mengkritisi teori Mahfud MD

23
Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari hasil penelitian Prof. Mahfud MD dalam meraih gelar doktornya. Dalam disertasinya ia menyimpulkan bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif/populistik dan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum dengan karakter konservatif/ortodoks/elitis 1 . Teori yang ia cetuskan bukan lahir dari penelitian yang sembarangan, ia meneliti berbagai produk hukum dari mulai Indonesia merdeka sampai masa orde baru. Fenomena ini sekan sudah berjalan secara sistemik sehingga bisa dikatakan bahwa politik yang demokratis niscaya akan menghasilkan produk hukum yang responsif/populis dan jika politik yang berlaku adalah politik yang otoriter maka bisa dipastikan produk hukumnya ortodoks/elitis, semuanya sudah berjalan menjadi sebuah sistem. 1 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet ke V, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 363 1

Transcript of mengkritisi teori Mahfud MD

Pendahuluan

Tulisan ini beranjak dari hasil penelitian Prof.

Mahfud MD dalam meraih gelar doktornya. Dalam

disertasinya ia menyimpulkan bahwa konfigurasi politik

yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang

responsif/populistik dan konfigurasi politik yang

otoriter akan melahirkan produk hukum dengan karakter

konservatif/ortodoks/elitis1. Teori yang ia cetuskan

bukan lahir dari penelitian yang sembarangan, ia meneliti

berbagai produk hukum dari mulai Indonesia merdeka sampai

masa orde baru. Fenomena ini sekan sudah berjalan secara

sistemik sehingga bisa dikatakan bahwa politik yang

demokratis niscaya akan menghasilkan produk hukum yang

responsif/populis dan jika politik yang berlaku adalah

politik yang otoriter maka bisa dipastikan produk

hukumnya ortodoks/elitis, semuanya sudah berjalan menjadi

sebuah sistem.

1 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet ke V, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 363

1

Tatkala Gelombang reformasi yang dipelopori para

pemuda berhasil menumbangkan orde baru beserta rezim

otoriternya, semua orang sepakat untuk menggunakan

demokrasi yang benar-benar demokratis. Hal ini pertama

kali diwujudkan dengan mengamandemen undang-undang dasar.

Lembaga-lembaga Negara yang pada masa sebelumnya tidak

ada juga segera dilahrikan, seperti KPK, MK, PPATK dan

lain-lain. Namun bagaimana dengan produk undang-undang

sekarang?. Kita banyak menemukan berbagai produk hukum

yang tidak mengandung keadilan dan merugikan rakyat

Indonesia seperti undang-undang tentang BP Migas, produk

hukum yang hanya menguntungkan bagi para elite-elite

politik seperti kasus tarik ulur persyaratan presiden dan

wakil presiden dalam undang-undang pemilu. Undang-undang

yang tidak begitu menguntungkan bagi para elite politik

juga tidak kunjung selesai prosesnya, sebagaimana yang

kasus yang terjadi pada KUHP, KUHPerdata dan lain-lain.

2

Dengan latar belakang yang seperti itu kemudian kita

layak menanyakan kembali, bukankah Indonesia sekarang

menganut demokrasi dan segala proses penyelenggaraan

pemerintahanya—termasuk proses pembuatan undang-undang—

berdasarkan asas-asas yang demokratis? lalu kenapa

konfigurasi politik yang demokratis pada kenyataanya

sekarang tidak menghasilkan produk hukum yang responsif

tetapi malahan elitis (karena hanya mengungtungkan elit-

elit tertentu)? Bukankah sebagaimana yang diteorikan oleh

Mahfud MD, bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan

menghasilkan produk hukum yang responsif?. Untuk itulah

kemudian penulis mengajukan rumusan masalah “kenapa

konfigurasi politik sekarang yang menganut system

demokrasi menghasilkan produk hukum yang elitis?”

