setelahmenggunakan

MediaPembelajaran yangkongkrit

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah “adanya pengaruh penggunaan Pantomim

terhadap kemampuan mengarang sederhana siswa

tunarungu.

I. METODE PENELITIAN

a.Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara

ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan

kegunaan tertentu (Sugiyono:2009).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode eksperimen. Arikunto (2006) mendefinisikan

eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan

sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor

yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan

mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan

faktor-faktor lain yang mengganggu. Metode

eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah One Group Pretest-Posttest Design (Satu

Kelompok Prates-Postes). Kalau pada desain “a” tidak

ada pretest, maka pada desain ini terdapat pretest

sebelum diberi perlakuan. Dengan demikian hasil

perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat

Prestasi belajarBahasa Indonesiamateri Bahasa

membandingkan dengan keadaan sebelum diberi

perlakua, (Sugiyono,2011)

Keterangan :

T0 = nilai tes awal (pretest), tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswasebelum menggunakan Pantomim

X = Treatment (perlakuan)

T1 = nilai tes akhir (posttest), tes akhir diberikan untuk mengetahui hasil belajar setelah menggunakan Pantomim

b.Populasi dan Sampel

Populasi adalah suatu kumpulan menyeluruh dan

suatu objek yang merupakan perhatian penelitian.

Populasi penelitian ini adalah siswa tunarungu di

SLBN Taruna Mandiri Kuningan.

Sampel adalah perwakilan representatif dari suatu

populasi yang kemudian diteliti. Sampel dari

penelitian ini adalah siswa kelas D-V SLBN Taruna

Mandiri Kuningan.

c.Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

T0 X T1

StandarKompetensi

KompetensiDasar Indikator Nomor

SoalAspek yangdinilai

JenisTes

1.Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi dan pengalamansecara tertulis dalam bentuk karangan,surat undangan dan dialogtertulis.

1.1Menulis karangan berdasarkan pengamatandengan memperhatikan pilihan kata dan penggunaanejaan.

Siswa dapat mengurutkan gambar seri.menuliskan karangan berdasarkan gambar seri.

Siswa dapat menuliskan karangan berdasarkan gambar seri

Siswa dapat menulis cerita yang utuh dan padu.

1.Kesesuaian urutan gambar

2.Kesesuaian tulisan dengan gambar seri

3.Merangkai kalimat sehinggamenjadi sebuah karanganyang utuh

TesTertulis

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan tes. Menurut Arikunto

(2010: 53), tes merupakan alat atau prosedur yang

digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu

dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang

sudah ditentukan. Tes dalam penelitian ini digunakan

untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengarang.

Tes diberikan kepada siswa sebelum diberikan

Pantomim dan setelah menggunakan Pantomim.

d.Teknik pengolahan dan analisis data

Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah

dari hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus

sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih

lanjut (Sudjana, 2001: 128). Teknik pengolahan data

dalam penelitian ini adalah berupa persentase,

teknik ini biasa digunakan peneliti atau guru untuk

mengukur perilaku dalam bidang akademik maupun

sosial.persentase (%) dihitung dengan cara jumlah

soal yang benar dibagi seluruh soal, dikalikan

seratus. Pengolahan data diberikan untuk mengukur

hasil tes siswa pada pretest dan posttest.

Teknik analisis data yang digunakan pada

penelitian ini dengan menggunakan statistik non

parametris dengan uji wilcoxon.

Adapun langkah-langkah dalam mengolah data adalah

sebagai berikut :

1. Menskor tes awal (pretest) dan test akhir

(posttest)

2. Mentabulasi skor pretest dan posttest

3. Menghitung selisih nilai pretest dan posttest

4. Memberikan ranking dari selisish terbesar sampai

selisih terkecil

5. Pemberian tanda positif untuk selisih skor

positif, dan tanda negatif untuk selisish skor

negatif

6. Menjumlahkan ranking bertanda positif dan ranking

bertanda negatif . hasil tersebut dicari yang

terkecil untuk dijadikan t-hitung dengan kriteria

pengujian

H0 diterima apabila t hitung T tabel

H0 ditolak apabila t hitung > T tabel

J. DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti. 1995. Pembinaan Kemampuan Menulis

Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Bakdi Sumanto (FS-UGM), Pantomim dan kita, Makalah

Diskusi Kehidupan Pantomim di Yogyakarta, 4

Nopember 1992.

Broadbent, R. J. 2004. A History of Pantomime. London:

Stage Whispers

Bunawan, Lani. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu.

Jakarta: Santi Rama.

Djaali, 2006. Psikologi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara

Effendi, Muhammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak

Berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara

Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. 1991. Exceptional

Children Introduction to Special Education.

Virginia:Prentice hall International, Inc.

Hardja Sumarna, Saleem. 2013. Tips Menaklukan Orang-

orang Disekitarmu Dengan Membaca Bahasa Tubuhnya.

Klaten: Cable Book

Hurlock, Elizabeth. 2000. Psikologi Perkembangan Suatu

Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima

Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwi, Jakarta:

Erlangga.

Padmodarmaya, Pramana. 1990. Pendidikan Seni Teater.

Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

PP RI No. 19 2005. Standar Nasional

Pendidikan.Jakarta.Sinar Grafika

Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: PT.

Gramedia,1984.

Somad, P & Hernawati. T. 1995.Ortopedagogik Anak

Tunarungu. Bandung: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa.

Bandung : Refika Aditama

Sudjana, D. 2001. Metode dan Teknik Pembelajaran

Partisipatif. Bandung : Faalah Production

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan

R&D. Bandung: Alfabeta

PENGGUNAAN PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BEREKSPRESI PADA ANAK TUNARUNGU KELAS

VI SDLB

PENGGUNAAN PANTOMIM CERITA ANAK DALAM

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN PADA ANAK

TUNARUNGU KELAS VI SDLB

PENGGUNAAN PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERCERITA/MENDONGENG PADA ANAK

TUNARUNGU KELAS VI SDLB

PENGGUNAAN PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN

KOMUNIKASI KETERAMPILAN BERCERITA PADA ANAK

TUNARUNGU KELAS VI SDLB

PENGGUNAAN PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN

KOMUNIKASI MELALUI ISYARAT PADA ANAK TUNARUNGU

PENGARUH PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERISYARAT PADA ANAK TUNARUNGU

PENGARUH CERITA ANAK DENGAN MEDIA PANTOMIM

DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN PADA

ANAK TUNARUNGU KELAS VI SDLB

PENGARUH PANTOMIM DALAM MENINGKATKAN

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN PADA ANAK TUNARUNGU