3

Pembahasan

Definisi Sistem Politik dan Relevansi Isi Makalah

Sebelum lebih jauh membahas, penulis akan terlebih

dahulu memberikan argumen bahwa makalah ini layak

diajukan pada mata kuliah system politik. Dalam kamus

KBBI online, system diartikan sebagai susunan yang

teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya,

contohnya seperti system pemerintahan Negara2. Totok

sarsito mendefiniskan system sebagai sesuatu yang

berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu

kesatuan, dengan demikian, suatu system pasti mempunyai

struktur yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang

satu sama lain saling berjalinan dan tidak dapat

dipisahkan satu dari yang lain sehingga membentuk suatu

2 KBBI online, http://kbbi.web.id/, akses tanggal 18 agustus2013

4

kesatuan yang bulat3. Sedangkan politik adalah usaha

menggapai kehidupan yang baik. Pengertian yang lebih

kontekstual mendefinisikan politik sebagai usaha untuk

menentukan peraturan-peratruan yang dapat diterima baik

oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke

arah kehidupan bersama yang harmonis, bentuk dari usaha

ini menyangkut berbagai macam kegiatan yang antra lain

menyangkut proses penentuan tujuan dari system, serta

cara-cara melaksanakan tujuan itu4. Sehingga system

politik dalam definisnya Totok Sarsito adalah system

pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat5, dalam

menguraikan system politik ia menekankan bahwa masing-

masing bagian unit dan arena politik tidaklah berdiri

sendiri melainkan saling berkaitan antara satu dengan

yang lain, sehingga berfungsinya satu bagian tidak akan

dapat dipahami tanpa memperhatikan cara berfungsinya

3 Totok Sarsito, Sitem politik Indonesia I, dalam makalah diUniversitas Sebelas Maret, tanggal 11 maret 2011

4 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi cetke enam, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 13-15

5 Totok Sarsito, Sistem…op.cit., hlm. 3

5

keseluruhan bagian-bagian itu sendiri. Digunakanya sistem

adalah untuk memahami gejala politik dalam suatu

masyarakat dengan asumsi bahwa masyarakat merupakan

kesatuan yang inklusif dimana system yang ada bisa

dievaluasi. Pada dasarnya gejala masyarakat dapat

dipandang sebagai suatu system dan dalam kenyataanya

semua geajala kemasyarakatan saling berhubungan satu

dengan yang lain. Dari suatu masyarkat keseluruhan bisa

diperoleh abstraksi yang berupa elemen-elemen yang Nampak

ke permukaan dengan saling berdekatan dan elemen-elemen

inilah yang kemudian disebut sebagai system6.

Sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam

pendahuluan, bahwa makalah ini hendak mempermasalahkan

kenapa pengaruh konfigurasi politik yang sekarang

disebut-sebut sebagai demokratis pada kenyataanya

melahirkan berbagai produk hukum yang memihak pada elit-

elit politik saja atau dengan bahasanya Prof. Mahfud

6 Ibid., hlm. 4

6

bersifat elitis, bukankah seharusnya variable konfigurasi

politik yang demokratis akan menghasilkan variable berupa

produk hukum yang responsif?.

Menurut Mahfud MD, produk hukum yang

responsif/populistik adalah produk hukum yang

mencerminakan rasa keadilan dan memenuhi harapan

masyarakat. Dalam proses pembuatanya memberikan

partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu

dalam masyarakat. Dan hasilnya bersifat responsif

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu

dalam masyarakat. Sedangkan produk hukum yang

ortodoks/konservatif/elitis adalah produk hukum yang

isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik,

lebih mencerminakn keinginan pemerintah, bersifat

positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan

ideology dan program Negara. Hukum yang ortodoks tertutup

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-

indovidu di dalam masyarakat yang dalam pembuatanya

7

peranan dan partitispasi masyarakat relatif kecil7.

Dilihat dari fungsinya, hukum yang berkarakter responsif

bersifat aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang

secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak

masyarakat yang dilayaninya. Sehingga sebuah produk hukum

dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kehendak

masyarakat. Sedangkan produk hukum yang bersifat

ortodoks/elitis bersifat posistivis-instrumentalis,

memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan

politik pemegang kekuasaan atau memuat meteri yang lebih

merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan

program pemerintah8.

Syarat Minimal Pendidikan Capres dan Cawapres

Isu yang pertama akan saya bahas dalam makalah ini

adalah persyaratan minimal pendidikan calon presiden dan

7 Moh Mahfud, Politik Hukum…. op.cit., hlm. 31-328 Ibid., hlm. 32

8

wakil presiden. Sudah sejak lama isu ini menjadi tarik

ulur anggota parlemen. Dalam undang-undang pemilu

presiden dan wakil presiden yang baru yakni undang-undang

No 42 tahun 2008, pasal 5 hanya mensyaratkan pendidikan

minimal capres dan cawapres adalah SMA, MA, SMK, MAK atau

bentuk sekolah lain yang sederajat. Dari berbagai media

dapat kita ketahui bahwa issu ini sudah sejak lama

menjadi tarik ulur yang paling mendapatkan perhatian

selain persyaratan minimal electoral threshold. Dalam undang-

undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada

tahun 2004 yakni UU No 23 tahun 2003, syarat minimal S1

diusulkan oleh Golkar dan mendapatkan dukungan dari

fraksi Reformasi dan fraksi Bulan Bintang. Akan tetapi

fraksi PDIP menentang keras usulan ini, menurut PDIP

kualitas dan kemampuan seseorang tak hanya dilihat dari

tingkat pendidikian formalnya9. Fraksi PDIP menolak

minimal S1 karena kandidat calon presiden dari partai

9 Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, (Yogyakrta: PustakaPelajar,2004), hlm. 28

9

mereka, yakni Megawati bukan sarjana meskipun ia pernah

kuliah tapi tidak selesai10. Isu ini juga mencuat kembali

dalam pembahasan revisi UU No 42 tahun 2008, PKS bersuara

agar persyaratan pendidikan minimal setingkat S1

menurutnya banyak persoalan yang perlu dihadapi presiden

dan wakil presiden yang memerlukan kepiawaian yang

tinggi. Usul dari PKS mendapatkan dukungan dari

Demokrat11, Selain Demokrat, dukungan tentang minimal

sarjana bagi calon presiden dan wakil presiden juga

disuarakan oleh Hanura, sebagai partai pendatang baru

Nasdem juga menyatakan hal serupa. Sedangkan PDIP yang

dari dulu tegas menolak syarat ini sampai sekarang belum

memberikan kepastian tentang setuju atau tidaknya minimal

sarjana bagi capres dan cawapres, sekjen PDIP Tjahjo

Kumolo menegaskan kalau langkah koalisi PDIP dengan

10 http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/10/nas29.htm, “RUUPemilihan Presiden dan Barter Parpol Besar”, akses tanggal 19agustus 2013

11http://news.detik.com/read/2013/04/08/134921/2214278/10/demokrat-dan-pks-dorong-syarat-pendidikan-capres-minimal-s1,“Demokrat dan PKS Dorong Syarat Pendidikan Capres Minimal S1”,akses tanggal 19 agustus 2013

10

partai lain masih menunggu pemilihan legislative namun ia

menyampaikan kalau syarat pendidikan tifak bisa menjadi

tolak ukur, baginya seorang presiden yang terpenting

adalah didukung oleh parpol12. Sikap PDIP terhadap

persyaratan ini mungkin akan berubah jika pada nantinya

bukan Megawati yang diajukan menjadi presiden, belakangan

ini memang berita yang santer beredar adalah pencalonan

Jokowi. Jika pada nantinya mereka mencalonkan Jokowi

mungkin sikap mereka akan berubah dari pemilu sebelumnya,

karena Jokowi telah mengantongi sarjana dari UGM.

KUHP Yang Tak Kunjung Selesai

Sebagai bangsa yang merdeka tentunya kita ingin

mempunyai kodifikasi hukum pidana sendiri, yang

berasaskan kepribadian bangsa yang pastinya berbeda

dengan kepribadian Belanda. Mengenai perlunya pembaharuan

12http://dutaonline.com/11/07/2013/capres-harus-sarjana-diusulakn-di-ruu-pilpres/, “Capres Harus Sarjana di Usulkan diRUU Pilpres” akses tanggal 19 agustus 2013

11

ini, Sudarto menyampaikan 3 alasan: pertama politis,

alasan ini terkait kebangaan kita jika mempunyai hukum

pidana nasional sendiri sebagai negara yang merdeka dan

tentunya hukum tersebut berdasarkan pada pancasila. Kedua

sosiologis, alasan ini menitik beratkan pada nilai-nilai

budaya kita yang tidak sesuai dengan belanda. Ketiga

praktis, alasan ini terkait dengan kendala kebahasaan

yang mana penguasaan bahasa Belanda setiap orang berbeda-

beda ketika menerjemahkan WvS, sehingga akan menimbulkan

tafsiran yang berbeda-beda13.

Pembaharuan KUHP bukanlah hal yang mudah, sudah dari

tahun 1964 rancangan pertama dimulai, tapi sampai

sekarang belum juga digodok di DPR. Usaha ini dimulai

dengan adanya rekomendasi hasil seminar Hukum Nasional I

tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta. Usaha pembaharuan

ini merupakan amanat pendiri bangsa yang terkandung

secara implisit dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,

13 Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bidang Akademik UINSunan Kalijaga, 2008), hlm. 187

12

pembahruan ini baru dimulai pada tahun 1964 karena sejak

merdeka kondisi Indonesia belum stabil14. Rancangan KUHP

tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-

rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968,

Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin

(Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP

1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP

1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP

1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai

1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000.

Pada tahun 2009 tepatnya pada masa Menteri Hukum dan

HAM dijabat oleh Andi Matalatta, naskahnya sudah disusun

dan diserahkan ke Istana. Namun setelah kursi Menteri

dijabat Patrialis Akbar, naskah RUU tersebut dikembalikan

ke tim penyusun dengn alasan tim penyusun wajib membuat

naskah akademik terlebih dahulu. Sampai sekarang RUU KUHP

belum masuk dalam prolegnas 2013. Selain hal-hal yang

bersifat substansi dari isi undang-undang seperti undang-14 Ibid., hlm. 205

13

undang ini merupakan kitab kumpulan dan bisa dikatakan

sebagai undang-undang induk mengenai tindak pidana,

penyelarasan dengan undang-undang lain yang juga memuat

tindak pidana, dan lain-lain. Menurut penulis hal ini

karena tidak ada kemauan politik yang kuat dari

pemerintah, seberat apapun mestinya undang-undang ini

sudah lama disahkan jika melihat perubahanya dimulai

sejak tahun 1964. Jika dibandingkan dengan undang-undang

yang terkait dengan investasi, hal ini akan jauh berbeda.

Pemerintah dan anggota DPR akan segera membahasnya dan

memperdebatkan pasal-pasal yang kemungkinan akan

merugikan mereka, hal ini karena kebanyakan para politisi

adalah para pengusaha, meskipun mereka bukan seorang

pengusaha pastinya juga dibantu oleh pengusaha untuk

mendanai kegiatan politiknya. Dalam undang-undang yang

membahas tentang kegiatan usaha biasanya juga banyak

aliran dana yang masuk ke DPR. Walhasil, menurut penulis

tak kunjung selesainya RUU KUHP karena undang-undang

14

tersebut tidak menguntungkan bagi mereka. KUHP bukan

undang-undang yang berlahan basah.

Demokrasi atau Oligarki?

Dari berbagai kasus yang terkait perundang-undangan

khususnya kasus yang penulis uraikan di atas kemudian

menimbulkan pertanyaan “apakah konfigurasi politik kita

benar-benar demokratis?”. Jika merujuk pada berbagai

literatur, oligarki dimaknai sebagai Negara yang

pemerintahanya dipegang oleh beberapa orang tetapi

sifatnya buruk karena pemerintahanya hanya ditujukan

kepada atau untuk kepentingan yang memegang kuasa15. Jika

melihat fenomena perpolitikan di Indonesia kita tahu

bahwa sebenarnya para elit politik hanya orang-orang itu

saja atau mungkin kerabat dekat dari penguasa sebelumnya.

Dan perilaku mereka dalam membuat sebuah produk hukum

15 P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2012), hlm. 36

15

hanya untuk mengamankan kepentingan mereka semata.

Sehingga kita bisa mengatakan bahwa meskipun secara

prosedur kita menggunakan demokrasi namun tidak serta-

merta kelakuan para pejabat bersifat demokratis, hal ini

karena suara mereka tersandera oleh kehendak partai.

Robert Michels memberikan peringatan tentang tumbuhnya

oligarki dalam sebuah partai yang demokratis. Menurutnya

oligarki timbul dari adanya organisasi dalam kepartaian,

fenomena oligarkis bersifat psikis. Oligarki berasal dari

transformasi psikis yang dialami pemimpin-pemimpin partai

sepanjang hidup mereka, namun lebih khususnya oligarki

lahri karena dan tergantung pada “psikologi organisasi”

yakni pada kebutuhan-kebutuhan taktis dan teknis yang

berasal dari konsolidasi setiap kesatuan politik yang

disiplin 16, ketika seseorang masuk kedalam sebuah partai

mungkin ia bukanlah orang yang penting akan tetapi

seiring berjalanya waktu dan kemampuanya dalam organisasi16 Lihat Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, Dalam Teori-Teori Mutakhir

Partai Politik, Editor Ichlasul Amal, cet. ke 2, (Yogyakrta: TiaraWacana, 1996), hlm. 41

16

dan politik akan mengantarkanya pada pucuk pimpinan yang

tertinggi. Ketika seseorang sudah sampai pada taraf

tersebut maka ia akan dengan sangat mudah menyetir suara

anggota partainya. Hal ini adalah fenomena yang terjadi

dalam system kepartaian kita dan mungkin juga dalam semua

partai di dunia, contoh yang masih hangat adalah

keharusan satu suara mendukung kenaikan harga BBM bagi

anggota poartai Demokrat dan partai koalisi, ketika PKS

kemudian menolak kenaikan dan satu suara dengan oposisi

maka muncullah ancaman keluar dari setgab dan pencopotan

menterinya dari kabinet.

Dalam era demokrasi yang mementingkan suara terbanyak

kebulatan suara anggota partai dalam parlemen adalah

sebuah keharusan, setidaknya itu yang terjadi di

Indonesia. Tidak ada lagi pertarungan idealisme sesama

anggota partai. Mereka telah dikendalikan oleh orang yang

berkuasa di partai, sehingga demokrasi hanyalah sekedar

bungkus dan isi yang sebenarnya adalah oligarki.

17

Perjuangan mereka bukan untuk rakyat yang telah

memilihnya akan tetapi untuk kepentingan mereka sendiri

dan tentunya untuk partai politiknya.

Ada pengandaian menarik dari Robert Michels tentang

masuknya oligarki dalam system demokrasi, ia mengkisahkan

dalam suatu dongeng ada seorang petani yang akan

meninggal mengatakan kepada anak-anaknya ada harta karun

terpendam di ladang, setalah kematianya anak-anaknya pun

mencarinya namun tidak pernah menemukan harta karun yang

mereka cari. Namun pekerjaan mereka yang menggali tanah

tidak kenal lelah pada akhirnya membawa kemakmuran

pertanian bagi mereka. Harta karun dalam cerita tersebut

layaknya Demokrasi, Demokrasi adalah harta karun yang tak

seorangpun dapat menemukanya, namun dengan terus

mencarinya kita akan mampu menemukan sesuatu dalam

pengertian yang demokratis.

Dalam pengandaianya Robert Michels arus demokrasi

dalam sejarah menyerupai alunan gelombang yang selalu

18

pecah ketka pantai tapi selalu muncul kembali, demokrasi

pada nantinya pasti akan tersusupi oligarki, setelah

oligarki berhasil menguasai kemdian ada sejumlah orang

yang menentangnya mungkin dengan mendirikan sebuah partai

baru. Orang yang pada awalnya melawan oligarki itu pada

nantinya juga akan menjadi sang pelaku oligarki sendiri

ketika ia sudah mapan.

Penutup

19

Dari uraian di atas maka penulis mengambil kesimpulan

bahwa konfigurasi politik sekarang yang menganut system

demokrasi akan tetapi menghasilkan produk hukum yang

elitis dikarenakan demokrasi kita hanyalah bungkus

kosong, yang sebenarnya terjadi dalam dunia politik

khususnya partai politik adalah oligarki. Hal ini dapat

dilihat dari dua kasus yang penulis paparkan. Dalam kasus

persyaratan pendidikan minimal calon presiden, anggota

parlemen mempertahankan bagaimanapun caranya agar tokoh

dari partainya bisa menjadi seorang presiden seraya

menyerang kelemahan dari calon partai lain. Argumentasi

mereka hanyalah argumen politis seperti kasus yang

terjadi pada PDIP dan partai yang berseberangan denganya.

Dalam kasus RUU KUHP yang tak kunjung selesai, fenomena

oligarki muncul pada tidak adanya kemauan politik

diantara elite. Hal ini karena KUHP tidak mendatangkan

keuntungan bagi mereka, baik keuntungan secara politik

maupun keuntungan secara materi.

20

Kedua contoh tersebut memang terlalu sedikit untuk

menggambarkan perilaku elit politik secara keseluruhan,

akan tetapi cukup menggambarkan bahwa produk hukum yang

dihasilkan pada kenyataanya bersifat elitis. Sebagaimana

yang dikatakan oleh Mahfud, produk hukum yang ortodoks

memuat meteri yang merefleksikan visi sosial dan politik

pemegang kekuasaan. Sedangkan produk hukum yang responsif

memuat materi yang sesuai dengan aspirasi atau kehendak

masyarakat.

Daftar Pustaka

A. Buku dan Makalah

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet ke V,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012

Sarsito, Totok, Sitem politik Indonesia I, makalah di

Universitas Sebelas Maret, tanggal 11 maret 2011

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi

cet ke VI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013

21

Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, Yogyakrta:

Pustaka Pelajar, 2004

Bahiej, Ahmad, Hukum Pidana, Yogyakarta: Bidang

Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008

Sitepu, P. Anthonius, Studi Ilmu Politik,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012

Michels, Robert, Hukum Besi Oligarki, Dalam Teori-Teori

Mutakhir Partai Politik, Editor Ichlasul Amal, cet. ke

2, Yogyakrta: Tiara Wacana, 1996

B. Peraturan Perundang-Undangan

UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden

UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden

C. Internet

http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/10/

nas29.htm, “RUU Pemilihan Presiden dan Barter

Parpol Besar”, akses tanggal 19 agustus 2013

http://news.detik.com/read/

2013/04/08/134921/2214278/10/demokrat-dan-pks-

dorong-syarat-pendidikan-capres-minimal-s1,

22

“Demokrat dan PKS Dorong Syarat Pendidikan Capres

Minimal S1”, akses tanggal 19 agustus 2013

http://dutaonline.com/11/07/2013/capres-harus-

sarjana-diusulakn-di-ruu-pilpres/, “Capres Harus

Sarjana di Usulkan di RUU Pilpres”, akses tanggal

19 agustus 2013

KBBI online, http://kbbi.web.id/, akses tanggal 18

agustus 2013

23